Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

BIOGRAFI DAUD AL-ZHAHIRI


DAN POLA PEMIKIRAN FIQH

Dosen Pengampu : H. Muhyiddin Dawud, M.S.I

Oleh:
Ahmad Zakaria

PERGURUAN TINGGI PONDOK PESANTREN AL-HIKMAH 1


MA’HAD ALY AL-HIKMAH 1
BENDA SIRAMPOG BREBES
2021 M / 1442 H
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Dhahiri adalah salah satu aliran (madzhab) fiqh yang tetap menarik
untuk dikaji sampai sekarang. Ketertarikan pada kajian ini disebabkan karena
tulisan-tulisan mengenai al-Dhahiriyah, yang ditulis oleh pendukung mazhab
ini atau oleh pembahas-pembahasnya, masih tetap ada sampai sekarang ini.
Terdapat bahasan sejarah mengenai al Madzhab al-Dhahiri. Karena itu, me-
nempatkan al-Dhahiri sebagai salah satu madzhab penting dalam fiqh Islam,
adalah tidak keliru.
Pemikiran fiqh yang kemudian memunculkan alirannya (madzhab)
bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan
jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini
hanyalah 4 saja. Padahal banyak juga yang mengenal mazhab selain yang 4
seperti mazhab al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid, juga mazhab
al-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin , juga ada mazhab
al-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali al-Zhahiri dan mazhab-mazhab
lainnya. Sedangkan yang dikenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena
keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa
tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun. al-Hanafiyah,
al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh
mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqh dan mampu bertahan
hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang
meneruskan dan melanggengkan madzhab gurunya. Dan masing-masing
memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam
waktu yang sangat lama.
Namun, saat ini mulai kembali banyak orang yang mengkaji lebih
mendalam tentang permasalahan Islam melalui jalur pemikiran fiqh Daud al-
Zhahiri. Hal ini terjadi karena madzhab al-Zhahiri adalah salah satu diantara
madzhab fiqh kalangan ahlusunnah wal jamaah yang didirikan oleh Abu
Sualiman Daud Al-Ashfahani Azh-zhahiri yang lahir tahun 202 H di Kufah

1
Iraq dan wafat di tahun 270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat
menjadi Daud al-Zhahiri. Oleh sebab itulah, melalui tulisan ini penulis ingin
mencoba untuk mengkaji secara mendalam dan sitematis tentang fiqh Daud
al-Zhahiri ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapatlah
dirumusakan masalahnya, yakni; bagaimanakah pola pemikiran fiqh yang
diterapkan oleh Daud al-Zhahiri ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Daud al-Zhahiri


Daud al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di
Baghdad pada tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits,
hafiz, dan pendiri Madzhab al-Zhahiri. Nama lengkapnya Daud bin Ali bin
Khalaf al-Ishfahani. Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan
berdomisili di Baghdad sampai meninggal dunia. Pada mulanya, ia
merupakan penganut fanatik madzhab al-Syafi’i meskipun ayahnya seorang
penganut madzhab Abu Hanifah. Namun ia belajar tidak langsung kepada
imam al-Syafi’i, tetapi dari murid dan sahabatnya, karena ia baru berusia 4
tahun ketika imam al-Syafi’i wafat. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin
Rahawaih (161-238 H), seorang ulama Khurasan (Iran) yang mencapai
derajat hafiz dalam bidang hadits, serta penyusun kitab hadits “al-Musnad”.
(Abu Qisthi, 2009).
Di samping mempelajari fiqh al-Syafi’i, ia juga mempelajari hadits
dari para muhaddits semasanya. Ia menerima hadits dari orang-orang yang
bermukim di Baghdad, kemudian melawat ke Nisabur, Iran, dan
meriwayatkan hadits dari para muhaddits negeri tersebut. Ia menyusun hadits-
hadits yang diriwayatkannya di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi
ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang
diriwayatkannya sendiri.
Untuk membangun madzhabnya, menurut Abdul Aziz Dahlan (1981),
Daud al-Zhahiri menulis berbagai karya, antara lain:
1. Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi).
2. Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan).
3. Kitab al-Khusus wa al-‘Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal
khusus dan umum).
4. Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan
tidak jelas pengertiannya).

3
5. Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap
kias).
6. Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan
bertaklid).
7. Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).
Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi
yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun
buku “al-Fihris” menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud
al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun
semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif
al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi. Akan tetapi dari jalan
madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul
fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-
Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam
masalah ushul fiqh. (Abdul Aziz Dahlan, 1981).

B. Pemikiran Fiqh Daud al-Zhahiri


Fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa Daud al-Zhahiri merupakan
orang pertama yang berpendapat bahwa syari’at merupakan nash yang zhahir
(nyata). Oleh sebab itu, alirannya disebut madzhab al-Zhahiri, sebuah sebutan
yang selalu disandarkan kepada namanya. Mazhab ini pernah berkembang di
Andalusia dan mencapai puncak keemasannya di abad kelima hijriyah.
Namun di abad kedelapan, mazhab ini punah dan habis. (Wahbah al-Zuhaili,
1994).
Daud al-Zhahiri mendasarkan madzhabnya atas pengamalan zhahir
nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-
Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash
yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’
shahabat. Sedangkan bila tidak ada juga dalam ijma’, biasanya mereka
menggunakan metode istishab yaitu kaidah bahwa hukum asal sesuatu itu
mubah (boleh). Ia menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan

4
ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil
ahkam (hukum). Ia pun menolak dalil taqlid. (Yusuf al-Qaradhawi, 2007)
Berikut ini beberapa pandangannya tentang ijma’, qiyas dan taqlid.
(Abdul Aziz Dahlan, 1981), yaitu sebagai berikut:
1. Tentang Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Daud al-Zhahiri hanyalah kesepakatan
para mujtahid dari kalangan sahabat. Ijma’ seperti inilah yang dapat
dijadikan hujjah. Sesudah generasi mereka sudah tidak ada lagi ijma’.
Alasannya adalah, mengatahui pendapat yang disepakati oleh para
mujtahid di masa sahabat adalah mungkin karena mereka dikenal,
berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul guna membahas suatu
masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi
sahabat demikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia, sehingga
tidak mungkin untuk mengetahui pendapat mereka.
Pendapat di atas berbeda dengan pendapat madzhab lain yang tidak
membatasi ijma’ pada kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat,
tetapi mencakup tabi’in.
2. Tentang Qiyas
Pada dasarnya Daud al-Zhahiri menolak penggunaan qiyas dan
ra’yu. Ia berpendapat bahwa hukum yang dibentuk dengan qiyas adalah
hukum ‘aqliah (berdasarkan akal), sedangkan agama bersifat Ilahiah.
Seandainya agama adalah ‘aqliah, tentu hukum yang berlaku akan berbeda
dengan hukum yang dibawa oleh al-Qur’an dan al-sunah. Namun,
kemudian ia menerapkan qiyas. Hal ini dilatarbelakangi oleh
pengalamannya di dalam menetapkan hukum. Pengalaman itu telah
membuatnya meneliti kembali metode yang digunakan oleh ahl al-hadits
dan ahl al-ra’yi. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah serta
menolak qiyas dan ra’yu sama sekali.
Sementara itu, praktek peradilan menuntut adanya perangkat-
pembantu lainnya, seperti qiyas ketika referensi dari al-Qur’an dan sunah
tidak memadai. Meskipun begitu, menurut pendapatnya, qiyas boleh
digunakan hanya apabila nash menyatakan keharaman atau kehalalan

5
sesuatu serta menjelaskan ‘illat-nya. Namun, apabila nash tidak
menjelaskan ‘illat (alasan hukum), maka seorang mujtahid tidak berhak
untuk membuatnya sendiri, lalu melakukan qiyas dengannya. Dalam hal
ini Allah swt berfirman :

ُ‫ت َوإِلَ ْي ِه أُنِيب‬


ُ ‫اختَلَ ْفتُ ْم فِي ِه ِم ْن َش ْي ٍء فَ ُح ْك ُمهُ إِلَى هللاِ َذلِ ُك ُم هللاُ َر بِّي َعلَ ْي ِه ت ََو َّك ْل‬
ْ ‫َو َما‬
}10 : ‫{الشورى‬
Artinya: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya
(terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah
Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku
kembali.” (QS. As-syuro: 10)
Artinya, bukan kepada ra’yu dan qiyas. Adapun ia menyebut qiyas
yang digunakannya ini dengan nama dalil. Namun, dalil dalam
pandangannya termasuk dalam ruang lingkup al-istidlal al-fiqh (deduksi
dalil fiqh) yang bersandar pada nash yang jelas, bukan termasuk dalam
ruang lingkup qiyas.
Dalam deduksi dalil terdapat banyak teknik. Sebagai contoh, nash
mengemukakan dua premis tanpa mengemukakan kesimpulannya : “Setiap
yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram”
(HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud dari Ibnu Umar).
Kesimpulannya ialah bahwa setiap yang memabukkan adalah haram.
Hukum ini tidak ditemukan melalui qiyas, tetapi melalui dilalah alfaz
(indikasi lafal) atau (seperti diistilahkan oleh para ahli mantik) al-qiyas al-
idmari (qiyas yang menyembunyikan). Teknik lain adalah ta’mim al-syart
(generalisasi kata kerja syarat). Umpamanya terdapat nash dari firman
Allah swt :

َ‫ت ُسنَّةُ ْاألَ َّولِين‬ َ ‫قُلْ لِلَّ ِذينَ َكفَرُوا إِ ْن يَ ْنتَهُوا يُ ْغفَرْ لَهُ ْم َما قَ ْد َسلَفَ َوإِ ْن يَعُودُوا{ فَقَ ْد َم‬
ْ ‫ض‬
}38 : ‫{األنفال‬
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka
tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi

6
sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap)
orang-orang dahulu”. (QS. As-anfal: 38)
Nash ini turun berkenaan dengan orang-orang kafir, tetapi
hukumnya berlaku bagi setiap orang yang melakukan maksiat. Artinya,
apabila orang yang melakukan maksiat berhenti dan bertobat dari per-
buatannya, maka ia akan mendapat ampunan dari Allah swt. Generalisasi
ini datang dari zhahir-nya nash, bukan dari qiyas.
3. Tentang Taqlid
Daud az-Zahiri melarang taqlid secara mutlak. Orang yang sangat
awam pun harus berijtihad. Jika tidak mampu berijtihad, ia harus bertanya
kepada orang lain. Akan tetapi, ia baru boleh menerima pendapat orang
lain itu jika disertai dengan dalil dari al-Qur’an, atau al-sunah, atau ijma’.
Jika orang itu tidak mengemukakan dalilnya, maka ia harus bertanya
kepada orang lain lagi. (Abdul Aziz Dahlan, 1981).
Adapun hasil pemikiran fiqh-nya adalah :
a. Membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan
di dalam hadis Nabi saw, yaitu emas, perak, jelai, gandum, buah kurma,
dan garam (HR. Muslim). Menurut fuqaha’ mazhab lain, pengharaman
riba terhadap keenam jenis itu mempunyai ‘illat dan karenanya dapat
dilakukan qiyas terhadap barang lain yang mempunyai kesamaan ‘illat
dengannya. Daud az-Zhahiri menolak pendapat fuqaha’ tersebut.
Menurutnya, Rasulullah saw telah membatasi barang-barang yang dapat
ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat
jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau
dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpamanya, “janganlah kamu
menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang
dimakan secara riba.” Kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah.
Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebut kempat
jenis, maka pengharaman riba terbatas pada keempat jenis tersebut.
b. Orang yang dalam keadaan junub dan tidak mempunyai wudhu boleh
menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini mempunyai hubungan
dengan pendapatnya tentang al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah ayat 78-

7
79, Allah swt menyebutkan al-Qur’an antara lain sebagai berikut, “la
yamassuhu illa al-mutahharun” (tidak menyentuhnya kecuali hamba-
hamba yang disucikan) dan “fi kitab maknum” (pada kitab yang terpeli-
hara (Lauh Mahfuz). Menurut pendapatnya, al-Qur’an yang
digambarkan oleh Allah swt dengan firman-Nya tersebut bukanlah
makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan
dengan Zat-Nya. Sementara itu, al-Qur’an dalam arti tulisantulisannya,
yang ada pada manusia serta boleh disentuh oleh orang yang haid dan
orang yang junub adalah makhluk.

8
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarakan seluruh pemaparan di atas, maka dapatlah disimpulkan isi


dari makalah ini, yakni :
1. Daud al-Zhahiri adalah seorang mujtahid baru dengan membentuk madzhab
sendiri setelah adanya empat madzhab yang mu’tabar. Nama madzhabnya
adalah madzhab al-Zhahiri.
2. Pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri merupakan pengamalan zhahir nash al-Qur’an
dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah
dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu
masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat.
3. Daud al-Zhahiri menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil
nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam
(hukum). Ia juga menolak dalil taqlid.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2006

Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari


2009

Ahmad Rajafi, 2011. Fiqh Daud Al-Zhahiri, dalam


https://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/03/14/fiqh-daud-al-zhahiri/,
Diakses pada 16 Maret 2021

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994),

Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran


Tekstual dan Aliran Liberal, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007

10

Anda mungkin juga menyukai