Oleh:
Ahmad Zakaria
1
Iraq dan wafat di tahun 270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat
menjadi Daud al-Zhahiri. Oleh sebab itulah, melalui tulisan ini penulis ingin
mencoba untuk mengkaji secara mendalam dan sitematis tentang fiqh Daud
al-Zhahiri ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapatlah
dirumusakan masalahnya, yakni; bagaimanakah pola pemikiran fiqh yang
diterapkan oleh Daud al-Zhahiri ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
5. Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap
kias).
6. Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan
bertaklid).
7. Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).
Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi
yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun
buku “al-Fihris” menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud
al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun
semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif
al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi. Akan tetapi dari jalan
madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul
fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-
Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam
masalah ushul fiqh. (Abdul Aziz Dahlan, 1981).
4
ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil
ahkam (hukum). Ia pun menolak dalil taqlid. (Yusuf al-Qaradhawi, 2007)
Berikut ini beberapa pandangannya tentang ijma’, qiyas dan taqlid.
(Abdul Aziz Dahlan, 1981), yaitu sebagai berikut:
1. Tentang Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Daud al-Zhahiri hanyalah kesepakatan
para mujtahid dari kalangan sahabat. Ijma’ seperti inilah yang dapat
dijadikan hujjah. Sesudah generasi mereka sudah tidak ada lagi ijma’.
Alasannya adalah, mengatahui pendapat yang disepakati oleh para
mujtahid di masa sahabat adalah mungkin karena mereka dikenal,
berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul guna membahas suatu
masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi
sahabat demikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia, sehingga
tidak mungkin untuk mengetahui pendapat mereka.
Pendapat di atas berbeda dengan pendapat madzhab lain yang tidak
membatasi ijma’ pada kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat,
tetapi mencakup tabi’in.
2. Tentang Qiyas
Pada dasarnya Daud al-Zhahiri menolak penggunaan qiyas dan
ra’yu. Ia berpendapat bahwa hukum yang dibentuk dengan qiyas adalah
hukum ‘aqliah (berdasarkan akal), sedangkan agama bersifat Ilahiah.
Seandainya agama adalah ‘aqliah, tentu hukum yang berlaku akan berbeda
dengan hukum yang dibawa oleh al-Qur’an dan al-sunah. Namun,
kemudian ia menerapkan qiyas. Hal ini dilatarbelakangi oleh
pengalamannya di dalam menetapkan hukum. Pengalaman itu telah
membuatnya meneliti kembali metode yang digunakan oleh ahl al-hadits
dan ahl al-ra’yi. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah serta
menolak qiyas dan ra’yu sama sekali.
Sementara itu, praktek peradilan menuntut adanya perangkat-
pembantu lainnya, seperti qiyas ketika referensi dari al-Qur’an dan sunah
tidak memadai. Meskipun begitu, menurut pendapatnya, qiyas boleh
digunakan hanya apabila nash menyatakan keharaman atau kehalalan
5
sesuatu serta menjelaskan ‘illat-nya. Namun, apabila nash tidak
menjelaskan ‘illat (alasan hukum), maka seorang mujtahid tidak berhak
untuk membuatnya sendiri, lalu melakukan qiyas dengannya. Dalam hal
ini Allah swt berfirman :
َت ُسنَّةُ ْاألَ َّولِين َ قُلْ لِلَّ ِذينَ َكفَرُوا إِ ْن يَ ْنتَهُوا يُ ْغفَرْ لَهُ ْم َما قَ ْد َسلَفَ َوإِ ْن يَعُودُوا{ فَقَ ْد َم
ْ ض
}38 : {األنفال
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka
tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi
6
sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap)
orang-orang dahulu”. (QS. As-anfal: 38)
Nash ini turun berkenaan dengan orang-orang kafir, tetapi
hukumnya berlaku bagi setiap orang yang melakukan maksiat. Artinya,
apabila orang yang melakukan maksiat berhenti dan bertobat dari per-
buatannya, maka ia akan mendapat ampunan dari Allah swt. Generalisasi
ini datang dari zhahir-nya nash, bukan dari qiyas.
3. Tentang Taqlid
Daud az-Zahiri melarang taqlid secara mutlak. Orang yang sangat
awam pun harus berijtihad. Jika tidak mampu berijtihad, ia harus bertanya
kepada orang lain. Akan tetapi, ia baru boleh menerima pendapat orang
lain itu jika disertai dengan dalil dari al-Qur’an, atau al-sunah, atau ijma’.
Jika orang itu tidak mengemukakan dalilnya, maka ia harus bertanya
kepada orang lain lagi. (Abdul Aziz Dahlan, 1981).
Adapun hasil pemikiran fiqh-nya adalah :
a. Membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan
di dalam hadis Nabi saw, yaitu emas, perak, jelai, gandum, buah kurma,
dan garam (HR. Muslim). Menurut fuqaha’ mazhab lain, pengharaman
riba terhadap keenam jenis itu mempunyai ‘illat dan karenanya dapat
dilakukan qiyas terhadap barang lain yang mempunyai kesamaan ‘illat
dengannya. Daud az-Zhahiri menolak pendapat fuqaha’ tersebut.
Menurutnya, Rasulullah saw telah membatasi barang-barang yang dapat
ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat
jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau
dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpamanya, “janganlah kamu
menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang
dimakan secara riba.” Kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah.
Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebut kempat
jenis, maka pengharaman riba terbatas pada keempat jenis tersebut.
b. Orang yang dalam keadaan junub dan tidak mempunyai wudhu boleh
menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini mempunyai hubungan
dengan pendapatnya tentang al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah ayat 78-
7
79, Allah swt menyebutkan al-Qur’an antara lain sebagai berikut, “la
yamassuhu illa al-mutahharun” (tidak menyentuhnya kecuali hamba-
hamba yang disucikan) dan “fi kitab maknum” (pada kitab yang terpeli-
hara (Lauh Mahfuz). Menurut pendapatnya, al-Qur’an yang
digambarkan oleh Allah swt dengan firman-Nya tersebut bukanlah
makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan
dengan Zat-Nya. Sementara itu, al-Qur’an dalam arti tulisantulisannya,
yang ada pada manusia serta boleh disentuh oleh orang yang haid dan
orang yang junub adalah makhluk.
8
BAB III
KESIMPULAN
9
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2006
10