Anda di halaman 1dari 36

Berpikir, Bahasa, dan Kecerdasan (Intelegensi)

Disusun oleh :

Ade Fadyla Putri Atrianto


46120120001
Adisty Ayudhea
46120110112

Wistuning Amalia
46119110130

Universitas Mercu Buana


Fakultas Ilmu Psikologi
2020/2021
Daftar Isi

Cover ……………………………………………………………………………………I
Daftar Isi ………………………………………………………………………...............II
Kata Pengantar …………………………………………………………………………..III

I Pendahuluan …………………………………………………………………………...1
I.I Berpikir …………………………………………………………………………1
I.II Bahasa …………..……………………………………………………………...1
I.III Kecerdasan (Intelegensi) ….…………………………………………………..2

II Pembahasan ……………………………………………………………………………2
II.I Berpikir …………………………………………………………………………3
II.I.A Konsep Berpikir ……………………………………………………….3
II.I.B Penyelesaian masalah (Problem Solving) ……………………………...4
II.I.C Penalaran dan Pengambilan Keputusan ………………………………..5
II.I.D Berpikir Kritis dan Kreatif ……………………………………………..6
II.II Bahasa ………………………………………………………………………….7
II.II.A Ikatan Dasar Bahasa …………………………………………………..8
II.II.B Bahasa dan Kognisi …………………………………………………..9
II.II.C Pengaruh Biologis dan Lingkungan pada Bahasa ……………………11
II.II.D Pengembangan Bahasa Selama Masa Hidup ………………………...14
II.III Kecerdasan (Intelegensi) ……………………………………………………..17
II.III.A Aspek kemampuan intelegensi ………………………………………18
II.III.B Macam- Macam Kecerdasan Manusia ………………………………18
II.III.C Macam-Macam Multiple Intelegensi ………………………………..24
II.III.D Kecerdasan Disabilitas…………………………………………….....28

Daftar Pustaka …………………………………………………………….………………33

I
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Berpikir, Bahasa, dan Kecerdasan
(Intelegensi) ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Dearly
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Perilaku dan Proses Mental. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dearly selaku dosen pengampu pada mata kuliah
Perilaku dan Proses Mental yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 20 Maret 2021

II
I

PENDAHULUAN

I.I Berpikir

Manusia dan binatang sama–sama menikmati fungsi dari panca indera. Namun,
manusia berbeda dari binatang karena manusia memiliki akal budi yang di anugerahkan
Allah dan kemampuan berpikir memungkinkan untuk mengadakan tinjauan dan pembahasan
terhadap berbagai hal dan peristiwa dari hal-hal umum dari bagian-bagian, dan
menyimpulkan berbagai kesimpulan dari premis-premis. Meskipun manusia bukanlah satu-
satunya makhluk yang berfikir, tetapi tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk
pemikir (hanyawanun natiq).
Berpikir pada manusia sangat banyak macam-macamnya, bahkan dalam memecahkan
masalah di butuhkan kinerja dari berpikir dan otak sebagai medianya. Namun, setiap
mahkluk hidup belum tentu bisa berfikir semuanya, tergantung apakah mahkluk hidup itu
memiliki atau tidaknya akal di dalam dirinya. Jadi dapat di simpulkan bahwa binatang itu
tidak bisa berpikir karena binatang tidak memiliki akal sehat.
Banyak macam-macam dari berpikir itu sendiri, seperti berpikir Deduktif, Induktif,
Evaluatif, Analogi, bahkan Problem solving termasuk dalam kegiatan berfikir pada manusia
sendiri.

I.II Bahasa

Bahasa (language) dalam pengertian dasarnya adalah sebagai bentuk komunikasi baik
itu lisan, tertulis, maupun menggunakan isyarat yang di dasarkan pada sebuah sistem symbol.
Kita memerlukan bahasa untuk berbicara dengan orang lain, mendengarkan orang lain,
membaca, dan menulis (Hoff & Shatzs, 2007). Bahasa juga bisa dikatakan sebagai pengatar
ilmu, tanpa suatu bahasa ilmu tidak akan bisa di tersampaikan dengan sempurna. Bahasa

1
sudah di perkenalkan kepada anak sejak ia terlahir di dunia yang di ajarkan oleh orang tuanya
sendiri.
Bahasa bukan hanya menggunakan bahasa verbal, bisa saja bahasa non-verbal seperti
bahasa isyarat. Dan sebagai sebuah sistem symbol yang amat kaya, bahasa mampu
mengekspresikan sebagian beaar pikiran, dan bahasa mampu untuk menjadi media
penyampaian pikiran kita kepada orang lain.

I.III Kecerdasan (Intelegensi)

Intelegensi berasal dari kata latin ”intelligere” yang berarti menghubungkan atau
menyatukan satu sama lain. “… the ability to carry on abstract thingking.” (Harriman, 1958),
atau dalam bahasa Indonesia artinya “kemampuan untuk melakukan pemikiran abstrak”

Intelligence merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang
berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Intelligence atau kecerdasan merupakan suatu kemampuan
tertinggi dari jiwa mahkluk hidup yang hanya di miliki manusia. Sejak anak lahir yang di dunia
ini pasti berbeda tingkat kecerdasaan yang berbeda-beda, ada yang memiliki multiple intelegency
ada juga yang tidak memilkinya.

II

PEMBAHASAN

II.I Berpikir

Berpikir ialah suatu kegiatan mental yang melibatkan kinerja dari otak. Memikirkan
sesuatu berarti mengarahkan diri pada objek tertentu, menyadari kehadiran seraya secara aktif
menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai gagasan atau wawasan tentang objek
tersebut. Biasanya kegiatan berpikir muncul dari keraguan dan pertanyaan untuk di jawab atau
berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan.

Berpikir adalah proses mental memanipulasi informasi mental dengan membentuk


konsep, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan refleksi kritis atau kreatif (Laura A.
King, 2007).

2
II.I.A Konsep Berpikir

Salah satu aspek fundamental dari pemikiran adalah gagasan tentang konsep. Konsep
bersifat kategori mental yang digunakan untuk mengelompokkan objek, peristiwa, dan
karakteristik. Manusia memiliki kemampuan khusus untuk membuat kategori untuk membantu
kita memahami informasi di dunia (Hemmer & Steyvers, 2009; Shea, Krug, & Tobler, 2008).

Konsep penting karena empat alasan. Pertama, konsep memungkinkan kita untuk
melakukannya membentuk gagasan atau kesimpulan. Jika kami tidak memiliki konsep, setiap
objek dan peristiwa yang ada akan menjadi unik dan baru bagi kita setiap kali kita
menemukannya. Kedua, konsep memungkinkan kita untuk mengasosiasikan pengalaman dan
objek. Bola basket, hoki es, dan trek adalah olahraga. Konsep olahraga memberi kita jalan untuk
membandingkan aktivitas ini. Ketiga, konsep membantu memori dengan membuatnya lebih
efisien sehingga kita tidak perlu menciptakan roda setiap saat kami menemukan sepotong
informasi. Bayangkan jika harus memikirkan bagaimana cara duduk di kursi setiap kali kita
menemukan diri kita di depan kursi. Keempat, konsep memberikan petunjuk tentang bagaimana
bereaksi terhadap objek atau pengalaman tertentu.

Salah satu cara psikolog menjelaskan struktur konsep adalah model prototipe. Model
prototipe menekankan bahwa ketika orang mengevaluasi apakah item tertentu mencerminkan
konsep tertentu, mereka membandingkan item dengan item yang paling umum dalam kategori
tersebut dan mencari “Kemiripan keluarga” dengan properti item itu. Model prototipe
mempertahankan bahwa orang menggunakan karakteristik properti untuk membuat representasi
dari rata-rata atau anggota ideal — the prototipe — untuk setiap konsep. Membandingkan kasus
individu dengan mental kita, prototipe mungkin merupakan cara yang baik untuk memutuskan
dengan cepat apakah sesuatu cocok kategori tertentu.

II.I.B Penyelesaian masalah (Problem Solving)

Konsep memberi tahu kita apa yang kita pikirkan tetapi bukan mengapa kita berpikir
(Patalano, Wengrovitz, & Sharpes, 2009). Mengapa kita repot-repot terlibat dalam usaha
berpikir? Pemecahan masalah berarti menemukan cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan
ketika tujuan tersebut tidak tersedia. Pemecahan masalah memerlukan beberapa langkah dan
mengatasi hambatan mental.

Langkah-langkah dalam pemecahan masalah

3
Penelitian psikologi menunjuk pada empat langkah dalam proses pemecahan masalah.

1. Menemukan dan Membingkai Masalah

Mengenali masalah adalah langkah pertama menuju solusi (Mayer, 2000). Menemukan
dan membingkai masalah melibatkan mengajukan pertanyaan dalam cara kreatif dan "melihat"
apa yang tidak dilakukan orang lain. Gerakan psikologi positif dimulai, misalnya, karena
beberapa psikolog memperhatikan kurangnya penelitian tentang kekuatan manusia (Seligman,
2000).

Kemampuan untuk mengenali dan membingkai suatu masalah sulit dipelajari. Selain itu,
banyak masalah yang tidak jelas dan tidak memiliki solusi yang jelas (Schunk, 2011). Para
visioner yang mengembangkan banyak penemuan yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari,
seperti komputer, telepon, dan bola lampu.

2. Kembangkan Strategi Pemecahan Masalah yang Baik

Begitu kita menemukan masalah dan Jika didefinisikan dengan jelas, kita perlu
mengembangkan strategi untuk mengatasinya. Di antara strategi yang efektif adalah membuat
tujuan-tujuan yang lebih kecil (subgoals), algoritma, dan heuristik. Subgoals adalah tujuan
menengah atau masalah menengah yang membuat kita menjadi lebih baik posisi untuk mencapai
tujuan atau solusi akhir.

Algoritma adalah strategi yang menjamin solusi dari suatu masalah. Algoritma dating
dalam berbagai bentuk, seperti rumus, instruksi, dan pengujian semua solusi yang mungkin
(Bocker, Briesemeister, & Klau, 2009; Voyvodic, Petrella, & Friedman, 2009). Kita gunakan
algoritma dalam memasak (dengan mengikuti resep) dan mengemudi (dengan mengikuti
petunjuk ke sebuah alamat). Strategi algoritmik mungkin membutuhkan waktu lama.

Heuristik adalah strategi atau pedoman jalan pintas yang menyarankan sebuah solusi
untuk masalah tetapi tidak menjamin jawaban (Cranley & others, 2009; Redondo & lainnya,
2009). Di dunia nyata, kita lebih mungkin menyelesaikan jenis masalah yang kita hadapi dengan
heuristik daripada dengan algoritma. Heuristik membantu kita mempersempit solusi yang
mungkin dan dengan cepat untuk menemukan salah satu yang berhasil.

3. Evaluasi Solusi

Begitu kita berpikir kita telah memecahkan masalah, kita tidak akan tahu seberapa efektif
solusi kita sampai kita tahu apakah itu berhasil. Ini membantu untuk mengingat kriteria yang
jelas untuk keefektifan sebuah solusi.

4. Memikirkan Ulang dan Mendefinisikan Ulang Masalah dan Solusinya dari Waktu ke Waktu
Yang Penting

4
Langkah terakhir dalam pemecahan masalah adalah memikirkan kembali dan
mendefinisikan kembali masalah secara terus menerus (Bereiter & Scardamalia, 1993).
Pemecahan masalah yang baik cenderung lebih memotivasi daripada untuk meningkatkan kinerja
masa lalu mereka dan memberikan kontribusi orisinal.

II.I.C Penalaran dan Pengambilan Keputusan

Selain membentuk konsep dan pemecahan masalah, berpikir mencakup proses mental
tingkat tinggi dari penalaran dan pengambilan keputusan. Aktivitas ini membutuhkan koneksi
yang luas diantara neuron dan kemampuan untuk menerapkan penilaian. Hasil akhir dari jenis
pemikiran ini adalah evaluasi, kesimpulan, atau keputusan.

a. Penalaran

Penalaran adalah aktivitas mental mengubah informasi untuk mencapai kesimpulan.


Penalaran terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Ini juga merupakan
keterampilan yang terkait erat dengan pemikiran kritis (Kemp & Tenenbaum, 2009). Penalaran
dapat bersifat induktif atau deduktif. Penalaran induktif melibatkan penalaran dari pengamatan
tertentu untuk membuat generalisasi (Tenenbaum, Griffiths, & Kemp, 2006). Penalaran induktif
adalah cara penting kita membentuk keyakinan tentang dunia. Misalnya, setelah menyalakan
ponsel Anda berkali-kali tanpa membuatnya meledak, Anda memiliki alasan kuat untuk percaya
bahwa ponsel tidak akan meledak saat Anda menghidupkannya lagi. Dari pengalaman Anda
sebelumnya dengan telepon, Anda membentuk keyakinan umum bahwa telepon kemungkinan
besar tidak akan menjadi benda berbahaya. Sebaliknya, penalaran deduktif adalah penalaran dari
kasus umum yang kita tahu benar untuk contoh tertentu (Demeure, Bonnefon, & Raufaste, 2009;
Reverberi & lain-lain, 2009). Dengan menggunakan penalaran deduktif, kami menarik
kesimpulan berdasarkan fakta.

b. Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan melibatkan evaluasi alternatif dan memilih di antara mereka.


Penalaran menggunakan aturan yang ditetapkan untuk menarik kesimpulan. Sebaliknya, dalam
pengambilan keputusan, aturan seperti itu tidak ditetapkan, dan kita mungkin tidak mengetahui
konsekuensi dari keputusan tersebut (Bongers & Dijksterhuis, 2009; Palomo & lain-lain, 2008).
Beberapa informasi mungkin hilang, dan kita mungkin tidak mempercayai semua informasi yang
kita miliki. Membuat keputusan berarti menimbang informasi dan sampai pada suatu kesimpulan
akan memaksimalkan hasil.

5
II.I.D Berpikir Kritis dan Kreatif

Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan adalah proses kognitif dasar yang di
gunakan beberapa kali setiap hari. Strategi tertentu mengarah pada solusi dan pilihan yang lebih
baik daripada yang lain, dan beberapa orang sangat ahli dalam latihan kognitif ini. Pada bagian
ini kami memeriksa dua keterampilan yang terkait dengan pemecahan masalah yang unggul:
berpikir kritis dan kreativitas.

a. Berpikir Kritis

Berpikir kritis berarti berpikir secara reflektif dan produktif serta mengevaluasi bukti.
Pemikir kritis memahami makna ide yang lebih dalam, mempertanyakan asumsi, dan
memutuskan sendiri apa yang akan dipercaya atau dilakukan (Campbell, Whitehead, &
Finkelstein, 2009; Vacek, 2009). Berpikir kritis membutuhkan pemeliharaan rasa kerendahan
hati tentang apa yang kita ketahui (dan apa yang tidak kita ketahui). Itu berarti termotivasi untuk
melihat masa lalu yang sudah jelas. Berpikir kritis sangat penting untuk pemecahan masalah
yang efektif. Namun, beberapa sekolah mengajar siswa untuk berpikir kritis dan untuk
mengembangkan pemahaman konsep yang mendalam (Brooks & Brooks, 2001). Sebaliknya,
terutama dalam tekanan untuk memaksimalkan nilai siswa pada tes standar, guru berkonsentrasi
untuk membuat siswa memberikan satu jawaban yang benar dengan cara yang meniru daripada
mendorong ide-ide baru (Bransford & others, 2006). Lebih jauh, banyak orang cenderung untuk
tetap berada di permukaan masalah daripada meregangkan pikiran mereka. Pengembangan dua
kebiasaan mental penting untuk berpikir kritis: perhatian dan pikiran terbuka.

Menjadi penuh perhatian dan mempertahankan pikiran terbuka mungkin lebih sulit daripada
alternatif menjalani hidup dengan pilot otomatis. Akan tetapi, berpikir kritis sangat berharga
karena memungkinkan kita membuat prediksi yang lebih baik tentang masa depan, mengevaluasi
situasi secara objektif, dan mempengaruhi perubahan yang sesuai. Dalam arti tertentu, berpikir
kritis membutuhkan keberanian. Saat kita membuka diri pada berbagai perspektif, kita berisiko
mengetahui bahwa asumsi kita mungkin salah. Ketika kita melibatkan pikiran kritis kita, kita
mungkin menemukan masalah, tetapi kita juga lebih mungkin memiliki kesempatan untuk
membuat perubahan positif.

b. Berpikir Kreatif

Selain berpikir kritis, menemukan solusi terbaik untuk suatu masalah mungkin
melibatkan pemikiran kreatif. Kata kreatif dapat diterapkan pada suatu aktivitas atau seseorang,
dan kreativitas sebagai suatu proses mungkin terbuka bahkan bagi orang yang tidak menganggap
dirinya kreatif. Ketika kita berbicara tentang kreativitas sebagai karakteristik seseorang, yang
kita maksud adalah pada kemampuan untuk berpikir tentang sesuatu dengan cara yang baru dan
tidak biasa dan untuk menemukan solusi yang tidak biasa untuk masalah.

6
Kita dapat melihat pemikiran orang kreatif dalam kerangka berpikir divergen dan
konvergen. Pemikiran divergen menghasilkan banyak solusi untuk masalah yang sama.
Pemikiran konvergen menghasilkan satu-satunya solusi terbaik untuk suatu masalah. Pemikir
kreatif melakukan kedua jenis pemikiran tersebut. Pemikiran divergen terjadi selama
brainstorming, ketika sekelompok orang secara terbuka mengeluarkan berbagai solusi yang
mungkin untuk suatu masalah, bahkan beberapa yang mungkin tampak gila. Namun, memiliki
banyak solusi yang mungkin, masih mengharuskan mereka menghasilkan solusi yang terbaik. Di
situlah pemikiran konvergen masuk.

Pemikiran konvergen berarti mengambil semua kemungkinan itu dan menemukan yang
tepat untuk pekerjaan itu. Pemikiran konvergen paling baik jika suatu masalah hanya memiliki
satu jawaban yang benar. Manusia dapat berpikir dengan berbagai cara, menganalisis masalah
atau mengikuti naluri kita, berpikir divergensi atau konvergen. Untuk mengeksplorasi peran
suasana hati kita dalam jenis pemikiran ini, lihat titik-temu. Individu yang berpikir kreatif juga
menunjukkan karakteristik sebagai berikut (Perkins, 1994):

 Fleksibilitas dan memiliki pemikiran yang menyenangkan

Pemikir kreatif fleksibel dan bermain dengan masalah. Sifat ini menimbulkan paradoks
bahwa, meskipun kreativitas membutuhkan kerja keras, pekerjaan akan lebih lancar jika
dianggap enteng. Di satu sisi, humor melumasi roda kreativitas (Goleman, Kaufman, & Ray,
1993). Saat Anda bercanda, Anda cenderung mempertimbangkan kemungkinan apa pun dan
mengabaikan sensor batin yang dapat mengutuk ide-ide Anda sebagai sesuatu yang tidak
berdasar.

 Memiliki Motivasi dari dalam

Orang kreatif sering kali dimotivasi oleh kegembiraan dalam berkarya. Mereka
cenderung kurang termotivasi oleh nilai, uang, atau umpan balik yang menyenangkan dari orang
lain. Jadi, orang-orang kreatif lebih terinspirasi secara internal daripada eksternal.

 Kesediaan untuk menghadapi risiko

Orang kreatif membuat lebih banyak kesalahan daripada rekan mereka yang kurang
imajinatif karena mereka menemukan lebih banyak ide dan lebih banyak kemungkinan. Mereka
memenangkan beberapa; mereka kehilangan beberapa. Pemikir kreatif tahu bahwa menjadi salah
bukanlah kegagalan — itu hanya berarti bahwa mereka telah menemukan bahwa satu solusi yang
mungkin tidak berhasil.

 Evaluasi pekerjaan secara objektif

Kebanyakan pemikir kreatif berusaha untuk mengevaluasi pekerjaan mereka secara


objektif. Mereka dapat menggunakan kriteria yang telah ditetapkan untuk membuat penilaian
atau mengandalkan penilaian dari orang lain yang dihormati dan dipercaya. Dengan cara ini,
7
mereka dapat menentukan apakah pemikiran kreatif selanjutnya akan meningkatkan pekerjaan
mereka.

II.II Bahasa

Bahasa adalah suatu bentuk komunikasi – baik lisan, tertulis, atau isyarat
berdasarkan sistem simbol. Kami membutuhkan bahasa untuk berbicara dengan orang lain,
mendengarkan orang lain, membaca dan menulis (Berko Gleason, 2009).
Dalam setiap bahasa pasti memiliki struktur bahasa, dan ada beberapa macam struktur
bahasa. Setiap manusia pasti memiliki generativitas tidak terbatas (infinite generativity) yaitu
kemampuan untuk menghasilkan kalimat-kalimat bermakna dalam jumlah yang tidak
berhingga.

II.II.A Ikatan Dasar Bahasa

Semua bahasa manusia memiliki generativitas yang tidak terbatas, kemampuan untuk
menghasilkan kalimat bermaksa yang tidak terbatas. Fleksibilitas yang luar biasa ini berasal dari
lima sistem aturan dasar:

 Fonologi: sistem suara bahasa. Bahasa terdiri dari suara dasar, atau fonem.
Aturan fonologis memastikan bahwa urutan pelafalan sesuai.
 Morfologi: aturan bahasa untuk pembentukan kata. Setiap kata dalam bahasa
Inggris, bahasa terdiri dari satu atau lebih morfem. Morfem adalah satuan
terkecil bahasa yang membawa makna. Beberapa kata terdiri dari morfem
tunggal. Sama seperti aturan yang mengatur fonem memastikan pasti urutan
suara terjadi, aturan yang mengatur morfem memastikan bahwa sering tertentu.
Suara terjadi dalam urutan tertentu (Liu & McBride – Chang, 2010)
 Semantik: arti kata dan kalimat dalam bahasa tertentu. Setiap kata memiliki
serangkaian fitur semantik yang unik (Kemmerer & Gonzalez-Castillo, 2010;
Pan & Uccelli, 2009). Gadis dan wanita, misalnya, memiliki banyak fitur
semantik yang sama (misalnya, keduanya menandakan manusia perempuan),
tetapi mereka berbeda secara semantik memperhatikan usia. Kata-kata memiliki
batasan semantik tentang cara penggunaannya kalimat
 Pragmatik: karakter bahasa yang berguna dan kemampuan bahasa untuk
berkomunikasi lebih berarti daripada yang dikatakan (Bryant, 2009; Scott-
Phillips, 2010). Aspek pragmatis dari bahasa memungkinkan kita menggunakan
kata-kata untuk mendapatkan hal-hal yang kita inginkan.

8
II.II.B Bahasa dan Kognisi

Bahasa adalah sistem simbol yang sangat luas yang mampu mengungkapkan sebagian
besar pemikiran; ini adalah cara untuk mengkomunikasikan sebagian besar pikiran kita satu sama
lain (Allan, 2010). Meskipun kita tidak selalu berpikir dengan kata-kata, tanpa berpikir kita akan
sangat miskin kata-kata. Hubungan antara bahasa dan pemikiran telah menjadi perhatian yang
cukup besar psikolog. Beberapa bahkan berpendapat bahwa kita tidak dapat berpikir tanpa
bahasa.

Peran Bahasa dalam Kognisi

Bahasa membantu kita berpikir, membuat kesimpulan, menangani keputusan yang sulit,
dan memecahkan masalah (Horst & lainnya, 2009). Ini juga merupakan alat untuk
merepresentasikan ide (Kovacs, 2009).

Saat ini, kebanyakan psikolog akan menerima poin-poin ini. Namun, ahli bahasa
Benjamin Whorf (1956) melangkah lebih jauh: Dia berpendapat bahwa bahasa menentukan cara
kita pikirkan, pandangan yang telah disebut hipotesis relativitas linguistik. Whorf dan miliknya
mahasiswa Edward Sapir adalah spesialis dalam bahasa asli Amerika, dan memang demikian
terpesona oleh kemungkinan bahwa orang mungkin memandang dunia secara berbeda sebagai
hasil dari berbagai bahasa yang mereka gunakan. Orang-orang Inuit di Alaska, misalnya,
memiliki selusin kata atau lebih untuk menggambarkan berbagai tekstur, warna, dan keadaan
fisik salju. Sebaliknya, bahasa Inggris memiliki kata yang relatif sedikit untuk menggambarkan
salju, dan karenanya, menurut pandangan Whorf, penutur bahasa Inggris tidak dapat melihat
berbagai jenis salju karena mereka tidak punya kata-kata untuk hal tersebut.

Klaim Whorf berani menarik banyak sarjana. Beberapa bahkan mencoba menerapkan
Whorf melihat perbedaan gender dalam persepsi warna. Diminta untuk mendeskripsikan dua
warna sweater, seorang wanita mungkin berkata, "Yang satu ungu muda dan yang lainnya
magenta," sementara seorang pria mungkin berkata, "Keduanya merah muda." Pandangan Whorf
tentang pengaruh bahasa pada perseptual. Kemampuan mungkin menunjukkan bahwa wanita
dapat melihat lebih banyak warna daripada pria hanya karena mereka memiliki kosakata warna

9
yang lebih kaya (Hepting & Solle, 1973). Namun, ternyata itu laki-laki dapat belajar untuk
membedakan di antara berbagai warna yang digunakan wanita, dan hasil ini menunjukkan bahwa
pandangan Whorf tidak cukup akurat

Memang, kritik terhadap gagasan Whorf mengatakan bahwa kata-kata hanya


mencerminkan, daripada menyebabkan, itu cara kita berpikir. Kemampuan beradaptasi dan mata
pencaharian Inuit di Alaska bergantung pada kapasitas mereka untuk mengenali berbagai kondisi
salju dan es. Seorang pemain ski atau snowboarder yang bukan Inuit mungkin juga tahu banyak
kata untuk salju, jauh lebih banyak daripada orang kebanyakan, dan orang yang tidak
mengetahui kata-kata untuk berbagai jenis salju mungkin masih diam dapat melihat perbedaan
ini. Menariknya, penelitian telah menunjukkan bahwa Whorf mungkin telah akurat untuk
informasi yang disajikan ke belahan otak kiri. Inilah, ketika warna disajikan dalam bidang visual
yang benar (dan karena itu pergi ke otak kiri), memiliki nama untuk warna meningkatkan
persepsi dan diskriminasi di antara warna-warna itu (Gilbert & lainnya, 2006)

Peran Kognisi dalam Bahasa

Bahasa dapat memengaruhi kognisi. Peneliti juga mempelajari kemungkinan itu kognisi
merupakan fondasi penting untuk bahasa (Bohannon & Bonvillian, 2009). Jika bahasa adalah
refleksi dari kognisi secara umum, kita akan berharap untuk menemukan hubungan yang erat di
antara keduanya. Kemampuan bahasa dan kemampuan intelektual umum. Secara khusus, kami
mengharapkan masalah itu dalam kognisi diparalelkan dengan masalah dalam bahasa. Kami akan
mengantisipasi, misalnya, hal itu cacat intelektual umum disertai dengan kemampuan bahasa
yang menurun. Seringkali, namun tidak selalu, individu dengan disabilitas intelektual mengalami
kemampuan bahasa yang kurang. Misalnya, individu dengan sindrom Williams, kelainan genetik
yang mempengaruhi sekitar 1 dari 20.000 kelahiran cenderung menunjukkan luar biasa
kemampuan verbal, sosial, dan musik dengan IQ dan kesulitan yang sangat rendah tugas motorik
dan angka (Marini & lainnya, 2010). Sindrom Williams menunjukkan bahwa kecacatan
intelektual tidak selalu disertai dengan kemampuan bahasa yang buruk. Singkatnya, meskipun
pikiran memengaruhi bahasa dan bahasa memengaruhi pikiran, ada semakin banyak bukti bahwa

10
bahasa dan pemikiran bukanlah bagian dari satu sistem. Sebaliknya, mereka tampaknya telah
berevolusi sebagai komponen pikiran yang terpisah namun terkait.

II.II.C Pengaruh Biologis dan Lingkungan pada Bahasa

Setiap orang yang menggunakan bahasa dengan cara tertentu “mengetahui” aturannya
dan memiliki kemampuan untuk menciptakan jumlah kata dan kalimat yang tak terhingga.

1. Pengaruh Biologis

Para ilmuwan percaya bahwa manusia memperoleh bahasa sekitar 100.000 tahun yang lalu.
Jadi, dalam waktu evolusi, bahasa adalah kemampuan manusia yang sangat mutakhir. Namun,
sejumlah ahli percaya bahwa evolusi biologis yang terjadi jauh sebelum bahasa muncul tanpa
dapat disangkal membentuk manusia menjadi makhluk linguistik (Chomsky, 1975). Otak, sistem
saraf, dan alat vokal pendahulu kita berubah selama ratusan ribu tahun. Diperlengkapi secara
fisik untuk melakukannya, Homo sapiens melampaui mendengus dan menjerit mengembangkan
pidato abstrak. Kemampuan bahasanya yang canggih memberi manusia kemampuan yang luar
biasa unggul atas hewan lain dan meningkatkan peluang mereka untuk bertahan hidup (Pinker,
1994).

Language Universals Ahli bahasa Amerika Noam Chomsky (1975) berpendapat bahwa
manusia datang ke dunia secara biologis sebelum waktunya untuk belajar bahasa pada waktu
tertentu dan dengan cara tertentu. Menurut Chomsky dan banyak pakar bahasa lainnya, bukti
terkuat untuk dasar biologis bahasa adalah fakta bahwa anak-anak di seluruh dunia dunia
mencapai tonggak bahasa pada waktu yang hampir bersamaan dan dalam urutan yang hampir
sama, meskipun terdapat variasi yang sangat besar dalam masukan bahasa yang mereka terima
dari lingkungan mereka. Untuk misalnya, di beberapa budaya, seperti beberapa suku Samoa
(Schieff elin & Ochs, 1986), orang tua meringkuk bayi mereka tetapi jarang berbicara dengan
bayi di bawah usia 1 tahun masih menguasai bahasa (Sterponi, 2010).

11
Dalam pandangan Chomsky, anak-anak tidak mungkin mempelajari seluruh aturan dan
struktur bahasa dengan hanya meniru apa yang mereka dengar. Sebaliknya, alam harus
menyediakan bagi anak-anak tata bahasa universal, prewired, dan biologis, yang memungkinkan
mereka memahami aturan dasar dari semua bahasa dan untuk menerapkan aturan ini pada pidato
yang mereka dengar. Mereka belajar bahasa tanpa kesadaran logika yang mendasarinya. Tinta
tentang itu: Istilah yang kami gunakan di atas untuk mendefinisikan karakteristik bahasa
fonologi, morfologi, semantik, dan sebagainya seterusnya, mungkin baru bagi Anda, tetapi pada
tingkat tertentu Anda telah menguasai asas-asas ini. Ini penguasaan ditunjukkan dengan
membaca buku ini, menulis makalah untuk kelas, dan berbicara dengan seorang teman. Seperti
semua manusia lainnya, Anda terlibat dalam penggunaan berbasis aturan sistem bahasa bahkan
tanpa mengetahui bahwa Anda mengetahui aturan tersebut.

Bahasa dan Otak Ada bukti kuat yang mendukung para ahli yang percaya bahasa
memiliki landasan biologis. Penelitian ilmu saraf telah menunjukkan bahwa otak berisi wilayah
tertentu yang cenderung menggunakan bahasa (Tremblay, Monetta, & Joanette, 2009).
Mengumpulkan bukti menunjukkan bahasa itu pemprosesan, seperti ucapan dan tata bahasa,
terutama terjadi di belahan kiri otak (Harpaz, Levkovitz, & Lavidor, 2009; Hornickel, Skoe, &
Kraus, 2009). Ingat pentingnya area Broca, yang berkontribusi pada produksi pidato, dan area
Wernicke, yang terlibat dalam pemahaman bahasa. Dengan menggunakan teknik pencitraan otak
seperti pemindaian PET, para peneliti telah menemukan kapan seorang bayi berusia sekitar 9
bulan, hipokampus, bagian dari otak yang menyimpan dan mengindeks berbagai jenis memori,
menjadi berfungsi penuh (Bauer, 2009). Ini juga waktu di mana bayi tampaknya mampu
mengartikan kata-kata, misalnya untuk lihat bola jika seseorang mengatakan "bola" —
menunjukkan hubungan antara bahasa, kognisi, dan perkembangan otak.

2. Pengaruh Lingkungan

Beberapa dekade yang lalu, para behavioris menentang hipotesis Chomsky dan berpendapat
bahwa bahasa mewakili tidak lebih dari rantai tanggapan yang diperoleh melalui penguatan
(Skinner, 1957). Seorang bayi kebetulan mengoceh "ma-ma", mama menghadiahi bayinya
dengan pelukan dan tersenyum, bayinya semakin sering berkata "mama". Sedikit demi sedikit,
kata para behavioris, bayi itu bahasa dibangun. Menurut ahli perilaku, bahasa adalah
keterampilan belajar yang kompleks seperti bermain piano atau menari.

12
Namun, pandangan tentang perkembangan bahasa seperti itu tidak dapat dipertahankan
mengingat kecepatannya cara anak belajar bahasa, serta kurangnya bukti bahwa lingkungan
sosial secara hati-hati memperkuat keterampilan bahasa (R. Brown, 1973). Ini tidak berarti
bahwa lingkungan memiliki tidak ada peran dalam perkembangan bahasa. Banyak pakar bahasa
berpendapat bahwa pengalaman anak, bahasa tertentu yang akan dipelajari, dan konteks tempat
pembelajaran berlangsung dapat sangat mempengaruhi penguasaan bahasa (Berko Gleason,
2009; Goldfi eld & Snow, 2009). Kasus anak-anak yang kurang terpapar bahasa memberikan
bukti untuk peran penting lingkungan dalam perkembangan bahasa.

Beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa gagasan ada "masa kritis" untuk perkembangan
bahasa, waktu khusus pada anak kehidupan (biasanya tahun-tahun prasekolah) di mana bahasa
harus berkembang atau tidak akan pernah. Karena anak-anak ini juga menderita trauma
emosional yang parah dan kemungkinan neurologis. Defisit, bagaimanapun, masalahnya masih
jauh dari jelas. Apakah kasus-kasus ini menunjukkan seperti itu atau tidak masa kritis, mereka
pasti mendukung gagasan bahwa lingkungan itu penting bagi perkembangan bahasa. Jelasnya,
kebanyakan manusia tidak belajar bahasa dalam ruang hampa sosial. Kebanyakan anak-anak
begitu bermandikan bahasa sejak usia sangat dini (Berko Gleason, 2009). Dukungan dan
keterlibatan pengasuh dan guru sangat memfasilitasi pembelajaran bahasa anak (Goldfi eld &
Salju, 2009; Pan & Uccelli, 2009). Misalnya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa ibu segera
tersenyum dan menyentuh bayi mereka yang berusia 8 bulan setelah mereka mengoceh, itu bayi
kemudian mengeluarkan suara seperti bicara yang lebih kompleks daripada saat ibu merespon
kepada bayi mereka secara acak (Goldstein, King, & West, 2003) (Gambar 8.10).

Dalam studi lain, peneliti mengamati lingkungan bahasa anak-anak dari dua latar belakang
yang berbeda: keluarga profesional berpenghasilan menengah dan kesejahteraan keluarga (Hart
& Risley, 1995; Risley & Hart, 2006). Kemudian mereka memeriksa perkembangan bahasa
anak-anak. Semua anak tumbuh normal di istilah belajar berbicara dan memperoleh aturan dasar
bahasa Inggris dan kosakata dasar. Namun, para peneliti menemukan perbedaan yang sangat
besar dalam jumlah bahasa yang digunakan anak-anak dan di tingkat perkembangan bahasa
anak-anak.

13
II.II.D Pengembangan Bahasa Selama Masa Hidup

Kebanyakan individu mengembangkan pemahaman yang jelas tentang struktur bahasa


mereka, serta kosakata yang banyak, selama masa kanak-kanak. Kebanyakan orang dewasa di
Amerika Serikat telah menguasai kosakata hampir 50.000 kata. Para peneliti sangat tertarik
dengan proses yang dilakukan aspek-aspek bahasa ini berkembang (Hollich & Huston, 2007).
Banyak penelitian yang mereka miliki memberikan pemahaman tentang tonggak perkembangan
bahasa (Gambar 8.11). Peneliti bahasa terpesona oleh kemampuan bicara bayi bahkan sebelum
anak kecil berkata - kata pertama mereka (Pan & Uccelli, 2009). Mengoceh — suara dan suku
kata yang berulang tanpa henti, seperti bababa atau dadada — dimulai pada usia sekitar 4 hingga
6 bulan dan ditentukan oleh kesiapan biologis, bukan oleh jumlah penguatan atau kemampuan
mendengar (Menn & Stoel-Gammon, 2009). Bahkan bayi tuli mengoceh untuk sementara waktu
(Lenneberg, Rebelsky, & Nichols, 1965). Mengoceh mungkin memungkinkan bayi melatih vokal
mereka kabel dan membantu mengembangkan kemampuan untuk mengartikulasikan suara yang
berbeda.

Berikut adalah tabel tentang perkembangan bahasa anak (bahasa dalam kognisi).

0 – 6 bulan Cooing
Diskriminasi suara
Mengoceh hadir selama 6 bulan
6 – 12 bulan Mengoceh berkembang hingga
mencakup suara bahasa lisan
Gestur yang di gunakan untuk
berkomunikasi tentang objek
Kata – kata pertama yang di ucapkan
10 – 13 bulan
12 – 18 bulan Memahami rata – rata 50+ kata
18 – 24 bulan Kosa kata meningkat menjadi rata –
rata 200 kata
Kombinasi dua kata
2 Tahun Kosa kata meningkat dengan cepat
Penggunaan jamak yang benar
Penggunaan bentuk lampau

14
Penggunaan beberapa preposisi
3 – 4 Tahun Panjang rata-rata ucapan meningkat
menjadi 3–4 morfem dalam sebuah
kalimat
Gunakan pertanyaan “ya” dan
“tidak”
Penggunaan negatif dan imperatif
Peningkatan kesadaran pragmatik
5 – 6 Tahun Kosa kata mencapai rata-rata sekitar
10.000 kata
Kordinasi kalimat sederhana
6 – 8 Tahun Kosa kata terus meningkat dengan
pesat
Penggunaan aturan sintaksis yang
lebih terampil
Keterampilan percakapan meningkat
9 – 11 Tahun Definisi kata termasuk sinonim
Strategi percakapan terus meningkat
11 – 14 Tahun Kosa kata meningkat dengan
penambahan kata-kata yang lebih
abstrak
Memahami bentuk tata bahasa yang
kompleks
Peningkatan pemahaman tentang
fungsi sebuah kata dalam kalimat
Memahami metafora dan satir
15 – 20 Tahun Memahami karya sastra dewasa

Penelitian Patricia Kuhl mengungkapkan bahwa jauh sebelum mereka mulai mempelajari
kata-kata, bayi dapat memilah-milah sejumlah suara yang diucapkan untuk mencari yang
memiliki makna bagi budayanya (Kuhl, 1993, 2000, 2007; Kuhl & Damasio, 2009). Kuhl
membantah bahwa sejak lahir hingga usia sekitar 6 bulan, anak-anak adalah "ahli bahasa
universal" mampu membedakan setiap suara yang membentuk berbagai macam perbedaan

15
bahasa manusia Pada usia sekitar 6 bulan, mereka sudah mulai mengkhususkan diri pada suara
ucapan (atau fonologi) dari bahasa ibu mereka.
Kata-kata pertama seorang anak, diucapkan pada usia 10 sampai 13 bulan, nama itu
penting orang (dada), hewan akrab (kucing), kendaraan (mobil), mainan (bola), makanan (susu),
tubuh bagian (mata), pakaian (topi), barang rumah tangga (jam), dan salam (selamat tinggal). Ini
adalah kata-kata pertama bayi seabad yang lalu, dan itu adalah kata-kata pertama bayi (Bloom,
2004). Pada saat anak-anak mencapai usia 18 hingga 24 bulan, mereka biasanya mengucapkan
dua kalimat. Mereka dengan cepat memahami pentingnya mengungkapkan konsep dan peran
bahasa dalam berkomunikasi dengan orang lain (Sachs, 2009). Untuk menyampaikan artinya
dalam pernyataan dua kata, anak sangat bergantung pada gerak tubuh, nada suara, dan konteks.
Meskipun kalimat dua kata ini menghilangkan banyak jenis kata, kalimat tersebut sangat efektif
dalam menyampaikan banyak pesan. Saat balita menuntut, "Anjing peliharaan!" orang tua tahu
yang dia maksud, "Bolehkah saya mengelus anjingnya?" Anak-anak yang sangat kecil belajar
bahwa bahasa adalah cara yang baik untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan,
menunjukkan bahwa mereka memahami yang lain aspek bahasa pragmatiknya.
Meskipun masa kanak-kanak adalah waktu yang penting untuk belajar bahasa, kami terus
melakukannya belajar bahasa (kata-kata baru, keterampilan baru) sepanjang hidup (Obler, 2009).
Untuk banyak tahun, diklaim bahwa jika individu tidak mempelajari bahasa kedua sebelumnya
pubertas, mereka tidak akan pernah mencapai tingkat pembelajar bahasa asli 'dalam bahasa
kedua (Johnson & Newport, 1991). Namun, penelitian terbaru menunjukkan kesimpulan yang
lebih kompleks: Periode sensitif kemungkinan bervariasi di berbagai sistem bahasa (Thomas &
Johnson, 2008). Th us, untuk pelajar bahasa kedua akhir, seperti remaja dan orang dewasa,
kosakata baru lebih mudah dipelajari daripada suara baru atau tata bahasa baru (Neville, 2006).
Misalnya, kemampuan anak-anak untuk mengucapkan kata-kata dengan aksen seperti penutur
asli dalam bahasa kedua biasanya menurun seiring bertambahnya usia, dengan penurunan tajam
yang terjadi setelah sekitar berusia 10 sampai 12 tahun.
Untuk orang dewasa, mempelajari bahasa baru membutuhkan jenis latihan kognitif
khusus. Seperti yang telah kita lihat, banyak sekali pembelajaran bahasa di masa bayi dan masa
kanak-kanak melibatkan pengenalan suara yang merupakan bagiannya dari bahasa ibu seseorang.
Proses ini juga memerlukan pembelajaran untuk mengabaikan suara yang tidak penting untuk
bahasa pertama seseorang. Misalnya, dalam bahasa Jepang, fonem / l / dan / r / tidak dibedakan
satu sama lain lainnya, sehingga bagi orang Jepang dewasa, kata singa tidak bisa dibedakan dari
nama Ryan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penguasaan baru bahasa di masa dewasa
mungkin melibatkan mengesampingkan kebiasaan yang dipelajari dan belajar mendengarkan
suara yang sebelumnya diabaikan. Memang, orang dewasa dapat belajar mendengar dan
membedakan suara yang merupakan bagian dari yang baru bahasa, dan pembelajaran ini dapat
berkontribusi pada kefasihan berbicara dan keterampilan bahasa (Evans & Iverson, 2007). Jadi,
belajar bahasa baru di masa dewasa melibatkan secara kognitif meregangkan diri kita dari asumsi
kita.

16
II.III Kecerdasan (Intelegensi)

Intelegensi merupakan kemampuan seseorang dalam memperoleh pengetahuan,


berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi.

Intelegensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang
berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Atau kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan
penyesuaian terhadap suatu situasi atau masalah kemampuan yang bersifat umum tersebut
meliputi berbagai jenis psikis seperti abstrak, berpikir mekanis, matematis, memahami,
mengingat bahasa, dan sebagainya.
Intelegensi atau kecerdasan merupakan suatu kemmpuan tertinggi dari jiwa makhluk
hidup yang hanya dimiliki oleh manusia. Intelegensi diperoleh manusia, dan sejak itulah
potensi intelegensi ini mulai berfungsi mempengaruhi tempo dan kualitas perkembangan
individu, dan manakala sudah berkembang, maka fungsinya akan semakin berarti lagi bagi
manusia yaitu akan mempengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan lingkungannya.
Kata “intelegensi” erat sekali hubungannya dengan kata “intelek”. Hal itu karna
kedua nya berasal dari kata latin yang sama, yaitu intellegere, yang berarti memahami.
Intellectus atau intelek adalah bentuk participium perpectum (pasif) dari intellegere.
Sedangkan intellegens atau inteegensi adalah bentuk participium praesens (aktif) dari kata
yang sama.
bentuk-bentuk kata ini memberikan indikasi kepada kita bahwa intelek lebih bersifat
pasif atau statis (being,potensi), sedangkan intelegensi lebih bersifat aktif (becoming,
aktualisasi). Berdasarkan pemahaman ini dapat kita simpulkan bahwa intelek adalah daya
atau potensi untuk memahami, sedangkan intelegensi adalah aktivitas atau perilaku yang
merupakan perwujudan dari daya atau potensi tersebut.
Untuk memperoleh pengertian yang lebih luas dan lebih jelas tentang intelegensi,
berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ahli.
1. Charles Sperman (1863-1945) berpendapat bahwa intelegensi merupakan kemampuan
yang tunggal. Dia menyimpulkan bahwa semua tugas dan prestasi mental hanya
menuntut dua macam kualitas saja yaitu intelegensi umum dan keterampilan individu
dalam hal tertentu, misalnya, ketika seseorang harus memecahkan soal aljabar, maka
yang dibutuhkan ialah intelegensi umum orang ini dan pemahaman akan berbagi rumus

17
dan konsep aljabar itu sendiri. Sperman juga berpendapat bahwa orang yang cerdas
mempunyai banyak sekali faktor umum tersebut.
2. Alfred Binet dikenal sebagai pelopor dalam menyusun tes intelegensi, menemukakan
pendapatnya mengenai intelegensi sebagai berikut (effendi & praja, 1993)

II.III.A Aspek kemampuan intelegensi

a. Direction, kemampuan untuk memusatkan pada suatu masalh yang harus


dipecahkan.
b. Adaptation, kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang
dihadapinya atau fleksibel dalam menghadapi masalah.
c. Critism, kemampuan untuk mengadakan mengkritik, baik terhadap masalah yang
dihadapi maupun terhadap dirinya sendiri.

II.III.B Macam- Macam Kecerdasan Manusia

1. IQ
Kecerdasan intelektual (bahasa Inggris: intelligence quotient, disingkat IQ) adalah istilah
umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan,
seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami
gagasan, menggunakan bahasa, daya tangkap, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan
kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan
alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ
merupakan usia mental yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi IQ

1. Genetik
Salah satu faktor yang paling menentukan kecerdasan seorang anak adalah keturunan
(herediter). Menurut dr. Bernard Devlin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pitsburg, AS,
faktor genetik memiliki peran sebesar 48% dalam membentuk IQ anak. Menurutnya, kualitas

18
otak janin adalah “bibit” atau “benih” yang berasal dari ayah dan ibunya, yaitu berupa gen-gen
yang terdapat pada kromosom dalam sel sperma dan sel telur. Jadi, jika kualitas sel telur dan sel
sperma bagus, bisa diharapkan kualitas dari hasil pembuahannya juga akan bagus.

2. Gizi
Jika berbicara masalah gizi, yang langsung terpikir adalah “apa yang kita makan?”.
Beberapa hasil penelitan membuktikan bahwa makanan merupakan salah satu faktor penting
yang menentukan kecerdasan anak. Perkembangan kecerdasan anak berkaitan erat dengan
pertumbuhan otak, sedangkan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan otak adalah gizi
atau nutrisi yang didapatnya. Beberapa teori menyebutkn bahwa sel-sel saraf otak manusia yang
Jumlahnya milyaran dan senyawa kimia pengaturnya (neurotransmitter)
dibangun dari zat-zat dalamm makanan.12 Guru Besar Ilmu Gizi IPB, Prof. dr. Darwin Karyadi
dalam makalahnya di Seminar “Mencegah Generasi Hilang Anak Bangsa” di Padang 2003,
mengungkapkan tentang pengaruh gizi pada masa balita. Menurutnya, kurang gizi di masa anak-
anak menyebabkan tingkat intelektual mereka menurun 10-15 poin dengan risiko tidak mampu
mengadopsi ilmu pengetahuan. Selain itu, daya pikirnya pun sangat lemah karena defisiensi atau
kekurangan berbagai mikro nutrien, seperti yodium, Fe (zat besi), dan KEP (kekurangan energi
dan protein) sebagai unsur makanan bergizi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan otak terbagi atas dua
stadium. Gizi ibu hamil yang baik pada akhir stadium pertama akan membentuk neuron-neuron
muda yang sangat banyak dan pada stadium dua dapat mempercepat pembentukan mielinisasi.12
Oleh karena itu, pemberian nutrisi pada masa puncak pertumbuhan otak (brain growth spurt)
harus dimanfaatkan sebaik-baiknnya, salah satunnya nutrien yang cukup, yang mengandung zat-
zat gizi lengkap yang harus dapat dikonsumsi setiap hari. Sebab kesempatan ini tidak akan
terulang lagi selama masa tumbuh kembang anak.
Masa janin menjadi dasar bagi kehidupan anak selanjutnya. Oleh karena itu, kecukupan
gizi ibu hamil harus diperhatikan dengan baik. Kekurangan gizi dimasa janin mengakibatkan
berkurangnya sel organ tubuh tertentu secara permanen, terutama otak. Selain itu, jika
berlangsung lama, dapat mengakibatkan kelainan-kelainan dalam proses pemecahan dan
pembelahan sel-sel, malformasi (kelainan bentuk) sistem saraf pusat, reaksi hormon, dan

19
aktivitas metabolik serta struktur organ tubuh. Hal ini secara permanen dapat mengubah
“program tumbuh dan kembang anak” setelah dilahirkan.
Masa selanjutnya setelah dilahirkan adalah masa bayi, batita, dan balita. Masa ini disebut masa
emas untuk pembentukan kualitas manusia dikemudian hari. Masa ini juga rawan gizi dan
penyakit infeksi, yang dapat merugikan pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya yanng
berkaitan dengan pertumbuhan otak.

3. Lingkungan
Menurut Devlin, berperan sebesar 52% dalam pembentukan IQ anak dibentuk oleh
lingkunngan, termasuk ketika masih dalam kandungan. Maksudnya, agar orang tua berupaya
memberi “iklim” tumbuh kembang sebaik mungkin sejak dalam kandungan agar kecerdasannya
berkembang optimal.
Hal ini masuk akal, mengingat ada begitu banyak sel saraf yag dibawa sejak lahir,
berarti ada banyak juga sel di otak yang dapat dipakai untuk menerima informasi dan
mempelajari sesuatu. Rangsang yang optimal dari lingkungan akan menambah tebal lapisan di
permukaan otak besar (corpus cerebri) dan penambahan sinaps pada setiap neuron. Hal ini
berarti akan lebih banyak informasi yag bisa diterima dan kemampuan otak anak pun akan
berkembang lebih optimal. “Rekayasa” dengan faktor lingkungan adalah yang paling aman dan
dapat diterima baik ditinjau dari segi etika. Otak manusia perlu dirangsang sebanyak mungkin
dan mulai sedini mungkin, yaitu sejak dalam kandungan sampai masa tumbuh kembang anak.
Jika tidak ada rangsangan, jaringan organ otak menjadi mengecil akibat menurunnya jaringan
fungsi otak.

Rangsangan yang diberikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masinng anak.


Namun, pada umumnya adalah pemenuhan kebutuhan berkomunikasi, penyediaan sarana atau
fasilitas, termasuk status sosial, dan ekonomi, serta dukungan keluarga berupa kasih sayang.
Rangsangan- rangsangan yang tepat diharapkan dapat memunculkan potensi atau bakat
kemampuan anak, seperti musik, matematika, melukis dan menari.

20
Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya ibu dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi status gizi anak dalam keluarga. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka
pengetahuannya akan gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah satu penyebab
gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi anak. Hal ini disebabkan
karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu yang rendah. Pendidikan formal ibu akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi pendidikan ibu, maka semakin tinggi
kemampuan untuk menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan formal terutama melalui masa
media. Hal serupa juga dikatakan oleh Rooger cit. Berg 1986 yang menyatakan bahwa makin
baik tingkat pendidikan ibu, maka baik pula keadaan gizi anaknya.

Seorang ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan anaknya. Pola pengasuhan
pada tiap ibu berbeda karena dipengaruhi oleh faktor yang mendukungnya, antara lain: latar
belakang pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah anak dan sebagainya. Banyak peneliti
berpendapat bahwa status pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap kualitas pengasuhannya.
Pendidikan ibu yang rendah masih sering ditemui, semua hal tersebut sering menyebabkan
penyimpangan terhadap keadaan tumbuh kembang dan status gizi anak terutama pada anak usia
balita.

Pekerjaan Ibu

Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya pengasuhan
yang diterapkan oleh orang tua. Studi klasik tentang hubungan orang tua dan anak yang
dilakukan oleh Diana Baumrind, merekomendasikan empat tipe pengasuhan yang dikaitkan
dengan aspek-aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak, yaitu authoritarian (otoriter),
permissive (pemanja), authoritiative (demokratis), dan negleceted (penelantar).

Ada sekian banyak alasan mengapa ibu bekerja, mulai dari memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga sampai sebagai suatu bentuk aktualisasi diri. Pro dan kontra fenomena ibu
bekerja terus berlanjut. Ada pihak yang mengatakan ibu sebaiknya di rumah agar perkembangan
anak lebih baik, tapi ada yang berpendapat bahwa dengan diam di rumah belum menjamin

21
perkembangan anak menjadi lebih baik. Seiring dengan pro kontra ini banyak bermunculan
hasil-hasil penelitian baik yang menentang maupun mendukung ibu bekerja.

2. EQ

Pengertian EQ adalah kecerdasan dalam memahami, mengenali, merasakan, mengelola,


dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
pribadi dan sosial sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

Sedangkan menurut Wikipedia, Kecerdasan emosional (bahasa Inggris: emotional


quotient, disingkat EQ) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta
mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada
perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu
pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional
(EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah
penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada
kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.

Menurut Howard Gardner (1983) terdapat lima pokok utama dari kecerdasan emosional
seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan
terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara
emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri. Pakar
kepemimpinan Zig Ziglar menggambarkan kecerdasan emosional (EQ) sebagai sikap (attitude)
yang lebih relevan dibandingkan dengan kecerdasan intellektual (IQ) yang digambarkan sebagai
kompetensi (aptitude): "It is your attitude (EQ), and not your aptitude (IQ), that will determine
your altitude (ketinggian prestasi).

3. SQ

Kecerdasan spiritual (bahasa Inggris: spiritual quotient, disingkat SQ) adalah kecerdasan
jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan

22
kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif. SQ merupakan fasilitas yang membantu
seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari SQ
ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk
penerapan nilai dan makna.

Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan kemampuan
seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu
mengambil pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai
dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri, serta pada
akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya.

SQ adalah kemampuan seseorang untuk dapat memahami arti hidup. Hal ini menyangkut
hubunganmu dengan Tuhan, Sobat Orbit.

4. AQ

AQ adalah kemampuan seseorang untuk dapat bertahan saat menghadapi segala kesulitan
dan mampu mengatasi tantangan hidup.

Paul G Stolz dalam AQ membedakan 3 tingkatan AQ dalam masyarakat :

 Tingkat Quitrers (orang yang berhenti)

Qoitrers adalah orang yang paling lemah AQ nya. Ketika ia menghadapi masalah ia langusung
berhenti dan menyerah.

 Tingkat Campers (orang yang berkemah)

Orang yang memiliki tingkay Campers memiliki AQ sedang. Ia merasa cukup dan puas dengan
apa yang dicapainya dan ia tidak ingin lebih maju.

 Tingkat Climbers (orang yang mendaki)

23
Climbers adalah orang yang ber-AQ tinggi dengan kemampuan dan kecerdasan yang tinggi
untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup.

5. CQ

Pengertian kecerdasan Creativity Quotient (CQ) adalah kemampuan untuk mengajukan


bermacam-macam pendekatan jalan pemecahan masalah.

Creativity adalah potensi seorang untuk memunculkan suatu yang merupakan penemuan baru
dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua bidang lainnya.

6. TQ

Tracendental Quotient (TQ) merupakan kecerdasan ruhaniah/ilahiyah, yang erat


kaitannya dengan kemampuan seseorang memaknai hidup dan kehidupannya dalam perspektif
agama. TQ merupakan pengembangan dari kecerdasan spiritual, yang mempunyai konsep
visioner jauh ke depan dengan pertanyaan, "Siapakah aku, darimana aku (berasal), dan mau ke
mana nanti aku (setelah mati)?"

II.III.C Macam-Macam Multiple Intelegensi

Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983) yaitu:

1. Linguistik

Kemampuan berkaitan dengan bahasa dengan menggunakan kata secara efektif, baik
lisan (bercerita, berpidato, orator atau politisi) dan tertulis (seperti wartawan, sastrawan, editor
dan penulis). Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur,
fonologi, semantik dan pragmatik. Ciri-ciri anak dengan kecerdasan linguistic yang menonjol
biasanya senang membaca, pandai bercerita, senang menulis cerita atau puisi, senang belajar
bahasa asing, mempunyai perbendaharaan kata yang baik, pandai mengeja, suka menulis surat

24
atau e-mail, senang membicarakan ide-ide dengan teman-temannya, memiliki kemampuan kuat
dalam mengingat nama atau fakta, menikmati permainan kata (utak-atik kata, kata-kata
tersembunyi, scrabble atau teka-teki silang, bolak-balik kata, plesetan atau pantun) dan senang
membaca tentang ide-ide yang menarik minatnya.

2. Matematis Logis

Kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya ahli matematika, fisikawan,


akuntan pajak, dan ahli statistik). Melakukan penalaran (misalnya, programmer, ilmuwan dan
ahli logika). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada pola hubungan logis, pernyataan dan dalil,
fungsi logis dan abstraksi lain. Seseorang dengan kecerdasan matematis logis yang tinggi
biasanya memiliki ketertarikan terhadap angka-angka, menikmati ilmu pengetahuan, mudah
mengerjakan matematika dalam benaknya, suka memecahkan misteri, senang menghitung, suka
membuat perkiraan, menerka jumlah (seperti menerka jumlah uang logam dalam sebuah wadah),
mudah mengingat angka-angka serta skor-skor, menikmati permainan yang menggunakan
strategi seperti catur atau games strategi, memperhatikan antara perbuatan dan akibatnya (yang
dikenal dengan sebab-akibat), senang menghabiskan waktu dengan mengerjakan kuis asah otak
atau teka-teki logika, senang menemukan cara kerja komputer, senang mengelola informasi
kedalam tabel atau grafik dan mereka mampu menggunakan komputer lebih dari sekedar
bermain games.

3. Spasial

Kemampuan mempersepsikan dunia spasial-visual secara akurat, misalnya pemandu,


pramuka, dan pemburu. Mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual dalam bentuk tertentu.
Misalnya dekorator interior, arsitek, dan seniman. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap
warna, garis, bentuk, ruang dan hubungan antarunsur tersebut. Seorang anak yang memiliki
kecerdasan dalam spasial biasanya lebih mengingat wajah ketimbang nama, suka
menggambarkan ide-idenya atau membuat sketsa untuk membantunya menyelesaikan masalah,
berpikir dalam bentuk gambar-gambar serta mudah melihat berbagai objek dalam benaknya, dia
juga senang membangun atau mendirikan sesuatu, senang membongkar pasang, senang
membaca atau menggambar peta, senang melihat foto-foto/gambar-gambar serta
membicarakannya, senang melihat pola-pola dunia disekelilingnya, senang mencorat-coret,

25
menggambar segala sesuatu dengan sangat detail dan realistis, mengingat hal-hal yang telah
dipelajarinya dalam bentuk gambar-gambar, belajar dengan mengamati orang-orang yang sedang
mengerjakan banyak hal, senang memecahkan teka-teki visual/gambar serta ilusi optik dan suka
membangun model-model atau segala hal dalam 3 dimensi. Anak dengan kecerdasan visual
biasanya kaya dengan khayalan sehingga cenderung kreatif dan imajinatif.

4. Kinestetis

Kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan.


Misalnya sebagai aktor, pemain pantomim, atlit atau penari. Keterampilan menggunakan tangan
untuk menciptakan atau mengubah sesuatu, misalnya pengrajin, pematung, tukang batu, ahli
mekanik. Anak yang memiliki kecerdasan dalam memahami tubuh cenderung suka bergerak dan
aktif, mudah dan cepat mempelajari keterampilan-keterampilan fisik serta suka bergerak sambil
berpikir, mereka juga senang berakting, senang meniru gerak-gerik atau ekspresi teman-
temannya, senang berolahraga atau berprestasi dalam bidang olahraga tertentu, terampil
membuat kerajinan atau membangun model-model, luwes dalam menari, senang menggunakan
gerakan-gerakan untuk membantunya mengingat berbagai hal.

5. Musikal

Kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal dengan cara mempersepsikan,


membedakan, mengubah dan mengekspresikan. Misalnya penikmat musik, kritikus musik,
komposer, dan penyanyi. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap irama, pola nada, melodi,
warna nada atau suara suatu lagu. Seorang anak yang memiliki kecerdasan dalam bermusik
biasanya senang menyanyi, senang mendengarkan musik, mampu memainkan instrumen musik,
mampu membaca not balok/angka, mudah mengingat melodi atau nada, mampu mendengar
perbedaan antara instrumen yang berbeda-beda yang dimainkan bersama-sama, suka
bersenandung/bernyanyi sambil berpikir atau mengerjakan tugas, mudah menangkap irama
dalam suara-suara disekelilingnya, senang membuat suara-suara musikal dengan tubuhnya
(bersenandung, bertepuk tangan, menjentikkan jari atau menghentakkan kaki), senang
mengarang/menulis lagu-lagu atau rap-nya sendiri dan mudah mengingat fakta-fakta dengan
mengarang lagu untuk fakta-fakta tersebut.

6. Interpersonal

26
Kemampuan mempersepsikan dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta
perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ekspresi wajah, suara, gerak-
isyarat. Jika seseorang memiliki kecerdasan dalam memahami sesama biasanya ia suka
mengamati sesama, mudah berteman, suka menawarkan bantuan ketika seseorang membutuhkan,
menikmati kegiatan-kegiatan kelompok serta percakapan yang hangat dan mengasyikkan, senang
membantu sesamanya yang sedang bertikai agar berdamai, percaya diri ketika bertemu dengan
orang baru, suka mengatur kegiatan-kegiatan bagi dirinya sendiri dan teman-temannya, mudah
menerka bagaimana perasaan sesamanya hanya dengan mengamati mereka, mengetahui
bagaimana cara membuat sesamanya bersemangat untuk bekerja sama atau bagaimana agar
mereka mau terlibat dalam hal-hal yang diminatinya, lebih suka bekerja dan belajar bersama
ketimbang sendirian, dan senang bersukarela untuk menolong sesama. Anak yang memiliki
kecerdasan interpersonal biasanya disukai teman-temannya karena ia mampu berinteraksi dengan
baik dan memiliki empati yang besar terhadap teman-temannya.

7. Intrapersonal

Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri sendiri secara akurat mencakup
kekuatan dan keterbatasan. Kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, temperamen,
keinginan, disiplin diri, memahami dan menghargai diri. Seorang anak yang memiliki kecerdasan
dalam memahami diri sendiri biasanya lebih suka bekerja sendirian daripada bersama-sama, suka
menetapkan serta meraih sasaran-sasarannya sendiri, mengetahui bagaimana perasaannya dan
mengapa demikian dan seringkali ia menghabiskan waktu hanya untuk merenungkan dalam-
dalam tentang hal-hal yang penting baginya. Anak dengan kecerdasan intrapersonal biasanya
sadar betul akan bidang yang menjadi kemahirannya dan bidang dimana dia tidak terlalu mahir.
Anak seperti ini biasanya sadar betul akan siapa dirinya dan ia sangat senang memikirkan masa
depan dan cita-citanya di suatu hari nanti.

8. Naturalis

Keahlian mengenali dan mengkategorikan spesies, flora dan fauna di lingkungan sekitar.
Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada fenomena alam. Misalnya formasi awan dan gunung.
Seorang yang memiliki kecerdasan dalam memahami alam biasanya suka binatang, pandai
bercocok tanam dan merawat kebun di rumah atau di lingkungannya, peduli tentang alam serta

27
lingkungan. Selain itu ia juga senang berkemah atau mendaki gunung di alam bebas, senang
memperhatikan alam dimanapun dia berada, mudah beradaptasi dengan tempat dan acara yang
berbeda-beda.

9. Spiritual

Keyakinan dan mengaktualisasikan akan sesatu yang bersifat transenden atau penyadaran
akan nilai-nilai akidah-keimanan, keyakinan akan kebesaran Tuhan. Kecerdasan ini meliputi
kesadaran suara hati, internalisasi nilai, aktualisasi, dan keikhlasan. Misalnya menghayati batal
dan haram dalam agama, toleransi, sabar, tawakal, dan keyakinan akan takdir baik dan buruk.
Mengaktualisasikan hubungan dengan Tuhan berdasarkan keyakinannya.

10. Eksistensial

Keahlian pada berbagai masalah pokok kehidupan dan aspek eksistensial manusia serta
pengalaman mendalam terhadap kehidupan. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh para filsuf.

II.III.D

Kecerdasan Disabilitas

Menurut ensiklopedia kesehatan University of Rochester Medical Center, yang dimaksud


dengan disabilitas intelektual sebenarnya adalah kondisi kecerdasan di bawah rata-rata yang
disertai dengan keterbatasan fungsi kognitif dan fungsi adaptif. Itu artinya, seseorang dengan
disabilitas intelektual memiliki keterbatasan dalam area fungsi kecerdasan (yang biasa dinilai
dengan IQ) dan area perilaku adaptif atau kemampuan hidup dasar. Disabilitas intelektual
bukanlah penyakit jiwa/ mental atau yang berkaitan dengan masalah kejiwaan. Sakit jiwa/mental
berkaitan langsung dengan disintegrasi kepribadian. Setiap orang mempunyai peluang untuk
mengalami penyakit jiwa. Sementara disabilitas intelektual menyangkut kemampuan dan

28
kecerdasan mereka. Kecerdasan mereka dibawah rata rata, namun mereka tetap memiliki potensi
dan bahkan pada bidang tertentu mereka memiliki kelebihan.

Karakteristik Penyandang Disabilitas Intelektual Berdasarkan Tingkat Intelegensi / IQ

1. Karakteristik Borderline dan Mild (Ringan)

Standar IQ antara 52 – 79 meliputi:

o perkembangan fungsi fisiknya agak terlambat

o pertumbuhan (tinggi dan berat badan) dan perkembangan seksual tidak jauh berbeda
dengan individu lain yang seusia

o kurang memiliki kekuatan, kecepatan dan koordinasi; sering mengalami masalah


kesehatan

o perhatiannya kurang, sulit untuk berkonsentrasi

o mampu melakukan keterampilan menolong dan mengurus dirinya sendiri

o mampu bekerja asal mendapat pendampingan; kurang mampu untuk mengatur keuangan.

2. Karakteristik Moderate (sedang)

Standar IQ 36 – 51 meliputi:

o masih dapat dilatih membaca dan menulis yang sangat sederhana dan bersifat fungsional

o dapat dilatih mengurus dirinya sendiri dengan tetap mendapatkan pendampingan (makan,
minum, berpakaian, mandi)

o dapat dilatih beberapa keterampilan tertentu yang sederhana

o dapat dilatih menyesuaikan dengan lingkungan rumah atau sekitarnya

o kurang dapat melindungi diri, sehingga sebaiknya berada dilingkungan yang terlindung

29
o mengalami kekurangan kemampuan untuk mengingat, menggeneralisasi, bahasa,
konseptual, kreativitas, sehingga tugas yang diberikan kepada mereka harus sederhana,
singkat dan relevan

o diantaranya ada yang menampakan kelainan fisik yang merupakan kelainan bawaan
(Down Syndrome); kurang mampu mengontrol diri (hasrat seksual, dll).

3. Karakteristik Severe and Profound (berat)

Standar IQ 20 – 35 meliputi:

o tidak mampu mengurus diri sendiri

o tidak mampu bersosialisasi atau berinteraksi dengan baik

o sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus kebutuhan diri sendiri

Tipologi atau Sudut Pandang Medis

1. Down Syndrome

Penyandang disabilitas intelektual yang mempunyai ciri-ciri fisik antara lain kepala
kecil/besar, gepeng/panjang mata sipit, dahi sempit, hidung pesek, bibir tebal cenderung terbuka,
rambut lurus kejur dan tebal , sendi-sendi tulang pendek, penis dan scrotum cenderung kecil,
(buku jempol tangan cenderung pendek, ruas jari gemuk, jarak alis dekat, badan cenderung
gemuk gembyor

2. Cretinisme/stanted

Penyandang disabilitas intelektual yang mempunyai penampilan tubuh kecil dan pendek
dari ukuran orang-orang seusianya.

3. Microcephali

30
Penyandang disabilitas intelektual dengan bentuk kepala kecil dari ukuran orang-orang
seusianya.

4. Macrocephali

Penyandang disabilitas intelektual dengan bentuk kepala besar . dari ukuran orang-orang
seusianya.

5. Schapochepali

Penyandang disabilitas intelektual dengan bentuk kepala gepeng.

6. Penyandang disabilitas intelektual lain

Penyandang disabilitas intelektual yang tidak memiliki ciri fisik tertentu secara
mencolok, khususnya ditemukan pada disabilitas intelektual ringan.

Faktor-faktor Penyebab Disabilitas Intelektual

1. Faktor-faktor Sebelum dilahirkan (prenatal)

o Kurang cerdas bawaan karena keturunan. Hal ini terjadi karena perkawinan satu
kelompok orang yang ber-IQ rendah, mental retardasi, jenis ini biasanya ringan.

o Penyakit berat dan tekanan kehidupan emosional yang di-alami, saat ibunya sedang
mengandung.

o Penyakit infeksi yang pada awal pertumbuhan janin, misalnya TBC, rubella, siphilis.

o Kelainan kromoson, kelainan dalam jumlah maupun bentuknya (akan lahir mongolisme
atau down-syndrome)

o Penyinaran dengan sinar rontgent dan radiasi

o Bahan kontrasepsi dan usaha abortus

31
o Obat-obatan atau jamu tertentu yang diminum oleh ibu, terutama ibu yang sedang hamil
muda.

o Benturan/desakan kuat sewaktu janin dalam kandungan, misalnya: ibu terjatuh.

o Kerusakan sel pada zat benih (sperma, ovum)

2. Faktor-faktor Waktu Dilahirkan (natal)

o Prematur, minim berat waktu lahir, tulang tengkorak yang masih lemah sudah terluka.

o Proses kelahiran yang lama, hingga kekurangan O2 dalam waktu melahirkan.

o Proses kelahiran yang sulit dan mempergunakan alat. Kepala bayi bisa terjepit dan
terdapat tekanan yang mengakibatkan pendarahan.

3. Faktor-faktor Setelah Dilahirkan (postnatal)

o Terserang penyakit berat, seperti demam tinggi yang diikuti dengan kejang)

o Radang otak (encephalitis) dan radang selaput otak (meningitis).

o Gangguan metabolisme pertumbuhan.

o Kekurangan gizi yang berat dan lama pada masa anak- anak umur di bawah 4 tahun
sangat mempengaruhi perkembangan otak, keadaan ini dapat diperbaiki sebelum anak
berusia 6 tahun.

o Akibat gangguan jiwa yang berat yang diderita dalam masa anak-anak.

o Faktor-faktor sosial budaya (yang berhubungan dengan penyesuaian diri).

o Akibat depresi lingkungan dapat timbul karena kurangnya komunikasi verbal.

o Jatuh/benturan kepala yang mengakibatkan kerusakan otak.

32
Daftar Pustaka

Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab. 2009. Psikologi Suatu Pengantar dalam
Perspektif Islam. Jakarta: Pernada media.

Dr. Kartini Kartono.1996. Psikologi Umum. Bandung: Mandar maju.

Drs. H. Abu Ahmadi. 2003. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka cipta.

Drs. Alek Sobu M.Si. 2003. Psikologi Umum dalam Lintas Sejarah.Bandung: Pustaka setia.

Drs. Agung Sujanto. 1986. Psikologi Umum. Jakarta: Aksara baru.

Laura A. King. 2010. Psikologi Umum 2. Jakarta: Salemba Humanika.

Drs. Sumadi Suryabrata. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Fazrin, Intan., Saputro,Heri., Chusnatayaini, Arini., Ninghrum, Nila Ainu. 2017.


Mengembangkan Intelegensi Quotient pada anak prasekolah dengan stimulasi keluartga dan
pendidikan anak usia dini. Ponorogo. Forum Kesehatan Ilmiah (FORIKES).

Yantiek, Ermi. 2014. Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual Dan Perilaku Prososial Remaja.
Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol.3, No.01. hal 22-31

Setiawan, Adib Rifqi., Ilmiyah, Surotul. 2020. Kecerdasan Majemuk Berdasarkan Neurosains
Multiple Intelligences Based on Neuroscience.

33

Anda mungkin juga menyukai