Anda di halaman 1dari 4

TOLERANSI LINTAS AGAMA

DALAM MEMBANGUN INDONESIA YANG HARMONIS DAN BERSAHAJA

Oleh Samsul Zakaria

Kerukunan berbangsa dan bernegara terusik oleh hadirnya intoleransi dalam kehidupan
beragama. Perusakan tempat ibadah umat agama lain yang terjadi di banyak tempat
menegaskan betapa toleransi lintas agama masih menjadi barang mahal nun langka di negeri
kita tercinta, Indonesia. Terlepas apa yang menjadi motif perusakan itu, kita sepakat bahwa
tindakan tersebut seharusnya tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi kerukunan dalam
beragama. Bukankah anarkisme –apalagi menyangkut agama yang sangat sensitif– justru
menahbiskan nafsu kebinatangan yang selaiknya dibuang jauh-jauh dari benak manusia.
Sepertinya, kita perlu melirik falsafah –yang konon milik– suku Bali (la’alla ash-shawāb).
“Masjid adalah rumah kami, namun digunakan oleh saudara kami yang beragama Islam.”
Begitu sikap mereka yang juga diterapkan kepada umat beragama selain Islam. Ungkapan di
atas menggambarkan betapa kerukunan antar umat beragama benar-benar terlihat dalam
keseharian mereka. Tidak ada sikap saling mencurigai apalagi saling mengintimidasi. Justru,
yang hadir di tengah-tengah kehidupan adalah kenyamanan dalam keragaman. Inilah yang
dalam istilah psikologi disebut ‘get comfortable in paradox’. Sebuah kondisi jiwa yang
mampu merasakan ketentraman meskipun berada di tengah paradoksal kehidupan.

Berangkat dari paparan singkat di atas, dalam kesempatan ini, izinkanlah kami membawakan
pensyarahan Al-Qur’ān dengan judul: “Toleransi Lintas Agama, dalam Membangun
Indonesia yang Harmonis dan Bersahaja”, dengan landasan Al-Qur’ān Surat al-An’ām [6]
ayat 108 dan Surat al-Mumtahanah [60] ayat 8.

Hadirin rahimakumullah,

Agama adalah perihal yang substansial dalam kehidupan manusia. Sejak pertama terlahir ke
dunia, manusia sudah terikat kontrak ilahiyah untuk mengabdikan diri kepada Allāh SWT.
Inilah yang menjadikan manusia (selalu) mencari realitas kebenaran mutlak yang pada
akhirnya akan bertemu dengan Allāh SWT. Namun, dalam praktiknya tidak semua orang
“diberi hidayah” untuk memeluk Islam sebagai agama yang paling diridhai. Aneka agama
yang hadir di tengah-tengah kehidupan adalah bukti ketidaktunggalan hasil pencarian agama
masing-masing insan. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kedewasaan
sikap untuk tidak saling mencela sembahan umat agama lain. Berkaitan dengan hal ini, Allāh
SWT berfirman dalam surat al-An’ām ayat 108 yang berbunyi:

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allāh,
karena mereka nanti akan memaki Allāh dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.
Demikianlah, Kami Jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan Memberitahukan kepada mereka apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-An’ām [6]: 108)

Hadirin rahimakumullah,
Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsīr menjelaskan bahwa Allāh melarang umat Islam untuk
memaki tuhan orang-orang musyrik walaupun ada nilai kemaslahatan dalam makian tersebut.
Sebab, akan terdapat mafsadah/kerusakan yang lebih besar yaitu sikap mereka yang memaki
Tuhan orang-orang yang beriman. Dengan adanya larangan tersebut, sikap saling menghargai
antar pemeluk agama seharusnya ditampilkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Banyak perkara yang lebih besar yang sebenarnya dapat diselesaikan bersama, dengan
mengesampingkan latar belakang agama.

Tidak dapat dimungkiri bahwa Allāh memerintahkan umat Islam untuk mengambil jarak
demarkatif dengan non-muslim. Betapapun demikian, menurut al-Ustādz asy-Syahīd Sayyid
Quthb dalam kitabnya at-Tafsīr fi Zhilālil Qurān, Allāh juga mengajarkan kepada umat Islam
agar dalam mengambil jarak tersebut dilakukan dengan beradap, penuh wibawa, dan penuh
harga diri. Hal ini adalah suatu sikap yang sesuai dengan statusnya sebagai orang-orang yang
beriman. Dalam konteks ini, nilai persamaan sebagai manusia lebih dikedepankan.
Sementara, agama boleh dikesampingkan dalam hubungan sosial karena agama adalah
wilayah individual.

Toleransi lintas agama adalah syarat mutlak untuk menjalin kerukunan di tengah kehidupan
bangsa yang beraneka ragam. Pluralitas sendiri sebenarnya adalah sebuah keniscayaan yang
sengaja diciptakan oleh Allāh SWT. Dengan adanya keragaman, khususnya dalam masalah
agama, kedewasaan sikap menjadi tuntutan utama. Sebab, jika hal itu diabaikan maka akan
menimbulkan kekacauan (chaos) yang justru merusak tatanan kehidupan. Dengan hadirnya
toleransi –yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tasāmuh–, umat beragama dapat
hidup rukun berdampingan.

Hadirin rahimakumullah,

Islam adalah agama yang diturunkan kepada seluruh umat manusia. Islam menjadi rahmat
bagi semua manusia dan semesta alam. Artinya, nilai-nilai kasih sayang dalam Islam tidak
hanya diperuntukkan bagi umat Islam an sich. Lebih dari itu, Islam adalah agama yang sejak
awal bertujuan menciptakan perdamaian dunia. Sikap saling menolong (ta’āwun), apalagi
menyangkut kemaslahatan bersama, bukanlah hal mustahil untuk dilakukan. Potret kehidupan
yang rukun –antara umat Islam dan non-muslim– ketika Nabi Muhammad SAW hidup di
Madinah menjadi preseden terbaik untuk mengaplikasikan nilai kerahmatan Islam.

Islam sebenarnya membuka “keran” yang lebar bagi umatnya untuk berbuat baik kepada
umat agama lain. Betapapun agama mereka berlainan, namun mereka tetaplah makhluk
ciptaan Tuhan yang berhak atas perlakuan baik selama hidup di dunia. Justru, ketika umat
Islam bersikap “sinis” kepada mereka akan menciderai substansi Islam itu sendiri. Islam tidak
menginginkan orang memeluk agama karena faktor keterpaksaan. Bukankah sudah jelas
bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Berkaitan dengan hal ini, marilah kita simak
firman Allāh dalam surat al-Mumtahanah [60] ayat 8, yang berbunyi:

Artinya: “Allāh tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung
halamanmu. Sesungguhnya Allāh Mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-
Mumtahanah [60]: 8)
Hadirin rahimakumullah,

Dalam Tafsir al-Jalālain secara singkat diartikan bahwa dhamīr “hum” dalam ayat di atas


bermakna “al-kuffār” (orang-orang kafir).

‫ان إِلَى‬ ِ ‫س‬ ْ َ‫أ‬ :‫الَيَ ْن َها ُك ُم هللاُ َع ِن الَّ ِذيْنَ لَ ْم يُقَاتِلُ ْو ُك ْم فِي ال ِّد ْي ِن َولَ ْم يُ ْخ ِر ُج ْو ُك ْم ِمنْ ِديَا ِر ُك ْم‬
َ ‫ي اَل يَ ْن َها ُك ْم َع ِن اإْل ِ ْح‬
‫سا ِء َوالضعفَ ِة ِم ْن ُه ْم‬ َ ِّ‫ي يُ َعا ِونُ ْوا َعلَى إِ ْخ َرا ِج ُك ْم َكالن‬ ْ َ‫ا ْل َكفَ َر ِة الَّ ْذيِنَ اَل يُقَاتِلُ ْونَ ُك ْم ِفي ال ِّد ْي ِن َولَ ْم يُظَا ِه ُر ْوا أ‬
Demikian Ibnu Katsir menerangkan dalam kitabtafsirnya. Maksudnya adalah, (Allāh) tidak
melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak berniat
membunuh dalam agama dan tidak bersekongkol untuk mengusir umat Islam.Sebagai
gambarannya dapat kita cermati dalam kisah berikut. Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddīq
menceritakan bahwa ibunya –yang ketika itu masih musyrikah– berkunjung kepadanya, maka
ia pergi menemui Rasulullah bertanya: “Bolehkah saya menjalin hubungan dengan ibu
saya?” Nabi (kemudian) menjawab: “Ya! Jalinlah hubungan baik dengannya.” (HR.
Bukhari-Muslim)

Kata tabarrūhum (‫ )تَبَ ُّر ْو ُه ْم‬dalam ayat di atas, menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Mishbah, berasal dari kata “al-birr” yang artinya adalah ‘kebajikan yang luas’. Dataran yang
terhampar di persada bumi ini dinamai “bar”, karena luasnya. Dengan pemahaman tersebut,
tercermin izin (justifikasi) melakukan aneka kebajikan bagi non-muslim, selama tidak
membawa dampak buruk bagi umat Islam. Sebagai penegasan, ternyata Islam membukan
jalan untuk berbuat ihsān kepada non-muslim. Kebaikan yang dapat dilakukan sangatlah
beragam sebagaimana penjelasan semantik di atas. Dengan kebaikan yang disebarluaskan
tersebut, toleransi akan dapat pula terwujudkan.

Selanjutnya, kata tuqsithū (‫سطُ ْوا‬


ِ ‫)تُ ْق‬, berasal dari kata al-qisth, yang berarti adalah ‘adil’. Masih
merujuk goresan tinta Quraish Shihab, pakar tafsir dan hukum, Ibnu ‘Arabi sampai kepada
simpulan: “Tidak melarang kamu memberi (se)bagian dari harta kamu kepada mereka.”
Pertolongan yang boleh diberikan kepada non-muslim tidak hanya berupa bantuan moril,
tetapi dapat berbentuk materiil. Hal ini semakin membuka jalan untuk bersama-sama
berjuang mengentaskan kemiskinan bangsa. Lebih dari itu, konsepsi ini berdampak positif
terhadap kebersatuan bangsa dalam menciptakan perekonomian yang adil dan berimbang.

Hadirin rahimakumullah,

Pentingnya membangun bangsa yang harmonis dan bersahaja seharusnya menjadi kesadaran
seluruh elemen bangsa. Dimana hal ini baru dapat diwujudkan ketika seluruh elemen bangsa
dapat berjabat-erat, bersatu-padu, bergandengan-tangan, mewujudkannya dalam kehidupan
bangsa yang ber-bhinneka tunggal ika. Sekat agama yang seringkali dijadikan pembatas
ekstrim hendaknya dihindarkan untuk kebaikan bersama demi kemajuan bangsa. Dengan
demikian, Indonesia akan benar-benar menjadi bangsa yang harmonis dan bersahaja.
Harmonis adalah arti hadirnya kerukunan di tengah keberagaman. Bersahaja dalam
pengertian, berpegang teguh terhadap moralitas dan patut menjadi teladan bagi bangsa
lainnya.

Mengutip apa yang dituliskan oleh Marwan Ja’far dalam sebuah opini di Harian Republika.
“Kita perlu kembali pada prinsip umum ajaran Islam (maqāshid al-syarī’ah) tentang
eksistensi agama lain, yakni pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusian dan keabsahan de
facto  dan de jure sebagai bagian integral dari sebuah komunitas. Hubungan muslim dan
pemeluk agama lain wajib dipandang sebagai anggota yang memiliki tanggung jawab
terhadap keutuhan komunitas.” Dalam konteks ini, toleransi bukan lagi menjadi sesuatu yang
dirindukan namun sudah menjadi bagian kehidupan bangsa. Dengan demikian maka
keharmonisan dalam kehidupan beragama akan terwujudkan.

Hadirin rahimakumullah,

Simpulan yang dapat kita petik dari pensyarahan Al-Qur’ān di atas adalah sebagai
berikut. Pertama, di tengah kehidupan bangsa yang plural, toleransi menjadi pijakan utama
untuk merajut persatuan dan kesatuan. Ketika toleransi hilang dari tengah-tengah kehidupan
maka yang terjadi adalah sikap saling mencurigai yang berimbas pada ketidaknyamanan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, toleransi (tasāmuh) dalam konteks agama
Islam adalah bagian dari cara untuk membumikan nilai kerahmatan Islam kepada semesta
alam. Ketika hal ini dapat terwujudkan maka kedamaian (peace) di bumi tercinta Indonesia
akan menjadi sajian utama.

Sebagai penutup, jika toleransi lintas agama dapat terjalin, impian untuk hidup di tengah
bangsa yang harmonis dan bersahaja insyā Allāh akan segera terwujudkan. Semoga Allāh
memberikan kekuatan dan rahmat-Nya kepada kita. Āmīn ya Mujība du’āi as-sāilīn. []

Wallāhu al-muwaffiq ila aqwami ath-tharīq. Wa huwa al-hādiy ila shirāthil mustaqīm.

Anda mungkin juga menyukai