Kata Pengantar................................................................................................................i
Daftar Isi.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
1. Pendiri....................................................................................................3
C. Pandangan-Pandangan Asy’ariyah.........................................................................15
A. Kesimpulan........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
Beragam aliran teologi yang tumbuh subur memiliki historisasi yang cukup panjang,
semuanya tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai pada
para pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut.
Makalah ini akan membahas tentang aliran Asy’ariyah yang berkembang pada abad ke-4
dan ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan salah satu aliran yang muncul atas reaksi
terhadap Muktazilah sebagai paham yang memprioritaskan akal sebagai landasan dalam
beragama. Ketidaksepakatan terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah tersebut memunculkan aliran
Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang dikemukan beliau
dan para pengikutnya merupakan penengah diantara aliran-aliran yang ada pada saat itu.
Pada perkembangan selanjutnya aliran ini banyak dianut oleh mayoritas umat Islam
karena dianggap sebagai aliran Sunni yang mampu mewakili cara berpikir yang diharapkan
umat Islam di tengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran yang datang lebih dulu.
B. Rumusa Masalah
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
Rasulullah SAW bersabda:
صا َرى َ َّت الن ِ َ َوتَفَ َّرق، ًت ْاليَهُو ُد َعلَى إِحْ دَى أَوْ ثِ ْنتَ ْي ِن َو َس ْب ِعينَ فِرْ قَة َ َ ق: قَا َل، َع َْن أَبِي ه َُر ْي َرة
ِ َ ا ْفتَ َرق: ال َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم
ًث َو َسب ِْعينَ فِرْ قَة ٍ َق أُ َّمتِي َعلَى ثَال ُ َوتَ ْفت َِر، ًن َو َسب ِْعينَ فِرْ قَة4ِ َعلَى إِحْ دَى أَوْ ثِ ْنتَ ْي.
Artiya: Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Kaum Yahudi telah
terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum
Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan
ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan. ( H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Jumlah perpecahan 73 golongan itu bukanlah menurut makna hakekatnya. Tetapi yang
dimaksud ialah betapa banyak perpecahahan itu. Ada diantara ulama yang menganalisa
perpecahan itu untuk menyesuaikan dengan bunyi hadits.
Jumlah semua 72 golongan. Inilah yang dimaksud hadits tersebut diatas, dengan
semuanya ini akan masuk neraka kecuali satu yang akan selamat dari neraka yaitu Ahlu Sunnah
Wal Jama’ah. Selanjutnya Istilah Ahl Al- Sunnah wal Al- Jama’ah secara resmi dan baku dipakai
sebagai golongan umat islam yang mencakup empat Imam madzhab, yaitu Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ibnu Hanbal. Kami akan membahas satu dari 73 golongan
tersebut, yaitu aliran Asy’ariyah.
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Hasan Al-Asy`ari.
Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat
Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia
menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abu Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal
dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang
fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i,
seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah
seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata
baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah.
Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abu Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber
lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar
masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang
pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang
kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil
keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Sebab lain bahwa al-
Asy’ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat
menjawab tantangan murid. Salah satu perdebatan itu menurut al-Subki seperti yang dikutip
oleh Harun Nasution adalah:
Al-Asy’ari :Bagaimana kedudukan ke tiga orang berikut: mukmin, kafir, dan anak
kecil di akhirat?
Al-Jubba’I :Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka,
dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari :Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah itu?
Al-Jubba’I :Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya
kepada Tuha. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang srupa itu.
Al-Asy’ari :Kalau anak itu mengatakan kepada tuhan: itu bukanlah salahku. Jika sekiranya
Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti
yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’I :Allah akan menjawab a: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau
akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku
cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab,
Di sini Al-Jubba’I terpaksa diam. Jelas, kelihatannya al-Asy’ari sedang dalam keadaan
ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini.
Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari mengasingkan diri di
rumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar
rumah, pergi ke masjid, naik mimbar dan menyatakan bahwa dirinya keluar dari Mu’tazilah.Hal
itu terjadi pada tahun 300 H.
“Wahai masyarakat, barangsiapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa
yang tidak mengenalku maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah Fulan bin Fulan. Dahulu aku
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya allah tidak melihat dengan mata,
bahwasanya perbuatan-perbuatan yang jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat
mencabut dan menolak paham-paham mu’tazilah dan keluar darinya”.
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya
dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai
menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode
ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik
kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah
lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu
masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya
dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan,
kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah
yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa
takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya
beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu
sumber sekitar tiga ratus.
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah
dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia
Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-
argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab
argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau
kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik
terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di
mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia,
bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq
dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada
masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur.
Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh
para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan
mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah
Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam
yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat
berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana
yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa
yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram
termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para
shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan
lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad
khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah
(keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan
karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah"
karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi
kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan
syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan
bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para
shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di
mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka
maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan
dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat
radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika
awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah
menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-
nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits
mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab,
“Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni
bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber
bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan
paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat
dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal
untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang
ditimpakan mereka.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk
menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang
memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah.
Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida'
(bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini
adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul
A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena
jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah
menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok
ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua
perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din
dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah.
Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal
Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah
Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang
muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan
orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang
di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam
kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang
berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah
milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini
menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh
para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham
gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-
lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh
ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-
Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan
aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru
dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang
qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang
diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai
dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-
Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk
selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah
ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di
kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa
yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka
mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa
Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan
zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
3. Tentang Al-Quran
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud
dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah
wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang
Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa
yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari
kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di
atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu
sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang
yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan
kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk
menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh
para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang
diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok
(ushul) apa pun.
2. Imam-imam dalam fiqih, baik dari ahlurra’yi maupun dari ahlul hadits, yang menganut
mazhab golongan sifatiah dalam soal-soal pokok agama, mengenai zat tuhan dan sifat-sifatNya
yang azali, dan menjauhkan diri dari paham Qadariah dan Mu’tazilah, menetapkan adanya
ru’yat, (melihat tuhan dengan mata kepala), kebangkitan, pertanyaan kubur, telaga, jembatan,
syafaat dan pengampunan dosa selain syirik keadaan pahala ahli sorga dan siksa bagi ahli
neraka. Mengikuti kekhilafatan khalifah-khalifah yang empat dan memuji ulama salaf,
mengatakan wajib sholat dan shalat Jumat di belakang iamam-imam yang tidak terkena bid’ah
dan mengatakan wajibnya pengambilan hukum (istinbat) dari Quran, hadits, Ijma’. Termasuk
dalam golongan ini pengikut-pengikut Imam Malik, Syafi’I, Abu Hanifah dan Ahmadbin Hambal.
3. Mereka yang mengetahui jalan-jalan hadits dan atsar yang datang dari nabi, membedakan
antara yang benar dan yang tidak, dan mengetahui sebab-sebab kebaikan seorang dan
kelemahannya (aljarhu wat ta’dil), dengan tidak tersangkut kepada bid’at yang sesat.
5. Mereka yang mengetahui macam-macam qiraat Quran dan tafsir ayat-ayatnya serta
pena’wilan yang sesuai dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan ta’wilan orang-orang
bid’ah.
6. Ahli zuhud dan golongan tasawuf yang giat beramal dengan tidak banyak bicara, menepati
ketauhidan dan meniadakan tasybih, serta menyerahkan diri kepada tuhan.
7. Mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum muslimin untuk menjaga keamanan
negeri Islam dan mempertahankannya serta melahirkan mazhab ahlussunnah wal Jama’ah.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah
tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan
mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat
zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu
makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal.
Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan
seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian
hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu
memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun
siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran.
Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang
lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh
memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di
antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-
ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang
tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari
Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan
Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam
perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-
Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-
Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai
kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus
diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti
apa pus, seperti dikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang
beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung
kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke
mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah
Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat
Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang
Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi
tokohnya antara lain:
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran
mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang
dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 260 H/875 M. ayahnya wafat ketika ia masih kecil
dan ibunya menikah lagi dengan tokoh Muktazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai.
Berkat didikan ayah tirinya Al-asy’ari kemudian menjadi tokoh muktazilah.Dalam beberapa
waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Muktazillah
dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist.Al-asy’ari menganut paham muktazilah hanya sampai ia
berusia 40 tahun. Setelah itu , secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid
Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham muktazilah.
Aliran Asy’ariyah istilah lain dari Ahlu Sunah Wal Al- Jama’ah merupakan salah satu dari
beberapa aliran kalam. Aliran Asy’ariyah menjadi penengah antara aliran Jabbariyyah dan
Muktazilah, Karena perbuatan manusia mempunyai kehendak dan daya. Asy’ariyah
menegaskan pula bahwa perbuatan dosa besar tidak mengkafirkan dan tidak gugur ke
islamannya. Apabila pelaku dosa meninggal dan belum sempat bertobat maka tergantung
kebijakan dari Allah. Bila mendapat syafaat Nabi SAW bisa saja mengampuni dosanya. sehingga
terbebas dari siksa Neraka atau kebalikannya mendapat siksa neraka.Tidak seperti pemahaman
Muktazilah yaitu orang yang melakukan dosa besar akan berada di dua tempat (Manzilatun
baina manzilatain).
§ Imrah Muhammad, Tayyarat, Al-fikr Al-Islami, Dar Asy’suyuq, Beirut, 1911, Hal. 163
§ Badawi Abdurahman, Mazhab Al-Islamiyyin , Dar IIm Al-Malayin,1984, Hal . Hal . 104
§ Anwar Rasihon, Ilmu Kalam, Setia Pustaka, Bandung , 2012, Hal . 121
§ Amin, Ahmad, Zhuhr al- Islam, jilid IV, Beirut: Dar al- Fikr,1969