Anda di halaman 1dari 39

UAS ULUMUL HADIST

Nama : Adelia Ardiati


Npm : 1921030004
Kelas : Muamalah A
Matkul : Ulumul Hadist
Dosen Pengampu : Ibu Merry Triana ,M.H.I
Materi 1
Pengertian dan Bentuk-Bentuk Hadist
Pengertian Hadist

Istilah hadits pada dasarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “Al-hadits” yang
artinya adalah perkataan, percakapan atau pun berbicara. Jika diartikan dari kata
dasarnya, maka pengertian hadits  adalah setiap tulisan yang berasal dari perkataan
atau pun percakapan Rasulullah Muhammad SAW. 

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu
ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).

Dalam terminologi agama Islam sendiri, dijelaskan bahwa hadits merupakan setiap
tulisan yang melaporkan atau pun mencatat seluruh perkataan, perbuatan dan tingkah
laku Nabi Muhammad SAW.
Bentuk-Bentuk Hadist

1.Hadits qauli
Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan, atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
SAW, yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik yang
berkaitan dengan aspek aqidah, syari’at maupun akhlak.
Contoh Hadis Qauli :
        Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
ِ ‫صاَل ةَ لِ َمنْ لَ ْم يَ ْق َر ْأ بِفَاتِ َح ِة ا ْل ِكتَا‬
‫ب‬ َ ‫اَل‬
        Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-
Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)

2. Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadits
tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan perilaku para
sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.
Contoh Hadis Fi’li:
‫ث ت ََو َّج َهتْ فَإِ َذا اَ َرا َد‬ ِ ‫صلِّى َعلَى َر‬
ُ ‫احلَتِ ِه َح ْي‬ َ ُ‫سلَّ َم ي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫عَنْ َجابِ ٍر ْب ِن َع ْب ِد هللاِ قَا َل َك‬    
ُ ‫ان َر‬
َ‫ستَ ْقبَ َل ْالفِ ْبلَة‬
ْ ‫ضةَ نَ َز َل فَا‬
َ ‫ْالفَ ِر ْي‬
        “Dari Jabir berkata, bahwasanya Rasulullah pernah shalat di atas tunggangannya, kemana
saja tunggangannya itu menghadap. Apabila beliau hendak (melaksanakan shalat) fardhu, ia
turun dan menghadap ke kiblat” (HR. Bukhari-Muslim)
3. Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di
lalukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan
suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan
penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.
Contohnya:  sikap rasul Saw, yang membiarkan para sahabat dalam
menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu:
ِ َّ‫ص ْمنَا يَ ْو َم الت‬
 }‫ {رواه أبوداود‬.‫اس ْع‬ َ ‫فَإِ َذا َك‬
ُ ‫ان ا ْل َعا ُم ا ْل ُم ْقبِ ُل‬
        Janganlah seorangpun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah.
(H.R. Al-Bukhari)

4. Hadits Hammi
Hadits Hammi : hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW yang
belum direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.
Contoh Hadis Hammi :
‫سلَّ َم يَ ْو َم َعاش ُْو َرا َء َوأَ َم َرنَا‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫صا َم النَّبِ ُّي‬َ ‫س يَقُ ْو ُل ِح ْي َن‬ ٍ ‫عَنْ َع ْب ِد هللاِ ْب ِن َعبَّا‬    
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫فَقَا َل َر‬ .‫ارى‬ َ ‫ص‬َ َّ‫س ْو َل هللاِ إِنَّهُ يَ ْز ٌم تُ َعظِّ ُمهُ ا ْليَهُ ْو ُد َوالن‬
ُ ‫يَا َر‬ :‫صيَا ِم ِه قَالُ ْو‬
ِ ِ‫ب‬
‫ {رواه أبوداود‬.‫اس ْع‬ ِ َّ‫ص ْمنَا يَ ْو َم الت‬ َ ‫فَإِ َذا َك‬ :‫سلَّ َم‬
ُ ‫ان ا ْل َعا ُم ا ْل ُم ْقبِ ُل‬ َ ‫َو‬
Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Ketika Nabi Saw. Berpuasa      
pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa,
mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan
oleh Yahudi dan Nasrani’. Rasul Saw. Kemudian bersabda, ‘Tahun yang
akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.”
.(H.R. Abu Dawud)
5. Hadits Ahwali
Hadits ahwali: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk
ke dalam kategori keempat bentuk hadits diatas.
Contoh Hadits Ahwali
  }‫ {متفق عليه‬.‫س ُخلُقًا‬ َ ‫سلَّ َم أَ ْح‬
ِ ‫س َن النَّا‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫ َك‬              
ُ ‫ان َر‬
Rasulullah Saw, adalah orang yang paling mulia akhlaknya. (Mutafaq’alaih)

‫س بِالطَّ ِو ْي ِل ا ْلبَا ِئ ِن‬ َ ‫س َو ْج ًها َوأَ ْح‬


َ ‫سنَهُ َخ ْلقًا لَ ْي‬ َ ‫سلَّ َم أَ ْح‬
ِ ‫س َن النَّا‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫ َك‬    
ُ ‫ان َر‬
}‫ {رواه البخاري‬.‫ص ْي ِر‬ ِ َ‫َوالَ بِا ْلق‬

        Rasulullah Saw, adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tabuh.


Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek. (H.R. Al-Bukhari).
Kesimpulan
Hadits adalah setiap tulisan yang berasal dari perkataan atau pun percakapan
Rasulullah Muhammad SAW.
Istilah hadits pada dasarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “Al-hadits” yang
artinya adalah perkataan, percakapan atau pun berbicara.
Dalam terminologi agama Islam sendiri, dijelaskan bahwa hadits merupakan setiap
tulisan yang melaporkan atau pun mencatat seluruh perkataan, perbuatan dan tingkah
laku Nabi Muhammad SAW.

Bentuk-bentuk Hasist :
1. Hadits qauli (segala bentuk perkataan, atau ucapan dari Rasulullah SAW) ,
2. Hadits fi’li (segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW),
3. Hadits taqriri (segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan oleh
para sahabatnya) ,
4. Hadits Hammi (hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW yang belum
direalisasikan),
5. Hadits ahwali (hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk ke
dalam kategori keempat bentuk hadits diatas).
https://atikanaufa.wordpress.com/2013/02/02/pengertian-dan-bentuk-bentuk-
hadits/
Materi 2
Sejarah Perkembangan Hadist

Periode 1 Periode 5

Periode 2 Periode 6

Periode 3 Periode 7

Periode 4
Periode 1
Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.

Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan


pembentukan masyarakat Islam).[4] Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda
(aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk
menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.

Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara
langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau
penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung
adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang
dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi

Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah
bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan
sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara,
mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta
mentablig¬kannya kepada orang lain.
Periode 2
Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-
Rasyidin (11 H-40 H)

Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi


dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya,
beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran
dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas.
Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada
masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan
hadis,dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya
untuk menyebarluaskan Al-Quran.

Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:


1.        Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW
yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2.        Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak
hapal lafazh asli dari Nabi SAW.
Periode 3
Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan
Tabiin

Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan


meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas. yakni ke negeri
Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini
bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
 
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam
mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib,
yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang
‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada
masa itu).

Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab
untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk
mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu
dan   menyebarkannya kepada masyarakat.
Periode 4
Perkembangan pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya,
penulisan dan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif
pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik
pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.

Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H,Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para
perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau
khawatir apabila tidak membukukan dan  mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para
perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan
dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur
Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-
Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang
terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn
Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. Di samping itu, Umar mengirimkan surat-
surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada
ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan
hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab
Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.[12] Mereka inilah ulama yang
mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah
Periode 5
Masa Men-tasbih-kan Hadis dan Penyusuran
Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij,
kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan
menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli
ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari
hadis.

Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing.
Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan
hadis.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang
dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah,
Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan  Himsh.

Para ulama pada mulanya menerima hadist dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa
mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah
terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadis,
para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman,
masa, dan  lain-lain.
b. Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan hadist
Periode 6
Abad IV hingga Tahun 656 H.

Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah
angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-
jami'.

Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang
mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiridan  pemeriksaan
sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru
negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini
dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadist yang mereka kumpulkan adalah
petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari
usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.        Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab.
2.        Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam.
3.        Mengumpukan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
4.        Mengumpulan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Atkraf.
Periode 7
656 H-Sekarang

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w.
656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji
wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab
hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-
kitab fami' yang umum.

Pada periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang


terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab
Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry,
dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat
dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami' Al-
Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir,
dan fami'ul  fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi 
Kesimpulan
Sejarah Perkembangan hadist terdapat dalam 7 periode yaitu
1. Periode pertama , pada masa Rasulullah SAW
Pada masa ini disebut masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Pada
masa ini penerimaan hadist ada yang secara langsung dan ada yang secara tidak
lansung. Secara langsung seperti saat nabi memberikan ceramah, kutbah dan lainya
yang diucapkan nabi secara langsung . Secara tidak langsung seperti mendengar dari
sahabat-sahabat lain . Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para
sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali

2.Periode kedua, pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)


Periode ini terjadi ketika Rasulullah SAW wafat , Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan
hadis.
Pada masa ini , periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih
terbatas dan belum dilakukan secara resmi,maka dari itu Umar melarang para sahabat
untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan menekankan agar para sahabat
mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.
3.Periode ketiga, pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Pada masa ini disebut masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis.
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam
mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi
Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang
menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan
pemerintah pada masa itu).

4. Periode keempat , pada Abad II dan III Hijriah


Periode ini disebut masa penulisan dan pembukuan. Maksudnya, penulisan
dan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif
pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak
ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.

5. Periode kelima ,Masa Men-tasbih-kan Hadis dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya


Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis.dalam periode ini
disambut masyarakat dengan gembira , kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan
membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu
tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.

 
 
6. Periode keenam Abad IV hingga Tahun 656 H
Pada periode ini Ulama-ulama hadis muncul pada abad ke-2 dan ke-3,
digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang
pada usaha sendiridan  pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang
tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.

7. Periode ketujuh , 656 H-Sekarang


Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-
Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al
Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-
an, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-
kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-
kitab fami' yang umum.
 
 
http://khaidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-hadits.html
Materi 3
Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadist
Sejarah Penulisan

Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan  membaca dan
menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak  bisa menulis dan
membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat
sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H)
misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang
menulis dengan bahasa arabdalam surat yang ditujukan kepada Kaisar. Sebagian orang
Yahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekkah dengan
pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang
yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan
menulis di kota Mekkah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksut bahwa orang Arab
adalah bangsa yang ummi.

Hadits atau sunnah dalam penulisannya kurang memporoleh perhatian seperti halnya
penulisan Al-Qur’an. Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidakresmi
karena tidak diperintahkan oleh Rosul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki
catatan hadits-hadits Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits yang pernah
mereka dengar dari Rosulullah SAW.
Diantara sahabat Rosulullah SAW yang mempunyai catatan-catatan hadits Rasulullah SAW
adalah Abdullah bin Amru bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.
Sebagian sahabat menyatakan keberatan terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullah.
Sejarah Pembukuan
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, dan sebagian besar masa
Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadits-hadits itu berpindah-pindah dan disampaikan
dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadits berdasarkan kekuatan
hapalannya.
Ide penghimpunan hadits nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukaan oleh Kholifah Umar
bin Khaththab (w. 23 H/644 M). namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir
bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.

Masa-masa Hadits di Bukukan


• Masa pembentukan hadits.
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad SAW  itu sendiri, ialah lebih
kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para
sahabat saja. Periode ini disebut al wahyu wa at takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum
ditulis/masih lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad
diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya(610 M – 632).
• Masa penggalian.
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW
pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring
dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong
para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
• Masa penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits baru,
seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan
aqidah dengan munculnya hadits palsu.
• Masa penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pentadwinan ( pembukuan ) dan penyusunan hadits. Usaha 
pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan
Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih  (koreksi/verifikasi ) atas hadits yang ada
maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan
hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadits.
Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti
menghimpun untuk memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad
4 H.
• Masa pembukuan hadits  ( dari abad ke-2 H – abad ke-3 H )
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada
sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama’ hadits pada pertengahan abad II H. Perintah
kewarganegaraan  mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah II Abasyiah di Baghdad,
yaitu Abu Ja’far al-Mansur yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H ).
Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang
sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu
karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu :
1.      Golongan politik : permulaan abad II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain yang
bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2.      Golongan tukang cerita : mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat ceritanya
dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3.      Golongan zindik (kafir) : mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan
kekacauan di golongan umat Islam.
kendala Pembukuan Hadits
Terdapat beberapa kendala dalam pembukuan hadits, antara lain :
1. Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu
2. Ulama’ tidak/belum memperhatikan dhoif, shahih/hasan, yang penting itu
sumbernya dari Rasulullah SAW
3. Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak
4. Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah,
yang lain tidak diurus.
           
Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat,
bergeraklah para ulama untuk membela syari’at dan memelihara agama
Islam. Mereka berusaha menyaring dan menepis hadits-hadits yang
diriwayatkannya itu. Hadits-hadits yang shahih mereka ambil dan hadits-
hadits yang diduga palsu (dho’if) mereka tinggalkan
Kesimpulan
Hadits atau sunnah dalam penulisannya kurang memporoleh perhatian seperti
halnya penulisan Al-Qur’an. Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat
secara tidakresmi karena tidak diperintahkan oleh Rosul. Diriwayatkan bahwa
beberapa sahabat memiliki catatan hadits-hadits Rasulullah SAW. Mereka
mencatat sebagian hadits yang peernah mereka dengar dari Rosulullah SAW.

Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin,
dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijriah,
hadits-hadits itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut.
Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadits berdasarkan
kekuatan hapalannya.
Masa-masa Hadits di Bukukan
• Masa pembentukan hadits
• Masa penggalian
• Masa penghimpunan
• Masa penyusunan
• Masa pembukuan hadits  ( dari abad ke-2 H – abad ke-3 H )
http://myvisioner.blogspot.com/2014/11/sejarah-penulisan-dan-pembukuan-
hadits.html
Materi 4
Struktur Hadist

SANAD

RAWI

MATAN
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/ rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-masing
orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari,
Musaddad, Yahya, Syu’bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang
mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini disebut
mudawwin atau mukharrij . Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai
dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat.

Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah:
Al-Bukhari –> Musaddad –> Yahya –> Syu’bah –> Qatadah –> Anas –> Nabi
Muhammad

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal
ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya.
Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits
nabawi.
Rawi

Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat rawi yang
ideal adalah: Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta, Tidak banyak
salahnya, Teliti, Tidak fasik, Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu),
Bukan ahli bid’ah, Kuat ingatannya (hafalannya), Tidak sering bertentangan
dengan rawi-rawi yang kuat, Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada
jamannya.

Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli hadits
yang semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadits pada masa-masa yang
berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya dinamakan
maj’hul , dan hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.
Matan

Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits
bersangkutan ialah:
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk
saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami
hadits ialah: Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi
Muhammad atau bukan,
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat
sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya
dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Kesimpulan

1. Sanad hadistSanad artinya tempat bersandar, maksudnya adalah silsilah


tersambungnya matan sebuah hadist, yaitu rangkaian orang-orang yang
menyampaikan hadist ini dari Rasulullah hingga perawi terakhirnya.

2. Matan hadistMatan artinya materi atau isi dari hadist itu, maksudnya
adalah isi / materi/ lafadz dari hadist yang dimaksud setelah selesai sanad
hadist tersebut.

3. Rawi hadistRawi  adalah orang yang meriwayatkan hadist, maka untuk


mengetahui derajat hadist ini perlu dilihat siapa saja perawinya, apakah ia
dapat dipercaya dari segi kelimuan, akhlak dan sebagainya.

https://wakidyusuf.wordpress.com/2016/04/12/struktur-hadits-dan-
klasifikasi-hadits-2/
Materi 5
Hadist Maudhu’
Pengertian Hadist
Maudhu’

Kata maudhu’ berarti sesuatu yang digugurkan (al-


BAHASA masqath), yang ditinggalkan (al-matruk), dan diada-
adakan (al-muftara). 

ISTILAH Hadis maudhu adalah pernyataan yang dibuat oleh


seseorang kemudian dinisbahkan kepada Nabi SAW.

Menurut Sohari Sahrani, hadis maudhu adalah hadis


ULAMA yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta
HADIST terhadap Nabi saw., dibuat secara sengaja atau tidak
sengaja.
Sebab Kemunculan Hadist Maudhu’

Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam.
Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, kemudian
Utsman bin ‘Affan, dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin memuncak
antara kelompok  ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di
Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang tidak bisa terelakan lagi. Namun
lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin
menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an
dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang
mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an
dan al- Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-
hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk
mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara timbulnya hadits palsu
dikalangan umat islam.
Inilah awal sejarah timbulnya hadits palsu dikalangan umat islam.
Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu sebagai berikut:
1. Pertentangan politik Pertentangan politik ini terjadi karena adanya perpecahan antara
golongan yang satu dengan golongan yang lainnya, dan mereka saling membela
golongan yang mereka ikuti serta mencela golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi
pada polemik pertentangan kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah
sehingga terbentuk golongan syi’ah, khawariz, dll.
2.  Usaha kaum Zindiq Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik
sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin
dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an,
sehingga menggunakan cara yang paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan
pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam. Salah satu
diantara mereka adalah Muhammad bin Sa’id al-Syami, yang dihukum mati dan disalib
karena kezindiqannya. Ia meriwayatkan hadits dari Humaid dari Anas secara marfu’ :
‹‹‫ب‹‹ع‹ديإ‹ ّ‹الأ‹ني‹‹شاءهللا‬
ْ ‫‹بي‬
ّ ‹‫“ أ‹ناخات ُم‹ ا‹‹لنبيّينال ن‬
Aku adalah nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahku,kecuali yang Allah
kehendaki.”
3. Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan Salah satu tujuan
pembuatan hadits palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta serta ingin
menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya.
4. Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat Kelompok yang melakukan
pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga
mereka kagum melihat kemampuannya. Jadi pada intinya mereka membuat hadits yang
disampaikan kepada yang lainnya terlalu berlebih-lebihan dengan tujuan ingin
mendapat sanjungan
Ciri-Ciri Hadist Maudhu’

Secara garis besar ciri-ciri Hadits Maudhu’ dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Dari segi Sanad (Para Perawi Hadits)
a. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan
oleh dia, serta tidak ada satu pun perawi yang tsiqoh (terpercaya) yang juga
meriwayatkannya, sehingga riwayatnya dihukumi palsu.
b. Pengakuan dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi
Maryam, bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang keutamaan al-Qur`an
juga pengakuan Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan empat
ribu hadits.
c. Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits, misalnya seorang
perawi meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia tidak pernah bertemu
dengannya atau ia lahir setelah syekh tersebut meninggal, atau ia tidak pernah masuk
ke tempat tinggal syekh. Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta
ta’ashub terhadap suatu golongan.
d. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik, kemudian ia meriwayatkan sebuah hadits
yang mencela para sahabat atau mengagungkan ahlul bait.
2. Dari segi Matan (Isi Hadits)
a. Tata bahasa dan struktur kalimatnya jelek, sedangkan Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam adalah seorang yang sangat fasih dalam mengungkapkan kata-kata, karena
beliau adalah seseorang yang dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala Jawami’ul
Kalim (kata pendek yang mengandung arti luas).
b. Isinya rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti, kaidah-kaidah
akhlak yang umum, atau bertentangan dengan fakta yang dapat diindera manusia.
c. Bertentangan dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti dan hadits
tersebut tidak mungkin dibawa pada makna yang benar. Makna hadits ini bertentangan
dengan kandungan ayat al-Qur’an :‫“ وال َت‹‹ ِز ُر َوا ِز َرةٌ ِو ْز َر أ‹ُ ْخ َرى‬ Dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”[13]
d. Bertentangan dengan fakta sejarah pada jaman Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam.
Seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam
menggugurkan kewajiban membayar jizyah atas orang yahudi Khoibar yang ditulis
oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz. Padahal telah
ma’ruf dalam sejarah bahwa jizyah itu belum disyaria’tkan saat peristiwa perang
Khoibar yang terjadi pada tahun ke-7 hijriyah, karena jizyah baru disyari’atkan saat
perang Tabuk pada tahun ke-9 hijriyah.
e. Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk ‘amal yang terlalu ringan atau ancaman
yang terlalu besar untuk sebuah dosa yang kecil.
Kesimpulan
Hadist Maudhu’ secara bahasa berarti sesuatu yang digugurkan (al-masqath), yang
ditinggalkan (al-matruk), dan diada-adakan (al-muftara). Secara istilah adalah
pernyataan yang dibuat oleh seseorang kemudian dinisbahkan kepada Nabi SAW.
Sedangkan menurut Ulama Hadist dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’
adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam
secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal
beliau tidak mengatakan, tidak melakukan dan tidak mentaqrirkannya.

Sebab kemunculan Hadist Maudhu’ ketika Munculnya pemalsuan hadits berawal


dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam.
motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu:
Adanya pertentangan politik ,usaha kaum zindik ( kaum yang membenci islam ),
Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, dan Mempengaruhi kaum awam

Ciri-ciri Hadist Maudhu’ terbagi menjadi 2 yaitu :


• Dari segi Sanad (Para Perawi Hadits)
• Dari segi Matan (Isi Hadits)

https://makalahnih.blogspot.com/2014/06/hadits-maudhu.html
Wasalamualaikum wr.wb

Anda mungkin juga menyukai