Anda di halaman 1dari 18

A.

Pengertian Hadits

Hadits (‫ )احلديث‬secara bahasa berarti Al-Jadiid (‫ )اجلديد‬yang artinya adalah sesuatu


yang baru; yakni kebalikan dari Al-Qadiim (‫ )الق دمي‬yang artinya sesuatu lama.
Sedangkan hadits menurut istilah para ahli hadits adalah :

ٍ‫ص‬ ِ ٍ ِ ِ ِ
‫ف‬ َ ِّ ‫ف إِىَل النَّيِب‬
ْ ‫ أ َْو َو‬،‫ أ َْو َت ْق ِريْ ٍر‬،‫ أ َْو ف ْع ٍل‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم م ْن َق ْول‬ ُ ‫َما أُضْي‬

Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
baik ucapan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.[1]

Dari definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa hadits adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan, perbuatan,
persetujuan, sifat fisik, maupun kepribadiannya.

Hingga gerak dan diamnya ketika terbangun maupun tertidur juga disebut sebagai
hadits. Maka dari itu pengertian ini juga mencakup setiap keadaan Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam menurut para ahli hadits.

B. Pengertian Sunnah

Sunnah (‫ )السنة‬secara bahasa berarti As-Siirah Al-Muttaba’ah (‫ )الس رية املتبعة‬yang berarti
jalan yang diikuti. Setiap jalan dan perjalanan yang diikuti dinamakan sunnah, baik
itu jalan yang baik maupun jalan yang buruk.

Adapun sunnah menurut istilah para ahli hadits adalah : Segala sesuatu yang
dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan, perbuatan,
persetujuan, sifat fisik, kepribadian, maupun perjalanan hidup, baik itu sebelum
diutus maupun sesudah diutus.

C. Perbedaan Antara Hadits dan Sunnah

Menurut prespektif ahli hadits, hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah kenabiannya.
 

Sedangkan sunnah pengertiannya lebih menyeluruh dan lebih umum. Karena


sunnah juga mencakup perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
sebelum kenabiannya dan setelah kenabiannya.

D. Contoh Hadits

Setelah diuraikannya pengertian hadits, maka kita dapat mengetahui bahwa secara
umum hadits itu ada yang berupa perbuatan, perkataan, maupun persetujuan atau
penetapan. Agar lebih memudahkan dalam memahaminya, berikut ini contoh
ketiga jenis hadits tersebut :

1. Hadits Qouliy (Perkataan)

Adalah hadits yang berupa sabda atau ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
َ َ‫ )ق‬dalam redaksinya. Contoh :
Biasanya disebutkan lafadz qaala (‫ال‬

‫النيَّ ِة‬ ُ ‫ إِمَّنَا اأْل َْع َم‬: ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
ِّ ِ‫ال ب‬ ِ ُ ‫ قَ َال رس‬:‫اب ر ِضي اللَّه عْنه قَ َال‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ َ ُ َ َ ِ َّ‫َع ْن عُ َمَر بْ ِن اخْلَط‬

Dari Umar bin Khathab radliyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya amalan itu dengan niatnya.”[2]

2. Hadits Fi’liy (Perbuatan)

Adalah hadits yang berupa perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Biasanya
َ ‫ ) َك‬dalam redaksinya. Contoh :
disebutkan lafadz kaana (‫ان‬

ِ َ‫الص اَل َة ق‬
‫اع ًدا َر َك َع‬ َّ ‫ َوإِ َذا ا ْفتَتَ َح‬،‫الص اَل َة قَائِ ًم ا َر َك َع قَائِ ًم ا‬ ِ َ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اهلل علَي ِه وس لَّم يص لِّي قَائِم ا وق‬
َّ ‫ فَ ِإ َذا ا ْفتَتَ َح‬،‫اع ًدا‬ ُ ‫ َك ا َن َر ُس‬:‫ت‬ ِ
َ ً َ ُ َ َ َ َْ ُ َ ْ َ‫َع ْن َعائ َش ةَ قَ ال‬
ِ َ‫ق‬
‫اع ًدا‬

Dari ‘Aisyah berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sholat berdiri dan
duduk. Ketika memulai sholat dengan berdiri maka ruku’ dengan berdiri. Dan
ketika memulai sholat dengan duduk maka ruku’ dengan duduk.”[3]
 

3. Hadits Taqririy (Persetujuan)

Adalah hadits yang berupa persetujuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam


terhadap perbuatan atau perilaku sahabat beliau. Contoh :

ٍ ‫ض ِرب اأْل َي ِدي علَى‬ ٍِ


َ ُ‫ َو ُكنَّا ن‬،‫ص ِر‬
‫ص لِّي َعلَى‬ َ َ ْ ُ ْ َ‫ َك ا َن عُ َم ُر ي‬:‫ َف َق َال‬،‫ص ِر‬
ْ ‫ص اَل ة َب ْع َد الْ َع‬ ْ ‫س بْ َن َمالك َع ِن التَّطَُّو ِع َب ْع َد الْ َع‬ َ َ‫ت أَن‬ ُ ْ‫ َسأَل‬:‫ قَ َال‬،‫َع ْن خُمْتَا ِر بْ ِن ُفْل ُف ٍل‬
ِ ِ ُ ‫ أَ َك ا َن رس‬:‫ َف ُقْلت لَه‬،‫س َقب ل ص اَل ِة الْم ْغ ِر ِب‬ ِ ِ ِ
:‫ص اَّل مُهَا؟ قَ َال‬
َ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬ َ ‫ول اهلل‬ َُ ُ ُ َ َ َ ْ ِ ‫َّم‬ ْ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َر ْك َعتَنْي ِ َب ْع َد غُ ُروب الش‬ َ ِّ ‫َع ْه د النَّيِب‬
‫ َومَلْ َيْن َهنَا‬،‫صلِّي ِه َما َفلَ ْم يَأْ ُم ْرنَا‬
َ ُ‫َكا َن َيَرانَا ن‬

Dari Mukhtar bin Fulful, ia berkata : Aku bertanya pada Anas bin Malik tetang
shalat sunnah setelah asar, maka ia menjawab :

“Dahulu Umar memukul tanganku karena aku shalat setelah asar, dan dahulu di
zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kami shalat dua rakaaat setelah
terbenamnya matahari sebelum shalat maghrib.”

Lalu aku bertanya pada nya : “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
melaksanakan shalat itu?”

Anas bin Malik menjawab : “Beliau melihat kami melaksanakan shalat itu, dan
beliau tidak memerintahkan dan juga tidak melarangnya.”[4]

E. Pengertian Khabar

Khabar (‫ )اخلرب‬secara bahasa berarti An-Naba’ (‫ )النبأ‬yang berarti kabar atau berita.
Adapun secara istilah khabar ini semakna dengan hadits sehingga memiliki definisi
yang sama dengan hadits.

Namun, menurut pendapat yang lain menyatakan bahwa khabar ini lebih umum
dari pada hadits. Sehingga definisi khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan juga kepada selain beliau. Syaikh
Utsaimin mengatakan :
 

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوإِىَل َغرْيِ ِه‬


َ ِّ ‫ف إِىَل النَّيِب‬
ِ
ُ ‫اخْلََب ُر َما أُضْي‬

Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan juga disandarkan kepada selainnya.[5]

F. Pengertian Atsar

Atsar (‫ )األثر‬secara bahasa berarti Baqiyyatu Asy-Syaii’ (‫ )بقية الشيء‬yang berarti sisa dari
sesuatu, atau jejak. Adapun secara istilah, atsar adalah :

‫الص َحايِب أ َْو التَّابِعِي‬


َّ ‫ف إِىَل‬ ِ
ُ ‫َما أُضْي‬

Segala sesuatu yang disandarkan pada sahabat atau tabi’in.[6]

Adakalanya atsar juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan


kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun biasanya penyebutannya
disandarkan dengan redaksi “dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam” sehingga
penyebutannya seperti ini :

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ِّ ‫َويِف اأْل َثَ ِر َع ِن النَّيِب‬

Dalam sebuah atsar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam . . .

G. Pengertian Hadits Qudsi

Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dari Allah ta’ala. Hadits qudsi ini juga terkadang disebut dengan hadits
rabbaaniy atau hadits ilaahiy. Syaikh Utsaimin mengatakan :

 
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َع ْن َربِِّه َت َعاىَل‬ ِ ُ ‫احْل ِدي‬
َ ِّ ‫ َما َر َواهُ النَّيِب‬:‫ث الْ ُق ْدسي‬ْ َ

Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasllam dari Tuhannya ta’ala.[7]

Dengan demikian, hadits qudsi juga merupakan firman Allah ta’ala yang maknanya
disampaikan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, namun redaksi yang
disampaikan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Contoh hadits qudsi :

‫ فَ ِإ ْن ذَ َك ريِن يِف‬، ‫ َوأَنَا َم َع هُ إِذَا ذَ َك ريِن‬، ‫ أَنَا ِعْن َد ظَ ِّن َعْب ِدي يِب‬: ‫ول اللَّهُ َت َع اىَل‬
ُ ‫ َي ُق‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ
َ ُّ ‫ قَ َال النَّيِب‬:‫ قَ َال‬،ُ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْي َرةَ َرض َي اللَّهُ َعْن ه‬
َ َ
‫ َوإِ ْن ذَ َكَريِن يِف َمإَلٍ ذَ َك ْرتُهُ يِف َمإَلٍ خَرْيٍ ِمْن ُه ْم‬،‫َن ْف ِس ِه ذَ َك ْرتُهُ يِف َن ْف ِسي‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi


wasallam bersabda : Allah ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Aku di sisi persangkaan hamba-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia


mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya maka Aku mengingatnya di
dalam diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di kumpulan orang, maka Aku
mengingatnya di kumpulan orang banyak yang lebih baik dari mereka.”[8]

H. Perbedaan Hadits Nawabi, Hadits Qudsi dan Al Quran

Perbedaan hadits nabawi, hadits qudsi dan Al Quran adalah dilihat dari penisbatan
redaksi dan maknanya. Redaksi dan makna Al Quran dinisbatkan kepada Allah
ta’ala. Sedangkan hadits nabawi, redaksi dan maknanya dinisbatkan kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits qudsi, hanya maknanya saja yang
dinisbatkan kepada Allah ta’ala, bukan redaksinya.

Maka dari itu, membaca hadits qudsi tidak dinilai sebagai ibadah, tidak dapat
digunakan sebagai qiraat dalam shalat, tidak terdapat tantangan (bagi orang kafir
untuk menandinginya), dan juga tidak dinukil secara mutawatir sebagaimana Al
Quran. Sehingga hadits qudsi juga ada yang shahih, dha’if, bahkan palsu.[9]

A. Sanad
1. Pengertian

Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sebagai sandaran, dikatakan
demikian karena suatu hadis bersandar kepadanya . Sedangkan pengertian sanad menurut istilah
ilmu hadis, banyak ulama yang mengemukakannya, diantaranya ialah:

– As Suyuti dalam bukunya Tadrib ar Rawi, hal 41 , menulis:

‫ْق ْال َم َت ِن‬


ِ ‫االِ ْخ َبا ُر َعنْ َط ِري‬

“Berita tentang jalan matan”

– Mahmud at Tahhan, mengemukakan sanad adalah :

‫ِلى ْال َم ْت ِن‬


َ ‫ال ْالم ُْوصِ لَ ِة ا‬
ِ ‫سِ ْلسِ لَ ُة الرِّ َج‬

“Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai kepada matan hadis.”

Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau
dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup
persyaratan, yakni adil, taqwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan mempunyai daya ingat
yang kuat, sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber
berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih. Begitupun sebaliknya, andaikan salah seorang dalam
sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau setiap para pembawa berita dalam mata rantai
sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak bisa dijadikan
hujjah.

2. Contoh Sanad

‫ س معت رس ول هللا ص لى هللا‬: ‫حدثنا عبد هللا بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جب ير بن مطعم عن أبي ه ق ال‬
)‫ (رواه البخاري‬.‫عليه قرأ فى المغرب الطور‬

Artinya:

“memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari
Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku mendengar
Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-Bukhori)

Dari contoh hadis di atas jika diteliti, maka yang dimaksud dengan sanad adalah dimulai dari
haddatsana Abdullah bin Yusuf hingga pada lafadz ‘An biihi qaala, yang menyambungkan kepada
Rasulullah SAW. Agar lebih jelas berikut ini diterangkan dalam bentuk denah periwayatan hadits di
atas .

B. Matan
1. Pengertian

Kata matan menurut bahasa berarti ‫ م ا ارتف ع وص لب من االرض‬yang berarti tanah yang tinggi dan
keras,namun ada pula yang mengartikan kata matan dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan.
sedangkan arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli
dibidangnya, diantaranya:

– Menurut Muhammad At Tahhan

‫ما ينتهى اليه السند من الكالم‬

“suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”

– Menurut Ath Thibbi

‫الفاظ الحديث التى تتقوم بها معاني‬

“lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”

Jadi pada dasarnya sanad itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa perkataan
Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah hadis amatlah
penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau berita dari sahabat tentang
Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya,

2. Contoh matan

)‫ (رواه متفق عليه‬.‫ من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬, ‫ قال رسول هللا‬: ‫عن أم المؤمنين عا ئشة رضى هللا عنها قالت‬

“warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa
yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ”
(Hr. Bukhori dan Muslim)

Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan ‫من‬
‫ أحدث‬hingga lafadz ‫ فهو رد‬atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari contoh
hadis di atas ialah lafadz ‫“ من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬barang siapa yang mengada-ngadakan
sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’.”

C. Mukharrij

Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj
yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah
mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-
apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadis biasanya
disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal
mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam
Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.

Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut disebutkan nama
Al-Bukhari (‫ )رواه البخاري‬yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut
dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang
telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.

D. Tabaqat al-Ruwwat

Secara bahasa kata tabaqat diartikan; kaum yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut istilah
tabaqat ialah ;

‫قوم تقاربوا في السن واالسناد أوفي اال سناد‬

“Kaum yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”

Tabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi atau satu masa dan
dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja.menurut Ibnu Hajar Al-
Asaqalani, Tabaqat Al Ruwwah sejak masa sahabat sampai pada akhir periwayatan ada 12 tabaqat
yaitu sebagai berikut:

1. Sahabat dengan berbagai tingkatannya.


2. Tabi’in senior seperti Sa’id bin Al-Musayyab
3. Tabi’in pertengahan seperti Al-Hasan dan Ibnu Sirin
4. Tabi’in dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah
5. Tabi’in yunior seperti Al-A’masy
6. Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu seorang sahabat seperti Ibnu Juraij
7. Tabi’i Tabi’in senior seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri
8. Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah
9. Tabi’i Tabi’in yunior seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Asy-Syafi’i
10. Murid Tabi’i Tabi’in senior seperti Ahmad bin Hambal
11. Murid Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhori
12. Murid Tabi’i Tabi’in yunior seperti At-Tirmidzi

Di antara faedah mengetahui tabaqat al-ruwwah ini adalah menghindarkan kesamaan antara dua
nama atau beberapa nama yang sama atau hampir sama. Selain itu faedahnya juga yaitu untuk
mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadis. Sebab suatu hadis tidak dapat
ditentukan sebagai hadis muttasil atau mursal, kalau tidak mengetahui apakah tabi’in yang
meriwayatkan hadis dari seorang sahabat itu hidup segenerasi atau tidak. untuk memudahkan
pemahaman tentang tabaqat al-ruwwah berikut ini akan dipaparkan denah thabaqat al-ruwwah
menurut Al-Atsqalani:
TABAQAT AL-RUWWAH

MENURUT IBNU HAJAR AL-ATSQALANI

E. Hadis ‘Ali dan Nazil

1. Pengertian

Dari segi bahasa ‘Ali ialah bentuk isim fa’il dari kata ‫ = العلو‬sesuatu yang tinggi , antonym dari lafadz
‫ = النزول‬rendah dan turun. An-Nazil berasal dari kata An-Nuzul. Tinggi dan rendah dapat berlaku pada
suatu tempat atau pada status dan kedudukan. Sedangkan pengertian hadits ‘Ali menurut para ahli
hadis ialah;
‫ما قل عدد رواته الى الرسول صلى هللا عليه وسلم بالنسبة لسند اخر‬

“suatu hadis yang sedikit jumlah para perawinya sampai kepada Rasulallah SAW. Dibandingkan
dengan sanad lain”

Sedangkan pengertian hadis Nazil menurut ahli hadis ialah;

‫ما كثر عدد رواته الى الرسول صلى هللا عليه وسلم بالنسبة لسند اخر‬

“suatu hadis yang banyak jumlah para perawinya sampai kepada Rasulallah SAW. Dibandingkan
dengan sanad lain”

Dari pengertian diatas jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hadis ‘Ali ialah hadis yang jumlah
perawinya lebih sedikit, sedangkan yang dimaksud dengan hadis Nazil ialah hadis yang jumlah
periwayatnya lebih banyak. Misalnya sanad suatu hadis mencapai 9 orang sementara sanad hadis
lainnya hanya 7 atau 5 orang, tentu yang sanadnya hanya 7 atau 5 itu yang disebut dengan hadis ‘Ali
dan hadis yang sanadanya mencapai 9 orang yang disebut dengan hadis Nazil.

2. Macam-Macam Hadis ‘Ali

Hadis ‘Ali dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:

a. ‘Ali mutlak, yaitu hadis yang lebih dekat para perawinya dalam sanad dengan Rasulullah karena
lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan sanad lain pada hadis yang sama. ‘Ali mutlak ini yang
paling tinggi diantara macam-macam ‘Ali apabila memiliki sanad yang shahih.

b. ‘Ali Nisbi, yaitu hadis yang dekat atau sedikit jumlah perawinya dalam sanad dengan sesuatu
tertentu:

1) Dekat dengna salah seorang Imam Hadis.

2) Dekat dengan salah seorang pengarang kitab induk hadis yang dapat dipedomani. Dalam hal ini
ada beberapa macam:

a) Muwafaqah, yaitu jika melalui sanad Syaikh (guru) salah seorang penghimpun hadis kedalam kitab
hadis lebih dekat atau lebih sedikit dari pada melalui sanad penghimpun tersebut.

b) Badal, yaitu jika melalui sanad Syaikhnya Syaikh (gurunya guru) salah seorang penghimpun kitab
hadis lebih dekat atau lebih sedikit dari pada melalui sanad penghimpun tersebut.

c) Musawah, yaitu adanya persamaan jumlah isnad dari seorang perawi sampai akhir dengan isnad
salah seorang penghimpun hadis ke dalam buku hadis.

d) Mushafahah, yaitu persamaan jumlah para perawi dalam sanad dari seorang perawi sampai akhir
dengan isnad murid salah seorang penghimpun kitab hadis.Dinamakan mushafahah karena pada
umumnya kedua belah pihak antara perawi sebuah hadis dengan murid salah seorang penghimpun
hadis tersebut berjabat tangan.

3) ‘Ali karena sebagian perawi meninggal terlebih dahulu. Terkadang didapatkan dua isnad yang
sama jumlah para perawi dalam sanad, tetapi salah satu sanad terdapat sebagian perawi yang
meninggal terlebih dahulu maka ia di hukumi ‘Ali.
4) ‘Ali karena lebih dahulu mendengar. Misalnya dua orang perawi sama-sama mendengar suuatu
hadis dari seorang Syaikh. Tetapi salah satunya telah mendengar sejak 60 tahun yang lalu sementara
perawi yang satu lagi telah mendengar sejak 40 tahun yang lalu, jumlah perawi dalam sanad sama.
Sanad pertama ‘Ali karena lebih dahulu mendengar.

3. Macam-Macam Nazil

Hadis Nazil dibagi menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut:

a. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada Nabi.

b. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada salah seorang Imam Hadis

c. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada satu kitab hadis yang teranggap

d. Sanad yang di dalamnya ada rawi yang menerima dari seorang Syaikh yang kemudian meninggal,
juga dari rawi lain yang menerima dari Syaikh itu.

e. Sanad yang di dalamnya ada rawi yang mendengar dari seorang Syaikh, kemudian (belakangan)
rawi itu menerima dari rawi lain yang juga mendengar dari Syaikh itu.

Mayoritas ulama menilai hadis ‘Ali lebih utama dari pada hadis Nazil, karena ia lebih jauh dari
kemungkinan-kemungkinan cacat. Tujuan ulama mutaqaddimin mengetahui Isnad ‘Ali yang dekat
dengan Rasulullah, karena sangat dimungkinkan sedikit kesalahan dibandingkan yang Nazil.

4. Contoh Hadis

‫ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه ووالده وولده والناس أجمعين‬

F. Riwayah Al-Kabir ‘An Ash-Shaghir

Yang dimaksud dengan Riwayah al-kabir ‘an ash-shaghir, ialah periwayatan hadis dari seorang rawi
yang lebih tua usianya atau lebih banyak ilmunya dari rawi yang lebih rendah usianya atau yang lebih
sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru.

bFungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Alloh. Kitab Al-Qur’an
adalah sebagai penyempurna dari kita-kitab Alloh yang pernah diturunkan sebelumnya.
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan
umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah
mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa:
“Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di
dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”.
Adapun fungsi hadits terhadap Al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Bayan At-Taqrir
Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di sini hadits
berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya,
Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
         
    
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Q.S AlBaqarah/2:183)
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:

Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selainAllah ,
dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat puasapada bulan
ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
2. Bayan At-Tafsir.
yang dimaksud dengan bayan At-Tafsir adalah memberikan perincaian dan penafsiran
terhadapa ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) terhadap
ayat-ayat Al-Quran yang masih mutlaq, dan memberikan taksis (penentuan khusus) terhadap
ayat-ayat Al-Quran yang masih umum. Contoh, ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal
adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyari’atkan jual beli, pernikahan, qiyas,
hudud, dan sebagainya. Ayat-ayat Al-Quran tentang masalah tersebut masih bersifat mujmal,
baik cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, ataupun halangan-halanganya.
Rasulullah mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. An-Nahl ayat 44:
         
  
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl :
44)
Fungsi Hadits sebagai penafsir Al-Quran dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
1. Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang masih mujmal (bersifat global) Misalnya Al-
qur`an menyatakan perintah shalat :
  
Artinya: “Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110)
Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat
yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:
Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Baduikepada
Rasulullah SAW. dan berkata :“Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salatapa yang
difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalahsunnat”
(HR.Bukhari dan Muslim)
Al-Qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda
RasulullahSAW:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR.
Bukhari)
2. Memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat muthlaq.
Umpamanya, hadis Nabi Nabi Saw. yang memberikan penjelasan tentang batasan
untuk melakukan pemotongan tangan pencuri, yang di dalam Al-Quran disebutkan secara
muthlaq, yaitu:
)38 : ‫ … (المائدة‬   
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat tersebut masih bersifat muthlaq, yaitu belum diterangkan tentang batasan yang
jelas tentang tangan yang akan dipotong dalam pelaksanaan potong tangan tersebut. Maka
hadits nabi Saw datang menjelaskan batasan (taqyid), yaitu bahwa yang dipotong itu adalah
hingga pergelangan tangan saja.
3. Mengkhususkan (takshish) ayat-ayat yang bersifat umum (‘am).
penjelasan sunnah terhadap Al-Quran, di samping memperinci hukum yang bersifat global
(mujmal), juga ada yang bersifat takhshish, yaitu mengkhususkan keumuman ayat, seperti
penjelasan rasul tentang ayat:

:‫ (النس اء‬....          
)11
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Q.S. An-
Nisa’: 11)
Ayat di atas adalah bersifat umum, yaitu menjelaskan adanya kewarisan setiap anak
terhadap orang tuanya. Kemudian hadits mengkhususkan, di antaranya bahwa keturunan
Rasul (anak-anaknya) tidak mewarisi, sebagaimana yang dijelaskan beliau di dalam
sabdanya:
ِ ِ ‫حَنْن مع‬
)‫ص َدقَةٌ (رواه البخاري‬ ُ ‫اش ُر اْألَنْبِيَاء الَ نُ ْو َر‬
َ ُ‫ث َما َتَر ْكنَاه‬ ََ ُ
Artinya: Kami seluruh para Nabi, tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. (H.R.
Bukhari) (H. R. Bukhari).1[3]
3. Bayan At-Tasyri’
Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Banyak hal
yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk
Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya seperti larangan memadu
perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam,
haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki, hukum hak waris seorang anak.
Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-
qur`an, misalnya hadits dibawah ini:
“Rasulullah Saw. telah mewjibkan kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu
sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki
atau perempuan2[4]
Hadis yang termasuk bayan at-tasyri’ ini, wajib diamalkan sebagaimana halnya
dengan hadis-hadis lainnya. ketiga bayan yang telah di uraikan di atas, telah disepakati oleh
para ulama, namun untuk bayan lainnya, seperti bayan an-nasakh, terjadi perbedaan para
ulama. ada yang mengakui dan menerima fungsi al-Quran sebagai nasikh dan ada yang
menolaknya.

4. Bayan An-Nasakh
kata An-nasakh dari segi bahasa memiliki bermacam-macam arti, yaitu al-itbal
(membatalkan) atau al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan), atau at-tayir
(mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan bahasa,
sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam mentafrifkan. Hal ini pun terjadi
pada kalangan ulama Mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin, yang disebut bayan an-
nasakh adalah dalil syara’ (yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada), karena
datangnya kemudian.
Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai sebagai yang datang
kemudian dari Al-Quran, dalam hal ini, dapat menghapuskan ketentuan dan isi kandungan

2
Al-Quran. Demikia menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-Nasakh.
Sedangkan imam Hanafi fungsi bayan ini hanya terhadap hadis-hadis yang mutawatir dan
masyur. sedangkan terhadap hadist ahad beliau menolaknya. salah satu contoh yang biasa
diajukan oleh para ulama hadis adalah:

ٍ ‫الَ و ِصيَّةَ لِوار‬


‫ث‬ ََ َ
Artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadits ini mereka me Nasakh isi Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 1803[5]
         
       
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah:
180)

C. Hubungan Hadits Dengan Al-Quran

Al-Hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai
“Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun
sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan
Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula
perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat
dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban
menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-
Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama
adalah Athi’u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’u al-rasul. Perintah
pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah
Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u.
Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak
disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi
tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu –dalam kondisi tertentu– walaupun ketika

3
sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn
Ka’ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua
di atas, kata athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulul Al-’Amr
tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri,
tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-
Nya.
Perhatikan Firman Allah dalam Al-Nisa’ ayat 65, Menerima ketetapan Rasul saw.
dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan,
baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman
seseorang. Demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa’ ayat 65 yang
berbunyi:
           
       
Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis
dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi,
diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya
sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung
menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi
wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak
diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian
disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil akan sepakat
berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath’iy al-wurud. Ini, berbeda
dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali
dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw.
Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat
sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau
penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para
sahabat dan tabi’in.
Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena
sekian banyak factor, baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial
masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk
merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.

D. Jenis-jenis Hadits

1. Hadits Qauliyah

Sunnah Qauliyah yaitu perkataan Nabi saw, yang menerangkan hukum-hukum agama
dan maksud isi Al-Qur-an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga
menganjurkan akhlak yang mulia.Sunnah qauliyah (ucapan) ini dinamakan juga hadits Nabi
Saw. Contoh Hadits Nabi Saw tentang bacaan Al-Fatihah dalam shalat yang berbunyi:

ِ ِ
ْ َ‫صالََة ل َم ْن َي ْقَرأْ بِأُِم اْلكت‬
‫اب‬ َ َ‫ال‬
Artinya: Tidak shah shalat seseorang yang tidak membaca ummul Quran (Al-Fatihah)

Sunnah qauliyah sering juga disebut "khabar" jadi sunnah qauliyah itu boleh
dinamakan sunnah, hadist atau khabar. Khabar, pada umumnya dapat dibagi tiga:
1.     Yang pasti benarnya, seperti apa yang datang dari Allah, Rasulnya dan khabar yang diberikan
dengan jalan mutawatir.
2.     Yang pasti benarnya,yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh
akal,seperti khabar hidup dan mati dapat berkumpul.Atau khabar yang bertentangan dengan
ketentuan syari'at,seperti mengakui menjadi Rasul yang tidak ada kenyataan mu'jizat. 
3.     Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongnya seperti khabar-khabar yang samar,
karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau
bohongnya.Atau kadang-kadang kuat benarnya, tetapi tidak pasti (qath'i), seperti pemberitaan
orang yang adil. Dan kadang-kadang juga kuat bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan,
seperti pemberitaan orang fasik. 
2. Hadits Fi’liyah
Sunnah Fi'liyah yaitu perbuatan Nabi saw, yang menerangkan cara melaksanakan
ibadat, misalnya cara berwudlu', shalat dan sebagainya, yang sampai kepada kita, contohnya
adalah: hadits yang Rasulullah yang berbunyi:

َ ُ‫صلُ ْوا َك َما َرأ َْيتُ ُم ْويِن ْ أ‬


)‫صلِّى (رواه البخاري ومسلم‬ َ
Artinya: “Shalatlah kalian melihat sebagaimana kalian melihat saya shalat (H.R. Bukhari dan
Muslim)
ِ3. Hadits Taqririyah
Sunnah Taqriyah yaitu, bila Nabi saw, mendengar sahabat mengatakan sesuatu
perkataan atau melihat mereka memperbuat suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan
oleh Nabi saw, dan tiada ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah
ketetapan Nabi.
Di antara contoh hadis taqriri, ialah sikap Rasul Saw. membiarkan para sahabat
melaksanakan perintahnya, sesuai dengan penafsiran mereka terhadap sabdanya, yang
berbunyi:
ِ ُ‫الَ ي‬
َ ْ‫صر الَ ىِف بَيِن ْ ُقَري‬
)‫ضةَ (رواه لبخاري‬ َ ‫َح ٌد الْ َع‬
َ‫أ‬ َ ‫صلِّنْي‬
َُ
Artinya: “Janganlah seseorangpun shalat ashar, kecuali tiba dibani Quraizhah”
Sebagian sahabat memahami larangan tersebut berdasarkan hakikat perintah tersebut,
sehingga mereka melaksanakan shalat asar pada waktunya. Segolongan sahabat lainnya
memahami perintah tersebut dengan bersegera menuju Bani Quraizah dan tidak berlama-lama
dalam peperangan, sehingga mereka dapat melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Sikap
para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi Saw. dengan tanpa menyalahkan atau mengingkarinya.

4. Hadits Hamni
Yang dimaksud dengan Hadits hamni adalah hadits yang menyebutkan keinginan
Nabi Muhammad Saw. yang belum terealisasikan, seperti halnya keinginan untuk berpuasa
pada tanggal 9 ‘Asyura, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ibnu
Abbas, yang artinya: “Ketika Nabi Muhammad Saw. berpuasa pada hari ‘Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata” Ya Nabi, hari ini adalah hari
yang di agungkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani” Nabi SAW. bersabda, “Tahun yang
akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan-nya.”( HR. Muslim
dan Abu Daud)

5.     Hadts Ahwali


Yang dimaksud dengan hadits ahwali adalah yang menyebutkah hal ihwal Nabi
Muhammad Saw, yang menyebutkan keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Adapun
tentang keadaan fisik Nabi Muhammad Saw, dalam beberapa hadts disebutkan bahwa beliau
tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, sebagimana dikatakan dalam sebuah hadts yang
berbunyi:
‫س باِلطَّ ِويْ ِل‬
َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬
ً ‫ل‬
ْ ‫خ‬
َ ‫ه‬
ُ ‫ن‬
َ ‫س‬
َ ‫َح‬
ْ ‫أ‬‫و‬َ ‫ا‬ ‫ه‬
ً ‫ج‬
ْ ‫و‬
َ ‫َّاس‬
َ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ن‬
َ ‫س‬
َ ‫َح‬
ْ ‫أ‬ ‫م‬
َ
َّ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس ل‬
َ
ِ ‫ول‬
‫اهلل‬ ُ ‫َك ا َن َر ُس‬
)‫صرْيِ (رواه اخلاري‬ ِ ‫الْبائِ ِن والَ بِالْ َق‬
َ َ
Artinya: Rasulullah Saw. adalah orang yang memilki sebaiknya rupa dan tubuh, keadaan fisiknya
tidak tinggi dan tidak pendek (H.R. Bukhari)4[6]

Anda mungkin juga menyukai