Anda di halaman 1dari 25

T TAFSIR SURAT ALMUDDATSIR

Surah Al-Muddatstsir adalah surah Makkiyah ([1]), yaitu termasuk dari


surah-surah yang awal-awal turun. Bahkan ada khilaf di kalangan para
ulama bahwa awal surah Al-Muddatstsir adalah surah yang pertama turun
daripada surah Al-‘Alaq, dan ada pula yang mengatakan bahwa surah Al-
Muddatstsir adalah surah yang kedua ([2]), serta ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa surah Al-Muddatstsir yang keempat setelah Al-‘Alaq; Al-
Qalam; dan Al-Muzzammil ([3]). Akan tetapi pendapat yang paling kuat
adalah surah Al-Muddatstsir merupakan surah kedua setelah Al-‘Alaq.

Al-Muddatstsir memiliki makna yang sama dengan Al-Muzzammil yaitu orang


yang berselimut ([4]). Karena dalam bahasa Arab, kata ‫ﺎر‬ ُ َ ‫( اﻟ ِ ّدﺛ‬Ad-Ditsar)
adalah sebutkan untuk pakaian yang dipakai setelah ‫ﺎر‬ ّ ِ ‫( اﻟ‬Asy-Syi’ar). Asy-
ُ َ‫ﺷﻌ‬
Syi’ar adalah pakaian yang menempel langsung dengan jasad, adapun
lapisan kedua atau setelahnya disebut dengan Ad-Ditsar, sehingga Ad-Ditsar
bisa bermakna selimut atau pakaian yang lain. Oleh karenanya dalam suatu
hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوﻟَ ْو َﻻ‬،‫ﺎر‬ ِ ‫ﺻ‬َ ‫ِي ْاﻷ َ ْﻧ‬َ ‫ﺳﻠَ ْﻛتُ َواد‬ َ َ‫ ﻟ‬،‫ﺎر َوا ِدﯾًﺎ‬
ُ ‫ﺻ‬ ِ َ‫ َوا ْﺳﺗ َ ْﻘﺑَﻠ‬،‫ﺎس ا ْﺳﺗ َ ْﻘﺑَﻠُوا َوا ِدﯾًﺎ أ َ ْو ِﺷ ْﻌﺑًﺎ‬
َ ‫ت ْاﻷ َ ْﻧ‬ َ ‫ َوﻟَ ْو أ َ ﱠن اﻟﻧﱠ‬،‫ﺎر‬
ٌ َ ‫ﺎس ِدﺛ‬
ُ ‫ َواﻟﻧﱠ‬،‫ﺎر‬
ٌ ‫ﺎر ِﺷ َﻌ‬
ُ ‫ﺻ‬َ ‫ْاﻷ َ ْﻧ‬
‫ﺎر‬
ِ َ‫ﺻ‬ ْ
‫ﻧ‬ َ ْ
‫اﻷ‬ ‫ﻣ‬
َ‫ْ َ ِ ن‬ً ‫أ‬ ‫ر‬‫اﻣ‬ ُ‫ت‬ ْ
‫ﻧ‬ ُ
‫ﻛ‬ َ ‫ﻟ‬ ُ ‫ة‬‫ر‬ ‫ﮭ‬
َ ْ‫ِ ﺟ‬ ْ
‫اﻟ‬

“Orang-orang Anshar adalah syi’ar dan manusia lainnya adalah ditsar.


Sekiranya manusia melewati suatu lembah atau bukit, sedangkan orang-
orang Anshar menghadap lembah yang lain, niscaya aku akan meniti lembah
kalangan Anshar. Dan sekiranya bukan karena hijrah, niscaya aku dari
kalangan Anshar.”([5])

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan orang-orang Anshar


dengan syi’ar karena keutamaan mereka terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ([6]). Sedangkan manusia pada umumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebut sebagai ditsar karena keutamaan mereka setelah kaum Anshar.
Oleh karenanya ditsar bisa disebut juga sebagai selimut karena merupakan
pakaian kedua setelah syi’ar (pakaian yang menempel langsung pada tubuh).

Adapun kaitan antara surah Al-Muddatstsir dan surah Al-Muzzammil adalah


kandungan surah Al-Muzzammil merupakan

1. AMANAH UNTUK DA’I


a. Menyiapkan diri untuk melaksanakan tugas
(shalat tahajud bekal seorang da’i)
perintah Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk berijtihad berkaitan dengan ibadah qaashirah, yaitu
ibadah beliau dengan Allah Subhanahu wa ta’ala berupa shalat
tahajjud yang merupakan bekal seorang Da’
b. Menyampaikan dakwah
‫ﻗُ ْم ﻓَﺄ َ ْﻧذ ِْر‬

“Bangunlah, lalu berilah peringatan.” (QS. Al-Muddatstsir : 2)

Sebagian ulama mengatakan bahwa sejak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


menerima perintah sebagaimana dalam ayat ini, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah lagi istirahat (terus berdakwah) hingga beliau
meninggal dunia. Dan itulah kegiatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampai beliau meninggal dunia, yaitu menyampaikan risalah Allah agar Islam
tersebar ke seluruh penjuru bumi.

c. Meluruskan orientasi
Menyembah Allah (shalat)

‫َو َرﺑﱠكَ ﻓَ َﻛﺑِّ ْر‬

“Dan agungkanlah Tuhanmu.” (QS. Al-Muddatstsir : 3)

Sebagian para ulama yang di antaranya adalah Syaikh Abdurrahman bin


Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini
mengisyaratkan agar tujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah
adalah untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala ([11]). Maka ayat
ini mengisyaratkan bahwa seseorang harus ikhlas dalam berdakwah, dan
bukan untuk mengagungkan dirinya atau pun memperbanyak pengikutnya,
melainkan agar manusia mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Peringatan ini sangat penting sampai-sampai hal ini juga diperingatkan oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitabnya, beliau
mengatakan,

‫ ﻓﮭو ﯾدﻋو إﻟﻰ ﻧﻔﺳﮫ‬،‫ﻷن ﻛﺛﯾرا ً ﻟو دﻋﺎ إﻟﻰ اﻟﺣﻖ‬

“Sebab kebanyakan orang kalau mengajak kepada kebenaran, justru mereka


mengajak kepada dirinya sendiri.”([12])

Betapa banyak orang yang berdakwah, meskipun yang diseru adalah


kebenaran dari Alquran dan sunnah, tetapi ternyata di samping itu dia
menyeru kepada dirinya sendiri, sehingga dia ingin orang-orang terpusat
kepada dirinya. Dan niat seperti ini merupakan cacat seseorang dalam
dakwah. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam ayat
ini bahwa tujuan seseorang memberi peringatan adalah untuk
mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka hendaknya seseorang
mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam segala hal, baik dalam
setiap ucapannya, dalam segala tulisannya, dalam segala perbuatannya, dan
bahkan dalam kesendiriannya.
Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan shalat
([13]). Yaitu bahwasanya sejak saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah diperintahkan untuk shalat, meskipun belum turun perintah shalat lima
waktu, karena firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini bermakna ‘Allahu Akbar’.
Dan kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat,

‫ َوﺗَﺣْ ِﻠﯾﻠُ َﮭﺎ اﻟﺗ ﱠ ْﺳ ِﻠﯾ ُم‬،‫ﯾر‬


ُ ِ‫ َوﺗَﺣْ ِرﯾ ُﻣ َﮭﺎ اﻟﺗ ﱠ ْﻛﺑ‬،‫ور‬ ‫ﺻ َﻼةِ ﱡ‬
ُ ‫اﻟط ُﮭ‬ ‫ِﻣ ْﻔﺗ َﺎ ُح اﻟ ﱠ‬

“Pembuka shalat adalah bersuci, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam.”([14])

Akan tetapi jumhur Ahli Tafsir mengatakan bahwa ayat ini umum dan bukan
hanya berkaitan dengan shalat.

d. Membersihkan sarana dan prasarana

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ َ‫َوﺛِﯾَﺎﺑَكَ ﻓ‬
‫ط ِ ّﮭ ْر‬

“Dan bersihkanlah pakaianmu.” (QS. Al-Muddatstsir : 4)

Secara umum, makna ayat ini bisa diartikan dengan makna hakiki atau
makna majazi.

Makna hakiki adalah perintah kepada seseorang untuk membersihkan


pakaiannya ketika hendak shalat. Karena sebagaimana telah disebutkan
bahwa ayat sebelumnya ditafsirkan sebagian ulama sebagai perintah shalat,
maka maksud ayat ini adalah hendaknya seseorang bersih dari najis sebelum
shalat. ([15])

Makna majazi adalah perintah kepada seseorang untuk membersihkan


amalannya dari kedustaan, akhlak yang buruk, ikhlaskan amalan, dan
keburukan lainnya. Karena ungkapan orang-orang Arab dahulu ketika
melihat orang yang amalannya buruk, pengkhianat, dan suka bohong, maka
mereka akan mengatakan dengan ungkapan ‫س‬ ٌ ‫“ ﺛِﯾَﺎﺑُﮫُ ﻧ َِﺟ‬Bajunya najis”. ([16])

Inilah dua makna yang dibawakan oleh para Ahli Tafsir tentang ayat ini, dan
hampir seluruh Ahli Tafsir juga menyebutkan demikian.

e. Menghindari hal-hal yang kontra dengan dakwah


Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫اﻟرﺟْ َز ﻓَﺎ ْھ ُﺟ ْر‬


‫َو ﱡ‬

“Dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji.” (QS. Al-


Muddatstsir : 5)

Dalam qira’ah, ayat ini ada dua penyebutan yaitu َ‫اﻟرﺟْ ز‬


‫ َو ﱡ‬dan َ‫اﻟرﺟْ ز‬ َ Makna َ‫اﻟرﺟْ ز‬
ّ ِ ‫و‬. ‫ﱡ‬
Artinya adalah berhala, sehingga makna ayat ini adalah ‘Dan tinggalkanlah
segala penyembahan berhala’. Adapun َ‫اﻟرﺟْ ز‬
ّ ِ artinya adalah maksiat, sehingga
maknanya ‘Dan tinggalkanlah segala perbuatan maksiat ([18]). Dua qira’ah
ini adalah qira’ah yang mutawatir ([19]).

f. Tidak merasa berjasa

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ْ َ ‫َو َﻻ ﺗ َ ْﻣﻧُ ْن ﺗ‬
‫ﺳﺗ َ ْﻛ ِﺛ ُر‬

“Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud)


memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Muddatstsir : 5)

Kata ‫ ْاﻟ َﻣن‬dari kata ‫ ﺗ َْﻣﻧُ ْن‬maknanya adalah ‫ﺎﻣ ِﮫ‬ َ ‫ﺗ َ ْذ ِﻛﯾ ُْر ْاﻟ ُﻣ ْﻧﻌَ ِم‬, yaitu mengingatkan
ِ َ‫ﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ﺑِﺈِ ْﻧﻌ‬
kebaikan orang yang berbuat baik kepadanya tentang kebaikan-
kebaikannya.

Terdapat beberapa pendapat Ahli Tafsir terkait makna ayat ini.

Tafsiran pertama, janganlah seseorang memberikan sesuatu dengan


harapan agar diberi balasan yang lebih banyak.

Tafsiran kedua, jangan seseorang melakukan dakwah ini, kemudian


menganggap bahwa dirinya telah berbuat banyak dalam dakwah ini. Dan
sebagian ulama telah mengingatkan bahwa jika seorang anak cucu Adam
beribadah selama hidupnya tanpa futur atau malas, dia tetap belum bisa
bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala apa yang Allah
berikan kepadanya. Maka jangan seseorang telah merasa melakukan amalan
yang besar di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Anggaplah amalan yang
dilakukan itu kecil sehingga semangat beribadah dan berdakwah itu akan
terus ada. Dan sikap menganggap amalan masih sedikit atau kecil akan
menghalangi seseorang dari sikap ujub. ([20])

Tafsiran ketiga, janganlah seseorang berbuat baik kepada orang lain dan
menganggap orang tersebut berhutang budi kepadanya. Tafsiran ketiga ini
adalah tafsiran yang dibawakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di rahimahullah dan beberapa riwayat dari para salaf ([21]). Maka
seharusnya tatkala seseorang telah melakukan kebaikan, hendaknya dia
melupakan kebaikannya. Karena pada dasarnya muamalah yang dia lakukan
bukan terhadap orang tersebut, melainkan dia bermuamalah dengan Allah
Subhanahu wa ta’ala. Sehingga orang yang diberikan kebaikan mau
bersyukur atau tidak, itu tidak bukan urusannya melainkan menjadi urusan
Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan ini akan menutup pintu untuk seseorang
mengungkit-ungkit kebaikan-kebaikan di masa lalu. Dan Allah Subhanahu wa
ta’ala telah berfirman,

‫ﺎ�ِ َو ْاﻟﯾَ ْو ِم ْاﻵ ِﺧ ِر ﻓَ َﻣﺛَﻠُﮫُ َﻛ َﻣﺛ َ ِل‬


‫ﺎس َو َﻻ ﯾُؤْ ِﻣنُ ﺑِ ﱠ‬ِ ‫ﺻ َدﻗَﺎﺗِ ُﻛ ْم ﺑِ ْﺎﻟ َﻣ ِّن َو ْاﻷَذَى ﻛَﺎﻟﱠذِي ﯾُ ْﻧ ِﻔ ُﻖ َﻣﺎﻟَﮫُ ِرﺋ َﺎ َء اﻟﻧﱠ‬
َ ‫ﯾَﺎ أَﯾﱡ َﮭﺎ اﻟﱠذِﯾنَ آ َﻣﻧُوا َﻻ ﺗُﺑ ِْطﻠُوا‬
ْ ْ
َ‫�ُ َﻻ ﯾَ ْﮭدِي اﻟﻘَ ْو َم اﻟﻛَﺎﻓِ ِرﯾن‬ َ ‫ﺷ ْﻲءٍ ِﻣ ﱠﻣﺎ َﻛ‬
‫ﺳﺑُوا َو ﱠ‬ َ ‫ﻋﻠﻰ‬ َ ْ
َ َ‫ﺻﻠدًا َﻻ ﯾَﻘد ُِرون‬ ْ َ ُ‫ﺻﺎﺑَﮫُ َواﺑِ ٌل ﻓَﺗ ََر َﻛﮫ‬ َ
َ ‫ﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ﺗ ُ َرابٌ ﻓَﺄ‬
َ ‫ان‬ٍ ‫ﺻ ْﻔ َو‬
َ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak sedekahmu


dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti
orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan
dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu)
seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh
sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 264)

Dan ini tentunya peringatan bagi kita, tatkala kita berdakwah hendaknya kita
ikhlas kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan jangan pernah merasa telah
berjasa besar dalam dakwah. Serahkan urusan pahala kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala, karena lagi pula kita sendiri tidak tahu apakah pahala
kita besar atau kecil, atau bahkan kita tidak tahu apakah kita ikhlash
sehingga mendapatkan pahala atau sebaliknya?.

g. Bersabar dijalan dakwah

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala,

ْ ‫َو ِﻟ َر ِﺑّكَ ﻓَﺎ‬


‫ﺻ ِﺑ ْر‬

“Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al-Muddatstsir : 7)

Di antara hal yang bisa membuat kita semangat untuk bersabar adalah kita
menyadari bahwa kita bersabar karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Yang
namanya orang berdakwah pasti mengalami gangguan baik itu secara fisik
atau mental. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ﺻﺑ ِْر‬
‫ﺻ ْوا ﺑِﺎﻟ ﱠ‬ ِ ّ ‫ﺻ ْوا ﺑِ ْﺎﻟ َﺣ‬
َ ‫ﻖ َوﺗ ََوا‬ َ ‫َوﺗ ََوا‬
“Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk
kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr : 3)

Setelah seseorang berdakwah menyampaikan kebenaran, maka pasti ada


gangguan-gangguan yang akan dialami. Oleh karenanya Allah juga
memerintahkan untuk saling menasihati untuk bersabar.

2. TABIAT MEDAN DAKWAH


a. Stigma negatif tidak melemahkan jalan dakwah

ِ ُ‫ﻓَ ِﺈذَا ﻧُ ِﻘ َر ﻓِﻲ اﻟﻧﱠﺎﻗ‬


‫ور‬

“Maka apabila sangkakala ditiup.” (QS. Al-Muddatstsir : 8)

Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah,


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

‫ﺻ ْﯾ َﺣﺔ؟ ﻓﺎﺷﺗ ّد ذﻟك ﻋﻠﻰ‬ ‫ ﺛ ُ ﱠم أ ْﻗﺑَ َل ﺑﺄُذُﻧِ ِﮫ ﯾَ ْﺳﺗ َِﻣ ُﻊ َﻣﺗﻰ ﯾُؤْ َﻣ ُر ﺑﺎﻟ ﱠ‬،ُ‫ َو َﺣﻧَﻰ َﺟ ْﺑ َﮭﺗَﮫ‬، َ‫ب اﻟﻘَ ْر ِن ﻗَ ِد ْاﻟﺗَﻘَ َم اﻟﻘَ ْرن‬
ُ ‫ﺎﺣ‬
ِ ‫ﺻ‬َ ‫ْف أ َ ْﻧﻌَ ُم َو‬
َ ‫َﻛﯾ‬
ْ‫ ﻋﻠﻰ ﷲِ ﺗ ََو ﱠﻛﻠﻧﺎ‬،ُ‫اﻟو ِﻛﯾل‬
َ ‫ َﺣ ْﺳﺑُﻧﺎ ﷲُ َوﻧِ ْﻌ َم‬: ‫ ﻓﺄﻣرھم أن ﯾﻘوﻟوا‬،‫أﺻﺣﺎﺑﮫ‬

“Bagaimana aku bisa senang lagi tentram sementara malaikat peniup


sangkakala telah meletakkan mulutnya di sangkakala (siapa untuk meniup),
dan dahinya telah dimiringkan. Kemudian dia menyiapkan telinganya untuk
menunggu kapan dia diperintahkan (untuk meniupnya)?” Maka hal itu
membuat berat para sahabat. Maka Nabi memerintahkan kepada mereka
untuk berkata, ‘Hasbunallahu Wa Ni’mal Wakil ‘Alallahi Tawakalna’
(Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Dialah sebaik-baik penolong dan
kepada Allahlah kami bertawakal’.”([22])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ﯾر‬
ٍ ‫ﺳ‬ َ َ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻛَﺎﻓِ ِرﯾن‬
ِ َ‫ﻏﯾ ُْر ﯾ‬ َ ،‫ﯾر‬
ٌ ‫ﺳ‬ َ ‫ﻓَذَ ِﻟكَ ﯾَ ْو َﻣﺋِ ٍذ ﯾَ ْو ٌم‬
ِ ‫ﻋ‬

“Maka itulah hari yang berat, bagi orang-orang kafir (hari itu) tidak
mudah.” (QS. Al-Muddatstsir : 9-10)

Kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut hari kiamat adalah hari yang
berat? Karena hari kiamat adalah hari yang penuh dengan kesulitan dan
kepayahan ([23]). Bayangkan saja bagaimana keadaan orang-orang di
padang mahsyar, dibangkitkan dalam keadaan tidak berpakaian, matahari
didekatkan dengan jarak satu mil, kemudian disuruh berdiri menunggu
kedatangan Allah Subhanahu wa ta’ala yang satu hari ukurannya setara
dengan 50.000 tahun. Maka tentunya hari itu adalah hari yang sangat berat,
sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,

‫ﯾر‬ َ ‫ﻓَذَﻟِكَ ﯾَ ْو َﻣﺋِ ٍذ ﯾَ ْو ٌم‬


ٌ ‫ﻋ ِﺳ‬

“Maka itulah hari yang berat.” (QS. Al-Muddatstsir : 9)

Hari itu adalah hari yang sulit bagi para nabi dan orang-orang yang
bertakwa. Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim ‘alaihimassalam
merasa takut dan merasa sulit hari itu. Jika hari itu adalah hari yang sulit
bagi para nabi-nabi dan orang-orang bertakwa, maka hari itu pasti akan jauh
lebih sulit bagi orang-orang kafir. Karena orang-orang kafir tatkala
dibangkitkan, mereka telah putus asa dari segala kebaikan dan mereka telah
yakin bahwa mereka akan binasa ([24]). Maka semakin lama orang-orang
kafir merasakan hari tersebut, maka mereka akan semakin menuju kepada
kebinasaaan dan kesulitan yang lebih berat yaitu neraka jahannam.

Adapun orang-orang yang beriman, mereka akan merasa ringan


(kemudahan) pada hari tersebut. Dan hal ini disebutkan dalam sebagian
riwayat yang meskipun riwayatnya lemah, akan tetapi ayat-ayat banyak
yang menyebutkan bahwa orang-orang beriman merasakan kebahagiaan
pada hari kiamat. Diantaranya adalah ayat ini. Allah menyebtukan bahwa
hari kiamat terasa berat bagi orang-orang kafir, maka mafhuum mukholafah-
nya (yaitu kebalikannya) menunjukan bahwa hari tersebut tidak berat bagi
orang-orang yang beriman dan tidak kafir ([25]). Ini menunjukkan bahwa
mereka merasakan kesulitan, namun mereka juga merasakan kemudahan
setelah itu. Adapun orang kafir akan selalu merasa berat.

‫أَﻧَﺎ اﻟوﺣﯾد ﺑن ْاﻟ َو ِﺣﯾ ِد‬

“Saya adalah satu-satunya putra satu-satunya.”([26])

Artinya Al-Walid Ibnul Mughirah membanggakan dirinya dan ayahnya Al-


Mughirah, dan tidak ada yang menyamai mereka.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ذَ ْرﻧِﻲ َو َﻣ ْن َﺧﻠَ ْﻘتُ َو ِﺣﯾدًا‬

“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang yang Aku telah


menciptakannya sendirian.” (QS. Al-Muddatstsir : 11)

Ada dua pendapat tentang apa yang dimaksud “sendirian” dalam ayat ini.
Pendapat pertama, kata ‫ َو ِﺣﯾدًا‬dalam ayat ini adalah ‫ َﺣﺎ ٌل‬dari dhamir fa’il
(subjek/pelaku) yang artinya sendirian dalam melakukan ([27]). Maksudnya
adalah Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan sendiri Al-Mughirah dan
tidak ada yang membantu-Nya. Sehingga seakan-akan Allah Subhanahu wa
ta’ala berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Janganlah engkau
(Muhammad) mengurus dia, biarkan aku yang mengurusnya karena dia
adalah ciptaan-Ku. Sebagaimana Aku sendiri yang menciptakannya, maka
aku sendiri yang mengurus kelak kebinasaannya”. Sehingga pendapat
pertama menyimpulkan bahwa maksud “sendirian” dalam ayat ini adalah
Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan sendiri Al-Walid Ibnul
Mughirah, dan Allah sendiri pula yang akan mengurusi kebinasaannya.

Pendapat kedua, kata ‫ َو ِﺣﯾدًا‬dalam ayat ini adalah ‫ َﺣﺎ ٌل‬dari dhamir
yang muqaddar. Maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala yang
menciptakan Al-Walid Ibnul Mughirah dalam kondisi al-Waliid sendirian.
Artinya Al-Walid keluar dari perut ibunya tanpa harta sedikitpun, dan Allah
Subhanahu wa ta’ala yang membuat dia kaya([28]). Sementara Al-Walid
Ibnul Mughirah sombong dengan kekayaannya, sampai-sampai dia
mengatakan bahwa tidak ada yang menandinginya. Maka ayat ini seakan-
akan Allah membantah kesombongannya dengan berkata “Sesungguhnya
kamu dahulu tidak memiliki apa-apa”. Dan pada dasarnya semua manusia
seperti itu (tidak memiliki apa-apa), hanya saja Al-Walid Ibnul Mughirah
disebutkan secara khusus karena dia kufur nikmat kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala.

Ayat ini adalah khitab (ditujukan) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seakan-akan di dalam ayat ini Allah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam “Biarkan aku dengan Al-Walid (itu menjadi urusan-Ku)”. Ini
menjadi isyarat bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih dengan
gangguan Al-Walid Ibnul Mughirah ([29]). Karena Al-Walid yang menuduh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyihir, yang mengatakan
Alquran sebagai dongen orang-orang terdahulu, dan dia pula orang yang
mengajari orang-orang Quraisy untuk mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dengan semua gangguan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersedih. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala ingin menghibur Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan menurunkan firman-Nya,

‫ذَ ْرﻧِﻲ َو َﻣ ْن َﺧﻠَ ْﻘتُ َو ِﺣﯾدًا‬

“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang yang Aku sendiri telah
menciptakannya.” (QS. Al-Muddatstsir : 11)

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ً ‫َو َﺟ َﻌ ْﻠتُ ﻟَﮫُ َﻣ‬


‫ﺎﻻ َﻣ ْﻣدُودًا‬
“Dan Aku beri kekayaan yang melimpah.” (QS. Al-Muddatstsir : 12)

Kata ‫ َﻣ ْﻣدُودًا‬maknanya adalah sesuatu yang bersambung atau panjang. Dan ini
sesuai dengan perkataan para ulama ahli tafsir bahwa harta Al-Walid Ibnul
Mughirah tidak terputus sepanjang jarak antara Thaif dan Mekkah. ([30])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ُ َ‫َوﺑَﻧِﯾن‬
‫ﺷ ُﮭودًا‬

“Dan anak-anak yang selalu bersamanya.” (QS. Al-Muddatstsir : 13)

Al-Walid Ibnul Mughirah memiliki banyak anak yang selalu bersama mereka.
Siapa anak-anak Al-Walid Ibnul Mughirah? Di antara anak-anaknya adalah
Al-Walid Ibnul Walid, Khalid bin Walid, dan Hisyam Ibnul Walid. Tiga anaknya
ini adalah yang masuk Islam. Di antara anaknya yang lain adalah Umarah
Ibnul Walid, Al-‘Ash Ibnul Walid, Qhais Ibnul Walid, ‘Abdu Syam Ibnul Walid,
dan yang lainnya. ([31])

Ayat ini merupakan peringatan kepada Al-Walid Ibnul Mughirah bahwasanya


Allah memberikan kepadanya kenikmatan berupa anak-anak yang banyak,
yang selalu menemaninya di mana pun dia pergi. Anak-anak tersebut yang
membantunya untuk menunaikan segala hajat-hajatnya dan siap
membelanya dari gangguan, tentu semuanya ini adalah nikmat.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َو َﻣ ﱠﮭدْتُ ﻟَﮫُ ﺗ َ ْﻣ ِﮭﯾدًا‬

“Dan Aku beri kelapangan (hidup) seluas-luasnya.” (QS. Al-


Muddatstsir : 14)

Al-Walid Ibnul Mughirah adalah orang yang benar-benar Allah Subhanahu wa


ta’ala berikan keluasan baginya, karena dia sangat kaya raya.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ْ ‫ﺛ ُ ﱠم َﯾ‬
‫ط َﻣ ُﻊ أ َ ْن أ َ ِزﯾ َد‬
“Kemudian dia ingin sekali agar Aku menambahnya.” (QS. Al-Muddatstsir :
15)

Ayat ini menggambarkan bahwa setelah seluruh kenikmatan yang Allah


berikan kepadanya tidak menjadikannya qonaáh. Bahkan Al-Walid Ibnul
Mughirah masih tamak dengan mengharap ditambah nikmat (kekayaan)
tersebut ([32]). Oleh karenanya percuma orang yang kaya raya namun
tidak qona’ah, karena kebahagiaan berbanding lurus dengan qona’ah. Orang
yang qona’ah pasti akan bahagia karena dia bersyukur dan merasa puas
dengan pemberian Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun orang yang kaya dan
tidak qona’ah, serta masih tamak dengan harta, maka dia tidak akan pernah
bahagia karena terjebak dalam ketidakpuasan.

Maka apa lagi yang kurang dari Al-Walid Ibnul Mughirah? Dia adalah
penguasa dari Bani Makhzum, dia lebih hebat daripada Abu Jahal dan Abu
Sufyan, kemudian dia juga memiliki harta dan anak yang banyak, akan
tetapi dia masih tamak untuk ditambahkan kenikmatan.

Sebagian ulama membahas tentang kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala


menggunakan dhamir kata ganti orang pertama dalam ayat ini (yaitu :
“Aku menambahnya”) dan tidak berkata,

ْ َ‫ﺛ ُ ﱠم ﯾ‬
‫ط َﻣ ُﻊ أ َ ْن ﯾَ ِزﯾ َد‬

“Kemudian dia ingin sekali agar dia ditambah.”

Sebagian ulama menjelaskan bahwa alasannya adalah karena Allah


Subhanahu wa ta’ala ingin mengingatkan bahwasanya yang memberikan
rezeki itu adalah Allah Subhanahu wa ta’ala dan bukan dari patung-patung
yang dia sembah, sehingga seharusnya dia bersyukur dan menyembah Allah
Subhanahu wa ta’ala.

Atau ini menunjukan berarti al-Waliid meyakini bahwa yang memberi rizki
kepadanya adalah Allah([33]). Dan hal ini sangat mungkin, karena kaum
Quraisy percaya dengan Rububiyah Allah.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ ‫ﻛ ﱠَﻼ إِﻧﱠﮫُ ﻛَﺎنَ ِﻵﯾَﺎ ِﺗﻧَﺎ‬


‫ﻋﻧِﯾدًا‬

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya dia telah menentang ayat-ayat


Kami (Al-Qur’an).” (QS. Al-Muddatstsir : 16)
Ada yang menyebutkan bahwa Al-Walid berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Ya Muhammad, saya telah kaya di dunia, maka jika terjadi
hari kiamat saya juga ingin masuk surga”. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala
menurunkan ayat-Nya ini untuk mengingatkannya bahwa dia tidak akan
mendapatkannya ([34]). Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala
mau memberikan tambahan kepadanya? Sementara dia menjadi orang yang
sangat menentang Alquran dan menuduhnya dengan tuduhan yang tidak-
tidak.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ ُ‫ﺳﺄ ُ ْر ِھﻘُﮫ‬
‫ﺻﻌُودًا‬ َ

“Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan.”


(QS. Al-Muddatstsir : 17)

‫ إرھﺎق‬artinya membuat payah, sedangkan ‫ﺻﻌُودًا‬


َ artinya adalah sambil naik
([35]). Ada yang menyebutkan bahwa maksudnya adalah Allah Subhanahu
wa ta’ala akan memberikan siksaan yang bertambah-tambah, semakin sulit
dan semakin sulit ([36]). Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya
adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberinya azab berupa perintah
panjat sebuah gunung yang sangat panas di neraka jahannam yang jika dia
meletakkan tangan di gunung tersebut maka tangannya akan meleleh
([37]).

Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang nasib Al-Walid


Ibnul Mughirah di neraka, maka Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan
alasan dia disiksa, yaitu dia berbicara dengan serampangan (ngawur) ([38]).
Kata Allah Subhanahu wa ta’ala,

‫ِإﻧﱠﮫُ ﻓَ ﱠﻛ َر َوﻗَد َﱠر‬

“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang


ditetapkannya).” (QS. Al-Muddatstsir : 18)

Ayat ini turun tentang Al-Walid Ibnul Mughirah tatkala dia tertarik dengan
dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam sebuah riwayat
bahwasanya Al-Walid Ibnul Mughirah senang mendengar bacaan-bacaan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Alquran). Terkadang dia datang ke rumah
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu untuk mendengar bacaan Alqurannya. Dari
Ikrimah radhiallahu ‘anhu, bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,

‫ َﯾﺎ‬: ‫ ﻓَﺄَﺗ َﺎهُ ﻓَﻘَﺎ َل‬،‫ ﻓَ َﻛﺄَﻧﱠﮫُ َر ﱠق ﻟَﮫُ ﻓَﺑَﻠَ َﻎ ذَﻟِكَ أَﺑَﺎ َﺟ ْﮭ ٍل‬، َ‫ﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ْاﻟﻘُ ْرآن‬
َ َ ‫ﺳﻠﱠ َم ﻓَﻘَ َرأ‬ َ ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ‬
َ ‫ﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو‬ َ ِ‫ﻲ‬ ّ ِ‫ﯾرةِ َﺟﺎ َء إِﻟَﻰ اﻟﻧﱠﺑ‬ َ ‫أ َ ﱠن ْاﻟ َو ِﻟﯾ َد ﺑْنَ ْاﻟ ُﻣ ِﻐ‬
‫ت‬ َ ‫ﻗَ ْد‬: ‫ ﻗَﺎ َل‬،ُ‫ض ِﻟ َﻣﺎ ﻗِﺑَﻠَﮫ‬
ْ ‫ﻋ ِﻠ َﻣ‬ َ ‫طو َﻛﮫُ ﻓَﺈِﻧﱠكَ أَﺗَﯾْتَ ُﻣ َﺣ ﱠﻣدًا ِﻟﺗ ُ ْﻌ ِر‬ ُ ‫ ِﻟﯾُ ْﻌ‬: ‫ﻟَ َم؟ ﻗَﺎ َل‬: ‫ﻗَﺎ َل‬. ‫ﺎﻻ‬ ً ‫ ِإ ﱠن ﻗَ ْو َﻣكَ ﯾَ َر ْونَ أ َ ْن ﯾَﺟْ َﻣﻌُوا ﻟَكَ َﻣ‬،‫ﻋ ﱡم‬ َ
‫� َﻣﺎ ِﻓﯾ ُﻛ ْم‬ ِ ‫ َو َﻣﺎ َذا أَﻗُو ُل «ﻓَ َو ﱠ‬: ‫ ﻗَﺎ َل‬،ُ‫َﺎرهٌ ﻟَﮫ‬
ِ ‫ﻓَﻘُ ْل ِﻓﯾ ِﮫ ﻗَ ْو ًﻻ َﯾ ْﺑﻠُ ُﻎ ﻗَ ْو َﻣكَ أَﻧﱠكَ ُﻣ ْﻧ ِﻛ ٌر ﻟَﮫُ أ َ ْو أَﻧﱠكَ ﻛ‬: ‫ﻗَﺎ َل‬. ‫ﺎﻻ‬ ً ‫ْش أ َ ِﻧّﻲ ِﻣ ْن أ َ ْﻛﺛ َ ِرھَﺎ َﻣ‬
ٌ ‫ﻗُ َرﯾ‬
َ ْ
ِ ‫ﺷ ْﯾﺋﺎ ِﻣن َھذا َو َو ﱠ‬
� ً ُ ‫ﱠ‬ ْ
َ ‫� َﻣﺎ ﯾُﺷﺑِﮫُ اﻟذِي ﯾَﻘو ُل‬ ْ
ِ ‫ﺎر اﻟ ِﺟ ِّن َو ﱠ‬ ْ َ َ ّ
ِ َ‫ﺻﯾ َدةٍ ِﻣ ِﻧﻲ َوﻻ ﺑِﺄﺷﻌ‬ َ َ َ َ
ِ َ‫ َوﻻ أ ْﻋﻠ َم ﺑِ َر َﺟ ٍز َوﻻ ﺑِﻘ‬،‫ﺎر ِﻣ ِﻧﻲ‬ ّ ْ َ ْ َ َ
ِ َ‫َر ُﺟ ٌل أ ْﻋﻠ َم ﺑِﺎﻷﺷﻌ‬
ٌ ‫ َو ِإﻧﱠﮫُ ﻟَ ُﻣﺛْ ِﻣ ٌر أَﻋ َْﻼهُ ُﻣ ْﻐد‬،ً‫ط َﻼ َوة‬
»ُ‫ َو ِإﻧﱠﮫُ ﻟَﯾَ ْﻌﻠُو َو َﻣﺎ ﯾُ ْﻌﻠَﻰ َو ِإﻧﱠﮫُ ﻟَﯾَﺣْ ِط ُم َﻣﺎ ﺗ َﺣْ ﺗَﮫ‬،ُ‫ِق أ َ ْﺳﻔَﻠُﮫ‬ َ ‫ َو ِإ ﱠن‬،ً‫ِإ ﱠن ِﻟﻘَ ْو ِﻟ ِﮫ اﻟﱠذِي ﯾَﻘُو ُل َﺣ َﻼ َوة‬
َ َ‫ﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ﻟ‬
‫ﻓَ َد ْﻋﻧِﻲ َﺣﺗﱠﻰ أُﻓَ ِ ّﻛ َر‬: ‫ﻗَﺎ َل‬. ‫ﻋ ْﻧكَ ﻗَ ْو ُﻣكَ َﺣﺗﱠﻰ ﺗَﻘُو َل ﻓِﯾ ِﮫ‬ َ ‫ﺿﻰ‬ َ ‫ َﻻ ﯾَ ْر‬: ‫ﻗَﺎ َل‬

“Al-Walid bin Al-Mughirah datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Kemudian Rasulullah membacakan Alquran kepadanya. Sepertinya Alquran
itu melembutkannya (membuatnya tertarik). Kabar ini pun sampai kepada
Abu Jahal([39]). Ia pun datang menemui Al-Walid dan berkata, ‘Wahai paman,
sesungguhnya kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu’. Al-Walid
berkata, ‘Untuk apa?’. Abu Jahal berkata, ‘Untuk diberikan kepadamu, karena
engkau datang menemui Muhammad untuk menentang ajaran sebelumnya
(ajaran nenek moyang)’. Al-Walid berkata, ‘Orang-orang Quraisy telah
mengetahui bahwa aku termasuk yang paling banyak hartanya’. Abu Jahal
berkata, ‘Maka ucapkanlah tentangnya suatu ucapan yang menjelaskan
kepada kaummu bahwa engkau mengingkarinya atau membencinya’. Al-
Walid berkata, ‘Apa yang harus aku katakan? Demi Allah, tidak ada seorang
pun di antara kalian yang lebih paham dariku tentang sya’ir-sya’ir. Tidak ada
yang lebih paham dariku tentang rajaznya (irama sajak) juga qasidahnya,
juga sya’ir jin. Demi Allah, perkataannya sama sekali tidak menyerupai itu
semua. Dan Demi Allah, ucapan yang diucapkannya itu manis, dan padanya
ada kenikmatan. Sesungguhnya perkataannya itu, bagian atasnya berbuah
dan bagian bawahnya subur. Ucapannya itu tinggi dan tidak ada yang
mengunggulinya, serta bisa menghancurkan semua yang berada di
bawahnya’. Abu Jahal berkata, ‘Kaummu tidak akan senang sampai engkau
mengatakan sesuatu tentang Alquran’. Maka Al-Walid berkata, ‘Tinggalkan
aku, biarkan aku berpikir’.”([40])

Dalam riwayat yang lain Al-Walid Ibnul Mughirah berkata,

‫اﻟﻧﻔر ِﻣ ْن ﻗُ َرﯾ ٍْش اﺋْﺗ َ َﻣ ُروا‬


ُ َ ‫ﻓَﻠَ ﱠﻣﺎ‬. �
َ‫ﺳ ِﻣ َﻊ ِﺑذَﻟِك‬ ِ ُ‫ﺳﺣْ ٍر َو َﻻ ﺑﮭ ْذي ِﻣنَ ْاﻟ ُﺟﻧ‬
ِ ‫ َو ِإ ﱠن ﻗَ ْوﻟَﮫُ ِﻟ َﻣ ْن ﻛ ََﻼ ِم ﱠ‬،‫ون‬ َ ‫�ِ َﻣﺎ ھ َُو ِﺑ ِﺷ ْﻌ ٍر َو َﻻ ِﺑ‬
‫ﻓَ َو ﱠ‬
ُ
ٌ ‫ﺻﺑ َُو ﱠن ﻗ َرﯾ‬
‫ْش‬ ْ
ْ ‫ﺻﺑَﺎ اﻟ َو ِﻟﯾ ُد ﻟﺗ‬ ْ
َ ‫� ﻟﺋِن‬ َ ُ
ِ ‫ َو ﱠ‬: ‫ﻓَﻘَﺎﻟوا‬

“Demi Allah, apa yang dikatakannya bukanlah syair, bukan sihir, bukan
pula kata-kata orang gila, tetapi sesungguhnya ucapannya itu benar-benar
Kalam Allah.” Ketika segolongan orang-orang Quraisy mendengar ucapan Al-
Walid Ibnul Mughirah itu, maka mereka menebar hasutan dan mengatakan
kepada orang-orang Quraisy, ‘Demi Allah, jika Al-Walid masuk agama baru,
benar-benar orang-orang Quraisy pun akan mengikuti jejaknya’.”([41])

Karena orang-orang Quraisy khawatir Al-Walid akan masuk Islam, maka


sebagaimana riwayat sebelumnya, Abu Jahal datang untuk memprovokasi al-
Walid sehingga Al-Walid pun terprovokasi untuk berfikir keras bagaimana
cara mencela al-Qur’an dengan celaan yang menurutnya masuk akal dan
logis. Inilah maksud dari ayat yang Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan,

‫إِﻧﱠﮫُ ﻓَﻛ َﱠر َوﻗَد َﱠر‬


“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang
ditetapkannya).” (QS. Al-Muddatstsir : 18)

Maka Al-Walid tatkala itu berpikir tentang apa yang harus dia ucapkan
tentang Alquran agar orang-orang tahu bahwa dia benci kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ([42]), meskipun dia sadar bahwa
Alquran itu benar. Agar dia tetap jaya dan tidak ditinggalkan oleh kaumnya.
Karena perkara dunia mengharuskan dia untuk mencela Alquran. Al-Walid
Ibnul Mughirah adalah orang yang cerdas, dia sadar bahwa jika dia
mengatakan bahwa Alquran adalah sihir, sya’ir, atau perkataan orang gila,
maka pasti tidak tepat.

Maka kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ﺳ َر‬
َ َ‫س َوﺑ‬ َ َ‫ ﺛ ُ ﱠم ﻧ‬،‫ْف ﻗَد َﱠر‬
َ ‫ ﺛ ُ ﱠم‬،‫ظ َر‬
َ َ‫ﻋﺑ‬ َ ‫ﻓَﻘُﺗِ َل َﻛﯾ‬
َ ‫ ﺛ ُ ﱠم ﻗُﺗِ َل َﻛﯾ‬،‫ْف ﻗَد َﱠر‬

“Maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Sekali lagi,


celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian dia
(merenung) memikirkan, lalu berwajah masam dan cemberut.” (QS.
Al-Muddatstsir : 19-22)

Al-Walid Ibnul Mughirah pun bingung tentang apa yang harus dia ucapkan.
Akan tetapi karena tekanan dari Abu Jahal, maka dia pun terus berpikir
untuk mencari ucapan yang pantas dia ucapkan tentang Alquran.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ْ ‫ﺛ ُ ﱠم أ َ ْدﺑَ َر َوا‬
‫ إِ ْن َھذَا إِ ﱠﻻ ﻗَ ْو ُل ا ْﻟﺑَﺷ َِر‬،‫ ﻓَﻘَﺎ َل إِ ْن َھذَا إِ ﱠﻻ ﺳِﺣْ ٌر ﯾُ ْؤﺛ َ ُر‬،‫ﺳﺗ َ ْﻛﺑَ َر‬

“Kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan


diri, lalu dia berkata, ‘(Alquran) ini hanyalah sihir yang dipelajari
(dari orang-orang dahulu). Ini hanyalah perkataan manusia’.” (QS.
Al-Muddatstsir: 23-25)

Kata ‫ ﺛ ُ ﱠم أ َ ْدﺑَ َر‬dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa maksudnya adalah Al-Walid
sudah sangat bingung, dan semua yang dia reka-reka adalah salah menurut
kecerdasannya. Sehingga dia berpaling dari semua terkaan-terkaannya
(yang benar dianggap salah), dan dengan terpaksa dia pun bersikap
sombong dan angkuh dan mengatakan bahwa Alquran adalah sihir yang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pelajari dari orang-orang terdahulu. ([43])

Perkataan Al-Walid ini menunjukkan tentang kecerdasannya. Kenapa dia


tidak sekedar mengatakan,

‫إِ ْن َھذَا ِإ ﱠﻻ ﺳِﺣْ ٌر‬


“(Alquran) ini hanyalah sihir.”

Karena semua orang akan tahu bahwa Alquran bukanlah sihir. Oleh
karenanya Al-Walid mengatakan bahwa sihir ini (Alquran) berbeda dengan
sihir yang diketahui orang pada waktu itu. Dia ingin menerangkan bahwa
Alquran adalah sihir yang spesial yang diambil dari orang-orang dahulu. Oleh
karenanya dia menegaskan bahwa Alquran adalah perkataan manusia. ([44])

Ini menunjukkan tentang betapa buruknya Al-Walid Ibnul Mughirah. Dia tahu
tentang agungnya Alquran, dia tahu tentang keindahan Alquran sampai-
sampai mengatakan,

ً ‫ط َﻼ َوة‬ َ ‫ َو ِإ ﱠن‬،ً‫�ِ ِإ ﱠن ِﻟﻘَ ْو ِﻟ ِﮫ اﻟﱠذِي َﯾﻘُو ُل َﺣ َﻼ َوة‬


َ َ‫ﻋ َﻠ ْﯾ ِﮫ ﻟ‬ ‫َو َو ﱠ‬

“Dan Demi Allah, ucapan yang diucapkannya itu manis, dan padanya ada
kenikmatan.”

Dia mengakui kebenaran Alquran, akan tetapi dia berusaha untuk


membalikkan fakta. Maka sungguh tuduhan Al-Walid adalah tuduhan yang
sangat keji. Seandainya dia berkata bahwa Alquran itu adalah perkataan
orang yang bijak -meskipun itu juga buruk- akan tetapi itu lebih mendingan
daripada tuduhannya menyamakan firman Allah dengan perkataan manusia
yang buruk (penyihir).

Ketika Al-Walid Ibnul Mughirah menghina firman Allah dengan hinaan yang
keji tersebut, maka apa balasan Allah kepadanya? Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman,

‫ﺳﻘَ َر‬ ْ ُ ‫ﺳﺄ‬


َ ‫ﺻ ِﻠﯾ ِﮫ‬ َ

“Kelak, Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.” (QS.


Al-Muddatstsir : 26)

Para ulama menyebutkan bahwa ayat ini adalah dalil bahwa barangsiapa
yang mengatakan bahwa Alquran itu adalah perkataan manusia, maka dia
akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar ([45]). Orang-orang liberal adalah
orang-orang yang mengatakan bahwa Alquran itu perkataan manusia.
Mereka mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak bisa bicara,
tidak ada huruf ataupun suara, dan Tuhan itu tidak boleh berkata-kata.
Adapun Alquran mereka katakan bahwa itu adalah terjemahan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap makna-makna yang Allah Subhanahu
wa ta’ala berikan kepada beliau. Yang kemudian makna-makna itu
disimpulkan secara global, lalu diungkapkan ke dalam bahasa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Arab). Dan perkataan orang-orang
liberal ini sangat mirip dengan perkataan Al-Walid Ibnul Mughirah.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ ‫َو َﻣﺎ أَد َْراكَ َﻣﺎ‬


‫ﺳﻘَ ُر‬

“Dan tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu?”

Ada khilaf tentang apa itu Saqar. Ada yang mengatakan bahwa Saqar itu
adalah neraka jahannam. Ada pula yang mengatakan bahwa Saqar adalah
tingkatan keenam di neraka,([46]) oleh karenanya Allah Subhanahu wa
ta’ala menyebutkan tentang orang-orang munafik,

ِ ‫إِ ﱠن ْاﻟ ُﻣﻧَﺎﻓِﻘِﯾنَ ﻓِﻲ اﻟد ْﱠر ِك ْاﻷ َ ْﺳﻔَ ِل ِﻣنَ اﻟﻧﱠ‬
‫ﺎر‬

“Sesungguhnya orang-orang munafik berada di tingkatan paling bawah dari


neraka.” (QS. An-Nisa : 145)

Intinya Saqar adalah salah satu dari nama neraka jahannam.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat neraka Saqar


tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َﻻ ﺗ ُ ْﺑ ِﻘﻲ َو َﻻ ﺗ َ َذ ُر‬

“(Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan.” (QS. Al-


Muddatstsir : 28)

Artinya adalah neraka Saqar jika telah membakar maka akan membakar
semuanya tanpa tersisa sedikitpun. Dia akan membakar rambut, tulang,
daging, dan yang lainnya ([47]). Oleh karenanya ketika Allah Subhanahu wa
ta’ala menyebutkan tentang sifat neraka, Dia mengatakan,

ِ‫ﻋﻠَﻰ ْاﻷ َ ْﻓﺋِ َدة‬ ‫اﻟﱠﺗِﻲ ﺗ ﱠ‬


َ ‫َط ِﻠ ُﻊ‬

“Yang (membakar) sampai ke jantung.” (QS. Al-Humazah : 7)

Api yang ada dunia, dia membakar mulai dari luar dan masuk ke dalam
tubuh secara perlahan-lahan. Berbeda dengan api neraka, ketika dia telah
membakar maka akan langsung membakar luar dan dalam sekaligus. Oleh
karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa neraka Saqar jika
telah membakar, maka tidak akan ada yang disisakan sedikitpun.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ﻟَ ﱠواﺣَﺔٌ ِﻟ ْﻠ َﺑﺷ َِر‬


“Yang menghanguskan kulit manusia.” (QS. Al-Muddatstsir : 29)

Sebagian para ulama mengatakan bahwa jika neraka Saqar telah membakar,
maka akan menjadi hitam melebihi hitamnya gelap malam karena saking
panasnya api neraka Saqar. ([48])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ َ‫ﺳﻌَﺔ‬
‫ﻋﺷ ََر‬ ْ ِ‫ﻋﻠَ ْﯾﮭَﺎ ﺗ‬
َ

“Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).” (QS. Al-


Muddatstsir : 30)

Tatkala ayat ini diturunkan, sebagian orang-orang kafir menjadi sesumbar, di


antaranya adalah Abu Jahal. Abu Jahal berkata,

َ ‫ أ َ َﻣﺎ ﯾَ ْﺳﺗ َِطﯾ ُﻊ ُﻛ ﱡل‬،‫ﯾَﺎ َﻣ ْﻌﺷ ََر ﻗُ َرﯾ ٍْش‬


ِ ‫ﻋ ْﺷ َر ٍة ِﻣ ْﻧ ُﻛ ْم ِﻟ َو‬
‫اﺣ ٍد ِﻣ ْﻧ ُﮭ ْم ﻓَﺗ َ ْﻐ ِﻠﺑُوﻧَ ُﮭ ْم‬

“Wahai orang-orang Quraisy, tidakkah setiap sepuluh orang dari kalian


mampu mengalahkan satu (malaikat) dari mereka? Pastilah kamu dapat
mengalahkan mereka.”([49])

Abu Jahal dengan sombongnya, dia sesumbar untuk mau melawan satu
malaikat dengan sepuluh orang dari kaum Quraisy. Kemudian di antara
orang-orang yang sesumbar lainnya adalah Abu Al-Asyaddain Al-Jumahiy
yang nama aslinya adalah Usaid bin Kaldah bin Khalaf Al-Jumahy. Dia lebih
sombong dengan berkata,

َ ‫ ا ْﻛﻔُوﻧِﻲ ِﻣ ْﻧ ُﮭ ُم اﺛْﻧَﯾ ِْن َوأَﻧَﺎ أ َ ْﻛ ِﻔﯾ ُﻛ ْم ِﻣ ْﻧ ُﮭ ْم‬،‫ﯾَﺎ َﻣ ْﻌﺷ ََر ﻗُ َرﯾ ٍْش‬
َ َ‫ﺳ ْﺑ َﻌﺔ‬
‫ﻋﺷ ََر‬

“Wahai orang-orang Quraisy, kalian hadapi dua dari mereka (penjaga neraka
itu). Dan serahkan tujuh belas kepadaku aku yang menghadapinya.”([50])

Kalau Abu Jahal ingin melawan satu malaikat dengan sepuluh orang, berbeda
dengan Usaid bin Kaldah yang dia ingin melawan 17 malaikat seorang diri.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ﺎب َو َﯾ ْزدَا َد اﻟﱠ ِذﯾنَ آ َﻣﻧُوا‬ ْ ‫َﺎب اﻟﻧﱠ ِﺎر ِإ ﱠﻻ َﻣ َﻼ ِﺋﻛَﺔً َو َﻣﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻧَﺎ ِﻋ ﱠدﺗ َ ُﮭ ْم ِإ ﱠﻻ ِﻓﺗْﻧَﺔً ِﻟﻠﱠ ِذﯾنَ َﻛ َﻔ ُروا ِﻟ َﯾ‬
َ َ ‫ﺳﺗ َ ْﯾ ِﻘنَ اﻟﱠ ِذﯾنَ أُوﺗ ُوا ا ْﻟ ِﻛﺗ‬ َ ‫ﺻﺣ‬ ْ َ ‫َو َﻣﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻧَﺎ أ‬
َ ً َ َ
َ‫�ُ ﺑِ َﮭذا َﻣﺛﻼ َﻛذ ِﻟك‬ َ َ ْ ُ ُ ‫ﱠ‬ ُ
‫ﺎب َواﻟ ُﻣ ْؤ ِﻣﻧونَ َو ِﻟﯾَﻘو َل اﻟ ِذﯾنَ ﻓِﻲ ﻗﻠوﺑِ ِﮭ ْم َﻣ َرضٌ َواﻟﻛَﺎﻓِ ُرونَ َﻣﺎذا أ َرا َد ﱠ‬ ُ ْ ْ ُ ‫ﱠ‬
َ َ ‫ﺎب اﻟ ِذﯾنَ أوﺗ ُوا اﻟ ِﻛﺗ‬َ َ ‫إِﯾ َﻣﺎﻧًﺎ َو َﻻ ﯾَ ْرﺗ‬
‫ﻲ إِ ﱠﻻ ِذﻛ َْرى ِﻟ ْﻠﺑَﺷ َِر‬ َ ‫�ُ َﻣ ْن ﯾَﺷَﺎ ُء َوﯾَ ْﮭدِي َﻣ ْن ﯾَﺷَﺎ ُء َو َﻣﺎ ﯾَ ْﻌﻠَ ُم ُﺟﻧُو َد َر ِﺑّكَ إِ ﱠﻻ ھ َُو َو َﻣﺎ ِھ‬ ‫ﯾُ ِﺿ ﱡل ﱠ‬

“Dan tidaklah Kami jadikan penjaga neraka kecuali hanya dari para
malaikat; dan Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai
cobaan bagi orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi kitab
menjadi yakin, agar orang yang beriman bertambah imannya, agar
orang-orang yang diberi kitab dan orang-orang mukmin itu tidak
ragu-ragu; dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit
dan orang-orang kafir (berkata), ‘Apakah yang dikehendaki Allah
dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah
Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan
memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Dan
tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri.
Dan Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (QS. Al-
Muddatstsir : 31)

Firman Allah :

‫ﺎر ِإ ﱠﻻ َﻣ َﻼﺋِ َﻛﺔً َو َﻣﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻧَﺎ ِﻋ ﱠدﺗ َ ُﮭ ْم ِإ ﱠﻻ ﻓِﺗْﻧَﺔً ِﻟﻠﱠذِﯾنَ َﻛﻔ َُروا‬
ِ ‫ﺎب اﻟﻧﱠ‬ ْ َ ‫َو َﻣﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻧَﺎ أ‬
َ ‫ﺻ َﺣ‬

“Dan tidaklah Kami jadikan penjaga neraka kecuali hanya dari para malaikat;
dan Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi
orang-orang kafir.”

Kata ً‫( ﻓِﺗْﻧَﺔ‬fitnah) dalam ayat ini memiliki dua tafsiran ([51]).

Tafsiran pertama, fitnah maskudnya adalah siksaan. Sehingga sembilan


belas penjaga neraka tersebut akan menyiksa orang-orang kafir di neraka
jahannam.

Tafsiran kedua, fitnah maksudnya adalah cobaan. Yaitu Allah Subhanahu


wa ta’ala membuat angka sembilan belas itu untuk menguji, apakah orang-
orang akan beriman atau tidak. Dan terbukti bahwa orang-orang kafir
sesumbar dengan jumlah yang disebutkan, sementara mereka tidak tahu
bahwa malaikat memiliki kekuatan yang sangat hebat. Sampai-sampai
disebutkan oleh para Ahli Tafsir bahwa yang menghancurkan kaum Luth
hanyalah malaikat Jibril sendiri. Maka bagaimana lagi dengan malaikat
penjaga neraka? Yang Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang sifat-
sifat mereka,

َ‫� َﻣﺎ أ َ َﻣ َر ُھ ْم َو َﯾ ْﻔ َﻌﻠُونَ َﻣﺎ ﯾُؤْ َﻣ ُرون‬ ٌ ‫ﻋﻠَ ْﯾ َﮭﺎ َﻣ َﻼ ِﺋﻛَﺔٌ ِﻏ َﻼ‬
ُ ‫ظ ِﺷ َدا ٌد َﻻ َﯾ ْﻌ‬
َ ‫ﺻونَ ﱠ‬ َ

“Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka


kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)

َ ‫ِﻟﯾَ ْﺳﺗ َ ْﯾﻘِنَ اﻟﱠذِﯾنَ أُوﺗُوا ْاﻟ ِﻛﺗ‬


‫َﺎب‬

“Agar orang-orang yang diberi kitab menjadi yakin.”


Para ulama menyebutkan bahwa dahulu di dalam Al-Kitab (Injil atau Taurat)
tertulis bahwa jumlah penjaga neraka adalah sembilan belas ([52]).
Sehingga seharusnya ketika ayat ini turun, para Ahli Kitab itu semakin yakin
bahwa Alquran itu benar dan cocok dengan apa yang disebutkan dalam Al-
Kitab.

َ ‫َﺎب اﻟﱠذِﯾنَ أُوﺗُوا ْاﻟ ِﻛﺗ‬


َ‫َﺎب َو ْاﻟ ُﻣؤْ ِﻣﻧُون‬ َ ‫َوﯾَ ْز َدا َد اﻟﱠذِﯾنَ آ َﻣﻧُوا إِﯾ َﻣﺎﻧًﺎ َو َﻻ ﯾَ ْرﺗ‬

“Dan agar orang yang beriman bertambah imannya, agar orang-orang yang
diberi kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu.”

Demikianlah orang-orang beriman tidak ragu dengan turunnya ayat ini,


melainkan mereka semakin yakin.

‫ض َو ْاﻟﻛَﺎ ِﻓ ُرونَ َﻣﺎذَا أ َ َرا َد ﱠ‬


‫�ُ ِﺑ َﮭذَا َﻣﺛ َ ًﻼ‬ ٌ ‫َو ِﻟ َﯾﻘُو َل اﻟﱠذِﯾنَ ِﻓﻲ ﻗُﻠُو ِﺑ ِﮭ ْم َﻣ َر‬

“Dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang
kafir (berkata), ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan (bilangan) ini
sebagai suatu perumpamaan?’.”

Yang dimaksud dengan orang yang berpenyakit dalam ayat ini bukanlah
orang-orang munafik. Karena ayat ini adalah ayat Makkiyah, sedangkan
orang-orang munafik baru muncul setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berhijrah ke Madinah. Akan tetapi yang dimaksud dengan orang yang
berpenyakit di dalam hatinya adalah orang-orang yang ragu untuk masuk
Islam seperti Al-Walid Ibnul Mughirah. ([53])

‫ِﻲ ِإ ﱠﻻ ِذ ْﻛ َرى ِﻟ ْﻠﺑَﺷ َِر‬


َ ‫�ُ َﻣ ْن ﯾَﺷَﺎ ُء َوﯾَ ْﮭدِي َﻣ ْن ﯾَﺷَﺎ ُء َو َﻣﺎ ﯾَ ْﻌﻠَ ُم ُﺟﻧُو َد َر ِﺑّكَ ِإ ﱠﻻ ھ َُو َو َﻣﺎ ھ‬ ِ ‫َﻛذَﻟِكَ ﯾ‬
‫ُﺿ ﱡل ﱠ‬

“Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan


memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Dan tidak ada
yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. Dan Saqar itu
tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.”

Sebagian ulama menyebutkan bahwa angka sembilan belas yang Allah


Subhanahu wa ta’ala itu hanyalah penjaga utama dari neraka ([54]). Adapun
berapa jumlah malaikat di dalamnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang mengetahui berapa banyak
jumlah malaikat yang akan menyiksa penghuni neraka kecuali Allah
Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi sebagian ulama yang lain menyebutkan
bahwa jumlah malaikat penjaga neraka hanyalah sembilan belas
sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan, dan tidak lebih dari
itu, karena untuk menunjukkan bahwa malaikat hanyalah simbol, dan Allah
Subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan dengan malaikat ([55]). Jika Allah
Subhanahu wa ta’ala hanya ingin menjadikan malaikat penjaga neraka hanya
satu, dua atau tiga, maka itu semua mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala
karena segalanya atas perintah-Nya. Sehingga menunjukkan bahwa Allah
Subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan ribuan malaikat untuk menyiksa
seluruh manusia yang disiksa di neraka, melainkan sembilan belas cukup
sebagai simbol.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ َواﻟ ﱡ‬،‫ َواﻟﻠﱠ ْﯾ ِل ِإ ْذ أ َ ْد َﺑ َر‬،‫ﻛ ﱠَﻼ َوا ْﻟﻘَ َﻣ ِر‬


ْ َ ‫ﺻﺑْﺢِ ِإذَا أ‬
‫ﺳ َﻔ َر‬

“Sekali-kali tidak. Demi bulan, dan demi malam ketika telah berlalu,
dan demi subuh apabila mulai terang.” (QS. Al-Muddatstsir : 32-34)

Tiga jenis kondisi Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini menjelaskan
tentang adanya cahaya yang muncul di tengah-tengah kegelapan. Rembulan
bercahaya di gelapnya malam, ketika malam telah berlalu juga menunjukkan
adanya cahaya yang merobek kegelapan malam, dan ketika subuh setelah
semakin terang. Kondisi-kondisi ini mengisyaratkan bahwa Alquran adalah
cahaya di tengah gelapnya kesyirikan orang-orang kafir Quraisy. Maka
seharusnya orang-orang yang cerdas itu bisa mendapatkan petunjuk dengan
cahaya tersebut. ([56])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ِﯾرا ِﻟ ْﻠﺑَﺷ َِر‬


ً ‫ ﻧَذ‬،‫إِﻧﱠ َﮭﺎ َ ِﻹﺣْ َدى ْاﻟ ُﻛﺑَ ِر‬

“Sesunggunya (Saqar itu) adalah salah satu (bencana) yang sangat besar,
sebagai peringatan bagi manusia.” (QS. Al-Muddatstsir : 35-36)

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Al-Walid Ibnul Mughirah berpikir keras


untuk mencela Alquran. Dan ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala
memberikan kepadanya azab berupa neraka Saqar. Ini menunjukkan
bahwasanya bukan hanya amalan kita yang akan diperhitungkan oleh Allah
Subhanahu wa ta’ala, melainkan pemikiran kita juga akan diperhitungkan.
Karena ada yang namanya amal badan dan amal fikri. Oleh karenanya
tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ِإﻧﱠ َﻣﺎ ْاﻷ َ ْﻋ َﻣﺎ ُل ﺑِﺎﻟ ِﻧّﯾﱠﺎ‬


‫ت‬

“Semua amalan tergantung niatnya.”([57])

Al-Imam Ash-Shan’ani([58]) menjelaskan bahwasanya amal yang dimaksud


dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sifatnya umum sehingga
mencakup tentang amal fikri. Oleh karenanya jika sekiranya seseorang
berpikir tentang maslahat dakwah, meskipun belum berbuat maka dia akan
mendapatkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau tersenyum saja
Allah tidak lupa untuk memberikan pahala, maka bagaimana lagi dengan
berpikir dalam hal kebaikan yang memakan waktu yang lama? Tentunya ada
pahala yang Allah siapkan.

Oleh karenanya seseorang ingat bahwasanya berpikir juga akan dinilai oleh
Allah Subhanahu wa ta’ala. Berpikir kebaikan akan mendatangkan pahala,
namun berhati-hati karena jika berpikir keburukan akan mendatangkan
dosa.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ِﻟ َﻣ ْن ﺷَﺎ َء ِﻣ ْﻧ ُﻛ ْم أ َ ْن ﯾَﺗَﻘَ ﱠد َم أ َ ْو ﯾَﺗَﺄ َ ﱠﺧ َر‬

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang ingin maju atau mundur.”
(QS. Al-Muddatstsir : 37)

Apa maksudnya maju mundur? Ada yang mengatakan maksudnya adalah


yang maju untuk kebaikan, dan mundur dari ketaatan menuju kepada
kemaksiatan ([59]). Artinya adalah ayat ini memberikan pilihan kepada
seseorang untuk menentukan amalannya, baik itu dia memilih amalan yang
mengantarkannya kepada neraka atau memilih amalan yang
mengantarkannya kepada surga.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ِ ‫َﺎب ا ْﻟﯾَ ِﻣ‬


‫ﯾن‬ َ ‫ﺻﺣ‬ْ َ ‫ إِ ﱠﻻ أ‬،ٌ‫ﺳﺑَتْ َرھِﯾﻧَﺔ‬
َ ‫ُﻛ ﱡل ﻧَ ْﻔ ٍس ﺑِ َﻣﺎ َﻛ‬

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya,


kecuali golongan kanan (penghuni surga).”

Banyak tafsir tentang ayat ini. Akan tetapi sebagian pendapat menyebutkan
bahwasanya setiap orang yang memiliki dosa pasti bertanggung jawab
dengan dosanya, kecuali para penghuni surga yang dosa-dosa mereka
diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala ([60]). Di antara alasan mereka
diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala adalah karena timbangan amal
kebaikan mereka jauh lebih berat sehingga mereka tidak bertanggung jawab
dengan dosa-dosanya karena telah diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ‫ ﻋ َِن ا ْﻟ ُﻣﺟْ ِر ِﻣﯾن‬، َ‫ﺳﺎ َءﻟُون‬ ٍ ‫ﻓِﻲ َﺟﻧﱠﺎ‬


َ َ ‫ت ﯾَﺗ‬

“Di dalam surga, mereka (penduduk surga) saling bertanya tentang


(keadaan) orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Muddatstsir : 40-41)
Penduduk surga kelak mereka akan saling bertanya-tanya tentang
bagaimana nasib orang-orang yang berbuat dosa, orang-orang yang berbuat
zalim yang mereka kenal tatkala di dunia.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ﺳ َﻘ َر‬
َ ‫ﺳﻠَ َﻛ ُﻛ ْم ﻓِﻲ‬
َ ‫َﻣﺎ‬

“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?”


(QS. Al-Muddatstsir : 42)

Secara zahir, ayat ini menunjukkan terjadi dialog antara penghuni surga dan
penghuni neraka. Dan banyak ayat yang menunjukkan bahwa penghuni
surga berdialog dengan penghuni neraka, di antaranya firman Allah
Subhanahu wa ta’ala,

‫ﻋ َد َرﺑﱡ ُﻛ ْم َﺣﻘ�ﺎ ﻗَﺎﻟُوا ﻧَﻌَ ْم ﻓَﺄَذﱠنَ ُﻣ َؤذّ ٌِن‬ َ ‫ﺎر أ َ ْن ﻗَ ْد َو َﺟ ْدﻧَﺎ َﻣﺎ َو‬
َ ‫ﻋ َدﻧَﺎ َرﺑﱡﻧَﺎ َﺣﻘ�ﺎ ﻓَ َﮭ ْل َو َﺟ ْدﺗ ُ ْم َﻣﺎ َو‬ ِ ‫ﺎب اﻟﻧﱠ‬ ْ َ ‫ﺎب ْاﻟ َﺟﻧﱠ ِﺔ أ‬
َ ‫ﺻ َﺣ‬ ْ َ ‫َوﻧَﺎ َدى أ‬
ُ ‫ﺻ َﺣ‬
‫ﻋﻠَﻰ ﱠ‬
َ‫اﻟظﺎ ِﻟ ِﻣﯾن‬ َ � ِ ‫ﺑَ ْﯾﻧَ ُﮭ ْم أ َ ْن ﻟَ ْﻌﻧَﺔُ ﱠ‬

“Dan para penghuni surga menyeru kepada penghuni-penghuni neraka.”


(QS. Al-A’raf : 44)

Maka dalam ayat ini penghuni surga juga berdialog dengan penghuni neraka.
Kita mungkin akan bingung membayangkan tentang bagaimana cara
penghuni surga berdialog dengan penghuni neraka. Para ulama zaman
dahulu yang belum tahu kecanggihan menyebutkan bahwa bisa jadi
penghuni surga dari atas melihat jauh ke bawah kepada penghuni neraka.
Dan tatkala mereka bertanya, maka Allah berikan ilham sehingga perkataan
penghuni surga dipahami oleh penghuni neraka, demikian pula sebaliknya
jika penghuni neraka berkata kepada penghuni surga ([61]). Akan tetapi jika
kita analogikan pada zaman sekarang, berbicara dengan seseorang yang
berbeda tempat sangat mudah untuk dilakukan dengan video call atau yang
lainnya. Maksudnya adalah kondisi penduduk surga dan neraka berdialog itu
adalah hal yang mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, adapun bagaimana
caranya itu menjadi urusan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Maka ketika penghuni neraka ditanya tentang mengapa mereka dimasukkan


ke dalam neraka Saqar, para penghuni neraka menjawab,

َ ‫ﻗَﺎﻟُوا ﻟَ ْم ﻧَكُ ِﻣنَ ا ْﻟ ُﻣ‬


َ‫ﺻ ِﻠّﯾن‬

“Mereka menjawab, ‘Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang


melaksanakan shalat.” (QS. Al-Muddatstsir : 43)
Penghuni neraka tidak mengatakan bahwa dahulu mereka berzina, maka
riba, atau berbuat zalim, melainkan mereka mengatakan bahwa sebabnya
adalah karena mereka tidak shalat. Ini menunjukkan bahwa meninggalkan
shalat adalah dosa yang lebih besar daripada zina, riba, dan yang lainnya.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ْ ‫َوﻟَ ْم ﻧَكُ ﻧُ ْط ِﻌ ُم ا ْﻟ ِﻣ‬


َ‫ﺳ ِﻛﯾن‬

“Dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin.” (QS. Al-
Muddatstsir : 44)

Kalau sebelumnya jawaban mereka berkaitan dengan hubungan mereka


dengan Allah, maka ini berkaitan hubungan dengan manusia. Dan perkataan
penghuni neraka ini menunjukkan buruknya pelit. Dan telah dibahas pada
pembahasannya sebelumnya bahwa pelit adalah di antara dosa yang bisa
membuat orang terjerumus ke dalam neraka jahannam. Mereka menahan-
nahan hartanya karena merasa bahwa hartanya akan membuatnya panjang
umur. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ ‫ ﻛ ﱠَﻼ ﻟَﯾُ ْﻧﺑَذَ ﱠن ﻓِﻲ ْاﻟ ُﺣ‬،ُ‫ب أ َ ﱠن َﻣﺎﻟَﮫُ أ َ ْﺧﻠَ َده‬


‫ط َﻣ ِﺔ‬ َ ْ‫ ﯾَﺣ‬،ُ‫ﻋ ﱠد َده‬
ُ ‫ﺳ‬ ً ‫ اﻟﱠذِي َﺟ َﻣ َﻊ َﻣ‬،ٍ‫َو ْﯾ ٌل ِﻟ ُﻛ ِّل ُھ َﻣزَ ةٍ ﻟُ َﻣزَ ة‬
َ ‫ﺎﻻ َو‬

“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta


dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat
mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam
neraka Huthamah.” (QS. Al-Humazah : 1-4)

Sesungguhnya banyak tidaknya harta seseorang tidak akan menambah umur


seseorang meskipun hanya sedetik. Betapa banyak orang yang kaya raya
meninggal dalam kekayaannya sebagaimana orang miskin juga meninggal
dalam kemiskinannya. Dan sifat pelit adalah sifat orang-orang kafir,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

‫َوﺗ ُ ِﺣﺑﱡونَ ْاﻟ َﻣﺎ َل ُﺣﺑ�ﺎ َﺟ �ﻣﺎ‬

“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr
: 20)

َ َ‫َو ِإﻧﱠﮫُ ِﻟﺣُبّ ِ ْاﻟ َﺧﯾ ِْر ﻟ‬


‫ﺷدِﯾ ٌد‬

“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.” (QS. Al-


‘Adiyat : 8)

ِ ‫ط َﻌ ِﺎم ْاﻟ ِﻣ ْﺳ ِﻛ‬


‫ﯾن‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ‬ ‫َو َﻻ َﯾ ُﺣ ﱡ‬
َ ‫ض‬
“Dan (mereka) tidak mendorong memberi makan orang miskin.” (QS. Al-
Ma’un : 3)

Dan masih banyak ayat yang lain di dalam Alquran yang menunjukkan
bahwa orang-orang kafir ciri-cirinya adalah pelit. Maka ketika seseorang
bersikap pelit artinya dia sedang berakhlak dengan akhlak orang kafir.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman melanjutkan perkataan


penghuni neraka,

‫ َﺣﺗﱠﻰ أَﺗَﺎﻧَﺎ ا ْﻟﯾَ ِﻘﯾ ُن‬،‫ِﯾن‬ ُ ّ‫ َو ُﻛﻧﱠﺎ ﻧُ َﻛذ‬، َ‫وض َﻣ َﻊ ا ْﻟ َﺧﺎﺋِ ِﺿﯾن‬
ِ ‫ِب ِﺑﯾَ ْو ِم اﻟ ّد‬ ُ ‫َو ُﻛﻧﱠﺎ ﻧَ ُﺧ‬

“Dan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil), bersama


orang-orang yang membicarakannya (orang kafir).” (QS. Al-
Muddatstsir : 45)

Maksudnya adalah dahulu penghuni neraka itu berdalam-dalam berbincang-


bincang bersama orang kafir untuk menghina Islam dan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tenggelam dalam kebatilan untuk
membantah kebenaran, akhirnya mereka pun mendustakan hari kiamat
hingga datang kematian kepada mereka. ([62])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ‫ﺷﻔَﺎﻋَﺔُ اﻟﺷﱠﺎﻓِ ِﻌﯾن‬


َ ‫ﻓَ َﻣﺎ ﺗ َ ْﻧﻔَﻌُ ُﮭ ْم‬

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari


orang-orang yang memberikan syafaat.” (QS. Al-Muddatstsir : 48)

Syafaat tidak lagi berguna bagi mereka karena mereka kafir, dan syafaat
memang tidak berguna bagi orang-orang kafir. Dan ayat ini merupakan dalil
bahwasanya syafaat itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.
([63])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ْ ‫ َﻛﺄَﻧﱠ ُﮭ ْم ُﺣ ُﻣ ٌر ُﻣ‬، َ‫ﻓَ َﻣﺎ ﻟَ ُﮭ ْم ﻋ َِن اﻟﺗ ﱠ ْذ ِﻛ َر ِة ُﻣ ْﻌ ِر ِﺿﯾن‬


ْ َ‫ ﻓَ ﱠرتْ ِﻣ ْن ﻗ‬،ٌ‫ﺳﺗ َ ْﻧ ِﻔ َرة‬
‫ﺳ َو َر ٍة‬

“Lalu mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan


(Allah)? seakan-akan mereka keledai liar yang lari terkejut, lari dari
singa.” (QS. Al-Muddatstsir : 49-51)

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala kembali lagi kepada orang-orang
kafir Quraisy. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa mereka itu
ibarat himar (keledai) liar yang lari kabur dengan sangat jauh. Disebutkan
bahwa himar liar itu jika ada gerakan sedikit saja maka dia akan kabur. Maka
demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala mengumpamakan orang-orang kafir.
Ketika orang-orang kafir mendengarkan Alquran atau dakwah, maka mereka
akan kabur karena tidak mau mendengarkan peringatan Allah Subhanahu wa
ta’ala seperti himar liar yang kabur dari kejaran singa. ([64])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ُ ‫اﻣ ِر ٍئ ِﻣ ْﻧ ُﮭ ْم أ َ ْن ﯾُ ْؤﺗَﻰ‬
ً‫ﺻ ُﺣﻔًﺎ ُﻣﻧَﺷ َﱠرة‬ ْ ‫َﺑ ْل ﯾُ ِرﯾ ُد ُﻛ ﱡل‬

Bahkan setiap orang dari mereka ingin agar diberikan kepadanya


lembaran-lembaran (kitab) yang terbuka.” (QS. Al-Muddatstsir : 52)

Ayat ini dibawakan kepada dua makna ([65]):

Makna pertama adalah orang-orang kafir meminta untuk dibawakan kitab


dari langit secara langsung. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
ta’ala tentang perkataan orang-orang kafir,

ُ‫ﻋﻠَ ْﯾﻧَﺎ ِﻛﺗ َﺎﺑًﺎ ﻧَ ْﻘ َر ُؤه‬


َ ‫َو َﻟ ْن ﻧُؤْ ِﻣنَ ِﻟ ُرﻗِ ِﯾّكَ َﺣﺗﱠﻰ ﺗُﻧ ِ َّز َل‬

“Dan kami tidak akan mempercayai kenaikanmu itu sebelum engkau


turunkan kepada kami sebuah kitab untuk kami baca.” (QS. Al-Isra’ : 93)

Makna kedua adalah orang-orang kafir meminta bukti kebenaran perkataan


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang catatan amal kebaikan dan
keburukan yang akan diperlihatkan kepada masing-masing orang pada hari
kiamat. Artinya mereka menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan berangan-berangan catatan kebaikan keburukan itu
diperlihatkan kepada mereka sekarang di dunia.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ َو َﻣﺎ َﯾ ْذﻛ ُُرونَ ِإ ﱠﻻ أ َ ْن َﯾﺷَﺎ َء ﱠ‬،‫ ﻓَ َﻣ ْن ﺷَﺎ َء ذَﻛ ََر ُه‬،ٌ‫ ﻛ ﱠَﻼ ِإﻧﱠﮫُ ﺗ َ ْذ ِﻛ َرة‬،َ‫ﻛ ﱠَﻼ َﺑ ْل َﻻ َﯾ َﺧﺎﻓُونَ ْاﻵ ِﺧ َرة‬
‫�ُ ھ َُو أ َ ْھ ُل اﻟﺗ ﱠ ْﻘ َوى َوأ َ ْھ ُل ا ْﻟ َﻣ ْﻐ ِﻔ َر ِة‬

“Sekali-kali tidak! Sebenarnya mereka tidak takut kepada akhirat.


Tidak! Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar suatu peringatan.
Tidak! Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar suatu peringatan.
Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya (Al-Qur’an)
kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dialah Tuhan yang patut (kita)
bertakwa kepada-Nya dan yang berhak memberi ampunan.” (QS. Al-
Muddatstsir : 53-56)
Sungguh benar bahwasanya Allah adalah Ahlul Maghfirah (Yang berkah
memberi ampunan). Seorang penyair berkata,

‫أ َ َﻻ ﯾَﺎ ا ِْر َﺣ ُﻣ ْوﻧِﻲ ﯾَﺎ ِإﻟَﮫَ ُﻣ َﺣ ﱠﻣـ ٍد ﻓَﺈِ ْن ﻟَ ْم أ َ ُﻛ ْن أ َ ْھﻼً ﻓَﺄ َ ْﻧتَ ﻟَﮫُ أ َ ْھ ٌل‬

“Rahmatilah aku wahai Tuhannya Muhammad. Jika aku tidak pantas untuk
diampuni, sesungguhnya Engkau pantas untuk mengampuni.”

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah sangat mudah untuk


mengampuni hamba-hamba-Nya. Sehingga ini adalah berita gembira bagi
orang-orang yang masih terjerumus dalam dosa agar segera kembali dan
tidak putus asa dari kasih sayang Allah Subhanahu wa ta’ala.

l Qur'an, Ta

Anda mungkin juga menyukai