َوﻟَ ْو َﻻ،ﺎر ِ ﺻَ ِي ْاﻷ َ ْﻧَ ﺳﻠَ ْﻛتُ َواد َ َ ﻟ،ﺎر َوا ِدﯾًﺎ
ُ ﺻ ِ َ َوا ْﺳﺗ َ ْﻘﺑَﻠ،ﺎس ا ْﺳﺗ َ ْﻘﺑَﻠُوا َوا ِدﯾًﺎ أ َ ْو ِﺷ ْﻌﺑًﺎ
َ ت ْاﻷ َ ْﻧ َ َوﻟَ ْو أ َ ﱠن اﻟﻧﱠ،ﺎر
ٌ َ ﺎس ِدﺛ
ُ َواﻟﻧﱠ،ﺎر
ٌ ﺎر ِﺷ َﻌ
ُ ﺻَ ْاﻷ َ ْﻧ
ﺎر
ِ َﺻ ْ
ﻧ َ ْ
اﻷ ﻣ
َْ َ ِ نً أ راﻣ ُت ْ
ﻧ ُ
ﻛ َ ﻟ ُ ةر ﮭ
َ ِْ ﺟ ْ
اﻟ
c. Meluruskan orientasi
Menyembah Allah (shalat)
“Pembuka shalat adalah bersuci, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam.”([14])
Akan tetapi jumhur Ahli Tafsir mengatakan bahwa ayat ini umum dan bukan
hanya berkaitan dengan shalat.
َ ََوﺛِﯾَﺎﺑَكَ ﻓ
ط ِ ّﮭ ْر
Secara umum, makna ayat ini bisa diartikan dengan makna hakiki atau
makna majazi.
Inilah dua makna yang dibawakan oleh para Ahli Tafsir tentang ayat ini, dan
hampir seluruh Ahli Tafsir juga menyebutkan demikian.
ْ َ َو َﻻ ﺗ َ ْﻣﻧُ ْن ﺗ
ﺳﺗ َ ْﻛ ِﺛ ُر
Kata ْاﻟ َﻣنdari kata ﺗ َْﻣﻧُ ْنmaknanya adalah ﺎﻣ ِﮫ َ ﺗ َ ْذ ِﻛﯾ ُْر ْاﻟ ُﻣ ْﻧﻌَ ِم, yaitu mengingatkan
ِ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ﺑِﺈِ ْﻧﻌ
kebaikan orang yang berbuat baik kepadanya tentang kebaikan-
kebaikannya.
Tafsiran ketiga, janganlah seseorang berbuat baik kepada orang lain dan
menganggap orang tersebut berhutang budi kepadanya. Tafsiran ketiga ini
adalah tafsiran yang dibawakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di rahimahullah dan beberapa riwayat dari para salaf ([21]). Maka
seharusnya tatkala seseorang telah melakukan kebaikan, hendaknya dia
melupakan kebaikannya. Karena pada dasarnya muamalah yang dia lakukan
bukan terhadap orang tersebut, melainkan dia bermuamalah dengan Allah
Subhanahu wa ta’ala. Sehingga orang yang diberikan kebaikan mau
bersyukur atau tidak, itu tidak bukan urusannya melainkan menjadi urusan
Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan ini akan menutup pintu untuk seseorang
mengungkit-ungkit kebaikan-kebaikan di masa lalu. Dan Allah Subhanahu wa
ta’ala telah berfirman,
Dan ini tentunya peringatan bagi kita, tatkala kita berdakwah hendaknya kita
ikhlas kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan jangan pernah merasa telah
berjasa besar dalam dakwah. Serahkan urusan pahala kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala, karena lagi pula kita sendiri tidak tahu apakah pahala
kita besar atau kecil, atau bahkan kita tidak tahu apakah kita ikhlash
sehingga mendapatkan pahala atau sebaliknya?.
Di antara hal yang bisa membuat kita semangat untuk bersabar adalah kita
menyadari bahwa kita bersabar karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Yang
namanya orang berdakwah pasti mengalami gangguan baik itu secara fisik
atau mental. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ﺻﺑ ِْر
ﺻ ْوا ﺑِﺎﻟ ﱠ ِ ّ ﺻ ْوا ﺑِ ْﺎﻟ َﺣ
َ ﻖ َوﺗ ََوا َ َوﺗ ََوا
“Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk
kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr : 3)
ﺻ ْﯾ َﺣﺔ؟ ﻓﺎﺷﺗ ّد ذﻟك ﻋﻠﻰ ﺛ ُ ﱠم أ ْﻗﺑَ َل ﺑﺄُذُﻧِ ِﮫ ﯾَ ْﺳﺗ َِﻣ ُﻊ َﻣﺗﻰ ﯾُؤْ َﻣ ُر ﺑﺎﻟ ﱠ،ُ َو َﺣﻧَﻰ َﺟ ْﺑ َﮭﺗَﮫ، َب اﻟﻘَ ْر ِن ﻗَ ِد ْاﻟﺗَﻘَ َم اﻟﻘَ ْرن
ُ ﺎﺣ
ِ ﺻَ ْف أ َ ْﻧﻌَ ُم َو
َ َﻛﯾ
ْ ﻋﻠﻰ ﷲِ ﺗ ََو ﱠﻛﻠﻧﺎ،ُاﻟو ِﻛﯾل
َ َﺣ ْﺳﺑُﻧﺎ ﷲُ َوﻧِ ْﻌ َم: ﻓﺄﻣرھم أن ﯾﻘوﻟوا،أﺻﺣﺎﺑﮫ
ﯾر
ٍ ﺳ َ َﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻛَﺎﻓِ ِرﯾن
ِ َﻏﯾ ُْر ﯾ َ ،ﯾر
ٌ ﺳ َ ﻓَذَ ِﻟكَ ﯾَ ْو َﻣﺋِ ٍذ ﯾَ ْو ٌم
ِ ﻋ
“Maka itulah hari yang berat, bagi orang-orang kafir (hari itu) tidak
mudah.” (QS. Al-Muddatstsir : 9-10)
Kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut hari kiamat adalah hari yang
berat? Karena hari kiamat adalah hari yang penuh dengan kesulitan dan
kepayahan ([23]). Bayangkan saja bagaimana keadaan orang-orang di
padang mahsyar, dibangkitkan dalam keadaan tidak berpakaian, matahari
didekatkan dengan jarak satu mil, kemudian disuruh berdiri menunggu
kedatangan Allah Subhanahu wa ta’ala yang satu hari ukurannya setara
dengan 50.000 tahun. Maka tentunya hari itu adalah hari yang sangat berat,
sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
Hari itu adalah hari yang sulit bagi para nabi dan orang-orang yang
bertakwa. Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim ‘alaihimassalam
merasa takut dan merasa sulit hari itu. Jika hari itu adalah hari yang sulit
bagi para nabi-nabi dan orang-orang bertakwa, maka hari itu pasti akan jauh
lebih sulit bagi orang-orang kafir. Karena orang-orang kafir tatkala
dibangkitkan, mereka telah putus asa dari segala kebaikan dan mereka telah
yakin bahwa mereka akan binasa ([24]). Maka semakin lama orang-orang
kafir merasakan hari tersebut, maka mereka akan semakin menuju kepada
kebinasaaan dan kesulitan yang lebih berat yaitu neraka jahannam.
Ada dua pendapat tentang apa yang dimaksud “sendirian” dalam ayat ini.
Pendapat pertama, kata َو ِﺣﯾدًاdalam ayat ini adalah َﺣﺎ ٌلdari dhamir fa’il
(subjek/pelaku) yang artinya sendirian dalam melakukan ([27]). Maksudnya
adalah Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan sendiri Al-Mughirah dan
tidak ada yang membantu-Nya. Sehingga seakan-akan Allah Subhanahu wa
ta’ala berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Janganlah engkau
(Muhammad) mengurus dia, biarkan aku yang mengurusnya karena dia
adalah ciptaan-Ku. Sebagaimana Aku sendiri yang menciptakannya, maka
aku sendiri yang mengurus kelak kebinasaannya”. Sehingga pendapat
pertama menyimpulkan bahwa maksud “sendirian” dalam ayat ini adalah
Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan sendiri Al-Walid Ibnul
Mughirah, dan Allah sendiri pula yang akan mengurusi kebinasaannya.
Pendapat kedua, kata َو ِﺣﯾدًاdalam ayat ini adalah َﺣﺎ ٌلdari dhamir
yang muqaddar. Maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala yang
menciptakan Al-Walid Ibnul Mughirah dalam kondisi al-Waliid sendirian.
Artinya Al-Walid keluar dari perut ibunya tanpa harta sedikitpun, dan Allah
Subhanahu wa ta’ala yang membuat dia kaya([28]). Sementara Al-Walid
Ibnul Mughirah sombong dengan kekayaannya, sampai-sampai dia
mengatakan bahwa tidak ada yang menandinginya. Maka ayat ini seakan-
akan Allah membantah kesombongannya dengan berkata “Sesungguhnya
kamu dahulu tidak memiliki apa-apa”. Dan pada dasarnya semua manusia
seperti itu (tidak memiliki apa-apa), hanya saja Al-Walid Ibnul Mughirah
disebutkan secara khusus karena dia kufur nikmat kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala.
Ayat ini adalah khitab (ditujukan) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seakan-akan di dalam ayat ini Allah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam “Biarkan aku dengan Al-Walid (itu menjadi urusan-Ku)”. Ini
menjadi isyarat bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih dengan
gangguan Al-Walid Ibnul Mughirah ([29]). Karena Al-Walid yang menuduh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyihir, yang mengatakan
Alquran sebagai dongen orang-orang terdahulu, dan dia pula orang yang
mengajari orang-orang Quraisy untuk mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dengan semua gangguan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersedih. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala ingin menghibur Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan menurunkan firman-Nya,
“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang yang Aku sendiri telah
menciptakannya.” (QS. Al-Muddatstsir : 11)
Kata َﻣ ْﻣدُودًاmaknanya adalah sesuatu yang bersambung atau panjang. Dan ini
sesuai dengan perkataan para ulama ahli tafsir bahwa harta Al-Walid Ibnul
Mughirah tidak terputus sepanjang jarak antara Thaif dan Mekkah. ([30])
ُ ََوﺑَﻧِﯾن
ﺷ ُﮭودًا
Al-Walid Ibnul Mughirah memiliki banyak anak yang selalu bersama mereka.
Siapa anak-anak Al-Walid Ibnul Mughirah? Di antara anak-anaknya adalah
Al-Walid Ibnul Walid, Khalid bin Walid, dan Hisyam Ibnul Walid. Tiga anaknya
ini adalah yang masuk Islam. Di antara anaknya yang lain adalah Umarah
Ibnul Walid, Al-‘Ash Ibnul Walid, Qhais Ibnul Walid, ‘Abdu Syam Ibnul Walid,
dan yang lainnya. ([31])
ْ ﺛ ُ ﱠم َﯾ
ط َﻣ ُﻊ أ َ ْن أ َ ِزﯾ َد
“Kemudian dia ingin sekali agar Aku menambahnya.” (QS. Al-Muddatstsir :
15)
Maka apa lagi yang kurang dari Al-Walid Ibnul Mughirah? Dia adalah
penguasa dari Bani Makhzum, dia lebih hebat daripada Abu Jahal dan Abu
Sufyan, kemudian dia juga memiliki harta dan anak yang banyak, akan
tetapi dia masih tamak untuk ditambahkan kenikmatan.
ْ َﺛ ُ ﱠم ﯾ
ط َﻣ ُﻊ أ َ ْن ﯾَ ِزﯾ َد
Atau ini menunjukan berarti al-Waliid meyakini bahwa yang memberi rizki
kepadanya adalah Allah([33]). Dan hal ini sangat mungkin, karena kaum
Quraisy percaya dengan Rububiyah Allah.
َ ُﺳﺄ ُ ْر ِھﻘُﮫ
ﺻﻌُودًا َ
Ayat ini turun tentang Al-Walid Ibnul Mughirah tatkala dia tertarik dengan
dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam sebuah riwayat
bahwasanya Al-Walid Ibnul Mughirah senang mendengar bacaan-bacaan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Alquran). Terkadang dia datang ke rumah
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu untuk mendengar bacaan Alqurannya. Dari
Ikrimah radhiallahu ‘anhu, bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
َﯾﺎ: ﻓَﺄَﺗ َﺎهُ ﻓَﻘَﺎ َل، ﻓَ َﻛﺄَﻧﱠﮫُ َر ﱠق ﻟَﮫُ ﻓَﺑَﻠَ َﻎ ذَﻟِكَ أَﺑَﺎ َﺟ ْﮭ ٍل، َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ْاﻟﻘُ ْرآن
َ َ ﺳﻠﱠ َم ﻓَﻘَ َرأ َ ُﺻﻠﱠﻰ ﷲ
َ ﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َ ِﻲ ّ ِﯾرةِ َﺟﺎ َء إِﻟَﻰ اﻟﻧﱠﺑ َ أ َ ﱠن ْاﻟ َو ِﻟﯾ َد ﺑْنَ ْاﻟ ُﻣ ِﻐ
ت َ ﻗَ ْد: ﻗَﺎ َل،ُض ِﻟ َﻣﺎ ﻗِﺑَﻠَﮫ
ْ ﻋ ِﻠ َﻣ َ طو َﻛﮫُ ﻓَﺈِﻧﱠكَ أَﺗَﯾْتَ ُﻣ َﺣ ﱠﻣدًا ِﻟﺗ ُ ْﻌ ِر ُ ِﻟﯾُ ْﻌ: ﻟَ َم؟ ﻗَﺎ َل: ﻗَﺎ َل. ﺎﻻ ً ِإ ﱠن ﻗَ ْو َﻣكَ ﯾَ َر ْونَ أ َ ْن ﯾَﺟْ َﻣﻌُوا ﻟَكَ َﻣ،ﻋ ﱡم َ
� َﻣﺎ ِﻓﯾ ُﻛ ْم ِ َو َﻣﺎ َذا أَﻗُو ُل «ﻓَ َو ﱠ: ﻗَﺎ َل،َُﺎرهٌ ﻟَﮫ
ِ ﻓَﻘُ ْل ِﻓﯾ ِﮫ ﻗَ ْو ًﻻ َﯾ ْﺑﻠُ ُﻎ ﻗَ ْو َﻣكَ أَﻧﱠكَ ُﻣ ْﻧ ِﻛ ٌر ﻟَﮫُ أ َ ْو أَﻧﱠكَ ﻛ: ﻗَﺎ َل. ﺎﻻ ً ْش أ َ ِﻧّﻲ ِﻣ ْن أ َ ْﻛﺛ َ ِرھَﺎ َﻣ
ٌ ﻗُ َرﯾ
َ ْ
ِ ﺷ ْﯾﺋﺎ ِﻣن َھذا َو َو ﱠ
� ً ُ ﱠ ْ
َ � َﻣﺎ ﯾُﺷﺑِﮫُ اﻟذِي ﯾَﻘو ُل ْ
ِ ﺎر اﻟ ِﺟ ِّن َو ﱠ ْ َ َ ّ
ِ َﺻﯾ َدةٍ ِﻣ ِﻧﻲ َوﻻ ﺑِﺄﺷﻌ َ َ َ َ
ِ َ َوﻻ أ ْﻋﻠ َم ﺑِ َر َﺟ ٍز َوﻻ ﺑِﻘ،ﺎر ِﻣ ِﻧﻲ ّ ْ َ ْ َ َ
ِ ََر ُﺟ ٌل أ ْﻋﻠ َم ﺑِﺎﻷﺷﻌ
ٌ َو ِإﻧﱠﮫُ ﻟَ ُﻣﺛْ ِﻣ ٌر أَﻋ َْﻼهُ ُﻣ ْﻐد،ًط َﻼ َوة
»ُ َو ِإﻧﱠﮫُ ﻟَﯾَ ْﻌﻠُو َو َﻣﺎ ﯾُ ْﻌﻠَﻰ َو ِإﻧﱠﮫُ ﻟَﯾَﺣْ ِط ُم َﻣﺎ ﺗ َﺣْ ﺗَﮫ،ُِق أ َ ْﺳﻔَﻠُﮫ َ َو ِإ ﱠن،ًِإ ﱠن ِﻟﻘَ ْو ِﻟ ِﮫ اﻟﱠذِي ﯾَﻘُو ُل َﺣ َﻼ َوة
َ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ﻟ
ﻓَ َد ْﻋﻧِﻲ َﺣﺗﱠﻰ أُﻓَ ِ ّﻛ َر: ﻗَﺎ َل. ﻋ ْﻧكَ ﻗَ ْو ُﻣكَ َﺣﺗﱠﻰ ﺗَﻘُو َل ﻓِﯾ ِﮫ َ ﺿﻰ َ َﻻ ﯾَ ْر: ﻗَﺎ َل
“Demi Allah, apa yang dikatakannya bukanlah syair, bukan sihir, bukan
pula kata-kata orang gila, tetapi sesungguhnya ucapannya itu benar-benar
Kalam Allah.” Ketika segolongan orang-orang Quraisy mendengar ucapan Al-
Walid Ibnul Mughirah itu, maka mereka menebar hasutan dan mengatakan
kepada orang-orang Quraisy, ‘Demi Allah, jika Al-Walid masuk agama baru,
benar-benar orang-orang Quraisy pun akan mengikuti jejaknya’.”([41])
Maka Al-Walid tatkala itu berpikir tentang apa yang harus dia ucapkan
tentang Alquran agar orang-orang tahu bahwa dia benci kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ([42]), meskipun dia sadar bahwa
Alquran itu benar. Agar dia tetap jaya dan tidak ditinggalkan oleh kaumnya.
Karena perkara dunia mengharuskan dia untuk mencela Alquran. Al-Walid
Ibnul Mughirah adalah orang yang cerdas, dia sadar bahwa jika dia
mengatakan bahwa Alquran adalah sihir, sya’ir, atau perkataan orang gila,
maka pasti tidak tepat.
ﺳ َر
َ َس َوﺑ َ َ ﺛ ُ ﱠم ﻧ،ْف ﻗَد َﱠر
َ ﺛ ُ ﱠم،ظ َر
َ َﻋﺑ َ ﻓَﻘُﺗِ َل َﻛﯾ
َ ﺛ ُ ﱠم ﻗُﺗِ َل َﻛﯾ،ْف ﻗَد َﱠر
Al-Walid Ibnul Mughirah pun bingung tentang apa yang harus dia ucapkan.
Akan tetapi karena tekanan dari Abu Jahal, maka dia pun terus berpikir
untuk mencari ucapan yang pantas dia ucapkan tentang Alquran.
ْ ﺛ ُ ﱠم أ َ ْدﺑَ َر َوا
إِ ْن َھذَا إِ ﱠﻻ ﻗَ ْو ُل ا ْﻟﺑَﺷ َِر، ﻓَﻘَﺎ َل إِ ْن َھذَا إِ ﱠﻻ ﺳِﺣْ ٌر ﯾُ ْؤﺛ َ ُر،ﺳﺗ َ ْﻛﺑَ َر
Kata ﺛ ُ ﱠم أ َ ْدﺑَ َرdijelaskan oleh sebagian ulama bahwa maksudnya adalah Al-Walid
sudah sangat bingung, dan semua yang dia reka-reka adalah salah menurut
kecerdasannya. Sehingga dia berpaling dari semua terkaan-terkaannya
(yang benar dianggap salah), dan dengan terpaksa dia pun bersikap
sombong dan angkuh dan mengatakan bahwa Alquran adalah sihir yang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pelajari dari orang-orang terdahulu. ([43])
Karena semua orang akan tahu bahwa Alquran bukanlah sihir. Oleh
karenanya Al-Walid mengatakan bahwa sihir ini (Alquran) berbeda dengan
sihir yang diketahui orang pada waktu itu. Dia ingin menerangkan bahwa
Alquran adalah sihir yang spesial yang diambil dari orang-orang dahulu. Oleh
karenanya dia menegaskan bahwa Alquran adalah perkataan manusia. ([44])
Ini menunjukkan tentang betapa buruknya Al-Walid Ibnul Mughirah. Dia tahu
tentang agungnya Alquran, dia tahu tentang keindahan Alquran sampai-
sampai mengatakan,
“Dan Demi Allah, ucapan yang diucapkannya itu manis, dan padanya ada
kenikmatan.”
Ketika Al-Walid Ibnul Mughirah menghina firman Allah dengan hinaan yang
keji tersebut, maka apa balasan Allah kepadanya? Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman,
Para ulama menyebutkan bahwa ayat ini adalah dalil bahwa barangsiapa
yang mengatakan bahwa Alquran itu adalah perkataan manusia, maka dia
akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar ([45]). Orang-orang liberal adalah
orang-orang yang mengatakan bahwa Alquran itu perkataan manusia.
Mereka mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak bisa bicara,
tidak ada huruf ataupun suara, dan Tuhan itu tidak boleh berkata-kata.
Adapun Alquran mereka katakan bahwa itu adalah terjemahan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap makna-makna yang Allah Subhanahu
wa ta’ala berikan kepada beliau. Yang kemudian makna-makna itu
disimpulkan secara global, lalu diungkapkan ke dalam bahasa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Arab). Dan perkataan orang-orang
liberal ini sangat mirip dengan perkataan Al-Walid Ibnul Mughirah.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
Ada khilaf tentang apa itu Saqar. Ada yang mengatakan bahwa Saqar itu
adalah neraka jahannam. Ada pula yang mengatakan bahwa Saqar adalah
tingkatan keenam di neraka,([46]) oleh karenanya Allah Subhanahu wa
ta’ala menyebutkan tentang orang-orang munafik,
ِ إِ ﱠن ْاﻟ ُﻣﻧَﺎﻓِﻘِﯾنَ ﻓِﻲ اﻟد ْﱠر ِك ْاﻷ َ ْﺳﻔَ ِل ِﻣنَ اﻟﻧﱠ
ﺎر
Artinya adalah neraka Saqar jika telah membakar maka akan membakar
semuanya tanpa tersisa sedikitpun. Dia akan membakar rambut, tulang,
daging, dan yang lainnya ([47]). Oleh karenanya ketika Allah Subhanahu wa
ta’ala menyebutkan tentang sifat neraka, Dia mengatakan,
Api yang ada dunia, dia membakar mulai dari luar dan masuk ke dalam
tubuh secara perlahan-lahan. Berbeda dengan api neraka, ketika dia telah
membakar maka akan langsung membakar luar dan dalam sekaligus. Oleh
karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa neraka Saqar jika
telah membakar, maka tidak akan ada yang disisakan sedikitpun.
Sebagian para ulama mengatakan bahwa jika neraka Saqar telah membakar,
maka akan menjadi hitam melebihi hitamnya gelap malam karena saking
panasnya api neraka Saqar. ([48])
َ َﺳﻌَﺔ
ﻋﺷ ََر ْ ِﻋﻠَ ْﯾﮭَﺎ ﺗ
َ
Abu Jahal dengan sombongnya, dia sesumbar untuk mau melawan satu
malaikat dengan sepuluh orang dari kaum Quraisy. Kemudian di antara
orang-orang yang sesumbar lainnya adalah Abu Al-Asyaddain Al-Jumahiy
yang nama aslinya adalah Usaid bin Kaldah bin Khalaf Al-Jumahy. Dia lebih
sombong dengan berkata,
َ ا ْﻛﻔُوﻧِﻲ ِﻣ ْﻧ ُﮭ ُم اﺛْﻧَﯾ ِْن َوأَﻧَﺎ أ َ ْﻛ ِﻔﯾ ُﻛ ْم ِﻣ ْﻧ ُﮭ ْم،ﯾَﺎ َﻣ ْﻌﺷ ََر ﻗُ َرﯾ ٍْش
َ َﺳ ْﺑ َﻌﺔ
ﻋﺷ ََر
“Wahai orang-orang Quraisy, kalian hadapi dua dari mereka (penjaga neraka
itu). Dan serahkan tujuh belas kepadaku aku yang menghadapinya.”([50])
Kalau Abu Jahal ingin melawan satu malaikat dengan sepuluh orang, berbeda
dengan Usaid bin Kaldah yang dia ingin melawan 17 malaikat seorang diri.
ﺎب َو َﯾ ْزدَا َد اﻟﱠ ِذﯾنَ آ َﻣﻧُوا ْ َﺎب اﻟﻧﱠ ِﺎر ِإ ﱠﻻ َﻣ َﻼ ِﺋﻛَﺔً َو َﻣﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻧَﺎ ِﻋ ﱠدﺗ َ ُﮭ ْم ِإ ﱠﻻ ِﻓﺗْﻧَﺔً ِﻟﻠﱠ ِذﯾنَ َﻛ َﻔ ُروا ِﻟ َﯾ
َ َ ﺳﺗ َ ْﯾ ِﻘنَ اﻟﱠ ِذﯾنَ أُوﺗ ُوا ا ْﻟ ِﻛﺗ َ ﺻﺣ ْ َ َو َﻣﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻧَﺎ أ
َ ً َ َ
َ�ُ ﺑِ َﮭذا َﻣﺛﻼ َﻛذ ِﻟك َ َ ْ ُ ُ ﱠ ُ
ﺎب َواﻟ ُﻣ ْؤ ِﻣﻧونَ َو ِﻟﯾَﻘو َل اﻟ ِذﯾنَ ﻓِﻲ ﻗﻠوﺑِ ِﮭ ْم َﻣ َرضٌ َواﻟﻛَﺎﻓِ ُرونَ َﻣﺎذا أ َرا َد ﱠ ُ ْ ْ ُ ﱠ
َ َ ﺎب اﻟ ِذﯾنَ أوﺗ ُوا اﻟ ِﻛﺗَ َ إِﯾ َﻣﺎﻧًﺎ َو َﻻ ﯾَ ْرﺗ
ﻲ إِ ﱠﻻ ِذﻛ َْرى ِﻟ ْﻠﺑَﺷ َِر َ �ُ َﻣ ْن ﯾَﺷَﺎ ُء َوﯾَ ْﮭدِي َﻣ ْن ﯾَﺷَﺎ ُء َو َﻣﺎ ﯾَ ْﻌﻠَ ُم ُﺟﻧُو َد َر ِﺑّكَ إِ ﱠﻻ ھ َُو َو َﻣﺎ ِھ ﯾُ ِﺿ ﱡل ﱠ
“Dan tidaklah Kami jadikan penjaga neraka kecuali hanya dari para
malaikat; dan Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai
cobaan bagi orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi kitab
menjadi yakin, agar orang yang beriman bertambah imannya, agar
orang-orang yang diberi kitab dan orang-orang mukmin itu tidak
ragu-ragu; dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit
dan orang-orang kafir (berkata), ‘Apakah yang dikehendaki Allah
dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah
Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan
memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Dan
tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri.
Dan Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (QS. Al-
Muddatstsir : 31)
Firman Allah :
ﺎر ِإ ﱠﻻ َﻣ َﻼﺋِ َﻛﺔً َو َﻣﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻧَﺎ ِﻋ ﱠدﺗ َ ُﮭ ْم ِإ ﱠﻻ ﻓِﺗْﻧَﺔً ِﻟﻠﱠذِﯾنَ َﻛﻔ َُروا
ِ ﺎب اﻟﻧﱠ ْ َ َو َﻣﺎ َﺟ َﻌ ْﻠﻧَﺎ أ
َ ﺻ َﺣ
“Dan tidaklah Kami jadikan penjaga neraka kecuali hanya dari para malaikat;
dan Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi
orang-orang kafir.”
Kata ً( ﻓِﺗْﻧَﺔfitnah) dalam ayat ini memiliki dua tafsiran ([51]).
َ� َﻣﺎ أ َ َﻣ َر ُھ ْم َو َﯾ ْﻔ َﻌﻠُونَ َﻣﺎ ﯾُؤْ َﻣ ُرون ٌ ﻋﻠَ ْﯾ َﮭﺎ َﻣ َﻼ ِﺋﻛَﺔٌ ِﻏ َﻼ
ُ ظ ِﺷ َدا ٌد َﻻ َﯾ ْﻌ
َ ﺻونَ ﱠ َ
“Dan agar orang yang beriman bertambah imannya, agar orang-orang yang
diberi kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu.”
“Dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang
kafir (berkata), ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan (bilangan) ini
sebagai suatu perumpamaan?’.”
Yang dimaksud dengan orang yang berpenyakit dalam ayat ini bukanlah
orang-orang munafik. Karena ayat ini adalah ayat Makkiyah, sedangkan
orang-orang munafik baru muncul setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berhijrah ke Madinah. Akan tetapi yang dimaksud dengan orang yang
berpenyakit di dalam hatinya adalah orang-orang yang ragu untuk masuk
Islam seperti Al-Walid Ibnul Mughirah. ([53])
“Sekali-kali tidak. Demi bulan, dan demi malam ketika telah berlalu,
dan demi subuh apabila mulai terang.” (QS. Al-Muddatstsir : 32-34)
Tiga jenis kondisi Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini menjelaskan
tentang adanya cahaya yang muncul di tengah-tengah kegelapan. Rembulan
bercahaya di gelapnya malam, ketika malam telah berlalu juga menunjukkan
adanya cahaya yang merobek kegelapan malam, dan ketika subuh setelah
semakin terang. Kondisi-kondisi ini mengisyaratkan bahwa Alquran adalah
cahaya di tengah gelapnya kesyirikan orang-orang kafir Quraisy. Maka
seharusnya orang-orang yang cerdas itu bisa mendapatkan petunjuk dengan
cahaya tersebut. ([56])
“Sesunggunya (Saqar itu) adalah salah satu (bencana) yang sangat besar,
sebagai peringatan bagi manusia.” (QS. Al-Muddatstsir : 35-36)
Oleh karenanya seseorang ingat bahwasanya berpikir juga akan dinilai oleh
Allah Subhanahu wa ta’ala. Berpikir kebaikan akan mendatangkan pahala,
namun berhati-hati karena jika berpikir keburukan akan mendatangkan
dosa.
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang ingin maju atau mundur.”
(QS. Al-Muddatstsir : 37)
Banyak tafsir tentang ayat ini. Akan tetapi sebagian pendapat menyebutkan
bahwasanya setiap orang yang memiliki dosa pasti bertanggung jawab
dengan dosanya, kecuali para penghuni surga yang dosa-dosa mereka
diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala ([60]). Di antara alasan mereka
diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala adalah karena timbangan amal
kebaikan mereka jauh lebih berat sehingga mereka tidak bertanggung jawab
dengan dosa-dosanya karena telah diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
ﺳ َﻘ َر
َ ﺳﻠَ َﻛ ُﻛ ْم ﻓِﻲ
َ َﻣﺎ
Secara zahir, ayat ini menunjukkan terjadi dialog antara penghuni surga dan
penghuni neraka. Dan banyak ayat yang menunjukkan bahwa penghuni
surga berdialog dengan penghuni neraka, di antaranya firman Allah
Subhanahu wa ta’ala,
ﻋ َد َرﺑﱡ ُﻛ ْم َﺣﻘ�ﺎ ﻗَﺎﻟُوا ﻧَﻌَ ْم ﻓَﺄَذﱠنَ ُﻣ َؤذّ ٌِن َ ﺎر أ َ ْن ﻗَ ْد َو َﺟ ْدﻧَﺎ َﻣﺎ َو
َ ﻋ َدﻧَﺎ َرﺑﱡﻧَﺎ َﺣﻘ�ﺎ ﻓَ َﮭ ْل َو َﺟ ْدﺗ ُ ْم َﻣﺎ َو ِ ﺎب اﻟﻧﱠ ْ َ ﺎب ْاﻟ َﺟﻧﱠ ِﺔ أ
َ ﺻ َﺣ ْ َ َوﻧَﺎ َدى أ
ُ ﺻ َﺣ
ﻋﻠَﻰ ﱠ
َاﻟظﺎ ِﻟ ِﻣﯾن َ � ِ ﺑَ ْﯾﻧَ ُﮭ ْم أ َ ْن ﻟَ ْﻌﻧَﺔُ ﱠ
Maka dalam ayat ini penghuni surga juga berdialog dengan penghuni neraka.
Kita mungkin akan bingung membayangkan tentang bagaimana cara
penghuni surga berdialog dengan penghuni neraka. Para ulama zaman
dahulu yang belum tahu kecanggihan menyebutkan bahwa bisa jadi
penghuni surga dari atas melihat jauh ke bawah kepada penghuni neraka.
Dan tatkala mereka bertanya, maka Allah berikan ilham sehingga perkataan
penghuni surga dipahami oleh penghuni neraka, demikian pula sebaliknya
jika penghuni neraka berkata kepada penghuni surga ([61]). Akan tetapi jika
kita analogikan pada zaman sekarang, berbicara dengan seseorang yang
berbeda tempat sangat mudah untuk dilakukan dengan video call atau yang
lainnya. Maksudnya adalah kondisi penduduk surga dan neraka berdialog itu
adalah hal yang mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, adapun bagaimana
caranya itu menjadi urusan Allah Subhanahu wa ta’ala.
“Dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin.” (QS. Al-
Muddatstsir : 44)
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr
: 20)
Dan masih banyak ayat yang lain di dalam Alquran yang menunjukkan
bahwa orang-orang kafir ciri-cirinya adalah pelit. Maka ketika seseorang
bersikap pelit artinya dia sedang berakhlak dengan akhlak orang kafir.
َﺣﺗﱠﻰ أَﺗَﺎﻧَﺎ ا ْﻟﯾَ ِﻘﯾ ُن،ِﯾن ُ ّ َو ُﻛﻧﱠﺎ ﻧُ َﻛذ، َوض َﻣ َﻊ ا ْﻟ َﺧﺎﺋِ ِﺿﯾن
ِ ِب ِﺑﯾَ ْو ِم اﻟ ّد ُ َو ُﻛﻧﱠﺎ ﻧَ ُﺧ
Syafaat tidak lagi berguna bagi mereka karena mereka kafir, dan syafaat
memang tidak berguna bagi orang-orang kafir. Dan ayat ini merupakan dalil
bahwasanya syafaat itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.
([63])
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala kembali lagi kepada orang-orang
kafir Quraisy. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa mereka itu
ibarat himar (keledai) liar yang lari kabur dengan sangat jauh. Disebutkan
bahwa himar liar itu jika ada gerakan sedikit saja maka dia akan kabur. Maka
demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala mengumpamakan orang-orang kafir.
Ketika orang-orang kafir mendengarkan Alquran atau dakwah, maka mereka
akan kabur karena tidak mau mendengarkan peringatan Allah Subhanahu wa
ta’ala seperti himar liar yang kabur dari kejaran singa. ([64])
ُ اﻣ ِر ٍئ ِﻣ ْﻧ ُﮭ ْم أ َ ْن ﯾُ ْؤﺗَﻰ
ًﺻ ُﺣﻔًﺎ ُﻣﻧَﺷ َﱠرة ْ َﺑ ْل ﯾُ ِرﯾ ُد ُﻛ ﱡل
َو َﻣﺎ َﯾ ْذﻛ ُُرونَ ِإ ﱠﻻ أ َ ْن َﯾﺷَﺎ َء ﱠ، ﻓَ َﻣ ْن ﺷَﺎ َء ذَﻛ ََر ُه،ٌ ﻛ ﱠَﻼ ِإﻧﱠﮫُ ﺗ َ ْذ ِﻛ َرة،َﻛ ﱠَﻼ َﺑ ْل َﻻ َﯾ َﺧﺎﻓُونَ ْاﻵ ِﺧ َرة
�ُ ھ َُو أ َ ْھ ُل اﻟﺗ ﱠ ْﻘ َوى َوأ َ ْھ ُل ا ْﻟ َﻣ ْﻐ ِﻔ َر ِة
أ َ َﻻ ﯾَﺎ ا ِْر َﺣ ُﻣ ْوﻧِﻲ ﯾَﺎ ِإﻟَﮫَ ُﻣ َﺣ ﱠﻣـ ٍد ﻓَﺈِ ْن ﻟَ ْم أ َ ُﻛ ْن أ َ ْھﻼً ﻓَﺄ َ ْﻧتَ ﻟَﮫُ أ َ ْھ ٌل
“Rahmatilah aku wahai Tuhannya Muhammad. Jika aku tidak pantas untuk
diampuni, sesungguhnya Engkau pantas untuk mengampuni.”
l Qur'an, Ta