Anda di halaman 1dari 36

HUKUM DAN KAIFIYAH SHOLAT

1. Makna Shalat
Shalat secara bahasa (etimologis) maknanya adalah doa. Adapun secara
syari’at (terminologis) maknanya adalah perkataan dan perbuatan yang
dimulai dari takbir (takbiratul-ihram) dan diakhiri dengan salam, yang
dibarengi dengan niat.
2. Dalil Pensyari’atan Shalat
Allah ta’ala berfirman :

‫اه ْم ِسّراً َو َعالنِيَةً ّمن َقْب ِل َأن‬‫ن‬ ‫ق‬


ْ ‫ز‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫قُل لّعِب ِادي الّ ِذين آمنواْ ي ِقيمواْ الصال َة وين ِفقواْ مِم‬
َ
ُ َ َ ّ ُ ُْ َ َ ّ ُ ُ ُ َ َ َ َ
‫يَْأيِت َ َي ْو ٌم الّ َبْي ٌع فِ ِيه َوالَ ِخالَ ٌل‬
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka
mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada
mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari
(kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan” [QS. Ibrahim
: 31].
3.   Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka dia
telah kafir dan keluar dari agama Islam. Kaum muslimin (ulama) telah sepakat
mengenai hal itu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang hukum
orang meninggalkan shalat karena malas atau bisikan hawa nafsu (tanpa
mengingkari kewajibannya). Sebagian ulama mengkafirkan, dan sebagian lagi
tidak mengkafirkan (kufur ashghar). Yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur
ulama yang mengatakan tidak kafir. Akan tetapi bukan berarti hal ini dijadikan
alasan untuk meremehkan kewajiban shalat. Bahkan orang yang meninggalkan
shalat (karena malas dan dorongan hawa nafsu), maka ia telah berbuat salah
satu dosa besar yang paling besar yang hampir menjerumuskannya pada pintu
kekafiran. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫الصالَِة‬
َّ ‫الر ُج ِل َو َبنْي َ الش ِّْر ِك َوال ُك ْف ِر َت ْر ُك‬
َّ َ ‫ِإ َّن َبنْي‬
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran
adalah meninggalkan shalat” [HR. Muslim no. 82].
4.  Jumlah Shalat Fardlu
Jumlah shalat fardlu dalam sehari semalam adalah lima kali shalat.
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن َْأه ِل‬ ِ ِ
َ ‫ َجاءَ َر ُج ٌل ِإىَل َر ُسول اللَّه‬:‫عن طلحة بن عبيد اهلل يقول‬
‫َأل َع ِن‬ ُ ‫ فَِإذَا ُه َو يَ ْس‬،‫ول َحىَّت َدنَا‬ ُ ‫ص ْوتِِه َواَل يُ ْف َقهُ َما َي ُق‬
َ ‫ي‬ َّ ‫جَنْ ٍد ثَاِئَر‬
ُّ ‫الرْأ ِس يُ ْس َم ُع َد ِو‬
،‫ات يِف الَْي ْوِم َواللَّْيلَ ِة‬
ٍ ‫ " مَخْس صلَو‬:‫ول اللَّ ِه صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم‬
َ َُ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ ‫س‬
ُ ‫ر‬
َ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫ف‬
َ ‫؟‬ ِ ‫اِإْل ْساَل‬
‫م‬
:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ ق‬،‫ع‬ َ ‫ اَل ِإاَّل َأ ْن تَطََّو‬:‫ال‬
َ َ‫ َه ْل َعلَ َّي َغْيُر َها؟ ق‬:‫ال‬ َ ‫َف َق‬
َ ‫ اَل ِإاَّل َأ ْن تَطََّو‬:‫ال‬
‫ع‬ َ َ‫ َه ْل َعلَ َّي َغْيُرهُ؟ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ضا َن‬ َ ‫َو ِصيَ ُام َر َم‬
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah ia berkata : “Telah datang seorang laki-laki
penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kepalanya
telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa dipahami apa yang
dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Shalat lima waktu dalam
sehari semalam’. Ia bertanya lagi : ‘Adakah saya punya kewajiban shalat
lainnya ?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Tidak,
melainkan hanya amalan sunnah saja” [HR. Al-Bukhari no. 46].
Ia adalah shubuh (2 raka’at), dhuhur (4 raka’at), ‘asar (4 raka’at), maghrib (3
raka’at), dan ‘isya’ (4 raka’at).
5.  Waktu-Waktu Shalat
Allah ta’ala berfirman :

ً‫س ِإىَلَ َغ َس ِق الْلّْي ِل َو ُق ْرآ َن الْ َف ْج ِر ِإ ّن ُق ْرآ َن الْ َف ْج ِر َكا َن َم ْش ُهودا‬


ِ ‫الش ْم‬
ّ ‫وك‬ِ ُ‫َأقِ ِم الصالََة لِ ُدل‬
ّ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan
(oleh malaikat)” [QS. Al-Israa’ : 78].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِِ َّ ‫ َو َكا َن ِظ ُّل‬،‫س‬ ِ َ‫وقْت الظُّه ِر ِإ َذا َزال‬


‫ت‬ُ ْ‫ َو َوق‬،‫صُر‬ ْ ‫ض ِر الْ َع‬
ُ ْ‫ َما مَلْ حَي‬،‫الر ُج ِل َكطُوله‬ ‫َّم‬
ُ ْ ‫الش‬ ‫ت‬ ْ ُ َ
‫صاَل ِة‬َ ‫ت‬ُ ‫ق‬
ْ ‫و‬
ََ‫و‬ ، ‫ق‬
ُ ‫ف‬
َ ‫الش‬
َّ ‫ب‬ْ َْ َ
ِ ‫ت صاَل ِة الْم ْغ ِر‬
ِ‫ ما مَل يغ‬،‫ب‬
َ َ ُ ْ‫ َو َوق‬،‫س‬ ُ ‫َّم‬ ْ َ‫ َما مَلْ ت‬،‫ص ِر‬
ْ ‫ص َفَّر الش‬ ْ ‫الْ َع‬
ُّ ‫صاَل ِة‬
ِ ُ‫ ِم ْن طُل‬،‫الصْب ِح‬ ِ ِ ْ ِ‫الْعِ َش ِاء ِإىَل ن‬
‫ َما مَلْ تَطْلُ ِع‬،‫وع الْ َف ْج ِر‬ َ ‫ت‬ ْ ‫صف اللَّْي ِل‬
ُ ْ‫ َو َوق‬،‫اَألو َسط‬
‫س‬
ُ ‫َّم‬
ْ ‫الش‬
“Waktu dhuhur jika matahari telah tergelincir sampai bayangan seseorang
sama tinggi dengan seseorang itu selama belum masuk waktu ‘ashar. Waktu
‘ashar sampai matahari berwarna kuning. Waktu shalat maghrib selama sinar
matahari belum hilang. Waktu shalat ‘isya’ sampai tengah malam. Waktu
shalat shubuh mulai terbitnya fajar (shadiq) sampai matahari belum
terbit” [HR. Muslim no. 612].
Perinciannya adalah sebagai berikut :
a. Waktu Shubuh, dimulai dari terbitnya fajar shadiq sampai sebelum
matahari terbit.
b. Waktu Dhuhur, dimulai saat matahari telah tergelincir (bayangan
seseorang telah nampak sesaat setelah matahari tepat di atas kepala)
sampai panjang bayangan seseorang sama dengannya tinggi badannya.
c. Waktu ‘Ashar, dimulai saat panjang bayangan seseorang sama dengan
tinggi badannya sampai matahari berwarna kuning.
d. Waktu Maghrib, dimulai sesaat setelah matahari tenggelam sampai
dengan sinar lembayung merah di ufuk barat habis.
e. Waktu ‘Isya’, dimulai setelah sinar lembayung merah di ufuk barat habis
sampai dengan tengah malam tiba.
6. Waktu Terlarang untuk Shalat
Dari ‘Amru bin Abasah radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia pernah
berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Beritahukanlah kepadaku
sesuatu tentang shalat”.  Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِ ِ ِ ‫ ع ِن الصَّاَل‬،‫صر‬ ِ ْ‫الصب ِح مُثَّ َأق‬


َ ‫ َحىَّت َتْرتَف َع فَِإنَّ َها تَطْلُ ُع ح‬،‫س‬
‫ني‬ ُ ‫َّم‬
ْ ‫الش‬ ‫ع‬َ ُ‫ل‬ْ‫ط‬ َ‫ت‬ ‫ىَّت‬‫ح‬َ ‫ة‬ َ ْ ْ ُّ َ‫صاَل ة‬ َ ‫ص ِّل‬ َ
ٍ ‫ٍ ِ ِئ‬
َ ‫ص ِّل فَِإ َّن الصَّاَل َة َم ْش ُه‬
ٌ‫ودة‬ َ َّ‫ مُث‬،‫ َوحينَ ذ يَ ْس ُج ُد هَلَا الْ ُك َّف ُار‬،‫تَطْلُ ُع َبنْي َ َق ْريَنْ َشْيطَان‬
ٍ ‫ِ ِإ ِ ِئ‬ ِ ُّ ِ‫ َحىَّت يَ ْستَ ِق َّل الظِّ ُّل ب‬،ٌ‫ورة‬
،‫َّم‬ُ ‫ َع ِن الصَّاَل ة فَ َّن حينَ ذ تُ ْس َجُر َج َهن‬،‫ مُثَّ َأقْص ْر‬،‫الر ْم ِح‬ َ‫ض‬ ُ ْ‫حَم‬
ِ ْ‫ مُثَّ َأق‬،‫ حىَّت تُصلِّي الْعصر‬،ٌ‫ضورة‬
‫ َع ِن‬،‫ص ْر‬ َ ْ َ َ َ َ َ ُ ْ‫ودةٌ حَم‬ َ ‫ص ِّل فَِإ َّن الصَّاَل َة َم ْش ُه‬
َ َ‫فَِإ َذا َأْقبَ َل الْ َف ْيءُ ف‬
‫ َو ِحينَِئ ٍذ يَ ْس ُج ُد هَلَا الْ ُك َّف ُار‬،‫ان‬
ٍ َ‫ فَِإنَّها َت ْغرب ب َقر َشيط‬،‫الصَّاَل ِة حىَّت َت ْغرب الشَّمس‬
ْ ْ‫َ ُ َ ْ ُ َ ُ ُ َنْي َ ْ يَن‬
“Lakukanlah shalat Shubuh, kemudian berhentilah melakukan shalat lain,
hingga terbit matahari, hingga matahari meninggi.  Sesungguhnya matahari
itu terbit di antara sepasang tanduk setan.  Waktu itulah orang-
orang kafir bersujud kepadanya.  Kemudian shalatlah karena shalat pada saat
itu disaksikan oleh para malaikat hingga bayang-bayang tembok tegak.
Kemudian berhentilah melakukan shalat lain, karena kala itu neraka Jahannam
dinyalakan. Apabila matahari sudah tergelincir, shalatlah hingga datang waktu
Ashar. Kemudian berhentilah melakukan shalat hingga matahari tenggelam.
Karena matahari tenggelam di antara sepasang tanduk setan, dan ketika itulah
orang-orang kafir bersujud kepadanya” [HR. Muslim no. 832].
Perincian waktu terlarang untuk shalat adalah sebagai berikut :
a. Setelah shalat Shubuh sampai terbit matahari.
b. Ketika terbit matahari sampai matahari meninggi setinggi satu tombak
(dimulainya waktu Dluha).
c. Ketika matahari tepat di atas kepala (pertengahan siang) sampai
tergelincir (zawal – masuk waktu Dhuhur).
d. Setelah shalat Ashar sampai terbenam matahari
e. Ketika matahari mulai tenggelam sampai betul-betul tenggelam (masuk
waktu Maghrib).
Kelima waktu di atas adalah diharamkan bagi setiap muslim untuk melakukan
shalat sunnah mutlak. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang
dilakukannya shalat sunnah dengan sebab-sebab tertentu (contoh :
shalat tahiyyatul-masjid, shalat sunnah wudlu, shalat kusuf (gerhana), dan
lain-lain) yang dilakukan pada 5 waktu terlarang tersebut.  Yang
lebih rajih (kuat) insya allah adalah diperbolehkan – wallahu a’lam.
7. Meninggalkan Shalat karena Ketiduran atau Kelupaan.
Jika seseorang meninggalkan shalat tidak sengaja karena ketiduran atau
kelupaan, hendaknya ia segera mengerjakannya begitu ia teringat,
sebagaimana perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

ِ ِ
َ ‫ اَل َك َّف َارةَ هَلَا ِإاَّل ذَل‬،‫ص ِّل ِإذَا ذَ َكَر َها‬
‫ك‬ َ ُ‫صاَل ةً َفْلي‬
َ ‫َم ْن نَس َي‬
“Barangsiapa yang tidak mengerjakan shalat karena lupa, maka hendaknya ia
mengerjakan shalat tersebut ketika ia teringat dengannya. Tidak ada kaffarat
lain selain itu” [HR. Al-Bukhari no. 597 dan Muslim no. 684].
8. Syarat sahnya shalat :
1) Islam
2) Berakal
3) Tamyiz (mampu membedakan antara baik dan buruk
4) Suci dari hadats besar dan hadats kecil.
5) Suci badan, pakaian, dan tempat shalat.
6) Menutup aurat (bagi wanita seluruh tubuh kecuali muka dan telapak
tangan).
7) Dikerjakan pada waktunya.
8) Menghadap kiblat.
9) Niat
9. Rukun-Rukun Shalat :
1) Berdiri jika mampu.
2) Takbiratul-ihram.
3) Membaca Al-Fatihah.
4) Rukuk.
5) I’tidak setelah rukuk.
6) Sujud pada tujuh anggota tubuh.
7) Bangkit dari sujud.
8) Duduk antara dua sujud.
9) Thuma’ninah pada seluruh gerakan.
10) Tasyahud akhir.
11) Duduk (pada tasyahud akhir).
12) Bershalawat pada Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam.
13) Salam.
14) Tertib pada seluruh pelaksanaan rukun-rukun shalat.
10. Shalat Berjama’ah Bagi Wanita
 Para ulama sepakat bahwa kaum wanita tidak wajib mengerjakan shalat
berjama’ah, akan tetapi syari’at tetap membenarkan mereka shalat
berjama’ah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِ ِ ِ ‫ َأفْضل ِمن‬،‫صاَل ةُ اجْل ماع ِة‬


َ ‫ ب َسْب ٍع َوع ْش ِر‬،‫صاَل ة الْ َف ِّذ‬
ً‫ين َد َر َجة‬ َ ْ َُ َ ََ َ
“Shalat berjama’ah duapuluh tujuh derajat lebih utama daripada shalat
sendirian” [HR. Al-Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650].
 Posisi imam seorang wanita yang mengimami wanita lainnya adalah di
tengah-tengah shaff pertama.

ٍ ‫ وقَامت بيَنه َّن يِف ص‬،‫ ََّأمْته َّن‬ َ‫ عاِئشة‬ ‫َأن‬


‫الة َم ْكتُوبٍَة‬ َ َّ ِ َّ‫عن ِريطَةَ احْل نَ ِفي‬
‫ة‬
َ ْ ْ
ُ َ َ َ ُ َ َ َْ
Dari Riithah Al-Hanafiyyah : “Bahwasannya ‘Aisyah pernah mengimami
mereka dan ia berdiri di tengah mereka (barisan pertama) dalam shalat
fardlu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 5086,
Ad-Daruquthni 1/404, dan Baihaqi 3/131; shahih bi-syawahidihi].
 Rumah adalah Tempat Shalat yang Paling Baik Bagi Wanita

ِ ‫ اَل مَتْنعوا نِساء ُكم الْمس‬:‫ول اللَّ ِه صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم‬
‫اج َد‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬،‫َع ِن ابْ ِن عُ َمَر‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ َ ُ َ َ َُ َ َ َ َْ ُ َ
‫َوبُيُو ُت ُه َّن َخْيٌر هَلُ َّن‬
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian melarang
wanita-wanita kalian pergi ke masjid, akan tetapi rumah-rumah
mereka lebih baik bagi mereka” [HR. Abu Dawud no. 567, Ibnu
Khuzaimah no. 1683, Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya; shahih
lighairihi].
 Seorang wanita boleh mengimami sesama wanita atau anak kecil yang
belum baligh. Wanita tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.
11. Kaifiyyah (Tata Cara) Shalat
1) Niat
Tidak disyari’atkan mengucapkan/melafadhkan niat, sebab hal itu
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,
para shahabat, dan para ulama setelahnya (termasuk imam empat).

2) Menghadap Sutrah (Pembatas dalam Shalat).


Sutrah adalah sesuatu yang digunakan sebagai pembatas shalat yang
diletakkan di depan orang shalat.

Hukum menghadap sutrah ini adalah wajib bagi


shalat munfarid (sendirian) dan bagi imam. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

ِ
ُ‫ فَِإ ْن َأىَب َفْلُت َقاتْلهُ ؛ فَِإ َّن َم َعه‬،‫ك‬ ‫ال تُ َ ِإ ِإ‬
َ ‫ َوال تَ َد ْع‬،‫ص ِّل ال ىَل ُسْتَر ٍة‬
َ ْ‫َأح ًدا مَيُُّر َبنْي َ يَ َدي‬
َ ‫الْ َق ِر‬
‫ين‬
“Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah (pembatas).
Dan jangan engkau biarkan seorangpun lewat di hadapanmu (ketika
engkau shalat). Jika ia enggan, maka perangilah ia, sesungguhnya ia
bersama dengan qarin (syaithan)” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 800; shahih].

‫الرجل إىل غري سرتة … أو يسمع‬


ّ ‫ أن يصلي‬: ‫من اخللَ َفاء‬
َ ‫ َأربَع‬: ‫ال ابن َمسعود‬
َ َ‫َوق‬
‫املنادي مث ال جييبه‬
Dan Ibnu Mas’ud berkata : “Empat hal dari kemunkaran yaitu :
Seseorang melakukan shalat tidak menghadap sutrah….. atau mendengar
panggilan (adzan) lalu tidak menjawabnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/61 dan Al-Baihaqi dalam Al-
Kubra 2/285; shahih].

Tinggi sutrah minimal seukuran bagian belakang pelana kuda atau


kira-kira dua pertiga sampai satu hasta, berdasarkan hadits:

ِ ‫ ِإ َذا َكا َن ب ي َدي ِه ِمثْل‬،‫ فَِإنَّه يسُتره‬،‫ِإ َذا قَام َأح ُد ُكم يصلِّي‬
َّ ‫آخَر ِة‬
‫الر ْح ِل‬ ُ ْ َ َ ‫َنْي‬ ُُ ْ َ ُ َُْ َ َ
“Jika salah seorang di antara kalian berdiri untuk melaksanakan
shalat, sesungguhnya dirinya terbatasi jika di depannya terdapat
seukuran bagian pelana kendaraan tunggangan/kuda” [HR. Muslim no.
510].

Adapun jarak antara tempat berdiri shalat dengan sutrah adalah


sepanjang tiga hasta, berdasarkan hadits :

... ‫صلَّى َو َج َع َل َبْينَهُ َو َبنْي َ اجْلِ َدا ِر حَنْ ًوا ِم ْن ثَاَل ثَِة َأ ْذ ُر ٍع‬
َ َّ‫مُث‬
“...….Kemudian beliau shalat dimana jarak antara beliau dan dinding
(sebagai sutrah ) adalah sekitar tiga hasta” [HR. An-Nasa’i no. 749 dan
Ahmad 2/138; shahih

3) Berdiri jika mampu


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِ ‫ فَِإ ْن مَل تَستَ ِطع َف َق‬،‫ص ِّل قَاِئما‬


ٍ ‫ فَِإ ْن مَلْ تَستَ ِط ْع َف َعلَى َجْن‬،‫اع ًدا‬
‫ب‬ ْ ْ ْ ْ ً َ
“Shalatlah sambil berdiri. Bila tidak sanggup, maka shalatlah sambil
duduk. Bila tidak sanggup juga, shalatlah sambil berbaring” [HR. Al-
Bukhari no. 1117, Abu Dawud no. 939, dan At-Tirmidzi no. 369].

Seluruh ulama sepakat (ijma’) bahwa orang yang sehat lagi mampu
wajib melakukan shalat fardlu sambil berdiri, baik sendiri maupun menjadi
imam.

Bila ia sedang naik pesawat, kapal, atau kendaraan lain yang tidak
mungkin baginya untuk turun (ke tanah/darat) sewaktu-waktu, maka ia
tetap wajib shalat sambil berdiri jika mampu. Namun jika tidak mampu,
maka boleh baginya shalat sambil duduk.

Boleh mengerjakan shalat sunnah sambil duduk tanpa alasan apapun,


akan tetapi ia hanya mendapatkan pahala setengah dari orang yang
berdiri. ‘Imran bin Hushain pernah bertanya kepada Rasulullah shallalaahu
‘alaihi wasallam tentang orang yang shalat sambil duduk.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

‫صلَّى نَاِئ ًما‬ ‫ِئ‬


َ ‫ َو َم ْن‬،‫َأج ِر الْ َقا ِم‬
ْ ‫ف‬
ِ ِ
ْ ‫صلَّى قَاع ًدا َفلَهُ ن‬
ُ ‫ص‬
‫ِئ‬
َ ‫ِإ ْن‬
َ ْ‫صلَّى قَا ًما َف ُه َو َأف‬
َ ‫ َو َم ْن‬،‫ض ُل‬
‫اع ِد‬
ِ ‫َفلَه نِصف َأج ِر الْ َق‬
ْ ُ ْ ُ
“Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka hal itu lebih baik.
Orang yang mengerjakan shalat sambil duduk mendapatkan setengah
pahala orang yang mengerjakannya sambil berdiri. Orang yang
mengerjakan shalat sambil berbaring mendapatkan setengah pahala
orang yang mengerjakannya sambil duduk” [HR. Bukhari no. 1115].

Namun jika ia melakukan shalat sambil duduk atau berbaring


karena udzur (sakit atau yang lainnya), maka ia tetap mendapatkan
pahala sebagaimana orang berdiri (tidak kurang). Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :

‫يحا‬ ِ ‫ِإ َذا م ِرض الْعب ُد َأو سا َفر ُكتِب لَه ِمثْل ما َكا َن يعمل م ِقيما‬
ً ‫صح‬َ ً ُ ُ َ َْ َ ُ ُ َ َ َ ْ َْ َ َ
“Barangsiapa yang jatuh sakit atau melakukan perjalanan jauh, maka
dicatatkan pahala baginya pahala seperti yang biasa ia dilakukannya
ketika bermukim atau sehat” [HR. Al-Bukhari no. 2996].

4) Takbiratul-Ihram dan Mengangkat Tangan


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫يم‬ِ‫ِم ْفتاح الصَّاَل ِة الطُّهور وحَت ِرميها التَّ ْكبِري وحَت لِيلُها التَّسل‬
ُ ْ َ ْ َُ َُ ْ َ ُ ُ ُ َ
“Kunci shalat itu adalah suci, pengharamannya adalah takbir (yaitu
takbiratul-ihram), dan penghalalannya adalah salam” [HR. Abu Dawud no.
61, Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1/87, At-Tirmidzi no. 3 dan lain-
lain; hasan].

ُ‫ اللَّه‬:‫ول‬
ِ ‫ضوء مو‬
ُ ‫ مُثَّ َي ُق‬،ُ‫اض َعه‬ َ َ‫ضَأ َفي‬
َ َ َ ُ ‫ض َع الْ ُو‬ ِ ‫َألح ٍد ِم َن الن‬
َّ ‫َّاس َحىَّت َيَت َو‬ َ ٌ‫صالة‬
ِ
َ ‫ِإنَّهُ ال تَت ُّم‬
‫َأ ْكَبُر‬
“Sesungguhnya tidaklah sempurna shalat salah seorang di antara
manusia sehingga ia berwudlu dan meletakkan wudlu tersebut pada
tempatnya (yaitu pada anggota badan yang wajib terkena air
wudlu), kemudian ia mengucapkan (takbir) : Allaahu Akbar” [HR.
Thabarani dalam Al-Kabiir no. 4526; shahih].

Kadangkala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat


kedua tangannya bersamaan dengan takbir.

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ا ْفتَتَ َح‬ َ َّ ‫ت النَّيِب‬


ُ ْ‫ َرَأي‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َأ ّن َعْب َد اللَّ ِه بْ َن عُ َمَر َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه َما‬
‫ني يُ َكِّبُر َحىَّت جَيْ َعلَ ُه َما َح ْذ َو َمْن ِكَبْي ِه‬ ِ ِ ِ
َ ‫ َفَرفَ َع يَ َديْه ح‬،‫التَّ ْكبِ َري يِف الصَّاَل ة‬
Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma berkata : “Aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam memulai shalat dengan takbir. Maka beliau mengangkat kedua
tangannya ketika (bersamaan) takbir setinggi kedua pundaknya” [HR. Al-
Bukhari no. 738].

Kadangkala beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan


sebelum takbir.

‫ َرفَ َع يَ َديِْه‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا قَ َام لِلصَّاَل ِة‬


َ
ِ َّ‫ول الل‬
‫ه‬ ُ ‫ " َكا َن َر ُس‬:‫ال‬ َّ
َ َ‫ ق‬،‫َأن ابْ َن عُ َمَر‬
‫ مُثَّ َكَّبَر‬،‫َحىَّت تَ ُكونَا َح ْذ َو َمْن ِكَبْي ِه‬
Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata : “Adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri untuk shalat,
maka beliau mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya,
kemudian beliau bertakbir” [HR. Muslim no. 390].

Kadangkala beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan


setelah takbir.
‫ َوِإذَا ََأر َاد‬،‫ مُثَّ َرفَ َع يَ َديِْه‬،‫ َكَّبَر‬،‫صلَّى‬ ِ ِ ِ
َ ‫ ِإذَا‬: ‫ك بْ َن احْلَُويْ ِرث‬ َ ‫ َأنَّهُ َرَأى َمال‬،َ‫َع ْن َأيِب قاَل بَة‬
‫ول‬
َ ‫َأن َر ُس‬ َّ ‫َّث‬ َ ‫ َو َحد‬، ‫ َرفَ َع يَ َديِْه‬،‫وع‬ ُّ ‫ َوِإذَا َرفَ َع َرْأ َسهُ ِم َن‬،‫ َرفَ َع يَ َديِْه‬،‫َأ ْن َي ْر َك َع‬
ِ ‫الر ُك‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن َي ْف َع ُل َه َك َذا‬ ِ
َ ‫اللَّه‬
Dari Abu Qilabah : “Bahwasannya ia melihat Malik bin Al-Huwairits
apabila ia melakukan shalat, maka ia bertakbir kemudian mengangkat
kedua tangannya. Dan apabila ia hendak rukuk, maka ia mengangkat
kedua tangannya. Apabila ia mengangkat kepalanya dari rukuk (i’tidal),
maka ia mengangkat kedua tangannya. Ia mengatakan bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian (dalam
shalat)” [HR. Al-Bukhari no. 737 dan Muslim no. 391].

Beliau shallalaahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan sejajar kedua


pundaknya (berdasarkan hadits di atas). Kadangkala, beliau mengangkat
kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya.

،‫ َرفَ َع يَ َديِْه‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن ِإذَا َكَّبَر‬ ِ َ ‫َأن رس‬ ِ ِِ
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ،‫َع ْن َمالك بْ ِن احْلَُويْ ِرث‬
‫ي هِبِ َما ُأذَُنْي ِه‬ ِ ‫حىَّت حُي‬
‫اذ‬
َ َ َ
Dari Malik bin Al-Huwairits : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam apabila bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya
hingga sejajar dengan kedua telinganya” [HR. Muslim no. 391].

5) Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri di Dada

ِ ‫الرجل الْي َد الْيم علَى ِذر‬


‫اع ِه‬ َّ ‫ع‬‫ض‬ ‫ي‬ ‫ن‬
ْ ‫َأ‬ ‫ن‬
َ ‫و‬‫ر‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫َّاس‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ن‬
َ ‫ا‬‫ك‬َ : ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ، ٍ ‫عن سه ِل ب ِن سع‬
‫د‬
َ َ ‫َ َ ُ ُ َ ُ ْىَن‬ َ ‫ْؤ‬
َُ ُ ُ َْ ْ َْ َْ
‫الْيُ ْسَرى يِف الصَّاَل ِة‬
Dari Sahl bin Sa’id radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Adalah para
shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) agar
meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam shalat” [HR. Al-
Bukhari no. 740].

Dari Wa’il bin Hujr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

‫ض َع يَ َدهُ الْيُمْىَن َعلَى يَ ِد ِه الْيُ ْسَرى َعلَى‬ ِ


َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َو َو‬
ِ ِ
َ ‫ت َم َع َر ُسول اللَّه‬ُ ‫صلَّْي‬َ
‫ص ْد ِر ِه‬
َ
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,
beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di dadanya” [HR.
Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479]

Adapun meletakkan kedua tangan di bawah dada atau perut, maka


hal ini tidak benar (menyelisihi sunnah).

6) Melihat Tempat Sujud dan Khusyu’

‫صلَّى‬ ‫ا‬ ‫ذ‬


َ ‫ِإ‬ ‫ن‬
َ ‫ا‬‫ك‬َ ‫م‬ َّ
‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ِِ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وآل‬
‫ه‬ َ ‫س‬ ‫ر‬ َّ
‫َأن‬ ، ‫ه‬ ‫ن‬
ْ ‫ع‬ ‫ه‬ َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ي‬‫ض‬ِ ‫عن َأيِب هرير َة ر‬
َ َ ََ َ ْ َ ُ َ َُ ُ َ ُ َ َ َْ َ ُ ْ َ
ِ ِ‫هِت‬ ِ َّ‫ َفنزلَت ال‬،‫السم ِاء‬ ‫رفَع ب َ ِإ‬
ُ‫صال ْم َخاشعُو َن فَطَْأطََأ َرْأ َسه‬ َ ‫ين ُه ْم يِف‬
َ ْ َ َ َ َّ ‫صَرهُ ىَل‬
‫ذ‬ ََ َ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pernah shalat dengan
mengangkat pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat : “(yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya” {QS. Al-Mukminun : 2}.
Maka beliau kemudian menundukkan kepalanya”  [HR. Al-Hakim no.
3483; shahih sesuai syarat Muslim].

Dilarang menoleh ketika shalat, sebagaimana penjelasan


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang
hukum menoleh ketika shalat :

‫صاَل ِة الْ َعْب ِد‬ ‫ن‬


َ ْ
ِ ‫هو اختِاَل س خَي ْتَلِسه الشَّيطَا ُن‬
‫م‬ ْ ُ ُ ٌ ْ َُ
“Itulah ikhtilaas (mencuri-curi), yang dicuri-curi syaithan dari shalat
seorang hamba” [HR. Al-Bukhari no. 751].

Akan tetapi diperbolehkan untuk melirik (tanpa menoleh) jika ada


keperluan.

‫ظ يِف الصَّاَل ِة مَيِينًا َومِش َااًل‬


ُ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن َيْل َح‬ ِ َ ‫ َأ ّن رس‬،‫اس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
‫ف ظَ ْه ِر ِه‬
َ ‫َواَل َيْل ِوي عُُن َقهُ َخْل‬
Dari Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma:
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melirik ke
kanan dan ke kiri dalam shalat, namun beliau tidak menolehkan leher
beliau ke belakang” [HR. At-Tirmidzi no. 587 dan Ibnu Khuzaimah no. 485
dengan sanad shahih]

7) Membaca Iftitah/Istiftah
Hukumnya adalah sunnah menurut jumhur ulama (dan ini adalah
pendapat yang rajih/kuat).  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
ِ ‫ضوء يعيِن مو‬
‫ مُثَّ يُ َكِّبُر‬،ُ‫اض َعه‬ َ َ‫ضَأ َفي‬
ََ ْ َ َ ُ ‫ض َع الْ ُو‬ ِ ‫َأِلح ٍد ِم َن الن‬
َّ ‫َّاس َحىَّت َيَت َو‬ َ ٌ‫صاَل ة‬
ِ
َ ‫ِإنَّهُ اَل تَت ُّم‬
ِ ‫وحَي م ُد اللَّه ج َّل وعَّز ويثْيِن علَي ِه وي ْقرُأ مِب َا َتي َّسر ِمن الْ ُقر‬
‫آن‬ ْ َ َ َ َ ََ ْ َ َُ َ َ َ َ َْ َ
“Sesungguhnya shalat seseorang tidaklah sempurna kecuali bila dia
wudlu pada anggota tubuh yang terkena air wudlu, kemudian
mengucapkan takbir, memuji Allah jalla wa ‘azza dan mengagungkannya,
serta membaca Al-Qur’an yang mudah baginya” [HR. Abu Dawud no. 857;
shahih].

Kalimat {  ‫} َوحَيْ َم ُد اهللَ َج َّل َو َعَّز‬ “memuji Allah jalla wa ‘azza” dijelaskan


oleh para ulama mempunyai makna membaca doa iftitah.

8) Macam-macam doa iftitah/istiftah antara lain :

{ ‫ب اَللَّ ُه َم َن ِّقيِن ْ ِم ْن‬


ِ ‫ت بنْي َ الْم ْش ِر ِق والْم ْغ ِر‬
َ َ َ َ َ ‫اع ْد‬
ِ َّ
َ َ‫اَلل ُه َّم بَاع ْد َبْييِن ْ َو َبنْي َ َخطَاي‬
َ َ‫اي َك َما ب‬
َّ ِ‫اي ب‬ ِ ِ َّ ‫ض ِم َن‬
‫الث ْل ِج‬ َ َ‫س اَللَّ ُه َّم ا ْغسْليِن ْ م ْن َخطَاي‬ ِ َ‫الدن‬ ُ َ‫َألبي‬ ُ ‫اي َك َما يَُن َّقى الث َّْو‬
ْ ْ‫ب ا‬ َ َ‫َخطَاي‬
‫والْ َم ِاء َوالَْبَر ِد‬ }
َ
“Ya Allah, jauhkanlah diriku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau telah
menjauhkan jarak antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari
segala dosa-dosaku seperti baju putih yang dibersihkan dari noda. Ya
Allah, cucilah diriku dari segala dosa-dosaku dengan salju, air, dan
embun” [HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 598].

ِ
{‫ُّك َوالَ ِإلَهَ َغْيُر َك‬ َ ُ‫ك اللَّ ُه َّم َوحِب َ ْمد َك َوَتبَ َار َك امْس‬
َ ‫ك َوَت َعاىَل َجد‬ َ َ‫}سْب َحان‬
ُ
"Aku menyucikan-Mu dan memuji-Mu ya Allah. Sungguh berkah
nama-Mu dan sungguh tinggi kekayaan-Mu. Dan tidak ada tuhan yang
berhak disembah melainkan Engkau”  [HR. Abu Dawud no. 776, At-
Tirmidzi no. 243, dan yang lainnya; shahih].

Dan yang lain-lain sebagaimana yang tercantum dalam hadits-hadits


shahih.

9) Membaca Isti’adzah

Para ulama sepakat bahwa hukum membaca isti’adzah di permulaan


shalat (maksudnya : sebelum membaca Al-Fatihah) adalah wajib. Akan
tetapi mereka berselisih pendapat tentang kewajiban membacanya di tiap
raka’at.
Allah ta’ala berfirman :

‫الر ِجي ِم‬


ّ
ِ َ‫الشيط‬
‫ان‬ ْ ّ ‫ن‬
َ
ِ ‫فَِإذَا َقرْأت الْ ُقرآ َن فَاستَعِ ْذ بِاللّ ِه‬
‫م‬ ْ ْ َ َ
“Apabila kamu hendak membaca Al-Qur’an, maka mintalah
perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk” [QS. An-Nahl :
98].

Isti’adzah dalam shalat dapat dilakukan dengan membaca salah satu


lafadh:

{ ‫الر ِجْي ِم‬ ِ َ‫اهلل ِمن الشَّيط‬


َّ ‫ان‬ ِ
ْ َ ِ‫َأعُ ْوذُ ب‬ }
“Aku berlindung kepada Allah dari gangguan syaithan yang
terkutuk” [QS. An-Nahl : 98].

{ ‫الر ِجْي ِم ِم ْن مَهْ ِز ِه َو َن ْف ِخ ِه َو َن ْفثِ ِه‬ ِ َ‫اهلل ِمن الشَّيط‬


َّ ‫ان‬ ِ
ْ َ ِ‫َأعُ ْوذُ ب‬ }
“Aku berlindung kepada Allah dari gangguan syaithan yang terkutuk,
yaitu dari bisikan, tiupan, dan hembusannya” [HR. Ahmad 6/156 no.
25266; hasan].

{ ‫الر ِجْي ِم ِم ْن مَهْ ِز ِه َو َن ْف ِخ ِه َو َن ْفثِ ِه‬ ِ َ‫الس ِمي ِع الْعلِي ِم ِمن الشَّيط‬
َّ ‫ان‬ ْ َ ْ َ ْ َّ ‫َأعُ ْوذُ بِاهلل‬ }
ِ
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui dari gangguan syaithan yang terkutuk, yaitu dari bisikan,
tiupan, dan hembusannya” [HR. Abu Dawud no. 775; shahih].

10) Membaca Surat Al-Fatihah

Wajib membaca Al-Fatihah (dan ini menjadi bagian dari rukun


shalat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِ َ‫اَل صاَل َة لِمن مَل ي ْقرْأ بَِفاحِت َ ِة الْ ِكت‬


‫اب‬ ََْ َْ َ
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah” [HR.
Al-Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394].

11) Jika ada orang yang tidak/belum hafal surat Al-Fatihah, maka dia boleh
membaca :

‫ َواَل َح ْو َل َواَل ُق َّو َة ِإاَّل بِاللَّ ِه‬،‫ َواللَّهُ َأ ْكَبُر‬،ُ‫ َواَل ِإلَهَ ِإاَّل اللَّه‬،‫ َواحْلَ ْم ُد لِلَّ ِه‬،‫ُسْب َحا َن اللَّ ِه‬
‫الْ َعلِ ِّي الْ َع ِظي ِم‬
“Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar dan tidak ada daya dan
kekuatan kecuali karena pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha
Agung” [HR. Abu Dawud no. 832; hasan].
Namun keringanan ini hanya berlaku bagi orang yang benar-
benar tidak mampu menghafalnya setelah berusaha sekuat tenaga untuk
menghafalnya.

Dalam shalat jama’ah jahriyyah (yang dikeraskan suaranya, seperti


shalat shubuh, maghrib, dan ‘isya’), maka
bacaan basmalah adalah sirr (tidak dikeraskan – tapi tetap dibaca)
berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu :

‫ َوعُ َمَر َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه َما َكانُوا َي ْفتَتِ ُحو َن‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوَأبَا بَ ْك ٍر‬ َّ
َ َّ ‫َأن النَّيِب‬
‫ني‬ ِ ِّ ‫ب احْل م ُد لِلَّ ِه ر‬ ِ ‫الصَّاَل َة‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬ َ َْ
”Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan
‘Umar membuka (bacaan) shalatnya dengan membaca Alhamdulillaahi
rabbil-‘aalamiin”. [HR. Al-Bukhari no. 743].

12) Mengucapkan Amiin Setelah Membaca Al-Fatihah

‫ف َوال‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِإذَا َقَرَأ‬ ِ ُ ‫ َكا َن رس‬:‫ال‬


َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ َ‫ ق‬،‫َع ْن َواِئ ِل بْ ِن ُح ْج ٍر‬
‫هِب‬ ِ َ َ‫ ق‬،‫الضَّالِّينَق‬
ُ‫ص ْوتَه‬
َ ‫ني َو َرفَ َع َا‬
َ ‫ آم‬:‫ال‬
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bila selesai membaca Waladl-
dlooolliin; maka beliau berkata : Aamiin, dan beliau mengeraskan
suaranya” [HR. Abu Dawud no. 932; shahih].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫َّم ِم ْن َذنْبِ ِه‬


‫د‬ ‫ق‬
َ ‫ت‬
َ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬َ‫ل‬ ‫ر‬ ِ ُ‫ فَِإنَّه من وافَق تَْأِمينه تَْأِمني الْماَل ِئ َك ِة غ‬،‫ِإ َذا ََّأمن اِإْل مام فَ َِّأمنوا‬
‫ف‬
َ َُ َ َ َ ُُ َ َ ْ َ ُ ُ َُ َ
“Jika imam mengucapkan aamiin, maka ikutilah dengan
mengucapkan aamiin juga. Sesungguhnya, barangsiapa yang ucapan
amin-nya bersamaan dengan aamiin yang diucapkan oleh malaikat; maka
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” [HR. Al-Bukhari no.
780 dan Muslim no. 410].

Sebagian ulama mengatakan bahwa membaca aamiin setelah Al-


Fatihah adalah wajib. Adapun tambahan rabbighfirlii sebelum
membaca aamiin (sebagaimana dilakukan oleh sebagian kaum muslimin),
maka itu adalah perbuatan yang sama sekali tidak dilandasi dalil (shahih).
Sudah sepatutnya perbuatan tersebut untuk ditinggalkan.

13) Membaca Surat /Ayat yang Dihafal dari Al-Qur’an


 Hukumnya adalah sunnah.

‫صاَل ٍة يُ ْقَرُأ فَ َما َأمْسَ َعنَا‬ ُ ‫ َأنَّهُ مَسِ َع َأبَا ُهَر ْيَرةَ َر ِض َي اللَّهُ َعْنهُ َي ُق‬،‫َع ْن َعطَاء‬
َ ‫ يِف ُك ِّل‬:‫ول‬
ِ ِ ُ ‫رس‬
ْ‫ َوِإ ْن مَل‬،‫َأخ َفْينَا َعْن ُك ْم‬ ْ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َأمْسَ ْعنَا ُك ْم َو َما‬
ْ ‫َأخ َفى َعنَّا‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ
ِ
َ ‫ َوِإ ْن ِز ْد‬،‫َأت‬
‫ت َف ُه َو َخْيٌر‬ ْ ‫َأجَز‬ ْ ‫تَ ِز ْد َعلَى ُِّأم الْ ُق ْرآن‬
Dari ‘Athaa’, bahwasannya ia pernah mendengar Abi
Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : "Al-Qur’an dibaca pada setiap
shalat. Bacaan yang dikeraskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam, kami pun mengeraskannya ketika kami menjadi imam.
Dan bacaan yang tidak dikeraskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam, maka kami pun tidak mengeraskannya. Jika kamu tidak
menambah bacaan selain Ummul-Qur’an (Al-Fatihah), maka itu
sudah cukup. Jika kamu menambah bacaan surat selain Ummul-
Qur’an, maka itu lebih baik" [HR. Al-Bukhari no. 772].

ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اهلل َعلَْي ِه وسلَّم َقرَأ يِف الْم ْغ ِر‬
‫ب‬ َ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ت‬
ُ ‫ع‬
ْ
ِ‫عن جبري بن مطعم قال مَس‬
َ َ َ َ َ ُ َ ُ َ
‫بِالطُّو ِر‬
Dari Jubair bin Muth’im ia berkata : “Aku pernah mendengar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Ath-Thuur
dalam shalat maghrib” [HR. Al-Bukhari no. 765 dan Muslim no. 463].

 Sebagian ulama menjelaskan bahwa sebaiknya bacaan pada raka’at


pertama lebih panjang daripada raka’at kedua.

 Disunnahkan pula membaca surat lain setelah Al-Fatihah pada raka’at


ketiga dan/atau keempat berdasarkan hadits :

‫ص اَل ِة‬ ِ ٍ ِ‫عن َأيِب س ع‬


ِّ ‫يد اخْلُ ْد ِر‬
َ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم كَا َن َي ْق َرُأ يِف‬ َ َّ ‫ َأ ّن النَّيِب‬،‫ي‬ َ َْ
، ِ ‫اُألخ َر َينْي‬ ِ ٍ
ْ ‫ َويِف‬،ً‫ني آيَة‬ َ ‫ قَ ْد َر ثَاَل ث‬،‫ يِف ُك ِّل َر ْكعَة‬، ِ ‫الر ْك َعَتنْي ِ اُألولََينْي‬
َّ ‫الظُّ ْه ِر يِف‬
ً‫س َع ْشَر َة آيَة‬ َ ْ‫قَ ْد َر مَخ‬
Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca surat (setelah Al-
Fatihah) dalam dua raka’at pertama shalat Dhuhur untuk setiap
raka’atnya sekitar tigapuluh ayat. Sedangkan dalam dua raka’at
terakhir beliau membaca sekitar lima belas ayat”  [HR. Muslim no.
452].
 Bila shalat sendirian, maka ia boleh memperpanjang bacaan ayat
sesukanya. Namun jika ia menjadi imam, maka hendaknya ia
memperhatikan kondisi makmum. Jika makmum adalah dari
kalangan yang kuat, semangat ke-Islamannya tinggi, dan biasa
dibacakan ayat-ayat yang panjang; maka tidak apa-apa jika ia
memperpanjang bacaan suratnya. Namun jika makmumnya adalah
orang yang lemah, para wanita, anak-anak, dan orang-orang yang
mempunyai keperluan; hendaknya ia memperpendek bacaan
suratnya.

‫َأَلد ُخل يِف‬ َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


‫ " ِإيِّن‬:‫ال‬ ‫يِب‬َّ
‫ن‬ ‫ال‬ َّ
‫َأن‬ ، ‫ك‬ ٍ ِ‫َعن َأنَس بن مال‬
ُ ْ َ َّ َ ْ ْ
‫َأعلَ ُم ِم ْن‬ ‫مِم‬ ‫صاَل يِت‬ ‫يِف‬ ‫َأ‬ ‫يِب‬ ‫َأ‬ ‫ِإ‬ ِ ‫ُأ‬ ‫َأ‬ ِ ‫الصَّاَل‬
ْ ‫َّا‬ َ ‫ز‬
ُ ‫و‬
َّ َ‫جَت‬ َ‫ف‬ ِّ ‫الص‬
َّ ‫اء‬ ‫ك‬
َ
َ ُُ ‫ب‬ ‫ع‬ َ ‫مْس‬ َ‫ف‬ ،‫ا‬ ‫ه‬
َ ‫ت‬
ََ‫ل‬ ‫ا‬َ‫ط‬ ‫يد‬
ُ ‫ر‬ ‫ا‬َ‫ن‬ ‫و‬
َ ‫ة‬
‫َّة َو ْج ِد ُِّأم ِه ِم ْن بُ َكاِئِه‬
ِ ‫ِشد‬
Dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda : “Sungguh aku akan memulai shalat
(berjama’ah) dan aku ingin memperpanjangnya. Namun tiba-tiba aku
mendengar suara tangisan seorang bayi. Maka aku memperingan
(memperpendek) shalatku, karena aku mengetahui betapa cintanya
(gelisahnya) ibunya terhadap tangis (anak)-nya itu” [HR. Al-Bukhari
no. 709 dan Muslim no. 470].
14) Ruku’

 Setelah membaca ayat Al-Qur’an, hendaknya ia berhenti sejenak sebelum


memulai gerakan untuk rukuk, sebagaimana riwayat Samurah bin
Jundub radliyallaahu ‘anhu. Lama berhenti ini sekitar satu nafas.

 Mengangkat kedua tangan ketika hendak rukuk.

ِ
َ ‫ َفلَ َّما ََأر َاد َأ ْن َيْر َك َع َر َف َع ُه َما ِمثْ َل ذَل‬........ ‫عن وائل بن حجر‬
‫ك‬
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “…..Ketika beliau
hendak rukuk, maka beliau melakukan hal yang serupa (yaitu
mengangkat kedua tangannya)” [HR. Abu Dawud no. 726; shahih].

 Meletakkan kedua tangannya di lututnya dengan menguatkan pegangan


dan merenggangkan jari-jemarinya. Posisi tangan agak dijauhkan dan
sedikit dibengkokkan di kedua siku.

‫ض َع يَ َديِْه َعلَى‬ ِ
َ ‫ َفلَ َّما ََأر َاد َأ ْن َي ْر َك َع َر َف َع ُه َما ِمثْ َل َذل‬ ....... ‫عن وائل بن حجر‬
َ ‫ك مُثَّ َو‬
‫ُر ْكبََتْي ِه‬
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “…..Ketika beliau
hendak rukuk, maka beliau melakukan hal yang serupa (yaitu
mengangkat kedua tangannya), kemudian meletakkan kedua tangannya
pada lututnya” [idem].

‫ َوِإ َذا َر َك َع َْأم َك َن يَ َديِْه ِم ْن ُر ْكبََتْي ِه‬.......‫فقال أبو محيد الساعدي‬


Berkata Abu Humaid As-Sa’idy radliyallaahu ‘anhu : “….. Dan apabila
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam rukuk, maka beliau menguatkan
kedua tangannya pada kedua lututnya” [HR. Al-Bukhari no. 828].

ِ ِ
ٌ ِ‫ض َع يَ َديْه َعلَى ُر ْكبََتْيه َكَأنَّهُ قَاب‬
‫ض َعلَْي ِه َما َو َوتََّر‬ َ ‫ مُثَّ َر َك َع َف َو‬.... : ‫عن أيب محيد‬
‫يَ َديِْه َفتَ َجاىَف َع ْن َجْنَبْي ِه‬
Abu Humaid radliyallaahu ‘anhu berkata : “….. Kemudian
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam rukuk dan beliau meletakkan kedua
tangannya pada kedua lututnya, seakan-akan beliau memegang erat
kedua lututnya tersebut. Beliau membengkokkan dan menjauhkan kedua
tangannya di samping badannya” [HR. Abu Dawud no. 734, At-Tirmidzi
no. 260 dan Ibnu Khuzaimah no. 589; shahih].

‫َأصابِعِ ِه‬ ِ
َ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن ِإ َذا َر َك َع َفَّر َج َبنْي‬
َ َّ ‫عن وائل بن حجر َأ ّن النَّيِب‬
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam apabila rukuk, maka beliau merenggangkan jari-
jemarinya” [HR. Al-Hakim 1/224; shahih].

 Ketika rukuk, posisi punggung dan kepala adalah lurus dan rata.

،‫صلِّي‬‫ي‬ ‫م‬َّ
‫ل‬ ‫س‬‫و‬ ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اهلل علَي‬
‫ه‬ َ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ت‬ ‫َأي‬ ‫ر‬ " : ‫ول‬
ُ ‫ق‬
ُ ‫ي‬ ، ٍ ‫عن وابِصة بن معب‬
‫د‬
ََُ ََ ْ ُ َ َ َُ َُْ َ َْ َ ْ َ َ ْ َ
‫ب َعلَْي ِه الْ َماءُ اَل ْسَت َقَّر‬ ُ ‫فَ َكا َن ِإ َذا َر َك َع َس َّوى ظَ ْهَرهُ َحىَّت لَ ْو‬
َّ ‫ص‬
Dari Waabishah bin Ma’bad, ia berkata : Aku pernah melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat. Apabila beliau rukuk,
maka beliau meluruskan punggungnya. Bahkan seandainya disiramkan air
di atas punggung tersebut, maka pasti tidak akan tumpah ke bawah”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 872; dshahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4732].

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا َر َك َع ْاعتَ َد َل َفلَ ْم‬ َ ُّ ‫ َكا َن النَّيِب‬:‫ قال‬،‫ي‬ ِّ ‫اع ِد‬
ِ ‫الس‬َّ ‫َع ْن َأيِب مُحَْي ٍد‬
‫ض َع يَ َديِْه َعلَى ُر ْكبََتْي ِه‬ ِ
َ ‫ب َرْأ َسهُ َومَلْ يُ ْقن ْعهُ َو َو‬ ِ
ْ ‫َيْنص‬
Dari Abu Humaid As-Saa’idiy, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam apabila rukuk, maka beliau meluruskan punggungnya, tidak
menundukkan kepalanya dan tidak pula mengangkat/
menegakkannya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1039; shahih].

 Bacaan dalam rukuk (bisa dipilih dan dibaca yang mudah) :

{ ‫}سْب َحا َن َريِّبَّ الْ َع ِظْي ِم‬


ُ
“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung” [HR. Abu Dawud no. 871, Ibnu
Majah no. 890, dan lain-lain; shahih].

      {  ْ ‫ك اللَّ ُه َّم َربَّنَا َوحِب َ ْم ِد َك اَللَّ ُه َم ا ْغ ِف ْر يِل‬


َ َ‫سْب َحان‬ }
ُ
“Aku menyucikanmu ya Allah, Tuhan kami, dan aku memujimu. Ya Allah,
ampunilah aku” [HR. Al-Bukhari no. 794 dan Muslim no. 484].

ُّ ‫ب الْ َمالَِئ َك ِة َو‬


{ ‫الر ْو ِح‬ ُّ ‫س َر‬
ٌ ‫سُّب ْو ٌح قُد ُّْو‬ }
ُ
“Engkau Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan ruh" [HR.
Muslim no. 487 dan Abu Dawud no. 872].

Masing-masing doa/bacaan dalam rukuk di atas dapat diulang lebih dari


tiga kali berdasar keumuman hadits :

ِ
ُ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َو ُس ُج‬
،ُ‫وده‬ َ ِّ ‫ َكا َن ُر ُكوعُ النَّيِب‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫َع ْن الَْبَر ِاء َر ِض َي اللَّهُ َعْنه‬
‫الس َو ِاء‬
َّ ‫الس ْج َدَتنْي ِ قَ ِريبًا ِم َن‬
َّ َ ‫وع َو َبنْي‬ِ ‫الر ُك‬ُّ ‫َوِإ َذا َرفَ َع َرْأ َسهُ ِم َن‬
Dari Al-Barra’ radliyallaahu ‘anhu ia berkata : "Adalah rukuk dan
sujudnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, serta bangkitnya beliau dari
rukuk (i’tidal) dan duduknya diantara dua sujud; hampir sama lamanya"
[HR. Al-Bukhari no. 801 dan Muslim no. 471].

 Wajib thuma’ninah dalam rukuk. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam bersabda :

.... ‫مُثَّ ْار َك ْع َحىَّت تَطْ َمِئ َّن َراكِ ًعا‬


"Kemudian rukuklah sampai engkau merasa thuma’ninah dalam
rukuk itu" [HR. Al-Bukhari no. 757 dan Muslim no. 397].
15) Bangkit dan Berdiri dari Rukuk (I’tidal).
ِ ِ ِ
 Mengucapkan : {  
ُ‫}مَس َع اهللُ ل َم ْن مَح َده‬  ketika mengangkat badan dari

rukuk, dan { ‫د‬


ُ ‫لَك احْلَ ْم‬
َ ‫ } َر َبنَا‬ketika telah berdiri. Hal itu berdasarkan

hadits :

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِإذَا قَ َام ِإىَل الصَّاَل ِة‬ ِ ُ ‫ " َكا َن رس‬:‫ول‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ ‫ َي ُق‬،َ‫َع ْن َأيِب ْ ُهَر ْيَرة‬
ِ ِ ِ ِ ُ ‫ مُثَّ ي ُق‬،‫ مُثَّ ي َكِّبر ِحني ير َكع‬،‫ي َكِّبر ِحني ي ُقوم‬
َ ‫ مَس َع اللَّهُ ل َم ْن مَح َدهُ ح‬:‫ول‬
‫ني َي ْرفَ ُع‬ َ ُ َْ َ ُ ُ ُ َ َ ُ ُ
َ َ‫ول َو ُه َو قَاِئ ٌم َربَّنَا ل‬
‫ك احْلَ ْم ُد‬ ُ ‫ مُثَّ َي ُق‬،‫الر ْك َع ِة‬
َّ ‫ص ْلبَهُ ِم َن‬ُ "
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu : "Adalah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam apabila berdiri shalat beliau mengucapkan takbir ketika
dalam keadaan berdiri, kemudian beliau bertakbir ketika hendak rukuk.
Beliau mengucapkan :  Sami’alloohu liman hamidah (Mudah-mudahan
Allah mendengarkan/memperhatikan orang-orang yang memuji-Nya)
ketika beliau mengangkat/ menegakkan tulang pungungnya. Kemudian
beliau mengucapkan setelah berdiri : Robbanaa lakal-hamdu (Tuhan
kami, Engkaulah yang pantas mendapat pujian)" [HR. Al-Bukhari no.
789].
Ucapan « Robbanaa lakal-hamdu » bisa juga diucapkan dengan lafadh :

 {   ‫ك احْلَ ْم ُد‬


َ َ‫} َربَّنَا َول‬
"Ya Allah, dan Engkaulah yang pantas mendapatkan pujian" [HR. Al-
Bukhari no. 689].

{  َ َ‫}اَللَّ ُه َّم َربَّنَا ل‬


‫ك احْلَ ْم ُد‬
"Ya Allah, Engkaulah yang pantas mendapatkan pujian" [HR. Muslim no.
404].

{  َ َ‫اَللَّ ُه َّم َربَّنَا َول‬ }


‫ك احْلَ ْم ُد‬
"Ya Allah, dan Engkaulah yang pantas mendapatkan pujian" [HR. Al-
Bukhari no. 795].

Dalam shalat berjama’ah, maka ketika imam mengucapkan


« Sami’alloohu liman hamidah », maka makmum mengikutinya dengan
ucapan « Robbanaa lakal-hamdu » (atau yang lain sebagaimana di atas).

 Setelah ucapan « Robbanaa lakal-hamdu » (atau yang semisal di atas),


maka disunnahkan untuk menambah dengan ucapan:

‫ت ِم ْن َش ْي ٍء َب ْع ُد‬ ِ ِ َّ ‫ِملء‬
ِ ِ ‫ات و ِملء اَْألر‬
َ ‫ض َوم ْلءَ َما شْئ‬ ْ َ ْ َ ‫الس َم َاو‬ َْ
"Sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau
kehendaki sesudah itu" [HR. Muslim no. 476].
 Posisi tangan ketika berdiri i’tidal adalah bersedekap di dada menurut
pendapat yang paling kuat. Hal itu berdasarkan keumuman hadits :

ِ ‫الرجل الْي َد الْيم علَى ِذر‬


‫اع ِه الْيُ ْسَرى يِف الصَّاَل ِة‬ َ َ ‫ض َع َّ ُ ُ َ ُ ْىَن‬ َ َ‫َّاس يُْؤ َمُرو َن َأ ْن ي‬
ُ ‫َكا َن الن‬
“Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam) agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam
shalat” [HR. Al-Bukhari no. 740 dari Sahl bin Sa’d radliyallaahu ‘anhu].
 Wajib thuma’ninah ketika i’tidal dan disunnahkan memperpanjangnya,
berdasarkan hadits :

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َكا َن‬ َ ِّ ‫صاَل َة النَّيِب‬


َ ‫ت لَنَا‬
ُ ‫ َيْن َع‬ ‫س‬ٌ َ‫ َأن‬ ‫ َكا َن‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ت‬ ٍ ِ‫عن ثَاب‬
َْ
‫ول قَ ْد نَ ِس َي‬
َ ‫وع قَ َام َحىَّت َن ُق‬
ِ ‫الر ُك‬ ُّ ‫صلِّي َوِإ َذا َرفَ َع َرْأ َسهُ ِم َن‬
َ ُ‫ي‬
Dari Tsabit ia berkata : “Anas pernah memberikan contoh shalat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Anas melakukan shalat.
Setelah bangun dari rukuk, Anas berdiri lama hingga kami menyangka ia
lupa untuk sujud” [HR. Al-Bukhari no. 800 dan Muslim no. 472].

16) Sujud

Bertakbir ketika turun untuk sujud, berdasarkan hadits :

ِ ِ
َ ‫ مُثَّ يُ َكِّبُر ح‬،ُ‫ني َي ْرفَ ُع َرْأ َسه‬
..... ‫ني يَ ْس ُج ُد‬ َ ‫مُثَّ يُ َكِّبُر ح‬
“….Kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat kepalanya (i’tidal), dan
kemudian beliau pun bertakbir ketika hendak sujud” [HR. Al-Bukhari no.
789].
Terkadang beliau mengangkat tangan ketika hendak sujud, berdasarkan
hadits :
‫وع َوِإ َذا‬ ‫ْأ‬ َ َ َ َّ‫ َأ َّن ُه َرَأى ال َّن ِبي‬،ِ‫ْن ْالح َُوي ِْرث‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َر َف َع َيدَيْ ِه فِي‬
ِ ‫ص اَل ِت ِه َوِإذا َر َك َع َوِإذا َر َف َع َر َس ُه م َِن الرُّ ُك‬ ِ ‫َعنْ َمالِكِ ب‬
‫ْأ‬ َ
‫َس َج َد َوِإذا َر َف َع َر َس ُه م َِن ال ُّسجُو ِد‬
Dari Malik bin Al-Huwairits : Bahwasannya ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam  mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya ketika hendak
rukuk, ketika mengangkat kepalanya dari rukuk (i'tidal), ketika hendak sujud,
dan ketika mengangkat kepala dari sujud…..” [HR. An-Nasa’i no.
1085; shahih].

Mendahulukan tangan daripada lutut ketika turun dari sujud. Hal ini
berdasarkan hadits :
‫ِإ‬ ِ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ " ذَا َس َج َد‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
‫َأح ُد ُك ْم فَاَل‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،َ‫َع ْن َأيِب ُهَر ْيَرة‬
‫ض ْع يَ َديِْه َقْب َل ُر ْكبََتْي ِه‬ ِ
َ َ‫َيْبُر ْك َك َما َيْبُر ُك الْبَعريُ َولْي‬
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang diantara kalian hendak sujud, maka
janganlah ia menyungkur seperti menyungkurnya seekor unta. Hendaklah ia
meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya” [HR. Abu Dawud no.
840, Nasa’i no. 1091, dan yang lainnya; shahih].

Ketika sujud, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sujud dengan tujuh anggota


badan (dahi dan hidung – dianggap satu kesatuan –, kedua telapak tangan,
kedua lutut, dan kedua kaki). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda

،‫ َوالْيَ َديْ ِن‬،‫َأش َار بِيَ ِد ِه َعلَى َأنِْف ِه‬


َ ‫ َو‬،‫َأعظُ ٍم اجْلَْب َه ِة‬
ْ ‫َأس ُج َد َعلَى َسْب َع ِة‬ ْ ‫ت َأ ْن‬
ِ
ُ ‫ُأم ْر‬
ِ ‫ وَأطْر‬، ِ َ‫الرجل‬
ِ ‫اف الْ َق َد َمنْي‬
َ َ ‫َو ِّ ْ نْي‬
“Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota tubuh, yaitu dahi
(beliau berisyarat ke hidungnya), kedua (telapak) tangan, kedua kaki
(maksudnya kedua lutut), dan kedua ujung kaki” [HR. Al-Bukhari no. 812 dan
Muslim no. 490].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sujud dengan bertelekan dengan kedua
tangannya, mengangkat kedua siku, melebarkan bentangan tangannya,
meletakkan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua bahunya atau kedua
telinganya, merapatkannya jari-jarinya serta mengarahkannya ke kiblat.

ِ ِ ُ ‫ال رس‬ ِ ‫ع ِن الْبر‬


َ ‫ض ْع َك َّفْي‬
،‫ك‬ َ ‫ ِإذَا َس َج ْد‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ َ‫ ف‬،‫ت‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ ‫ق‬
َ : ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ، ‫اء‬ ََ َ
َ ‫َو ْارفَ ْع ِم ْر َف َقْي‬
‫ك‬
Dari Al-Barra’, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Apabila engkau sujud, maka letakkanlah dua telapak tanganmu dan
angkatlah kedua sikumu” [HR. Muslim no. 494].

ِ ٍِ ِ ِ
َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن ِإ َذا‬
‫صلَّى َفَّر َج‬ َ َّ ‫ َأ ّن النَّيِب‬،َ‫َع ْن َعْبد اللَّه بْ ِن َمالك ابْ ِن حُبَْينَة‬
‫اض ِإبْطَْي ِه‬ ِ
ُ َ‫َبنْي َ يَ َديْه َحىَّت َيْب ُد َو َبي‬
Dari Abdillah bin Malik bin Buhainah radliyallaahu ‘anhu :
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila shalat, maka beliau
membentangkan kedua tangannya hingga kelihatan putih ketiaknya” [HR. Al-
Bukhari no. 390 dan Muslim no. 495].
‫ت يَ َداهُ ِح َذاءَ ُأذَُنْي ِه‬
ْ َ‫ مُثَّ َس َج َد فَ َكان‬....... : ‫عن وائل بن حجر قال‬
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “…..Kemudian beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam sujud, sedangkan kedua tangannya di hadapan
(sejajar) kedua telinganya” [HR. Ahmad 4/317 no. 18878; shahih].

ِ
ُ‫َأصابِ َعه‬ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن ِإ َذا َس َج َد‬
َ ‫ض َّم‬ َ َّ ‫عن وائل َأ ّن النَّيِب‬
Dari Wail radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam apabila sujud, maka beliau merapatkan jari-jarinya” [HR. Ibnu
Khuzaimah no. 642; hasan].

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا‬ ِ َّ‫ول الل‬


‫ه‬ ُ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ن‬
َ ‫ا‬‫ك‬َ : ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ، ‫ه‬ ‫ن‬
ْ ‫ع‬ ‫ه‬َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ي‬‫ض‬ِ‫بر‬ ٍ ِ
‫ز‬ ‫ا‬ ‫ع‬ ِ
‫ن‬ ‫ب‬ ِ ‫ع ِن الْبر‬
‫اء‬
َ َُ َ
ُ ُ َ َ َ ْ ََ َ
َ‫َأصابِعِ ِه الْ ِقْبلَة‬ ‫و‬ ِ ‫ اسَت ْقبل بِ َك َّفي‬،‫ض‬
‫ه‬
َ َ ْ ََ ْ ِ ‫اَألر‬ِ
‫ب‬ ‫ه‬ِ ‫ َفوضع ي َدي‬،‫سج َد‬
ْ ْ َ ََ َ َ َ
Dari Al-Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Adalah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud maka beliau meletakkan kedua
tangannya di bumi/tanah, serta menghadapkan kedua tangan dan jari-
jemarinya ke arah kiblat” [HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 2/112; shahih].
Menempelkan/merapatkan dua kaki dan mengarahkan jari-jari kaki ke arah
kiblat

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َو َكا َن َمعِي َعلَى‬ ِ َ ‫ َف َق ْدت رس‬: ‫قالت عائشة زو ِج النَّيِب‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ ِّ َْ
َ‫َأصابِعِ ِه الْ ِقْبلَة‬ ِ ِ ِ ًّ ‫اج ًدا ر‬
َ ‫ ُم ْسَت ْقبِال بَِأطَْراف‬،‫اصا َعقَبْيه‬ َ
ِ ‫ َفوج ْدتُه س‬،‫فِر ِاشي‬
َ ُ ََ َ
Telah berkata ‘Aisyah istri Nabi : “Aku kehilangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang sebelumnya bersamaku di tempat tidur. Maka aku menemukan
beliau sedang bersujud menempelkan tumitnya, ujung-ujung jemarinya
menghadap kiblat” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 654; shahih].
Bacaan dalam sujud (bisa dipilih dan dibaca yang mudah) :

{‫اَأْلعلَى‬
ْ َّ‫}سْب َحا َن َريِّب‬
ُ
“Maha Suci Allah yang Maha Tinggi” [HR. Abu Dawud no. 871, Ibnu Majah no.
890, dan lain-lain; shahih].

{ ْ ‫ك اللَّ ُه َّم َربَّنَا َوحِب َ ْم ِد َك اَللَّ ُه َم ا ْغ ِف ْر يِل‬


َ َ‫}سْب َحان‬
ُ
“Aku menyucikanmu ya Allah, Tuhan kami, dan aku memujimu. Ya Allah,
ampunilah aku” [HR. Al-Bukhari no. 794 dan Muslim no. 484].
ُّ ‫ب الْ َمالَِئ َك ِة َو‬
{ ‫الر ْو ِح‬ ُّ ‫س َر‬
ٌ ‫سُّب ْو ٌح قُد ُّْو‬ }
ُ
“Engkau Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan ruh" [HR. Muslim
no. 487 dan Abu Dawud no. 872].
Masing-masing doa tersebut dapat dibaca berulang-ulang (lebuh dari tiga kali)
dengan keumuman hadits yang mnejlaskan lamanya sujud beliau ketika
shalat.

Dianjurkan memperbanyak doa ketika sujud. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam bersabda :

‫اب لَ ُك ْم‬‫ج‬ ‫ت‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫َأ‬ ‫ن‬‫م‬ِ ‫ َف َق‬،‫ فَاجتَ ِه ُدوا يِف الدُّع ِاء‬،‫السجود‬
َ
َ َ ُْ ٌ ْ َ ْ ُ ُ ُّ ‫َو ََّأما‬
“…Adapun ketika bersujud, maka perbanyaklah doa, karena hal itu lebih
pantas untuk dikabulkan” [HR. Muslim no. 479 dan Abu Dawud no. 876]

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sujudnya sering berdoa dengan doa


berikut :

ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫اللَّ ُه َّم ا ْغف ْر يِل ْ ذَنْيِب ْ ُكلَّهُ دقَّهُ َوجلَّهُ َو ََأولَّهُ وآخَرهُ َو َعالَنيَّتَهُ َوسَّره‬
“Ya Allah, ampunilah semua dosaku, dosa kecil maupun besar, dosa pertama
maupun terakhir, dosa yang dilakukan dengan terang-terangan mapun
sembunyi-sembunyi" [HR. Muslim no. 483].

Diperintahkan untuk thuma’ninah dalam sujud (dan juga rukuk) serta dilarang
untuk sujud (dan rukuk) seperti patukan burung/ayam.

َ ْ‫ مُثَّ ِإ َذا َأن‬..... ‫عن رفاعة أن النيب صلى اللَّه عليه وسلم قال للرجل الذي صلى‬
‫ت‬
‫ك ِإىَل َم ْو ِضعِ ِه‬
َ ‫ك َحىَّت يَطْ َمِئ َّن ُك ُّل َعظْ ٍم ِمْن‬
َ ْ‫ك َويَ َدي‬ ْ ِ‫ فََأثْب‬،‫ت‬
َ ‫ت َو ْج َه‬ َ ‫َس َج ْد‬
Dari Rifa’ah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda kepada orang yang sedang melakukan shalat : “…..Kemudian jika
kamu melakukan sujud, maka tancapkanlah wajah (dahi) dan kedua tanganmu
sehingga setiap persendian thuma’ninah pada tempatnya” [HR. Ibnu
Khuzaimah no. 638; hasan].

ٍ َ‫ و َنهايِن عن ث‬،‫الث‬
:‫الث‬ ٍ َ‫عن أيب هريرة يقول َأمريِن خلِيلِي صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم بِث‬
َْ َ َ َ َ َ َْ ُ َ َ ََ
‫ َو َن َهايِن َع ْن‬،‫ َوالْ ِوتْ ِر َقْب َل الن َّْوِم‬،‫َّه ِر‬ ِ ِ ِ ‫ و‬،‫َأمريِن بِر ْكع ِ الضُّحى‬
ْ ‫ص ْوم ثَالثَة َأيَّ ٍام م َن الش‬
َ َ َ ‫َ َ َ َيَت‬
‫ َو َن ْق ٍر َكَن ْق ِر‬،‫ َوِإ ْق َع ٍاء َكِإ ْق َع ِاء الْ ِق ْر ِد‬،‫ب‬
ِ َ‫ات الث َّْعل‬ ِ ‫الص‬
ِ ‫الة َكالْتِ َف‬ ِ ‫ ع ِن االلْتِ َف‬:‫الث‬
َّ ‫ات يِف‬ َ
ٍ َ‫ث‬
ِ ‫الد‬
‫ِّيك‬
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Kekasihku (yaitu
Rasulullah) shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepadaku tiga
hal dan melarangku tiga hal pula. Beliau memerintahkanku untuk
mengerjakan dua raka’at shalat dluhaa, puasa tiga hari pada setiap bulannya,
dan shalat witir sebelum tidur. Beliau melarangku atas tiga hal, yaitu berpaling
dalam shalat seperti berpalingnya serigala, duduk seperti duduknya kera, dan
mematuk (dalam shalat) seperti mematuknya ayam jantan” [HR. Ath-Thayalisi
no. 2593; hasan].

Apakah pada sujud terakhir boleh menambahkan doa secara pribadi ?

Pertama : dibolehkan seseorang menambahkan do’a –doa di dalam sujud


semua jenis shalat. Hanya dalam mazhab ini diberikan keterangan afdhalnya
ketika shalat sendiri dan jika menjadi imam tidak menyebabkan panjangnya
shalat.

Berkata al Imam Al-Nawawi :

Doa-doa dalam sujud tersebut adalah mutlak dan tidaklah dibatasi. Doa apa
saja yang termasuk maksud doa adalah boleh. Sebab Rasulullah
shalallahu’alaihi wassalam melakukan berbagai doa yang berbeda dan berbagai
tema. Ini menunjukkan bahwa hal itu tidak dilarang. Dalam Shahihain dari
Ibnu Mas’ud,

bahwa Nabi bersabda :

‫َأع َجبَهُ ِإلَْي ِه َف ْليَ ْدعُ بِه‬ ِ ‫مُثَّ لِيتخَّير ِمن الد‬
ْ ‫ُّعاء‬
َ َ ْ َ ََ
“Kemudian hendaknya dia memilih doa yang disukai dan sesuai seleranya.”
Dalam riwayat Imam Muslim, sebagaimana menjelasan bab yang lalu, dari Abu
Hurairah: “kemudian dia berdoa untuk apa-apa yang nyata untuk dirinya.”

Namun yang afdhal dalam sujud adalah menambah dengan doa-doa yang
ma’tsur dari al Qur’an dan hadits, atau doa-doa sujud yang disebutkan dalam
as sunnah secara khusus.

‫وال جيوز ان خيرتع دعوة غري مأثورة ويأتى هبا العجمية بال خالف وتبطل هبا الصالة‬
“Dan tidak boleh membuat doa-doa yang tidak diajarkan Nabi dengan
mengungkapnnya dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa arab) berdasarkan
kesepakatan ulama dan shalatnya menjadi batal.
Kedua : Dimakruhkan, Syekh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin ditanya
tentang sikap orang yang memperlama sujud terakhir untuk berdoa dan
istighfar. Syekh menjawab, “Memperlama sujud terakhir bukanlah termasuk
sunah. Karena yang sesuai sunah, setiap gerakan salat itu mendekati sama;
rukuk, i’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud. Sebagaimana yang dinyatakan
Al-Barra bin Azib radhiallahu ‘anhu, ‘aku lihat berdirinya, rukuk, sujud, dan
duduk diantara dua sujud mendekati sama.” Inilah cara yang lebih utama.
Hanya saja, ada tempat untuk berdoa di selain sujud, yaitu tasyahud. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan tasyahud kepada Ibnu
Mas’ud, nabi bersabda,

‫مث ليتخري من الدعاء ما شاء‬


“Kemudian pilihlah doa yang dia sukai.”

Maka nabi tempatkan doa, baik sedikit maupun banyak, setelah tasyahud
akhir, sebelum salam. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, kaset rekaman no. 376).

17) Duduk di Antara Dua Sujud

Mengucapkan takbir ketika mengangkat kepala dari sujud.

ِ ِ
ُ‫ني َي ْرفَ ُع َرْأ َسه‬
َ ‫ مُثَّ يُ َكِّبُر ح‬،‫ني يَ ْس ُج ُد‬
َ ‫مُثَّ يُ َكِّبُر ح‬
“….Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika sujud, dan
bertakbir pula ketika mengangkat kepala beliau (dari sujud)” [HR. Al-Bukhari
no. 789].

Kadang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya


ketika mengangkat kepalanya dari sujud.

‫ضا َرفَ َع يَ َديِْه َحىَّت‬ ِ ُّ ‫ وِإ َذا رفَع رْأسه ِمن‬،‫مُثَّ سج َد ووضع وجهه ب َك َّفي ِه‬
ً ْ‫الس ُجود َأي‬ َ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ‫َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َنْي‬
‫صاَل تِِه‬ ِ‫غ‬
َ ْ َ ‫َفَر‬
‫ن‬‫م‬
“Kemudian beliau sujud dan meletakkan wajahnya di antara dua telapak
tangannya. Dan apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud, maka beliau
juga mengangkat kedua tangannya, hingga beliau menyelesaikan shalatnya”
[HR. Abu Dawud no. 723; shahih].

ِ
َ ‫ َو َكا َن َيْرفَ ُع يَ َديْه ُكلَّ َما َكَّبَر َو َرفَ َع َو َو‬...... : ‫عن وائل بن حجر قال‬
َ ‫ض َع َبنْي‬
ِ ‫الس ْج َدَتنْي‬
َّ
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : ”..... Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya setiap beliau bertakbir. Beliau
mengangkat dan meletakkan (kedua tangannya) di antara dua sujud” [HR.
Ahmad no. 18881; hasan].

Beliau duduk iftirasy dengan cara duduk di atas telapak kaki kiri dan


menegakkan kaki kanannya.

ِ ‫صب الْ َق َدم الْيم و‬


ِ ِ ِ ِ
ْ َ ‫عن عبد اهلل بن عمر قال م ْن ُسنَّة الصَّاَل ة " َأ ْن َتْن َ َ ُ ْىَن‬
ُ‫است ْقبَالُه‬
‫وس َعلَى الْيُ ْسَرى‬ ِ ِ ِ ِ‫ب‬
ُ ُ‫َأصابع َها الْقْبلَةَ َواجْلُل‬
َ
Dari Abdullah bin ‘Umar ia berkata : “Termasuk sunnah shalat adalah
menegakkan telapak kaki kanan, menghadapkan jari-jarinya ke kiblat, dan
duduk di atas telapak kaki kiri” [HR. Nasa’i no. 1145; shahih].

Boleh juga duduk dengan cara iq’a’ (duduk dengan menegakkan dua telapak


kaki/tumit)

ِ َّ ‫السن َِّة يِف‬


ُّ ‫ " ِم َن‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،ُ‫اس َر ِضي اللَّهُ َت َعاىَل َعْنه‬ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
َ ‫ض َع َألْيََتْي‬
‫ك‬ َ َ‫الصالة َأ ْن ت‬
ِ ‫الس ْج َدَتنْي‬
َّ َ ‫ك َبنْي‬ ِ
َ ‫َعلَى َعقَبْي‬
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ta’ala ‘anhuma ia berkata : “Termasuk di
antara sunnah dalam shalat adalah kamu meletakkan kedua pantatmu di atas
kedua tumitmu ketika duduk di antara dua sujud” [HR. Thabarani dalam Al-
Kabiir no. 11015; shahih. Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Muslim no.
536].

Bacaan ketika duduk di antara dua sujud (bisa dipilih salah satu) :

{  ْ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر يِل ْ َو ْارمَحْيِن ْ َو َعافِيِن ْ َو ْاه ِديِن ْ َو ْار ُزقْيِن‬ }


“Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, sehatkanlah aku, dan berilah aku
rizki” [HR. Abu Dawud no. 850].

{  ْ ‫اجُب ْريِن ْ َو ْار ُزقْيِن ْ َو ْار َف ْعيِن‬ ِ ِّ ‫ر‬ }


ْ ‫ب ا ْغف ْر يِل ْ َو ْارمَحْيِن ْ َو‬ َ
“Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku, berilah
aku rizki, dan angkatlah derajatku” [HR. Ibnu Majah no. 898; shahih].

{  ْ ‫اجُب ْريِن ْ َو ْاه ِديِن ْ َو ْار ُزقْيِن‬ ِ


ْ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغف ْر يِل ْ َو ْارمَحْيِن ْ َو‬ }
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku,
tunjukilah aku, dan berilah aku rizki” [HR. At-Tirmidzi no. 284; shahih].

Yang paling lengkap dengan penggabungan beberapa riwayat hadits adalah


sebagai berikut :
{  ْ ‫ َو ْار ُزقْيِن‬، ْ ‫ َو َعافِيِن‬،ْ ‫ َو ْاه ِديِن‬، ْ ‫ َو ْار َف ْعيِن‬،ْ ‫اجُب ْريِن‬ ِ
ْ ‫ َو‬، ْ ‫ َو ْارمَحْيِن‬، ْ ‫}اللَّ ُه َّم ا ْغف ْر يِل‬
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku, angkatlah
derajatku, tunjukilah aku, sehatkanlah aku, dan berikanlah aku rizki”.

{  ْ ‫ب ا ْغ ِف ْر يِل‬
ِّ ‫ب ا ْغ ِف ْر يِل ْ َر‬
ِّ ‫ر‬ }
َ
“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ya Tuhanku ampunilah aku” [HR. Ibnu Majah
no. 897; jayyid].

Diperintahkan untuk thuma’ninah ketika duduk.

‫مُثَّ َي ُق ْو ُل اَهللُ َأ ْكَبُر َو َي ْرفَ ُع َرْأ َسهُ َو َيثْيِن ْ ِر ْجلَهُ الْيُ ْسَرى َفَي ْقعُ ُد َعلَْي َها َحىَّت َي ْر ِج َع ُك ُّل‬
‫َعظْ ٍم ِإىَل َم ْو ِضعِ ِه‬
“….Kemudian beliau mengucapkan ‘Alloohu akbar’ dan mengangkat kepalanya
(dari sujud). Beliau membengkokkan kaki kirinya serta duduk di atasnya
hingga setiap tulang kembali pada tempatnya (yaitu duduk dengan tegak dan
tenang)”  [HR. Abu Dawud no. 730; shahih].

18) Berdiri untuk Melanjutkan Raka’at Kedua (dan Keempat).

Duduk istirahat sebelum berdiri ke raka’at kedua (dan keempat).

‫صلِّي فَِإ َذا َكا َن يِف‬ ِ


َ ُ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ي‬
َ َّ ‫عن مالك بن احلويرث الليثي َأنَّهُ َرَأى النَّيِب‬
ِ َ‫ِوتْ ٍر ِمن صاَل تِِه مَل يْنهض حىَّت يستَ ِوي ق‬
‫اع ًدا‬ َ َْ َ ْ َ َْ َ ْ
Dari Malik bin Al-Huwairits Al-Laitsi : Bahwasannya ia melihat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat. Apabila beliau berada
pada raka’at ganjil (yaitu rakaat pertama dan ketiga) dalam shalatnya, maka
beliau tidak langsung bangkit berdiri (ke raka’at kedua dan keempat) hingga
beliau duduk sejenak terlebih dahulu [HR. Al-Bukhari no. 823].

Berdiri dengan mendahulukan mengangkat kedua lutut sebelum tangan.

‫صاَل ِة‬ ُ ‫ث يَْأتِينَا َفَي ُق‬ِ ‫ك بن احْل وي ِر‬ِ ِ


َ ‫ َأاَل‬:‫ول‬
َ ‫ُأح ِّدثُ ُك ْم َع ْن‬ ْ َُ ُ ْ ُ ‫ َكا َن َمال‬:‫ قال‬،َ‫َع ْن َأيِب قاَل بَة‬
‫ت الصَّاَل ِة فَِإ َذا َرفَ َع َرْأ َسهُ ِم َن‬ ِ ْ‫ول اللَّ ِه صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم َفيصلِّي يِف َغ ِ وق‬
َ ‫رْي‬ َ ُ َ َ َ َْ ُ َ
ِ ‫رس‬
َُ
‫ض‬ِ ‫اَأْلر‬ ِ َ‫الر ْكع ِة اسَتوى ق‬ ِ ‫َّ ِ ِ ِ يِف‬
ْ ‫اعتَ َم َد َعلَى‬ ْ َ‫اع ًدا مُثَّ قَ َام ف‬ َ ْ َ َّ ‫الس ْج َدة الثَّانيَة ََّأول‬
Dari Abu Qilaabah, ia berkata : “Malik bin Al-Huwairits pernah mendatangi
kami, lalu berkata : "Maukah kalian aku ceritakan bagaimana shalat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Maka beliau shalat di luar waktu shalat. Apabila
beliau mengangkat kepalanya dari sujud kedua pada raka’at pertama, maka
beliau duduk dengan tegak. Kemudian beliau bangkit sambil bertelekan pada
tanah” [HR. An-Nasaa’iy no. 1153; shahih].

Kadang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggenggamkan/mengepalkan


kedua telapak tangannya untuk bertelekan ke tanah ketika berdiri dari sujud.

. ‫ يعتمد على يديه إذا قام‬: ‫ رأيت ابن عمر يعجن يف الصالة‬: ‫عن االزرق بن قيس‬
‫ رأيت رسول اهلل صلى اللَّه عليه يفعله‬: ‫فقلت له ؟ فقال‬
‫الة ؛ َي ْعتَ ِم ُد َعلَى يَ َديِْه ِإ َذا‬ ِ ‫الص‬َّ ‫ َي ْع ِج ُن يِف‬ ‫ عُ َمَر‬ ‫ ابْ َن‬ ‫ت‬ ٍ ‫اَألز َر ِق بْ ِن َقْي‬
ُ ْ‫س َرَأي‬ ْ ‫َع ِن‬
ِ ِ َ ‫ رَأيت رس‬:‫ال‬
ُ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َي ْف َعلُه‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ُ ْ َ َ ‫ َف َق‬،ُ‫ت لَه‬ ُ ‫ َف ُقْل‬، ‫قَ َام‬
Dari Al-Azraq bin Qais : Aku melihat Ibnu ‘Umar
melakukan ‘ajn (menggenggam tangan) ketika shalat, yaitu bertelekan
dengan dua tangannya ketika berdiri. Maka aku bertanya kepadanya tentang
hal tersebut. Maka ia menjawab : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam melakukannya” [HR. Abu Ishaq Al-Harbi dalam Ghariibul-
Hadiits 2/525; dengan sanad shalih].

19) Wajib Membaca Al-Fatihah pada Setiap Raka’at

‫وكان من أصحاب النيب صلى اهلل عليه وسلم قال جاء رجل ورسول اهلل صلى اهلل‬
‫عليه يف املسجد فصلى قريبا منه مث انصرف إليه فسلم عليه فقال له رسول اهلل صلى‬
‫مث اصنع ذلك يف كل‬....... ‫مث اقرأ بأم القرآن مث اقرأ مبا شئت‬......... ‫اهلل عليه‬
‫ركعة‬
Dari salah seorang shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ia
berkata : Datang seseorang dan pada waktu itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam berada di masjid. Maka orang tersebut melakukan shalat di dekat
beliau. Setelah usai melakukan shalat, maka ia berpaling kepada
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam terhadap beliau.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya (tentang
bagaimana tata cara shalat yang benar) : “….Kemudian bacalah Ummul-
Qur’an (Al-Fatihah) dan setelah itu bacalah surat yang engkau kehendaki……
kemudian lakukanlah hal tersebut pada setiap raka’at (dalam shalatmu)” [HR.
Ibnu Hibban no. 1787 dengan sanad qawiy (kuat)].

20) Tasyahud Awal


Duduk tasyahud awal adalah duduk iftirasy sebagaimana duduk di antara dua
sujud

‫س َعلَى ِر ْجلِ ِه الْيُ ْسَرى‬ ِ َّ ‫ فَِإ َذا َجلَس يِف‬...... : ‫عن أيب محيد الساعدي‬
َ َ‫الر ْك َعَتنْي َجل‬ َ
‫ب الْيُمْىَن‬
َ‫ص‬َ َ‫َون‬
Dari Abu Humaid As-Sa’idi : “….Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam duduk pada raka’at kedua (yaitu duduk tasyahud awal), maka beliau
duduk di atas telapak kaki kirinya dengan menegakkan telapak kaki
kanannya” [HR. Al-Bukhari no. 828].

Meletakkan kedua tangan di atas lutut (atau di atas paha), tangan kanan
menggenggam (atau membuat lingkaran antara jari tengah dan ibu jari), dan
berisyarat dengan jari telunjuk tangan kanan dengan mengerak-gerakannya.

‫ض َع يَ َديِْه‬ ِ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه وسلَّم َكا َن ِإ‬


َ ‫ َو‬،‫س يِف الصَّاَل ة‬َ َ َ‫ل‬‫ج‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ َ ََ َ َّ ‫ َأ ّن النَّيِب‬،‫َع ِن ابْ ِن عُ َمَر‬
‫ َويَ َدهُ الْيُ ْسَرى َعلَى‬،‫ فَ َد َعا هِبَا‬،‫ الَّيِت تَلِي اِإل ْب َه َام‬، ‫صَب َعهُ الْيُمْىَن‬ ِ
ْ ‫ َو َرفَ َع ِإ‬،‫َعلَى ُر ْكبََتْيه‬
‫اسطُ َها َعلَْي َها‬ ِ ‫ ب‬،‫ر ْكبتِ ِه الْيسرى‬
َ َْ ُ َ ُ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam apabila duduk dalam shalat, beliau meletakkan kedua
(telapak) tangannya di atas kedua lututnya, dan beliau mengangkat jari
(telunjuknya) yang kanan, maka beliaupun berdoa (bersamaan) dengan itu,
dan (telapak) tangan kirinya terhampar di atas lututnya yang kiri” [HR. Muslim
no. 580, At-Tirmidzi no. 294, Ibnu Majah no. 913, dan yang lainnya].

Dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Umar :

ِ ‫ وضع َك َّفه الْيم علَى فَ ِخ ِذ‬،‫َكا َن ِإ َذا جلَس يِف الصَّاَل ِة‬
ُ‫َأصابِ َعه‬
َ ‫ض‬َ ‫ب‬‫ق‬َ ‫و‬ ،
َ َ ‫ُ ْىَن‬ ‫م‬‫ي‬ْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ه‬ َ ‫َ َ َ ُ ُ ْىَن‬ َ َ
‫ض َع َك َّفهُ الْيُ ْسَرى َعلَى فَ ِخ ِذ ِه الْيُ ْسَرى‬ ِ ِ ِ ‫َأشار بِِإ‬
َ ‫ َو َو‬،‫صبَعه الَّيِت تَلي اِإل ْب َه َام‬
ْ َ َ ‫ َو‬،‫ُكلَّ َها‬
"Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk (tasyahud) dalam shalat,
maka beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya.
Beliau menggenggam semua jari tangan kanannya dan berisyarat dengan jari
telunjuk. Dan meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya" [HR.
Muslim no. 580].
‫ض َع َك َّفهُ الْيُ ْسَرى َعلَى فَ ِخ ِذ ِه َو ُر ْكبَتِ ِه‬
َ ‫ َف َو‬........ : ‫ان وائل بن حجر احلضرمي قال‬
‫ فَ َحلَّ َق‬،‫َأصابِعِ ِه‬ ِِ ِ ِِ ِ
َ َ‫ مُثَّ َقب‬، ‫ َو َج َع َل َح َّد م ْرفَقه اَْألمْيَ ِن َعلَى فَخذه الْيُمْىَن‬،‫الْيُ ْسَرى‬
َ َ ‫ض َبنْي‬
‫ َفَر َْأيتُهُ حُيَِّر ُك َها يَ ْدعُو هِبَا‬،‫صَب َعه‬
ْ ‫ مُثَّ َرفَ َع ِإ‬،ً‫َح ْل َقة‬
Bahwasannya Wail bin Hujr Al-Hadlrami radliyallaahu ‘anhu berkata :
“…..Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan
kirinya di atas paha dan lututnya yang kiri pula, dan meletakkan ujung siku
tangan kanannya di atas pahanya yang kanan dan beliau pun membuat
lingkaran (dengan jari tengah dan ibu jarinya) dan beliau mengangkat jari
(telunjuknya). Maka aku pun (yaitu Wail) melihat beliau menggerak-
gerakkannya (jari telunjuk) sambil berdoa dengannya” [HR. Ahmad no.
18890; shahih]

‫صبَعِ ِه‬
ْ ‫ض َع ِإْب َه َامهُ َعلَى ِإ‬
ِ َّ ‫َأشار بِِإصبعِ ِه‬
َ ‫ َو َو‬،‫السبَّابَة‬ َ ْ َ َ ‫ َو‬..... : ‫عن عبد اهلل بن الزبري قال‬
‫الْ ُو ْسطَى‬
Dari Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhuma : “…..Dan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu
jarinya di atas jari tengahnya” [HR. Muslim no. 579].

ِِ
َ ‫ َو َو‬،‫َأش َار بِ َسبَّابَته‬
‫ض َع اِإل ْب َه َام َعلَى الْ ُو ْسطَى‬ َ َّ‫ مُث‬....... : ‫عن وائل بن حجر قال‬
‫َحلَّ َق هِبَا‬
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “…..Kemudian
beliau shallallaau ‘alaihi wasallam berisyarat dengan jari telunjuknya dan
meletakkan ibu jari di atas jari tengah dengan membuat lingkaran” [HR.
‘Abdurrazzaq no. 2522; shahih].

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu pada setiap tasyahud,


baik tasyahud awal maupun akhir.

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّم ِإذَا َجلَس يِف‬


َ ‫ه‬ِ َّ‫ول الل‬ُ ‫ َكا َن َر ُس‬:‫عن عبد اهلل بن الزبري قال‬
َ َ
‫ُأصبُعِ ِه‬ َ َّ‫ض ُع يَ َديِْه َعلَى ُر ْكبََتْي ِه مُث‬
ْ ِ‫َأش َار ب‬ ْ ‫الثْنَتنْي ِ َْأو يِف‬
َ َ‫اَأْلربَ ِع ي‬ ِّ
Dari ‘Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila duduk di raka’at kedua atau di
raka’at keempat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya,
kemudian berisyarat dengan jari (telunjuknya)” [HR. Nasa’i dalam As-
Shughraa no. 1161; shahih].
21) Membaca tasyahud, di antaranya adalah (bisa dipilih salah satu):
ِ ُ‫َأيُّها النَّيِب ورمْح ة‬ ‫ك‬ ِ ‫َّحيَّات‬ِ
{ ،ُ‫اهلل َو َبَر َكاتُه‬ َ َ َ ُّ َ َ ‫لسالَ ُم َعلَْي‬ َّ َ‫ا‬ ،‫ات‬ ُ َ‫ َوالطَّيِّب‬،‫ات‬
ُ ‫الصلَ َو‬
َّ ‫ َو‬،‫هلل‬ ُ ‫اَلت‬
َّ ‫ َوَأ ْش َه ُد‬،ُ‫ َأ ْش َه ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإاَّل اهلل‬، َ ‫الصاحِلِنْي‬
ُ‫َأن حُمَ َّمداً َعْب ُده‬ َّ ‫اهلل‬ِ ‫لسالَم علَينَا وعلَى ِعب ِاد‬
َ َ َ ْ َ ُ َّ َ‫ا‬
ُ‫و َر ُس ْولُه‬ }
َ
“Segala ucapan selamat, kebahagiaan, dan kebaikan adalah bagi Allah.
Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta
rahmat Allah dan barakahnya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan
kepada kami pula dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya” [HR. Al-
Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402].

ِ ُ‫َأيُّها النَّيِب ورمْح ة‬ ‫ك‬


 ‫اهلل‬ ِ ‫الصلَوات الطَّيِّبات‬ ِ
َ َ َ ُّ َ َ ‫لسالَ ُم َعلَْي‬ َّ َ‫ا‬ ،‫هلل‬ ُ َ ُ َ َّ ‫ات‬ ُ ‫ات الْ ُمبَ َار َك‬
ُ َّ‫اَلتَّحي‬
َّ ‫ َوَأ ْش َه ُد‬،ُ‫الصاحِلِنْي َ َأ ْش َه ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإاَّل اهلل‬
‫َأن‬ َّ ‫اهلل‬ ِ ‫لسالَم علَينَا وعلَى ِعب ِاد‬
َ َ َ ْ َ ُ َّ َ‫َو َبَر َكاتُهُ ا‬
ِ
ُ‫ َعْب ُدهُ َو َر ُس ْولُه‬:‫ ويف رواية‬. ‫حُمَ َّمداً َر ُس ْو ُل اهلل‬ 
“Segala ucapan selamat, barakah, kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah milik
Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi,
beserta rahmat Allah dan barakahnya. Mudah-mudahan kesejahteraan
dilimpahkan kepada kami pula dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah ‘Rasululah’ [dalam riwayat
yang lain :] ‘hamba-Nya dan utusan-Nya’ “ [HR. Muslim no. 403, Abu ‘Awanah
no. 1597, Nasa’i no. 1174].

ِ ُ‫َأيُّها النَّيِب ورمْح ة‬ ‫ك‬ ِ ‫الصلَوات‬ ِ


 ‫لسالَ ُم‬
َّ َ‫اهلل َو َبَر َكاتُهُ ا‬ َ َ َ ُّ َ َ ‫لسالَ ُم َعلَْي‬ َّ َ‫ا‬ ‫هلل‬ ُ َ َّ ‫ات‬ ُ َ‫ات الطَّيِّب‬ُ َّ‫اَلتَّحي‬
َّ ‫ َوَأ ْش َه ُد‬،ُ‫الصاحِلِنْي َ َأ ْش َه ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإاَّل اهلل‬
ُ‫َأن حُمَ َّمداً َعْب ُده‬
ِ ‫علَينَا وعلَى ِعب ِاد‬
َّ ‫اهلل‬ َ ََ َْ
ُ‫و َر ُس ْولُه‬ َ
“Segala ucapan selamat, kebaikan, dan kebahagiaan adalah bagi Allah.
Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kami pula dan kepada
seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu
adalah hamba-Nya dan utusan-Nya” [HR. Muslim no. 404].

Perhatikan yang kalimat yang digaris bawah di atas. Sebagian ulama


berpendapat bahwa kalimat as-salaamu ‘alaika itu diucapkan ketika
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Adapun setelah beliau
meninggal, maka disyari’atkan mengganti kalimat tersebut dengan : as-
salaamu ‘alan-nabiy. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya :

ُ‫صلَّى اهلل‬
ِ
َ ُّ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكانُوا يُ َسلِّ ُمو َن َوالنَّيِب‬ َ ِّ ‫اب النَّيِب‬ َ ‫َأص َح‬ َّ :‫َع ْن َعطَ ٍاء‬
ْ ‫َأن‬
ِ َّ :‫َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َح ٌّي‬
َ ‫ َفلَ َّما َم‬،ُ‫ك َأيُّ َها النَّيِب ُّ َو َرمْح َةُ اللَّه َو َبَر َكاتُه‬
‫ات‬ َ ‫الم َعلَْي‬ُ ‫الس‬
ِ
ُ‫الم َعلَى النَّيِب ِّ َو َرمْح َةُ اللَّه َو َبَر َكاتُه‬
ُ ‫الس‬
َّ  :‫قَالُوا‬ "
Dari ‘Atha’ : Bahwasannya para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bila mereka memberikan salam (dan shalawat ketika shalat) dan waktu
itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup : As-salaamu ‘alaika
ayyuhan-nabiyyu warohmatulloohi wabarokaatuh. Namun ketika beliau telah
wafat, maka mereka mengatakan : “As-salaamu ‘alan-nabiyyi warohmatulloohi
wabarokatuh “ [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no.
3075; shahih].

Dan inilah yang lebih benar dalam pengamalan. Wallaahu a’lam.

22) Membaca shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, diantaranya


adalah (bisa dipilih salah satu):

‫ت َعلَى ِآل‬ ِِ ِ ِ ِِ ٍ
َ ‫صلَّْي‬
َ ‫ص ِّل َعلَى حُمَ َّمد َو َعلَى َْأه ِل َبْيته َو َعلَى َْأز َواجه َوذُِّريَّته َك َما‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
‫ك مَحِ ْي ٌد جَمِ ْي ٌد َوبَا ِر ْك َعلَى حُمَ َّم ٍد َو َعلَى َْأه ِل َبْيتِ ِه َو َعلَى َْأز َو ِاج ِه َوذُِّريَّتِ ِه َك َما‬ ِ
َ َّ‫ِإ ْبَراهْي َم ِإن‬
‫ك مَحِ ْي ٌد جَمِ ْي ٌد‬ ِ
َ َّ‫ت َعلَى ِآل ِإْبَراهْي َم ِإن‬ َ ‫بَ َار ْك‬ 
“Ya Allah, berilah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada Ahli Baitnya,
istri-istrinya serta keturunannya sebagaimana Engkau telah memberikan
kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
lagi Maha Mulia. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada Ahli
Baitnya, istri-istrinya, serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah
memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji lagi Maha Mulia.”  [HR. Ahmad no. 23221; shahih].

 ‫ت َعلَى ِإْبَر ِاهْي َم َو َعلَى ِآل ِإ ْبَر ِاهْي َم‬


َ ‫صلَّْي‬
ٍ ِ ٍ
َ ‫ص ِّل َعلَى حُمَ َّمد َو َعلَى آل حُمَ َّمد َك َما‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
‫ت َعلَى ِإ ْبَر ِاهْي َم‬ ٍ ِ ٍ ِ ِ َ َّ‫ِإن‬
َ ‫ك مَح ْي ٌد جَم ْي ٌد اللَّ ُه َّم بَا ِر ْك َعلَى حُمَ َّمد َو َعلَى آل حُمَ َّمد َك َما بَ َار ْك‬
‫ك مَحِ ْي ٌد جَمِ ْي ٌد‬ ِ
َ َّ‫و َعلَى ِآل ِإ ْبَراهْي َم ِإن‬ َ
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad, sebagaimana Engkau
telah memberikan kebahagiaan kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahiim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah
barakah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau telah memberikan barakah kepada Ibrahim dan kepada keluarga
Ibrahiim. Sesunggunya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Al-Bukhari
no. 3370 dan Muslim no. 406].

{ ‫ت َعلَى ِآل ِإ ْبَر ِاهْي َم َو بَا ِر ْك َعلَى‬ َ ‫صلَّْي‬


ٍ ِ ٍ
َ ‫اللَّ ُه َّم‬
َ ‫ص ِّل َعلَى حُمَ َّمد َو َعلَى آل حُمَ َّمد َك َما‬
‫ك مَحِ ْي ٌد جَمِ ْي ٌد‬ ِ ٍ ِ ٍ
َ َّ‫ت َعلَى ِآل ِإ ْبَراهْي َم يِف الْ َعالَ ِمنْي َ ِإن‬
َ ‫حُمَ َّمد َو َعلَى آل حُمَ َّمد َك َما بَ َار ْك‬ }
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad, sebagaimana Engkau
telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahiim. Dan berikanlah
barakah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahiim di seluruh alam.
Sesunggunya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Muslim no. 405].

 { ‫ص ِّل َعلَى حُمَ َّم ٍد النيب األمي َو َعلَى ِآل حُمَ َّم ٍد‬
َ ‫}اللَّ ُه َّم‬
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad – nabi yang ummi –
dan kepada keluarga Muhammad” [HR. Abu Dawud no. 981; hasan].

Bolehkah menambah kata “sayyidinaa” sebelum lafadh/penyebutan


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Ibrahim ‘alaihis-salaam dalam
shalawat ketika shalat ?

Pendapat yang rajih adalah tidak boleh. Hal itu dikarenakan apa yang


diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah tanpa
kata “sayyidinaa”. Begitu pula dengan apa yang diajarkan oleh para shahabat.
Tidak satupun di antara mereka yang mengucapkan dan
menambahkan “sayyidinaa”. Lafadh shalawat adalah lafadh yang
sifatnya tauqifiyyah (yang berdasarkan wahyu) dimana tidak diperbolehkan
penambahan kalimat-kalimat dari manusia. Apalagi hal itu diucapkan dalam
shalat. Satu hal yang menunjukkan hal itu (yaitu satu lafadh doa haruslah
persis sama dengan yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam)
adalah ketika beliau menegur Al-Barra’ bin ‘Azib ketika Al-Barra’ keliru dalam
mengucapkan doa/dzikir sebelum tidur. Al-Barra’ mengisahkan :

‫ك الَّ ِذ ْي‬
َ ِ‫ت بِ ِكتَاب‬
ُ ‫ اَللَّ ُه َّم َآمْن‬: ‫فرددهتا علي النيب صلى اهلل عليه وسلم فلما بلغت‬
ِ ِّ‫َأْنزلْت قلت ورسولِك قال ال و َنِّبي‬
َ ‫ك الَّذ ْي َْأر َس ْل‬
‫ت‬ َ َ َ ُْ َ َ َ َ
‫ك الَّ ِذي‬
َ ِ‫ت بِ ِكتَاب‬
ُ ‫ت اللَّ ُه َّم َآمْن‬
ِ
ُ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َفلَ َّما َبلَ ْغ‬
َ ِّ ‫َفَر َّد ْد ُت َها َعلَى النَّيِب‬
ِ ِّ‫ ونَبِي‬، ‫ اَل‬:‫ال‬ ِ
‫ت‬َ ‫ك الَّذي َْأر َس ْل‬ َ َ َ َ‫ ق‬،‫ك‬َ ‫ َو َر ُسول‬:‫ت‬ ُ ‫ت ُقْل‬ َ ْ‫َأْنَزل‬
“Maka aku mengulanginya (doa yang diajarkan) di hadapan Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam. Ketika aku sampai pada bacaan : “Alloohumma aamantu bi-
kitaabikal-ladzii anzalta”; maka aku melanjutkannya
dengan : “warosuulika”. (Mendengar itu) maka beliau menegurku : “Bukan
begitu !, akan tetapi (yang benar) : ‘wanabiyyikal-ladzii arsalta’” [HR. Al-
Bukhari no. 247].

23) Bangkit kepada Raka’at Ketiga dan/atau Keempat.

َّ‫ مُث‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن ِإ َذا ََأر َاد َأ ْن يَ ْس ُج َد َكَّبَر‬ َ َّ ‫َأن النَّيِب‬ َّ ،‫َع ْن َأيِب ُهَر ْيَر َة‬
‫ مُثَّ قَ َام‬،‫ َوِإ َذا قَ َام ِم َن الْ َق ْع َد ِة َكَّبَر‬،‫يَ ْس ُج ُد‬
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam apabila hendak sujud, maka beliau bertakbir, kemudian sujud. Dan
apabila beliau hendak berdiri dari tempat duduknya (dalam shalat), maka
beliau bertakbir, kemudian berdiri” [HR. Abu Ya’la no. 6029 dengan
sanad jayyid].

‫ي هِبِ َما‬ ِ ‫ مُثَّ ِإذَا قَام ِمن الر ْكعت ِ َكَّبر ورفَع ي َدي ِه حىَّت حُي‬........‫قال أبو محيد‬
‫اذ‬
َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ‫َ َ َّ ََ نْي‬
‫َمْن ِكَبْي ِه‬
Berkata Abu Humaid radliyallaahu ’anhu : ”....Kemudian apabila
beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam berdiri dari raka’at kedua, beliau bertakbir
dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua
pundaknya” [HR. Abu Dawud no. 730; shahih].

24) Tasyahud Akhir.

Secara umum, apa yang dilakukan pada tasyahud awal juga dilakukan


pada tasyahud akhir. Hanya saja dalam tasyahud akhir, posisi duduk
adalah tawaruk.

‫َّم ِر ْجلَهُ الْيُ ْسَرى‬ ِ ِ ‫الر ْكع ِة اآْل‬ ‫ِإ‬


‫د‬
َ َ ‫ق‬
َ ‫ة‬ ‫ر‬ ‫خ‬ َ َّ ‫س يِف‬
َ َ‫ َو َذا َجل‬..... : ‫عن أيب محيد الساعدي‬
‫اُأْلخَرى َو َق َع َد َعلَى َم ْق َع َدتِِه‬
ْ ‫ب‬ َ‫ص‬
َ َ‫َون‬
Dari Abu Humaid As-Sa’idi radliyallaahu ’anhu : ”......Dan apabila
beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam duduk pada raka’at terakhir, maka beliau
menjorokkan (telapak) kaki kirinya, menegakkan (telapak) kaki kanan, dan
duduk di atas pantatnya” [HR. Al-Bukhari no. 828].

25) Membaca doa sebelum salam

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :


‫َأح ُد ُك ْم ِم َن‬َ ‫غ‬َ ‫ ِإذَا َفَر‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫عن أيب هريرة يقول ق‬
‫ َو ِم ْن‬، ِ‫اب الْ َقرْب‬
ِ ‫ و ِمن َع َذ‬،‫اب جهنَّم‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ َ ‫الت‬
ْ َ َ َ َ ‫ م ْن َع َذ‬،‫ َف ْليََت َع َّو ْذ باللَّه م ْن َْأربَ ٍع‬،‫َّش ُّهد اآلخ ِر‬
‫َّج ِال‬
َّ ‫يح الد‬ ِ ‫فِْتنَ ِة الْمحيا والْمم‬
ِ ‫ َو ِم َن َشِّر الْ َم ِس‬،‫ات‬ َ َ َ َْ َ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang diantara
kamu telah menyelesaikan (bacaan) tasyahud akhir, maka mohonlah kepada
Allah agar dilindungi dari empat perkara, (yaitu) : siksa neraka Jahannam,
siksa kubur, fitnah/cobaan hidup dan mati, dan kejahatan Al-Masih Ad-
Dajjal” [HR. Muslim no. 588].

Adapun lafadh doanya adalah :

ِ ‫ك ِمن َع َذ‬ ِ ‫ِإ‬


‫اب‬ ْ َ ‫اَللَّ ُه َّم يِّنْ َأعُ ْوذُ ب‬
‫اب الْ َقرْبِ َو ِم ْن‬
ِ ‫جهنَّم و ِمن َع َذ‬
ْ َ َ ََ
‫ات َو ِم ْن َشِّر‬ ِ ‫فِْتنَ ِة الْمحيا والْمم‬
َ َ َ َْ َ
َّ ‫فِْتنَ ِة الْ َم ِسْي ِح الد‬
‫َّج ِال‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka
Jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati, serta dari kejahatan fitnah Al-
Masih Ad-Dajjal” [idem].

Selain doa tersebut juga bisa dibaca :

ً‫ت َن ْف ِس ْي ظُْلما‬ ُ ‫اَللَّ ُه َّم ِإيِّنْ ظَلَ ْم‬


‫ب ِإال‬ ‫و‬ ‫ن‬
ُ ُّ
‫الذ‬ ‫ر‬ ِ ‫َكثِ اً والَ ي ْغ‬
‫ف‬
َ ْ ُ َ َ ‫رْي‬
‫ت فَا ْغ ِف ْر يِل ْ َم ْغ ِفَرة ِم ْن ِعْن ِد َك‬ َ ْ‫َأن‬
‫ت الْغَ ُف ْو ُر‬ َ ْ‫ك َأن‬َ َّ‫َو ْارمَحْيِن ْ ِإن‬
‫الر ِحْي ِم‬َّ
“Ya Allah, sesungguhnya aku banyak menganiaya diriku, dan tidak ada yang
mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau. Oleh karena itu, ampunilah dosa-
dosaku dan berilah rahmat kepadaku. Sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” [HR. Al-Bukhari no. 834; dan Muslim no.
2705].
‫اسْبيِن ِح َسابًا يَ ِس ًريا‬
ِ ‫اللَّه َّم ح‬
َ ُ
”Ya Allah, hisablah/perhitungkanlah (segala amalku) dengan
hisab/perhitungan yang mudah” [HR. Ahmad no. 24261 dengan sanad jayyid].

ِ ِ
َ ‫الص َم ُد الَّذي مَلْ يَل ْد َومَلْ يُولَ ْد َومَلْ يَ ُك ْن لَهُ ُك ُف ًوا‬
،‫َأح ٌد‬ َ ُ‫ك يَا اللَّه‬
َّ ‫اَأْلح ُد‬ ْ ‫اللَّ ُه َّم ِإيِّن‬
َ ُ‫َأسَأل‬
ِ َّ ‫ك َأنْت الْغَ ُفور‬ ِ
‫يم‬
ُ ‫الرح‬ ُ َ َ َّ‫َأ ْن َت ْغفَر يِل ذُنُويِب ِإن‬
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ya Allah Yang Maha Esa,
Maha Tunggal, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, yang tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara
dengan-Nya; agar Engkau mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [HR. Abu Dawud no. 985; shahih].

26) Salam

Salam pertama termasuk bagian rukun shalat yang harus dikerjakan,


sedangkan salam kedua merupakan sunnah.

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يُ َسلِّ ُم‬ ِ َ ‫ ُكْنت َأرى رس‬:‫ال‬


َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ ُ َ َ‫ ق‬،‫ َع ْن َأبِ ِيه‬،‫َع ْن َع ِام ِر بْ ِن َس ْع ٍد‬
ِ ‫ حىَّت َأرى بياض خد‬،‫ وعن يسا ِر ِه‬،‫عن مَيِينِ ِه‬
‫ِّه‬ َ َ ََ َ َ ََ َْ َ َْ
Dari ’Amir bin Sa’d dari ayahnya radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Aku melihat
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melakukan salam (di akhir shalat)
dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, sehingga aku melihat putih pipi beliau”
[HR. Muslim no. 582].

ً‫يمة‬ِ‫ول اللَّ ِه صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم َكا َن يسلِّم يِف الصَّاَل ِة تَسل‬ َ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ن‬
ّ ‫َأ‬ ،َ‫ة‬‫ش‬ ‫عن عاِئ‬
َ ْ ُ َُ َ ََ ْ ُ َ َ َُ َ َ َْ
ِّ ‫يل ِإىَل الش‬
‫ِّق اَأْلمْيَ ِن َشْيًئا‬ ِ‫اح َد ًة تِْل َقاء وج ِه ِه مَي‬
ِ‫و‬
ُ ْ ََ َ
Dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam pernah melakukan satu kali salam (yaitu ke kanan tanpa ke kiri)
dalam shalatnya. Beliau memiringkan wajahnya sedikit ke sebelah kanan” [HR.
At-Tirmidzi no. 296; shahih].

Ada beberapa macam cara salam dalam shalat, yaitu :

Mengucapkan « assalaamu ’alaikum warohmatullooh » ke kanan dan ke kiri


‫ َو َع ْن مِش َالِِه َحىَّت‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن يُ َسلِّ ُم َع ْن مَيِينِ ِه‬ َّ ،‫َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه‬
َ َّ ‫َأن النَّيِب‬
‫الساَل ُم َعلَْي ُك ْم َو َرمْح َةُ اللَّ ِه‬
َّ ،‫الساَل ُم َعلَْي ُك ْم َو َرمْح َةُ اللَّ ِه‬
َّ  ،‫ِّه‬ ِ ‫يرى بياض خد‬
َ ُ ََ َ ُ
Dari Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu : Bahwasannya
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri
hingga terlihat putih pipinya (dengan ucapan :) ”Assalaamu’alaikum
warohmatullooh, assalaamu ’alaikum warohmatullooh” [HR. Abu Dawud no.
996; shahih].

Mengucapkan salam pertama (ke kanan) « assalaamu ’alaikum


warohmatulloohi wabarookatuh » dan salam kedua (ke kiri) «assalaamu
’alaikum warahmatullah »

َّ  ‫ فَ َكا َن يُ َسلِّ ُم َع ْن مَيِينِ ِه‬ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


‫الساَل ُم‬ ُ ‫صلَّْي‬
َ ِّ ‫ت َم َع النَّيِب‬ َ ‫عن وائل قال‬
‫مِش‬
َّ ‫ َو َع ْن َالِِه‬،ُ‫َعلَْي ُك ْم َو َرمْح َةُ اللَّ ِه َو َبَر َكاتُه‬
‫الساَل ُم َعلَْي ُك ْم َو َرمْح َةُ اللَّ ِه‬
Dari Wail radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Aku pernah shalat bersama Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam, dimana beliau mengucapkan salam ke
kanan : Assalaamu ’alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh; dan ke
kiri : Assalaamu ’alaikum warohmatullooh” [HR. Abu Dawud no. 997; shahih].

Mengucapkan salam pertama (ke kanan) «assalaamu ’alaikum


warahmatullah » dan salam ke dua (ke kiri) « assalaamu ’alaikum »

‫صلَّى‬ ِ ِ ِ ‫ َأخرِب يِن عن‬: ‫ عمر‬ ‫ اِل ب ِن‬ ‫ ُق ْلت‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َع ْن َو ِاس ِع بْ ِن َحبَّا َن‬
َ ‫صاَل ة َر ُسول اللَّه‬ َ ْ َ ْ ْ ََ ُ ْ ُ
َ َ‫ " فَ َذ َكَر التَّ ْكبِ َري ق‬:‫ال‬ ِ
َّ  ‫ َي ْعيِن َوذَ َكَر‬:‫ال‬
‫الساَل ُم َعلَْي ُك ْم‬ َ َ‫ت؟ ق‬ ْ َ‫ف َكان‬َ ‫اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكْي‬
َّ  ،‫ َع ْن مَيِينِ ِه‬ ‫َو َرمْح َةُ اللَّ ِه‬
‫ َع ْن يَ َسا ِر ِه‬ ‫الساَل ُم َعلَْي ُك ْم‬
Dari Wasi’ bin Hibban ia berkata : Aku bertanya kepada Ibnu ’Umar :
”Khabarkanlah kepadaku bagaimana sifat shalat Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam ?”. Maka Ibnu ’Umar menjawab : ”Maka beliau mengucapkan takbir,
yaitu (maksudnya) mengucapkan  Assalaamu ’alaikum warohmatullooh ke
kanan dan Assalaamu ’alaikum ke kiri”  [HR. Nasa’i no. 1321; shahih].

Mengucapkan sekali salam ke kanan dengan «assalaamu ’alaikum


warahmatullah » sebagaimana disebutkan dalam hadits ’Aisyah radliyallaahu
’anhaa di atas.

Wallaahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai