Anda di halaman 1dari 7

Tharīqah dalam al-Qur’ān dan Hadits

Tharīqah adalah jalan yang dilalui oleh orang sufi dalam perjalanannya menuju
Tuhan. Tharīqah digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syarī‘ah, sebab
jalan utama disebut syari‘ sedangkan anak jalan disebut tharīq. Kata ini terambil dari
kata tharq yang di antara maknanya adalah “mengetuk” seperti dalam
ungkapan tharq-ul-bāb yang berarti “mengetuk pintu”.

Oleh karena itu, cara beribadah seorang sufi disebut tharīqah karena ia selalu


mengetuk pintu hatinya dengan dzikrullāh atau mengingat Allah. Cara beribadah
semacam ini oleh Nabi s.a.w. disebut dengan tharīqah ḥasanah (cara yang baik).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad ibn Ḥanbal dalam
musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat (dipercaya), Nabi s.a.w. bersabda:

‫ب لَهُ ِمثْ َل َع َملِ ِه ِإ َذا َكا َن‬ ِِ ِ َ‫ض قِْي َل لِْل َمل‬
ْ ُ‫ك الْ ُم َو َّك ِل به اُ ْكت‬
ِ ِ ٍِ ٍ ِ
َ ‫ ِإ َّن الْ َعْب َد ِإ َذا َكا َن َعلَى طَ ِر ْي َقة َح َسنَة م َن الْعبَ َادة مُثَّ َم ِر‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
ِ
َ ‫قَ َال َر ُس ْو ُل اهلل‬
)‫اَأْلرنَُؤ ْو ِط (صحيح و هذا إسناد حسن‬ ْ ‫ب‬ ِ ‫طَلِْي ًقا َحىَّت َأطْلَ َقهُ َْأو َأ ْك َفتَهُ ِإىَل َت ْعلِْي ِق ُش َعْي‬

“Sesungguhnya seorang hamba jika berpijak pada tharīqah yang baik dalam
beribadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan (oleh Allāh s.w.t.) kepada
malaikat yang mengurusnya: “Tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan
dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku menyembuhkannya atau
mengembalikannya kepada-Ku”.” (Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, juz 2, halaman:
203).

Ungkapan Tharīqah ḥasanah dalam hadits tersebut menunjukkan kepada perilaku


hati yang diliputi kondisi iḥsān (beribadah seolah-olah melihat Allāh s.w.t. atau
kondisi khusyū‘) yakin berjumpa dengan Allāh s.w.t. dan kembali kepada-Nya.

‫الَّ ِذيْ َن يَظُن ُّْو َن َأن َُّهم مُّاَل ُق ْوا َرهِّبِ ْم َو َأن َُّه ْم ِإلَْي ِه َر ِاج ُع ْو َن‬

“… (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui


Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (al-Baqarah, 2: 46).

Ibadah (misalnya shalat) yang dilakukan dengan hati yang lalai oleh Nabi disebut
sebagai shalat al-munāfiq (salatnya orang munafik), yaitu yang di dalamnya ia tidak
berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit (lā yadzkurullāha fīhā illā qalīlan) Shaḥīḥ
Muslim, 1: 434, dan pelakunya oleh Tuhan diancam dengan al-wail.

‫اه ْو َن‬ ِ‫ الَّ ِذين هم عن هِت‬. ِّ‫ َفويل لِّْلمصل‬.


ُ ‫صاَل ْم َس‬
َ َ ْ ُ َ ْ َ ‫َ ْ ٌ ُ َ نْي‬

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (4) (yaitu) orang-orang


yang lalai dari shalatnya (5).” (al-Mā‘ūn [107]: 4-5).
Di dalam al-Qur’ān pun kata tharīqah muncul dalam konteks dzikrullāh sebagai
aktualisasi tauhid yang sempurna.

Setelah Allāh s.w.t. menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang
istiqāmah di atas tharīqah, Allāh s.w.t. langsung memberikan ancaman siksa yang
sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya:

ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
َ ‫ض َعن ذ ْك ِر َربِّه يَ ْسلُكْهُ َع َذابًا‬
‫ص َع ًدا‬ ْ ‫ لَن ْفتَن ُه ْم فْيه َو َمن يُ ْع ِر‬.‫اهم َّماء َغ َدقًا‬
ُ َ‫َأَلس َقْين‬ ْ ‫و َألَّ ِو‬.
ْ ‫اسَت َق ُام ْوا َعلَى الطَّ ِر ْي َقة‬ َ

“Seandainya mereka istiqāmah di atas tharīqah niscaya Kami beri minum


mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak): untuk Kami uji
mereka di dalamnya, dan barang siapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya,
niscaya Dia menimpakan ‘adzāb yang sangat pedih.” (al-Jinn [72]: 16-17).

Ibn-ul-Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya Madārij-us-Sālikīn mengutip perkataan


Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. ketika menyinggung ayat tersebut. Sahabat agung ini
pernah ditanya mengenai maksud al-istiqāmatu ‘alath-tharīqah dan ia menjawab:
“Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allāh s.w.t. dengan sesuatu (an lā tusyrika
billāhi syay’an).” Jadi, kata Ibn-ul-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqāmatu ‘alath-
tharīqah) oleh Abū Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqāmatu ‘alā mahdhī-t-
tauḥīd konsisten di atas tauhid yang murni artinya, tharīqah dalam ayat tersebut
adalah “jalan menuju tauhid yang murni”.

Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syaikh-syaikh tharīqah
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah: “Tauhid inilah yang dibawa oleh
para rasūl dan kitab-kitab Allāh dan yang diisyaratkan oleh syaikh-syaikh tharīqah
dan pakar-pakar agama.”

Dalam ayat yang lain tharīqah disandingkan dengan syarī‘ah yaitu ketika Allâh
berfirman:

‫اجا‬ ِ ِ ِ ِ
ً ‫ل ُك ٍّل َج َعْلنَا مْن ُك ْم ش ْر َعةً َو مْن َه‬

“Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir‘ah (peraturan) dan
minhāj (metode)”. (al-Mā’idah [5]: 48).

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa syir‘ah dalam ayat tersebut adalah syarī‘ah


(peraturan) sedangkan minhāj adalah tharīqah (metode pelaksanaan syarī‘ah), dan
kedua-duanya (syarī‘ah dan tharīqah) secara simultan bermuara pada tujuan pokok
yang merupakan ḥaqīqat-ud-dīn (hakikat agama), yaitu tauhid yang murni, atau
hanya menyembah Allāh s.w.t. semata (‘ibādat Allāh waḥdah).
Tidak diragukan lagi bahwa tashawwuf adalah bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah
sebagaimana disiplin keilmuan Islam lainnya. Hal ini sebagaimana telah disampaikan
oleh para imam tashawwuf, di antaranya:

1. Imām Junaid mengatakan: “Sesungguhnya ilmu kita ini adalah berdasar al-Qur’ān
dan as-Sunnah”
2. Syaikh Sahl Tustarī mengatakan: “Ushūl kita (tashawwuf ada tujuh, yaitu berpegang
teguh kepada al-Qur’ān, melaksanakan Sunnah Rasūlullāh, makan yang halal,
mencegah yang menyakitkan, menjauhi dosa, taubat dan melaksanakan hak-hak.”
(Thabaqāt-ush-Shūfiyyati, Abū ‘Abd-ir-Raḥmān Muḥammad bin al-Ḥusain as-Sulamī,
halaman: 170).

ُ ‫ َو َأ َك‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


ُّ ‫ َو َك‬،‫ال احْلَاَل ِل‬ ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ُ ‫ التَّم َّس‬:‫ ُأصولُنَا سبعةُ َأ ْشياء‬:‫قال سهل‬
‫ َو‬،‫ف اَأْل َذى‬ َ ‫ َو ااْل قْت َداء يِف ْ َسنَة َر ُس ْوله‬، ‫ك بِكتَاب اهلل َت َعاىَل‬ َ َ َ َ َْ ْ ُ
ِ‫ و اَداء احْل ُقوق‬،ُ‫ و التَّوبة‬،‫اجتِنَاب ااْل َثَ ِام‬.
ْ ُ ُ َ َ َْ َ ُ ْ

3. Syaikh Ḥasan Syādzilī, “Apabila kasyafmu bertentangan dengan Qur’ān dan Sunnah
maka lakukanlah sesuai dengan al-Qur’ān dan as-Sunnah dan tinggalkan kasyf dan
ilham.” (Īqādh-ul-Humam (syarah matan Ḥikam), Aḥmad bin ‘Ajībah juz 2, halaman:
302-303)
4. Syaikh Abū Ḥusain al-Warrāq mengatakan: “Tidaklah seorang hamba sampai kepada
Allāh s.w.t. kecuali dengan Allāh s.w.t. (al-Qur’ān) dan sesuai dengan kekasih-Nya
(Rasūlullāh) dalam melaksanakan syarī‘ah-Nya. Barang siapa menjadikan jalan wushūl
tanpa melaksanakan as-Sunnah, maka ia (sebenarnya) menyesatkan meskipun dikira
memberikan petunjuk.” (Thabaqāt-ush-Shūfiyati Abū ‘Abd-ir-Raḥmān Muḥammad
bin al-Ḥusain as-Sulamī, halaman: 230).

ِ‫ص ْو ِل يِف َغرْي‬ ِ ِ ِ ‫ِئ‬ ِ ِ ‫ِ مِب‬ ِ ِ ِ


َ ‫ َو َُوا َف َقة َحبِْيبِه‬،‫ اَل يَص ُل الْ َعْب ُد اىَل اهلل ِإاَّل بِااهلل‬:‫ و قال أبو احلسني‬:‫قال‬
ْ ُ ‫ َو َم ْن َج َع َل الطَِّر ْي َقةَ اىَل الْ ُو‬.‫ يِف ْ َشَرا عه‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيهِ َو َسلَّ َم‬
ِ ‫ااْلِ قْتِ َد ِاء ي‬.
ُ ‫ ِم ْن َحْي‬،‫ض ُّل‬
‫ث يَظُ ُّن َأنَّهُ ُم ْهتَ ٌد‬ َ

5. Syaikh Abd-ul-Wahhāb Sya‘ranī: “Sesungguhnya jalan kaum sufi adalah tertulis dalam
al-Qur’ān dan Sunnah “ (Lathā’if al-Minan wal-akhlāq Wahhāb Sya‘ranī, juz I,
halaman: 2).
6. Abū Yazīd al-Busthāmī mengatakan ketika ditanya tentang sufi: “Allah, Yaitu yang
meletakkan al-Qur’ān di sisi kanan dan Sunnah di sisi kiri.” (Syathaḥāt-ush-Shūfiyyah,
‘Abd-ur-Raḥmān Badawī, halaman: 96).
7. Menurut Syaikh Amīn al-Qurdhī dalam kitab Tanwīr-ul-Qulūb halaman 409, pokok
ajaran tashawwuf ada lima:
1. Taqwallāh dalam keadaan tersembunyi dan terlihat direalisasikan dalam sifat wirā’ī
dan istiqāmah.
2. Mengikuti sunnah Nabi Muḥammad s.a.w. dalam ucapan, perbuatan direalisasikan
dalam bentuk budi pekerti yang baik.
3. Berpaling dari mahluk direalisasikan dalam sifat sabar dan tawakkal.
4. Rela atas pemberian Allāh s.w.t. baik sedikit atau banyak diwujudkan dalam sifat
qanā‘ah dan pasrah.
5. Kembali kepada Allāh s.w.t. dalam setiap keadaan senang dan susah direalisasikan
dalam syukur ketika senang dan mengembalikan segala sesuatu kepada Allāh s.w.t.
dalam keadaan susah.

Masih banyak lagi pernyataan para imam tashawwuf yang senada. Dengan demikian
bisa disimpulkan bahwa tashawwuf adalah bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah.

Al-Qur’ān dan Hadits merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegangi oleh
umat Islam. Sering didengar pertanyaan dalam kerangka landasan naqli ini, Apa
dasar al-Qur’ān-Haditsnya sehingga anda berkata demikian?’ atau ‘Bagaimana al-
Qur’ān dan Haditsnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sering terlontar dalam benak
pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-
persoalan baru atau persoalan-persoalan unik, termasuk persoalan-persoalan
tashawwuf.

Di sini sekilas akan disampaikan beberapa dasar al-Qur’ān dan Hadits yang
melandasi teori dan amalan tashawwuf.

Tashawwuf dalam Konteks Keilmuan Islam

Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yaḥyā Al-Khālidī menyatakan, tashawwuf adalah “saudara
kembar” fikih. Fikih pada hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep
Islam, sementara tashawwuf merupakan perwujudan kongkret dari konsep iḥsān. Dua
konsep ini tercetus bersama-sama dengan konsep iman (diformulasikan lebih jauh
dalam ilmu kalam).

Konsep iman itu tampak dalam dialog antara Jibrīl a.s. dan Nabi s.a.w., sebagaimana
dikemukakan dalam hadits Abū Hurairah yang sangat terkenal, (Shaḥīḥ-ul-Bukhārī,
juz 1, halaman: 31, nomor hadits 50):

ِ ِ ِ
‫صلَّى اهللُ َعلَْيهِ َو َسلَّ َم بَا ِر ًزا‬ ْ :‫ َح َّدثَنَا ِإمْسَاعْي ُل بْ ُن ِإْبَراهْي َم‬:‫َّد قَ َال‬
َ ُّ ‫ َكا َن النَّيِب‬:‫ َع ْن َأيِب ْ ُهَر ْيَر َة قَ َال‬،َ‫ َع ْن َأيِب ْ َز ْر َعة‬،‫َأخَب ْرنَا َأبُ ْو َحيَّا َن التَّْيم ُّي‬ ٌ ‫َح َّدثَنَا ُم َسد‬
ِ ‫اهلل و ماَل ِئ َكتِ ِه و بِلِ َقاِئِه و رسلِ ِه و تُْؤ ِمن بِالْبع‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َي ْو ًما لِلن‬
:‫ َما اِإْل ْساَل ُم؟ قَ َال‬:‫ قَ َال‬،)‫ث‬ َْ َ َ ُ ُ َ َ َ َ ‫ (اِإْل مْيَا ُن َأ ْن تُْؤ م َن ب‬:‫ َما اِإْل مْيَا ُن؟ قَ َال‬:‫ فََأتَاهُ جرْبِ يْ ُل َف َق َال‬،‫َّاس‬
ِ ِِ
َ ‫ (َأ ْن َت ْعبُ َد اهللَ َكَأن‬:‫ َما اِإْل ْح َسا ُن؟ قَ َال‬:‫ قَ َال‬،)‫ضا َن‬
‫َّك‬ َ ‫ص ْو َم َر َم‬ُ َ‫ َو ت‬،َ‫ضة‬ َ ‫الز َكا َة الْ َم ْف ُر ْو‬ َ ‫ َو ُتَؤ ِّد‬،‫ َو تُقْي َم الصَّاَل َة‬،‫(اِإْل ْساَل ُم َأ ْن َت ْعبُ َد اهللَ َو اَل تُ ْش ِر َك به‬
َّ ‫ي‬
َّ ‫ ِإذَا َولَ َد ِت‬:‫اط َها‬
،‫اَأْلمةُ َربَّ َها‬ ِ ‫ و سُأخرِب َك عن َأ ْشر‬،‫الساِئ ِل‬
َ ْ َ ُ ْ َ َ َّ ‫َأعلَ َم م َن‬
ِ ْ ِ‫ (ما الْمس و ُل عْنها ب‬:‫الساعةُ؟ قَ َال‬
َ َ ْ ‫َ َ ْ ُؤ‬ َ َّ ‫ مَىَت‬:‫ قَ َال‬،)‫ فَِإ ْن مَلْ تَ ُك ْن َتَراهُ فَِإنَّهُ َيَر َاك‬،ُ‫َتَراه‬
:‫اع ِة} [لقمان‬ َّ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلّ َم {ِإ َّن اهللَ ِعْن َدهُ ِعْل ُم‬
َ ‫الس‬ َ ُّ ‫ مُثَّ تَاَل النَّيِب‬،)ُ‫س اَل َي ْعلَ ُم ُه َّن ِإاَّل اهلل‬
ِ ‫و ِإ َذا تَطَاو َل رعاةُ اِإْل ب ِل الْبهم يِف الْبْني‬
ٍ ْ‫ يِف ْ مَخ‬،‫ان‬ َ ُ ُ ُْ ْ َ ُ َ َ
ِ
)‫َّاس د ْيَن ُه ْم‬ ِّ ِ ِ
َ ‫ (ه َذا جرْب يْ ُل َجاءَ يُ َعل ُم الن‬:‫ َف َق َال‬،‫ َفلَ ْم َيَر ْوا َشْيًئا‬.)ُ‫(رد ُّْوه‬ ُ :‫ مُثَّ َْأد َبَر َف َق َال‬،َ‫] اآليَة‬34

Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi tashawwuf sebagai “saudara kembar”


fikih, dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka
dalam bukunya Tashawwuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Hamka mengatakan,
kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan tashawwuf dan fikih,
gabungan hati dan otak. Dengan fikih kita menentukan batas-batas hukum, dan
dengan tashawwuf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di
dalam melakukan segala kehendak agama.

Kalau kita tilik kepada bunyi hadits tentang islam, iman, dan iḥsān, tampaklah bahwa
ketiga ilmu (dalam) Islam yaitu fikih, ushūl-ud-dīn, dan tashawwuf telah dapat
menyempurnakan ketiga simpulan agama itu (islam, iman, iḥsān). Islam diartikan
mengucapkan syahadat, mengerjakan salat lima waktu, puasa bulan Ramadhān,
mengeluarkan zakat, dan naik haji. Agar kita dapat mengerjakan perintah agama
dengan tidak membuta, kita pelajarilah fikih.

“Iman adalah beriman kepada Allāh s.w.t., malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, dan
kepada hari qiamat serta takdir, buruk maupun baik. Kita pelajarilah ushuluddin atau
ilmu kalam. Iḥsān adalah kunci semuanya, yaitu bahwa kita mengabdi kepada Allāh
s.w.t., seakan-akan Allāh s.w.t. berada di hadapan kita. Meski mata kita tidak dapat
melihat-Nya, namun Allāh s.w.t. tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan iḥsān itu,
kita masuki alam tashawwuf. Itulah tali berpilah tiga: iman, islam, iḥsān, yang dicapai
dengan tiga ilmu:fikih, ushūl-ud-dīn, dan tashawwuf” (Tashawwuf Perkembangan dan
Pemurniannya, halaman: 94-95).

Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi tashawwuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat
jelas dan gamblang. Tashawwuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan
bangunan syarī‘ah. Tashawwuf bahkan merupakan ruh, hakikat, dan inti dari syarī‘ah.
Syarī‘ah sendiri – merujuk al-Qur’ān dan al-Hadits – dapat didefinisikan sebagai
segala sesuatu yang bersumber dari diri Nabi s.a.w., yang berupa sikap, perbuatan,
dan perkataan. Dalam bahasa yang lebih umum, syarī‘ah adalah segala sesuatu yang
datang dari Allah s.w.t. dan Rasūl-Nya. Namun begitu, syarī‘ah pada dasarnya
merupakan produk dari hakikat Muḥammad sebagai Nabi dan Rasūl Allah s.w.t..

Adalah mustahil memahami syarī‘ah (sebagai produk) secara sempurna tanpa


memahami hakekatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat ini
adalah tashawwuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu fiqih dan
Hadits, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tashawwuf melibatkan
hati atau qalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal
(jasmani). (Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 406-407, ash-Shiddīq wat-Taḥqīq, halaman:
177).

Fikih dan tashawwuf ibarat dua sisi mata uang. Jika salah satu rusak maka yang lain
menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya harus dipegang secara utuh untuk
mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imām Abū ‘Abdillāh adz-Dzahabī (w. 748
H), penulis kitab Siyar A‘lam an-Nubalā’ (Beirut: Mu’assasat-ur-Risālah, 1413) yang
terdiri dari 23 jilid menegaskan: “Jika seorang ‘ulamā’ tidak bertashawwuf, maka ia
kosong, sebagaimana jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (bersyarī‘at), maka ia
tergelincir dari jalan yang lurus”.
Imām Mālik ibn Anas, pemimpin madzhab Mālikī yang sangat terkenal, sebagaimana
dikutip oleh Syaikh Amīn al-Qurdhī, juga mengungkapkan hal senada: “Barang siapa
yang bersyarī‘at tetapi tidak berhakikat (bertashawwuf) maka ia telah fasiq; dan
barang siapa yang berhakikat (bertashawwuf) tetapi tidak bersyarī‘at maka ia telah
zindiq”, (Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 408).

Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa tashawwuf adalah sebuah
madzhab sebagaimana ilmu fikih yang mengenal (minimal) empat madzhab,
sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi ketika membahas
hukum suatu perkara. Syaikh al-Islām Ibn Taimiyah menempatkan kaum sufi dalam
deretan fuqahā’ (ahli fikih) dan ahli Hadits. Hal ini dapat disimak misalnya dari
pernyataannya ketika menetapkan hukum larangan menikahi orang yang menolak
kekhalifahan Sayyidinā ‘Alī setelah ‘Utsmān Ibn ‘Affān r.a.. Hal itu (larangan menikahi
orang yang tidak menerima kekhalifahan ‘Alī bin Abī Thālib) telah disepakati oleh
para fuqahā’, ahli Hadits, dan juga oleh ahli ma‘rifat dan tashawwuf, (Majmū‘-ul-
Fatāwā, juz 28, halaman: 211-212): ( ‫اح نِ َساِئ ِه ْم‬ ِ ِ
ُ ‫)و اَل حَي ُّل ن َك‬
َ

Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim

Syaikh Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah adalah sepasang guru-murid
yang mendukung dan mengakui kebenaran tashawwuf sebagai ilmu yang dapat
membersihkan jiwa.

Ibn Taimiyah menyebut para sufi dengan sebutan ahlu ‘ulūm-il-qulūb (pakar-pakar


ilmu hati) yang perkataanya paling tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa
ajwadu taḥqīqan) serta paling jauh dari bid‘ah (ab‘adu min-al-bid‘ah). Ia
menyebutnya dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmū‘-ul-Fatāwā (Beirut: Dār-ul-
Kitāb-il-‘Arabī, tahun 1973).

Dalam kitabnya Amrādh-ul-Qulūbi wa Syifā’uhā (Kairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah,


1399), halaman: 62, ketika membicarakan surah al-Kāfirūn), Ibn Taimiyah berkata:
“Adapun qul yā ayyuh-al-kāfirūn mengundang tauhid ‘amalī irādī, tauhid praktis
yang didasarkan pada kehendak, yaitu keikhlasan beragama semata-mata untuk
Allāh dengan sengaja dan dikehendaki; dan itulah yang dibicarakan oleh Syaikh-
syaikh tashawwuf pada umumnya.

“Imam-imam tashawwuf menjadikan Allāh s.w.t. sebagai satu-satunya yang dicintai


dengan cinta yang hakiki, bahkan dengan cinta yang paling sempurna” (Amrādh-ul-
Qulūbi wa Syifā’uhā, halaman: 68).

Adapun Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, dalam kitabnya Madārij-ul-Sālikīn, juz 1,


halaman: 464 (Beirut: Dār-ul-Kitāb-il-‘Arabī, tahun 1973), mengatakan tentang Abū
Yazīd al-Busthāmī dengan kalimat seperti ini: “Ini (memelihara dan menjauhkan
keinginan dari selain Allāh yang Maha Suci) adalah seperti Abū Yazīd al-Busthāmī.
Semoga Allāh s.w.t. merahmatinya mengenai berita tentang dirinya. Ketika ia ditanya
keinginannya, ia menjawab: “Aku ingin agar aku tidak ingin yang kedua (setelah Allāh
s.w.t.)”. Inilah hakikat tashawwuf.”

Dalam kitabnya yang lain Badā’i-l-Fawā’id, juz 3, halaman: 756 (Makkah al-


Mukarramah: Maktabah Nizār Mushthafā al-Bāz, 1996), Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah
berkata:

“Tashawwuf dan kefakiran (baca: hanya butuh kepada Allāh) berada pada wilayah
hati”.

Anda mungkin juga menyukai