Anda di halaman 1dari 20

WAKTU-WAKTU SHOLAT DAN BATAS AKHIR WAKTU 

SHOLAT

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫صالَ َة َكا َنتْ َعلَى ا ْل ُم ْؤ ِمنِينَ ِك َتا ًبا َم ْوقُو ًتا‬


َّ ‫إِنَّ ال‬

“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-
Nisa`: 103)

ْ ‫س ِق اللَّ ْي ِل َوقُ ْر َءانَ ا ْل َف ْج ِر إِنَّ ُق ْر َءانَ ا ْل َف ْج ِر َكانَ َم‬


‫شهُودً ا‬ َ ‫س إِلَى َغ‬ َّ ‫أَق ِِم‬
َّ ‫الصالَ َة لِ ُدلُوكِ ال‬
ِ ‫ش ْم‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh.
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78)

Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada
waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu:

:َ‫ال‬-‫ي؟ َق‬ ُّ َ‫ ُث َّم أ‬:َ‫ال‬-‫ َق‬.‫ َد ْي ِن‬-ِ‫ر ا ْل َوال‬- ُّ َ‫ ُث َّم أ‬:َ‫ال‬-‫ َق‬.‫ا‬-‫الصالَةُ َعلَى َو ْقتِ َه‬
ُّ ‫ ِب‬:َ‫ال‬-‫ي؟ َق‬ ُّ ‫ي ا ْل َع َم ِل أَ َح‬
َّ :َ‫ب إِلَى هللاِ؟ َقال‬ ُّ َ‫ أ‬:‫سأ َ ْلتُ ال َّن ِب َّي صلى هللا عليه وسلم‬
َ
‫هللا‬ َ ‫ا ْل ِج َها ُد فِي‬
ِ ‫س ِب ْي ِل‬

Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh
Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud.
“Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi.
“Jihad fi sabilillah,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248)

Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan pada waktunya maka ini merupakan musibah
karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti
yang dikisahkan Az-Zuhri rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus,
saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat anda menangis?’ Ia
menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih dikerjakan sekarang dari amalan-
amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini
saja. Itupun shalat telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no. 530)

Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya hadits Abdullah bin
‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

َ ُ‫ َو َو ْقت‬،‫س اأْل َ َّو ِل‬


‫صالَ ِة ال ُّظ ْه ِر إِ َذا‬ ِ ‫ش ْم‬ َّ ‫صالَ ِة ا ْل َف ْج ِر َما لَ ْم َي ْطلُ ْع َق ْرنُ ال‬
َ ُ‫ َو ْقت‬:َ‫ َف َقال‬،ِ‫الصلَ َوات‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫هللا صلى هللا عليه وسلم عَنْ َو ْق‬ ِ ُ ‫س ْول‬ُ ‫سئِل َ َر‬
ُ
‫ب‬ِ ‫صالَ ِة ا ْل َم ْغ ِر‬َ ُ‫ َو َو ْقت‬،ُ‫س َو َي ْسقُ ْط َق ْر ُن َها اأْل َ َّول‬
ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫ص َف َّر ال‬
ْ ‫ص ِر َما َل ْم َت‬ َ ُ‫ َو َو ْقت‬،‫ص ُر‬
ْ ‫صالَ ِة ا ْل َع‬ ْ ‫ض ِر ا ْل َع‬ َّ ‫س عَنْ َب ْط ِن‬
ُ ‫السمَاءِ َما لَ ْم َي ْح‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ َ‫َزال‬
‫ِصفِ اللَّ ْي ِل‬
ْ ‫شاءِ إِلَى ن‬ َ ُ‫ َو َو ْقت‬، ُ‫ش َفق‬
َ ‫صالَ ِة ا ْل ِع‬ َّ ‫س َما لَ ْم َي ْسقُطِ ال‬ ِ ‫إِ َذا َغا َب‬
َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab,
“Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila
matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu
shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal.
Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq1. Dan waktu
shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

‫ ِر‬-‫ص‬ ْ ‫صالَ ِة ا ْل َع‬


َ ‫ت‬ ِ ‫ َوإِنَّ أَ َّول َ َو ْق‬،‫ص ِر‬ ْ ‫س َوآ ِخ ُر َو ْقتِ َها ِحيْنَ يَدْ ُخل ُ َو ْقتُ ا ْل َع‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫صالَ ِة ال ُّظ ْه ِر ِحيْنَ َت ُز ْول ُ ال‬َ ‫ت‬ ِ ‫ َوإِنَّ أَ َّول َ َو ْق‬،‫ِلصالَ ِة أَ َّوالً َوآخ ًِرا‬
َّ ‫إِنَّ ل‬
َّ‫ َوإِن‬، ُ‫ق‬--ُ‫ب اأْل ُف‬ ُ ‫س َوإِنَّ آخ َِر َو ْقتِ َها ِحيْنَ َي ِغ ْي‬ ُ ‫ش ْم‬َّ ‫ب ال‬ ُ ‫ب ِحيْنَ َت ْغ ُر‬ ِ ‫ت ا ْل َم ْغ ِر‬ِ ‫ َوإِنَّ أَ َّول َ َو ْق‬،‫س‬ ُ ‫ش ْم‬َّ ‫ص َف ُّر ال‬
ْ ‫ِحيْنَ يَدْ ُخل ُ َو ْق َت َها َوإِنَّ آخ َِر َو ْقتِ َها ِحيْنَ َت‬
َ‫ت ا ْل َف ْج ِر ِحيْنَ َي ْطلُ ُع ا ْل َف ْج ُر َوإِنَّ آخ َِر َو ْقتِ َها ِحيْن‬ ِ ‫ َوإِنَّ أَ َّول َ َو ْق‬،ُ‫ب اللَّ ْيل‬ ُ ِ‫ب اأْل ُفُقُ َوإِنَّ آخ َِر َو ْقتِ َها ِحيْنَ َي ْن َتص‬ ُ ‫شاءِ اآْل خ َِر ِة ِحيْنَ َي ِغ ْي‬
َ ‫ت ا ْل ِع‬ِ ‫أَ َّول َ َو ْق‬
‫س‬ َّ ‫َت ْطلُ ُع ال‬
ُ ‫ش ْم‬

“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari
tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika
masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika
matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk
tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit
fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Asy-Syaikh Albani
rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari
dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa
hadits ini mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar,
terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-
Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ‫ص َر ِح ْين‬ ْ ‫صلَّى بِ َي ا ْل َع‬ َ ‫ َو‬، ِ‫ش َراك‬ ِّ ‫س َو َكا َنتْ َقدْ َر ال‬ ُ ‫ش ْم‬َّ ‫ت ال‬ ِ َ‫صلَّى بِ َي ال ُّظ ْه َر ِح ْينَ َزال‬ ِ ‫أَ َّمنِي ِج ْب ِر ْيل ُ عليه السالم ِع ْن َد ا ْل َب ْي‬
َ ‫ َف‬،‫ت َم َّر َت ْي ِن‬
َ‫ َر ِح ْين‬-‫لَّى ِب َي ا ْل َف ْج‬-‫ص‬ َ ‫ َو‬، ُ‫ َفق‬-‫الش‬ َّ ‫اب‬ َ -‫اء ِح ْينَ َغ‬ َ ‫ش‬َ ‫صلَّى ِب َي ا ْل ِع‬ َ ‫ َو‬،‫صائِ ُم‬ َّ ‫صلَّى ِب َي – َي ْعنِي ا ْل َم ْغ ِر َب– ِح ْينَ أَ ْف َط َر ال‬ َ ‫ َو‬،ُ‫َكانَ ظِ لُّ ُه ِم ْثلَه‬
‫انَ ظِ لُّ ُه‬--‫ َر ِح ْينَ َك‬-‫ص‬ ْ ‫لَّى بِ َي ا ْل َع‬-‫ص‬ َ ‫ َو‬،ُ‫ه‬-َ‫انَ ظِ لُّ ُه ِم ْثل‬--‫ر ِح ْينَ َك‬- َ -‫لَّى بِ َي ال ُّظ ْه‬-‫ص‬ َ ‫ ُد‬-‫انَ ا ْل َغ‬--‫ َفلَ َّما َك‬،‫ائ ِِم‬-‫الص‬ َّ ‫اب َعلَى‬ ُ ‫ش َر‬ َّ ‫َح ُر َم ال َّط َعا ُم َوال‬
:َ‫ال‬--‫ ُث َّم ا ْل َت َفتَ إِلَ َّي َف َق‬،‫ َف َر‬- ‫ َر َفأ َ ْس‬-‫صلَّى ِب َي ا ْل َف ْج‬
َ ‫ث اللَّ ْي ِل َو‬ ِ ُ‫شا َء إِلَى ُثل‬ َ ‫صلَّى ِب َي ا ْل ِع‬َ ‫ َو‬،‫صائِ ُم‬ َّ ‫صلَّى ِب َي ا ْل َم ْغ ِر َب ِح ْينَ أَ ْف َط َر ال‬َ ‫ َو‬،ِ‫ِم ْثلَ ْيه‬
‫ َه َذا َو ْقتُ اأْل َ ْنبِيَاءِ مِنْ َق ْبلِ َك َوا ْل َو ْقتُ َما َب ْينَ ه ََذ ْي ِن ا ْل َو ْق َت ْي ِن‬،ُ‫َيا ُم َح َّمد‬

“Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali2. Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari
telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar bersamaku ketika bayangan
benda sama dengan bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka3. Ia
shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum
telah diharamkan bagi orang yang puasa4. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku
dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat
bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia
shalat isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku dan
mengisfar5kannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu
shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada6.” (HR. Abu
Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud,
“Hasan shahih.”)

Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami akan memulai dari shalat subuh terlebih dahulu
walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat zhuhur. Wallahul muwaffiq ‘ilash shawab.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab
Hambali) seperti Al-Khiraqi dan Al-Qadhi pada sebagian kitabnya serta selain keduanya, memulai dari
waktu shalat zhuhur. Di antara mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/subuh seperti Abu Musa,
Abul Khaththab, dan Al-Qadhi pada satu pembahasan, dan ini yang lebih bagus karena shalat wustha
(shalat pertengahan) adalah shalat ashar. Shalat ashar bisa menjadi shalat wustha apabila shalat fajar
merupakan shalat yang awal7.” (Al-Ikhtiyarat dalam Al-Fatawa Al-Kubra, 1/45)

1 Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat setelah matahari tenggelam.

2 Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab
Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)

3 Yaitu saat matahari tenggelam dan masuk waktu malam dengan dalil firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:

ِّ ‫ُث َّم أَتِ ُّموا‬


‫الص َيا َم إِلَى الَّ ْي ِل‬

“Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari.”

4 Awal terbitnya fajar yang kedua berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫ض مِنَ ا ْل َخ ْيطِ ْاألَ ْس َو ِد مِنَ ا ْل َف ْج ِر‬


ُ ‫ش َر ُبوا َح َّتى َي َت َبيَّنَ لَ ُك ْم ا ْل َخ ْي ُط ْاألَ ْب َي‬
ْ ‫َو ُكلُوا َوا‬

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam dari
fajar (jelas terbitnya fajar).”

5 Lihat keterangan tentang isfar dalam pembahasan waktu shalat fajar yang akan datang setelahnya.
6 Dengan demikian boleh mengerjakan shalat di awal waktunya, di pertengahan dan di akhir waktu.
(‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)

7 Sehingga bila diurutkan menjadi sebagai berikut:

Shalat pertama: shalat fajar, kedua: shalat zhuhur, ketiga: shalat ashar, keempat: shalat maghrib, kelima:
shalat isya.

Dengan demikian shalat ashar jatuh pada pertengahan, sehingga diistilahkan shalat wustha.

Shalat Fajar atau Shalat Subuh

Shalat subuh ini memiliki dua nama yaitu fajar dan subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat
fajar sedangkan As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama fajar dan di tempat lain disebutkan
dengan nama subuh. (Al-Majmu’, 3/48)

Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan
dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan
alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu
‘anha:

ِ ‫وتِ ِهنَّ ِحيْنَ َي ْق‬-ْ -‫ ُث َّم َي ْن َقلِبْنَ إِلَى ُب ُي‬، َّ‫ ُر ْوطِ ِهن‬-‫ت بِ ُم‬
َ‫يْن‬-‫ض‬ ٍ ‫ا‬--‫ ِر ُم َت َعلِّ َف‬-‫الَ َة ا ْل َف ْج‬-‫ص‬
َ ‫لم‬--‫ه وس‬--‫س ْو ِل هللاِ صلى هللا علي‬
ُ ‫شهَدْ نَ َم َع َر‬ ِ ‫ِسا ُء ا ْل ُم ْؤ ِم َنا‬
ْ ‫ت َي‬ َ ‫ُك َّنا ن‬
ِ ‫صالَ َة الَ َي ْع ِرفُهُنَّ أَ َح ٌد مِنَ ا ْل َغ َل‬
‫س‬ َّ ‫ال‬

“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para
wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam
keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-
Bukhari no. 578 dan Muslim no. 1455)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya
bersegera dalam mengerjakan shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74)

Demikian pula yang dikatakan Al-Imam Nawawi rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik, Asy-
Syafi’i, Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang berpendapat bahwa isfar (waktu sudah terang)
lebih utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas
lebih afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2 rahimahumullah. Juga diriwayatkan dari
Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz apa yang menunjukkan
hal tersebut. Ibnu Abdil Bar rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa mereka semuanya mengerjakan shalat subuh di waktu
ghalas. Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan yang afdhal dan melakukan yang tidak
afdhal, sementara mereka adalah orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-perkara yang
afdhal. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama
adalah melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di waktu isfar maka yang afdal
mengerjakannya di waktu isfar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan yang
seperti ini dengan melihat berkumpulnya jamaah dalam penunaian shalat isya, sebagaimana
diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu. Sehingga demikian pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-
Tsauri dan ashabur ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar dengan dalil hadits
yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

‫أَ ْسفِ ُر ْوا بِا ْل َف ْج ِر َفإِ َّن ُه أَ ْع َظ ُم لِأْل َ ْج ِر‬

“Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih memperbesar
pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li Shalatish Shubhi)4

Adapun hadits asfiru bil fajri di atas maknanya/tafsirnya adalah “Hendaklah kalian selesai dari
mengerjakan shalat fajar pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih besar pahalanya).” Bukan
awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan
memanjangkan bacaan dalam shalat ini. Bukan perintah untuk mengerjakan shalat subuh di waktu isfar.
Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
selesai dari shalat fajar ini pada waktu isfar (hari sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali
wajah teman duduknya. Sebagaimana kata Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah mengenali siapa yang duduk di
sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1460)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits di atas memang harus, mau tidak mau,
ditafsirkan/dimaknakan seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencocoki
perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa masuk ke dalam penunaian shalat subuh di waktu
ghalas sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu
dalam I’lamul Muwaqqi’in. Dan yang mendahului Ibnul Qayyim dalam pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-
Thahawi dari kalangan Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal ini (1/104-109).
Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.” Walaupun apa yang
dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini menyelisihi pendapat yang masyhur dari mazhab mereka
dalam kitab-kitab mazhab yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat subuh di waktu isfar.” (Ats-
Tsamarul Mustathab, 1/81)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan shalat
fajar ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu
disebutkan:

‫س َح َّتى َماتَ لَ ْم َيعُدْ إِلَى أَنْ ُي ْسف َِر‬ َ ْ‫صلَّى َم َّر ًة أ ُ ْخ َرى َفأ َ ْس َف َر ِب َها ُث َّم َكا َنت‬
َ َ‫صالَ ُت ُه َب ْع َد َذلِ َك ا ْل َغل‬ َ ‫ ُث َّم‬،‫س‬
ٍ َ‫ص ْب َح َم َّر ًة ِب َغل‬
ُّ ‫صلَّى ال‬
َ ‫َو‬

“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali lain beliau mengerjakannya di
waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di waktu ghalas hingga beliau
meninggal, beliau tidak pernah lagi mengulangi pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud no.
394, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Mendapati Satu Rakaat Fajar

Telah kita ketahui bahwa akhir waktu shalat fajar adalah ketika matahari terbit, sehingga keadaan
seseorang yang baru mengerjakan satu rakaat fajar kemudian ketika hendak masuk pada rakaat kedua
matahari terbit maka dia mendapati shalat subuh. Hal ini sebagamana ditunjukkan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ْ ‫س َفقدْ أدْ َر َك ا ْل َع‬


‫ص َر‬ َ ‫ص ِر َق ْبل َ أَنْ َت ْغ ُر‬
َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ َومَنْ أَدْ َر َك َر ْك َع ًة مِنَ ا ْل َع‬،‫ص ْب َح‬
ُّ ‫س َف َقدْ أَدْ َر َك ال‬ َّ ‫ص ْب ِح َر ْك َع ًة َق ْبل َ أَنْ َت ْطلُ َع ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ‫مَنْ أَدْ َر َك مِنَ ال‬

“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka sungguh ia telah mendapatkan
shalat subuh dan siapa yang mendapati satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh
ia telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan dalil yang sharih/jelas
tentang orang yang telah mengerjakan satu rakaat subuh atau ashar kemudian keluar waktu kedua
shalat tersebut sebelum orang itu mengucapkan salam (sebelum sempurna dari amalan shalatnya,
pent.), maka ia tetap harus menyempurnakannya sampai selesai dan shalatnya pun sah. Dinukilkan
adanya kesepakatan dalam penunaian shalat ashar. Adapun dalam shalat subuh ada perselisihan. Al-
Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan ulama seluruhnya berpendapat subuh juga demikian, menyelisihi
Abu Hanifah yang mengatakan, ‘Shalat subuh yang sedang dikerjakannya batal dengan terbitnya
matahari karena telah masuk waktu larangan mengerjakan shalat, beda halnya dengan tenggelamnya
matahari.’ Namun hadits ini merupakan hujjah yang membantahnya.” (Al-Minhaj, 5/109)

Hukum di atas adalah bagi orang yang mengakhirkan waktu shalat sampai ke waktu yang sempit
tersebut. Adapun bagi orang yang tertidur atau lupa maka tidak hilang baginya waktu shalat selama-
lamanya walaupun telah keluar dari seluruh waktunya, selama memang ia tidak mengerjakannya karena
tertidur atau karena lupa. Waktu mereka mengerjakannya adalah ketika ingat atau saat terbangun dari
tidur.

Ketiduran dari mengerjakan shalat ini pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat beliau dikarenakan kelelahan yang sangat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu
malam. Sebagian orang yang ikut rombongan berkata, ‘Seandainya anda berhenti sebentar untuk
beristirahat dengan kami, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Aku khawatir kalian akan ketiduran dari
mengerjakan shalat.’ Bilal berkata, ‘Aku yang akan membangunkan kalian.’ Maka para sahabat yang lain
pun berbaring tidur sedangkan Bilal menyandarkan punggungnya ke tunggangannya. Namun ternyata ia
dikuasai oleh kantuk hingga tertidur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun sementara matahari
telah terbit. Beliau pun bersabda, ‘Wahai Bilal, apa yang tadi engkau katakan? Katanya engkau yang
membangunkan kami?’ Bilal menjawab, ‘Aku sama sekali belum pernah tertidur seperti tidurku kali ini.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ا َ َم‬--‫ضتْ ق‬َّ ‫س َوا ْب َيا‬


ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫ َفلَ َّما ْار َت َف َع‬،َ‫ضأ‬
َّ ‫ت ال‬ َّ ‫ َف َت َو‬.ِ‫صالَة‬ ِ ‫ ُق ْم َفأ َ ِّذنْ بِال َّن‬،ُ‫ َيا بِالَل‬،‫اء‬
َّ ‫اس بِال‬ َ ‫ش‬َ َ‫ َوردَّ هَا َعلَ ْي ُك ْم ِحيْن‬،‫اء‬
َ ‫ش‬ َ ‫ض أَ ْر َو‬
َ َ‫اح ُك ْم ِحيْن‬ َ ‫هللا َق َب‬
َ َّ‫إِن‬
‫صلَّى‬ َ ‫َف‬

“Sesungguhnya Allah menahan ruh-ruh kalian kapan Dia inginkan dan Dia mengembalikannya pada
kalian kapan Dia inginkan. Wahai Bilal! Bangkit lalu kumandangkan azan untuk memanggil manusia guna
mengerjakan shalat.” Beliau lalu berwudhu, tatkala matahari telah meninggi dan memutih, beliau bangkit
untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 595)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ َفمَنْ َي ْف َعلْ َذلِ َك َف ْل ُي‬،‫صالَ ِة اأْل ُ ْخ َرى‬


‫لِّ َها ِحيْنَ َت َن َّب َه‬--‫ص‬ َّ ‫الصالَ َة َح َّتى َي ِج ْي َء َو ْقتُ ال‬ َ ‫أَ َما إِ َّن ُه َل ْي‬
َ ‫ إِ َّن َما ال َّت ْف ِر ْي ُط َعلَى مَنْ َل ْم ُي‬،‫س فِي ال َّن ْو ِم َت ْف ِر ْي ٌط‬
َّ ِّ ‫صل‬
‫لَ َها‬

“Sesungguhnya tertidur dari mengerjakan shalat bukanlah sikap tafrith (menyia-nyiakan). Hanyalah
merupakan tafrith bila seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat yang lain (dalam
keadaan ia terjaga dan tidak lupa). Maka siapa yang tertidur (atau lupa) sehingga belum mengerjakan
shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika terjaga/ketika sadar/ingat.” (HR. Muslim no. 1560)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َّ ‫ أَق ِِم ال‬:َ‫ َفإِنَّ هللاَ َقال‬،‫صلِّ َها إِ َذا َذ َك َرهَا‬


‫صالَ َة لِذ ِْك ِر ْي‬ َ ‫صالَ َة َف ْل ُي‬
َّ ‫مَنْ َنسِ َي ال‬
“Siapa yang lupa dari mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat, karena Allah
berfirman: ‘Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku’.”(HR. Muslim no. 1558)

1 Karena fajar ada dua, fajar pertama yang disebut fajar kadzib dan fajar kedua yang disebut fajar shadiq.
Fajar shadiq ini muncul tersebar dalam keadaan melintang di ufuk.

2 Juga pendapat Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur, Al-Auza’i, Dawud bin ‘Ali, dan Abu Ja’far Ath-Thabari.
(Nailul Authar, 1/466)

3 Lihat At-Tamhid, 1/141. 4 HR. At-Tirmidzi no. 154, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Sunan At-Tirmidzi.

5 Karena di zaman itu tidak ada penerangan lampu, sehingga mereka mengerjakan shalat subuh dalam
keadaan gelap. Sampai-sampai seseorang tidak tahu siapa yang shalat di sebelahnya. Beda halnya
dengan keadaan masjid-masjid di zaman sekarang yang selalu terang benderang dengan cahaya lampu.

Shalat Zhuhur

Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir waktunya adalah ketika
masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:

‫س‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ َ ‫صلِّي ال ُّظ ْه َر إِ َذا د ََح‬
ِ ‫ض‬ َ ‫َكانَ ال َّن ِب ُّي صلى هللا عليه وسلم ُي‬

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim no.
1403)

Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat Asy-Syafi’i
rahimahullahu dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

َ ‫س َجدْ َنا َعلَى ثِ َيابِ َنا ا ِّت َق‬


‫اء ا ْل َح ِّر‬ َ ،‫هللا صلى هللا عليه وسلم بِال َّظ َهائ ِِر‬
ِ ‫س ْو ِل‬ َ ‫ُك َّنا إِ َذا‬
َ ‫صلَّ ْي َنا َخ ْل‬
ُ ‫ف َر‬

“Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di
atas pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari no.
542 dan Muslim no. 1406)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya
pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah
untuk ibrad (menunda shalat zhuhur sampai agak dingin, pent.), akan tetapi hal ini untuk menerangkan
kebolehan shalat di waktu yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.” (Fathul Bari, 2/32)
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan
shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai suatu
pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam
shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)

Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َّ ‫ش َتدَّ ا ْل َح ُّر َفأ َ ْب ِرد ُْوا َع ِن ال‬


‫ َفإِنَّ شِ َّد َة ا ْل َح ِّر مِنْ َف ْي ِح َج َه َّن َم‬،ِ‫صالَة‬ ْ ‫إِ َذا ا‬

“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang
sangat merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)

Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam
keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk. (Al-Majmu’ 3/64)

Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?

Matahari telah zawal artinya matahari telah miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya
tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan seseorang/suatu benda di sebelah timur
setelah sebelumnya bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui hal tersebut maka
hendaknya ia mengukur bayangan matahari. Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan
berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah hari, saat matahari tepat di tengah-tengah
langit, pengurangan bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah miring/bergeser dari tengah
langit kembali bayangan muncul dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal pertama kali
muncul di sisi timur itulah yang dinamakan waktu zawal. (Al-Ma’unah 1/196, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9,
Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/367-368, Al-Majmu’ 3/28-29, Al-Mabsuth 1/133, Syarhu Muntaha Al-Iradat
1/133)

Akhir Waktu Zhuhur

Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum datang waktu shalat ashar dan bayangan
seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ص ُر‬ ُ ‫الر ُج ِل َك ُط ْولِ ِه َما لَ ْم َي ْح‬


ْ ‫ض ِر ا ْل َع‬ َّ ُّ ‫ َو َكانَ ظِ ل‬،‫س‬ ِ َ‫َو ْقتُ ال ُّظ ْه ِر إِ َذا َزال‬
َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬

“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan
tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Apakah bayangan zawal ikut digabungkan ke bayangan benda/sesuatu untuk menunjukkan
keluarnya/habisnya waktu zhuhur dan telah masuknya waktu ashar, ataukah tidak digabungkan?

Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal 20 cm.
Maka apakah keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu ashar dengan menambahkan tinggi
seseorang dengan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga tinggi/panjang
bayangan menjadi 185 cm, atau cukup tinggi/panjang bayangan 165 cm?

Al-Qarrafi rahimahullahu berkata, “Awal waktu ikhtiyari pada shalat zhuhur adalah pada saat zawal, dan
ini berlangsung sampai panjang bayangan benda semisal dengan bendanya, (dihitung) setelah panjang
bayangan benda ketika zawal.” (Adz-Dzakhirah 2/13)

Dikatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (1/208), “Waktu zhuhur selesai apabila bayangan seseorang
sama dengan tingginya, selain bayangan yang tampak ketika zawal.”

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Awal waktu zhuhur saat matahari mulai tergelicir dan miring/condong
(ke barat). Maka tidak halal sama sekali melakukan shalat zhuhur sebelum itu, dan bila dikerjakan maka
shalat tersebut tidaklah mencukupi. Waktu shalat zhuhur terus berlangsung sampai bayangan segala
sesuatu sama dengan bendanya tanpa memperhitungkan bayangan yang muncul saat awal zawalnya
matahari, tetapi yang dihitung/dianggap adalah yang lebih dari bayangan zawal tersebut.” (Al-Muhalla,
2/197)

Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Akhir waktu zhuhur adalah bila bayangan segala sesuatu sama
dengan tingginya, setelah menambahkan bayangan sesuatu tersebut dengan bayangan tatkala
zawal/matahari tergelicir.”  (Al-Kafi, 1/120)

Penulis Zadul Mustaqni’ menyebutkan, “Waktu zhuhur dari zawal sampai bayangan sesuatu sama
dengan sesuatu tersebut setelah (ditambah) dengan bayangan zawal.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam syarahnya terhadap ucapan penulis
tersebut mengatakan, “Di saat matahari terbit, sesuatu yang tinggi akan memiliki bayangan yang jatuh ke
arah barat. Kemudian bayangan tersebut akan berkurang sesuai kadar tingginya matahari di ufuk.
Demikian seterusnya hingga bayangan tersebut berhenti dari pengurangan. Tatkala bayangan tersebut
berhenti dari pengurangan, kemudian bayangan itu bertambah walau hanya satu rambut maka itulah
zawal dan dengannya masuklah waktu zhuhur. Ucapan penulis “setelah (ditambah) dengan bayangan
zawal” maksudnya bayangan yang tampak saat matahari tergelincir (zawal) tidaklah terhitung. Pada
waktu kita yang sekarang ini, tatkala matahari radhiyallahu ‘anhumaondong ke selatan maka bagi setiap
sesuatu yang tinggi pasti memiliki bayangan yang selalu ada di arah utaranya. Bayangan ini tidaklah
teranggap. Bila bayangan ini mulai bertambah maka letakkanlah tanda pada tempat awal
penambahannya. Kemudian bila bayangan itu memanjang dari mulai tanda yang telah diberikan sampai
setinggi (sepanjang) benda (sesuatu yang tinggi tersebut) berarti waktu zhuhur sudah berakhir dan telah
masuk waktu ashar.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/102)

Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari beberapa kitab, di antaranya Al-Ma’unah (1/196),
Mawahibul Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-Raudhul Murbi’ (1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat
(1/133), Mughnil Muhtaj (1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14), Ad-Durarus Saniyyah
(4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan, Tafsir Surah An Nisa` ayat 103, dan beberapa kitab yang lainnya.

5. Shalat Isya

Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya ketika pertengahan malam,
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

َ ُ‫ َو َو ْقت‬،‫س اأْل َ َّو ِل‬


‫صالَ ِة ال ُّظ ْه ِر إِ َذا‬ ِ ‫ش ْم‬ َّ ‫صالَ ِة ا ْل َف ْج ِر َما لَ ْم َي ْطلُ ْع َق ْرنُ ال‬
َ ُ‫ َو ْقت‬:َ‫ َف َقال‬،ِ‫الصلَ َوات‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫سلَّ َم عَنْ َو ْق‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫هللا‬
ِ ُ ‫س ْول‬ُ ‫سئِل َ َر‬
ُ
‫ب‬ِ ‫صالَ ِة ا ْل َم ْغ ِر‬ َ
َ ُ‫ َو َو ْقت‬،ُ‫س َو َي ْسقُ ْط َق ْر ُن َها اأْل َّول‬
ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫ص َف َّر ال‬
ْ ‫ص ِر َما َل ْم َت‬ َ ُ‫ َو َو ْقت‬،‫ص ُر‬
ْ ‫صالَ ِة ا ْل َع‬ ْ ‫ض ِر ا ْل َع‬ ُ ‫السمَاءِ َما لَ ْم َي ْح‬ َّ ‫س عَنْ َب ْط ِن‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ َ‫َزال‬
‫ِصفِ ا ْللَ ْي ِل‬
ْ ‫شاءِ إِلَى ن‬ َ ُ‫ َو َو ْقت‬، ُ‫ش َفق‬
َ ‫صالَ ِة ا ْل ِع‬ َّ ‫س َما لَ ْم َي ْسقُطِ ال‬ ِ ‫إِ َذا َغا َب‬
َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun
menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur
apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar.
Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang
awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu
shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

‫ ِر‬-‫ص‬ ْ ‫صالَ ِة ا ْل َع‬


َ ‫ت‬ ِ ‫ َوإِنَّ أَ َّول َ َو ْق‬،‫ص ِر‬ ْ ‫س َوآ ِخ ُر َو ْقتِ َها ِحيْنَ يَدْ ُخل ُ َو ْقتُ ا ْل َع‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫صالَ ِة ال ُّظ ْه ِر ِحيْنَ َت ُز ْول ُ ال‬َ ‫ت‬ ِ ‫ َوإِنَّ أَ َّول َ َو ْق‬،‫ِلصالَ ِة أَ َّوالً َوآخ ًِرا‬
َّ ‫إِنَّ ل‬
َّ‫ َوإِن‬، ُ‫ق‬--ُ‫ب اأْل ُف‬ ُ ‫س َوإِنَّ آخ َِر َو ْقتِ َها ِحيْنَ َي ِغ ْي‬ ُ ‫ش ْم‬َّ ‫ب ال‬ ُ ‫ب ِحيْنَ َت ْغ ُر‬ ِ ‫ت ا ْل َم ْغ ِر‬ِ ‫ َوإِنَّ أَ َّول َ َو ْق‬،‫س‬ ُ ‫ش ْم‬َّ ‫ص َف ُّر ال‬
ْ ‫ِحيْنَ يَدْ ُخل ُ َو ْق ُت َها َوإِنَّ آخ َِر َو ْقتِ َها ِحيْنَ َت‬
َ‫ت ا ْل َف ْج ِر ِحيْنَ َي ْطلُ ُع ا ْل َف ْج ُر َوإِنَّ آخ َِر َو ْقتِ َها ِحيْن‬ ِ ‫ َوإِنَّ أَ َّول َ َو ْق‬،ُ‫ب اللَ ْيل‬ ُ ِ‫ب اأْل ُفُقُ َوإِنَّ آخ َِر َو ْقتِ َها ِحيْنَ َي ْن َتص‬ ُ ‫شاءِ اآْل خ َِر ِة ِحيْنَ َي ِغ ْي‬
َ ‫ت ا ْل ِع‬ِ ‫أَ َّول َ َو ْق‬
‫س‬ َّ ‫َت ْطلُ ُع ال‬
ُ ‫ش ْم‬

“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari
tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika
masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika
matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk
tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit
fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Lihat Ash-
Shahihah no. 1696)

Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang Jibril mengimami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam shalat lima waktu selama dua hari berturut-turut, disebutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

ُ‫ش َفق‬ َ ‫شا َء ِحيْنَ َغ‬


َّ ‫اب ال‬ َ ‫لى ِبي ا ْل ِع‬
َّ ‫ص‬
َ ‫َو‬

“…Dan Jibril shalat Isya denganku ketika tenggelamnya syafaq….” (HR. Abu Dawud no. 393, Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)

Selain itu, ada pula hadits lain yang menunjukkan akhir waktu isya adalah pertengahan malam. Seperti
hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

‫ا‬--‫الَ ٍة َم‬- ‫ص‬ َ ‫ أَ َّما إِ َّن ُك ْم فِي‬،‫ا ُم ْوا‬--‫اس َو َن‬ َ ْ‫د‬--‫ َق‬:َ‫ال‬--‫ ُث َّم َق‬،‫لَّى‬- ‫ص‬
ُ ‫لَّى ال َّن‬- ‫ص‬ َ ‫ل ُث َّم‬-
ِ -‫فِ اللَّ ْي‬- ‫ِص‬
ْ ‫اءِ إِلَى ن‬- ‫ِش‬
َ ‫الَ َة ا ْلع‬- ‫ص‬
َ ‫لَّ َم‬- ‫س‬ َ ‫أَ َّخ َر ال َّنبِ ُّي‬
َ ‫ ِه َو‬-‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬- ‫ص‬
‫ا ْن َت َظ ْر ُت ُم ْوهَا‬

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau
shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung
dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan
Muslim no. 1446)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

ْ ‫ث اللَّ ْي ِل أَ ْو ن‬
‫ِصفِ ِه‬ ِ ُ‫اء إِلَى ُثل‬
َ ‫ش‬َ ‫شقَّ َعلَى أ ُ َّمتِي أَل َ َم ْر ُت ُه ْم أَنْ ُي َؤ ِّخ ُروا ا ْل ِع‬
ُ َ‫لَ ْوالَ أَنْ أ‬

“Seandainya tidak memberati umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan
shalat isya sampai sepertiga atau pertengahan malam.” (HR. At-Tirmidzi no. 167, dishahihkan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

‫ ْذ َنا‬-‫ َفأ َ َخ‬.‫ َد ُك ْم‬-‫ ُذ ْوا َم َقا ِع‬-‫ ُخ‬:َ‫ال‬--‫ َف َق‬،‫ل‬-


ِ ‫ ْط ِر اللَّ ْي‬-‫ش‬ َ ْ‫ ٌو مِن‬-‫ى َن ْح‬-‫ض‬ َ ‫ ُر ْج َح َّتى َم‬-‫ َفلَ ْم َي ْخ‬،ِ‫ ة‬-‫الَ َة ا ْل َع َت َم‬-‫ص‬
َ ‫لَّ َم‬-‫س‬
َ ‫ ِه َو‬-‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي‬َ ‫هللا‬
ِ ‫س ْو ِل‬ ُ ‫صلَّ ْي َنا َم َع َر‬َ
َّ ‫س ْق ُم‬
‫قِ ْي ِم‬--‫الس‬ َ ‫ف َو‬ ِ ‫ض ِع ْي‬
َّ ‫ف ال‬ َ َ‫و َل ْوال‬،
ُ ‫ض ْع‬ َ ‫صالَ َة‬ َّ ‫صالَ ٍة ما َ ا ْن َت َظ ْر ُت ُم ال‬
َ ‫ َوإِ َّن ُك ْم َلنْ َت َزالُ ْوا فِي‬،‫ضا ِج َع ُه ْم‬ َ ‫صلُّوا َوأَ َخ ُذ ْوا َم‬
َ ْ‫اس َقد‬ َ ‫ إِنَّ ال َّن‬:َ‫َم َقا ِعدَ َنا َف َقال‬
‫ش ْط ِر اللَّ ْي ِل‬ َّ ‫أَل َ َّخ ْرتُ َه ِذ ِه ال‬
َ ِ‫صالَ َة إ‬
َ ‫لى‬

Kami pernah hendak shalat isya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak
keluar dari tempat tinggalnya (menuju ke masjid) hingga berlalu sekitar pertengahan malam. Beliau lalu
berkata, “Tetaplah di tempat duduk kalian.” Kami pun menempati tempat duduk kami. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Sungguh saat seperti ini orang-orang telah selesai
mengerjakan shalat isya dan telah menempati tempat berbaring (tempat tidur) mereka. Dan sungguh
kalian terus menerus teranggap dalam keadaan shalat selama kalian menanti shalat. Seandainya bukan
karena kelemahan orang yang lemah dan sakitnya orang yang sakit niscaya aku akan mengakhirkan
shalat isya ini sampai pertengahan malam.” (HR. Abu Dawud no. 422, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Dalam Al-Qamus disebutkan, “Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq
atau terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir malam itu berakhir dengan terbitnya
fajar. Berdasarkan hal ini kita mengetahui bahwa tengah malam itu diukur dari tenggelamnya matahari
sampai terbitnya fajar. Pertengahan waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam sebagai
akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam ini bukanlah waktu pelaksanaan shalat fardhu,
tapi waktu untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah seperti tahajjud. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)

Apa yang Dimaksud dengan Syafaq?

Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syafaq yang merupakan tanda habisnya
waktu maghrib dan masuknya waktu isya.

Mayoritas mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana
pendapat yang diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu
Hurairah, ‘Ubadah ibnush Shamit, dan Syaddad bin Aus g. Demikian pula pendapat Mak-hul dan Sufyan
Ats-Tsauri. Ibnul Mundzir menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad,
Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawud.

Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-
Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-
Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul
Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)

Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan
di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka.
Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq
menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).”

Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang muncul sejak
tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.” (Al-Majmu’, 3/45)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang
menyatakan bahwa yang dimaukan dengan syafaq adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari
sejumlah besar ahlul ilmi. (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (2/31): “Saya katakan, ‘Pembahasan
ini adalah pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi rujukan dalam hal ini tentunya ahli bahasa (Arab),
sementara Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab (mengerti bahasa
Arab) yang murni, maka ucapannya merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya mauquf.”

Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di ufuk, dari tenggelamnya matahari sampai isya
dan mendekati isya atau mendekati ‘atamah.

Disenangi Mengakhirkan Shalat Isya’

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya, sebagaimana


diisyaratkan dalam beberapa hadits di atas, ditambah pula hadits berikut ini:

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

‫ ِل‬-ْ‫ ٌد مِنْ أَه‬-‫ا أَ َح‬-َ‫ا َي ْن َتظِ ُره‬-‫ َم‬:َ‫ال‬-‫ َر َج َف َق‬-‫ َف َخ‬. ُ‫ ْبيَان‬-‫الص‬ِّ ‫ا ُء َو‬-‫س‬ َ ‫ا َم ال ِّن‬-‫ َن‬،ُ‫الصالَة‬ َّ :‫شاءِ َح َّتى َنا َداهُ ُع َم ُر‬ َ ‫سلَّ َم ِبا ْل ِع‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫أَ ْع َت َم َر‬
َ ِ‫سول ُ هللا‬
‫ث اللَّ ْي ِل اأْل َ َّو ِل‬
ِ ُ‫ش َفقُ إِلَى ُثل‬ َ ‫صلُّ ْونَ فِ ْي َما َبيْنَ أَنْ َي ِغ ْي‬
َّ ‫ب ال‬ َ ‫ َوالَ ُي‬:َ‫ َقال‬.‫ض َغ ْي ُر ُك ْم‬
َ ‫ َوكا َ ُن ْوا ُي‬،ِ‫صلَّى َي ْو َمئِ ٍذ إِالَّ ِبا ْل َم ِد ْي َنة‬ ِ ‫اأْل َ ْر‬

Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau,
“Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur2.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada
seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian3.” Rawi berkata, “Tidak
dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para
sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga
malam yang awal.” (HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)

Juga hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:

‫ َذلِ َك َح َّتى‬-‫ َفإِ َّنا لَ َك‬.‫لَّى‬-‫ص‬ َ :ُ‫ول‬-ْ ُ‫ل ُ ِم َّنا َيق‬-ِ‫ َوا ْل َقائ‬،‫ج‬ ٍ ‫ار‬ ِ -‫س بِ َخ‬ َ ‫الظانُّ أَ َّن ُه لَ ْي‬
َّ َّ‫أ َ َّخ َر َح َّتى َظن‬-‫ َف‬،ِ‫ ة‬-‫الَ ِة ا ْل َع َت َم‬-‫ص‬
َ ‫لَّ َم فِي‬-‫س‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ‫أَ ْب َق ْي َنا ال َّنبِ َّي‬
َ ‫ائ ِِر اأْل ُ َم ِم َو َل ْم ُت‬-‫س‬
‫ ِّل َها‬-‫ص‬ َ ‫ا َع َلى‬--‫ ْل ُت ْم ِب َه‬-‫ض‬ َّ ‫ أَ ْعتِ ُم ْوا ِب َه ِذ ِه‬:‫ َف َقال َ لَ ُه ْم‬.‫سلَّ َم َف َقالُ ْوا لَ ُه َكما َ َقالُ ْوا‬
َّ ‫دْ َف‬--‫إِ َّن ُك ْم َق‬--‫ َف‬،ِ‫الصالَة‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ‫َخ َر َج ال َّن ِب ُّي‬
‫أ ُ َّم ٌة َق ْبلَ ُك ْم‬

Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau
mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di
antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang
mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang
sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas
seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengharuskan umatnya untuk terus
mengerjakannya di akhir waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat isya berjamaah
di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak.
Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan terkadang mengakhirkannya. Bila beliau
melihat para makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau mengerjakannya dengan segera.
Namun bila belum berkumpul beliau pun mengakhirkannya.

Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia mengabarkan:

‫ا‬--‫ا َوأَ ْح َيا ًن‬--‫اء أَ ْح َيا ًنا ُي َؤ ِّخ ُر َه‬


َ ‫ش‬ َ ‫س َنقِ َّي ٌة َوا ْل َم ْغ ِر‬
َ ‫ب إِ َذا َو َج َبتْ َوا ْل ِع‬ ْ ‫صلِّي ال ُّظ ْه َر ِبا ْل َها ِج َر ِة َوا ْل َع‬
َّ ‫ص َر َوال‬
ُ ‫ش ْم‬ َ ‫سلَّ َم ُي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ِ ُ ‫س ْول‬
‫اج َت َم ُع ْوا َع َّجل َ َوإِ َذا َرآ ُه ْم أَ ْب َطأ ُ ْوا أَ َّخ َر‬
ْ ‫ َكانَ إِ َذا َرآ ُه ْم َق ِد‬،ُ‫… ُي َع ِّجل‬

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari,
shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam
dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau
melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan
pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun
mengakhirkannya….” (HR. Al-Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata, “Yang afdhal/utama bagi para
wanita yang shalat di rumah-rumah mereka adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat isya, jika memang
hal itu mudah dilakukan.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116)

Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama, mengakhirkan shalat isya sendirian atau
melaksanakannya secara berjamaah walaupun di awal waktu?” Jawabannya, kata Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, adalah shalat bersama jamaah lebih utama. Karena
hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi
tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116, 117)

Keutamaan Menanti Pelaksanaan Shalat Isya

Siapa yang menanti ditegakkannya shalat isya secara berjamaah bersama imam, maka ia terhitung
dalam keadaan shalat selama masa penantian tersebut. Hal ini dinyatakan dalam hadits Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat penyebutannya di atas:
َ ‫ أَ َّما إِ َّن ُك ْم فِي‬،‫اس َو َنا ُم ْوا‬
‫صالَ ٍة َما ا ْن َت َظ ْر ُت ُم ْوهَا‬ َ ْ‫ َقد‬:َ‫صلَّى ُث َّم َقال‬
ُ ‫صلَّى ال َّن‬ َ ‫ف اللَّ ْي ِل ُث َّم‬ ْ ‫شاءِ إِلَى ن‬
ِ ‫ِص‬ َ ‫صالَ َة ا ْل ِع‬
َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫أَ َّخ َر ال َّن ِب ُّي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau
shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung
dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan
Muslim no. 1446)

Dibenci Tidur Sebelum Isya dan Berbincang Setelahnya

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan berbincang-bincang setelahnya4.
Dalam hal ini Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata:

‫ث َب ْع َدهَا‬ َ ‫ِب أَنْ ُي َؤ ِّخ َر ا ْل ِع‬


َ ‫ َو َكانَ َي ْك َرهُ ال َّن ْو َم َق ْبلَ َها َوا ْل َح ِد ْي‬،‫شا َء‬ ُّ ‫سلَّ َم َي ْس َتح‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َ ِ‫س ْول ُ هللا‬

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya. Dan beliau
membenci tidur sebelum shalat isya dan berbincang -bincang setelahnya.” (HR. Ibnu Majah no. 701,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

َ ‫س َم َر َب ْعدَ ا ْل ِع‬
ِ‫شاء‬ َّ ‫سلَّ َم ال‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َب َل َنا َر‬
َ ِ‫س ْول ُ هللا‬ َ ‫َجد‬

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kami dari berbincang-bincang setelah


isya.” (HR. Ahmad 1/388-389, 410, Ibnu Majah no. 703, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
dalam Ash-Shahihah no. 2435)

At- Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi membenci tidur sebelum shalat isya dan
ngobrol setelahnya. Sebagian mereka memberi keringanan dalam hal ini. Abdullah ibnul Mubarak
rahimahullahu berkata, ‘Kebanyakan hadits menunjukkan makruhnya’.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/110)

Larangan tidur sebelum isya ini ditujukan kepada orang yang dengan sengaja melakukannya. Adapun
orang yang tidak kuasa menahan kantuknya sehingga jatuh tertidur, maka diberikan pengecualian. Hal ini
ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dalam pembahasan disenanginya
mengakhirkan shalat isya, tentang tertidurnya para wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya
berjamaah di masjid, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari tidur mereka.
(Fathul Bari, 2/66)

Demikian pula hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:


‫ا‬--‫ َر َج َعلَ ْي َن‬-‫ َت ْي َق ْظ َنا ُث َّم َخ‬-‫اس‬ ْ ‫ ِج ِد ُث َّم‬-‫دْ َنا فِي ا ْل َم ْس‬--‫ا َح َّتى َر َق‬--‫ َفأ َ َّخ َر َه‬،‫ش ِغل َ َع ْن َها لَ ْيلَ ًة‬
ْ ‫دْ َنا ُث َّم‬--‫ َت ْي َق ْظ َنا ُث َّم َر َق‬-‫اس‬ ُ ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َ ِ‫س ْول َ هللا‬
َ‫انَ ال‬--‫ إِ َذا َك‬،‫ َو َكانَ ابْنُ ُع َم َر الَ ُي َبالِي أَ َق َّد َم َها أَ ْو أَ ََّخ َرهَا‬.‫الصالَ َة َغ ْي ُر ُك ْم‬ َّ ‫ض َي ْن َتظِ ُر‬ ِ ‫س أَ َح ٌد مِنْ أَهْ ِل اأْل َ ْر‬ َ ‫ َل ْي‬:َ‫س َّل َم ُث َّم َقال‬
َ ‫ص َّلى هللاُ َع َل ْي ِه َو‬
َ ‫ال َّن ِب ُّي‬
‫شى أَنْ َي ْغلِ َب َها ال َّن ْو ُم عَنْ َو ْقتِ َها َو َكانَ َي ْرقُ ُد َق ْبلَ َها‬
َ ‫َي ْخ‬

Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersibukkan dari mengerjakan shalat isya di awal
waktu, maka beliau mengakhirkannya hingga kami tertidur di masjid kemudian kami terbangun, lalu kami
tidur lagi kemudian terbangun. Lalu keluarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian
beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.”
Adalah Ibnu Umar tidak memedulikan apakah ia mendahulukan atau mengakhirkannya, apabila ia tidak
khawatir tertidur pulas/nyenyak dari mengerjakannya pada waktunya. Adalah Ibnu Umar tidur sebelum
shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 570)

Dalam riwayat Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, disebutkan bahwa terkadang Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma tertidur sebelum mengerjakan shalat isya dan beliau memerintahkan orang untuk
membangunkannya. (Fathul Bari, 2/68)

Ibnul ‘Arabi berkata, “Tidur sebelum shalat isya ini boleh bagi orang yang yakin bahwa ia biasanya
terbangun sebelum habisnya waktu shalat isya atau bersamanya ada orang yang akan
membangunkannya.” (Nailul Authar, 1/461)

Adapun tentang berbincang-bincang setelah shalat isya, maka yang dimaksudkan adalah obrolan yang
sebenarnya mubah bila dilakukan di selain waktu ini. Bila suatu obrolan makruh diperbincangkan pada
waktu lain selain setelah isya, tentunya lebih sangat lagi dimakruhkan bila dilakukan setelah isya.
Sementara perbincangan yang memang dibutuhkan maka tidaklah dimakruhkan dilakukan setelah isya.
Demikian pula berbicara tentang perkara kebaikan seperti membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, diskusi ilmu, cerita tentang orang-orang shalih, berbincang dengan istri, tamu, dan
semisalnya. (Al-Majmu’ 3/44, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/135)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Yang zahir dari sejumlah hadits yang datang dalam bab ini
adalah dibencinya berbincang dan begadang (setelah shalat isya), kecuali dalam perkara mengandung
kebaikan bagi orang yang berbicara atau kebaikan bagi kaum muslimin.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi
Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/75)

Ada beberapa hadits yang menunjukkan pengecualian dari kemakruhan tersebut:

1. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:

‫سلَّ َم َي ْس ُم ُر َم َع أَ ِبي َب ْك ٍر فِي اأْل َ ْم ِر مِنْ أَ ْم ِر ا ْل ُم ْسلِ ِميْنَ َوأَ َنا َم َع ُه َما‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َ ِ‫س ْول ُ هللا‬
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang (setelah shalat isya) bersama Abu
Bakr dalam satu perkara kaum muslimin, dan aku bersama keduanya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi no. 169,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

2. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

‫َّث ال َّن ِب ُي‬َ ‫ َف َت َحد‬:َ‫ َقال‬،‫سلَّ َم ِباللَّ ْي ِل‬


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫صالَةُ ال َّنبِ ِّي‬ َ ‫سلَّ َم عِ ْن َدهَا أِل َ ْن ُظ َر َك ْي‬
َ ‫ف‬ َ ‫ت َم ْي ُم ْو َن َة لَ ْيلَ ًة َكانَ ال َّنبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫َر َقدْ تُ فِي َب ْي‬
‫سا َع ًة ُث َّم َر َق َد‬ َ ‫سلَّ َم َم َع أَهْ لِ ِه‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ

“Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bibi Ibnu ‘Abbas,
pent.) pada suatu malam sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada (giliran bermalam, pent.) di
rumah Maimunah. Aku sengaja bermalam untuk melihat bagaimana cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam di waktu malam. Kata Ibnu Abbas, “(Setelah shalat isya, pent.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbincang-bincang dengan istrinya beberapa saat kemudian beliau tidur.” (HR. Muslim)

3. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Usaid bin Hudhair dan seorang laki-laki lain
dari Anshar berbincang-bincang di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam untuk
suatu urusan mereka berdua, hingga berlalu sesaat dari waktu malam. Sementara malam itu sangatlah
gelap. Keduanya kemudian keluar dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke tempat
mereka dan di tangan masing-masingnya ada tongkat. Maka tongkat salah satu dari keduanya bercahaya
menerangi keduanya, hingga mereka berjalan dalam cahaya tongkat tersebut. Hingga ketika keduanya
berpisah, menempuh jalan berbeda, tongkat yang satunya (yang semula tidak mengeluarkan cahaya,
pent.) juga bercahaya. Maka masing-masing pun berjalan dalam cahaya tongkatnya hingga tiba di tempat
keluarganya. (Diriwayatkan Ibnu Nashr dari Abdurrazzaq, kata Al-Imam Albani rahimahullahu, “Sanadnya
shahih di atas syarat sittah.” Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/76)

4. Abu Sa’id, maula Anshar berkata, “Adalah Umar tidak membiarkan adanya orang yang berbicara
setelah shalat isya. Beliau berkata, ‘Kembalilah kalian (jangan terus ngobrol setelah shalat isya. pent.),
mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rizki kepada kalian dengan kalian bisa
mengerjakan satu shalat, atau kalian bisa tahajjud.’ Lalu ‘Umar sampai ke tempat kami. Ketika itu aku
sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b dan Abu Dzar. Umar bertanya, ‘Untuk apa kalian
duduk di sini?’ Kami menjawab, ‘Kami ingin berdzikir kepada Allah.’ ‘Umar pun ikut duduk bersama
mereka. (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi 2/391, Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab,
1/77)

Dibencinya Menamakan Isya dengan ‘Atamah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


‫ب اإْل ِ ِب ِل‬
ِ َ‫شا ُء َوإِ َّن َها ُت ْعتِ ُم ِب ِحال‬ ِ ‫ َفإِ َّن َها فِي ِك َتا‬، ِ‫شاء‬
َ ‫ب هللاِ ا ْل ِع‬ َ ‫صالَتِ ُك ُم ا ْل ِع‬ ُ ‫الَ َت ْغلِ َب َّن ُك ُم اأْل َ ْع َر‬
ْ ‫اب َعلَى‬
َ ‫اس ِم‬

“Jangan sekali-kali orang-orang A’rab (Badui) mengalahkan kalian dalam penamaan shalat isya kalian
ini, karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia diakhirkan saat diperahnya unta .” (HR. Muslim
no. 1454)

Dalam riwayat Ahmad disebutkan:

‫إِ َّن َما يَدْ ُع ْو َن َها ا ْل َع َت َم َة إِل ِ ْع َتا ِم ِه ْم ِباإْل ِ ِب ِل‬

“(Orang-orang A’rab) menyebut isya dengan atamah, karena mereka mengakhirkan pemerahan unta
sampai malam sangat gelap (dan di saat itulah dilaksanakan shalat isya, pent.).” (Kata Al-Imam Albani
rahimahullahu: “Sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)

Namun bila sekali-sekali maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang terdapat dalam Ash-Shahihain:

‫ص ْب ِح َوا ْل َع َت َم ِة أَل َ َت ْو ُه َما َولَ ْو َح ْب ًوا‬


ُّ ‫َولَ ْو َي ْعلَ ُم ْونَ َما فِي ال‬

“Seandainya mereka mengetahui keutamaan/pahala yang didapatkan dalam shalat subuh dan atamah
(secara berjamaah di masjid, pent.) niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ada yang mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh
(penghapus) hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula yang mengatakan
sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya
tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah secara mutlak. Namun
beliau hanya melarang bila sampai nama yang syar’i, yaitu isya, sampai ditinggalkan. Karena isya adalah
nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama ‘atamah telah
mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun terkadang ia disebut ‘atamah maka tidaklah
apa-apa. Wallahu a’lam.

Dalam hadits ini ada penjagaan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap nama-nama yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan terhadap ibadah-ibadah yang ada. Sehingga nama tersebut tidak
ditinggalkan, lalu nama yang tidak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala justru diutamakan, sebagaimana yang
dilakukan orang-orang belakangan. Di mana mereka meninggalkan lafadz-lafadz nash dan lebih
mengutamakan/mengedepankan istilah-istilah yang baru. Karena hal ini, terjadilah kerusakan yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya.” (Zadul Ma’ad, 2/9)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


1 Karena didapatkan riwayat mauquf dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau memaknakan syafaq
dengan humrah, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni.

2 Wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya di masjid. ‘Umar menyeru demikian karena
menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya karena lupa. (Al-Minhaj, 5/139)

3 Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa hal itu terjadi sebelum tersebarnya Islam di tengah manusia.

4 Ada yang mengatakan bahwa hikmah pelarangan berbincang setelah shalat isya adalah agar jangan
sampai hal itu menjadi sebab seseorang meninggalkan qiyamul lail (shalat malam), atau ia tenggelam
dalam obrolan kemudian tertidur pulas setelahnya hingga habis waktu shalat subuh. (Al-Majmu’ 3/44,
Fathul Bari, 2/66)

5 Yaitu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah An-Nur ayat 58:

َ ‫صاَل ِة ا ْل ِع‬
ِ‫شاء‬ َ ‫َومِنْ َب ْع ِد‬

Anda mungkin juga menyukai