Anda di halaman 1dari 5

4.

Pandangan islam tentang kematian & Jenazah

Kematian seorang manusia adalah berpisahnya ruh dari jasadnya, saat seseorang sudah

ditinggalkan oleh ruhnya, maka habis sudah masa hidupnya di dunia ini. Islam telah

mengingatkan kita semua bahwa setiap insan yang bernyawa pasti mengalami kematian. Allah

swt. telah berfirman dalam ayat berikut ini.

‫ح‬ َ ‫ت ۗ َو إ ِ ن َّ َم ا ت ُ َو ف َّ ْو َن أ ُ ُج‬
َ ‫ور كُ ْم ي َ ْو َم الْ قِ ي َ ا َم ِة ۖ ف َ َم ْن ُز ْح ِز‬ ِ ‫كُ ُّل ن َ فْ ٍس ذ َا ئ ِ ق َ ة ُ الْ َم ْو‬

ِ ‫ار َو أ ُدْ ِخ َل الْ َج ن َّ ة َ ف َ ق َ دْ ف َ ازَ ۗ َو َم ا الْ َح ي َ ا ة ُ ال د ُّنْ ي َ ا إ ِ ََّّل َم ت َا ع ُ الْ غ ُ ُر‬


‫ور‬ ِ َّ ‫عَ ِن ال ن‬

Artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat

sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke

dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah

kesenangan yang memperdayakan.” (Q.S. Ali Imran/3: 185)

Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan

mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk

berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad saw, misalnya bersabda, "Perbanyaklah

mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian)."

Setiap muslim memiliki kewajiban terhadap saudaranya muslim yang meninggal dunia.

Kewajiban yang harus segera dilaksanakan adalah mengurus jenazahnya dan mengurus harta

peninggalannya. Kewajiban ini bersifat kolektif karena itu dimasukkan sebagai suatu jenis

ibadah yang hukumnya fardu kifayah, artinya kewajiban bagi seluruh umat muslim, tetapi

apabila sudah dilaksanakan oleh beberapa orang yang melaksanakannya, maka gugurlah
kewajiban itu bagi seluruh umat muslim. Kewajiban-kewajiban terhadap orang yang

meninggal adalah memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkannya.

Hukum Menggali Kuburan dan Membongkar Mayat

Berdasarkan dengan beberapa motivasi tersebut di atas, maka penulis lebih condong

mengambil pendapat yang membolehkan menggali kuburan dan membongkar mayat, untuk

menjalankan perintah agama dan tidak menyulitkan orang hidup. Maka berikut ini. Dapat

dikemukakan pendapat beberapa Ahli Hukum Islam, antara lain:


‫‪Asy-Syaukaany mengatakan:‬‬

‫ب َوَّلَ ُح َّجةَ فِ ْي ِه َول ِك ْن ُج ِع َل الدَّ ْف ُن‬ ‫علَ ْي ِه‪َ ,‬وهذَ َاوا ِْن َكانَ قَ ْو َل َ‬
‫ص َحا ِ‬ ‫ْش ْال َميِ ِ‬
‫ت ِلغُ ْس ِل ِه َوت َ ْك ِف ْينِ ِه َوال َّ‬
‫صالَةِ َ‬ ‫اَنَّهُ يَ َحب ُْو ُزنَب ُ‬

‫علَ ْي ِه ُمحْ ت َا ٌج اِلى دَ ِل ْي ٍل َوَّلَدَ ِل ْي ٍل‬


‫صالَةِ َ‬ ‫غ ْس ِل ْال َميِ ِ‬
‫ت ا َ ْوت َ ْك ِف ْينِ ِه ا َ ِوال َّ‬ ‫ب ُ‬
‫ع ِل َم ِم ْن ُو ُج ْو ِ‬ ‫‪َ .‬م ْسقَ ً‬
‫طا ِل َما ُ‬

‫‪Artinya:‬‬

‫‪“bahwasanya boleh membongkar mayat untuk memandikannya, mengafaninya, dan‬‬

‫‪menyembahyanginya. Dan haln ini termasuk pendapat sahabatku yang tidak ada dalilnya.‬‬

‫‪Akan tetapi, bila dijadikan penguburan itu sebagai suatu penetapan (agama), sebagaimana‬‬

‫‪halnya kewajiban memandikan mayat, mengafaninya, menyembahyanginya, maka itulah yang‬‬

‫‪dimaksudkan dalilnya, atau (boleh pula dikatakan) tidak ada dalilnya,‬‬

‫‪Sayyid Saabiq mengatakan:‬‬

‫علَ ْي ِه‪ ,‬ث ُ َّم ا ُ ِع ْيدَ دَ ْفنُهُ‪,‬‬


‫ى َ‬
‫ص ِل َ‬
‫اب‪َ .‬و ُ‬ ‫علَ ْي ِه ا ُ ْخ ِر َج ِمنَ ْالقَب ِْر‪ .‬ا ِْن َكانَ لَ ْم يُ َه ْل َ‬
‫علَ ْي ِه الت ُّ َر ُ‬ ‫غي ِْرا َ ْن يُ َ‬
‫صلى َ‬ ‫َو َم ْن دُقِنَ ِم ْن َ‬

‫ى‬ ‫ع ْن اَحْ َمدَ‪َ ,‬و ُ‬


‫ص ِل َ‬ ‫ْش قَب ِْر ِه َوا ِْخ َرا ُجهُ ِم ْنهُ ِع ْندَ ْاَّلَحْ ن ِ‬
‫َاف َوال َّ‬
‫شافِ ِعيَّ ِة َو ِر َوايَ ٍة َ‬ ‫اب َح ُر َم نَب ُ‬ ‫َوا ِْن َكانَ ا ُ ِه ْي َل َ‬
‫علَ ْي ِه الت ُ َر ُ‬

‫ْش ْالقَب ِْر ِلغ ََر ٍ‬


‫ض‬ ‫اَّل َّم ِة الثَّالث َ ِة نَب ُ‬
‫علَ ْي ِه‪َ .‬وخ َْو ُز ْ ِ‬
‫صلى َ‬ ‫علَ ْي ِه َو ُه َوفِ ْى ْالقَب ِْر‪َ ,‬وفِى ِر َوايَ ٍة َ‬
‫ع ْن اَحْ َمدَاَنَّهُ يُ ْنبَ ُ‬
‫ش‪َ ,‬ويُ َ‬ ‫َ‬

‫غي ِْر ْال ِق ْبلَ ِة اِلَ ْي َها‪َ ,‬وت َ ْغ ِس ْي ِل َم ْن دُفِنَ بِغَي ِْر َ‬
‫غ ْس ٍل‪,‬‬ ‫ص ِحيْحٍ ِمثْ ُل ا ِْخ َراجِ َما ٍل ت ُ ِركَ فِى ْالقَب ِْر‪َ ,‬وت َْو ِج ْي ِه َم ْن دُفِنَ اِلى َ‬
‫َ‬

‫ِي ْال َحفَّ ُر ِم ْس َحاتَهُ فِى ْالقَب ِْر َجازَ ا َ ْن يُ ْنبَ َ‬


‫ش‬ ‫َوتَحْ ِسي ِْن ْال َكفَ ِن‪ ,‬اَِّلَّ ا َ ْن يَ ْخشى َ‬
‫علَ ْي ِه ا َ ْن يَتَفَ َّ‬
‫س َخ فَيُتْ َركُ ‪َ .‬وقَا َل اَحْ َمدُ‪ :‬اِذَانَس َ‬

‫ط فِى القَب ِْر‪ِ .‬مثْ ُل ْالفَأ ْ ِس َوالد ََّراه ِِم‪..‬يُ ْنبَ ُ‬


‫ش‬ ‫ش ْيءٍ يَ ْسقُ ُ‬
‫ع ْن َها‪َ .‬وقَا َل فِى ال َّ‬
‫… َ‬

‫;‪Artinya‬‬

‫‪“barang siapa yang dikuburkan tanpa disembahyangi lebih dahulu, (maka mayatnya) boleh‬‬

‫‪dibongkar dari kuburannya. Bila belum termakan oleh tanah, lalu disembahyanginya,‬‬
kemudian dikuburkan kembali. Dan apabila termakan oleh tanah, maka haram menggali

kuburannya dan membongkar mayatnya menurut pendapat golongan Hanafi, pengikut Syafi’iy

dan riwayat dari Imam Ahmad. Serta boleh disembahyangi ketika mayat itu masih berada di

kuburan. Riwayat dari Imam Ahmad mengatakan; bahwa boleh membongkar lalu

disembahyangi. Maka ketiga Ulama Madzhab (di atas) membolehkan membongkar mayat, lalu

menyembahyanginya karena ada maksud yang baik, misalnya mengeluarkan benda berharga

yang tertinggal di dalam kuburan, menghadapkan wajahnya ke kiblat bagi mayat yang tidak

dihadapkan ke arah tersebut, memandikannya bagi mayat yang belum pernah dimandikan

serta memperbaiki kafannya. Kecuali kalau dikhawatirkan (mayat itu) akan rusak (terputus-

putus), maka boleh saja tidak membongkarnya. Dan Imam Ahmad berkata; apabila tukang

penggali kubur itu melupakan paculnya (cangkulnya) dalam lubang kuburan, maka boleh

menggali kembali kuburan itu. Lalu berkata lagi; bahwa sesuatu yang jatuh dalam lubang

kuburan, misalnya kapak atau uang dirham (maka kuburan itu) boleh digali kembali

Meskipun dalam keterangan Asy-Syaukaany dan Sayyid Saabiq tidak menerangkan kebolehan

menggali kuburan dan membongkar mayat, dengan motivasi agar keluarganya dapat

mengetahuinya dan sebagai kepentingan penegakan hukum, maka penulis tetap memahaminya

bahwa hal tersebut dibolehkan dalam Islam, karena pertimbangan hajat. Karena itu, dibolehkan

melakukan sesuatu, yang sebenarnya sejak semula dilarang oleh Islam. Hal ini sesuai dengan

keterangan beberapa Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi:

َّ ‫َت ا َ ْوخَا‬
ًً‫صة‬ َ ِ‫ا َ ْل َحا َجةُ ت َ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ الض َُّر ْو َرة‬.
ْ ‫عا َّمةً َكان‬

Artinya:

“hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun perorangan”.

‫ت‬ ُ ْ‫اَلض َُّر ْو َراتُ ت ُ ِب ْي ُح ْال َمح‬.


ِ ‫ظ ْو َرا‬
Artinya:

“persoalan darurat itu membolehkan sesuatu yang diharamkan (oleh agama).

‫ت َوَّلً َك َرا َهةَ َم َع اْل َحا َج ِة‬ َ ‫َّلَ َح َر‬.


ِ ‫ام َم َع الض َُّر ْو َرا‬

Artinya:

“tiada haram (bila) bersama dengan darurat, dan tiada makruh (bila) bersama dengan hajat”.

REFERENSI

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 6 Tahun 2009 Tentang OTOPSI JENAZAH

https://al-badar.net/pengertian-hukum-menggali-kuburan-dan-membongkar-mayat/

Anda mungkin juga menyukai