Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KEDOKTERAN ISLAM

SELALU MENJAGA KEBERSIHAN MULUT DAN GIGI

Kelompok 5
Risti indah N. anwar 10542060315
Nilang Pabisiang 10542063515
Seniwati 10542064715

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018
”Selalu menjaga kebersihan Mulut dan Gigi”

PEMBAHASAN
Kebersihan gigi dan mulut merupakan salah satu hal yang penting dalam menjaga
keseimbangan fungsi tubuh. Pemasalahan gigi dan mulut merupakan salah satu pemasalahan
kesehatan yang mengkhawatirkan di Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001,
penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit tertinggi keenam yang dikeluhkan masyarakat
Indonesia dan menempati peringkat keempat penyakit termahal dalam pengobatan (The World
Oral Health Report 2003). Profil Kesehatan Gigi Indonesia menunjukkan bahwa skor DMFT
pada kelompok anak usia 12 tahun adalah 2,69. Prevalensi penyakit periodontal di Indonesia,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Gigi Departemen Kesehatan
Republik Indonesia diperoleh angka 60% untuk anak usia 8 tahun dan 90% untuk anak usia 14
tahun. Kondisi ini dapat dihubungkan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku anak-anak
terhadap kesehatan gigi dan mulut. Untuk menurunkan prevalensi karies dan gingivitis pada
anak-anak usia sekolah dan sekaligus mencapai target WHO tahun 2025 diperlukan satu tindakan
mendidik anak-anak tentang kesehatan gigi dan mulut. Menurut WHO, kesehatan gigi dan mulut
berarti bebas nyeri mulut kronis dan nyeri wajah, kanker mulut dan tenggorokan, luka mulut,
cacat lahir seperti bibir sumbing dan langit-langit, penyakit periodontal, kerusakan gigi dan
kehilangan gigi, dan penyakit lain atau gangguan yang mempengaruhi rongga mulut.

GIGI DAN MULUT YANG SEHAT


1. Ciri-Ciri Gigi Sehat
 Tidak terasa sakit (radang gusi & Karang gusi)
 Tidak ada karies
 Saat mengunyah tidak terasa nyeri.
 Leher gigi tidak kelihatan
 Tidak goyang.
 Tidak terdapat plak.
 Warna gigi putih kekuningan.
 Tidak terdapat karang.
 Mahkota gigi utuh.

2. Ciri-Ciri Gusi Sehat


 Berwarna merah muda
 Gusi di antaragigi berbentuk seperti bulan sabit.
 Jika dikeringkan seperti kulit jeruk
 Tidak sakit
 Tidak mudah berdarah
MENJAGA KEBERSIHAN MULUT DAN GIGI DALAM BIDANG KESEHATAN

Kesehatan bukan segalanya, namun tanpa kesehatan, segalanya tidak berarti apa-apa.
Tidak jarang pula banyak orang yang menganggap bahwa kesehatan itu mahal, padahal, yang
membuat mahal adalah sembuh dari sakit, bukan kesehatannya. Kesehatan juga bukan hanya
tentang sembuh dari sakit, melainkan juga tentang mencari cara untuk mencegah sakit. Cara
sederhana untuk tetap sehat adalah dengan hidup , makan makanan yang sehat dan bergizi, tidur
cukup, perbanyak konsumsi air putih, olahraga secara rutin, dan hindari stres. Dengan begitu,
kesehatan fisik akan tetap terjaga.

a. hubungan kesehatan gigi dan mulut dengan kesehatan


Sebuah studi menunjukkan bahwa kesehatan gigi dan mulut yang buruk dapat
menimbulkan berbagai komplikasi penyakit membahayakan. Sehingga gigi dan mulut adalah
panca indra vital yang perlu diutamakan pemeliharannya.
Rongga mulut merupakan salah satu pintu masuk bakteri penyebab penyakit ke bagian
tubuh lainnya, baik aerob maupun anaerob. Bakteri pada rongga mulut ternyata dapat menyebar
melalui aliran darah, yang disebut dengan bakteremia.
Jika kesehatan mulut Anda optimal, bakteri yang dapat masuk ke dalam aliran darah
hanya sedikit dan tidak membahayakan tubuh. Namun jika kesehatan mulut Anda tidak dalam
keadaan baik, maka jumlah bakteri yang akan masuk ke dalam aliran darah meningkat dua
hingga sepuluh kali lipat. Hal tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya bakteremia
menjadi lebih besar.

Tanpa kebersihan mulut yang tepat, bakteri juga dapat mencapai tingkat yang menyebabkan
infeksi mulut, seperti kerusakan gigi dan penyakit gusi. Bahkan, teori fokal infeksi menyebutkan
bahwa infeksi pada rongga mulut bertanggung jawab pada terjadinya tiga penyakit sistemik,
yaitu penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, dan aterosklerosis.

b. Dampak kesehatan gigi dan mulut yang buruk

Beberapa penyakit yang terjadi akibat kesehatan gigi dan mulut yang buruk adalah:

 Penyakit gusi, yang meskipun ringan namun dapat menjadi lebih buruk keadaannya
jika tidak ditangani secara tepat. Penyakit gusi atau penyakit periodontal dapat menyebabkan
hilangnya gigi, infeksi, dan komplikasi lainnya.

 Peradangan pada bagian dalam jantung, disebut endokarditis. Penyakit ini terjadi
sebagai akibat adanya bakteri dalam mulut yang terbawa aliran darah melalui gusi yang
berdarah.
c. cara menjaga kesehatan gigi dan mulut

Mengingat pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulu, maka Anda dianjurkan
untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk menjaga
kesehatan gigi dan mulut adalah:

 Sikat gigi minimal dua kali sehari dengan pasta gigi ber-fluoride
 Makan makanan yang sehat, hindari konsumsi makanan yang mengandung manis/asam
secara berlebihan
 Ganti sikat gigi setidaknya tiga atau empat bulan sekali
 Jangan merokok
 Periksa kesehatan gigi dan mulut secara rutin setidaknya enam bulan sekali ke dokter gigi

Kesehatan gigi yang baik merupakan kombinasi dari perawatan sehari-hari yang tepat dimulai
dari menggosok gigi dan pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut secara rutin ke dokter gigi
setidaknya enam bulan sekali. Jadi, jika ingin memiliki kesehatan tubuh yang optimal, jangan
lupa untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Karena, menjaga kesehatan mulut Anda adalah
investasi dalam kesehatan Anda secara keseluruhan.

MENJAGA KEBERSIHAN MULUT DAN GIGI DALAM ISLAM


Bersiwak (membersihkan mulut dengan kayu dari pohon araak) merupakan perbuatan yang
sangat disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada beberapa waktu yang sangat
dianjurkan oleh syariat untuk kita bersiwak. Bila kita mampu menjalankan ajaran Rasulullah ini
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya mulut kita yang menjadi bersih, namun pahala dan
keridhaan Allah pun insya Allah bisa kita raih.
Kata siwak bukan lagi sesuatu yang asing di tengah sebagian kaum muslimin, meskipun
sebagian orang awam tidak mengetahuinya disebabkan ketidaktahuan mereka tentang agama.
Wallahul musta’an.
a. Pengertian siwak sendiri bisa kembali pada dua perkara:
1. bermakna alat yaitu kayu/ranting yang digunakan untuk menggosok mulut guna
membersihkannya dari kotoran. Asalnya adalah kayu dari pohon araak.
2. bermakna fi’il atau perbuatan yaitu menggosok gigi dengan kayu siwak atau semisalnya
untuk menghilangkan warna kuning yang menempel pada gigi dan menghilangkan
kotoran, sehingga mulut menjadi bersih dan diperoleh pahala dengannya (Fathul Bari
1/462, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 3/135, Subulus Salam 1/63, Taisirul ‘Allam
Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 1/62).
Dengan demikian, disenangi bersiwak dengan kayu siwak dari araak atau dengan apa saja
yang bisa menghilangkan perubahan bau mulut, seperti membersihkan gigi dengan kain perca
atau sikat gigi. (Nailul Authar, 1/154)
Namun tentunya bersiwak dengan menggunakan kayu siwak lebih utama. Karena, hal itulah
yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditunjukkan dalam hadits-
hadits yang berbicara tentang siwak.
Hukum bersiwak ini sunnah –tidak wajib– dalam seluruh keadaan, baik sebelum shalat
ataupun selainnya. Dan ini merupakan pendapat yang rajih yang dipegangi oleh penulis. Ini juga
merupakan pendapat jumhur ulama, menyelisihi sebagian ulama yang memandang wajibnya
perkara ini. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu mengatakan: “Kami tidak mengetahui ada
seorang pun yang berpendapat bersiwak itu wajib kecuali Ishaq dan Dawud Azh-Zhahiri.” (Al-
Mughni, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak wa Sunnatul Wudhu).
Dalil tidak wajibnya bersiwak ini diisyaratkan dalam hadits:
ُ َ‫اك أل َ َم ْرتُ ُه ْم أُمتِي َعلَى أ‬
َ‫شق أَ ْن لَ ْول‬ ِ ‫ُوض ُْوء ُك ِل ِع ْندَ ِبالس َِو‬
“Seandainya aku tidak memberati umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak
setiap kali berwudhu.”
Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa siwak
tidaklah wajib. Seseorang diberi pilihan (untuk melakukan atau meninggalkannya, pent.).
Karena, jika hukumnya wajib niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
memerintahkan mereka, baik mereka merasa berat ataupun tidak.” (Al-Umm, kitab Ath-
Thaharah, bab As-Siwak).
Kekhawatiran memberatkan umatnya merupakan sebab yang mencegah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk mewajibkan bersiwak ini. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/195)
Bersiwak merupakan ibadah yang tidak banyak membebani, sehingga sepatutnya seorang
muslim bersemangat melakukannya dan tidak meninggalkannya. Di samping itu, banyak faedah
yang didapatkan berupa kebersihan, kesehatan, menghilangkan aroma yang tak sedap,
mewangikan mulut, memperoleh pahala dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Taisirul ‘Allam, 1/62)
Banyak sekali hadits yang berbicara tentang siwak sehingga Ibnul Mulaqqin rahimahullahu
dalam Al-Badrul Munir mengatakan: “Telah disebutkan dalam masalah siwak lebih dari seratus
hadits.” (Subulus Salam, 1/63)
Karena perkara bersiwak ini disenangi oleh Rasul kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak pernah beliau tinggalkan sampai pun menjelang ajalnya, sementara kita
diperintah dalam Al-Qur`an untuk menjadikan beliau sebagai qudwah, suri teladan, maka
pembahasan tentang siwak tidak patut kita abaikan. Ditambah lagi, bersiwak ini termasuk sunnah
wudhu dan termasuk thaharah yang kita dianjurkan untuk melakukannya.
b. Kesenangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersiwak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian senang bersiwak. Beliau tidak
melupakannya sampai pun pada detik-detik menjelang beliau dijemput kembali ke sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan:
ِ ْ‫ق بَ ْكر أ َ ِبي ْبنُ الرح‬
‫من َع ْبدُ دَ َخ َل‬ ِ ‫الص ِد ْي‬
ِ ‫ي‬ َ ‫ض‬ِ ‫صلى الن ِبي ِ َع َلى َع ْن ُه َما للاُ َر‬ َ ُ‫سل َم َع َل ْي ِه للا‬ َ ‫صد ِْري ِإلَى ُم ْسنِدَتُهُ َوأَنَا َو‬ َ ، ‫َع ْب ِد َو َم َع‬
‫من‬ ْ
ِ ْ‫بِ ِه َي ْست َن َرطب ِس َواك الرح‬، ُ‫س ْو ُل فأبَده‬ َ َ ُ ‫صلى للاِ َر‬ َ
َ ُ‫سل َم َعل ْي ِه للا‬ َ ‫ص َرهُ َو‬ ْ َ َ
َ َ‫ب‬، ُ‫ض ْمتهُ الس َِواكَ فأ َخذت‬ ُ َ ‫ َوطي ْبتهُ فق‬، ‫إِلَى دَفَ ْعتُهُ ثُم‬
َ َ ُ َ
ِ ‫صلى الن ِبي‬ َ ُ‫علَ ْي ِه للا‬َ ‫سل َم‬َ ‫ ِب ِه فَا ْست َن َو‬، ‫س ْو َل َرأَيْتُ فَ َما‬
ُ ‫صلى للاِ َر‬ َ ُ‫سل َم َعلَ ْي ِه للا‬
َ ‫سنَ قَط ا ْستِنَانًا ا ْست َن َو‬ َ ْ‫م ْنهُ أَح‬،
ِ ‫غ أ َ ْن َعدَا فَ َما‬
َ ‫فَ َر‬
ُ‫س ْول‬ُ ‫صلى للاِ َر‬ َ
َ ُ‫سل َم َعل ْي ِه للا‬ َ َ
َ ‫صبَعَهُ أ ْو يَدَهُ َرف َع َو‬ ُ َ
ْ ِ‫قا َل ثم إ‬: ‫ق فِي‬ َ َ ْ ً َ َ
ِ ‫ األ ْعلى الرفِ ْي‬-‫ثالثا‬- ‫ضى ثم‬ ُ َ ‫ق‬ َ

‘Abdurrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma masuk menemui Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan dadaku menjadi tempat sandaran beliau.
‘Abdurrahman membawa siwak yang masih basah yang dipakainya untuk bersiwak. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat pandangan mata beliau, melihat siwak itu. Aku pun
mengambil siwak tersebut lalu mematahkan ujungnya (dengan ujung gigi) serta memperbaikinya
dan membersihkannya, kemudian aku berikan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
kemudian bersiwak dengannya. Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersiwak sebagus yang kulihat kali itu. Tidak berapa lama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam selesai dari bersiwak, beliau mengangkat tangannya atau jarinya kemudian berkata:
“Pada teman-teman yang tinggi (Ar-Rafiqil A‘la)1.” Lalu beliau pun wafat. (HR. Al-Bukhari no.
890, 4438)
Dalam satu lafadz, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:
ُ ‫إِلَ ْي ِه يَ ْن‬، ُ‫ال ِس َواكَ ي ُِحب أَنهُ َو َع َر ْفت‬. ُ‫فَقُ ْلت‬: ُ‫آخذُه‬
ُ‫ظ ُر فَ َرأَ ْيتُه‬ َ ‫نَعَ ْم أ َ ْن بِ َرأْ ِس ِه فَأَش‬
ِ ‫َار لَكَ ؟‬
Aku melihat beliau memandangi siwak tersebut dan aku tahu beliau menyukai bersiwak. Maka
aku katakan: “Apakah aku boleh mengambilkannya untukmu?” Beliau mengisyaratkan “iya”,
dengan kepala beliau (mengangguk untuk mengiyakan/sebagai persetujuan). (HR. Al-Bukhari
no. 4449)2
c. Bersiwak Membersihkan Mulut dan Diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫ ِل ْلفَ ِم ُم‬، ‫ضاة‬
ُ‫طه َرة الس َِواك‬ َ ‫ب َم ْر‬
ِ ‫ِللر‬
“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad, 6/47,62, 124, 238, An-
Nasa`i no. 5 dan selainnya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya
secara mu‘allaq. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-
Nasa`i, Al-Misykat no. 381, Irwa`ul Ghalil no. 65)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga mengabarkan hal yang senada dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
‫اك َعلَ ْي ُك ْم‬ ْ ‫ ِل ْلفَ ِم َم‬، ‫ضاة‬
ِ ‫طيَبَة فَإِنهُ بِالس َِو‬ َ ‫ب َم ْر‬ َ َ‫َوتَعَالَى تَب‬
ِ ‫اركَ ِللر‬
“Seharusnya bagi kalian untuk bersiwak. Karena dengan bersiwak akan membaikkan
(membersihkan) mulut, diridhai oleh Ar-Rabb tabaraka wa ta’ala.” (HR. Ahmad 2/109, lihat
Ash-Shahihah no. 2517)
d. Waktu-waktu Disunnahkannya Bersiwak
Bersiwak adalah sunnah (mustahab) dalam seluruh waktu. Namun ada lima waktu yang lebih
ditekankan bagi kita untuk melakukannya (Al-Minhaj 1/135, Al-Majmu‘ 1/328, Tharhut Tatsrib
fi Syarhit Taqrib 1/225). Waktu-waktu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Setiap akan shalat dan wudhu
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ُ َ‫اك أل َ َم ْرتُ ُه ْم أُم ِتي َعلَى أ‬
َ‫شق أَ ْن لَ ْول‬ ِ ‫ُوض ُْوء ُك ِل َم َع ِبالس َِو‬
“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk
bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad 2/400, Malik dalam Al-Muwaththa` no.
143 dengan Syarh Az-Zarqani. Disebutkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-
nya secara mu‘allaq. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no.
70)
Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 887) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-
nya (no. 588) juga mengeluarkan hadits di atas, hanya saja lafadz akhirnya adalah: ‫ُك ِل َم َع‬
‫صالَة‬
َ (setiap kali hendak mengerjakan shalat). Selengkapnya adalah:
ُ َ‫اك أل َ َم ْرتُ ُه ْم أُمتِي َعلَى أ‬
َ‫شق أَ ْن لَ ْول‬ ِ ‫صالَة ُك ِل َم َع ِبالس َِو‬
َ
“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk
bersiwak setiap kali setiap kali hendak mengerjakan shalat.”
Permasalahan disunnahkannya bersiwak ketika hendak shalat dan berwudhu ini
diriwayatkan dari sejumlah shahabat. Di antaranya Abu Hurairah, Zaid bin Khalid, ‘Ali
bin Abi Thalib, Al-’Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Umar, Abdullah bin Hanzhalah,
dan selain mereka radhiyallahu ‘anhum ajma’in. (Sunan At-Tirmidzi, kitab Ath-
Thaharah, bab Maa Ja’a fis Siwak)
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu berkata: “Rahasia dianjurkannya kita bersiwak saat
hendak shalat adalah kita diperintahkan dalam setiap keadaan taqarrub (mendekatkan)
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berada dalam kesempurnaan dan
kebersihan, dalam rangka menampakkan kemuliaan ibadah.”
Ada pula yang berpendapat bahwa perkaranya berkaitan dengan malaikat. Karena
malaikat akan terganggu dengan aroma tidak sedap yang keluar dari mulut seseorang.
(Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)
2. Ketika masuk rumah
Syuraih bin Hani` pernah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
َ َ‫صلى الن ِبي يَ ْبدَأ ُ َكان‬
ِ ‫ش ْيء ِبأَي‬ َ ُ‫سل َم َعلَ ْي ِه للا‬ ْ َ‫قَال‬: ‫اك‬
َ ‫ت بَ ْيتَهُ؟ دَ َخ َل ِإذَا َو‬ ِ ‫ِبالس َِو‬
“Apa yang mulai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan apabila beliau masuk
rumah?” Aisyah menjawab: ‘Beliau mulai dengan bersiwak’.” (HR. Muslim no. 589)
3. Saat bangun tidur di waktu malam
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:

َ‫س ْو ُل َكان‬ َ ُ‫سل َم َعلَ ْي ِه للا‬


ُ ‫صلى للاِ َر‬ َ ‫ام ِإذَا َو‬
َ َ‫ص الل ْي ِل ِمنَ ق‬ ُ َ‫اك فَاهُ ي‬
ُ ‫ش ْو‬ ِ ‫ِبالس َِو‬
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun di waktu malam beliau
menggosok mulutnya dengan siwak.” (HR. Al-Bukhari no. 245, 889, 1136 dan Muslim
no. 592, 594)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan:
‫س ْو َل أَن‬ َ ُ‫سل َم َعلَ ْي ِه للا‬
ُ ‫صلى للاِ َر‬ َ َ‫اك بَدَأ َ ا ْستَ ْيق‬
َ ‫ ِع ْندَهُ َوالس َِواكُ إِل يَنَا ُم لَ َكانَ َو‬، ‫ظ فَإِذَا‬ ِ ‫بِالس َِو‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah tidur melainkan siwak berada di sisi
beliau. Bila terbangun dari tidur, beliau mulai dengan bersiwak.” (HR. Ahmad 2/117,
dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503)
Alasan disenanginya bersiwak pada saat seperti ini, kata Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied
rahimahullahu, adalah karena tidur menyebabkan berubahnya bau mulut. Sedangkan
siwak merupakan alat untuk membersihkan mulut. Sehingga disunnahkan bersiwak
tatkala terjadi perubahan bau mulut. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-
Siwak)
Dalam hal ini sama saja, baik bangunnya untuk mengerjakan shalat atau tidak. ‘Auf bin
Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
ُ‫س ْو ِل َم َع قُ ْمت‬ َ ‫ت ََوضأ َ ثُم فَا ْستَاكَ فَبَدَأ َ َو‬، ‫ام ثُم‬
َ ُ‫سل َم َعلَ ْي ِه للا‬
ُ ‫صلى للاِ َر‬ َ ُ‫… َمعَهُ َوقُ ْمتُ ي‬
َ َ‫ص ِلي ق‬
“Aku pernah bangkit bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau mulai
bersiwak. Setelah itu beliau berwudhu. Kemudian beliau bangkit untuk mengerjakan
shalat dan aku pun bangkit bersama beliau…” (HR. Ahmad 6/24, dihasankan Asy-Syaikh
Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503,504)
4. Ketika hendak membaca Al-Qur`an
Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
َ ‫ ِل ْلفَ ِم َم‬، ‫ضاة‬
ُ‫طه َرة الس َِواك‬ َ ‫ب َم ْر‬
ِ ‫ِللر‬
“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad 6/47,62, 124, 238,
An-Nasa`i no. 5 dan selainnya. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkannya dalam Shahih-nya
secara mu‘allaq. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan
An-Nasa`i, Al-Misykat no. 381, Irwa`ul Ghalil no. 65)
5. Saat bau mulut berubah
Perubahan bau mulut bisa terjadi karena beberapa hal. Di antaranya: karena tidak makan
dan minum, karena memakan makanan yang memiliki aroma menusuk/tidak sedap, diam
yang lama/tidak membuka mulut untuk berbicara, banyak berbicara dan bisa juga karena
lapar yang sangat, demikian pula bangun dari tidur. (Al-Hawil Kabir 1/85, Al-Minhaj,
1/135)
e. Bersungguh-sungguh dalam Bersiwak
Ketika seseorang bersiwak, hendaklah ia melakukannya dengan sungguh-sungguh,
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Musa Al-
Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
ُ‫صلى الن ِبي أَتَيْت‬ َ ُ‫سل َم َعلَ ْي ِه للا‬
َ ‫سِواك َي ْست َاكُ َوه َُو َو‬ ْ ‫ر‬.
َ ‫طب ِب‬ َ ‫قَا َل‬: ‫ف‬ َ ‫اك َو‬
ُ ‫ط َر‬ ِ ‫علَى الس َِو‬ ْ ُ ‫أ‬، ‫ع‬
َ ‫ َيقُ ْو ُل َوه َُو ِل‬: ‫ع‬
َ ‫سا ِن ِه‬ ْ ُ ‫أ‬. ُ‫فِي َوالس َِواك‬
َ
‫ع َكأنهُ فِ ْي ِه‬
ُ ‫بَتَ َهو‬
“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau sedang bersiwak
dengan siwak basah. Ujung siwak itu di atas lidah beliau dan beliau mengatakan “o’, o’3″
sedangkan siwak di dalam mulut beliau, seakan-akan beliau hendak muntah.” (HR. Al-Bukhari
no. 244 dan Muslim no. 591)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh
dalam bersiwak, sampai-sampai hendak muntah karenanya. Selain itu, menunjukkan
disenanginya bersiwak menggunakan siwak yang basah sebagaimana dalam hadits Ummul
Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah lewat tentang bersiwaknya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya. Di samping itu, hadits ini menunjukkan
bahwa selain digunakan untuk membersihkan gigi, siwak dapat pula digunakan untuk
membersihkan lidah. (Fathul Bari 1/463, Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak).
f. Cara Bersiwak
Kata Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu, disenangi menggunakan siwak secara melintang
ketika menggosok permukaan gigi dan bagian dalamnya. Dan siwak dijalankan di atas ujung-
ujung gigi dan pangkal gigi geraham agar semuanya bersih dari kotoran warna kuning dan
perubahan bau yang ada. Dijalankan pula di atas langit-langit dengan perlahan untuk
menghilangkan bau yang ada. (Al-Hawil Kabir, 1/85)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan tentang permasalahan cara
menggunakan siwak, apakah memanjang atau melintang: “Memungkinkan untuk dikatakan: cara
penggunaannya kembali kepada apa yang dituntut oleh keadaan. Apabila keadaan menuntut
untuk bersiwak dengan memanjang, maka dilakukan dengan memanjang. Apabila keadaan
menuntut untuk bersiwak dengan melintang, maka dilakukan dengan melintang. Karena tidak
adanya sunnah yang jelas dalam hal ini.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/105)

HUKUM BERSIWAK (GOSOK GIGI) SAAT BERPUASA


Saat ini keberadaan siwak sudah langka, maka orang-orang menggantinya dengan sikat dan
pasta gigi. Maka itu para ulama mengatakan bahwa hukum menyikat gigi saat ramadhan tidak
berbeda dari bersiwak. Beberapa diantara mereka ada yang mengatakan bahwa hukum menyikat
gigi saat puasa diperbolehkan, namun ada juga yang menganggapnya makruh.

1. Mubah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫شق َعلَى أُم ِتى أل َ َم ْرتُ ُه ْم ِبالس َِو‬


‫اك ِع ْندَ ُك ِل ُوضُوء‬ ُ َ ‫لَ ْولَ أ َ ْن أ‬

“Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk


bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari hadist diatas, kita jadi paham betul bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganjurkan umatnya untuk bersiwak setiap hari, bahkan sesering mugkin.
Perintah ini juga tidak mengecualikan bulan-bulan tertentu (semisal bulan Ramadhan).
Yang mana berarti perintah tersebut bersifat umum untuk setiap bulan, baik berpuasa
ataupun tidak. Hadist lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi juga memperkuat mubahnya
hukum menyikat gigi saat berpuasa. Hadist ini berbunyi:

َ ‫سوكُ َوه َُو‬


‫صائِم‬ ِ ْ‫ َما لَ أُح‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫َرأَيْتُ النبِى‬
َ َ ‫صى يَت‬
“Dari sahabat Rasululloh, ia berkata: Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersiwak beberapa kali hingga tidak dapat kuhitung banyaknya, meskipun saat
itu beliau sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi)

2. Makruh

Tidak semua ulama menyutujui pendapat yang memperbolehkan menyikat gigi di


saat berpuasa. Beberapa ulama lain mengatakan bahwa menggosok gigi saat puasa itu
makruh atau sebaiknya dihindari. Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam
Nihayatuz Zain menyampaikan bahwa:

“Hal yang makruh dalam puasa ada tiga belas. Salah satunya bersiwak setelah zhuhur,”
(Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtadi’in, cetakan Al-Maarif, halaman 195).

Menyikat gigi saat berpuasa dianggap makruh karena ditakutkan akan menyebabkan
masuknya air ke dalam rongga mulut, sehingga bisa membatalkan puasa. Pendapat lain
disampaikan oleh Al-Habib Abdulah bin Husein bin Thahir dalam bukunya Is‘adur Rafiq
wa Bughyatut Tashdiq:

“Bagi orang berpuasa, makruh bersiwak setelah zhuhur berdasarkan hadits, ‘Perubahan
aroma mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari Kiamat daripada
wangi minyak misik,’” (Is‘adur Rafiq, cetakan Al-Hidayah, halaman 117).

Perdebatan ulama tidak hanya sebatas dalam menyikat gigi. Tapi juga tata cara dalam
menggosoknya, apakah menggunakan pasta atau tidak. Pasalnya pasta gigi ini memiliki rasa dan
bisa terasa lidah. Bila tidak hati-hati, tentu bisa masuk bersama air liur ke dalam rongga mulut.
Oleh karena itu, para ulama mencoba mempelajari hukum-hukum dalam menggunakan pasta gigi
di saat berpuasa.

1. Diperbolehkan
Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, bahwa menggunakan
pasta gigi saat berpuasa tidaklah mengapa selama tidak tertelan di kerongkongan.
Sebagaimana pula dibolehkan bersiwak bagi orang yang berpuasa baik di pagi hari atau
sore harinya.” (Fatwa Ramadhan, Juz 2, halaman 495).

2. Sebaiknya dihindari
Pernyataan lain yang dituturkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,
mengatakan bahwa menyikat dengan pasta gigi saat berpuasa boleh. Asalkan pasta tidak
sampai tertelan ke dalam tubuh. Namun demikian beliau menganjurkan untuk tidak
menggunakannya. Sebab pasta gigi memiliki rasa dan bisa saja masuk ke dalam perut
tanpa disadari. Maka itu, walaupun diperbolehkan sebaiknya kita menghindari pasta gigi
ini (Fatwa Ramadhan, Juz 2, halaman 496).

Tata Cara Menyikat Gigi di Bulan Ramadhan

Sebenarnya kita tidak perlu khawatir dengan bau mulut di saat berpuasa. Sebab walaupun
aromanya tak sedap bagi manusia, namun di sisi Allah pada hari kiamat kelak, aroma mulut
orang-orang berpuasa lebih wangi dibandingkan minyak katsuri. Sebagaimana dijelaskan dalam
hadist riwayat Abu Hurairah yang berbunyi:

ِ ‫ط َيبُ ِع ْندَ َّللاِ ِم ْن ِريحِ ْال ِمس‬


‫ْك‬ ْ َ‫وف ِفي ِه أ‬
ُ ُ‫َولَ ُخل‬

“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau
minyak kasturi.” (HR Abu Hurairah)

Untuk menyikat gigi di saat bulan ramadhan jelas tidak dilarang, sebab hal ini juga
bertujuan untuk menjaga kesehatan gigi. Hanya saja, ada waktu-waktu tertentu yang sebaiknya
dihindari untuk aktivitas menyikat gigi. Nah, dibawah ini beberapa tata cara terbaiknya:

 Usakan untuk menyikat gigi setelah makan berbuka karena pada saat itu, makanan dan
minuman boleh masuk ke dalam perut jadi kita pun tak perlu khawatir akan tertelannya air
atau pasta ke dalam kerongkongan.
 Jangan lupa untuk selalu menggosok gigi setiap selesai makan sahur, tepatnya menjelang
subuh. Dengan begitu tidak ada mulut akan bersih dari sisa-sisa makanan.
 Bila memutuskan menyikat di siang hari (saat berpuasa):
1. Maka menyikatlah dengan perlahan untuk menghindari gusi tergores dan berdarah. Jika
hal ini terjadi maka segera muntahkan darah tersebut.
2. Jika menggunakan pasta gigi, maka sebaiknya sedikit saja untuk menghindari risiko
tertelan.
3. Pelan-pelan dalam berkumur agar air tidak ikut masuk dalam rongga mulut

Demikianlah hukum menyikat gigi saat puasa berdasarkan pendapat ulama. Memang
tidak ada larangan ataupun fatwa yang mengatakan bahwa menyikat gigi membatalkan puasa.
Jadi bila kita ingin melakukannya diperbolehkan dengan catatan harus menyikat dengan pelan-
pelan agar air dan pasta gigi tidak ikut masuk dalam mulut. Sebagaimana hadist Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
َ َ‫ق ِإل أَ ْن ت َ ُكون‬
‫صائِ ًم‬ ِ ‫بَا ِل ْغ فِى‬
ِ ‫ال ْستِ ْنشَا‬
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali bila
engkau sedang berpuasa.
DAFTAR PUSTAKA

Houwink, B., dkk. 1993. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Al-majmu;iman an nabawi. Cetakan terakhir. 1995

repository.usu.ac.id

Notoatmodjo, S. 2004. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta

Kawuryan U. Hubungan pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut dengan kejadian karies gigi
anak. 2008 [dikutip 21 Mei 2011]

Riyanti E, Saptarini R. Upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut melalui perubahan perilaku anak.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran. 2009

Nismal H.Islam dan Kesehatan Gigi.Pustaka Al- kautsar

Kumpulan Hadist Shahih Bukhari Muslim

Kumpulan Hadist Shahih Thirmidzi

Azwar, Azrul. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: P.T Mutiara Sumber Widya

Anda mungkin juga menyukai