Anda di halaman 1dari 10

Assalamualaikum wr.

Wb
Yang terhormat kepada Ustazah Dewi..
Yang terhormat juga kepada ustazah mauri rasma…
Terima kasih kepada moderator yg telah memberikan kesempatan untuk menyampaikan beberapa
mauidhah untuk kita semua tentang bahayanya pornografi dalam pandangan hukum islam. Pada dasarnya
ini hanya mereview saja diantara kita, dan tidak ada yg berbeda di antara kita, tidak ada yg lebih mulia di
antara kita baik yg berbicara mau yg mendengar hanya ketaqwaanlah yg membuat seseorang itu mulia.
‫إن اكرممك عند هللا اتفامك‬
Hanya saja saling mengingatkan itu perintah dalam agama
‫وتوا صوا ابحلق تواصوا ابلصرب‬
Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran...
‫ادلين النصيحة‬
Agama itu adalah nasehat...

Menjadi mukmin yg kuat dalam ketaqwaan itu sebuah keharusan dan kewajiban, Karena sekuat dan
seketat apapun aturan syariat islam yang di terapkan akan selalu mencari celah dan jalan bagi orang yang
belum bertaqwa. Padahal konsep tatanan orang islam itu terkhususnya kita aceh

‫عش كرميا او مت شهيدا‬

Hidup mulia, mati syahid

Mulia dengan syariat islam serta menerapkan nilai-nilai islami di setiap lini kehidupan Ataupun mati
syahid, Yang artinya siap mati membela agama dan Negara bila sewaktu datang nya kembali penjajahan.
Konsep seperti itulah yang harus ditanamkan di benak generasi-generasi islam selanjutnya karena islam
tidak akan hilang di muka bumi tapi tidak ada jaminan islam akan selalu ada di bumi Aceh.

Dengan kemajuan zaman sekarang dari zamanya digital hingga virtual ini menjadi bergesernya nilai-nilai
islam dan masuknya nilai serta budaya non islam hingga generasi kita sekarang dengan mudahnya meniru
dengan tanpa sadar bahwa meraka sedang digiring menuju kesesatan yang nyata.
َ ‫لَهُ ْم َّن اهَّلل َ َخبِريٌ ِب َما ي َ ْصنَ ُع‬
‫ون‬ ‫قُل ِل ّلْ ُمْؤ ِم ِن َني يَغُضُّ وا ِم ْن َأبْ َص ِارمِه ْ َوحَي ْ َف ُظوا فُ ُروهَج ُ ْم َذكِل َ َأزْ ىَك‬
‫ِإ‬
..… ‫يُ ْب ِد َين ِزينَهَت ُ َّن اَّل َما َظه ََر ِمهْن َا‬ ‫ات يَغْضُ ضْ َن ِم ْن َأبْ َصا ِر ِه َّن َوحَي ْ َف ْظ َن فُ ُروهَج َُّن َواَل‬
ِ َ‫َوقُل ِل ّلْ ُمْؤ ِمن‬
‫ِإ‬
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur : 30 – 31)

Kita lihat dari segi penafsiran ayat tersebut di dalam tafsir qurthubi ataupun tafsir ibnu katsir bahwa
menjaga pandangan dari pada hal yang dilarang dan diharamkan adalah sebuah perintah dari Allah SWT.
Namun tidak semua pandangan yang Allah larang namun ada yang di bolehkan, dalam ayat ini kalau kita
tinjau dari bahasa itu menggunakan min tabghidh yaitu sebagian saja karena pandangan tidak bisa
dimiliki sepenuhnya sedangkan pada kemaluan Allah tidak menggunakan Min tabghid karena dimiliki.

Halaman 184 cetakan darul kutub Lebanon

‫ َو َه َذا‬.‫ فََأ َم َريِن َأ ْن َأرْص ِ َف بَرَص ِ ي‬،‫ َسَألْ ُت َر ُسو َل اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َع ْن ن َْظ َر ِة الْ ُف َجا َء ِة‬:‫َويِف حَص ِ ي ِح ُم ْسمِل ٍ َع ْن َج ِري ِر ْب ِن َع ْب ِد اهَّلل ِ قَا َل‬
َ ‫ ْذ ُوقُو ُعهَا اَل ي َ َتَأىَّت َأ ْن يَ ُك‬،‫ َأِل َّن النَّ ْظ َر َة اُأْلوىَل اَل تُ ْمكَل ُ فَاَل تَدْ خ ُُل حَت ْ َت ِخ َط ِاب تَلْك ِ ٍيف‬،‫ َّن" ِم ْن" ِللتَّ ْب ِع ِيض‬:‫ول‬
‫ون‬ ُ ‫ي ُ َق ِّوي قَ ْو َل َم ْن ي َ ُق‬
‫ِإ‬ ‫ِْإ‬
ُ ‫ َأِلهَّن َا تُ ْمكَل‬،ِ‫ َول َ ْم ي َ ُق ْل َذكِل َ يِف الْ َف ْرج‬، َ ‫ فَ َو َج َب التَّ ْب ِع ُيض ذِل َ كِل‬،‫ون ُملَك َّ ًفا هِب َا‬
ُ ‫ون ُمكت َ َس َب ًة فَاَل يَ ُك‬
ُ ‫ فَاَل تَ ُك‬،‫َم ْق ُصودًا‬
‫ َوغَضُّ ُه َواجِ ٌب‬،ُ‫ب التَّ ْح ِذ ُير ِمنْه‬Œَ ‫ َو َو َج‬.‫وط ِم ْن هِج َ ِت ِه‬ ُّ َ ‫ َوحِب َ َس ِب َذكِل َ َكرُث‬،‫ر ُط ُر ِق الْ َح َو ِّاس ِإ ل َ ْي ِه‬Œُ َ ‫ َوَأمْع‬،‫الْ َقلْ ِب‬
ُ ‫الس ُق‬ ‫اب اَأْل ْكرَب ُ ىَل‬
ُ ‫الْ َبرَص ُ ه َُو الْ َب‬
‫ِإ‬
ِ ‫َما خُي ْىَش الْ ِف ْتنَ ُة ِم ْن َأ ْجهِل‬ ِّ ‫ َولُك‬،‫ات‬ ِ ‫َع ْن مَج ِ يع ِ الْ ُم َح َّر َم‬

“Penglihatan adalah pintu terbesar menuju hati dan indera Tercepat untuk sampai kesana. Oleh karena
itu, banyak terjadi kesalahan akibat penglihatan. Selain itu,penglihatan harus diwaspadai, dan
menahannya dari hal-hal yang diharamkan dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah.”

)‫ (اَل تُتْ ِبع ِ النَّ ْظ َر َة النَّ ْظ َر َة فَ ن َّ َما كَل َ اُأْلوىَل َولَي َْس ْت كَل َ الثَّا ِن َي ُة‬: ٍّ ‫َوقَا َل َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ ِل َعيِل‬
‫ِإ‬
Juz 12 hal 223.

٣٠( ‫ون‬ َ ‫ُقلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ يَغُضُّ وا ِم ْن َأبْ َصا ِرمِه ْ َوحَي ْ َف ُظوا فُ ُروهَج ُ ْم َذكِل َ َأ ْزىَك لَهُ ْم َّن اهَّلل َ َخبِريٌ ِب َما ي َ ْصنَ ُع‬
‫ِإ‬
‫ َوَأ ْن يَغُضُّ وا‬، )٨( ‫ فَاَل ي َ ْن ُظ ُروا اَّل ىَل َما َأاَب َح لَه ُُم النَّ َظ َر ل َ ْي ِه‬،‫ه ََذا َأ ْم ٌر ِم َن اهَّلل ِ تَ َعاىَل ِل ِع َبا ِد ِه الْ ُمْؤ ِم ِن َني َأ ْن يَغُضُّ وا ِم ْن َأبْ َص ِارمِه ْ مَع َّا َح َّر َم عَلَهْي ِ ْم‬
‫ِإ‬ ‫ِإ ِإ‬
‫ ِم ْن‬،‫ اَمَك َر َوا ُه ُم ْسمِل ٌ يِف حَص ِ ي ِح ِه‬،‫ فَلْ َيرْص ِ ْف بَرَص َ ُه َع ْن ُه رَس ِ ي ًعا‬،‫حرم ِم ْن غَرْي ِ قَ ْص ٍد‬ َّ ‫ فَِإ ِن ات َّ َف َق َأ ْن َوقَ َع الْ َبرَص ُ عَىَل ُم‬،‫) َأبْ َص َارمُه ْ َع ِن الْ َم َحا ِر ِم‬٩(
:‫ قَا َل‬،ُ‫ َريِض َ اهَّلل ُ َع ْنه‬، ُّ ‫ َع ْن َج ِّد ِه َج ِري ِر ْب ِن َع ْب ِد اهَّلل ِ الْ َب َجيِل‬،‫ ْب ِن مَع ْ ِرو ْب ِن َج ِري ٍر‬Œ‫ َع ْن َأيِب ُز ْرعَة‬،‫ َع ْن مَع ْ ِرو ْب ِن َس ِعي ٍد‬،‫يث يُون ُ َس ْب ِن ُع َبيد‬ ِ ‫َح ِد‬
.‫رصف بَرَص ي‬ َ ‫ فََأ َم َريِن َأ ْن أ‬،‫ َع ْن ن َْظ َر ِة الْ َف ْجَأ ِة‬، َ ‫َسَألْ ُت النَّيِب َّ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل‬
Juz 6 hal 41

Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazzi dalam Fathul Qarib menguraikan batasan aurat laki-laki dan
perempuan, sekaligus ketentuan dalam menjaga pandangan di antara keduanya.

Menurutnya, pandangan laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya tidak terlepas dari tujuh keadaan.
Tujuh keadaan tersebut memiliki batasan aurat dan ketentuan hukum masing-masing. (Lihat Fathul Qarib,
halaman 43).

Pertama, pemandangan laki-laki kepada perempuan bukan mahram tanpa ada kebutuhan. Dijelaskan
dalam Hasyiyatul Baijuri, maksudnya adalah laki-laki dewasa, tua renta, remaja, dan anak usia pubertas
kepada perempuan dewasa, gadis remaja, atau anak-anak perempuan yang sudah diinginkan. Hukumnya
tidak diperbolehkan meski tidak disertai syahwat dan terhindar dari fitnah.

Jika disertai syahwat, maka ia termasuk kepada zina mata, berdasarkan hadits riwayat Ahmad, “Setiap
mata pasti berzina.” Dijelaskan Al-Munawi, maksud mata yang berzina dalam hadits tersebut adalah mata
yang dipergunakan untuk melihat perempuan yang bukan mahram dan disertai syahwat. Demikian yang
diungkap Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi.

‫ري‬ŒŒ‫ أحدها نظره) ولو اكن شيخا هرما عاجزا عن الوطء (إىل أجنبية لغري حاجة) إىل نظرها (فغ‬:‫ونظر الرجل إىل املرأة عىل سبعة أرضب‬
.‫جائز)؛ فإن اكن النظر حلاجة كشهادة علهيا جاز‬
Artinya, “Pandangan laki-laki kepada perempuan terbagi menjadi tujuh bentuk (keadaan). Pertama,
pandangan laki-laki, walaupun dia sudah tua, pikun, dan tidak mampu bersenggama kepada perempuan
yang bukan mahram, maka hukumnya tidak boleh. Namun, jika pandangan karena suatu kebutuhan
seperti mencari bukti darinya maka hukumnya boleh. (Lihat Syekh Ibrahim, Hasyiyatul Baijuri, jilid II,
halaman 96).

Sedangkan pandangan laki-laki kepada anak perempuan yang belum diinginkan ‫ عن وطىء‬hukumnya
diperbolehkan. Meski demikian, bagian kemaluannya tetap tidak boleh dilihat, begitu pula kemaluan anak
laki-laki, kecuali bagi ibu yang menyusui dan mengasuhnya.

Selanjutnya, pandangan laki-laki kepada perempuan tua tetap diharamkan meski sudah tidak diinginkan,
begitu pula berkhalwat atau berduaan dengannya.

Adapun pandangan laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada perempuan tak banyak disinggung
para ulama. Sebab, masing-masing boleh saling melihat selama tidak disertai syahwat kecuali bagian
antara pusar dan lutut. Sedangkan bagian antara pusar dan lutut tetap diharamkan walaupun tidak disertai
syahwat.

Ini artinya, bila disertai syahwat, jangankan kepada perempuan, sesama jenis, atau hewan, hatta kepada
benda mati sekalipun, seperti patung, lukisan, tayangan, tumbuhan, atau tiang rumah, juga tidak
diperbolehkan. Ketentuan ini dijelaskan para ulama, bukan mempersulit manusia, melainkan semata
menutup rapat pintu kemudharatan.

Ketidak bolehan itu berdasarkan ayat yang menyatakan, “Katakanlah kepada kaum laki-laki beriman,
‘Hendaklah mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluannya,”’ (Surat An-Nur ayat 30). Perintah
dalam ayat di atas tidak hanya berlaku bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan. Bahkan, perintah untuk
perempuan disampaikan secara terpisah dalam ayat selanjutnya.

‫ُوجه َُّن‬ ْ َ‫ار ِه َّن َويَحْ ف‬


َ ‫ظنَ فُر‬ ِ ‫َوقُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنَا‬
َ ‫ت يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن أب‬
ِ ‫ْص‬
Artinya, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluannya,” (Surat An-Nur ayat 31).

Dalil dari sunnahnya adalah apa yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap Al-Fadhl bin ‘Abbas.
Rasulullah SAW memalingkan wajah Al-Fadhl yang tengah memandang seorang perempuan Al-
Khats’amiyyah yang berparas cantik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Sunan-nya.

Rasulullah melakukan itu semata menjauhkan fitnah dan godaan setan di antara keduanya. (Lihat Imam
Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, jilid IX, halaman 35).

Kedua, saling memandang antara suami dan istri. Masing-masing boleh memandang seluruh bagian
tubuh, termasuk bagian kemaluan. Hanya saja, menurut pendapat paling sahih, meski diperbolehkan,
melihat kemaluan dibolehkan disertai makruh, begitu pula setelah meninggal. Selama tanpa syahwat,
bagian antara pusar dan lutut pun diperbolehkan. Ini menurut pendapat yang mu‘tamad.

‫ه‬ff‫ذا وج‬ff‫ أما الفرج فيحرم نظره؛ وه‬.)‫(والثاني نظره) أي الرجل (إلى زوجته وأمته؛ فيجوز أن ينظر) من كل منها (إلى ما عدا الفرج منهما‬
‫ واألصح جواز النظر إليه لكن مع الكراهة‬،‫ضعيف‬

Ketiga, pandangan laki-laki kepada perempuan mahram, baik mahram karena nasab, persusuan, maupun
karena pernikahan. Hukumnya dibolehkan melihat seluruh badan kecuali bagian antara pusar dan lutut
selama tidak disertai s yahwat.

Sementara bila disertai syahwat, hukumnya haram meskipun selain bagian antara pusar dan lutut. Hal ini
berlaku juga bagi perempuan kepada mahramnya.

‫ا‬ff‫ أم‬.)‫ة‬ff‫ فيجوز) أن ينظر (فيما عدا ما بين السرة والركب‬،‫والثالث نظره إلى ذوات محارمه) بنسب أو رضاع أو مصاهرة (أو أمته المزوَّجة‬
.‫الذي بينهما فيحرم نظره‬

Keempat, pandangan laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya. Hukumnya diperbolehkan
meskipun tidak diizinkan oleh si perempuan atau walinya, dan melihatnya disertai dengan syahwat dan
takut fitnah. Dalam hal ini, izinnya cukup dari agama untuk melihat wajah asli calon istrinya.

Hanya saja bagian yang boleh dilihat hanya bagian wajah dan kedua telapak tangan (termasuk luar dan
dalam) meski melihatnya dilakukan berulang-ulang jika memang dibutuhkan. Sementara, bila satu kali
saja dianggap cukup, maka mengulanginya tidak diperbolehkan.

‫اهرا‬ff‫ا ظ‬ff‫ه والكفين) منه‬ff‫ ُر (إلى الوج‬f‫(والرابع النظر) إلى األجنية (ألجل) حاجة (النكاح؛ فيجوز) للشخص عند عزمه على نكاح امرأة النظ‬
‫ وينظر من األمة على ترجيح النووي عند قصد خطبتها ما ينظره من الحرة‬،‫وباطنا وإن لم تأذن له الزوجة في ذلك‬
Kelima, pandangan laki-laki kepada perempuan untuk kepentingan pengobatan. Dengan demikian,
seorang dokter diperbolehkan melihat bagian tubuh pasien perempuan yang akan diobati, termasuk bagian
kemaluannya. Namun, dengan catatan, pengobatan dilakukan di hadapan suami, mahram, atau perempuan
terpercaya. Tentunya pemeriksaan oleh dokter laki-laki dilakukan setelah dokter perempuan tidak ada.

‫ك‬ff‫ون ذل‬ff‫ ويك‬.‫رج‬ff‫داواة الف‬ff‫(والخامس النظر للمداواة؛ فيجوز) نظر الطبيب من األجنبية (إلى المواضع التي يحتاج إليها) في ال ُمداواة حتى م‬
‫ وأن ال تكون هناك امرأة تُعالجها‬،‫بحضور محرم أو زوج أو سيد‬

Pengobatan seorang muslimah disayaratkan pula sedapat mungkin mendahulukan dokter laki-laki
muslim daripada dokter laki-laki non-muslim. Begitu pula dokter perempuan non-muslim didahulukan
daripada dokter laki-laki muslim. Hal serupa juga berlaku bagi dokter perempuan kepada pasien laki-
laki.

‫ون‬ŒŒ‫ ويك‬.‫رج‬ŒŒ‫داواة الف‬ŒŒ‫ىت م‬ŒŒ‫داواة ح‬ŒŒُ ‫اج إلهيا) يف امل‬ŒŒ‫ (إىل املواضع اليت حيت‬Œ‫قوهل (واخلامس النظر للمداواة؛ فيجوز) نظر الطبيب من األجنبية‬
‫ وأن ال تكون هناك امرأة تُعاجلها‬،‫ذكل حبضور حمرم أو زوج أو سيد‬
Artinya, “Kelima melihat untuk mengobati. Hukumnya boleh dokter laki-laki melihat perempuan bukan
mahram kepada bagian-bagian yang perlu diobati, hingga mengobati kemaluannya. Dengan catatan,
pengobatan itu dilakukan di hadapan mahram, suami, atau tuan pemilik. Dan di sana tidak ada perempuan
yang bisa mengobati.” (Lihat Syekh Ibrahim, Hasyiyatul Baijuri, jilid II, halaman 96).

Keenam, pandangan laki-laki terhadap perempuan dalam bermuamalah atau mencari bukti perkara. Pada
saat muamalah, seperti jual beli, sewa-menyewa, laki-laki boleh melihat perempuan, tetapi hanya kepada
wajahnya, sebagaimana disebutkan Al-Mawardi.

Adapun pada saat memberi kesaksian, seorang laki-laki boleh melihat apa saja yang dibutuhkan, termasuk
bagian kemaluan. Contohnya saat membuktikan bahwa si perempuan telah berzina, korban rudal paksa,
atau persalinan.

‫هادتُه‬ff‫ و ُر َّدت ش‬،‫ق‬ff‫هادة فس‬ff‫ير الش‬ff‫ر لغ‬ff‫د النظ‬ff‫إن تعم‬ff‫(والسادس النظر للشهادة) عليها فينظر الشاهد فرجها عند شهادته بزناها أو والدتها؛ ف‬
.f‫ (إلى الوجه) منها (خاصة) يرجع للشهادة وللمعاملة‬:‫ وقوله‬.‫(أو) النظر (للمعاملة) للمرأة في بيع وغيره؛ (فيجوز النظر) أي نظره لها‬

Termasuk ke dalam muamalah adalah mengajar. Guru laki-laki dibolehkan melihat murid perempuan
selama aman dari fitnah. Ini pendapat yang mu‘tamad atau dipedomani, kendati Imam Subki cenderung
mengkhususkan kebolehan itu pada sesuatu yang wajib dan fardhu ‘ain dipelajarinya, seperti belajar Surat
Al-Fatihah atau praktik ibadah wajib lainnya yang sulit dipelajari di balik hijab.

Ketujuh : Pandangan kepada Budak laki/perempuan ketika membeli

‫ ال‬،‫( والسابع النظر إلى األمة عند ابتياعها) أي شرائها؛ (فيجوز) النظر (إلى المواضع التي يحتاج إلى تقليبها)؛ فينظر أطرافه ا وش عرها‬
.‫عورتها‬

Pembagian Mahram :

1 . Mahram Muabbad
mahram muabbad (permanen) adalah wanita yang haram dinikah selama-lamanya, bagaimana pun situasi
dan keadaannya. Mahram muabbad sendiri disebabkan oleh tiga hal: kekerabatan, perkawinan, dan
persusuan.

a. Mahram sebab Keturunan

‫ات اُأْلخ ِْت َوُأ َّمهَاتُمُك ُ الاَّل يِت َأ ْرضَ ْعنَمُك ْ َوَأخ ََواتُمُك ْ ِم َن‬ ُ َ‫ات اَأْلخِ َوبَن‬ ُ َ‫ َوبَن‬Œْ ‫ُح ِّر َم ْت عَلَ ْيمُك ْ ُأ َّمهَاتُمُك ْ َوبَنَاتُمُك ْ َوَأخ ََواتُمُك ْ َومَع َّاتُمُك ْ َو َخااَل تُمُك‬
ْ ‫ورمُك ْ ِم ْن ِن َساِئمُك ُ الاَّل يِت َد َخلْمُت ْ هِب ِ َّن فَ ْن لَ ْم تَ ُكون ُوا َد َخلْمُت ْ هِب ِ َّن فَاَل ُجنَ َاح عَلَ ْيمُك‬
ِ ‫َات ِن َساِئمُك ْ َو َراَب ِئ ُبمُك ُ الاَّل يِت يِف ُح ُج‬ ُ ‫َّالرضَ اعَ ِة َوُأ َّمه‬
‫ِإ‬
]23 :‫ورا َر ِحميًا [النساء‬ ًُ َ‫َو َحاَل ِئ ُل َأبْنَاِئمُك ُ اذَّل ِ َين ِم ْن َأ ْصاَل ِبمُك ْ َوَأ ْن جَت ْ َم ُعوا بَنْي َ اُأْل ْختَنْي ِ اَّل َما قَدْ َسلَ َف َّن اهَّلل َ اَك َن غ‬
‫ف‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-
saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. an-Nisa (4): 23]

Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang yang termasuk mahram, yaitu yang tidak
boleh dinikahi dengan sebab keturunan ada tujuh golongan, yaitu:

1. Ibu, ibunya ibu (nenek), ibunya ayah (nenek), ibunya nenek (buyut), hingga terus ke atas.

2. Anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki (cucu), anak perempuan dari anak perempuan
(cucu), anak perempuan dari cucu (cicit), hingga terus ke bawah.

3. Saudara perempuan, baik seayah-seibu, seayah, maupun seibu.

4. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan), baik saudara seayah-seibu, seayah, atau seibu.

5. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), baik saudara seayah-seibu, seayah, atau seibu.

6. Saudara perempuan ayah (bibi), bibinya ayah, bibinya kakek, hingga terus ke samping

7. Saudara perempuan ibu (bibi), bibinya ibu, bibinya nenek, hingga terus ke samping.

(Lihat: Dr. Mustafa al-Khin, Dr. Mustafa al-Bugha, ‘Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-
Imam al-Syafi‘i, Damaskus: Darul Qalam, 1992, jilid 4, hal. 25).
B. Mahram Sebab Perkawinan

1. Istri ayah (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri), dan terus ke atas, dengan catatan sang ayah atau sang kakek
telah bergaul suami-istri dengannya.

2. Istri anak (menantu), istri cucu, hingga terus ke bawah, walaupun sang anak atau cucu baru sekadar
akad dan belum bergaul suami-istri. Berbeda jika status “anak” atau “cucu” tersebut adalah anak angkat.
Sehingga boleh hukumnya menikah dengan mantan istri anak angkat

3. Ibu istri (mertua), nenek istri, hingga terus ke atas, walaupun baru sekadar akad nikah dengan anaknya
belum bergaul suami-istri.

4. Anak perempuan istri (anak tiri), anak perempuan dari anak tiri (cucu tiri), dengan catatan ibu si anak
tersebut telah dicampuri.

C. Mahram Sebab Susuan

Mahram sebab Susuan sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian.

ِ ‫اع َما يَحْ ُر ُم ِم ْن النَّ َس‬


‫ب‬ َ ‫يَحْ ُر ُم ِمنَ الر‬
ِ ‫َّض‬
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Persusuan itu mengharamkan apa yang haram
karena kelahiran,” (HR al-Bukhari dan Muslim).

‫ال‬
ِ ‫ص‬َ ِ‫ك بَلْ الَ بُ َّد ِم ْن ا ْنف‬
َ ِ‫ْس َك َذل‬ ِ ‫ص َل اللَّبَنُ ِمنَ الثَّ ْد‬
َ ‫ي َد ْف َعةً َوا ِح َدةً َولَي‬ َ َ‫ت َولَ ِو ا ْنف‬ َ ‫ار ِة َأنَّهُ يَ ْكفِ ْي ُوصُوْ ُل اللَّبَ ِن ْال َجوْ فَ خَ ْم‬
ٍ ‫س َمرَّا‬ َ َ‫ثُ َّم َأ َّن ظَا ِه َر ْال ِعب‬
‫اللَّبَ ِن خَ ْمسًا َو ُوصُوْ لِ ِه ْالجَوْ فَ خَ ْمسًا‬

“Lalu makna lahiriah teks Fath al-Mu’in menyatakan (persusuan yang menjadikan hubungan mahram) itu
cukup dengan sampainya air susu perempuan yang menyusui ke dalam perut anak yang disusui lima kali
tahapan, meskipun air susu tersebut keluar dari tetek (payudara) sekali tahapan (saja). Dan yang benar
bukan seperti itu. Namun air susu itu harus keluar dari tetek lima kali tahapan dan sampai ke perut anak
yang disusui lima kali tahapan pula. (Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah ath-Thalibin, Mesir-at-
Tijariyah al-Kubra, tt, juz, 3, h. 287

ِ ْ‫ت َأ ْن تُر‬
‫ض َع‬ ِ ‫ض َعا‬ ُ ‫ت ُكلُّه َُّن فِي ْال َحوْ لَ ْي ِن قَا َل َوتَ ْف ِري‬
َ ‫ق ال َّر‬ ٍ ‫ت ُمتَفَ َّرقَا‬ ٍ ‫اع ِإاَّل خَ ْمسُ َرضْ َعا‬ َ ‫ " َواَل ي َُح ِّر ُم ِمنَ الر‬:‫قَا َل الشافعي رضي هللا عنه‬
ِ ‫َّض‬
َ ُ َ ْ َ
‫ص َل ِإلى َجوْ فِ ِه َما ق َّل ِمنهُ َو َما كث َر ف ِه َي رضعة‬ َ َّ ‫َأ‬ َ َّ ْ
َ ‫ض َع فِي َم َّر ٍة ِمنهُن َما يُ ْعل ُم نهُ َو‬ َ
َ ‫ك فِإذا َر‬ َ َ ِ‫ض َع ثُ َم تَ ْقطَ َع َك َذل‬ َ ‫ْال َموْ لُو َد ثُ َّم تَ ْقطَ َع الر‬
ِ ْ‫َّضا َع ثُ َّم تُر‬

Kaitan ini, al-Syafi‘i mempersyaratkan, seorang anak menjadi mahram manakala anak tersebut telah
menyusu sebanyak lima kali secara terpisah dan dalam usia kurang dari dua tahun. (Lihat: al-Mawardi, al-
Hâwi al-Kabîr fî Fiqh Madzhab al-Imam al-Syafi‘i, Darul Kutub: Beirut, 1999, jilid 11, hal. 369).

2. Mahram Muaqqat

Adapun mahram muaqqat atau sementara adalah perempuan-perempuan yang haram dinikah karena
sebab tertentu. Bila sebabnya hilang, maka hilang pula keharamannya. Mereka adalah:

Adik/kakak ipar. Artinya, tidak boleh menikah dengan seorang perempuan sekaligus menikahi
saudaranya dalam waktu bersamaan, baik bersaudara karena nasab maupun bersaudara karena persusuan,
baik dalam satu akad maupun dalam akad yang berbeda. Jika pernikahannya dilakukan dalam satu waktu,
maka batallah pernikahan keduanya. Namun, jika pernikahannya dilakukan dalam waktu yang kedua,
maka batallah pernikahan yang kedua. Kecuali jika perempuan yang pertama meninggal atau setelah
dicerai lalu habis masa iddahnya, maka saudara perempuanya boleh dinikah.

Bibi istri. Alasannya, tidak boleh menikahi seorang perempuan sekaligus dengan bibinya atau dengan
keponakannya.

Perempuan yang kelima. Artinya, tidak boleh seorang laki-laki menikahi perempuan yang kelima sebab ia
sudah menikahi empat perempuan. Kecuali jika salah seorang dari yang empat meninggal dunia atau
dicerai.

Perempuan musyrik penyembah berhala, yaitu perempuan yang tidak memiliki kitab samawi (Taurat dan
Injil). Namun, bila perempuan itu memiliki kitab samawi atau perempuan itu sudah memeluk Islam, maka
ia boleh dinikah.

Perempuan bersuami. Tidak boleh seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang bersuami
dan masih dalam ikatan perkawinannya. Namun, bila suaminya meninggal dunia atau menceraikannya
dan masa iddahnya sudah habis, maka boleh dinikah.

Perempuan yang masih menjalani masa iddah, baik dari iddah wafat maupun iddah cerai. Setelah masa
iddahnya habis, maka ia boleh dinikah.

Perempuan yang telah ditalak tiga. Tidak halal bagi seorang suami merujuk atau menikahi kembali
istrinya yang telah ditalak tiga, sampai istrinya itu dinikah oleh laki-laki lain (muhallil) dengan
pernikahan yang sah dan sesuai syariat. Kemudian, suami kedua atau muhallil itu menceraikannya dan
masa iddah si istri darinya telah habis. Jika itu sudah terpenuhi, maka suami pertama boleh menikahinya
kembali dengan akad yang baru. (Lihat: Dr. Mustafa al-Khin, Dr. Mustafa al-Bugha, ‘Ali al-Syarbaji, al-
Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi‘i, Damaskus: Darul Qalam, 1992, jilid 4, hal. 25-33).

Dalam kitab-kitab yang lain, mahram muaqqat ditambah dengan perempuan yang sedang ihram hingga
selesai ihramnya, dan perempuan pezina hingga bertobat dari zinanya.

Di samping itu, pada dasarnya setiap orang tidak dilarang berduaan dengan mahramnya, namun akan
lebih baik jika dia mengusahakan untuk tidak pernah berduaan dalam suatu kamar, khususnya dengan
mahram mu’aqqat (ipar atau bibi istri) untuk suatu hal yang tidak penting, demi menyelamatkan diri dari
fitnah.

Batasan Aurat Laki-Laki dan perempuan

Pendapat Mazhab Syafi’i Radhiallahu ‘anhu

Sehubungan dengan pendapat mazhab Syafi’i, pendapat yang paling populer di kalangan mazhab ini
menetapkan kedua telapak kaki atau kedua kaki sebagai ‘aurat wanita yang wajib ditutupi, sedangkan
wajah dan kedua telapak tangan bukan merupakan ‘aurat, namun wajib ditutupi jika wanita tersebut
mengkhawatirkan timbulnya fitnah atau ia mengetahui adanya pandangan kaum lelaki terhadapnya.
Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia ketika berada bukan
hanya di dalam shalat, namun juga di luar shalat. Juga aurat tersebut ditutup ketika bersendirian kecuali
jika dalam keadaan mandi.” (Fathul Qorib, 1: 115).

Adapun aurat wanita disinggung oleh Imam Nawawi yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak
tangan. (Al Majmu’, 3: 122). Juga disinggung beliau dalam Minhajuth Tholibin, 1: 188.

Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas adalah pendapat mayoritas ulama dan itulah
pendapat terkuat.

Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah, penyusun kitab Al Iqna’– menyatakan bahwa aurat wanita -
merdeka- adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan
bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan). Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,

‫َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَه َُّن ِإاَّل َما ظَهَ َر ِم ْنهَا‬

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An
Nur: 31). Yang dimaksud menurut ulama pakar tafsir adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan
kedua telapak tangan bukanlah aurat karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan.
(Lihat Al Iqna’, 1: 221).

Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan telapak tangan, termasuk dalam telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak
tangan. Adapun aurat wanita merdeka di luar shalat adalah seluruh tubuhnya. Ketika sendirian aurat
wanita adalah sebagaimana pria -yaitu antara pusar dan lutut-.” (Fathul Qorib, 1: 116).

Asy Syarbini berkata, “Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Termasuk telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak‫ القرطبى‬tangan, dari ujung jari hingga
pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

‫َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَه َُّن ِإاَّل َما ظَهَ َر ِم ْنهَا‬

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An
Nur: 31). Yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah tafsiran dari Ibnu
‘Abbas dan ‘Aisyah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 286).

Dalam Kitab Fashlul Khitab fi Mas’alatil Hijab wan-Niqab disebutkan pendapat tiga imam mazhab Islam
beserta redaksi pernyataan mereka berikut ini:

Pandangan ulama pengikut mazhab Hambali, antara lain dalam kitab al-mubdi’ syarh al-Muqni’ (hal. 359/
1): “Tubuh wanita dewasa (baligh) seluruhnya ‘aurat sampai kepada kukunya (meski) di selain waktu
shalat, kecuali wajah, karena ia bukanlah merupakan ‘aurat.”

Pandangan ulama mazhab Abu Hanifah, dalam Hasyiyah Abi Mas’ud (hal. 158/ 1) disebutkan bahwa,
“Tubuh wanita dewasa merdeka seluruhnya ‘aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan kakinya.”

Pandangan para ulama mazhab Maliki, dalam kitab Bulghat As-Salik (hal. 105/ 1) disebutkan,” ’Aurat
wanita di hadapan seorang laki-laki asing yang bukan muhrim-nya adalah (seluruh anggota tubuhnya)
selain wajah dan kedua telapak tangannya. Keduanya bukan merupakan ‘aurat meskipun wajib ditutupi
karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah jika keduanya dibiarkan terbuka.

Madzhab Maliki

Aurat laki-laki dan perempuan dalam shalat terbagi menjadi dua, yakni aurat mugalazah dan mukhafafah.
Adapun aurat mugalazah bagi laki-laki adalah dubur dan qubul, sedangkan aurat mukhofafah adalah
bagian tubuh antara pusar hingga lutut yang selain dubur dan qubul.

Aurat mugalazah bagi perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah, telapak tangan, ujung-ujung
badan (seperti kepala, tangan dan kaki), dada dan bahu. Sedangkan aurat mukhafafah yaitu pundak,
pergelangan tangan, leher, kepala dan kaki bagian lutut hingga ujung kaki. Adapun wajah dan telapak
tangan, baik atas maupun bawah bukanlah aurat secara mutlak.

Menurut madzhab Maliki, aurat mugalazah wajib ditutup ketika shalat, jika terbuka maka batal lah
shalatnya. Sedangkan aurat mukhafafah jika terbuka seluruhnya atau sebagian maka tidak membatalkan
shalat, tetapi makruh hukumnya jika dibuka. Dan lebih baik (mustahab) untuk mengulang shalatnya jika
aurat mukhafafah terbuka.

‫ َو َسٓا َء َسبِياًل‬fً‫ُوا ٱل ِّزن ٰ َٓى ۖ ِإنَّهۥُ َكانَ ٰفَ ِح َشة‬


۟ ‫“ َواَل تَ ْق َرب‬Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra 32)

sebagai upaya meredam laju pornografi dan pornoaksi, sedikitnya tiga sektor berikut harus diberdayakan.

Pertama, peran individu yang bertakwa.

Kedua, peran masyarakat. Para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, dan komponen-komponen lainnya yang
ada di masyarakat

Ketiga, peran negara

Anda mungkin juga menyukai