Anda di halaman 1dari 9

Makalah ASWAJA

“Makna Thaharah dan Sejarah Pensyariatan Wudhu”

Kelompok 1
Alindra Ayyubi (21420002)
Andhika Prasetya Aji (21420005)

Program Studi Sistem Informasi


FAKULTAS ILMU KOMPUTER
TAHUN 2022
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk bekerja sama untuk menyelesaikan
makalah ini. dimana makalah ini merupakan salah satu dari tugas mata kuliah yaitu
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH Tidak lupa Penulis ucapkan terimakasih kepada dosen
pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan .

Oleh sebab itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga
dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.
Demikianlah yang kami dapat paparkan dalam makalah ini kalau ada kata yang kurang
mohon di maafkan sekian dan terima kasih.

Sidoarjo, 10 Oktober 22
Kelompok 1
Daftar Isi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................................1
Daftar Isi................................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulis.......................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................................4
Panduan Memahami Makna Thaharah................................................................................................4
2.1. Makna Thaharah........................................................................................................................4
2.2. Kebersihan/kesucian Bagian dari Iman.....................................................................................5
Sejarah Pensyariatan Wudhu...............................................................................................................6
BAB III....................................................................................................................................................8
PENUTUP...............................................................................................................................................8
3.1. KESIMPULAN..............................................................................................................................8
3.2. SARAN........................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................9
BAB I
1.1 Latar Belakang
Pada kali ini telah dibentuk sebuah kelompok yang beranggotakan 2 mahasiswa untuk
memenuhi persyaratan pembelajaran dengan membuat sebuah makalah mengenai “Makna
Thaharah dan Sejarah Pensyariatan Wudhu” sebagai penilaian mata kuliah AHLUSSUNNAH
WAL JAMAAH.

Tidak jarang terdengar akan mengenai bersuci diri/Thaharah, mata kuliah ini bertujuan
mengkaji akan materi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Menjelaskan mengenai makna dari Thaharah serta mengulas sedikit sejarah pensyariatan
wudhu.

1.3 Tujuan Penulis


Makalah ini bertujuan untuk memberitahu rekan-rekan yang membaca makalah kami agar
mengetahui dari makna Thaharah serta sejarah pensyariatan wudhu serta sebagai acuan
penilaian terhadap tugas kelompok mata kuliah AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
BAB II
Panduan Memahami Makna Thaharah
2.1. Makna Thaharah

Kata thahȗr, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas, maknanya adalah wudhu, dan thahârah asal
maknanya adalah al-nadhâfah (kebersihan) dan al-nazâhah (ketulusan, kesucian). Pengertian ini,
misalnya dikemukakan Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Bathâl al-Rakbî, dalam Syarh Gharîb al-
Muhadzdzab:

ُ‫ارةُ َأصْ لُهَا النَّظَافَةُ َوالنَّ َزاهَة‬


َ َ‫اَلطَّه‬

Thahârah asal maknanya adalah al-nadhâfah (kebersihan) dan al-nazâhah (ketulusan, kesucian). (al-
Syaikh al-Imâm Abȗ Ishâq Ibrâhim bin ‘Alî bin Yȗsȗf al-Fairuzabâdî, al-Muhadzdzab, Surabaya: Al-
Hidayah, t.t., juz I, h. 3).

Dikatakan bahwa thahara al-syai’u bi-al-fath wa-thahura bi-dhammi thahâratun fîhimâ (kata thahara
dan thahura, berarti thaharah, kebersihan dan kesucian). Dan firman Allah Taala:

...‫َاس‬
ِ ‫ َأيْ يَتَنَ َّزهُوْ نَ ِمنَ اَأْل ْدن‬، َ‫اِنَّهُ ْم اُنَاسٌ يَّتَطَهَّرُوْ ن‬

Artinya: ”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu menyucikan diri (dari perbuatan
keji).” (QS al-Naml [27]: 56), yakni menyucikan diri dari kotoran-kotoran/perbuatan keji. Ayat
tersebut lengkapnya:

َ‫اب قَوْ ِم ٖ ٓه ِآاَّل اَ ْن قَالُ ْٓوا اَ ْخ ِرجُوْٓ ا ٰا َل لُوْ ٍط ِّم ْن قَرْ يَتِ ُك ۙ ْم اِنَّهُ ْم اُنَاسٌ يَّتَطَهَّرُوْ ن‬
َ ‫فَ َما َكانَ َج َو‬

Artinya: ”Jawaban kaumnya tidak lain hanya dengan mengatakan, “Usirlah Luth dan pengikutnya
dari negerimu! Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu menyucikan diri (dari
perbuatan keji)” (QS al-Naml [27]: 56).

2.2. Kebersihan/kesucian Bagian dari Iman


Syaikhul Islam Imam al-Nawawî (631-673 H/1233-1277 M), dalam Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî
(juz II, h. 102), menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang makna”syathr al-îmân”,
kebersihan/kesucian itu bagian keimanan, dalam hadits di atas. Makna berikut ini saling berdekatan
dan saling melengkapi.

Pertama, anna al-ajra fîhi yantahî tadh‘îfahu ilâ nishf-i ajri al-îmân, pahala wudhu berlipat hingga
separuh pahala iman, --keimanan hakiki mencakup kebersihan (kesucian) batin dan zahir, dan wudhu
menyucikan zahir. Seluruh pekerti atau pilar keimanan baik perkataan maupun perbuatan adalah
untuk membersihkan dan menyucikan hati. Thaharah dengan air adalah khusus menyucikan dan
membersihkan badan (jasmani). Jadi, pilar keimanan ada dua: membersihkan (menyucikan) sesuatu
yang dhahir (jasmani), dan membersihkan (menyucikan) sesuatu yang bâthin (tidak tampak, ruhani).
Thaharah (wudhu) secara jelas membersihkan dan menyucikan sesuatu yang zahir, meski juga
mengandung pembersihan (pensucian) yang batin. Ini sejalan dengan hadis:

...﴾‫ضَأ فََأحْ سَنَ ْال ُوضُو َء َخ َر َج ْت َخطَايَاهُ ِم ْن َج َس ِد ِه َحتَّى ت َْخ ُر َج ِم ْن تَحْ ِت َأ ْظفَ ِار ِه‬ َ َ‫ع َْن ع ُْث َمانَ ب ِْن َعفَّانَ ؛ ق‬
َّ ‫ ﴿ َم ْن تَ َو‬:‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ ﷺ‬:‫ال‬

َ .
)‫(ر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬

Artinya: ”...Dari ‘Utsmân Bin ‘Affân r.a., ia berkata: ‘Rasulullah S.a.w. bersabda: ’Barangsiapa yang
berwudhu lantas membaguskan wudhunya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan (dosa-dosa kecil)
dari tubuhnya, bahkan keluar dari bawah ujung-ujung kukunya.” (HR Muslim, nomor 245)

Kedua, bersuci itu sebagian iman, maksudnya iman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya (besar
maupun kecil), demikian juga wudhu (menghapuskan dosa-dosa kecil), di mana wudhu tidaklah sah
tanpa disertai keimanan, sehingga ketergantungan wudhu pada keimanan itu dalam makna syathr
(separuh iman).

Ketiga, para ulama menyatakan bahwa thaharah adalah syarat sahnya shalat, sehingga thaharah itu
laksana sebagian (syathr). Arti syathr (sebagian) tidaklah mesti separuh secara hakiki (nishfan
haqîqiyyan). Ini merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran (aqrab al-aqâwil); dan bisa
jadi maknanya bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan kepatuhan dengan perbuatan zahir
(anna al-îmân tashdîq bi-al-qalb wa-al-inqiyâdu bi-al-dhâhir), keduanya merupakan dua bagian dari
iman, sedangkan thaharah itu mencakup shalat, yang shalat itu merupakan kepatuhan dalam
perbuatan zahir. Jadi, kata ”syatr al-îmân” (sebagian iman) berarti sebagian (syarat) shalat; iman
dalam konteks ini artinya shalat, syarat sahnya dengan wudhu. Hal ini sejalan dengan ayat:

...‫ َو َما َكانَ هّٰللا ُ لِي ُِض ْي َع اِ ْي َمانَ ُك‬....


Artinya: ”Dan tidaklah Allah menyia-nyiakan keimananmu” (QS al-Baqarah [2]: 143), yakni shalatmu.

Pandangan bahwa thaharah (wudhu) dapat menghapuskan dosa-dosa kecil itu sebagaimana
dikemukakan Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (773-852 H/1371-1449 M), ahli hadits berkebangsaan
Mesir: lahir di Fustat (ibukota Mesir pra-Kairo), wafat dan makamnya di Kairo. Ibn Hajar al-‘Asqalani,
dalam kitabnya Risâlat fî al-Khishâl al-Mukfirah li-al-Dzunûb al-Mutaqaddimah wa-al-
Muta’akhkhirah, sebagaimana juga dikutip Muhammad ‘Abd al-Ra’uf al-Munawi (952-1031 H/1545-
1621), juga berkebangsaan Mesir: lahir dan wafat di Kairo, dalam kitabnya Faidh al-Qadîr Syarh al-
Jâmi‘ al-Shaghîr, menyebutkan 16 (enam belas) pekerti (amalan, ibadah) yang dapat menghapuskan
dosa terdahulu dan dosa kemudian (mâ taqaddama wa-mâ ta’akhkhara), di antaranya adalah
menyempurnakan wudhu (isbâgh al-wudhû’). Hadânallâhu wa-Iyyâkum Ajma‘în.

Sejarah Pensyariatan Wudhu


Sebagai seorang muslim, kita tentu tahu bahwa berwudhu merupakan hal yang sangat penting.
Terdapat banyak sekali ibadah yang mensyariatkan wudhu, seperti shalat, tawaf, memegang mushaf,
dan lain sebagainya. Meski demikian, tidak banyak yang tahu kapan pertama kali wudhu disyariatkan
dalam Islam. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba memaparkannya.

Imam al-Qulyubi dalam kitab Hasyiyah Qulyubi wa ‘Umairah, j I, h. 51 menjelaskan tentang sejarah
pensyariatan wudhu sebagai berikut:

ْ‫ب َأو‬ َ ُ‫ َوقِي َل بَ ْع َد ِستَّةَ َعش ََر َش ْهرًا ِم ْن ْال ِهجْ َر ِة َولَ َعلَّهُ ْم َعلَى هَ َذا كَانُوا اَل ي‬،‫صاَل ِة‬
ِ ‫صلُّونَ إاَّل بِ ِه لَ ِك ْن َعلَى َسبِي ِل النَّ ْد‬ َّ ‫ض ال‬ ِ ْ‫ض َم َع فَر‬ َ ‫َوفُ ِر‬
‫النَّظَافَ ِة َأِلنَّهُ ِم ْن ال َّش َراِئ ِع ْالقَ ِدي َم ِة‬،

Artinya: “(wudhu) difardukan besertaan dengan difardukannya shalat, ada juga yang berpendapat
bahwa wudhu difardukan pada 16 bulan sesudah peristiwa hijrah. Jika mengacu pada pendapat ini,
maka kemungkinan para sahabat selalu shalat dengan wudhu dan itu hukumnya sunnah, atau
sekadar bersuci karena wudhu ini merupakan syariat umat terdahulu”.

Dari penjelasan diatas kita bisa pahami bahwa ada dua pendapat terkait kapan pertama kali wudhu
disyariatkan. Pendapat pertama menyatakan bahwa wudhu disyariatkan berbarengan dengan
pensyariatan shalat, yakni peristiwa isra’ dan mi’raj. Hal ini bisa dimaklumi karena memang wudhu
selalu identik dengan shalat. Peristiwa itu sendiri terjadi pada tahun ke-10 kenabian Muhammad
saw, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Muin, halaman 36:

‫وفرضت ليلة اإلسراء بعد النبوة بعشر سنين وثالثة أشهر ليلة سبع وعشرين من رجب ولم تجب صبح يوم تلك الليلة لعدم العلم‬

Artinya: “(shalat) difardhukan pada malam peristiwa Isra’, yakni 10 tahun lebih 3 bulan sesudah
kenabian, tepatnya pada tanggal 27 Rajab. Shalat subuh di hari tersebut belum difardhukan karena
belum adanya pengetahuan terkait tatacara pengerjaan shalat”.

Mengaca pada teks di atas, berarti wudhu disyariatkan berbarengan dengan pensyariatan shalat,
yakni pada saat shalat duhur tanggal 27 Rajab, yang merupakan pengerjaan shalat fardu pertama
dalam sejarah Islam.

Kembali pada teks al-Qulyubi, pendapat kedua menyebutkan bahwa wudhu disyariatkan pada 16
bulan sesudah peristiwa hijrah sehingga shalat yang dijalankan sejak peristiwa isra’ mi’raj hingga 16
bulan sesudah peristiwa hijrah tersebut tetap menggunakan wudhu namun hanya sekadar
kesunnahan belaka atau dalam rangka bersuci dan melestarikan syariat umat terdahulu. Al-Qulyubi
juga menjelaskan bahwa pada awalnya, wudhu senantiasa dilaksanakan setiap kali akan
melaksanakan shalat entah ia hadats atau tidak. Namun kemudian pada peristiwa perang khandaq
dinyatakan bahwa umat Islam hanya wajib berwudhu ketika sudah hadats kecil.

Pendapat terakhir sebagaimana disebutkan oleh Dr. Jawwad Ali dalam kitab Tarikh al-Shalat
menyebutkan bahwa wudhu disyariatkan jauh sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yakni ketika
malaikat Jibril memberikan pengajaran kepada Nabi tentang ibadah shalat. Terdapat hadits riwayat
Imam al-Baihaqi yang menjelaskan kejadian ini:

‫عن محمد بن إسحاق قال وكانت خديجة أول من آمن باهلل ورسوله وصدق بما جاء به قال ثم أن جبريل عليه السالم أتى رسول هللا‬
‫حين افترضت عليه الصالة فهمز له بعقبه في ناحية الوادي فانفجرت له عين من ماء مزن فتوضأ جبريل ومحمد عليهما السالم ثم‬
‫صليا ركعتين وسجدا أربع سجدات ثم رجع النبي قد أقر هللا عينه وطابت نفسه وجاءه ما يحب من هللا فأخذ بيد خديجة حتى أتى بها‬
‫العين فتوضأ كما توضأ جبريل ثم ركع ركعتين وأربع سجدات هو وخديجة ثم كان هو وخديجة يصليان سرا‬

Artinya: “Dari Muhammad ibn Ishaq berkata: bahwa Khadijah adalah orang pertama yang beriman
kepada Allah Swt. dan rasulnya dan meyakini kebenaran ajarannya. Kemudian, Jibril alaihi-s-salam
mendatangi Rasulullah Saw. ketika sudah (diturunkan perintah) diwajibkan shalat. Lalu, Malaikat
Jibril menekan tumitnya disalah satu sisi lembah, lalu memancurlah mata air dingin dan digunakan
oleh malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Saw. berwudhu, kemudian mereka berdua shalat dua
rakaat dan empat sujud. Setelahnya, Rasulullah Saw. pulang dan mata airnya itu dijadikan oleh Allah
tetap memancur, senanglah perasaan Rasulullah dan kembali kemata air itu bersama Khadijah untuk
melakukan shalat. Keduanya berwudhu seperti yang dilakukan Jibril, kemudian shalat dua rakaat dan
empat sujud secara sembunyi-sembunyi.” (HR. Al-Baihaqi)

Hadits di atas menyebutkan nama Ibunda Khadijah, berarti kejadian tersebut berlangsung pada saat
sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj, karena sebagaimana kita ketahui, peristiwa Isra’ Mi’raj sendiri
menyimpan hikmah sebagai sebuah pelipur lara bagi Nabi yang sedang kehilangan dua penyokong
utamanya, yakni Paman beliau Abu Thalib dan istri beliau, Khadijah. Demikian, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bis shawab.

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Melakukan Thaharah merupakan bagian dari keimanan.


2. Awal mula Sejarah Pensyariatan Wudhu terjadi pada 16 bulan sesudah peristiwa hijrah.

3.2. SARAN
Apabila dari segi penulisan terdapat kesalahan serta kekurangan dari penulis dimohon dengan
sangat untuk memberikan saran dan penambahan.
DAFTAR PUSTAKA
(Ustadz Ahmad Ali MD, 2022)

(Sahroji, 2022)

Anda mungkin juga menyukai