Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH AYAT 5-7

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir

Dosen Pengampu : Drs. Masran, M.Ag

Kelompok 3

Lezi Aulia (111805100000253)

Ahmad Raihan Ramadhan (1118051000263)

Muhammad Aufa Baskara (11180510000268)

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM 4-B

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya. Sehingga pada kesempatan ini penyusun dapat menyelesaikan makalah
ini. Makalah yang berjudul “Tafsir Surat Al-Fatihah ayat 5-7” ini disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Tafsir KPI 4B.

Penyusunan makalah ini dilakukan dengan sebaik-baiknya, tetapi penyusun


menyadari bahwa taka ada gading yang tak retak, begitu juga penyusunan makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun.

Pada kesempatan kali ini penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua


pihak yang telah membantu penyusun, baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu penyusun menyampaikan banyak
terimakasih.

Semoga Allah SWT senantiasa melipatgandakan balasan atas amal baik


mereka dengan rahmat dan nikmat-Nya. Akhirnya dengan segala kerendaan hati,
penyusun mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan di hati dan semoga
makalah ini bisa memberi manfaat bagi semua.

Ciputat, 20 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………. i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………


ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………...


1

LATAR BELAKANG ……………………………………………………………......


1

RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………. 2

TUJUAN …………………………………………………………………………...... 2

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………….


3

TAFSIR AYAT KELIMA SURAT AL-FATIHAH ………………………………….


3

TAFSIR AYAT KEENAM SURAT AL-FATIHAH ..……………………………….


4

TAFSIR AYAT KETUJUH SURAT AL-FATIHAH .……………………………….


7

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………...


11

KESIMPULAN ...…………………………………………………………...……… 11

SARAN ………………...…………………………………………………………... 11

DAFTAR PUSTAKA …..…………………………………………………………. 12


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al Qur’an adalah firman Allah SWT yang di turun kan kepada nabi
Muhammad secara berangsur-angsur selama 2 tahun 2 bulan 22 hari, dari nabi
Muhammad berumur 40 tahun sampai meninggal. Dari 6000 ayat yang di buka oleh
surah Al – afatihah yang di akhiri surah An – Nash.

Surah Al-Fatihah (bahasa Arab: ‫الفاتحة‬, translit. al-fātiḥah, har. 'pembukaan') adalah
surah pertama dalam al-Qur'an. Surah ini diturunkan di Mekah dan terdiri dari 7 ayat.
Al-Fatihah merupakan surah yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara
surah-surah yang ada dalam Al-Qur'an.

Surat Al-Fatihaah melengkapi unsur-unsur pokok syari'at Islam, kemudian dijelaskan


perinciannya oleh ayat-ayat Al-Quran yang 113 surat berikutnya.

Surah Al Fatihah memiliki 3 nama yaitu Al-Fatihah sebagai (Pembukaan), karena


dengan surah inilah dibuka dan dimulainya Al-Quran. Dinamakan Ummul Qur'an (‫أ ّم‬
‫رءان‬UU‫ ;الق‬induk al-Quran) atau Ummul Kitab (‫اب‬UU‫ ;أ ّم الكت‬induk Al-Kitab) karena dia
merupakan induk dari semua isi Al-Quran. Dinamakan pula As Sab'ul matsaany (‫السبع‬
‫اني‬UU‫ ;المث‬tujuh yang berulang-ulang) karena jumlah ayatnya yang tujuh dan dibaca
berulang-ulang dalam salat.

Al-Fatihah merupakan satu-satunya surah yang dipandang penting dalam salat. Salat
dianggap tidak sah apabila pembacanya tidak membaca surah ini. Maka dari itu
kalian harus memahami tafsir dari surah Al-fatihah
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana para ulama menafsirkan ayat kelima surat Al-Fatihah ?
2. Bagaimana para ulama menafsirkan ayat keenam surat Al-Fatihah ?
3. Bagaimana para ulama menafsirkan ayat ketujuh surat Al-Fatihah ?

C. Tujuan

Adapun tujuan kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas dalam
perkuliahan bagi kami khususnya dan semua mahasiswa pada umumnya supaya
mampu memahami Tafsir ayat 5-7 surat Al-Fatihah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tafsir ayat kelima Surat Al-Fatihah

ُ‫د َوإِيَّاكَ نَ ْستَ ِعين‬Uُ ُ‫ك نَ ْعب‬


َ ‫إِيَّا‬

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah


kami mohon pertolongan (QS. Al-Fatihah : 5)

Ini merupakan dalil yang menunjukan bahwa awal-awal surat al-Fatihah


merupakan pemberitahuan dari Allah yang memberikan pujian kepada diri-Nya
sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-
Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.

Dalam Sahih Muslim, diriwayatkan dari al-‘Ala bin Abdurrahman, dari


ayahnya dari Abu Hurairah ra, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

" ‫صاَل ةَ بَ ْينِي َوبَ ْينَ َع ْب ِدي نِصْ فَ ْي ِن فَنِصْ فهَا لِي َونِصْ فهَا لِ َع ْب ِدي َولِ َع ْب ِدي َما َسأ َ َل إِ َذا قَا َل ْال َعبْد‬
َّ ‫يَقُول هَّللا تَ َعالَى قَ َس ْمت ال‬
َ Uَ‫إ ِ َذا ق‬U َ‫ي َع ْب ِدي ف‬
" : ‫ال‬U َّ َ‫ال هَّللا أَ ْثنَى َعل‬
َ َ‫ال " الرَّحْ َمن ال َّر ِحيم " ق‬ َ َ‫ْال َح ْمد هَّلِل ِ َربّ ْال َعالَ ِمينَ " قَا َل هَّللا َح ِم َدنِي َع ْب ِدي َوإِ َذا ق‬
‫ا‬U‫ ِدي َم‬U‫ك نَ ْستَ ِعين " قَا َل هَ َذا بَ ْينِي َوبَ ْينَ َع ْب ِدي َولِ َع ْب‬ َ ‫ال هَّللا َم َّج َدنِي َع ْب ِدي َوإِ َذا قَا َل " إِيَّا‬
َ ‫ك نَ ْعبُد َوإِيَّا‬ َ َ‫َمالِك يَوْ م الدِّين" ق‬
‫ َذا‬U َ‫ا َل ه‬UUَ‫ص َراطَ الَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمت َعلَ ْي ِه ْم َغيْر ْال َم ْغضُوب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الضَّالِّينَ " ق‬ ِ ‫ص َراطَ ْال ُم ْستَقِيم‬ ِّ ‫َسأ َ َل فَإ ِ َذا قَا َل " اِ ْه ِدنَا ال‬
‫لِ َع ْب ِدي َولِ َع ْب ِدي َما َسأ َ َل‬

“Aku telah membagi shalat menjadi dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-
Ku. Bagi hamba-Ku apa yang di minta. Jika ia mengucapkan “segala puji bagi Allah,
Rabb semesta Alam”, maka Allah berfirman “ Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Dan
jika ia mengucapkan “maha Pemurah lagi Maha Penyanyang” maka Allah
berfirman :”Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Jika ia mengucapkan “Yang
menguasai Hari pembalasan” maka Allah berfirman “Hamba-ku telah memuliakan-
Ku”. Jika ia mengucapkan “hanya kepada Engaku kami menyembah dan hanya
kepada Engkau kami mohon pertolongan” maka Allah berfirman “Inilah bagian
antara diri-Ku dan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang dia minta. Dan jika Ia
mengucapkan “Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat
kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka
yang sesata, maka Allah berfirman “Ini unutk hamba-Ku dan bagi hamba-ku pula
apa yang ia minta.”

{Iyyakana’budu}didahulukan dari {wa-iyyakanasta’in}, karena ibadah


kepada-Nya merupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan hanya
merupakan sarana untuk beribadah. Yang terpenting lebih didahulukan dari pada
yang sekedar penting. Jika ditanyakan : Lalu apa makna huruf (nun - ‫نَ ْعبُ ُد‬-) pada
firman Allah

{ ُ‫ك نَ ْعبُ ُد َوإِيَّاكَ نَ ْستَ ِعين‬


َ ‫}إِيَّا‬

Jika huruf (nun) itu dimaksudkan sebagai bentuk jamak, padahal orang yang
mengucapkan itu hanya satu orang, dan jika untuk pengagungan, maka yang
demikian itu tidak sesuai dengan kondisi?

Pertanyan diatas dapat dijawab : Bahwa yang dimaksudkan dengan nun


(NA’budu/Kami beribadah) itu adalah untuk memberitahukan mengenai jenis hamba
dan orang yang shalat merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang
melakukannya secara berjama’ah, atau imam dalam shalat, memberitahukan tentang
dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang berimana tentang “ibdah” yang
untuk tujuan inilah mereka diciptakan.

B. Tafsir ayat keenam Surat Al-Fatihah

‫ا ْه ِدنَا الصِّ َراطَ ْال ُم ْستَقِي َم‬

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”, (QS. Al-Fatihah: 6)

‫ال ْالفَرَّاء َو ِه َي لُغَة بَنِي ع ُْذ َرة َوبَنِي َك ْلب‬ َ ‫قِ َرا َءة ْال ُج ْمهُور بِالصَّا ِد َوقُ ِر‬
َ ‫ئ ال ِّس َراط َوقُ ِر‬
ِ ‫ئ بِال َّز‬
َ َ‫اي ق‬

Jumhur Ulama membacanya dengan memakai huruf “shod” {‫}ص‬. Adapula


yang membacanya dengan huruf “syin” {‫)ال ِّس َراط ( =}س‬, serta ada juga membacanya
dengan huruf “za” {‫}ز‬. Al-Farra’ mengatakan : Bacaaan ini merupakan bahasa Bani
‘udzrah dan Bani Kalb.

Setelah menyampaikan pujian kepada Allah Subhana wa Ta’ala dan hanya


kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti dengan
permintaan. Sebagaimana firman-nya :”Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya
unutk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.

Yang demikian itu merupakan keadaan yang amat sempurna bagi seorang
yang mengajukaan permintaan. Pertama ia memuja rabb yang akan ia minta,
kemudian memohonkan keperluanyya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari
kalangan orang-orang yang berimana, melalui ucapannya { ‫تَقِي َم‬UU‫ َراطَ ْال ُم ْس‬UU‫الص‬
ِّ ‫ ِدنَا‬UU‫}ا ْه‬
(Tunjukilah kami jalan yang lurus)

Karena yang demikian itu lebih memudahkan pemberian apa yang dihajatkan
dan lebih cepat dikanulkan. Untuk itu Allah Tabaraka wa Ta’ala membimbing kita
agar senantiasa melakukannya, sebab yang demikian itu lebih sempurna.

Permohonan juga dapat diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan


kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut, sebagaimana yang diucapkan
Musa ‘alaihi sallam

َّ َ‫َربِّ إِنِّي لِ َما أَ ْن َز ْلتَ إِل‬


‫ي ِم ْن خَ ي ٍْر فَقِي ٌر‬

"Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau
turunkan kepadaku". (al-Qashash : 24)

Permintaan itu bisa didahului dengan meyebut sifat-sifat siapa yang akan
diminta, seperti ucapan Dzun dan Nun (nabi Yunus ‘alaihi sallam)

َ‫ت ِمنَ الظَّالِ ِمين‬ َ َ‫ال ِإلَهَ إِال أَ ْنتَ ُس ْب َحان‬


ُ ‫ك ِإنِّي ُك ْن‬

“Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau,
sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (al-Anbiyya : 87)
Kata hidayah pada ayat ini berarti bimbingan dan taufik. Terkadang kata
hidayah (mya’addi/transitif) dengan sendirinya (tanpa huruf lain yang berfungsi
sebagai pelengkapnya), seperti pada firman Allah Subhaana wa Ta’ala { َ‫ا ْه ِدنَا الصِّ َراط‬
ْ dalam ayat ini terkandung makna berikanlah ilham kepada kami, berikanlah
‫}ال ُم ْستَقِي َم‬,
taufik kepada kami, berikanlah rizki kepada kami atau berikanlah anugerah kepada
kami.

Sebagaimana yang ada pada firman Allah

‫َوهَ َد ْينَاهُ النَّجْ َد ْي ِن‬

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS al-Balad : 10)
artinya Kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain
itu dapat juga menjadi muta’addi dengan memakai kata “’ila”, sebagaimana firman
Allah

ِ ‫اجْ تَبَاهُ َوهَدَاهُ إِلَى‬


‫ص َرا ٍط ُم ْستَقِ ٍيم‬

“Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. “ (an-Nahl :
121)

Maka hidayah dalam ayat diatas ialah dengan pengertian bimbingan dan
petunjuk. Demikian juga dengan firman-Nya

ِ ‫َوإِنَّكَ لَتَ ْه ِدي إِلَى‬


‫ص َرا ٍط ُم ْستَقِ ٍيم‬

Dan sesungguhnya kamu (Muhammad Shalalallahu ‘alahi wasallam) benar-


benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura’: 52)

Terkadang kata hidayah menjadi mu’addi dengan memakai kata “li”


sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga {‫ َذا‬UUَ‫دَانَا ِله‬UUَ‫ ُد هَّلِل ِ الَّ ِذي ه‬UU‫} ْال َح ْم‬
“"Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini” (QS: al-
A’raf: 43), yakni Allah memberikan taufik kepada kami unutk memperoleh surga ini
dan Dia janjikan kami sebagai penghuninya.
Sedangkan mengenai firman Allah { ‫ص َراطَ ْال ُم ْستَقِي َم‬
ِّ ‫} ال‬, Imam Abu ja’far bin
Jariri mengatakan bahwa ahli tafsir secara keseluruhan sepakat bahwa “Shirathal
mustaqim” adalah jalan yang terang dan lurus.

Kemudian terjadi perbedaaan penafsiran dikalangan mufaasir dari kalangan


ulama salaf dan khalaf dalam menafsirkan kata shirath, meskipun pada prinsipnya
kembali kepada satu makna, yakni mengikuti Allah dan Rasul-Nya.

Jika ditanyakan : “Mengapa seorang mu’min memohon hidayah pada setiap


saat, baik pada waktu mengerjakan shalat maupun diluar shalat, padahal ia sendiri
menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu termasuk memperoleh sesuatu yang
sudah ada?

Jawabnya adalah tidak. Kalau bukan karena dia perlu memohon hidayah siang
dan malam hari, niscaya Allah tidak akan membimbing kearah itu, sebab seorang
hamba senantiasa membutuhkan Allah setiap saat dan situasi agar diberikan
keteguhan, kemantapan, penambahan dan kelangsungan hidayah, karena ia tidak
kuasa memberikan manfaat atau mudharat kepada dirinya sendiri kcuali Allah
menghendaki.

Oleh karena itu Allah selalu membimbingnya agar ia senantiasa memohon


kepada-Nya setiap saat dan supaya Dia memberikan pertolongan, keteguhan dan
taufik.

C. Tafsir ayat ketujuh Surat Al-Fatihah

ِ ‫ص َراطَ الَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬


َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الضَّالِّين‬ ِ

Shirātal ladzīna an‘amta ‘alaihim ghairil maghdhūbi alaihim wa lad dhāllīn.


Artinya, “Jalan orang yang Kauberi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka
yang dimurka, dan bukan (jalan) mereka yang tersesat.

Syekh Jalaluddin dalam Tafsirul Qur’anil Azhim (lebih dikenal Tafsirul


Jalalain) menafsirkan, nikmat yang dimaksud dalam Surat Al-Fatihah ayat 7 adalah
petunjuk Allah. Kelompok yang dimurka adalah Yahudi. Sementara kelompok yang
tersesat adalah Nasrani.

Menurutnya, kata petunjuk pada “ihdi” (Surat Al-Fatihah ayat 6)


mengisyaratkan bahwa mereka yang menerima petunjuk bukan kelompok Yahudi dan
Nasrani. Ini sebenarnya pandangan umumnya mayoritas ulama tafsir. Meski
demikian, Syekh Jalaluddin mengatakan, Allah lebih mengetahui mana (tafsiran)
yang benar. Hanya kepada-Nya semua dikembalikan. Artinya, manusia bagi Syekh
Jalaluddin boleh saja menafsirkan ayat-ayat suci (tentu dengan tanggung jawab dan
kompetensi yang memadai), tetapi kebenaran mutlak hanya milik Allah belaka.

Imam Ibnu Katsir dalam karyanya Tafsirul Qur’anil Azhim (lebih dikenal
Tafsir “Ibnu Katsir”) mengutip pandangan sejumlah sahabat dan ulama. Menurutnya,
kata “shirātal ladzīna” pada Surat Al-Fatihah ayat 7 merupakan penjelas kata “as-
shirātal mustaqīm” pada Surat Al-Fatihah ayat 6. Mereka yang menerima nikmat
pada Surat Al-Fatihah ayat 7 merujuk pada Surat An-Nisa ayat 69-70 sebagai berikut.

َ ِ‫َو َم ْن يُ ِط ِع هَّللا َ َوال َّرسُو َل فَأُولَئ‬


ِّ ‫ك َم َع الَّ ِذينَ أَ ْن َع َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِّينَ َوال‬
‫صدِّيقِينَ َوال ُّشهَدَا ِء‬
‫ك َرفِيقًا * َذلِكَ ْالفَضْ ُل ِمنَ هَّللا ِ َو َكفَى بِاهَّلل ِ َعلِي ًما‬ َ ِ‫َوالصَّالِ ِحينَ َو َحسُنَ أُولَئ‬

Artinya, “Orang yang menaati Allah dan rasul, maka mereka akan bersama
para nabi, orang yang jujur teguh, orang syahid, orang saleh sebagai kelompok yang
diberi nikmat oleh Allah. Mereka itu sebaik-baik sahabat. Yang demikian itu
merupakan karunia dari Allah. Cukup Allah yang mengetahui.”

Ibnu Katsir mengutip pandangan sahabat Ibnu Abbas dari Ad-Dhahak bahwa
jalan orang yang diberi nikmat adalah jalan orang yang taat dan menyembah Allah.
Jalan itu adalah jalan malaikat, para nabi, orang yang jujur teguh, orang syahid, dan
orang saleh. Adapun Abu Ja’far At-Thabari, seperti dikutip oleh Ibnu Katsir,
mengutip Rabi’ bin Anas yang menyebut jalan pada Surat Al-Fatihah ayat 7 itu
adalah jalan para nabi.
Ibnu Abbas dari Ibnu Juraij sebagaimana pandangan Mujahid, masih dalam
Ibnu Katsir, mengatakan bahwa mereka yang dimaksud adalah orang-orang beriman.
Imam Waqi berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang Muslim. Sedangkan
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi Muhammad dan
sahabat yang menyertainya. Tetapi, kata Ibnu Katsir, pandangan Ibnu Abbas di awal
memiliki makna lebih umum dan cakupan lebih luas.

Abu Sa’ud dari Mazhab Hanafi yang hidup pada abad ke-8-9 H menafsirkan
bahwa nikmat Allah yang dimaksud pada ayat 7 begitu luas. Mustahil kita dapat
membilangnya. Tetapi secara pokok, nikmat itu terbagi dua, duniawi dan ukhrawi.

Nikmat duniawi terbagi dua, yaitu wahbi (anugerah Allah begitu saja) dan
kasbi (yang diupayakan). Nikmat wahbi terbagi dua, yaitu rohani (seperti roh, akal,
daya pikir) dan jasmani (seperti rupa fisik, kekuatan fisik, kesehatan, dan
kesempurnaan anggota badan). Sedangkan nikmat kasbi adalah pembersihan batin
dari segala sifat tercela, tindakan menghias batin dengan akhlak terpuji, menghiasi
raga dengan bahasa tubuh dan perhiasan yang patut, pangkat dan harta.

Adapun nikmat ukhrawi adalah ampunan Allah atas kelewatan batas kita,
ridha-Nya atas kekhilafan, penempatan kita di tempat tertinggi “a‘lā illiyyūn”
bersama para muqarrabin. Tujuan utama kita adalah nikmat Allah yang ukhrawi.
Sedangkan nikmat duniawi merupakan jalan atau wasilah untuk meraih nikmat
ukhrawi, kata Imam Abus Sa‘ud.

Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam karyanya Tafsir Al-Munir berpendapat,


orang yang diberi nikmat pada ayat ini adalah para nabi, orang yang jujur teguh,
orang syahid, dan orang saleh terdahulu. Mereka adalah sebaik-baik sahabat.

Adapun “Bukan (jalan) mereka yang dimurka, dan bukan (jalan) mereka yang
tersesat,” maksudnya, “Jangan jadikan kami bersama orang yang menyimpang dari
jalan lurus, mereka yang dijauhkan dari rahmat Allah, dan mereka yang disiksa
sekeras-kerasnya karena mereka memahami kebenaran, tetapi mengabaikannya, dan
mereka tersesat jalan.” Ulama umumnya (jumhur) menafsirkan “mereka yang
dimurka” adalah Yahudi dan “mereka yang tersesat” adalah Nasrani.

Adapun tafsir yang benar kata Syekh Wahbah Az-Zuhayli, “mereka yang
dimurka” adalah orang yang telah menerima informasi perihal agama kebenaran yang
ditentukan oleh Allah untuk hamba-Nya, lalu menolak dan mencampakkannya.
Sedangkan mereka yang tersesat adalah mereka yang tidak memahami kebenaran
atau mereka yang belum memahami kebenaran secara benar. Mereka adalah
kelompok yang belum disinggahi risalah atau kelompok yang telah disinggahi risalah
agama dengan kekurangan di sana dan sini.

Syekh Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasinut Ta’wil menafsirkan


“mereka yang dimurka dan mereka yang tersesat adalah setiap individu dari
kelompok dan golongan mana saja yang memisahkan diri dari jalan besar Islam. Jadi,
tidak merujuk pada kelompok tertentu. Sedangkan penyebutan sebagian ulama tafsir
atas kelompok agama tertentu untuk menafsirkan ayat ini, menurut Al-Qasimi, hanya
perumpamaan umum yang paling populer (di zamannya). (Al-Qasimi, tanpa catatan
kota: 24)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada ayat kelima yang artinya “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” yang dimaksud adalah Ini
merupakan dalil yang menunjukan bahwa awal-awal surat al-Fatihah merupakan
pemberitahuan dari Allah yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan
berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar
memuji-Nya dengan pujian tersebut.

Sedangkan pada ayat keenam yang berbunyi “Tunjukilah kami jalan yang
lurus”. Setelah menyampaikan pujian kepada Allah Subhana wa Ta’ala dan hanya
kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti dengan
permintaan. Sebagaimana firman-nya :”Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya
unutk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.Yang demikian itu
merupakan keadaan yang amat sempurna bagi seorang yang mengajukaan
permintaan. Pertama ia memuja rabb yang akan ia minta, kemudian memohonkan
keperluanyya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang
yang berimana, melalui ucapannya { ‫ص َراطَ ْال ُم ْستَقِي َم‬
ِّ ‫( }ا ْه ِدنَا ال‬Tunjukilah kami jalan yang
lurus)

Sedangkan pada ayat ketujuh. Nikmat duniawi terbagi dua, yaitu wahbi
(anugerah Allah begitu saja) dan kasbi (yang diupayakan). Nikmat wahbi terbagi dua,
yaitu rohani (seperti roh, akal, daya pikir) dan jasmani (seperti rupa fisik, kekuatan
fisik, kesehatan, dan kesempurnaan anggota badan). Sedangkan nikmat kasbi adalah
pembersihan batin dari segala sifat tercela, tindakan menghias batin dengan akhlak
terpuji, menghiasi raga dengan bahasa tubuh dan perhiasan yang patut, pangkat dan
harta. Adapun nikmat ukhrawi adalah ampunan Allah atas kelewatan batas kita,
ridha-Nya atas kekhilafan, penempatan kita di tempat tertinggi “a‘lā illiyyūn”
bersama para muqarrabin. Tujuan utama kita adalah nikmat Allah yang ukhrawi.
DAFTAR PUSTAKA

ahlussunnah-jakarta.com. "Buletin Jum’at Al-Atsariyyah." Keutamaan Surat Al-


Fatihah, n.d.

Id, www. Muslim. Or. n.d.

islam.nu.or.id. "tafsir surat Al-Fatihah ayat 7." n.d.

Katsir, Ibnu. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim. Juz 1. n.d.

Mutawalli, Muhammad. Tafsir Asy-Sya’rawi Juz 1 . As-Sya’rawi, n.d.

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah. Ciputat: Lentera Hati, 2007.

Xa.Yimg.Com. "Tafsir Al-Misbah." Groups, n.d.

Anda mungkin juga menyukai