Anda di halaman 1dari 6

Nama: AHMAD RAIHAN RAMADHAN

NIM: 1180510000263
Kelas: SOSIOLOGI AGAMA KPI 4/B
Bentuk Tugas: INDIVIDU/MANDIRI

SOAL
Pertanyaan mengenai hubungan agama dan sistem ekonomi:
1. Jelaskan hubungan agama dengan ekonomi dalam perspektif sosiologi agama dimana
agama menjadi salah satu pemberi spirit dan etik dalam menjalankan prinsip² ekonomi!
Bandingkan dengan konsep Max Weber dalam bukunya yg berjudul "Etika Protestan dan
Spirit Kapitalisme"!
Pertanyaan mengenai hubungan antara agama dan politik:
1. Terdapat tiga teori tentang hubungan agama dan politik. Pertama, terdapat hubungan
yang erat antara agama dan politok. Kedua, antara agama dan politik tidak berhubungan
sama sekali. Ketiga, antara agama dan politik saling menguatkan. Jelaskan tiga teori
tersebut dalam perspektif sosiologi agama!
2. Hubungan antara agama dan politik juga terjadi di Indonesia terutama dalam proses
penetapan apakah negara Indonesia didirikan atas dasar agama atau sekuler. Akhirnya
para pendiri bangsa menyepakati Indonesia bukan Negara agama tetapi bukan pula
negara Sekuler dan pancasila disepakati sebagai bentuk kompromi. Jelaskan kedudukan
pancasila dalam hubungan agama dan politik/negara!

JAWABAN
1. Hubungan Agama dan Sistem Ekonomi
Secara umum, agama diartikan sebagai persepsi dan keyakinan manusia terkait dengan
eksistensinnya , alam semesta , dan peran tuhan terhadap alam semesta dan juga dalam
kehidupan manusia sehingga membawa kepada pola bahwa agama yang menentukan perilaku
maupun tujuan bagi kehidupan manusia , ritualitas namun agama merupakan serangkaian ,
keyakinan ,peraturan , serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia , termasuk
ketika manusia berinteraksi dengan sesame manusia atau dengan alam . sehingga agama dapat di
satukan dengan ilmu ekonomi.
Hubungan agama dengan pengembangan ekonomi dapat di jadikan kajian dalam upaya
mencoba memahami peran yang di jalankan agama di dalam masyarakat. Dengan cara
pandangan positivistic , tidak dipatuhi oleh pemeluknya . Sebagian besar di dunia dengan adanya
peran agama kita dapat berharap suatu etika agama . Kita dapat mengurangi rasa cemas dan takut
. Agama juga berfungsi menciptakan norma-norma social yang mempengaruhi ekonomi . Ajaran
agama tersebut menganjurkan agar selalu bekerja keras , tahan cobaan , dan hidup hemat , dan
juga selalu berusaha tiada henti dan putus asa.

Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan
upaya manusia secara perorangan atau pribadi , atau kelompok , keluarga , suku bangsa ,
organisasi , Negara dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang di hadapkan pada
sumber daya pemuas yang terbatas. “oikonomia “ yang terdiri dari “oikos” berarti rumah tangga
dan “nomos” berarti aturan. Dalam bahasa arab disebut “istishad” yang artinya umat yang
pertengahan , atau biasa di artikan menggunakan rezeki atau sumber daya yang ada disekitar kita.
Ekonomi juga merupaka usaha untuk mendapatkan dan mengatur harta baik material maupun
non material untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik secara individu maupun kolektif
yang menyangkut perolehan .

Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya
barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara
stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya
untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang
berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan
(protestan) yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan
Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah
rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu
tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan
usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber hanyalah usaha untuk meneliti satu emansipasi dari
pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang
dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.

Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die
Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat
menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-
doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan
industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi
perilaku individu.

2. 3 Teori Tentang Hubungan Agama dan Politik:

A. Pertama, terdapat hubungan yang erat antara agama dan politik

Hubungan antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Asumsinya ditegakkan di
atas pemahaman bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang mempunyai kelengkapan ajaran
di semua segmen kehidupan manusia, termasuk bidang praktik kenegaraan. Karenanya, umat
Islam berkewajiban untuk melaksanakan sistem politik Islami sebagaimana telah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa’ al-Rasyidin. Pandangan ini menghendaki agar
negara menjalankan dwifungsi secara bersamaan, yaitu fungsi lembaga politik dan keagamaan.
Menurut paradigma ini, penyelenggaraan suatu pemerintahan tidak berdasarkan kedaulatan
rakyat melainkan merujuk kepada kedaulatan ilahi (divine sovereignity), sebab penyandang
kedaulatan paling hakiki adalah Tuhan. Pandangan ini mengilhami gerakan fundamentalisme.
Dalam konteks ini hubungan agama dan negara dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi
kritis”, yaitu prinsip yang menuntut kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai
kekuatan yang integratif terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer
bagi komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor integratif yang
mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk negara yang kuat, demokratis
dan berkeadilan. Dalam paradigma ini, dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran
agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas
manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama. Kedua, disebabkan oleh
fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyakmembutuhkan legitimasi adalah bidang
politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling
meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent.
B. Kedua, antara agama dan politik tidak berhubungan sama sekali.

Agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga tidak dapat dikaitkan
secara timbal-balik. Islam dimaknai menurut pengertian Barat yang berpendapat bahwa wilayah
agama sebatas mengatur hubungan individu dan Tuhan. Sehingga mendasarkan agama kepada
Islam atau upaya untuk melakukan determinasi Islam terhadap bentuk tertentu dari negara akan
senantiasa disangkal. Bentuk hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat
dianggap sudah selesai dengan sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara. Paha
mini menurut The Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi, di mana para pendukungnya
dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk
itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau antiagama sebagai dasar bagi moralitas
pribadi dan organisasi sosial. Pemisahan agama dan negara tersebut memerlukan proses yang
disebut sekularisasi. Sekularisasi adalah sebuah proses di mana sektor-sektor kehidupan dalam
masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol
keagamaan. Proses sekularisasi yang berimplikasi pada marjinalisasi agama ini bisa berbeda
antara satu negara dengan negara lainnya, yang terutama dipengaruhi oleh latar belakang budaya
dan sejarah masing-masing masyarakatnya. Negara-negara yang mendasarkan diri pada
sekularisme memang telah melakukan pemisahan ini, meski bentuk pemisahan itu bervariasi.
Penerapan sekularisme secara ketat terdapat di Prancis dan Amerika Serikat, sementara di
negara-negara Eropa selain Prancis dan Amerika Serikat penerapannya tidak terlalu ketat,
sehingga keterlibatan negara dalam urusan agama dalam hal-hal tertentu masih sangat jelas,
seperti hari libur agama yang dijadikan sebagai hari libur nasional, pendidikan agama di sekolah,
pendanaan negara untuk agama, keberadaan partai agama, pajak gereja dan sebagainya. Bahkan
kini masih ada sejumlah negara Eropa yang tetap mengakui secara resmi lembaga gereja
(established church) dalam kehidupan bernegara, seperti Inggris, Yunani, dan negaranegara
Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Swedia).

C. Ketiga, antara agama dan politik saling menguatkan.

Antara agama dan negara terjalin hubungan timbal-balik atau saling memerlukan. Dalam
kerangka ini, agama memerlukan negara, karena dengan dukungan negara, agama dapat
berkembang. Sebaliknya negara membutuhkan agama, karena agama menyediakan seperangkat
nilai dan etika untuk menuntun perjalanan kehidupan bernegara. Paradigma ini berusaha keluar
dari belenggu dua sisi pandangan yang berseberangan, yakni integralistik dan sekularistik.
Paradigma ini melahirkan gerakan modernisme dan non-modernisme. Kepercayaan agama dapat
mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest,
sering tidak legal. Seringkali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama
sangat melekat dalam kehidupan rakyat, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di
bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan
agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik.

3. Kedudukan Pancasila dalam hal Agama dan Politik/Negara

Secara garis besar Pancasila telah hadir didalam hubungan antara agama dan Negara dan
senantiasa menghadirkan kenyamanan terhadap berbangsa dan bernegara dapat dipahami pada
sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang maha esa” oleh karenanya Hubungan Agama dan
Negara yang ada di Indonesia telah diperjelas dalam beberapa pasal-pasal dalam UUD yaitu:
Pasal 28E UUD bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya ”
serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal
29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Berdasarkan pada pasal 29 UUD 1945 beserta tafsirnya tersebut, pemerintah wajib untuk
mengatur kehidupan beragama di Indonesia.

Sebagai pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 pemerintah mengeluarkan UU No.


1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang dikukuhkan
oleh UU No.5 tahun 1969 tentang pernyataan bebagai penetapan presiden sebagai undang -
undang. Bentuk terlibatnya pemerintah dalam persoalan agama adalah dengan adanya pengakuan
terhadap beberapa agama di Indonesia. Pengakuan ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat
Edaran Mentri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang diantaranya agama yang di akui
pemerintah, yaitu Islam, Kristen/Protestan, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu (Budiyono,2014).

UUD 1945 tidak memisahkan hubungan agama dan Negara dan ini dapat kita lihat pada
Sila pertama Pancasila dan Bab XI UUD 1945 yang berjudulkan agama. Hubungan negara dan
agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali
dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan
kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan
tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur. Agar
hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika kehidupan politik,
ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus menerus, sehingga kita sampai pada
pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya berbeda,
namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan (Saifuddin,
2009). Ketegangan hubungan antara agama dan negara terjadi manakala di antara keduanya tidak
terjadi hubungan yang simbiosis-mutualistis dan (checks and balances). Dalam hubungan seperti
itu dimisalkan ketika negara tidak memberikan kemerdekaan kepada warganya untuk beribadat
sesuai dengan agamanya masing-masing, atau sebaliknya agama menganggap negara menutup
diri terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan
dengan nilai-nilai keagamaan.

Dalam situasi seperti itu, terbuka peluang agama cenderung berupaya mempengaruhi
instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi atau negara melakukan represi
terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama berkaitan dengan keadilan dan
persamaan di hadapan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai