Disusun Oleh
Salimah : 200440074
M. Raihan : 200440073
Rini Haslinar : 190440011
Universitas Malikussaleh
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Program Studi Ekonomu Syariah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Kaidah
Fiqhiyah ini dengan baik dan tepat waktu. Judul makalah yang kami susun adalah
Kaidah Asasiyyah yang ke-3 Berkenaan Dengan kaidah-kaidah fiqh khusus
(dalam bidang ibadah mahdhah)
Tugas ini kami buat untuk memberikan pemaparan tentang
pengertian,dalil,cabang dan manfaat dari Kaidah Asasiyah yang ke-3. Semoga
dengan adanya makalah yang kami susun ini dapat menambah pengetahuan saya
dan teman-teman
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Ustadz Nasli Hasan Lc. M.A
selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah “Kaidah Fiqhiyah” yang telah membimbing
kami dalam mengerjakan tugas makalah ini. Kami juga menucapkan terimakasih
kepada anggota kelompok satu yang sudah bekerjasama untuk menyusun makalah
ini
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum
kami ketahui.Maka dari itu, mohon saran dan kritik dari Dosen dan teman-teman.
Demi tercapainya makalah yang sempurna
Penyusun
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah..........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................1
1.3 Tujuan .....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2
2.1 Pengertian kaidah-kaidah fiqh khusus ....................................................2
2.2 Pengertian kaidah-kaidah fiqh khusus dalam bidang ibadah
mahdhah..................................................................................................4
2.3 Macam-macam kaidah-kaidah fiqh khusus dalam bidang ibadah
Mahdhah..................................................................................................5
2.4 Manfaat mengetahui kaidah-kaidah fiqh khusus dalam bidang
ibadah mahdhah.......................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................17
ii
BAB I
ENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Tidak semua pemecahan masalah hukum atas berbagai kehidupan manusia
di dunia ini dirinci secara jelas dan tegas dalam al-Quran dan Hadis Rasulullah.
Al-Quran dan Hadis Rasulullah berbahasa Arab, sehingga dalam memahami
kandungan hukum-hukumnya akan benar jika memperhatikan kaidah-kaidah
bahasa Arab dan seluk beluknya. Karena itu, lewat pendekatan linguistik para
ahli ushul fiqh berusaha menetapkan kaidah-kaidah penggalian hukum yang
dikenal dengan term al-qawa’id al-ushuliyyah.
Al-Qawa’id al-ushuliyyah adalah kerangka berpikir yang dijadikan aturan-
aturanpokok oleh para mujtahid dalam menggali hukum Islam, sehingga hasil
ijtihadnya dapat dievaluasi secara obyektif. Misalnya, para mujtahid sepakat
bahwa “kalimat perintah (amar) menunjukkan kepada wajib sampai ada
argumentasi bahwa kalimat perintah itu tidak menunjukkan kepada wajib”.
Mereka mencoba membuat generalisasi pokok-pokok pikirannya dalam menggali
hukum Islam, kemudian direpleksikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah dasar
penggalian hukum Islam. Melalui kaidah-kaidah dasar (al-qawa’id al-ushuliyyah)
inilah dapat diketahui titik relevansi antara satu ijtihad dengan ijtihad yang
lainnya.
1.3 Tujuan
Untuk Mengetahu Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Bidang Ibadah Mahdhah
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Taj al-Din al-Subki, Muqaddimah li asybah wa al-Nazhair, Mesir, Dar as-Salam, 2006, h. 1
2
Mustafha al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqh al-A’am,Damaskus, Mathba’ah Jami’ah,1963, jilid 2, h.
941
2
Dasar hukum syara’ yang terdapat dalam permasalahan yang umum atau
menyeluruh untuk mengetahui hukum-hukum yang termasuk dalam cakupan
kaidah tersebut.
Dasar fiqh yang bersifat kully atau menyeluruh yang mengandung hukum-hukum
syara’ yang umum dari berbagai macam pembahasan dalam berbagai
permasalahan-permasalah yang termasuk dalam cakupan kaidah tersebut.3
Dari berbagai macam defenisi yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat
bahwa para ulama terdahulu berbeda-beda dalam mendrfenisikannya namun dari
semua defenisi diatas ternyat memiliki substansi yang sama bahwa kaidah fiqh itu
adalah ( اصل فقهي كليdasar hukum fiqh yang bersifat kully). Artinya kaidah fiqh
tersebut bersifat umum yang dapat diterapkan pada cakupan ju’i nya, cakupan
juz’i tersebut berlaku pada af’ aalu al-mulallaf (perbuatan seorang mukallaf).
Kaidah fiqh adalah salah satu disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan fiqh.
Oleh karena itu, kaidah fiqh secara terus-menerus dikaji secara konsisten dan
sungguh-sungguh oleh para ahli fiqh. Hal inilah yang menyebabkan ilmu kaidah
fiqh tetap eksis kedudukannya setelah melalui fase pengkodifikasian dan
penyempurnaan. Mereka menganggap bahwa ilmu kaidah fiqh sangat besar
perannya dalam membuka cakrawala dan melatih malakah (daya rasa) fiqh.
Demikian yang diisyaratkan oleh Quthbuddin al-Sunbathi (w.722 H) dalam
pernyataannya bahwa ‘sesungguhnya fiqh itu adalah mengetahui al-nadhāir
(masalah-masalah yang serupa)’. Mengetahui masalah-masalah yang serupa inilah
yang dimaksud dengan kaidah fiqh. Hal ini sebagaimana fungsi dari kaidah fiqh
yang di antaranya adalah untuk mempermudah dalam mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan fiqh yang jumlahnya tak terhingga.
Menurut al-Subki, jika kesulitan dalam memahami hukum-hukum cabang
(al-fiqh) dan kaidah-kaidah fiqh secara bersamaan, maka cukuplah baginya
memahami kaidah-kaidah fiqh dan sumber-sumber pengambilannya saja. 4
Pengkodifikasian kaidah-kaidah fiqh (the maxims of Islamic law) bertujuan agar
dapat berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya. Dengan
berpijak pada kaidah-kaidah fiqh, para ulama dapat dengan mudah
3
Ali Ahmad al-Nadwi, qawaid fiqhiyah, Damaskus, Dar al-Qalam, tt. H. 43.
4
Al-Subki, al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), cet. ke-1, hlm.11-
12.
3
mengidentifikasi berbagai hukum cabang (furu‘) yang terjadi (realistis).
Karena inilah, para ahli fiqh (fuqaha) memberikan perhatian yang besar dan
mempelajari secara sungguh-sungguh ilmu kaidah-kaidah fiqh.
2.2 Pengertian kaidah fiqh khusus bidang ibadah mahdhah
Ibadah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu عبد – يعبد – عبدةyang
5
Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang, CV. Bima Sakti,2003, h. 80.
6
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,2006, h. 144.
4
belajar, mengajar, dzikir, dakwah, tolong menolong, gotong royong, rukun dengan
tetangga dan lain sebagainya, bahkan termasuk juga perilaku yang terpuji.
Intinya adalah bahwa yang harus diperhatikan dalam ibadah ghairu
mahdhah adalah tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang
melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak
melarang atau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti
pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang
diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama
dengan yang dilakukan nabi.
Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk,
untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat
ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal
yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat
mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu
mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini
dibolehkan melakukannya.
2.3 Macam-macam kaidah-kaidah fiqh khusus dalam bidang ibadah
mahdhah
Kaidah-kaidah yang menyangkut terkait dalam bidang ibadhah mahdhah
cukup banyak, dan disini penulis hanya menyebutkan sebagian kaidah-kaidah
tersebut, diantaranya adalah:
"Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syariah".7
Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah, harus ada
dalil dan mengikuti tuntunan. kaidah ini juga mengandung subtansi yang sama,
yaitu apabila kita melaksanakan ibadah mahdhah harus jelas dalilnya, baik dari
Al-Qur'an maupun Al-Hadits Nabi. Sebab, ibadah mahdhah itu tidak sah apabila
tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya.
7
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 114.
5
اَألم ِر ِ َّ اال صل يِف العِباد ِة البطْآل ُن حىَّت ي ُقو م
ْ الد لْي ُل َعلَى َ َ َ ُ ََ ُْ .2
“Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang
memerintahkannya.”
Kedua kaidah ini mengandung substansi yang sama, yaitu apabila kita
melaksanakan ibadah mahdah harus jelas dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun
Hadis Nabi. Sebab, ibadah mahdhah itu tidak sah apabila tanpa dalil yang
memerintahkannya atau menganjurkannya.8
ب ِ ِإ
ٌ َما َكا َن مَمُْن ْو ًعا ذَا َج َاز َوج .3
8
Ibid.
9
Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, al-Isyraf ala Masa’il al-Khilaf, Tunis, Mathba’ah al-
Iradah, tt. H.
263.
10
Ibnu Rajab al-Hanbali, Abu Faraj Abd al-Rahman al-Bahdadi, al-Qawa’id fi al-Fiqh Taqrir al-
Qawa’id
wa Tahrir al-Fawa’id, tt. Bait al-Afkar al-Dauliyah, h. 53
6
Yang dimaksud percampuran (al-talabus) adalah ada dua macam
kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah dan berpindah kepada keringanan
(rukhshah). Al-talabus ini menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan.
Kaidah diatas menjelaskan bahwa dalam keadaan demikian wajib
menyempurnakannya.
Contohnya: apabila seseorang telah berniat untuk melaksanakan puasa
Ramdhan, kemudian pada siang harinya di mendadak harus bepergian jauh;
apakah dia harus menyelesaikan puasanya ataukah dia harus membatalkannya
dengan alasan bepergian?
Berdasarkan kepada kaidah di atas, orang tersebut harus menyempurnakan
puasanya, tidak boleh membatalkan puasanya. Apabila kita kembalikan kasus
tersebut kepada kaidah asasi, “al-masyaqqah tajlib al-taysir” atau “al-dharar
yuzal”, maka yang menyebabkan bolehnya membatalkan puasa adanya kesulitan
atau kemudharata, seperti sakit atau bepergian jauh yang membawa kesulitan atau
kemudharatan. Oleh karena itu, apabila dalam bepergian tidak menyulitkan dan
tidak memudharatkan, maka dia harus menyempurnakan puasanya, sesuai dengan
kaidah diatas.
ِ ِ ِ
ْ اس يِف العبَ َادة َغرْيِ َم ْع ُق ِل
املع َن َ َقي اَل .6
"Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami
maksudnya"
Sudah barang tentu kaidah tersebut tidak akan disepakati oleh seluruh
ulama, karena masalah penggunaan qiyas sendiri tidak disepakati. Yang
menyepakati adanya qiyas pun, dalam menggunakannya ada yang
menerapkannya secara luas, seperti pada umumnya mazhab Hanafi. ada pula yang
seperlunya.
Kaidah tersebut di atas membatasi penggunaan analogi dalam ibadah, hanya
kasus-kasus yang bisa dipahami maknanya atau illat hukumnya. untuk kasus-
kasus yang tidak bisa dipahami 'illat hukumnya, tidak bisa dianalogikan.
Contohnya, cara shalat gerhana matahari atau gerhana bulan tidak bisa diketahui
illat hukumnya. Oleh karena itu, ulama Syafi’iyyah dan Malikiyah
melaksanakannya sebagai ta’bbudi.
7
Kasus lainnya adalah tentang zakat tanaman yang bersifat ta’aqquli, artinya
bisa dipahami maksudnya. Meskipun mazhab Syafi’i, zakat tanaman yang wajib
dikeluarkan adalah yang menjadi makanan pokok anak negeri. Sedangkan
menurut mazhab Hanfi, zakat tanaman yang wajib dikeluarkan adalah tanaman
yang bisa berkembang dan menghasilkan.
ِ
ِ ود سببِها الَي
ص ُّح ِ ِ ِ
َ َ َ َ َت ْقدمْيُ العبَ َادة َقْب َل ُو ُج .7
“Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula
digunakan shalat fardu”
Contohnya, sah shalat sunnah di Kabbah,di Hijir Ismail, atau di Makam
Ibrahim, maka sah pula untuk digunakan shalat fardu.
11
Mahmud ‘Ibadi, Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jeddah, al-Haramain, tt, h. 78
8
Contohnya, shalat sendirian di lingkungan Ka’bah adalah lebih utama
daripada diluar lingkungan Ka’bah. Akan tetapi, apabila shalat di luar lingkungan
Ka’bah ini berjamaah, maka lebih utama daripada shalat sendirian di lingkungan
Ka’bah.
“Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi”.12
Maksud kaidah ini adalah boleh melakukan shalat dimana saja dimuka bumi
ini, sebab bumi ini suci kecuali apabila ada najis, seperti di kuburan atau kamar
mandi.
الوا ِر َد ِة فِ َيها ِ
َ الو ُجوه
ُ ك
ِ وه متن ِّوع ٍة جَي
َ وز ف ْعلَ َها َعلَى مَجِ ْي ِع تِْل
ٍ
ُ ُ َ َ َ ُ الوا ِر َدةُ َعلَى ُو ُج
ِ
َ ُ العبَ َادة.12
“Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda,
boleh melakukannya dengan cara keseluruhannya dengan cara keseluruhannya
bentuk-bentuk tersebut”.13
Maksud kaidah ini adalah dalam beribadah sering ditemukan tidak hanya
satu cara. Dalam hal ini, boleh memilih salah satu cara yang didawakannya
(konsisten melakukannya). Boleh pula dalam satu waktu dengan cara tertentu dan
pada waktu lain dengan cara yang lain. Boleh pula menggabungkan cara-cara
tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadits Nabi.
Contohnya seperti pada bacaan doa Takbirat al-Ihram. Ada bermacam-
macam doa yang diriwayatkan. Berdasarkan kaidah ini, boleh dipilih salah
satunya. Contoh lainnya seperti shalat ba’diyah jumat (shalat sunnah setelah
shalat jumat), boleh dua rakaat dan boleh pula empat rakaat.
9
“Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak
dilakukan), maka dia wajib mengqadhanya.”
Ulama Syafi’iyah menggunakan kaidah ini secara ketat dalam setiap
kewajiban, kecuali wanita yang meninggalkan shalat karena haid. Ulama lain
memberikan banyak kekecualian seperti tidak ada qadha untuk shalat wajib, sebab
shalat harus dilakuka sesuai dengan kemampuan yang ada. Tetapi untuk
kewajiban puasa ramadhan ulama sepakat ada qadha.14
Contohnya seperti mengusap dzakar (alat kelamin) karena lupa adalah
membatalkan wudhu karena apabila dilakukan dengan sengaja pun batal.
Demikian pula halnya dalam mazhab Maliki, apabila orang lupa makan pada
bulan Ramdhan, maka puasanya tidak sah, tetapi dia tidak berdosa. Hal ini
berbeda dengan pendapat yang lain, bahwa lupa adalah salah satu unsur pemaaf
dalam melakukan kewajiban. Alasannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim sebagai berikut: “Barangsiapa yang lupa makan dan minum
padahal dia sedang puasa, maka teruskan puasanya, karena Allah swt memberi
makan dan minum kepadanya”.
14
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 117.
10
“Barangsiapa yang lupa makan dan minum, padahal dia sedang puasa, maka
teruskan puasanya, karena Allah SWT memberi makan dan minum kepadanya”.
ِ َاح َد ٍة َز َكات
ان ِ الَجَتِب يِف ع ِ و.17
َ ُ َنْي
“Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat”
Kaidah ini berhubungan dengan prinsip keadilan. Apabila seorang pedagang
telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat, maka yang dizakatinya adalah dari
harta perdagangan. Demikian pula seorang petani yang telah memenuhi syarat
zakat, maka zakatnya dari harta pertanian.
ِِ ِِ ِ
ُت َعلَْيه فطَْر ًة ُك ُّل َم ْن َت ْلَز ْمه
ْ َت َعلَْيه فطَْرتَهُ َو َجب
ْ ََم ْن ُوجب .18
“Barangsiapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula baginya
mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang dia wajib menafkahkannya”.
Kaidah ini mengaitkan kewajiban zakat fitrah kepada seseorang yang juga
wajib baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang-orang yang ada dalam
tanggungannya, seperti anak-anak atau istrinya.
15
Abdul Mudjib, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta, Kalam Mulia, 2001, h.83
11
Dari kaidah-kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu yang telah
diwajibkan tidak boleh ditingalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh
ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban yang mengharuskan untuk
meniggalkan. Contohnya, memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib
tentu hukumnya haram, sebab melukai atau memotong adalah tindak pidana.
Wajibnya makan bangkai bagi orang-orang yang terpaksa, kalau tidak pasti
hukumnya haram. Khitan adalah wajib, jika tidak tentu hukumnya haram, sebab
khitan itu melukai atau memotong anggota badan, disamping membuka aurat
yang paling vital bahkan memegangnya.
ِ الرخص اَل َتنَاط بِاْملع
اصي .21
ََ ُ َ ُّ
“Keringanan (Rukhsoh) itu tidak dihubungkan atau dikaitkan dengan perbuatan
maksiat”. 16
Rukhsoh yang diberikan itu adalah karena adanya sebab, namun apabila
sebab ada kaitannya dengan perbuatan maksiat atau perbuatan haram, maka tidak
berlaku rukhsoh atau tidak diberikan, atau dengan kata lain, pada perbuatan
maksiat itu tidak bisa diberikan rukhsoh.
Berpergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk mengqoshor dan menjamak
atau berbuka puasa. Sedangkan kalau berpergiannya tidak maksiat semua ini
dibolehkan. Orang yang berpergian untuk berjudi, walau kelaparan tidak boleh
makan bangkai, dia tetap berdosa kalau makan bangkai. Sedangkan kalau
berpergian yang diizinkan, dia tidak berdosa kalau makan bangkai.
Apabila berpergian untuk maksud yang diizinkan, kemudian ia menjalankan
maksiat dijalan, maka ia tetap dihukumi sebagai pergi yang diizinkan. Jadi
berpergian dengan tujuan maksiat itu tidak sama dengan maksiat dalam
berpergian. Sebagai contoh adalah:
1) Seorang istri minggalkan suami karena nusyuz atau pergi dengan
maksud jahat misalnya membunuh, berzinah, terorisme atau yang
lainnya, maka selam berpergiannya itu tidak rukhsoh safar.
2) Seorang menjatuhkan dirinya dari lantai 10 gedung misalnya, sehingga
mengalami patah kaki, kemudian shalat dengan posisi duduk, ia harus
mengqhodo, sebab perbuatannya itu.
16
Abdul Mudjib, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta, Kalam Mulia, 2001, h.83
12
الش ْر ِط
َ ِب ب
َ ِّم َعلَى َما َو َج َ ِت ب
ُ الش ْر ِع ُم َقد َ ََما َثب .22
“Apa yang telah tetap menurut syara’ lebih didahulukan daripada apa yang
wajib menurut syarat”.17
Ketetapan yang berasal dari syara’ harus didahulukan pengamalannya
daripada ketapan yang timbul dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia,
sehingga karenannya tidak boleh bernazar dengan sesuatu yang wajib sepertai
nazar Ramadhan atau nazar shalat fardhu dan sebagainya.
Demikian pula apabila seorang suami berkata pada istrinya, saya tolak kamu
dengan memberikanmu uang sebesar 100.000, asal saya masih ada hak untuk
rujuk kepadamu. Perkataan memberi uang tersebut sebagai isyarat untuk rujuk
adalah gugur, sebab pada hkikatnya syara’ telah menetapkan akan haknya yaitu
rujuk
ب ِإيَلَّ بِالن ََّوافِ ِل َحىَّت ِ ِ يء َأح َّ مِمٍ ِ ِ وما َت َقَّر ِإ
ُ واليَز ُال َعْبد ْي َيَت َقَّر ْ ب ِإيِل َّ َّا ا ْفَتَر
َ .ضتُهُ َعلَْيه َ ب يِل َّ َعْبد ْي ب َش
َ ََ
ِ
ُُأحبَّه
Tidaklah ada cara yang paling aku sukai bagi hambaku yang mendekatkan diri
kepada-Ku kecuali dengan melakukan apa yang telah aku fardhukan kepadanya.
Dan tidak henti-hentinya hambaku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
melaksanakan ibadah-ibadah sunnah sehingga aku mencintainya.
Contoh misalnya: 1. Memulai memberi salam hukumnya sunnah, tetapi
lebih utama daripada yang menjawabnya, sedangkan hukum menjawab salam
adalah wajib. 2. Wudhu’ sebelum masuk shalat adalah sunnah hukumnya, dan itu
lebih baik daripada wudhu’ karena masuk waktu shalat, sebab berwudhu’ sebelum
waktu shalat mengandung beberapa kemaslahatan.
17
Ibid, h.83
18
ibid
13
2.4 Manfaat mengetahui kaidah-kaidah fiqh khusus dalam bidang ibadah
mahdhah
Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan
isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam
cabang-cabang fikih tertentu dan disebut al-qawaid al fiqhiyyah al-
khashshah atau juga disebut al-dhabith oleh sebagian ulama. Sebagai landasan
aktivitas umat islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran
islam (maqasid al-Syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawaid
Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para
ahli ushul maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id Fiqhiyyah adalah
mutlak diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaruan pemikiran
dalam masalah ibadah, muamalah, dan skala prioritas. Manfaat
keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih
praktis yang diturunkan dari teks dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-
Hadis yang digeneralisasi dengan sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan
memperhatikan berbagai kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya kini
mudah diterapkan kepada masyarakat luas.
Adapun manfaat memahami kaidah-kaidah fiqh khusus dalam bidang
ibadah mahdhah yaitu :
1) Kaidah-kaidah fiqh ini mempunyai perkembangan penting dalam
rangka mempermudah pemahaman tentang hukum Islam, di mana
berbagai hukum cabang yang banyak menjadi tersusun dalam satu
kaidah, yang seandainya kaidah-kaidah ini tidak ada tentulah berbagai
hukum tersebut akan menjadi hukum-hukum cabang yang berserakan,
dan lahirnya akan tampak bertentangan tanpa ada dasar yang
melekatkannya dalam pikiran;
2) Pengkajian atas kaidah-kaidah fiqh dapat membantu memelihara dan
mengikat berbagai masalah yang banyak dan saling bertentangan.
Selain itu, kaidah-kaidah fiqh ini juga akan menjadi jalan untuk
menghadirkan berbagai hukum;
3) Kaidah-kaidah fiqh akan mengembangkan malakah (daya rasa) fiqh
seseorang, dan menjadikannya mampu mencantelkan dan mentakhrīj
14
berbagai hukum fiqh yang tak terbatas, sesuai dengan kaidah-kaidah
mażhab imamnya;
4) Kaidah-kaidah fiqh akan mempermudah seseorang dalam mengetahui
berbagai hukum cabang dan menyatukannya dalam satu tema dengan
mengecualikan berbagai pengecualian dari masing-masing kaidah.
Dengan demikian, pertentangan dalam masalah hukum yang saling
menyerupai dapat dihindari;
5) Mengikat berbagai hukum dalam satu ikatan menunjukkan bahwa
hukum-hukum ini mempunyai kemaslahatan yang saling berdekatan
atau mempunyai kemaslahatan yang besar;
6) Memahami kaidah-kaidah fiqh merupakan keharusan. Kaidah-kaidah
fiqh akan membuka jalan bagi seorang imam untuk mengikat masalah
fiqh yang berserakan. Cukuplah bagi seorang ahli fiqh menyatakan
bahwa: (yang diperhatikan dalam transaksi adalah makna-makna),
daripada ia menyatakan bahwa jual beli terjadi dengan segala sesuatu
yang menunjukkan kepada kepemilikan barang dengan adanya
penggantian, sewa-menyewa terjadi dengan segala sesuatu yang
menunjukkan kepemilikan manfaat dengan adanya penggantian, dan
hibah terjadi dengan segala sesuatu yang menunjukkan kepemilikan
barang tanpa ada penggantian. Begitu juga, cukuplah bagi seorang ahli
fiqh menyatakan bahwa (siapa yang merusak sesuatu, maka ia harus
bertanggung jawab), daripada ia mengemukakan hukum-hukum cabang
yang mengandung unsur pengrusakan dan pertanggungjawaban.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banyak kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan masalah ibadah
mahdah, muamalah atau transaksi maupun dalam menetapkan skala priorotas.
Semua kaidah tersebut dimaksudkan untuk mempermudah manusia dalam
mengambil suatu keputusan terhadap hal yang baru. Mengingat saat ini sudah
semakin berkembangnya ilmu pengetahuan teknologi maupun pola pikir manusia
yang mengarahkan pada permasalahan baru yang harus ditemukan solusinya yang
sesuai dengan kaidah fikih dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Kaidah-kaidah fiqh dibidang Ibadah Mahdhah, Muamalah maupun Sakala
Priorotas sangat banyak dan menyeluruh. Salah satu manfaat dari adanya kaidah
tersebut adalah akan mengetahui prinsip-prinsip umum kaidah fikih dibidang
Ibadah Mahdhah, Muamalah maupun Sakala Priorotas serta mengetahui pokok
masalah yang mewarnai kaidah fiqh dibidang tersebut yang kemudian menjadi
titik temu dari masalah-masalah yang timbul. Adapun kedudukan kaidah-kaidah
tersebut adalah sebagai pelengkap, bahwa kaidah fikih yang digunakan adalah al-
Qur’an dan as-Sunnah.
16
DAFTAR PUSTAKA
2006
Jami’ah,1963, jilid 2
Rosdakarya,2006
hlm.
Ibnu Rajab al-Hanbali, Abu Faraj Abd al-Rahman al-Bahdadi, al-Qawa’id fi al-
17