Anda di halaman 1dari 18

BAB III

DILALAH

A. Pengertian Dalalah
Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau
memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul

(‫ – ) املدلول‬yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah

hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil ( ‫ – )دليل‬yang
menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut dalil hukum. Di
dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa “Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh
lafal ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq”.76

B. Pengertian Qath‟I dan Zanni Al-Dalalah.


Menurut Muhammad Hashim Kamali, Qath‟I secara etimologi bermakna yang
definitive (Pasti). Sedangkan Zhanni bermakna yang spekulatif.77
Menurut Muhammad Hashim Kamali, Nash qath‟I istilah adalah nash yang jelas dan
tertentu yang hanya memiliki satu makna dan tidak terbuka untuk makna lain, atau hanya
memiliki satu penafsiran dan tidak terbuka untuk penafsiran lain. Contohnya adalah nash
tentang hak suami terhadap istrinya yang telah meninggal. Firman Allah Swt.

ُ َ َۡ ۡ ُ ُ ََۡ َ ََ َ ُ ۡ ۡ ُ ََ
ٞ‫سَ ل َ ُٓ ََ َو َل‬
ْۚ ‫۞وىسً ُ ِصف ٌا حرك أزنسسً إِن ىً ي‬

Artinya : “Dan bagimu separuh dari harta yang ditinggalnya istri-istrimu jika
mereka tidak mempunyai anak. (An-Nisa, (4):12).

Contoh-contoh yang lain adalah.


َ ۡ ‫ضد ٌّ ِِۡ ُٓ ٍَا ٌِاْئَ َث َس‬
ٖ ‫ِلة‬
َُ ْ ُ ۡ َ َ َ َُ َ
ِٖ ‫ِلوا ُك َن‬ِ ‫ٱلزاجِيث وٱلز ِان فٱس‬
76
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, Cet. I ; Bandung: Mizan, 1992. h. 42
77
Muhammad Hashim Kamali, Priciple of Islamic Jurisprudence. Diterjemahkan oleh Noorhadi dengan judul :
“Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Isla” (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
Artinya: “Pezina baik laki-laki dan pezina wanita, deralah mereka masing-masing
100 kali. (An-Nuur, (24):2)”
ٗ َۡ َ َ َ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ٓ َ َ ُ َ َ ۡ َ ْ ُ َۡ ۡ َ َ ُ َ َ ۡ ۡ َ َ ‫َوٱ ََّل‬
‫ج ثً لً يأحٔا ةِأربعثِ طٓداء فٱس ِِلوًْ ذمِِي سِلة‬ ِ ‫ِيَ يَ ۡر ُمٔن ٱل ٍُطصن‬

Artinya : “Mereka yang menuduh wanita-wanita berzina dan gagal men-datangkan 4


orang saksi (untuk mem-buktikannya) maka deralah mereka 80 kali, (An-Nuur (24):4).
Aspek-aspek kuantitatif dari ketentuan-ketentuan ini, yaitu separuh, seratus, dan
delapan puluh, adalah dalil yang sudah jelas dan karena itu, tidak terbuka untuk menerima
penafsiran, begitu pula, ketentuan ketentuan Al-Qur‟an mengenai rukun-rukun Islam seperti
shalat dan puasa, dan juga bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum yang
sudah di tetapkan semuanya qath‟I; validitasnya tidak mungkin dibantah oleh siapapun,
setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi
ijtihad (mujtahid). 78
Menurut Abdul Wahab Khallaf, sama dengan pandangan Hashim Kamali di atas,
bahwa Nas yang qath‟I dalalanya ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang bisa
difahamisecara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima takwil, tidak ada tempat bagi
pemahaman arti selain itu, seperti firman Allah yang artinya dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai
anak, (al-Nisa (4): 12). Ayat ini adalah pasti, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan
seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain. Yakni yang lain dari seperdua.
Contoh lain pada firman Allah pada soal menindak laki-laki dan perempuan
yang berzina, yang artinya; “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, mka
daerah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, (al-Nur (24); 2). Ayat ini adalah pasti
juga, artinya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak lebih dan tidak kurang.
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, baik Hashim Kamali maupun oleh
Abdul Wahhab Khallaf maka dapatlah disimpulkan bahwa untuk menentukan nash qath‟i al-
dalalah ternyata memiliki ciri tertentu, yaitu :
Pertama, nashnya jelas dan makna yang dikandungnya tegas dan hanya memiliki satu
makna, tidak bisa mengandung isytiraqul makna dan juga hanya memiliki satu penafsiran,
tidak terbuka untuk penafsiran lain.

78
Muhammad Hasmim Kamali, “Prinsip dan Teori Hukum Islam” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. h. 24
Kedua, mencakup ketentuan-ketentuan al-Qur‟an mengenai rukun-rukun Islam seperti
shalat, puasa, zakat, haji dan jga bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum
yang telah ditetapkan secara permanen.

C. Pengertian Zhanni Al-Dalalah


Menurut Muhammad Hashim Kamali, Zhanni al-Dalalah secara etimologi (bahasa)
bermakna tidak jelas dan tidak tegas (spekulatif). 79
Menurut Muhammad Hashim Kamali ayat Al-Qur‟an yang bersifat al-Dalalah zhanni
(spekulatif) istilah adalah kebalikan dari ayat yang bersifat qath‟i (definitif), ia terbuka bagi
pemaknaan, penafsiran dan ijtihad. Penafsiran yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai
secara keseluruhan dalam al-Qur‟an dan mencari penjelasan penjelasan yang diperlukan pada
bagian yang lain dalam konteks yang sama atau bahkan berbeda. Sunnah adalah sumber
lainnya yang melengkapi al-Qur‟an dan menaf-sirkannya. Apabila penafsiran yang
diperlukan dapat ditemukan dalam suatu hadits, maka ia menjadi bagian integral dari al-
Qur‟an dan keduanya secara bersama-sama membawa keten-tuan yang mengikat. Kemudian
sumber lain berikutnya adalah para sahabat yang memenuhi syarat untuk menafsirkan al-
Qur‟an karena kedekatan mereka dari Nabi Saw, kepada Nash, keadaan-keadaan yang
melingkupinya dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw.
Muhammad Hashim Kamali me-lengkapi penjelasannya tentang zhanni al-
Dalalah dengan mengemukakan contoh nash yang zhanni dalam Al-Qur‟an adalah nash.
Firman Allah Swt.
ُ ُ َ َ َ ۡ ُ ُ َ َ ََ ۡ ُ ُ َََ ۡ ُ ُ َ َُ ۡ ُ َۡ َ ۡ َّ ُ
ًۡ‫س‬ ‫ض ِرٌج عييسً أٌهخسً وبِاحسً وأخنحسً وعمخ‬

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawani) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan. (An-Nisa (4): 23).
Nash ini definitif dalam kaitan dengan larangan mengawini ibu atau saudara
perempuan dan tidak ada bantahan tentang soal ini.
Namun demikian kata banatukum (anak-anak perempuan kamu) dapat dipahami dari
makna harfiahnya, yang berarti, anak perempuan yang lahir dari seorang baik melalui
perkawinan maupun zina, atau makna juridisnya. Menurut makna yang terakhir, banatukum,
hanya dapat diartikan sebagai anak-anak perempuan yang sah. 80

79
Muhammad Hashim Kamali, “Prinsip dan Teori Hukum Islam” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 46.
80
Muhammad Hashim Kamali, Loc. Cit
Menurut Abdul Wahab Khallaf nash yang zhanni dalalahnya ialah nash yang
menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari
makna asalnya (lughawi) kepada makna yang lain. Seperti firman Allah Swt.
ٖٓۚ ٖ‫صٓ ََ ذَ َل َر َث كُ ُروء‬ ُ َ َ ۡ ََََ ُ ََ َ ُۡ َ
ِ ِ ‫وٱلٍػيقج حَتبصَ ةِأُف‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
Quru‟. (Al-Baqarah (2): 228).
Pada hal lafa quru‟ itu dalan bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci dari haid.
Sedangkan nash menunjukkan (memberi arti) bahwa wanita-wanita yang ditalak itu menahan
diri (menunggu) tig kali quru‟. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksudkan, adalah
tida kali suci atau tiga kali haid. Jadi ini berarti tidak pasti dalalahnya atas satu makna dari
dua makna tersebut. Karena itu para mujtahid berselisih pendapat bahwa “iddah wanita yang
ditalak itu tiga kali haid atau tiga kali suci.
Dan juga contoh lain firman Allah Swt.
ۡ ُ َۡ َ ُ َ َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َ ّ ُ
‫ير‬
ِ ‫ِزن‬
ِ ‫ض ِرٌج عييسً ٱلٍيخث وٱلم وَلً ٱۡل‬
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah, (Al-Maidah (5): 3).
Padahal lafal maitan (bangkai) itu umum. Jadi ini mempunyai kemungkinan arti
mengharamkan setiap bangkai, atau keharaman itu (ditakhsis) dengan selain bangkai lautan.
Maka oleh karena itu, nas yang mempunyai makna yang serupa (makna ganda) atau lafal
umum, atau lafal mutlak dan atau seperti maitan ini. Semua-nya adalah zhanni dalalahnya,
karena ia mempunyai kecen-derungan kepada lebih dari satu arti. 81
Pada lafal maitan (bangkai) itu umum. Jadi ini mempunyai kemung-kinan arti
mengharamlan setiap bangkai, atau keharaman itu (ditakhsis) dengan selain bangkai lautan.
Maka oleh karena itu, nas yang mempunyai makna yang serupa (makna ganda) atau lafal
umum, atau lafal mutlak dan atau seperti maitan ini, semua-nya adalah zhanni dalalahnya,
karena ia mempunyai kecen-derungan kepada lebih dari satu arti.
Dari definisi tersebut di atas dapatlah dipahami, bahwa ciri-ciri yang menjadi
penyebab kezhannian sebagai dari nash al-Qur‟an itu adalah: Pertama, nash itu mengandung
makna ganda (isytiraqul makna), dan juga terbuka bagi penafsiran dan penakwilan (ijtihad).

81
Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit, h. 46.
Contoh, kata ‫َوبَنَاتُ ُكم‬ pada surat al-Nisa (4): 23, kata ini mengandung makna ganda,

pertama dilihat dari makna harfiahnya dapat bermakna anak perempuan yang lebih dari
seorang baik melalui perkawinan maupun tidak. Kedua, bila dilihat dari makna juridisnya,

kata ‫َوبَنَاتُ ُكم‬ hanya dapat diartikan sebagai anak-anak perempuan yang sah yang lahir dari

kedua orang tua yang telah diawali dengan proses perkawinan, kedua nash ini mengadung

makna umum. Contoh kata ‫ٱ ۡل َم ۡيتَة‬ pada surat al-Maidah (5): 3. Lafaz ini umum yang

kemungkinannya mencakup semua bangkai termasuk bangkai lautan.


Bila kita cermati uraian yang dikemukakan oleh Muhammad Hashim Kamali dan
Abdul Wahhab Kahallaf tentang qath‟i dan zhanni al-Dalalah maka dapatlah disimpulkan
bahwa keduanya sepakat untuk memberi peluang untuk memaknai, mentak-wilkan dan
menafsir-kan al-Qur‟an selama ayat itu tergolong zhanni al-Dalalah, namun keduanya
menutup rapat-rapat pintu pemaknaan ganda, penakwilan dan penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Qur‟an yang sifatnya qath‟I al-Dalalah.
Apa yang dilakukan dan ditetapkan oleh kedua ulama tersebut hal itu sangat
dipengaruhi dan diwarnai oleh disiplin ilmu yang digelutinya, yakni sebagai ulama Ushul
Fiqh, bukan ulama tafsir. Dikalangan ulama tafsir masalah qath‟i dan zhanni al-Dalalah tidak
menjadi salah satu pokok bahasan.

D. Macam-macam Dalalah.
Dilalah atau Dalalah terbagi menjadi dua macam yaitu Dilalah ghairu lafdziyah dan
Dilalah Lafdziyah.
1. Dilalah Ghairu Lafzhiyah.
Dilalah ghairu Lafzhiyah adalah petunjuk yang bukan berupa kata-kata atau suara.
Dilalah Ghairu Lafzhiyah terbagi menjadi tiga macam :
a. Dilalah Ghairu Lafzhiyah „Aqliyah, yaitu Dilalah (petunjuk) yang bukan berupa
kata-kata atau suara yang berupa pemahaman melalui akal pikiran (rasional).
Contoh : Berubahnya alam semesta menjadi dilalah (menunjukkan) bahwa alam
adalah sesuatu yang baru. Dengan dalil bahwa tiap alam itu berubah, dan tiap yang
berubah itu adalah hal yang baru. Dan sesuatu yang baru itu diawali dengan tidak ada.
b. Hilangnya barang-barang di rumah menjadi dilalah adanya pencuri yang
mengambil.
c. Terjadinya kebakaran di gunung menjadi dilalah bagi adanya orang yang
membawa api ke sana.
d.
Dilalah Ghairu Lafzhiyah Thabi‟iyah, yaitu
Dilalah (petunjuk) yang bukan berupa kata atau suara yang berupa sifat alami atau
spontanitas (tanpa berpikir dahulu).
Contoh: - Wajah cerah menjadi dilalah bagi hati yang senang.
- Menutup hidung menjadi dilalah bagi menghindarkan bau kentut dan
sebagainya.
- Merahnya wajah menjadi dilalah bahwa orang itu sedang marah atau Malu.
Maksudnya, yang menentukan demikian itu adalah bukan akal tetapi tabiatnya
memang demikian.

Dilalah Ghairu Lafzhiyah Wadh‟iyah yaitu,


Dilalah (petunjuk) bukan berupa kata atau suara yang dengan sengaja dibuat oleh
manusia untuk suatu isyarat atau tanda berdasarkan kesepakatan. Maksudnya yang
menentukan bukanlah akal dan bukan tabiat manusia, tetapi memang sengaja dibuat oleh
sekelompok manusia.

Contoh : Secarik kain hitam yang diletakkan di lengan kiri orang Cina adalah dilalah
bagi kesedihan/ duka cita, karena ada anggota keluarganya yang meninggal.
Bendera kuning dipasang di depan rumah orang Indonesia pada umumnya, menggambarkan
adanya keluarga yang meninggal.
Menganggukan kepala (orang Indonesia) menunjukkan “iya” (bersedia/ menyetujui),
sedangkan menggelengkan kepala menunjukkan “tidak” (menolak).

2. Dilalah Lafzhiyah
Dilalah Lafzhiyah adalah Petunjuk yang berupa kata atau suara. Dilalah ini terbagi
menjadi tiga bagian :
a. Dilalah Lafzhiyah „Aqliyah.
Dalalah Lafzhiyah „Aqliyah yaitu Dilalah (petunjuk) yang dilalah (tanda) yang
berdasarkan akal pikiran (rasional).
Contoh : Suara teriakan di tengah hutan menjadi dilalah bagi adanya manusia di sana.
Suara teriakan „Maling‟ di sebuah rumah menjadi dilalah bagi adanya maling yang
sedang melakukan pencurian.

b. Dilalah Lafzhiyah Thab‟iyah.


Dalalah Lafzhiyah Thab‟iyah yaitu Dilalah (tanda) yang bersifat alamiah atau
pembawaan.

Contoh : Suara “aduh” (rintian) menunjukkan rasa sakit.


Suara “Waw” menunjukkann rasa terkejut.

c. Dilalah Lafzhiyah Wadh‟iyah.


Dalalah Lafzhiyah Wadh‟iyah yaitu Dilalah (petunjuk) yang berupa kata yang
ditunjukkan untuk semua makna tertentu. Dan dengan sengaja dibuat oleh manusi
untuk suatu isyarat atau tanda (apa saja) berdasarkan kesepakatan bersama.
Contoh : Petunjuk lafadz (kata) kepada makna (benda) yang disepakati :
Orang Sunda, misalnya sepakat menetapkan kata Cau menjadi dilalah bagi Pisang
Orang Jawa, misalnya sepakat menetapkan kata Gedung menjadi dilalah bagi Pisang.
Orang Inggris, misalnya sepakat menetapkan kata Banana menjadi dilalah bagi
Pisang.
Dilalah (tanda) yang menjadi obyek pembahasan dalam ilmu mantiq adalah Dilalah
Lafzhiyah Wadh’iyyah (tanda yang berbentuk kata yang bersifat penetapan).82

E. Dilalah Lafziyah Wadh‟iyah.


Dilalah Lafzhiyah Wadh‟iyah dibagi menjadi tiga :
1. Dilalah Lafzhiyah Wadh‟iyah Muthabaqiyah, yaitu Dilalah lafadz (petunjuk kata)
pada makna secara keseluruhan.
Contoh : Kata rumah memberi petunjuk (Dilalah) kepada bangunan lengkap yang
terdiri dari dinding, jendela, pintu, atap dan lainnya, sehingga bisa dijadikan tempat
tinggal yang nyaman. Jika anda menyuruh seorang tukang membuat rumah, maka
yang dimaksudkan adalah rumah secara keseluruhan, bukan hanya dindingnya atau
atapnya saja.
Seorang murid bertanya kepada gurunya: “Pak, rokok itu apa ?

82
Totok Jumanto, dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Amza. hlm. 37.
Pak guru menjawab: “Rokok ialah tembakau yang digulung dengan kertas.”
Rokok diartikan dengan tembakau yang digulung dengan kertas, adalah tepat dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2. Dilalah Lafzhiyah Wadh‟iyah Tadhammuniyah, yaitu Dilalah lafadz (petunjuk
kata) kepada bagian-bagian maknanya, artinya hanya sebgian dari lafadz saja, bukan
secara keseluruhan.
Contoh : Jika anda, misalnya menyuruh tukang memperbaiki rumah maka yang anda
maksudkan bukanlah seluruh rumah, tetapi bagian-bagiannya yang rusak saja.
Jika anda meminta dokter mengobati badan anda, maka yang dimaksudkan adalah
bagian yang sakit saja.
3. Dilalah Lafzhiyah Wadh‟iyah Iltizamiyah, yaitu Dilalah lafadz (petunjuk kata)
kepada sesuatu yang di luar makna lafadz yang disebutkan, yang merupakan
keharusan bagi sesuatu tersebut. Dapat juga dikatakan sesuatu di luar kandungan
maknanya, tetapi terikat amat erat terhadap maknya yang dikandungnya.
Contoh: Seorang anak bertanya pada ibunya: “Bu, sambal itu apa?”
Ibunya menjawab: “Sambal itu suatu yang pedas yang menamba enaknya makanan.
“kata sambal” diartikan “pedas” itu kurang tepat dengan keadaan yang sebenarnya.
Tapi pedas itu pasti ada pada sambal.
Pengertian sambal artinya lombok/ cabai/merica dan bahan-bahan lain (seperti garam,
terasi dan lain-lain) yang diulek (dilembutkan dengan alat khusus untuk membuat
sambal). Dan semua makanan yang ada lombok/ cabai atau mericanya tentu pedas.
Jadi adanya cabai atau merica itu memastikan adanya pedas.83

F. Dalalah Dalam Pandangan Ulama Syafi‟iyah.


Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah, dilalah di bagi menjadi dua macam, yaitu:
dilalah manthuq dan dilalah mafhum.84

1. Dilalah Manthuq ( ‫)املنطوق‬ Dilalah manthuq dalam pandangan ulama syafi‟iyah

adalah :
Penunjukan lafaz menurut apa saja yang diucapkan atas hukum menurut yang disebut
dalam lafaz itu.

83
Totok Jumanto, dan Samsul Munir Amir, Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Amza. hlm. 39
84
Amir Syarifuddun, Ushul Fiqih Jilid 2, Jakarta; Logos Wacana Ilmu,; 1999, cet. 1 h. 25.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “sesuatu hukum” dari
apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman secara “manthuq”.
Firman Allah Swt.
َ ۡ ُ َََ ۡ ُ ُ َ َ َ ۡ ُ ُ َ َ َ ۡ ُ ُ َ َ ََ ۡ ُ ُ َََ ۡ ُ ُ َ َُ ۡ ُ َۡ َ ۡ َ ُ
‫ض ّ ِرٌج عييسً أٌهخسً وبِاحسً وأخنحسً وعمخسً وخلخسً وبِات ٱۡل ِخ‬

ُ ٓ َ ُ َ ََُ َ َ َ َ ّ ُ ُ َ َ ََ ۡ ُ َۡ َ َ ٓ َ ُ ُ ُ َ ََُ ۡ ُ ۡ ُ َََ


ًۡ‫س‬
ِ ‫ج وأٌهخسً ٱل ِت أۡرطعِسً وأخنحسً ٌَِ ٱلرضعثِ وأٌهج ن ِصان‬ ِ ‫وبِات ٱۡلخ‬
ۡ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ ۡ َ َ َ ُ ٓ ّ ُ َ ُ
َٰٓ َ ‫َو َر‬
ً‫به ِ ُتس ًُ ٱل ِت ِِف ُض ُشٔرِكً ٌَِّ ن َِصانِس ًُ ٱل ِت دخي ُخً ة ِ ِٓ ََ فإِن ى ًۡ حسُٔٔا دخي ُخ‬

َ‫س ًۡ َوأَن ََتۡ ٍَ ُعٔا ْ َب ۡي‬


ُ َ ۡ َ ۡ َ َ ُ ُ ٓ َ ۡ َ ُ َٰٓ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ُ َ َ َ
ِ ‫ة ِ َِٓ فَل سِاح عييسً وضلهِو أبِانِسً ٱَّلِيَ ٌَِ أصلت‬

ٗ‫ضيٍا‬ َ ٗ ُ َ َ َ ََ َ ََ َ َۡ َ َ َۡ ۡ ُ ۡ
ِ ‫ي إَِل ٌا كد شيفَۗ إ ِن ٱّلل َكن دفٔرا ر‬
ِ ‫ٱۡلخخ‬
Artinya, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang lak-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa‟ (4):23).
Ayat ini menurut manthuqnya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri yang berada
di bawah asuhan suami istri yang telah digauli. Apa yang di tunjuk di sini memang jelas
terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut. Penunjukan begitu jelas dan tidak
memerlukan penjelasan di balik yang tersurat itu.
Secara garis besar dilalah Manthuq dibagi dua yaitu :
a. Manthuq sharikh (jelas) Adalah Manthuq yang penunjukannya itu timbul dari
“wadh‟iyah muthabiqyah” dan “wadh‟iyah tadhamminiyah”.
Menurut syafi‟iyah yang dimaksud dengan Manthuq sharikh ini adalah apa yang
dimaksud dengan dilalah ibarah.
b. Manthuq Ghairu sharikh (tidak jelas). Adalah manthuq yang penunjukannya timbul
dari “wadh‟iyah iltizhamiyah”.85
Manthuq ghairu sharik terbagi kedalam dua macam yaitu :
1) Dilalah itidha‟ adalah dilalah yang dalam suatu ucapan ada suatu makna yang
sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah
mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga
ucapan itu dirasa tidak benar kecuali yang tidak disebutkan itu dinyatakan.
Misalnya dalam surat yusuf ayat 82.
َ ُ َ َ َ َ َََۡۡ ٓ َ َ ۡ َ َ َُ َ ََۡ َۡ َ ۡ َ
‫وسٔ ِو ٱىلريث ٱى ِت نِا ذِيٓا وٱىعِي ٱى ِت أرتيِا ذِيٓاۖ ِإَوُا ىص ِدكٔن‬

Artinya. Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ, dan kafilah yang
kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”. (Yusuf,
(12):82).
Secara nyata ungkapan tersebut terasa ada yang kurang, karena mana mungkin kita
bertanya pada kampung, yang bukan makhluk hidup maka perlu dihadirkan suatu kata yaitu
penduduk, yang sebelumnya kampung menjadi penduduk kampung yang dapat ditanya dan
memberi jawaban.
2) Dilalah ilma‟ adalah penyertaan sifat dengan hukum dalam bentuk seandainya sifat
itu bukan yang menjadi „illat untuk hukum tersebut, maka pernyataan itu tidak ada
artinya. Jadi dilalah ilma‟ secara sederhana dapat diartikan sebagai petunjuk yang
mengisyaratkan sesuatu. Misalnya sabda Rasulullah Saw kepada seorang arab
pedesaan yang melaporkan pada beliau bahwa ia telah bergaul; dengan istrinya pada
siang Bulan Ramadhan, maka nabi berkata „maka merdekakanlah hamba sahaya”
Disebutkan suatu kejadian yaitu „ mencampuri istri pada siang bulan Ramadhan‟
dihubungkan pada ucapan nabi „memerdekakan hamba sahaya‟ memberi syarat bahwa
kejadian itulah yang menjadi illat untuk hukum yang disebutkan.
Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara
Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukannya tidak ditunjukkan oleh
pembicara hanya terbatas pada suatu bentuk “dilalah isyarah” yang dalam pandangan
hanafiah juga disebut dengan dilalah isyarah atau isyarah nash.

85
Yahya Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986
2. Dilalah Mafhum ( ‫) املفهوم‬
Dilalah mafhum adalah Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya
hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan.
Atau dalam definisi yang lebih sederhana. Apa yang dapat dipahami dari lafaz bukan
menurut yang dibicarakan.
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Isra‟23 :
ٗ‫فَ ََل َت ُلو ل َ ُٓ ٍَا ٓ أُ ّف َو ََل َت ِۡ َٓ ۡر ُْ ٍَا َوكُو ل َ ُٓ ٍَا كَ ۡٔ َٗل َنريٍا‬
ِ ٖ
Artinya: Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan
janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (Al-Isra‟ (17):23).
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata-kata
kasar atau “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat yang disebutkan itu, juga dapat dipahami
adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya
memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Dari pengertian diatas maka mafhum dapat dibagi dua yaitu :
a. Mafhum Muwafaqah adalah mafhum yang lafadznya bahwa hukum yang tidak
disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafadz. Dari segi kekuatan
berlakunya pada apa yang tidak disebutkan maka mafhum muwafaqah terbagi dua
yaitu.
1. Mafhum aulawi. Yaitu berlakunya hukum pada suatu peristiwa yang tidak
disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya
hukum yang diberlakukan pada lafadz. Kekuatan itu ditinjau dari segi alasan
berlakunya hukum pada manthuqnya sebagaimana yang disebutkan dalam surat al
isra ayat 23.
2. Mafhum musawi yaitu berlakunya hukum pada suatu peristiwa yang tidak
disebutkan dalam manthuq, misalnya firman Allah Swt.
َ َۡ ۡ َ ََ ٗ َ ۡ ُ ُ َ ُ ُ َۡ َ َ ًۡ ُ َ ََۡ َ َ َۡ َ ُ ُ َۡ َ َ َ
‫إِن ٱَّلِيَ يأزئن أٌنل ٱِلتم ؽيٍا إِجٍا يأزئن ِِف بػُٔ ِ ًِٓ ُاراۖ وشيصئن‬

ٗ ِ‫َشع‬
‫يا‬
Artinya. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya. (An-Nisa‟. (4):10)
Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yati secara aniaya.
Ada yang tersirat di balik manthuq tersebut, yaitu haramnya “membakar” harta anak yatim,
karena meniadakan harta anak yatim itu terdapat dalam memakan dan membakar harta.
Kekuatan hukum haram pada membakar sama dengan hukum haram pada memakan karena
kesamaan alasan meniadakan pada kedua keadaan tersebut.
b. Mafhum Mukhalafah yaitu mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum yang
tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu :
1) Mafhum sifat (pemahaman dengan sifat )
Menunjukkan suatu lafadz yang menggunakan suatu sifat terhadap hukum yang
berlawanan pada suatu yang tidak disebutkan bila sifat tersebut tidak ada.
Contoh, firman Allah Swt.
ُ َ ۡ َ ۡ َ َ ُ ُ ٓ َ ۡ َ ُ َٰٓ َ َ َ
ًۡ‫س‬
ِ ‫وضلهِو أبِانِسً ٱَّلِيَ ٌَِ أصلت‬
Artinya : (dan diharamkan bagimu) mengawini istri-istri anak kandungmu (menantu)
(An-Nisa‟. (4):23).
Mafhum sifatnya adalah istri anak-anak yang bukan kandung, seperti cucu sesusuan.
2) Mafhum Ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
Contoh, firman Allah Swt.
َ ۡ ‫فَإن َغ َي َل َٓا فَ ََل ََتِ ُّو َ ُلۥ ٌِ َۢ َب ۡع ُد َض َت حَِه َِص َز ۡو ًسا َد‬
‫يهُ َۗۥ‬ ِ
Artinya. Jika si suami mentalak istrinya (talak tiga), tidak halal bekas istri itu
untuknya hingga bekas istri itu mengawini laki-laki lain. (Al-Baqarah. (2):230)
Mafhum Ghayahnya adalah jika istri tertalak tiga itu kawin dengan selain suami yang
telah mentalaknya.
3) Mafhum Syarat (pemahaman dengan syarat)
Contoh, firman Allah Swt.
َۡ َ ۡ َ َ َ َ َ َۡ َ ْ ُ ََ َۡ
ََُٓ َ‫َحي‬ َُْ َ ُ
ْۚ َ‫ج َح ٖو فأُفِلٔا عيي َِٓ ضت يظع‬
ِ ‫ِإَون زَ أول‬

Artinya. Jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah
mereka nafkah sampai mereka melahirkan anak. (At-Thalak (65):6).
Mafhum syaratnya yaitu jika istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil.
4) Mafhum „adad (Pemahaman dengan bilangan)
Contoh, firman Allah Swt.
َ ۡ ‫ضد ٌّ ِِۡ ُٓ ٍَا ٌِاْئَ َث َس‬
‫ِل ٖة‬ َ
‫ن‬
َُ ْ ُ ۡ َ َ َ َُ َ
‫ُك‬ ‫ٱلزاجِيث وٱلز ِان فٱس ِِلوا‬
ٖ ِ
Artinya: Pezina perempuan dan pezina laki-laki pukullah masing-masing sebanyak
100 kali. (An-Nur. (24):2).
Manthuq ayat tersebut adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina laki-laki dan
perempuan. Mafhum „adadnya adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila
pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang ditentukan.
5) Mafhum Al-laqab (pemahaman dengan julukan).
Contohnya firman Allah SWT

ِ ‫ول‬
‫هللا‬ ُ ‫ُُمَ َّم ُد َر ُس‬
Artinya: Muhammad utusan Allah
Manthuq dari ucapan itu adalah menetapkan kerasulan untuk seseorang yang bernama
Muhammad bin Abdullah. Mafhum laqabnya adalah tidak berlakunya kerasulan bagi
orang selain Muhammad bin Abdullah.
Dalalah Menurut Imam Hanafiyah.
Ulama golongan Hanafiyah membagi Dalalah menjadi dua bentuk yaitu Dalalah
Lafdhiyah dan Dalalah Gairu Lafdhiyah.86
1. Dalalah Lafdhiyah
Dalalah Lafdhiyah adalah petunjuk berbentuk lafadh dengan dalil yang digunakan
untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafadh, suara, atau kata. Dalam
penunjukannya pada suatu ma‟na.
Imam Abu Hanifah membaginya kepada empat macam yaitu :

a. „Ibaratu al-Nash ( ‫)النص عبارة‬


Dalalah Ibarat yang juga disebut Ibarat Nash ialah petunjuk lafadh kepada makna
yang mudah dipahami baik dimaksudkan untuk suatu arti asli maupun untuk arti tab‟i, dan

86
Dalalah dalam perspektif Hanafiah diakses, 2015.
makna itu memang dikehendaki oleh Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), baik maksud
itu asli menurut mereka atau maksud utama dari nash dan maksud yang tidak asli atau
maksud kedua yang mengikuti ma‟na yang asli tadi tapi tidak disebutkan dalam nash.
Contoh adalah ibarat dalam Al-Qur‟an firman Allah SWT :
َ َۡ ۡ َ ََ ٗ َ ۡ ُ ُ َ ُ ُ َۡ َ َ ًۡ ُ َ ََۡ َ َ َۡ َ ُ ُ َۡ َ َ َ
‫إِن ٱَّلِيَ يأزئن أٌنل ٱِلتم ؽيٍا إِجٍا يأزئن ِِف بػُٔ ِ ًِٓ ُاراۖ وشيصئن‬

ٗ ِ‫َشع‬
‫يا‬

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara


dzalim. Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Qs. An-Nisa (4):10).
Nash tersebut menunjukkan, bahwa di antara perbuatan dzalim yang paling keji ialah
memakan harta benda anak yatim, dimana perbuatan tersebut adalah dosa yang menimbulkan
siksaan kelak di hari kiamat dan sanksi hukuman di dunia yang dilaksanakan oleh
pemerintah, agar perbuatan tersebut tidak terulang lagi. Dari sini dapat diketahui, bahwa
Dalalah „Ibarat itu mempunyai beberapa tingkat kejelasan suatu lafadh.
Dalalah lafadh pada nash yang lalu, lebih kuat dari pada dalalah dzahir. Sebagai
contoh firman Allah yang berbunyi :
ْ َّ َ َ َ َ َ َۡۡ َُ َ َ ََ
‫لرب ْۚٔا‬
ِ ‫وأضو ٱّلل ٱۡليع وضرم ٱ‬
Artinya : Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba‟ (Qs. Al-
Baqarah: (2):275).
Ungkapan atau ibarat pada ayat tersebut menunjukan dua pengertian sebagaimana
berikut:
1. Membedakan antara jual beli dan riba. Ini merupakan tujuan utama yang ditunjukkan
ayat tersebut.
2. Menjelaskan akan halalnya jual beli. Pengertian ini merupakan tujuan Taba‟I
(sekunder).
Contoh firman Allah Swt.
َ ََُ ََۡ ٓ َ ّ َ ّ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ َ ََۡ ْ ُ ُۡ ََ ۡ ُ ۡ ۡ
‫سطٔا ٌا غاب ىسً ٌَِ ٱىنِصاءِ ٌرَن وذلد‬
ِ ُ‫صػٔا ِِف ٱِلتم فٱ‬
ِ ‫خفخً أَل تل‬
ِ ‫ِإَون‬
ْ ُ ُ َ َ َ َٰٓ َ ۡ َ َ َ ۡ ُ ُ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ ۡ َ ً َ َ َ ْ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ ۡ ۡ َ َ َ ُ َ
‫ضدة أو ٌا ميهج أيمِس ًْۚ ذل ِم أدن أَل تعٔلٔا‬ ِ ‫خفخً أَل تع ِدلٔا فن‬ِ ‫وربعۖ فإِن‬
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yang yatim maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, (An-
Nisa‟ (4):3).
Dengan memperhatikan „Ibarat nash (apa yang tersurat dalam nash) tersebut ada tiga
pengertian. Yakni :
1. Diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi atau cintai.
2. Membatasi jumlah istri sampai hanya empat orang saja.
3. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah)seorang saja atau
dengan budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.
Pengertian yang pertama bukan merupakan maksud asli, sedang pengertian yang kedua
dan ketiga merupakan maksud yang asli.
Sebab ayat tersebut dikemukakan pada orang-orang yang khawatir berkhianat
terhadap hak-hak wanita yatim, sehingga harus dialihkan dari beristri yang tiada terbatas
kepada terbatas yaitu hanya dua, tiga atau empat orang saja. Inilah maksud yang asli dari
Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), kemudian maksud yang tidak asli (tabi‟i) tentang
bolehnya mengawini wanita yang disenangi.

b. Isyaratu al - Nash ( ‫)النص اْارة‬


Dalalah Isyaratun Nash ialah petunjuk lafadh kepada arti yang dipahami dengan
jalan mengambil kalaziman atau kemestian dari arti yang dipahami dengan dalalah Ibaratun
Nash.
Contoh firman Allah SWT.
ًۡ‫س‬ ُ َ ۡ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ ُ ُ ۡ َ ّٗ َ ُّ َ َ َٰٓ َ ۡ َ ُ َ َ َ َ ْ ٓ ُ َ َ َ َ َ ُّ َ َٰٓ َ
ِ‫يأحٓا ٱَّلِيَ ءأٌِا إِذا حداينخً ةِدي ٍَ إَِل أس ٖو ٌصم فٱزختٔهْۚ وِلهخب ةي‬

ِّۡ‫ب َو ِۡلُ ٍۡيِو ٱ ََّلِي َعيَي‬ ۡ َ ۡ َ ُ َ ُ َ َ َ َ َ َ ُ ۡ َ َ ٌ َ َ ۡ َ َ َ ۡ َ ۡ ُۢ َ


ۡ ‫ه ُخ‬
ِ ‫َكح ِب ة ِٱىعد ِل ٖۚ وَل يأب َكح ِب أن يسخب نٍا عيٍّ ٱّللْۚ فيي‬

َۡ ‫ٱ‬
َ َ ‫َل ُّق َو ِۡلَ َخق ٱ‬
ُ‫ّلل َر َبّۥ‬
ِ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. “(Qs. Al-Baqarah, (2):282)
Maksudnya adalah memberi sifat terhadap catatan dengan benar, memberikan
pemahaman secara jelas bahwa apa yang ditulis itu harus benar dan sesuai kehendak orang
yang mengimlakkan. Dan secara implisit (isyarat) dapat dipahami bahwa catatan itu dapat
dijadikan Argumentasi (data) bagi orang yang mengimlakkan, dimana ia tidak dapat terhadap
apa-apa yang tertera dalam tulisan tersebut selama tidak didustakan.
Contoh lainnya :
ۡ ۡ ُ ُۡ َ ُ ۡ ََ
ِٖۚ ‫َولَع ٱل ٍَ ۡٔلٔدِ ُلۥ رِزر ُٓ ََ َوك ِۡص َٔت ُٓ ََ ة ِٱل ٍَع ُر‬
‫وف‬

Artinya : Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan
cara ma‟ruf. (Q.S. Al-Baqarah, (2):233)
Makna Ibarat Nash yang tersurat dari ayat tersebut adalah bahwa memberi nafkah dan
pakaian kepada ibu yang menyusui wajib bagi Ayah. Karena demikianlah makna yang dapat
diambil dengan mudah dari lafadh tersebut dan memang dimaksudkan oleh Siyaqul Kalam,
adapun makna isyarat nash nya yang tersirat antara lain :
1. Ayah tidak dapat disertai orang lain dalam menjalankan kewajibannya memberi
nafkah kepada anak-anaknya, lantaran anak itu adalah putranya sendiri bukan putra
orang lain.
2. Ayah walaupun dalam keadaan miskin sedangkan ibunya mampu, maka putra tersebut
tetap menjadi tanggungannya.
3. Ayah dalam keadaan yang sangat memerlukan boleh mengambil harta anaknya
sekedar menutup kebutuhannya, tanpa menggantinya. Karena ia adalah anaknya dan
harta aaknya termasuk hartanya juga.
Pengertian-pengertian yang demikian ini diistimbathkan dari Isyarat Nash. Yaitu dari
huruf “lam” pada lafadh “lahu” yang mengandung pengertian itu bahwa seorang anak itu
adalah milik bapaknya.87

c. Dalalatul Al-Nash ( ‫)النص داللة‬


Dalalatun Nash juga disebut Mafhum Muwafaqah disamping disebut pula Dilalatul
Aula. Sebagian fuqaha menyebutnya Qiyas Jali. Dilalatul Nash adalah pengertian secara

87
Khalaf, Abdul Wahab, „Ilm Ushul al-Fiqh,Kairo: Maktabah al-Da‟wah al-Islamiyah, cet. VIII, 1984
implisit tentang suatu hukum lain yang dipahami dari pengertian nash secara eksplisit
(„Ibaratun Nash) karena adanya penyebab faktor yang sama. Contohnya firman Allah SWT.
ٗ ‫فَ ََل َت ُلو ل َ ُٓ ٍَا ٓ أُ ّف َو ََل َت ِۡ َٓ ۡر ُْ ٍَا َوكُو ل َ ُٓ ٍَا كَ ۡٔ َٗل َنر‬
ٌََِ ‫ َوٱ ۡخفِ ۡض ل َ ُٓ ٍَا َس َِا َح ٱ َُّّل ّل‬,‫يٍا‬
ِ ِ ٖ

ٗ ِ‫َح ُٓ ٍَا َن ٍَا َر َب َيان َصغ‬


‫يا‬
َۡۡ ّ َ َُ ََۡ
‫ب ٱر‬
ِ ِ ‫ٱلرَحثِ وكو ر‬
Artinya : Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
Telah mendidik Aku waktu kecil”. (Qs. Al-Isra‟ (17):23-24)
Secara eksplisit ayat tersebut menunjukkan tentang haramnya mengucapkan kata “ah”
kepada kedua orang tua.
Bila ucapan “ah” kepada kedua orang tua saja diharamkan maka memukul dan
mencerca serta segala perkataan dan perbuatan yang menyakitkan hati kedua orang tua, tentu
lebih diharamkan. Dalalah ini dapat difahami dari nash ayat tersebut tanpa memerlukan
sebuah istinbath.
Dengan demikian, perbedaan antara Dilalatun Nash dengan Qiyas adalah kalau Qiyas
titik persamaan (illat) antara kamu hukum yang terkandung di dalam nash dan yang tidak
terkandung di dalam nash hanya dapat diketahui melalui istinbath. Sedang Dalalatun Nash
hukum itu dapat diketahui tanpa adanya istinbath. Bahkan terkadang Dalalah tersebut dapat
langsung diketahui dari satu lafadh. Baik oleh orang yang ahli atau pun tidak.

d. Iqtidhau al-nash ( ‫)النص اقتضاء‬

Dalalah Al-iqtidha ( ‫ )اُلقتضاء داللة‬disebut juga Iqtidha‟ an- Nash (‫)النص إتضاء‬.
Menurut sebagian ulama‟ ahli Fiqh berpendapat bahwa :
Penunjukan lafadh kepada sesuatu yang tidak disebutkan yang kebenarannya
tergantung kepada yang tidak disebut itu.
Misalnya firman Allah SWT :
َ ُ َ َ َ َ َََۡۡ ٓ َ َ ۡ َ َ َُ َ ََۡ َۡ َ ۡ َ
‫وسٔ ِو ٱىلريث ٱى ِت نِا ذِيٓا وٱىعِي ٱى ِت أرتيِا ذِيٓاۖ ِإَوُا ىص ِدكٔن‬
Artinya : Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang
kami datang bersamanya, dan Sesunggunya kami adalah orang-orang yang benar”. (Q.s.
Yusuf: (12):82)
Menurut dzahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana
mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu
memunculkan sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar.
Kata yang dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung” yang dapat
ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-
orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi orang-orang dalam “kafilah” yang
memungkinkan memberikan jawaban.
Contoh lain misalnya firman Allah SWT.
ُ ُ َََ ۡ ُ ُ َ َُ ۡ ُ َۡ َ ۡ َّ ُ
ًۡ‫س‬ ‫ض ِرٌج عييسً أٌهخسً وبِاح‬

Artinya, Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan....(An-Nisa‟ (4):23).
Arti yang dipahami dengan Dalalah Ibaratun Nash dari ayat di atas adalah bahwa ibu
dan anak perempuan adalah haram.
Akan tetapi keharaman itu terletak pada perbuatan bukan pada materi bendanya. Oleh
karena itu untuk menjadikan lebih jelas pengertian ayat tersebut, harus diperkirakan adanya
sesuatu yang tidak disebutkan yakni (mengawini), sehingga art ayat di atas menjadi:
Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu.88

88
Muhammad, Abu, Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 20

Anda mungkin juga menyukai