Anda di halaman 1dari 2

u Nawas MajdubHUKUM MENABUH HADRAH/REBANA/TERBANGANDi dalam madzhab Syafi’i bahwa

Duff (rebana) hukumnya Mubah secara Mutlak (lihat dalam Faidh al-Qadir juz 1 halaman 11).
Diriwayatkan pula bahwa para wanita memukul rebana menyambut Rasulullah Saw. di suatu acara
pernikahan dan Rasul Saw. mendengarkan syair mereka dan pukulan rebana mereka, hingga mereka
berkata: “Bersama kami seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi”, maka Rasul Saw.
bersabda:“Tinggalkan kalimat itu dan ucapkan apa-apa yang sebelumnya telah kau ucapkan.(Shahih
Bukhari hadits No. 4852).Juga diriwayatkan bahwa rebana dimainkan saat hari Asyura di Madinah di
masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum (Sunan Ibn Majah hadits No.1897).Dijelaskan oleh Imam Ibn
Hajar bahwa Duff (rebana)dan nyanyian pada pernikahan diperbolehkan walaupun merupakan hal
yang Lahwun (melupakan dari Allah), namun dalam pernikahan hal ini (walau lahwun) diperbolehkan
(keringanan syariah karena kegembiraan saat nikah), selama tak keluar dari batas-batas
mubah.Demikian sebagian pendapat ulama (Lihat dalam Fath al-Bari Juz 9 halaman 203)
menunjukkan bahwa yang dipermasalahkanmengenai pelaranganrebana adalah karena halyang
lahwun (melupakan dari Allah), namun bukan berarti semua rebana haram, karenaRasul Saw.
memperbolehkannya, bahkan dijelaskandengan Nash Shahih dari Shahih Bukhari. Namun ketika
mulai makna syairnya menyimpang dan melupakan dari Allah Swt. maka Rasul Saw. Melarangnya.
Demikianlah maksud pelarangannya di masjid, karena rebana yang mengarah pada musik lahwun,
sebagian ulama membolehkannya di masjid hanya untuk nikah walaupun lahwun, namun sebagian
lainnya mengatakan yang dimaksud adalah diluar masjid, bukan didalam masjid. Pembahasan ini
semua adalah seputar hukum rebana untuk gembira atas akad nikah dengan lagu yang melupakan
dari Dzikrullah.Berbeda dengan rebana dalam maulid, karena isi syairnya adalah shalawat, pujian
pada Allah dan RasulNya Saw., maka hal ini tentunya tak ada khilaf padanya, karena khilaf adalah
pada lagu yang membawa lahwun.Sebagaimana Rasul Saw. tak melarangnya, maka muslim mana
pula yang berani mengharamkannya, sebab pelarangan di masjid adalah membunyikan hal yang
membuat lupa dari Allah di dalam masjid. Sebagaimana juga syair yang jelas-jelas dilarang oleh Rasul
Saw. untuk dilantunkan di masjid, karena membuat orang lupa dari Allah dan masjid adalah tempat
dzikrullah, namun justru syair pujian atas Rasul Saw. diperbolehkan oleh Rasul Saw. di
masjid.Demikian dijelaskan dalam beberapa hadits shahih dalam Shahih Bukhari, bahkan Rasul Saw.
menyukainya dan mendoakan Hassan bin Tsabit seraya melantunkan syair di masjid, tentunya syair
yang memuji Allah dan RasulNya.Saudaraku, rebana yang kita pakai di masjid itu bukan lahwun dan
membuat orang lupa dari Allah, justru rebana-rebana itu membawa muslimin untuk mau datang dan
tertarik hadir ke masjid, duduk berdzikir, melupakan lagu-lagu non muslimnya, meninggalkan alat-
alat musiknya, tenggelam dalam dzikrullah dan Nama Allah Swt. ‘Asyik ma’syuk menikmati rebana
yang pernah dipakai menyambut Rasulullah Saw., mereka bertobat, mereka menangis,mereka asyik
duduk di masjid, terpanggil ke masjid, betah di masjid, perantaranya adalah rebana itu tadi dan syair-
syair pujian pada Allah dan RasulNya, dengan meniru perbuatan para sahabat yaitu kaum Anshar
radhiyallahu ‘anhum yang perbuatan itu sudah diperbolehkan oleh Rasul Saw.Dan sebagaimana
majelis kita telah dikunjungi banyak ulama, kita lihat bagaimana Guru Mulia al-Musnid al-‘Allamah al-
Habib Umar bin Hafidz, justru tersenyum gembira dengan hadroh majelis kita, demikian pula
al-‘Allamah al-Habib Zein bin Smeth (Pimpinan Ma’had Tahfidhul Qur’an Madinah Almunawwarah).
Demikian pula al-‘Allamah al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri (Pimpinan Rubath Tarim,
Hadramaut) juga menjadi Dosen di Universitas Al-Ahqaf Yaman. Demikian al-‘Allamah al-Habib
Husein bin Muhamad al-Haddar, Mufti Baidha, mereka hadir di majelis kita dan gembira. Tentunya
bila hal ini mungkar niscaya mereka tak tinggal diam dan akan melarang kemungkaran di masjid,
bahkan mereka memuji majelis kita sebagai majelis yang sangat memancarkan cahaya keteduhan
melebih banyak majelis-majelislainnya.Mengenai pengingkaran yang muncul dari beberapa ulama
adalah karena mereka belum mentahqiq masalah ini, karena tahqiq dalam masalah ini
adalahtujuannya, sebab alatnya telah dimainkan di hadapan Rasulullah Saw. yang bila alat itu
merupakan hal yang haram mestilah Rasul Saw. telah mengharamkannyatanpa membedakan ia
membawa manfaat atau tidak. Namun Rasul Saw. tak melarangnya, dan larangan Rasul Saw. baru
muncul pada saat syairnya mulai menyimpang, maka jelaslah bahwa hakikat pelarangannya adalah
pada tujuannya. Nah, para ulama atau kyai Ahlussunnah wal Jama’ah yang melarangnya mungkin di
masa kehidupan mereka rebana dipakai hal yang mungkar dengan sorak-sorai dan tawa terbahak-
bahak di dalam masjid, maka mereka melarangnya.Keterangan Tambahan:Para ulama berselisih
pendapat mengenai hukum main rebana (terbangan) di dalam masjid pada acara-acara tertentu
seperti akad nikah dan pembacaan maulid. Terdapat dua pendapat yang saling bertentangan dalam
masalah ini:Pendapat pertama menyatakan menyatakan bahwa memainkan rebana di dalam masjid
diperbolehkan. berdasarkan hadits nabi: ‫ُوف‬ ُّ ‫عل َي ْ ِه ب‬
ِ ‫ِالدف‬ ْ ‫ َو‬،‫الم َساجِ ِد‬
َ ‫اض ِربُوا‬ َ ‫ُوه ِفي‬
ُ ‫اج َعل‬
ْ ‫ َو‬،‫َاح‬ ْ َ ‫أ‬Umumkanlah
َ ‫علِنُوا َهذَا ال ِن ّك‬
pernikahan dan lakukanlah di masjid serta (ramaikan) dengan memukul duff (rebana).(Sunan
Turmudzi no. 1089).Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubra
menjelaskan, hadits tersebut mengisyaratkan kebolehan memainkan rebana dalam acara pernikahan
di dalam masjid dan diqiyaskan pula kebolehan memainkan rebana untukacara-acara lainnya. Syekh
al-Muhallab menyatakan bahwa semua pekerjaan yang dikerjakan di dalam masjid apabila tujuannya
demi kemanfaatan kaum muslimin dan bermanfaat bagi agama, boleh dikerjakan di dalam masjid.
Qodhi Iyadh juga menyatakan hal yang sama, beliau menambahkan, selama pekerjaan tersebut tidak
merendahkan kemuliaan masjid maka boleh dikerjakan.Kebolehan di atas dengan batasan selama
tidak mengganggu kekhusyu’an orang-orang yang sedangmengerjakan ibadah di dalam masjid dan
dilakukan dengan cara yang tidak sampai merendahkan kemuliaan masjid, jika ketentuan tersebut
dilanggar maka hukumnya haram.Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya haram karena
menganggap masjid bukanlah tempat keramaian dengan memukul rebana, melainkan tempat khusus
ibadah. Adapun hadits yang membolehkan memainkan rebana di masjid, menurutmereka yang
maksud hadits itu adalah menampakkan akad nikah di dalam masjid dan memukul rebananya
dilakukan di luar masjid.Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Amru bi at-Ittiba’ wa an-Nahyu ‘an al-Ibtida’
menjelaskan: “Diantaranya (perkara-perkara bid’ah) adalah menari, menyanyi di dalam masjid,
memukul duff (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik.
Maka, barangsiapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut
baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah
Ta’ala berfirman:‫اس ُم ُه‬ َ ‫وت أ َ ِذ َن الل ّ َ ُه أ َ ْن تُ ْرف ََع َوي ُ ْذك ََر ِف‬
ْ ‫يها‬ ٍ ُ ‫ ِفي بُي‬Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya.(QS. an-Nur ayat 36).Rumah-
rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Alloh Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya,
menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), (bau) bawang putih, bawang merah, nasyid-
nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya
atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan dan berhak diberikan
hukuman.”Kesimpulannya, hukum memainkan rebana di dalammasjid adalah khilaf, sebagian ulama
memperbolehkannya dan sebagian ulama' melarangnya. Wallahu a’lam1. Al-Fatawi al-Fiqhiyah al-
Kubra juz 4 halaman 3562. Umdat al-Qari Syarh Shahih Bukhari juz 4 halaman 2203. Fath al-Bari juz 3
halaman 3404. Umdat al-Mufti wa al-Mustafti juz 1 halaman 1295. I’anat ath-Thalibin juz 3 halaman
3166. Al-Amru bi al-Ittiba’ wa an-Nahyu ‘an al-Ibtida’ halaman 30

Anda mungkin juga menyukai