Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri,
semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Dia-lah sang pembuat hukum yang
dititahkan kepada seluruh mukallaf.
Manusia adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan dan segala
apa yang dilakukan selalu ada konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya manusia
ditugaskan sebagai khalifah di bumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas
dari pertanggung jawaban. Dalam kehidupan sehari-hari seperti, melakukan akad
jual beli, utang piutang, atau dalam menjalankan ibadah seperti haji, manusia
dalam hal ini sebagai Mahkum ‘alaih dapat dikatakan sah karena sudah memenuhi
persyaratan yang ada, atau mungkin status sahnya diurungkan untuk sementara
dikarenakan ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi sehingga dapat menjadikan manusia sebagai mukallaf
atau seorang yang sudah dikatakan cakap hukum, sehingga apa yang dilakukan
dan diucapkan sudah sah, sempurna, layak secara hukum.
Allah SWT meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah
sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap
perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah hikmah yang
sangat kuat. Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan
tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu
atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir
secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri
maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diinginkan. Begitu juga dengan
konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam
peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh
hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.

1
Lebih jelasnya dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang mahkum
fihi (obyek hukum) dan mahkum alaihi (subyek hukum).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penjelasan tentang Mahkum Fihi?
2. Bagaimana Penjelasan tentang Mahkum Alaihi?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian dan Penjelasan tentang Mahkum Fihi.
2. Mengetahui Pengertian dan Penjelasan tentang Mahkum Alaihi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mahkum Fih
1. Pengertian Mahkum Fih

Mahkum fih disebut juga dengan objek hukum, yaitu sesuatu yang
dikehendaki oleh Pembuat Hukum (Allah SWT) untuk dilakukan atau ditinggalkan
oleh manusia, atau dibiarkan oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau tidak.
Dalam ulama ushul fiqh, yang disebut mahkum fih atau objek hukukm yaitu
sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu
sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat.1 Misalnya daging
babi. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan maupun larangan.
Berlakunya hukum adalah pada memakan daging babi, yaitu sesuatu perbuatan
memakan , bukan pada zat daging babi itu.

Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang
terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan
meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab,
halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.2 Jadi, secara singkatnya dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan
mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu
pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan
antara melakukan dan meninggalkannya. Hukum wadh’i adalah ketentuan-
ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang
menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). Hukum taklifi

1
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta : Kencana Media Grup, 2011 ), hal. 417.
2
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 317.

3
jelas menyangkut perbuatan mukalaf, sedangkan hukum wadh’i ada yang tidak
berhubungan dengan perbuatan mukalaf seperti tergelincirnya matahari untuk
masuknya kewajiban shalat dzuhur.

2. Syarat-Syarat Mahkum Fihi

Perbuatan manusia bila telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka
berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif.
Dengan demikian untuk menentukan apakah seseorang dikenai beban hukum
terhadap suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah
memenuhi syarat untuk menjadi objek hukum atau tidak.

Para ahli Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan
sebagai objek hukum, yaitu:3

1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mengecat langit.
2. Perbuatan itu tentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak
mungkin berlaku taklif terhadap sesuatu perbuatan yang tidak jelas. Misalnya
menyuruh seseorang untuk menangkap angin.
3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukalaf dan berada
dalam kemampuannya untuk melakukannya. Seorang mukalaf tidak dituntut
melakukan perbuatan kecuali perbuatan yang ia mampu melakukannya.

Perbuatan yang berlaku padanya taklif ditinjau dari segi hubungannya


dengan Allah dan hambanya terbagi menjadi empat:

1. Perbuatan yang merupakan hak Allah secara murni, dalam arti tridak ada
sedikit pun hak manusia. Semua ibadah mahdhoh termasuk dalam bentuk ini.
2. Perbuatan yang merupakan hak hamba secara murni, yaitu tindakan yang
merupakan pembelaan terhadap kepentingan pribadi. Misalnya hutang
piutang.

3
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta : Kencana Media Grup, 2011 ), hal. 418.

4
3. Perbuatan yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak
Allah lebih dominan. Misalnya pelaksanaan had terhadap penuduh zina.
4. Perbuatan yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak
hamba lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan qishoh terhadap suatu
pembunuhan.
Selanjutnya, setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan
pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu. Dapat tidaknya taklif itu dilakukan
orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal
ini objek hukum terbagi tiga:
1. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif,
umpamanya shalat dan puasa.
2. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku
taklif, umpamanya kewajiban zakat.
3. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta benda
dari pelaku taklif, umpamanya kewajiban haji.

Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda, pelaksanaannya dapat


digantikan oleh orang lain. Dengan demikian, pembayaran zakat dapat dilakukan
orang lain. Setiap taklif yang berkaitran dengan diri pribadi, harus dilakukan
sendiri oleh orang yang dikenai taklif dan tidak dapat digantikan orang lain. Setiap
taklif yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat digantikan
orang lain pada saat tidak mampu melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji
dapat diwakilkan kepada orang lain dalam keadaan tidak mampu.

B. Mahkum Alaih
1. Pengertian Mahkum Alaih

Mahkum ‘alaih atau subjek hukum adalah mukallaf yang perbuatannya


berkaitan (menyangkut) dengan hukum syara’.4 Yaitu orang-orang yang dituntut
oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan
4
Bakri, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1991) hal. 158.

5
berdasarkan tuntutan Allah itu. Dengan kata lain mahkum alaihi adalah orang
yang kepadanya diberlakukan hukum.

Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah
seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf.5
Disebutkan pula bahwa mahkum alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan
tuntutan Allah itu.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum,
sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek
hukum). Mukallaf adalah orang yang teklah dianggap mampu bertindak hukum,
baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua
tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung jawaban,
baik di dunia maupun akhirat.
Jadi, secara singkat kami simpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang
mukallaf yang perbuatannya menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah.

2. Syarat Mahkum Alaihi

Seperti yang sebelumnya diterangkan bahwa definisi hukum taklif adalah


titah Allah yang menyangkut perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan
tuntutan atau pilihan untuk berbuat. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa
ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapat disebut mukalaf,
yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah itu dan bahwa ia mampu melaksanakan
tuntutan tersebut. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah bahwa ia terkena tuntutan dari


Allah. Baik memahami secara langsung dalil-dalil taklif maupun melalui
perantaraan orang lain. Umat Islam yang sudah baligh dan berakal dianggap
mengetahui hukum Allah, sehingga kepadanya telah berlaku taklif.

5
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta : Kencana Media Grup, 2011 ), hal. 424.

6
2. Mukallaf haruslah ahli atau layak untuk dikenakan taklif. Ahli yang dimaksud
terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ahliyyah Wujub adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari
orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b. Ahliyyah Ada’ yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di
anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya,
baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal ini berarti bahwa segala
tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai
akibat hukum.6

Ahliyah wujub sendiri dibagi lagi menjadi dua, yaitu:


1. Ahliyah al wujub naqish adalah kecakapan yang dikenai hukum secara lemah.
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak menerima
kewajiban. Seperti bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin ini telah
menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir.
Tetapi bayi ini tidak dibebani kewajiban apa-apa. Dan kecakapan untuk
dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Seperti orang yang mati
tetapi masih meninggalkan hutang.
2. Ahliyah al-wujub kamilah adalah kecakapan yang dikenai hukum secara
sempurna. Yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga
menerima hak. Kecakapan ini berlaku sejak lahir sampai meninggal dunia.
Sepeti anak yang baru lahir, disamping ia berhak atas harta warisan dari orang
tuanya, ia juga dikenai kewajiban membayar zakat.

Sedangkan ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini
dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:

1. ‘Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir
sampai mencapai umur tamyiz (sekitar umur 7 tahun). Dalam batas ini,
seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif
itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut

6
Sutrisno, Ushul Fiqh, (Jember: STAIN Press, 1999), hal. 106.

7
mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ucapan dan perbuatannya
juga tidak mempunyai akibat hukum.
2. Ahliyah al-ada’ naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu
manusia yang telah mencapai umur tamyiz sampai dewasa. Penamaan
naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan
belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Dalam
hal ini, tindakannya dan ucapannya terbagi kepada tiga tingkat, yaitu:
a. Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya, umpamanya
menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk
ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan
terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
b. Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang
ada padanya, umpamanya pemberian yang dilakukannya, baik dalam
bentuk hibah atau sedekah, pembebasan hutang. Segala tindakannya, baik
dalam bentuk ucapan atau perbuatan tidak sah atau batal yang tidak
memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
c. Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual
beli, sewa menyewa, dan lain-lain yang di satu pihak mengurangi haknya
dan di pihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang
dilakukan dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam
kesahannya tergantung kepada persetujuan yang diberikan oleh walinya
sesudah tindakan itu dilakukan.

Tindakan mumayiz dalam hubungannya dengan ibadah adalah sah karena ia


cakap dalam melakukan ibadah, tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia
belum dewasa.

3. Ahliyah al-ada’ kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu
manusia yang telah mencapai usia dewasa atau aqil baligh.

8
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Mahkum fih atau objek hukum adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau
dibebani dengan hukum syar’i.
2. Syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:
a. Perbuatan itu sah dan jelas adanya.
b. Perbuatan itu tentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
c. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukalaf dan berada
dalam kemampuannya untuk melakukannya.
3. Mahkum alaih atau subjek hukum adalah seorang mukallaf yang perbuatannya
menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah.
4. Ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapat disebut
mukalaf, yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah itu dan bahwa ia mampu
melaksanakan tuntutan tersebut.

9
Daftar Pustaka

Bakri, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1991.

Sutrisno, Ushul Fiqh, Jember: STAIN Press, 1999.

Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 1, Jakarta : Kencana Media Grup, 2011 .

10

Anda mungkin juga menyukai