Anda di halaman 1dari 13

REVIEW BUKU

BERISLAM DI ERA MILENIAL

Karya : Khoirul Anwar, M.Ag.

TUGAS MATA KULIAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dosen : Drs. Daryono, M.S.I.

Oleh :

Nama : Farid Fahreza Irzani

Nim : B.131.22.0128

Prodi / kelas : S1 MANAJEMEN / B

Hari / Jam kuliah : Jumat / 20.00

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEMARANG

2022
Hukum Shalat di Dalam Gereja

Salah satu dari 5 syarat sahnya shalat yang harus dipenuhi yaitu dilakukan di tempat yang suci, baik
tempat yang berada di rumah, kantor, tempat kerja, musholla, masjid, atau lainnya. Adapun 4 syarat
lainnya yaitu 1) suci dari hadast kecil dan besar, 2) menutup aurat, 3) mengetahui waktu shalat telah
masuk, dan 4) menghadap kiblat.

Persoalan datang ketika seseorang sedang berada di gereja, seperti sedang mengikuti acara di gereja
kemudian masuk waktu shalat, sedang bekerja di sekitar gereja lalu adzan berkumandang, atau
alasan-alasan lainnya, sementara masjid atau mushalla jauh dari tempat ia berada. Dalam keadaan
seperti ini, bolehkah seorang muslim shalat di dalam gereja?

Ibnu Qudamah (w. 620 H), pakar fikih dari madzhab Hanbali dalam karyanya, Al-Mughni,
menjelaskan:

َ ‫الش ْعبِ ُّي َواَأْل ْوزَ ا ِع ُّي َو‬


،‫س ِعي ُد بْنُ َع ْب ِد ا ْل َع ِزي ِز‬ َّ ‫س نُ َو ُع َم ُر بْنُ َع ْب ِد ا ْل َع ِزي ِز َو‬
َ ‫ص فِي َها ا ْل َح‬
َ ‫ َر َّخ‬،‫س ِة النَّ ِظيفَ ِة‬
َ ‫صاَل ِة فِي ا ْل َكنِي‬ َ ‫َواَل بَْأ‬
َّ ‫س بِال‬
‫سى‬ َ ‫ضا عَنْ ُع َم َر َوَأبِي ُمو‬ ً ‫ي َأ ْي‬
َ ‫َو ُر ِو‬

“Tidak masalah shalat di dalam gereja yang suci. Hasan Bashri, Umar bin Abdil Aziz, Asy-Sya’bi,
Al-Auza’i, Sa’id bin Abdil Aziz telah memperbolehkan shalat di dalam gereja. Demikian juga
diinformasikan bahwa Umar bin Khathab dan Abi Musa al-Asy’ari juga memperbolehkannya.”
(1968: II, 57).

Sedangkan menurut Ibnu Abbas, Malik, madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i, shalat di dalam
gereja hukumnya makruh, alasannya karena di dalam gereja ada banyak gambar (ash-shuwar).
Pendapat ini dimentahkan Ibnu Qudamah dan para sarjana fikih madzhab Hanbali lainnya dengan
menyampaikan bukti sejarah bahwa Nabi Muhammad pernah menjalankan shalat di dalam Ka’bah
yang saat itu banyak gambar dan patung. (Ibnu Abidin, 1992: I, 380, Az-Zuhaili, tt: II, 981, Al-
Bahuti, tt: I, 293).

Para sarjana fikih yang menghukumi makruh menganggap bahwa gereja adalah tempat setan
(ma`wa asy-syayathin) karena di dalamnya ada banyak gambar dan patung. Pandangan demikian
juga berlaku untuk tempat-tempat lain yang kerap digunakan maksiat.

Jika mengacu pada pendapat yang menganggap bahwa setan dapat berkumpul di tempat yang di
dalamnya kemaksiatan dilakukan, maka tempat-tempat lain yang secara lahiriah menjadi “tempat
ibadah umat Islam” tapi digunakan untuk hal-hal yang dilarang agama, seperti menggunjing,
menebar kebencian, atau rapat untuk memecah belah persaudaraan antarumat dan bangsa juga dapat
di hukumi makruh shalat di dalamnya.

Demikian juga kantor yang digunakan untuk korupsi, tempat kerja yang digunakan untuk maksiat,
dan yang lainnya hukumnya makruh shalat di dalamnya, karena menjadi tempat berkumpulnya
setan. Tapi, tidak demikian. Menurut Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin, shalat meski
menjadi ibadah yang bersifat lahiriah, yakni dikerjakan oleh anggota tubuh (a’mal al-jawarih),
namun erat kaitannya dengan anggota batin dalam mencapai khusyu’. Kehadiran hati di hadapan
Allah (hudlur al-qalb) atau khusyu’ merupakan hal yang paling inti di dalam shalat. Al-Ghazali
menyebutnya “ruh atau esensi shalat”. (Al-Ghazali, 2004: I, 215).

Kendati khusyu’ oleh para sarjana hukum Islam (fuqaha`) tidak menjadi bagian dari syarat sahnya
shalat, namun kata al-Ghazali tidak boleh dikesampingkan, minimal ketika takbiratul ihram.

Pembahasan tentang khusyu’ (a’mal al-qulub) sengaja disampaikan di sini untuk menjadi
pertimbangan bahwa di dalam shalat ada hal lain yang lebih penting dari tempat, yaitu khusyu’.
Asalkan tempatnya suci, entah di gereja, sinagoge, sanggar, kantor, rumah sendiri, rumah orang
Kristen, rumah orang Khonghucu, rumah orang Budha atau yang lain maka sah-sah saja meski di
sekitarnya ada banyak gambar, patung, salib atau lukisan. Selain suci, lebih penting lagi di manapun
tempatnya, tetap bisa menghadirkan hati di hadapan Allah atau khusyu’.

Izin Pengurus

Hukum diperbolehkan shalat di dalam gereja atau rumah ibadah milik non muslim lainnya harus
disertai izin dari pengurus rumah ibadahnya. Apabila pengurus gereja tidak mengizinkan seorang
muslim masuk ke gerejanya atau shalat di dalamnya, maka hukum masuk dan shalat di dalamnya
tidak diperbolehkan. Alasannya, non muslim yang dalam literatur fikih klasik disebut “ahlu adz-
dzimmah” (orang yang harus dilindungi umat Islam) memiliki hak untuk melarang orang Islam
masuk ke gerejanya atau shalat di dalamnya. (Al-Bujairami, 1995: II, 94, Asy-Syirbini, 1994: VI,
78).

Izin di sini bisa melalui ucapan verbal secara langsung dari pengurus gereja atau berdasarkan
kebiasaan (ma ‘urifa bi idznihim), yakni gereja atau rumah ibadah non muslim biasa digunakan
untuk shalat bagi tamu atau orang-orang Islam yang sedang beraktivitas di sekitarnya.

makruh shalat di gereja karena di dalamnya ada patung


Pendapat ini dinukil dari Umar dan Ibnu Abbas dan pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah, Imam
Malik, mazhab Syafi’iyyah, Hambali . Alasannya, karena di gereja terdapat patung (atau gambar
makhluk hidup).

Hukum Mengucapkan “Selamat Natal’’

Dalam QS. Al-Mumtahanah 8 dinyatakan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi karena agama dan tidak mengusir
dari tempat tinggalnya.
Ath-Thabari dalam karya tafsirnya, Jami’u al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, menafsirkan ayat di atas
sebagai ajaran Islam yang memperbolehkan seorang muslim berbuat baik, menyambung
persaudaraan dan berlaku adil kepada semua penganut agama . Berbuat baik kepada non muslim
hukumnya tidak haram, baik non muslim yang memiliki ikatan keluarga maupun bukan. .
Mengucapkan selamat Natal bagian dari berbuat baik kepada non muslim, atau dalam istilah
Mushthafa Az-Zarqa , pakar hukum Islam asal Syiria, bagian dari berinteraksi dengan cara yang
baik .

Bukan Soal Akidah

Mengucapkan selamat Natal jika dimasukkan ke dalam kategori ajaran Islam, maka masuk bab
«mu’amalah» atau ajaran agama yang mengatur hubungan antar sesama, yakni tidak ada
hubungannya dengan akidah atau membenarkan keyakinan non muslim.
Dalam hadis diceritakan, ketika jenazah Yahudi yang hendak dimakamkan diusung di depan Nabi
Muhammad, Nabi segera berdiri sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Menurut Az-Zarqa, apa
yang dilakukan Nabi Saw dalam menghormati jenazah Yahudi bukan berarti membenarkan
keyakinannya, melainkan perwujudan dalam menerapkan interaksi antar sesama dengan cara yang
sebaik-baiknya. .
Dalam Islam, perbedaan agama bukan menjadi penghalang seseorang dalam berinteraksi, melainkan
sebagai keberagaman yang sudah menjadi titah Allah yang seorang muslim harus menerimanya
dengan lapang dada.

sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa,
Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa
Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang
yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat
Al-Mumtahanah ayat 8:

‫ار ُك ْم َأ ْن تَبَرُّ وهُ ْم َوتُ ْق ِسطُوا ِإلَ ْي ِه ْم‬


ِ َ‫اَل يَ ْنهَا ُك ُم هَّللا ُ َع ِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الدِّي ِن َولَ ْم ي ُْخ ِرجُو ُك ْم ِم ْن ِدي‬

Artinya: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."

Musuh Yang Sesungguhnya Dalam Jihad

Pakar bahasa Arab dan ilmu-ilmu al-Quran, Ar-Raghib Al-Ashfihani (w. 1108) dalam bukunya,
Mufradat Alfadh al-Qur`an, menjelaskan bahwa kata jihad sinonim dengan kata mujahadah, artinya
“mencurahkan segala upaya untuk menolak musuh” (istifragh al-wus’ fi mudafa’ah al-‘aduww).
Musuh di sini bisa berupa musuh yang terlihat (dhahir) maupun musuh yang tidak tampak, yakni
setan dan hawa nafsu. (2009: 208).

Al-Quran dalam berbagai ayatnya seperti dalam QS. Al-Hajj 78, QS. At-Taubah 41, QS. Al-Anfal
72 menggunakan kata jihad dengan arti tersebut, yakni memerangi musuh yang riil maupun abstrak.
Demikian juga dalam hadis, kata jihad digunakan untuk menunjukkan makna ini.

Kata jihad yang terdapat di dalam al-Quran banyak yang disampaikan dalam bentuk fi’il amr, yakni
menunjukkan makna perintah. Karena itu, para ulama menetapkan bahwa jihad bagian dari
kewajiban agama yang harus dilakukan oleh seorang muslim hingga kiamat tiba.

Kesalahan kerap terjadi di dalam penggolongan atau kategorisasi “pihak musuh”, yakni objek yang
harus diperangi. Siapa musuh yang harus diperangi? Di sini muara kesalahan terjadi. Kesalahan ini
menjadikan kesucian jihad ternodai seperti yang dilakukan kelompok-kelompok jihadis dewasa ini.

Musuh yang harus diperangi adalah kezaliman. Dalam al-Quran semua ayat yang berkaitan dengan
jihad tidak lepas dari upaya melawan kezaliman (Misalnya QS. Al-Hajj 39-40, QS. Al-Baqarah 190,
QS. At-Taubah 36 dan yang lainnya). Nabi Muhammad dan para sahabatnya diperintahkan
memerangi orang-orang kafir karena kezalimannya, yakni telah menyerang Nabi dan pengikutnya.
Ketika kafirin tidak lagi melakukan kezaliman (mengancam dan menyerang umat Islam), maka
jihad juga segera dihentikan. (QS. Al-Baqarah 193).
Jihad dalam contoh Nabi Saw melawan orang-orang kafir di atas menunjukkan arti perang dengan
cara melukai atau membunuh. Hal ini bukan berarti jihad Nabi sama dengan kekerasan. Apa yang
dilakukan Nabi Saw dan sahabatnya tidak lebih sebagai upaya membela diri dari serangan musuh
(daf’ al-i’tida`) yang berupa kezaliman dari orang-orang kafir.

Musuh berupa kezaliman bentuknya sangat beragam dan bisa dilakukan siapapun dan kapanpun;
penguasa kepada rakyat, pemilik modal kepada pekerja, umat agama tertentu kepada pemeluk
agama lain, dan seterusnya. Selama di dunia ini ada kezaliman, maka kewajiban jihad akan terus
ada. Namun apakah dilakukan dengan cara melukai atau membunuh? Tentu tidak. Melukai dan
membunuh hanya dilakukan dalam keterpaksaan ketika orang-orang yang menjadi musuh (baca:
pelaku kezaliman) menyerang hingga dalam ancaman nyawa; yakni di hadapkan pada dua pilihan
antara dibunuh atau membunuh, dilukai atau melukai.

Melawan kezaliman sebagaimana banyak diserukan dan dilakukan oleh para ulama sejak masa
lampau bentuknya sangat banyak, seperti memberikan nasihat kepada pemimpin yang tidak adil
(zalim), belajar dan mengajar, menolong orang-orang yang membutuhkan, membela orang-orang
yang tertindas, dan sejumlah aktivitas lainnya yang memberikan kehidupan, bukan kematian.
Karena jihad yang sesungguhnya bukan memberi kematian pada seseorang, melainkan
menghilangkankezalimannya.

Adapun memerangi musuh yang abstrak, yakni setan dan hawa nafsu juga pada dasarnya melawan
kezaliman. Setiap manusia memiliki setan dan hawa nafsu yang jika dibiarkan maka akan
melahirkan tindakan zalim. Setan atau hawa nafsu yang terus menggoda seseorang untuk
mengambil barang yang bukan haknya atau korupsi misalnya, jika tidak dilawan maka seseorang
akan kalah dan melakukan kezaliman. Setan atau hawa nafsu yang mendorong seseorang berfantasi
mengikuti pesta seks di surga apabila tidak segera diperangi juga akan melahirkan kezaliman, dan
sejumlah tindakan pembiaran terhadap setan dan hawa nafsu lainnya yang semuanya berdampak
pada kezaliman.

Jadi, musuh sesungguhnya yang harus diperangi adalah kezaliman, siapapun pelakunya. Selama
kezaliman masih ada di muka bumi, maka jihad selalu menjadi kewajiban bagi seorang muslim.

Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’,
“Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan
menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam
berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.
Madzhab Maliki
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-
Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian,
dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang),
atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang
dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.

Madzhab as Syaafi’i
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad
dengan “berperang di jalan Allah”.[3] Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-
Muhadzdzab;sesungguhnya jihad itu adalah perang.

Madzhab Hanbali
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn
Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki makna
lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu
kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap
musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.

Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan
cabang jihad.[4] Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi
mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh
meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan
telah diserahkan kepadanya.

Abu Ishaq
Menurut Abu Ishaq, kata jihaad adalah mashdar dari kata jaahada, jihaadan, wa mujaahadatan.
Sedangkan mujaahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam memerangi musuhnya, sesuai
dengan kemampuan dan tenaganya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qathlu al-kufaar khaashshatan
(memerangi kaum kafir pada khususnya).

Al Bahuuthiy
Al-Bahuuthiy dalam kitab al-Raudl al-Marba’, menyatakan; secara literal, jihaad merupakan
bentuk mashdar dari kata jaahada (bersungguh-sungguh) di dalam memerangi musuhnya. Secara
syar’iy, jihaad bermakna qitaal al-kufaar (memerangi kaum kafir).
Al Dimyathiy
Al-Dimyathiy di dalam I’aanat al-Thaalibin menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi
sabiilillah; dan berasal dari kata al-mujaahadah.[8] Imam Sarbiniy, di dalam kitab al-Iqnaa’
menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi sabiilillah wa ma yata’allaqu bi ba’dl ahkaamihi
(berperang di jalan Allah dan semua hal yang berhubungan dengan hukum-hukumnya).

Di dalam kitab Durr al-Mukhtaar, dinyatakan; jihaad secara literal adalah mashdar dari kata
jaahada fi sabilillah (bersungguh-sungguh di jalan Allah). Adapun secara syar’iy, jihaad bermakna
al-du’aa` ila al-diin al-haqq wa qataala man lam yuqabbiluhu (seruan menuju agama haq (Islam)
dan memerangi orang yang tidak mau menerimanya). Sedangkan Ibnu Kamal mendefinisikan
jihaad dengan badzlu al-wus’iy fi al-qitaal fi sabiilillah mubasyaratan au mu’awanatan bi maal au
ra’y au taktsiir yakhlu dzaalik (mencurahkan segenap tenaga di dalam perang di jalan Allah baik
secara langsung atau memberikan bantuan yang berujud pendapat, harta, maupun akomodasi
perang.

Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy


Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy, dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’, menyatakan; secara literal,
jihaad bermakna badzlu al-juhdi (dengan jim didlammah; yang artinya al-wus’u wa al-thaaqah
(usaha dan tenaga) mencurahkan segenap usaha dan tenaga); atau ia adalah bentuk mubalaghah
(hiperbolis) dari tenaga yang dicurahkan dalam suatu pekerjaan. Sedangkan menurut ‘uruf syara’ ,
kata jihaad digunakan untuk menggambarkan pencurahan usaha dan tenaga dalam perang di jalan
Allah swt, baik dengan jiwa, harta, lisan (pendapat).

Abu al-Hasan al-Malikiy


Abu al-Hasan al-Malikiy, dalam buku Kifaayat al-Thaalib, menuturkan; menurut pengertian
bahasa, jihaad diambil dari kata al-jahd yang bermakna al-ta’ab wa al-masyaqqah (kesukaran dan
kesulitan). Sedangkan menurut istilah, jihaad adalah berperangnya seorang Muslim yang bertujuan
untuk meninggikan kalimat Allah, atau hadir untuk memenuhi panggilan jihaad, atau terjun di
tempat jihaad; dan ia memiliki sejumlah kewajiban yang wajib dipenuhi, yakni taat kepada imam,
meninggalkan ghulul, menjaga keamanan, teguh dan tidak melarikan diri.[12]

“Busana Muslim” Menurut Islam


Pakaian atau busana sesungguhnya tidak memiliki agama. Perkataan busana yang disifati dengan
agama tertentu seperti «busana Muslim», «busana Hindu», «busana Kristen» dan seterusnya hanya
sebatas identifikasi simbol yang sebenarnya bermasalah. Pasalnya tidak ada agama yang murni
memiliki simbol di dalam busana.
«Busana muslim» menjadi istilah keseharian karena keberhasilan industri busana dalam
menciptakan pasar. Agama berkaitan dengan iman atau kepercayaan yang terletak di dalam hati
manusia, penampakan darinya terlihat dari ritual dan puncaknya berupa «amal saleh» atau
perbuatanbaik.
Dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang menunjukkan makna kewajiban menggunakan
pakaian dengan model atau warna tertentu, yang ada hanya kewajiban menutup aurat . Adapun
bentuk, model, motif, warna dan lainnya diserahkan kepada masing-masing individu sesuai dengan
kebutuhannya, yakni untuk melindungi tubuh dari sengatan terik matahari atau menjaga tubuh dari
cuaca dingin, untuk menghias diri supaya terlihat indah atau menjaga diri dari serangan senjata atau
benda-benda lain. Al-A’raf 26 bahwa «pakaian takwa» itu lebih baik. Ibnu ‘Abbas, sahabat Nabi
Saw yang mendapat gelar tarjuman al-Qur`an atau juru bicara al-Quran menafsirkan «pakaian
takwa» dengan «perbuatan baik» . .
Dalam ayat yang membicarakan tentang fungsi pakaian sebagai penutup aurat di atas, «pakaian»
disebut dengan «libas», bukan «tsiyab» atau «sarabil» yang juga digunakan al-Quran untuk
menunjukkan makna serupa, yakni «sesuatu yang dipakai», karena kata libas tidak sekedar
bermakna «pakaian» yang bisa dilepas lalu berganti pakaian lain, kemudian dipakai lagi, tapi
maknanya yaitu «pakaian yang selalu melekat».

As-Sarkhasi rohimahulloh mengatakan, “Maksud hadis, seseorang tidak boleh memakai pakaian
yang sangat bagus dan indah, sampai mengundang perhatian banyak orang. Atau memakai pakaian
yang sangat jelek –lusuh-, sampai mengundang perhatian banyak orang. Yang pertama, sebabnya
karena berlebihan sementara yang kedua karena menunjukkan sikap terlalu pelit. Yang terbaik
adalah pertengahan.” (al-Mabsuth, 30:268).

Kisah Umar Bin Khattab Merawat Non Muslim Tua

Dalam tulisan ini terpaksa menggunakan istilah «non muslim» supaya kandungan makna dalam
cerita yang patut diteladani ini dapat mencakup ke semua penganut agama di luar Islam, baik itu
agama yang lahir dari luar maupun dalam Nusantara sendiri. Al-kisah, suatu ketika Umar bin
Khathab lewat di depan pintu rumah salah satu rakyatnya. Umar segera menghampiri. Mendengar
jawaban dari pengemis tua itu, Umar segera menggandengnya ke rumah dan Umar memberikan
kebutuhannya.
Selain itu Umar juga segera memanggil penjaga baitul mal supaya memberikan santunan
kepadanya. « Kita telah memakan uang pajak yang ia berikan saat usianya masih muda, kini ketika
ia sudah tua, kita justru menerlantarkannya.» . Bagi Umar yang saat itu menjadi penguasa atas
urusan administrasi umat Islam, siapapun itu, dari agama manapun selama ia membutuhkan maka
harus dibantu. Terlebih kakek-kakek peminta itu bagian dari rakyat yang Umar pimpin, Umar
merasa telah berbuat zalim dengan tidak memenuhi haknya sebagai warga negara yang dalam usia
tua seharusnya diperhatikan «negara».
Bagaimanapun ketika kakek itu masih bekerja, ia memberikan pajak kepada «negara», tapi kini
tenaganya sudah lapuk dimakan usia, maka negara yang harus menanggung kebutuhannya. Dari
kisah di atas, setidaknya ada dua kebijaksanaan atau hikmah yang dapat diteladani dari Umar bin
Khathab, salah satu sahabat Nabi Muhammad yang dijanjikan masuk surga. Namun ketika tak lagi
bisa bekerja lantaran usianya yang sudah tua renta hingga sekedar untuk makan saja tidak ada,
Umar memberikannya bagian dari baitul mal. Siapapun yang membutuhkan, baik dari orang yang
seagama maupun bukan, maka harus ditolong.

Pun sebaliknya, siapapun yang mampu menolong, baik itu muslim maupun non muslim maka harus
segera ulurkan tangan. Inilah Islam rahmatan li al-‘âlamin, Islam yang kasih sayangnya melampaui
sekat-sekat agama dan suku.

Tiga Kata Perang dalam Al-Quran

Setidaknya ada 3 kata di dalam al-Quran yang kerap diartikan dengan «perang», yaitu harb, qital,
dan jihad.
Pertama; Harb. Kata ini dalam al-Quran dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 11 kali.
Secara bahasa artinya «membunuh» atau «melarikan». Bentuk pluralnya hurub. Menurut Ar-Raghib
al-Ashfihani, harb artinya merampok atau merampas dengan cara berperang , harib berarti orang
yang dirampok, sedangkan al-harbah artinya alat yang digunakan untuk merampok.
Penggunaan kata harb dalam al-Quran untuk menunjukkan aktivitas «perang» yang dilakukan umat
Islam sangat sedikit sekali dibandingkan dua kata lainnya, yakni jihad dan qital. Alasannya, kata
harb pada masa pra Islam digunakan untuk menyebut perang antar suku atau bangsa yang bertujuan
untuk menguasai serta demi kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum umat manusia.
Sementara tujuan perang dalam Islam demi kepentingan kemanusiaan yang berarti umum, bukan
kepentingan kelompok, suku atau agama tertentu. .
Kedua; Qital. Kata ini dengan beragam bentuknya dalam al-Quran disebut sebanyak 170 kali. Kata
qital adalah perpindahan dari kata qatl yang terdiri dari tiga huruf asli ke wazan fi’al dengan
menambahkan huruf alif setelah huruf qaf menjadi qital bertujuan supaya kata tersebut mengandung
arti persekutuan di antara dua orang .
Perpindahan kata qatl menjadi qital berpengaruh terhadap arti, yaitu pembunuhan yang dilakukan
oleh seseorang yang juga dilakukan oleh orang lain atau «saling membunuh». Kata ini digunakan
untuk menyebut perang karena dalam perang terjadi dua orang atau kelompok yang saling
menyerang untuk membunuh. Sehingga perang yang diistilahkan dengan qital memberikan kesan
bahwa tujuan perang untuk membunuh lawan.
Kendati demikian, dalam Islam tujuan perang bukan untuk membunuh, tapi sebatas melumpuhkan
lawan . Oleh karena itu apabila lawan tidak lagi menyerang maka perang harus dihentikan.
Ketiga; Jihad. Kata ini dengan beragam derivasinya dalam al-Quran disebutkan sebanyak 41 kali.
Asal kata jihad adalah al-jahd dan al-juhd yang berarti kekuatan atau kesungguhan . Menurut satu
pendapat, al-jahd memiliki arti berat , sedangkan al-juhd bermakna lapang . Kata juhd dalam al-
Quran terdapat dalam QS. ath-Taubah 79, sedangkan kata jahd ada dalam QS. An-Nur 53.
Dari dua kata ini lahir kata ijtihad yang memiliki makna menjadikan diri dengan mengerahkan
segala kemampuan sembari menanggung beban berat . memerangi musuh yang nyata . memerangi
syaitan . memerangi diri/ hawa nafsu . Ketiga makna jihad ini digunakan al-Quran dalam QS. Al-
Hajj 78, ath-Taubah 41, dan Al-Anfal 72.
Dalam hadis, kata jihad juga digunakan untuk menyebut salah satu dari ketiga makna di atas.

«Perangilah hawa nafsu kalian sebagaimana kalian memerangi musuh kalian».

«Perangilah orang-orang kafir dengan menggunakan tangan dan lisan kalian.» .


Dari sini dapat dipahami bahwa makna jihad dalam al-Quran dan hadis sangat beragam sesuai
dengan arti jihad secara bahasa , yakni mencurahkan segala kemampuan, baik kaitannya dengan
memerangi diri sendiri maupun orang lain.

KH Bahauddin Nur Salim atau akrab disapa Gus Baha yang berada di samping Habib Quraish pun
mengamini hal ini: bahwa kita sebagai Muslim memang sudah seharusnya menampakkan sikap,
tutur kata dan perilaku yang baik. Sebab bermula dari hal-hal itulah orang lain menjadi tertarik
dengan Islam. Bukan dengan cara kekerasan.
Gus Baha mencontohkan, dulu saat Nabi berdakwah guna menyadarkan kaum Arab dari paganisme
adalah dengan cara melontarkan pertanyaan yang sekiranya menganggu logika mereka. Seperti
dalam QS. 46: 4: “Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah (kepadaku) tentang apa yang kamu
sembah selain Allah; perlihatkan kepadaku apa yang telah mereka ciptakan dari bumi atau adakah
peran serta mereka dalam (penciptaan) langit?.”

DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad Ibnu Qudamah, Al Mughni, Kairo: Maktabah Al-Qahidah, 1968, vol. II, hal 57.

Website : https://islami.co/hukum-shalat-di-dalam-gereja

Muhammmad bin Jarir ath-Thabari, Jami’u al-Bayan fi Ta’will al –Qur’an, t.tp: Mu’assasah ar-
Risalah, cet. I, 2000, vol, XXIII, hal. 323. Website : https://islami.co/hukum-mengucapkan-selamat-
natal

Al-Raghib al-Ashfihani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, Damaskus: Dar al-Qalam, cet , I, 1412
H, vol. I, hal 208. Website : https://islami.co/musuh-yang-sesungguhnya-dalam-jihad

Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’will al-Qur'an, t.tp: Mu’ assasah ar-
Risalah, cet. I, 2000, vol. XXII, hal. 367. Website : https://islami.co/busana-muslim-menurut-islam

Abu Yusuf al-Anshari, Al-Kharaj, Al-Muktabah al-Azhariyah li at-Turats, tt, hal. 139. Website :
https://islami.co/kisah-umar-bin-khathab-merawat-non-muslim-tua

Muhammad bin Nashir al-Ja'wan, Al-Qital fi al-islam, t.tp. tp. cet. II, 1983, hal. 12. Website :
https://islami.co/tiga-kata-perang-dalam-al-quran-yang-sering-disalahpahami

Anda mungkin juga menyukai