DISUSUN OLEH:
RIVA RIFQOTUS SHOLIHAH
2
Hal ini sebagaiamana penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-
Mustashfa halaman 78;
b. Shalat Qashar
Shalat Qashar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas
bilangan rakaatnya. Shalat yang dapat di Qashar adalah Shalat yang terdiri
dari empat rakaat yakni isya’, Dzuhur, Ashar. Sholat maghrib dan subuh tidak
dapat di qashar.
2. Kajian Teori
a. Sebab – Sebab Ruqhshah
3
ketidak tahuan, ‘usru wa ‘umumu al-balwa: adalah suatu kesulitan dimana
seseorang merasa kesulitan untuk menjauhinya dan hal itu sudah berbaur
dengan kehidupan manusia, sifat yang kurang sempurna.
Jika dua syarat ini terpenuhi, maka safar bisa menjadi sebab adanya
rukhshah (keringanan). Diantaranya ialah mengqashar shalat, tidak berpuasa,
dan semacamnya.
b. Macam-Macam Ruqhshah
Berikut ini adalah ulasan mengenai pembagian rukhsah yang terdapat
dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437
H).
Rukhsah terbagi menjadi empat bagian :
1) rukhsah wajibah.
Rukhsah ini merupakan rukhsah yang wajib dilakukan.
Contoh : kebolehan makan bangkai bagi orang yang hampir mati
kelaparan.
2) rukhsah mandubah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang sunah
dikerjakan.
4
Contoh : kebolehan meringkas (qashar) salat bagi musafir yang
beperjalanan lebih dari dua marhalah (81 km atau lebih) . Nah, rukhsah
semacam ini membolehkan musafir meringkas salat yang awalnya empat
rakaat menjadi dua rakaat. Hukum asalnya adalah tidak boleh meringkas
salat dalam keadaan normal (tidak sedang perjalanan), namun karena
ia sedang dalam perjalanan (musafir) maka diperbolehkan bahkan
hukumnya sunah dilakukan supaya tidak mengalami kesulitan
(masyaqqah) dalam perjalanannya.
Hal ini didasarkan atas sabda Rasulullah Saw. kepada Umar Ra. :
َ علَ ْي ُك ْم فَا ْقبَلُوا
ُصدَقَتَه َ َ صدَقَةٌ ت
َّ َصدَّق
َ َّللاُ ِب َها َ
Artinya :
“Itu adalah sedekah yang Allah bersedekah dengannya atas kalian. Maka
terimalah sedekah-Nya”. (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, as-Sunan al-
Kubra, jus 3 hal 141)
3) rukhsah mubahah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang boleh dilakukan
atau ditinggalkan.
4) rukhsah khilaf al-aulā. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang lebih utama
ditinggalkan.
5) Contoh : kebolehan membatalkan puasa bagi musafir dimana ia masih
mampu untuk berpuasa (tidak berbahaya bagi dirinya).
c. Hukum Shalat Qashar Dan Shalat Jamak
1) Shalat Qashar
5
Syaikh Al Albani menilai hadis ini sanadnya Jayyid (Bagus). Semua
perawinya tsiqah,yakni para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Al-Hanna’i di
mana dia adalah perawi Muslim. Namun segolongan orang-orang tsiqah juga
telah meriwayatkan darinya.
Dan hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/145), Abu Dawud
(1201), Ibnu Abi Syaibah (2/108/1/2). Juga diriwayatkan darinya oleh Abu
Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 99/2) dari beberapa jalur yang berasal dari
Muhammad bin Ja’far, tanpa dengan ucapan Al-Hanna’i: “Sedangkan aku
pergi ke Kufah….sampai aku kembali”. Meskipun ini tambahan yang benar.
Bahkan oleh karenanya, hadis ini berlaku. Demikian pula hadis ini juga
dikeluarkan oleh Abu Awannah (2/346) dari jalur Abu Dawud (dia adalah
Ath-Thayalisi), dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Syu’bah. Namun Ath-
Thayalisi tidak meriwayatkannya dalam Musnad-nya”.
(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu mil adalah sejauh mata
memandang ke bumi, di mana mata akan kabur ke atas permukaan tanah,
sehingga tidak mampu lagi menangkap pemandangan. Demikianlah
penjelasan Al-Jauhari.
Namun dikatakan pula, batas satu mil adalah jika sekira memandang
kepada seseorang di kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki
atau perempuan, dan dia hendak pergi atau hendak datang, seperti keterangan
dalam Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian ulama sekarang adalah
sekitar 1680 meter.
a) Kandungan Hukumnya
Hadis ini menjelaskan, bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh
(satu farsakh sekitar 8 km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-Khuththabi
telah menjelaskan dalam Ma’alimus Sunan (2/49): “Meskipun hadis ini telah
menetapkan, bahwa jarak tiga farsakh merupakan batas, di mana boleh
melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak mengetahui seorang pun
dari ulama fikih yang berpendapat demikian”.
6
Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan:\
Bahwa hadis ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim
mengeluarkannya dan tidak dinilai lemah oleh lainnya.
Hadis ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak
mengetahui adanya seorang pun ulama fikih yang mengatakan demikian, itu
tidak menghalangi untuk mengamalkan hadis ini. Tidak menemukan, bukan
berarti tidak ada.
Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu Umar,
bahwa dia berkata: “Sesunguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang, dan aku
mengqashar (shalat)”.
Hadis ini sanadnya juga Shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz
dalam Al-Fath (2/467). Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar
(2/111/1).
7
Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan: “Aku mendengar Ibnu
Umar berkata: “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”
Hadis ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya Shahih.
Hal ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha
maupun lainnya dengan sanad-sanadnya yang Shahih, dari Ibnu Umar, bahwa
dia mengqashar dalam jarak yang jauh daripada itu. Juga tidak menafikan
jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash yang telah Syaikh
Al Albani sebutkan adalah jelas memerbolehkan mengqashar shalat dalam
jarak yang lebih pendek daripada itu. Ini tidak bisa disanggah, terlebih lagi
karena adanya hadis yang menunjukkan lebih pendek lagi daripada itu.
Jadi jelas, bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas tentang
diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian, bukan tentang tempat
di mana dimulai shalat qashar. Kemudian yang benar dalam hal ini adalah,
bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan, tetapi dengan
melewati batas daerah, di mana seorang telah keluar darinya. Al-Qurthubi
menyanggahnya sebagai suatu yang diragukan, sehingga tidak dapat
dijadikan pegangan. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak tiga mil
itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah bagus, akan tetapi tidak ada larangan
untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga mil memang terlalu
sedikit, maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap berhati-hati.
8
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari
Abdurrahman bin Harmilah yang menuturkan: “Aku bertanya kepada Sa’id
bin Musayyab: “Apakah boleh mengqashar shalat dan berbuka di Burid dari
Madinah?” Dia menjawab: “Ya”. Wallahu a’lam. [Syaikh Al Albani
mengatakan sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah
Shahih.
9
Oleh karena itu, Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad Fi Hadyi
Khairil ‘Ibad (juz I, hal. 189) mengatakan: “Nabi ﷺtidak membatasi bagi
umatnya pada jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka. Bahkan
hal itu mutlak saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan itu. Sebagaimana
Nabi ﷺmemersilakan kepada mereka untuk bertayamum dalam setiap
bepergian. Adapun mengenai riwayat tentang batas sehari, dua hari atau tiga
hari, sama sekali tidak benar. Wallahu ‘alam”.
Pembatasan dengan sehari, dua hari, tiga hari atau lainnya, seolah juga
mengharuskan mengetahui jarak perjalanan yang telah ditempuh, yang tentu
tidak mampu bagi kebanyakan orang. Apalagi untuk jarak yang belum pernah
ditempuh sebelumnya.
Dalam hadis tersebut juga ada makna lain, yakni bahwa qashar itu
dimulai dari sejak keluar dari daerah. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
10
Sementara itu Ibnul Mundzir lebih cenderung kepada pendapat yang
pertama. Di mana mereka sepakat, bahwa boleh qashar setelah meninggalkan
rumah. Namun mereka berbeda mengenai sesuatu sebelumnya. Tapi
hendaknya seseorang menyempurnakan sesuatu yang perlu disempurnakan,
sehingga dia diperbolehkan mengqashar shalat. Ibnul Mundzir berkata lagi:
“Sungguh saya tidak mengetahui bahwa Nabi ﷺmengqashar shalat dalam
suatu perjalanannya, kecuali setelah keluar dari Madinah”.
Dengan demikian, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak
atau ‘uruf, maka setiap orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar
shalat, berbuka puasa atau menyapu sepatu, dalam waktu tiga hari lamanya.
Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi, bagi yang
tengah dalam perjalanan.
11
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam berpendapat
sebagai berikut:
Makna Hadis
Abdullah bin Umar menuturkan, bahwa dia pernah menyertai Nabi ﷺ
dalam perjalan beliau. Dia juga pernah menyertai Abu Bakar, Umar dan
Utsman dalam perjalanan mereka. Ternyata masing-masing di antara mereka
senantiasa mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat, dan tidak
lebih dari dua rakaat itu.
Para ulama saling berbeda pendapat tentang qashar, apakah itu wajib
ataukah rukhshah yang disunnatkan pelaksanaannya?
12
Mereka juga berhujjah dengan hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha di dalam
Ash-Shahihaian: “Shalat diwajibakan dua rakaat, lalu ditetapkan shalat dalam
perjalanan, dan shalat orang yang menetap disempurnakan.
Hujjah ini dapat ditanggapi dengan beberapa jawaban. Yang paling baik
ialah, ini merupakan perkataan Aisyah yang tidak dimarfu’kan kepada Nabi
ﷺ. Sementara Aisyah juga tidak mengikuti masa difardhulkannya shalat.
13
menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah ﷺsenantiasa shalat dua
rakaat dalam perjalanan. Begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar
setelah beliau. Hal ini menunjukkan, bahwa dua rakaat adalah lebih baik.
Begitulah pendapat mayoritas ulama.
2) Shalat Jamak
Syaikh Al Albani menilai: “Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak
mengapa meskipun dia sendirian dalam meriwayatkan hadis ini dari Al-Laits
selain darinya. Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para perawi
Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai Shahih oleh Ibnul Qayyim dan lainnya.
Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada ‘illat yang tidak baik,
seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa ‘Al-Ghalil (571). Di sana saya
menyebutkan mutabi’ (hadis yang mengikuti) kepada Qutaibah dan beberapa
syahid (hadis pendukung) yang memastikan keShahihannya.
14
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain
yang berasal dari Abi Thufail dengan redaksi: “Sesungguhnya mereka keluar
bersama Rasulullah ﷺpada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah ﷺ
mengumpulkan antara Zuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail
berkata: ‘Kemudian beliau mengakhirkan (Jamak Takhir) shalat pada suatu
hari. Lalu beliau ﷺkeluar dan shalat Zuhur dan Ashar sekalian. Kemudian
beliau ﷺmasuk (datang). Kemudian keluar dan shalat Maghrib serta Isya
sekalian“.
Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan
Abu Dawud (1206), An-Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356),
Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat
Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain.
a) Kandungan Hukumnya
15
Keempat: Bahkan pendapat itu juga bertentangan dengan pengertian Jama
Taqdim sebagaimana dijelaskan oleh hadis Mu’adz berikut ini:
“Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan
menyegerakan Ashar kepada Zuhur”. Dan sesungguhnya hadis-hadis yang
serupa ini adalah banyak, sebagaimana telah disinggung.
16
kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan mengenai hal ini telah
saya jelaskan dalam At-Ta’liqat Al-Jiyad ‘Ala Zadil Ma’ad.
Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah, bahwa gurunya, yakni
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah bukunya,
berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Mengapa hal itu tidak
diketahui oleh Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling mengenal Ibnu
Taimiyah dengan segala pendapatnya? Setelah menuturkan hadis itu,
Syaikhul Islam dalam Majmu’atur Rasail wal-Masa’il (2/26-27) mengatakan:
“Pengertian jamak itu ada tiga tingkatan: Manakala sambil berjalan, maka
pada waktu yang pertama. Sedangkan bila turun, maka pada waktu yang
kedua. Inilah jamak sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadis
Anas dan Ibnu Umar. Itu menyerupai jamak di Muzdalifah. Adapun manakala
di waktu yang kedua, baik dengan berjalan maupun dengan kendaraan, maka
dijamak pada waktu yang pertama. Ini menyerupai jamak di Arafah. Sungguh
hal ini telah diriwayatkan dalam As-Sunnan (yakni hadis Mu’adz ini).
Adapun manakala turun pada waktu keduanya, maka dalam hal ini tidak aku
ketahui hadis ini menunjukkan, bahwa beliau Nabi turun di kemahnya dalam
bepergian itu. Dan bahwa beliau mengakhirkan Zuhur, kemudian keluar, lalu
shalat Zuhur dan Ashar sekalian.
“Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi ﷺ. Sesudah itu beliau ﷺ
tidak pernah bepergian, kecuali ketika haji Wada’. Tidak ada kasus jamak
darinya, kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada
seorang pun yang menukil, bahwa beliau pernah menjamak di sana.
17
menjamak dan terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering adalah bahwa
beliau ﷺtidak menjamak. Hal ini menunjukkan, bahwa beliau ﷺtidak
menjamak. Dan juga menunjukkan, bahwa jamak bukan menjadi sunah Safar
sebagaimana qashar, tetapi dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam
bepergian, maupun sewaktu tidak dalam bepergian, supaya tidak
memberatkan umatnya. Maka seorang musafir, bilamana memerlukan jamak,
maka lakukan saja, baik pada waktu kedua atau pertama, baik ia turun
untuknya atau untuk keperluan lain seperti tidur dan istirahat pada waktu
Zuhur dan waktu Isya’. Kemudian dia turun pada waktu Zuhur dan waktu
Isya. Dia turun pada waktu Zuhur karena lelah dan mengantuk serta lapar,
sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia boleh mengakhirkan
Zuhur kepada waktu Ashar, kemudian menjamak Taqdim Isya dengan
Maghrib, lalu sesudah itu bisa tidur, agar bisa bangun di tengah malam dalam
bepergiannya.
18
yang berarti merupakan karunia dari Allah, agar tidak ada keberatan dalam
agama.
Makna Hadis
19
Beliau ﷺmengerjakan keduanya secara bersamaan. Tapi jika beliau ﷺ
berangkat sesudah matahari condong, maka beliau ﷺshalat Zuhur dengan
Ashar, lalu berangkat. Jika beliau ﷺberangkat sebelum Maghrib, maka belaiu
ﷺmenunda shalat Maghrib dan mengerjakannya bersama shalat Isya. Jika
beliau ﷺberangkat sesudah masuk waktu Maghrib, maka beliau ﷺ
mengerjakan shalat Isya bersama shalat Maghrib. [Diriwayatkan Ahmad,
Abu Daud dan At-Tirmidizy]
Tentu saja ini tidak mengenai dan bertentangan dengan pengertian lafal
jamak, yang artinya menjadikan dua shalat di salah satu waktu di antara dua
waktunya, yang juga ditentang ketetapan Jamak Taqdim, sehingga menafikan
cara penakwilan seperti itu. Al-Khaththaby dan Ibnu Abdil Barr menyatakan,
jamak sebagai rukhshah. Mengerjakan dua shalat, yang pertama pada akhir
waktunya, dan yang kedua pada awal waktunya, justru berat dan sulit. Sebab
orang-orang yang khusus pun sulit mencari ketetapan waktunya. Lalu
bagaimana dengan orang-orang awam?
Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang boleh
dilakukan ialah Jamak Ta’khir dan tidak Jamak Taqdim. Mereka menanggapi
hadis-hadis yang dikatakan sebagian ulama, yang dipermasalahkan.
20
Taqdim dan Ta’khir. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Malik.
Pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur darinya, pengkhususan darinya,
pengkhususan jamak pada waktu dibutuhkan saja, yaitu jika sedang
mengadakan perjalanan. Ini juga merupakan pilihan pendapat Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim. Menurut Al-Bajy,
ketidaksukaan Malik terhadap jamak, karena khawatir jamak ini dilakukan
orang yang sebenarnya tidak mendapat kesulitan. Adapun pembolehannya
jika mengadakan perjalanan, didasarkan kepada hadis Ibnu Umar.
Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadis
Ibnu Umar, bahwa jika beliau mengadakan perjalan, maka beliau menjamak
Maghrib dan Isya’, seraya berkata: “Jika Rasulullah ﷺmengadakan
perjalanan, maka beliau ﷺmenjamak keduanya”.
Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadis yang lain
layak untuk diterima. Bagaimanapun juga, bepergian mendatangkan banyak
21
kesulitan, baik ketika singgah maupun ketika dalam perjalanan. Rukhshah
jamak tidak dibuat, melainkan untuk memberikan kemudahan didalamnya.
Faidah Hadis
22
perjalanan selama dua hari hingga ke tujuan, atau sejauh enam belas farskah
[Satu farskah sama dengan empat mil. Satu mil sama dengan satu setengah
kilometer. Enam belas farsakh sama dengan enam puluh emapt mil, atau sama
dengan sembilan puluh enam kilometer]
23
Seandainya ada seorang yang menderita penyakit sehingga
diperbolehkan untuk menjamak shalat, (lalu ia) menghadiri shalat dan
mengerjakan shalat Jumat, maka dia tidak boleh menjamak shalat Ashar
dengan shalat Jumat. Dalilnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
24
sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya dari sahabat
Anas bin Malik, bahwa Nabi ﷺpernah meminta hujan pada hari Jumat saat
beliau ﷺdi atas mimbar. Sebelum beliau ﷺturun dari mimbar, hujan turun
dan mengalir dari jenggotnya. Ini tidak akan terjadi, kecuali disebabkan oleh
hujan yang bisa dijadikan alasan untuk menjamak shalat, seandainya boleh
menjamak Ashar dengan shalat Jumat. Sahabat Anas bin Malik mengatakan,
pada hari Jumat berikutnya, seseorang datang dan berkata: “Wahai,
Rasulullah. Harta benda sudah tenggelam dan bangunan hancur, maka
berdoalah kepada Allah agar memberhentikan hujan dari kami”.
Pertanyaan seperti ini tidak tepat, karena hukum asal beribadah adalah
terlarang, kecuali ada dalil (yang merubah hukum asal ini menjadi wajib atau
sunat). Maka orang yang melarang pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan
suatu amalan fisik atau hati, tidak dituntut untuk mendatangkan dalil. Akan
tetapi, yang dituntut untuk mendatangkan dalil ialah orang yang melakukan
ibadah tersebut, berdasarkan firman Allah yang mengingkari orang-orang
yang beribadah kepadanya, tanpa dasar syari “Apakah mereka memunyai
Sembahan-Sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah” [Asy-Syuura: 21]
Dan firman-Nya:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agamamu” [Al-Maidah: 3]
25
pertanyaan: “Mana dalil yang memerbolehkannya? Karena hukum asal shalat
Ashar dikerjakan pada waktunya. Ketika ada faktor yang memerbolehkan
untuk menjamak shalat Ashar, hukum asal ini bisa diselisihi. (Maka yang)
selain itu tetap pada hukum asalnya, yaitu tidak boleh diajukan dari waktunya.
Jawab, jika seorang imam shalat Jumat di suatu daerah, berniat shalat
Zuhur dengan shalat Jumatnya, maka tidak syak lagi (demikian) ini
merupakan perbuatan haram, dan shalatnya batal. Karena bagi mereka, shalat
Jumat itu wajib. Jika ia mengalihkan shalat Jumat ke shalat Zuhur, berarti
mereka berpaling dari perintah-perintah Allah kepada sesuatu yang tidak
diperintahkan, sehingga berdasarkan hadis di atas, (maka) amalnya batal dan
tertolak.
26
Salah satu penyebab Bersama itu tidak lain adalah safar. Bahwa safar
atau perjalanan adalah penyebab diperbolehkannya seseorang untuk
menjama’ sholat ataupun mengqasharnya secara bersamaan.
3. Temuan
a. Sholat qashar
1) Syaikh Al-Utsaimin : qashar sholat dianjurkan, bukan wajib, dengan
ketentuan tiga hari lamanya perjalanan. (masih diperselisihkan)
Sebagian mensyaratkan harus mencapai 81 km. Sebagian tidak
menentukan jarak, yg penting sesuai adat/uruf’ yang berlaku.
2) 3 Imam: Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad memperbolehkan
penyempurnaan sholat, namun lebih baik di qashar.
3) Abu hanifah mewajibkan qashar didukung oleh ibnu hazm
4) Mayoritas ulama: mengqashor lebih baik
b. Sholat jama’
1) Jumhur ulama: boleh mengumpulkan 2 sholat pada waktu bepergian
walaupun pada tempat selain Arafah dan Muzdalifah.
2) Jumhur ulama: meninggalkan jamak lebih utama daripada jamak, kecuali
dalam dua jamak, di Arafah dan muzdalifah karena disana ada
kemaslahatan.
3) Abu Hanifah: menakwilkan dengan jamak shuwari: mengakhirkan dzuhur
sampai mendekati waktu ashar, demikian pula maghrib dan isya.
Menurutnya, jama’ bukan sunnah safar sebagaimana qashar.
4) abu hanifah dan kedua rekannya, Al-Hasan dan An-Nakhay tidak
memperbolehkan jama’ kecuali di Arafah dan Muzdalifah.
5) Mayoritas sahabat dan tabiin memperbolehkan jamak, baik taqdim
maupun Takhir. Juga pendapat As-Syafi’i, Ahmad dn At-Tsauri mereka
berhujjah dengan hadits Ibnu Abas dan Ibnu Umar.
6) Ibnu Hazm dan salah satu Riwayat dari malik: boleh jamak ta’khir, tidak
dengan jamak taqdim.
7) syaikh Muhammad bin shalih Al- utsaimin: tidak boleh menjamak sholat
ashar dengan sholat jum’at.
4. Analisa
27
a. Sholat qashar
1) Pensyaratan qashar shalat empat rakaat dalam perjalanan menjadi dua
rakaat saja.
2) Qashar merupakan sunnah Rasulullah ﷺdan sunnah Al-Khulafa Ar-
Rasyidun dalam perjalanan mereka.
3) Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan
untuk ketaatan. Para ulama juga memasukkan perjalanan yang mubah.
Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat bahwa dalam semua
perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak
membolehkan qashar dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar,
rukhshah ini bersifat umum dan sama untuk semua orang.
4) Kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya dan keluwesan syariat ini,
yang memberi kemudahan dalam beribadah kepada makhluk. Karena
perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan, maka dibuat keringanan
untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika
tingkat kesulitan semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka
sebagian shalat juga diringankan.
5) Perjalanan di dalam hadis diatas tidak terbatas, tidak dibatasi dengan jarak
jauh. Yang lebih baik ialah dibiarkan menurut kemutlakannya. Lalu
rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut perjalanan. Pembatasanya
dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak pernah disebutkan
di dalam nash. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Perjalanan tidak
pernah dibatasi oleh syariat, tidak ada pembatasan menurut bahasa. Hal ini
dikembalikan kepada tradisi manusia. Apa yang mereka sebut dengan
perjalanan, maka itulah perjalanan”.
b. Sholat jamak
1) Boleh menjamak shalat Zuhur dengan Ashar, shalat Maghrib denan Isya’
2) Keumuman hadis menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya
Jamak Taqdim dan Ta’khir antara dua shalat. Beberapa dalil menunjukkan
hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
3) Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Di atas telah
disebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari masing-
28
masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq Al-Id, hadis ini menunjukkan jamak
jika dalam perjalan. Sekiranya tidak ada hadis-hadis lain yang
menyebutkan jamak tidak seperti gambaran ini, tentu dalil ini
mengharuskan jamak dalam kondisi yang lain. Diperbolehkannya jamak
di dalam hadis ini berkaitan dengan suatu sifat yang tidak mungkin
diabaikan begitu saja. Jika jamak dibenarkan ketika singgah, maka
pengamalannya lebih baik, karena adanya dalil lain tentang
pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam perjalanan. Tegaknya
dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil ini
tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam hadis
ini, karena pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di dalam
gambaran ini secara khusus, jauh lebih kuat.
4) Hadis diatas dan juga hadis-hadis lainnya menunjukkan bahwa jamak
dikhususkan untuk shalat Zuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya,
sedangkan Subuh tidak dapat dijamak dengan shalat lainnya.
5) Tidak diperbolehkan jama’ sholat jum’at dengan sholat ashar.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Rukhsoh adalah keringanan hukum bagi mukallaf yang berlaku pada
situasi dan kondisi tertentu. Kemudahan dan keringanan itu diberikan
syari’at lantaran ada kesulitan-kesulitan (udzur) yang merintanginya.
b. Sholat Qashar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas bilangan
rakaatnya.
c. Sholat jama’ adalah mengerjakan dua sholat dengan mengumpulkannya
dalam satu waktu. Adapun sholat yang boleh di jama’ adalah sholat
dzuhur dengan ashar, dan sholat maghrib dan isya.
d. Sholat Jama’ Qashar adalah Menjama’ sholat fardhu sekaligus
mengqashar. yakni, mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu waktu
sekaligus menyingkat shalat yang terdiri dari 4 rakaat menjadi dua rakaat.
e. Sebab-sebab qashar diantaranya: Bepergian (al-shafar), sakit, pemaksaan,
lupa, ketidak tahuan, ‘usru wa ‘umumu al-balwa: adalah suatu kesulitan
dimana seseorang merasa kesulitan untuk menjauhinya dan hal itu sudah
berbaur dengan kehidupan manusia, sifat yang kurang sempurna.
f. Macam-macam rukhsah yang terdapat dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-
Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437 H) terbagi menjadi empat
bagian : rukhsah wajibah, rukhsah mandubah, rukhsah mubahah.
rukhsah khilaf al-aulā.
29
g. Sholat qashar dan jamak sesuai dengan hadits dan pendapat para ulama
hukum nya ada yg memperbolehkan, menganjurkan, dan ada juga yang
tidak memperbolehkan.
h. Diperbolehkan menjama’ dan mengqashar sholat jika syarat-syarat
terpenuhi.
2. Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah berikutnya.
30
E. DAFTAR PUSTAKA
http://www.almanhaj.or.id
31