Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

RUQSHAH IBADAH (SHALAT QASHAR DAN JAMA’


QASHAR)

MATA KULIAH : MASAILUL FIQHIYAH II


DOSEN PENGAMPU : AZIS ASHARI, M.H.I

DISUSUN OLEH:
RIVA RIFQOTUS SHOLIHAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-KHAIRAT
PAMEKASAN
TAHUN AKADEMIK 2023
A. PENDAHULUAN
Sholat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak.
Sholat juga dapat dijadikan barometer amal-amal lain seperti diungkapkan
dalam sebuah hadits: “hal yang pertamakali dihisab dihari kiamat adalah
sholat”. Khalifah Umar Bin Khattab pernah mengirim surat kepada gubernur
yang diangkatnya. Pesannya, “sesungguhnya tugas kalian sebagsi gubernur
paling utama dimataku adalah sholat. Barang siapa memelihara shalat berarti
ia telah memelihara agamanya. Barang siapa yang lalai terhadap sholatnya
maka dalam urusan lain akan lebih lalai” .
Begitu pentingnya shalat, karena shalat merupakan penentu amal yang
lain. Jika shalatnya baik, maka baik pula amalnya yang lain. Oleh karena itu
maka shalat tidak bileh ditinggalkan walau bagaimanapun keadaannya
kecuali orang yang haid atau nifas atau keadaan bahaya. Namun ada beberapa
keringanan (ruqhshah) bagi orang yang ada dalam perjalanandalam tata cara
pelaksanaan shalat, yaitu dengan cara shalat jama’ dan shalat qashar. Namun
hal itu bukan berarti boleh m,eninggalkan shalat begitu saja hanya berpindah
pelaksanan dalam waktu tertentu dan syarat syarat tertentu.
Menjama’ dan mengqashar shalat termasuk ruqhshah yang diberikan
oleh Allah SWT kepada hambanyakarena adanya kondisi yang menyulitkan
bila shalat dilakukan dalam keadaan biasa. Ruqshah ini merupakan shadaqah
dari Allah SWT. yang dianjurkan untuk diterima dengan penuh ketawadu’an.
B. FOKUS BAHASAN
Materi yang akan dibahas dalam Makalah ini difokuskan pada
penjelasan ruqsoh ibadah (sholat qasar dan jama’ qoshor) mulai dari
pengertian, pendapat para ulama serta temuan hukum yang didapat dari para
ulama, dan imam madzhab.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian
a. Ruqshah ibadah
Secara etimologi ruqhshah berarti mudah dan ringan sedangkan secara
terminologi rukhsah adalah keringanan-keringanan dalam hukum yang
diberikan syari’at kepada seorang mukallaf lantaran ada udzur yang
menyebabkan lahirnya keringanan tersebut.

2
Hal ini sebagaiamana penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-
Mustashfa halaman 78;

َ ‫الس ْع ُر إذَا ت ََرا َج َع َو‬


‫ َوفِي‬،‫س ُه َل الش َِرا ُء‬ ِ ‫ص‬ ُّ ‫ع ْن ْاليُس ِْر َوال‬
َ ‫ َر ُخ‬:ُ‫ يُقَال‬،ِ‫س ُهولَة‬ َ ٌ ‫ارة‬
َ َ‫ان ِعب‬
ِ ‫س‬ ِ ‫صةُ فِي‬
َ ‫الل‬ َ ‫الر ْخ‬
ُّ ‫َو‬
‫ب ْال ُم َح ِر ِم‬ َّ ‫ع ْنهُ َم َع قِيَ ِام ال‬
ِ َ‫سب‬ َ ‫ع َّما ُو ِس َع ِللُ ُم َكلَّفِ فِي فِ ْع ِل ِه ِلعُذْر َو‬
َ ‫عجْز‬ َ ٌ ‫ارة‬ َّ ‫ال‬
َ َ‫ش ِريعَ ِة ِعب‬

“Rukhsah dalam bahasa adalah suatu ungkapan dari kemudahan dan


keringanan. Sementara dalam istilah syara’, rukhsah adalah suatu ungkapan
dari hal-hal yang diperbolehkan bagi mukallaf karena ada udzur. Yang mana
hal-hal tersebut pada awalnya tidak boleh dilakukan dan sebab yang tidak
memperbolehkannya masih ada.”

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa rukhshah adalah kemudahan


atau keringan hukum bagi mukallaf yang berlaku pada situasi dan kondisi
tertentu. Kemudahan dan keringanan itu diberikan syari’at lantaran ada
kesulitan-kesulitan (udzur) yang merintanginya.

b. Shalat Qashar
Shalat Qashar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas
bilangan rakaatnya. Shalat yang dapat di Qashar adalah Shalat yang terdiri
dari empat rakaat yakni isya’, Dzuhur, Ashar. Sholat maghrib dan subuh tidak
dapat di qashar.

c. Shalat Jama’ Qashar


Menjama’ sholat fardhu sekaligus mengqashar. yakni, mengumpulkan
dua shalat fardhu dalam satu waktu sekaligus menyingkat shalat yang terdiri
dari 4 rakaat menjadi dua rakaat.

2. Kajian Teori
a. Sebab – Sebab Ruqhshah

Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah Wa al-


Nadzȃir halaman 126 menyebutkan ada tujuh sebab yang melatarbelakangi
munculnya rukhshah, yaitu; Bepergian (al-shafar), sakit, pemaksaan, lupa,

3
ketidak tahuan, ‘usru wa ‘umumu al-balwa: adalah suatu kesulitan dimana
seseorang merasa kesulitan untuk menjauhinya dan hal itu sudah berbaur
dengan kehidupan manusia, sifat yang kurang sempurna.

Bepergian (safar) merupakan salah-satu sebab rukhshah, akan tetapi


tidak semua jenis bepergian bisa dijadikan alasan rukhshah. Ada dua hal yang
harus terpenuhi untuk menjadikan safar sebagai sebab adanya rukhshah;

a) Jarak tempuh perjalanan mencapai radius tertentu. Menurut Imam Syafi’i


jarak minimal yang harus ditempuh adalah 80 Km, sedangkan menurut
Imam Abu Hanifah 125 Km.
b) Tujuan perjalalanan bukan maksiat seperti merampok, mencuri,
membunuh dan sebagainya. Ini menurut Jumhur Ulama, sementara
menurut Imam Abu Hanifah safar dengan tujuan apapun mendapatkan
keringanan. Alasannya karena sesuatu yang menyebabkan adanya
rukhshah sudah ada, yaitu safar. Sedangkan maksiat merupakan sesuatu
yang terpisah dari safar.

Jika dua syarat ini terpenuhi, maka safar bisa menjadi sebab adanya
rukhshah (keringanan). Diantaranya ialah mengqashar shalat, tidak berpuasa,
dan semacamnya.

b. Macam-Macam Ruqhshah
Berikut ini adalah ulasan mengenai pembagian rukhsah yang terdapat
dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437
H).
Rukhsah terbagi menjadi empat bagian :
1) rukhsah wajibah.
Rukhsah ini merupakan rukhsah yang wajib dilakukan.
Contoh : kebolehan makan bangkai bagi orang yang hampir mati
kelaparan.
2) rukhsah mandubah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang sunah
dikerjakan.

4
Contoh : kebolehan meringkas (qashar) salat bagi musafir yang
beperjalanan lebih dari dua marhalah (81 km atau lebih) . Nah, rukhsah
semacam ini membolehkan musafir meringkas salat yang awalnya empat
rakaat menjadi dua rakaat. Hukum asalnya adalah tidak boleh meringkas
salat dalam keadaan normal (tidak sedang perjalanan), namun karena
ia sedang dalam perjalanan (musafir) maka diperbolehkan bahkan
hukumnya sunah dilakukan supaya tidak mengalami kesulitan
(masyaqqah) dalam perjalanannya.
Hal ini didasarkan atas sabda Rasulullah Saw. kepada Umar Ra. :
َ ‫علَ ْي ُك ْم فَا ْقبَلُوا‬
ُ‫صدَقَتَه‬ َ َ ‫صدَقَةٌ ت‬
َّ َ‫صدَّق‬
َ ‫َّللاُ ِب َها‬ َ
Artinya :
“Itu adalah sedekah yang Allah bersedekah dengannya atas kalian. Maka
terimalah sedekah-Nya”. (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, as-Sunan al-
Kubra, jus 3 hal 141)
3) rukhsah mubahah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang boleh dilakukan
atau ditinggalkan.
4) rukhsah khilaf al-aulā. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang lebih utama
ditinggalkan.
5) Contoh : kebolehan membatalkan puasa bagi musafir dimana ia masih
mampu untuk berpuasa (tidak berbahaya bagi dirinya).
c. Hukum Shalat Qashar Dan Shalat Jamak

1) Shalat Qashar

Dari Muhammad bin Ja’far: ”Telah bercerita kepadaku Syu’bah, dari


Yahya bin Yazid Al-Hanna’i yang menuturkan: “Aku bertanya kepada Anas
bin Malik tentang mengqashar shalat. Sedangkan aku pergi ke Kufah, maka
aku shalat dua rakaat hingga aku kembali. Kemudian Anas berkata: “Artinya:
Adalah Rasulullah ‫ﷺ‬, manakala keluar sejauh tiga mil atau tiga farskah
(Syu’bah ragu), dia mengqashar shalat. (Dalam suatu riwayat): Dia shalat dua
rakaat”. (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/129) dan Al-Baihaqi
(2/146).

5
Syaikh Al Albani menilai hadis ini sanadnya Jayyid (Bagus). Semua
perawinya tsiqah,yakni para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Al-Hanna’i di
mana dia adalah perawi Muslim. Namun segolongan orang-orang tsiqah juga
telah meriwayatkan darinya.

Dan hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/145), Abu Dawud
(1201), Ibnu Abi Syaibah (2/108/1/2). Juga diriwayatkan darinya oleh Abu
Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 99/2) dari beberapa jalur yang berasal dari
Muhammad bin Ja’far, tanpa dengan ucapan Al-Hanna’i: “Sedangkan aku
pergi ke Kufah….sampai aku kembali”. Meskipun ini tambahan yang benar.
Bahkan oleh karenanya, hadis ini berlaku. Demikian pula hadis ini juga
dikeluarkan oleh Abu Awannah (2/346) dari jalur Abu Dawud (dia adalah
Ath-Thayalisi), dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Syu’bah. Namun Ath-
Thayalisi tidak meriwayatkannya dalam Musnad-nya”.

(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu mil adalah sejauh mata
memandang ke bumi, di mana mata akan kabur ke atas permukaan tanah,
sehingga tidak mampu lagi menangkap pemandangan. Demikianlah
penjelasan Al-Jauhari.

Namun dikatakan pula, batas satu mil adalah jika sekira memandang
kepada seseorang di kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki
atau perempuan, dan dia hendak pergi atau hendak datang, seperti keterangan
dalam Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian ulama sekarang adalah
sekitar 1680 meter.

a) Kandungan Hukumnya

Hadis ini menjelaskan, bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh
(satu farsakh sekitar 8 km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-Khuththabi
telah menjelaskan dalam Ma’alimus Sunan (2/49): “Meskipun hadis ini telah
menetapkan, bahwa jarak tiga farsakh merupakan batas, di mana boleh
melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak mengetahui seorang pun
dari ulama fikih yang berpendapat demikian”.

6
Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan:\

Bahwa hadis ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim
mengeluarkannya dan tidak dinilai lemah oleh lainnya.

Hadis ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak
mengetahui adanya seorang pun ulama fikih yang mengatakan demikian, itu
tidak menghalangi untuk mengamalkan hadis ini. Tidak menemukan, bukan
berarti tidak ada.

Sesungguhnya perawinya telah mengatakan demikian, yaitu Anas bin


Malik. Sedang Yahya bin Yazid Al-Hanna’i, sebagai perawinya juga telah
berfatwa demikian, seperti keterangan yang telah lewat. Bahkan telah berlaku
pula dari sebagian sahabat yang melakukan shalat qashar dalam perjalanan
yang lebih pendek daripada jarak itu. Maka Ibnu Abi Syaibah (2/108/1) telah
meriwayatkan pula dari Muhammad bin Zaid bin Khalidah, dari Ibnu Umar
yang menuturkan. “Shalat itu boleh diqashar dalam jarak sejauh tiga mil”.
Hadis ini sanadnya Shahih. Seperti yang telah Syaikh Al Albani jelaskan
dalam Irwa’ul Ghalil (no. 561).

Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu Umar,
bahwa dia berkata: “Sesunguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang, dan aku
mengqashar (shalat)”.

Hadis ini sanadnya juga Shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz
dalam Al-Fath (2/467). Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar
(2/111/1).

“Sesungguhnya dia mukim di Makkah, dan manakala dia keluar ke Mina,


dia mengqashar (shalat),” Hadis ini sanadnya juga Shahih, dan dikuatkan.
Apabila penduduk Makkah hendak keluar bersama Nabi ‫ ﷺ‬ke Mina, dalam
haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga, sebagaimana sudah tidak
ada lagi dalam kitab-kitab hadis. Sedangkan jarak antara Makkah dan Mina
hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul Buldan.

7
Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan: “Aku mendengar Ibnu
Umar berkata: “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”
Hadis ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya Shahih.

Hal ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha
maupun lainnya dengan sanad-sanadnya yang Shahih, dari Ibnu Umar, bahwa
dia mengqashar dalam jarak yang jauh daripada itu. Juga tidak menafikan
jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash yang telah Syaikh
Al Albani sebutkan adalah jelas memerbolehkan mengqashar shalat dalam
jarak yang lebih pendek daripada itu. Ini tidak bisa disanggah, terlebih lagi
karena adanya hadis yang menunjukkan lebih pendek lagi daripada itu.

Al-Hafidzh telah menandaskan di dalam Al-Fath (2/467-468):


“Sesunguhnya hadis itu merupakan hadis yang lebih Shahih dan lebih jelas
dalam menerangkan soal ini. Adapun ada yang berbeda dengannya, mungkin
soal jarak diperbolehkannya mengqashar, di mana bukan batas akhir
perjalanannya.

Apalagi Al-Baihaqi juga menyebutkan, bahwa Yahya bin Yazid


bercerita: “Saya bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Saya
keluar Kufah, yakni Bashrah, saya shalat dua rakaat dua rakaat, sampai saya
kembali. Maka Anas berkata: (Kemudian menyebutkan hadis ini)”.

Jadi jelas, bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas tentang
diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian, bukan tentang tempat
di mana dimulai shalat qashar. Kemudian yang benar dalam hal ini adalah,
bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan, tetapi dengan
melewati batas daerah, di mana seorang telah keluar darinya. Al-Qurthubi
menyanggahnya sebagai suatu yang diragukan, sehingga tidak dapat
dijadikan pegangan. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak tiga mil
itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah bagus, akan tetapi tidak ada larangan
untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga mil memang terlalu
sedikit, maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap berhati-hati.

8
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari
Abdurrahman bin Harmilah yang menuturkan: “Aku bertanya kepada Sa’id
bin Musayyab: “Apakah boleh mengqashar shalat dan berbuka di Burid dari
Madinah?” Dia menjawab: “Ya”. Wallahu a’lam. [Syaikh Al Albani
mengatakan sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah
Shahih.

Diriwayatkan dari Allajlaj, dia menceritakan: “Kami pergi bersama


Umar Radhiyallahu ‘anhu sejauh tiga mil, maka kami diberi keringanan
dalam shalat dan kami berbuka”.

Hadis ini sanadnya cukup memadai untuk perbaikan. Semua adalah


tsiqah, kecuali Abil Warad bin Tsamamah, di mana hanya ada tiga orang
meriwayatkan darinya. Ibnu Sa’ad mengatakan: “Dia itu dikenal sedikit
hadisnya”.

Atsar-atsar itu menunjukkan diperbolehkan melakukan shalat qashar


dalam jarak yang lebih pendek daripada apa yang terdapat dalam hadis
tersebut.

Ini sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu anhum. Karena


dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, kata safar (bepergian) adalah mutlak,
tidak dibatasi oleh jarak tertentu, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam surah An-Nisa:

ِ‫صالَة‬ ُ ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن ت َ ْق‬


َّ ‫ص ُرواْ مِ نَ ال‬ ِ ‫ض َر ْبت ُ ْم فِي األ َ ْر‬
َ ‫ض فَلَي‬
َ ‫ْس‬ َ ‫وإِذَا‬
“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu mengqashar shalat….” [An-Nisaa: 101]

Dengan demikian, maka tidak ada pertentangan antara hadis tersebut


dengan atsar-atsar ini. Karena ia memang tidak menafikan diperbolehkannya
qashar dalam jarak bepergian yang lebih pendek daripada yang disebutkan di
dalam hadis tersebut.

9
Oleh karena itu, Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad Fi Hadyi
Khairil ‘Ibad (juz I, hal. 189) mengatakan: “Nabi ‫ ﷺ‬tidak membatasi bagi
umatnya pada jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka. Bahkan
hal itu mutlak saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan itu. Sebagaimana
Nabi ‫ ﷺ‬memersilakan kepada mereka untuk bertayamum dalam setiap
bepergian. Adapun mengenai riwayat tentang batas sehari, dua hari atau tiga
hari, sama sekali tidak benar. Wallahu ‘alam”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Setiap nama di mana tidak


ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu
dikembalikan kepada pengertian umum saja, sebagaimana ‘bepergian” dalam
pengertian kebanyakan orang yaitu bepergian, di mana Allah mengaitkannya
dengan suatu hukum”.

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan


diperbolehkannya qashar shalat. Dalam hal ini ada lebih dari dua puluh
pendapat. Namun apa yang kami sebutkan dari pendapat Ibnul Qayyim dan
Ibnu Taimiyah adalah yang paling mendekati kebenaran, dan lebih sesuai
dengan kemudahan Islam.

Pembatasan dengan sehari, dua hari, tiga hari atau lainnya, seolah juga
mengharuskan mengetahui jarak perjalanan yang telah ditempuh, yang tentu
tidak mampu bagi kebanyakan orang. Apalagi untuk jarak yang belum pernah
ditempuh sebelumnya.

Dalam hadis tersebut juga ada makna lain, yakni bahwa qashar itu
dimulai dari sejak keluar dari daerah. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.

Sebagaimana dalam kitab Nailul Authar (3/83) di mana penulisnya


mengatakan: “Sebagian ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian
memilih shalat dua rakaat, meskipun masih di daerahnya. Sebagian mereka
ada yang berkata:”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka qashar saja kalau
mau”.

10
Sementara itu Ibnul Mundzir lebih cenderung kepada pendapat yang
pertama. Di mana mereka sepakat, bahwa boleh qashar setelah meninggalkan
rumah. Namun mereka berbeda mengenai sesuatu sebelumnya. Tapi
hendaknya seseorang menyempurnakan sesuatu yang perlu disempurnakan,
sehingga dia diperbolehkan mengqashar shalat. Ibnul Mundzir berkata lagi:
“Sungguh saya tidak mengetahui bahwa Nabi ‫ ﷺ‬mengqashar shalat dalam
suatu perjalanannya, kecuali setelah keluar dari Madinah”.

Syaikh Al Albani menemukan: Sesungguhnya hadis-hadis yang semakna


dengan hadis ini adalah banyak. Syaikh Al Albani telah mengeluarkan
sebagian darinya dalam Al-Irwa’ yaitu dari hadis Anas, Abi Hurairah, Ibnu
Abbas dan lain-lainnya. Silakan periksa no. 562!

Adapun mengenai shalat qashar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-


Utsaimin berpendapat: “Qashar shalat itu dianjurkan, bukan wajib, walau dari
zhahir nas terlihat wajib, sebab di sana sini masih banyak nas lainnya yang
menunjukkan tidak wajib. Safar yang bisa membolehkan qashar shalat,
berbuka puasa, menyapu dua sepatu atau dua kaos kaki, adalah tiga hari
lamanya. Hal ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mereka
mensyaratkan, bahwa jarak qashar itu harus mencapai sekitar 81 Km.
Sebagian lainnya tidak menentukan jarak tertentu, yang penting sesuai
dengan adat yang berlaku, sebab syara’ tidak menentukannya. Dalam suatu
nazham disebutkan: “Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan
syara’, maka lindungilah dengan ketentuan adat suatu tempat (‘uruf)“.

Dengan demikian, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak
atau ‘uruf, maka setiap orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar
shalat, berbuka puasa atau menyapu sepatu, dalam waktu tiga hari lamanya.
Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi, bagi yang
tengah dalam perjalanan.

b) Qashar Dalam Perjalanan

11
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam berpendapat
sebagai berikut:

Qashar di sini berlaku untuk shalat-shalat empat rakaat, yaitu Zuhur,


Ashar dan Isya. Dinukil dari Ibnul Mundzir adanya ijma’, bahwa tidak ada
qashar dalam shalat Maghrib dan Subuh. Tidak ada sebab untuk qashar ini
kecuali perjalanan, karena ini merupakan rukhshah yang ditetapkan sebagai
rahmat bagi musafir, dan adanya kesulitan yang dialaminya.

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhum, dia berkata: ‘Aku


menyertai Rasulullah ‫ﷺ‬, dan beliau tidak melebihkan shalat dalam perjalanan
dari dua rakaat, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsaman”.

Makna Hadis

Abdullah bin Umar menuturkan, bahwa dia pernah menyertai Nabi ‫ﷺ‬
dalam perjalan beliau. Dia juga pernah menyertai Abu Bakar, Umar dan
Utsman dalam perjalanan mereka. Ternyata masing-masing di antara mereka
senantiasa mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat, dan tidak
lebih dari dua rakaat itu.

c) Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama

Para ulama saling berbeda pendapat tentang qashar, apakah itu wajib
ataukah rukhshah yang disunnatkan pelaksanaannya?

Tiga Imam, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkan


penyempurnaan shalat, namun yang lebih baik adalah mengqasharnya.
Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan qashar, yang juga didukung Ibnu Hazm.
Dia berkata: “Fardhunya musafir ialah shalat dua rakaat”.

Dalil orang yang mewajibkan qashar ialah tindakan Rasulullah ‫ ﷺ‬yang


senantiasa mengqashar dalam perjalanan. Hal ini dapat ditanggapi, bahwa
perbuatan tidak menunjukkan kewajiban. Begitulah pendapat jumhur.

12
Mereka juga berhujjah dengan hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha di dalam
Ash-Shahihaian: “Shalat diwajibakan dua rakaat, lalu ditetapkan shalat dalam
perjalanan, dan shalat orang yang menetap disempurnakan.

Hujjah ini dapat ditanggapi dengan beberapa jawaban. Yang paling baik
ialah, ini merupakan perkataan Aisyah yang tidak dimarfu’kan kepada Nabi
‫ﷺ‬. Sementara Aisyah juga tidak mengikuti masa difardhulkannya shalat.

Adapun dalil-dalil jumhur tentang tidak wajibnya qashar ialah firman


Allah “Maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat kalian” [An-Nisa:
101]

Penafian kesalahan di dalam ayat ini menunjukkan, bahwa qashar itu


merupakan rukhshah dan bukan sesuatu yang dipastikan. Di samping itu,
dasarnya adalah penyempurnaannya. Adanya qashar, karena dirasa shalat itu
terlalu panjang. Dalil lainnya adalah hadis Aisyah, bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬
pernah mengqqashar dalam perjalanan dan menyempurnakannya, pernah
puasa dan tidak puasa [Diriwayatkan Ad-Daruquthni, yang menurutnya, ini
hadis Hasan]

Dalil-dalil jumhur dapat ditanggapi sebagai berikut: Ayat ini disebutkan


tentang qashar sifat dalam shalat khauf dan hadis tentang hal ini
dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah berkata: “Ini merupakan
hadis yang didustakan terhadap Rasulullah ‫”ﷺ‬.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam mengatakan,


sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena mengikuti Rasulullah
‫ ﷺ‬dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan orang yang
mewajibkannya, dan memang qashar inilah yang lebih baik menurut
mayoritas ulama.

Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam Al-Ikhtiyarat, tentang


kemakruhan menyempurnakannya. Dia menyebutkan nukilan dari Al-Imam
Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang

13
menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬senantiasa shalat dua
rakaat dalam perjalanan. Begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar
setelah beliau. Hal ini menunjukkan, bahwa dua rakaat adalah lebih baik.
Begitulah pendapat mayoritas ulama.

2) Shalat Jamak

“Adalah Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam peperangan Tabuk, apabila hendak


berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau ‫ ﷺ‬mengakhirkan Zuhur,
hingga beliau ‫ ﷺ‬mengumpulkannya dengan Ashar. Lalu beliau ‫ ﷺ‬melakukan
dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau ‫ ﷺ‬hendak berangkat setelah
tergelincir matahari, maka beliau ‫ ﷺ‬menyegerakan Ashar bersama Zuhur, dan
melakukan shalat Zuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau ‫ ﷺ‬berjalan.
Dan apabila beliau ‫ ﷺ‬hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau ‫ﷺ‬
mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila
beliau ‫ ﷺ‬berangkat setelah Maghrib, maka beliau ‫ ﷺ‬menyegerakan Isya’ dan
melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib“. Hadis ini dikeluarkan oleh Abu
Dawud (1220), At-Tirmidzi (2/438) Ad-Daruquthni (151), Al-Baihaqi
(3/165) dan Ahmad (5/241-242), mereka semua memerolehnya dari jalur
Qutaibah bin Sa’id: ” Telah bercerita kepadaku Al-Laits bin Sa’ad dari Yazid
bin Abi Habib dari Abi Thufail Amir bin Watsilah dari Mu’adz bin Jabal,
secara marfu. Dalam hal ini Abu Dawud berkomentar:”Tidak ada yang
meriwayatkan hadis ini kecuali Qutaibah saja”.

Syaikh Al Albani menilai: “Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak
mengapa meskipun dia sendirian dalam meriwayatkan hadis ini dari Al-Laits
selain darinya. Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para perawi
Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai Shahih oleh Ibnul Qayyim dan lainnya.
Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada ‘illat yang tidak baik,
seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa ‘Al-Ghalil (571). Di sana saya
menyebutkan mutabi’ (hadis yang mengikuti) kepada Qutaibah dan beberapa
syahid (hadis pendukung) yang memastikan keShahihannya.

14
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain
yang berasal dari Abi Thufail dengan redaksi: “Sesungguhnya mereka keluar
bersama Rasulullah ‫ ﷺ‬pada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah ‫ﷺ‬
mengumpulkan antara Zuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail
berkata: ‘Kemudian beliau mengakhirkan (Jamak Takhir) shalat pada suatu
hari. Lalu beliau ‫ ﷺ‬keluar dan shalat Zuhur dan Ashar sekalian. Kemudian
beliau ‫ ﷺ‬masuk (datang). Kemudian keluar dan shalat Maghrib serta Isya
sekalian“.

Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan
Abu Dawud (1206), An-Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356),
Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat
Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain.

“Kemudian saya berkata: ‘Apa maksudnya demikian?” Dia berkata:


Maksudnya agar tidak memberatkan umatnya”.

a) Kandungan Hukumnya

Dalam hadis ini terdapat beberapa masalah. Boleh mengumpulkan dua


shalat pada waktu bepergian, walaupun pada tempat selain Arafah dan
Muzdalifah. Demikian pendapat jumhurul ulama. Berbeda dengan mazdhab
Hanafiyah. Mereka menakwilkannya dengan ‘Jamak Shuwari,’ yakni
mengakhirkan Dzuhur sampai mendekati waktu Ashar, demikian pula
Maghrib dan Isya’. Pendapat ini telah dibantah oleh Jumhurul Ulama dari
berbagai segi. Pertama: Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jamak secara
zahir. Kedua: Tujuan disyariatkan jamak adalah untuk mempermudah dan
menghindarkan kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat Muslim.
Sedangkan jamak dalam pengertian ‘Shuwari’ masih mengandung kesulitan.
Ketiga: Sebagian hadis tentang jamak jelas menyalahkan pendapat mereka
itu. Seperti hadis Anas bin Malik yang berbunyi. “Mengakhirkan Zuhur
sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia menjamak (mengumpulkan)
keduanya”. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim (2/151) dan lainnya.

15
Keempat: Bahkan pendapat itu juga bertentangan dengan pengertian Jama
Taqdim sebagaimana dijelaskan oleh hadis Mu’adz berikut ini:

“Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan
menyegerakan Ashar kepada Zuhur”. Dan sesungguhnya hadis-hadis yang
serupa ini adalah banyak, sebagaimana telah disinggung.

Sesungguhnya soal jamak (mengumpulkan dua shalat), disamping


boleh Jama Takhir, boleh juga Jama Taqdim. Ini dikatakan oleh Imam Asy-
Syafi’i dalam Al-Um (I/67), disamping oleh Imam Ahmad dan Ishaq,
sebagaimana dikatakan oleh At-Tarmidzi (2/441).

Sesungguhnya diperbolehkan jamak pada waktu turunnya (dari


kendaraan), sebagaimana diperbolehkan manakala berlangsung perjalanan.
Imam Syafi’i dalam Al-Um, setelah meriwayatkan hadis ini dari jalur Malik,
mengatakan: “Ini menunjukkan, bahwa dia sedang turun bukan sedang jalan.
Karena kata ‘dakhala’ dan ‘kharaja’ (masuk dan keluar) adalah tidak lain
bahwa dia sedang turun. Maka bagi seorang musafir, boleh menjamak pada
saat turun dan pada saat berjalan’.

Syaikh Al Albani berpendapat: Dengan nash ini maka tidaklah perlu


menghiraukan kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/189)
menuturkan: “Bukanlah petunjuk Nabi ‫ﷺ‬, melakukan jamak sambil naik
kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh
kebanyakan orang. Dan tidak juga jamak itu harus pada waktu dia turun“.

Nampaknya banyak kaum Muslimin yang terkecoh oleh kata-kata Ibnul


Qayyim ini. Oleh karenanya mestilah ingat kembali. Adalah janggal, bila
Ibnul Qayyim tidak memahami nash yang ada dalam Al-Muwatha’, Shahih
Muslim dan lain-lain ini. Akan tetapi keheranan tersebut akan hilang,
manakala kita ingat, bahwa dia menulis kitab Az-Zad itu adalah pada waktu
di mana dia jauh dari kitab-kitab lain, yakni dia dalam perjalanan, sebagai
seorang musafir. Inilah sebabnya mengapa dalam kitab tersebut, di samping

16
kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan mengenai hal ini telah
saya jelaskan dalam At-Ta’liqat Al-Jiyad ‘Ala Zadil Ma’ad.

Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah, bahwa gurunya, yakni
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah bukunya,
berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Mengapa hal itu tidak
diketahui oleh Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling mengenal Ibnu
Taimiyah dengan segala pendapatnya? Setelah menuturkan hadis itu,
Syaikhul Islam dalam Majmu’atur Rasail wal-Masa’il (2/26-27) mengatakan:
“Pengertian jamak itu ada tiga tingkatan: Manakala sambil berjalan, maka
pada waktu yang pertama. Sedangkan bila turun, maka pada waktu yang
kedua. Inilah jamak sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadis
Anas dan Ibnu Umar. Itu menyerupai jamak di Muzdalifah. Adapun manakala
di waktu yang kedua, baik dengan berjalan maupun dengan kendaraan, maka
dijamak pada waktu yang pertama. Ini menyerupai jamak di Arafah. Sungguh
hal ini telah diriwayatkan dalam As-Sunnan (yakni hadis Mu’adz ini).
Adapun manakala turun pada waktu keduanya, maka dalam hal ini tidak aku
ketahui hadis ini menunjukkan, bahwa beliau Nabi turun di kemahnya dalam
bepergian itu. Dan bahwa beliau mengakhirkan Zuhur, kemudian keluar, lalu
shalat Zuhur dan Ashar sekalian.

Kemudian beliau masuk ke tempatnya, lalu keluar lagi dan melakukan


shalat Maghrib dan Isya’ sekalian. Sesungguhnya kala ‘ad-dukhul’ (masuk)
dan ‘khuruj’ (keluar), hanyalah ada di rumah (kemah saja). Sedangkan orang
yang berjalan tidak akan dikatakan masuk atau keluar. Tetapi turun atau naik.

“Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi ‫ﷺ‬. Sesudah itu beliau ‫ﷺ‬
tidak pernah bepergian, kecuali ketika haji Wada’. Tidak ada kasus jamak
darinya, kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada
seorang pun yang menukil, bahwa beliau pernah menjamak di sana.

Mereka hanya menukilkan, bahwa beliau ‫ ﷺ‬memang mengqashar di


sana. Ini menunjukkan, bahwa beliau ‫ ﷺ‬dalam suatu bepergian terkadang

17
menjamak dan terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering adalah bahwa
beliau ‫ ﷺ‬tidak menjamak. Hal ini menunjukkan, bahwa beliau ‫ ﷺ‬tidak
menjamak. Dan juga menunjukkan, bahwa jamak bukan menjadi sunah Safar
sebagaimana qashar, tetapi dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam
bepergian, maupun sewaktu tidak dalam bepergian, supaya tidak
memberatkan umatnya. Maka seorang musafir, bilamana memerlukan jamak,
maka lakukan saja, baik pada waktu kedua atau pertama, baik ia turun
untuknya atau untuk keperluan lain seperti tidur dan istirahat pada waktu
Zuhur dan waktu Isya’. Kemudian dia turun pada waktu Zuhur dan waktu
Isya. Dia turun pada waktu Zuhur karena lelah dan mengantuk serta lapar,
sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia boleh mengakhirkan
Zuhur kepada waktu Ashar, kemudian menjamak Taqdim Isya dengan
Maghrib, lalu sesudah itu bisa tidur, agar bisa bangun di tengah malam dalam
bepergiannya.

Maka menurut hadis ini dan lainnya, adalah diperbolehkan menjamak.


Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung atau kota,
maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak
diperkenankan menjamak. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas
kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan
bangkai.

Hal-hal seperti ini hanya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain


halnya dengan soal qashar. sesungguhnya ia memang menjadi sunnah dalam
shalat perjalanan”.

b) Menjamak Dua Shalat Dalam Perjalanan

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam berpendapat


sebagai berikut: Diperbolehkan baginya manjamak shalat Zuhur dengan
Ashar dalam salah satu waktu di antara keduanya, menjamak shalat Maghrib
dengan Isya’ dalam salah satu waktu di antara keduanya. Semua ini
merupakan keluwesan syariat yang dibawa Rasulullah ‫ ﷺ‬dan kemudahannya,

18
yang berarti merupakan karunia dari Allah, agar tidak ada keberatan dalam
agama.

“Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:


‘Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah menjamak antara Zuhur dan Ashar jika berada dalam
perjalanan, juga menjamak antara Maghrib dan Isya” [Ini lafazh Al-Bukhary
dan bukan Muslim, seperti yang dikatakan Abdul haq yang menghimpun
Ash-Shahihain. Ibnu Daqiq Al-Id juga mengingatkan hal ini. Mushannif
mengaitkan takhrij hadis ini kepada keduanya, karena melihat asal hadis
sebagaimana kebiasaan para ahli hadis, karena Muslim mentakhrij dari
riwayat Ibnu Abbas tentang jamak antara dua shalat, tanpa memertimbangkan
lafalnya. Inilah yang telah disepakati bersama. Menurut Ash-Shan’any. Al-
Bukhary tidak metakhrijnya kecuali berupa catatan. Hanya saja dia
menggunakan bentuk kalimat yang pasti]

Makna Hadis

Di antara kebiasaan Rasulullah ‫ ﷺ‬jika mengadakan perjalanan, apalagi


di tengah perjalanan, maka beliau ‫ ﷺ‬menjamak antara shalat Zuhur dan
Ashar, entah taqdim entah Ta’khir. Beliau ‫ ﷺ‬juga menjamak antara Maghrib
dan Isya, entah taqdim entah Ta’khir, tergantung mana yang lebih
memungkinkan untuk dikerjakan, dan dengan siapa beliau ‫ ﷺ‬mengadakan
perjalanan. Yang pasti, perjalanan ini menjadi sebab jamak dan shalat pada
salah satu waktu di antara dua waktunya, karena waktu itu merupakan waktu
bagi kedua shalat.

c) Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama

Para ulama saling berbeda pendapat tentang jamak ini. Mayoritas


sahabat dan tabi’in memerbolehkan jamak, baik taqdim maupun Ta’khir. Ini
juga merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ats-Tsaury. Mereka
berhujjah dengan hadis-hadis Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, begitu pula hadis
Mu’adz, bahwa jika Rasulullah ‫ ﷺ‬berangkat sebelum matahari condong,
maka beliau ‫ ﷺ‬menjamak shalat Zuhur dan Ashar pada waktu shalat Ashar.

19
Beliau ‫ ﷺ‬mengerjakan keduanya secara bersamaan. Tapi jika beliau ‫ﷺ‬
berangkat sesudah matahari condong, maka beliau ‫ ﷺ‬shalat Zuhur dengan
Ashar, lalu berangkat. Jika beliau ‫ ﷺ‬berangkat sebelum Maghrib, maka belaiu
‫ ﷺ‬menunda shalat Maghrib dan mengerjakannya bersama shalat Isya. Jika
beliau ‫ ﷺ‬berangkat sesudah masuk waktu Maghrib, maka beliau ‫ﷺ‬
mengerjakan shalat Isya bersama shalat Maghrib. [Diriwayatkan Ahmad,
Abu Daud dan At-Tirmidizy]

Sebagian Imam menshahihkan hadis ini, sementara yang lain


memermasalahakannya. Asal hadis ini ada dalam riwayat Muslim tanpa
menyebutkan Jama Taqdim.

Sementara Abu Hanifah dan dua rekannya. Al-Hasan dan An-Nakha’y


tidak memperbolehkan jamak. Mereka menakwil hadis-hadis tentang jamak,
bahwa itu merupakan jamak imajiner. Gambarannya, menurut pendapat
mereka, beliau ‫ ﷺ‬mengakhirkan shalat Zuhur hingga akhir waktunya, lalu
mengerjakannya, dan setelah itu mengerjakan shalat Ashar pada awal
waktunya. Begitu pula untuk shalat Maghrib dan Isya.

Tentu saja ini tidak mengenai dan bertentangan dengan pengertian lafal
jamak, yang artinya menjadikan dua shalat di salah satu waktu di antara dua
waktunya, yang juga ditentang ketetapan Jamak Taqdim, sehingga menafikan
cara penakwilan seperti itu. Al-Khaththaby dan Ibnu Abdil Barr menyatakan,
jamak sebagai rukhshah. Mengerjakan dua shalat, yang pertama pada akhir
waktunya, dan yang kedua pada awal waktunya, justru berat dan sulit. Sebab
orang-orang yang khusus pun sulit mencari ketetapan waktunya. Lalu
bagaimana dengan orang-orang awam?

Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang boleh
dilakukan ialah Jamak Ta’khir dan tidak Jamak Taqdim. Mereka menanggapi
hadis-hadis yang dikatakan sebagian ulama, yang dipermasalahkan.

Mereka juga saling berbeda pendapat tentang hukum jamak. Asy-


Syafi’i, Ahmad dan jumhur berpendapat, perjalanan merupakan sebab Jamak

20
Taqdim dan Ta’khir. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Malik.
Pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur darinya, pengkhususan darinya,
pengkhususan jamak pada waktu dibutuhkan saja, yaitu jika sedang
mengadakan perjalanan. Ini juga merupakan pilihan pendapat Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim. Menurut Al-Bajy,
ketidaksukaan Malik terhadap jamak, karena khawatir jamak ini dilakukan
orang yang sebenarnya tidak mendapat kesulitan. Adapun pembolehannya
jika mengadakan perjalanan, didasarkan kepada hadis Ibnu Umar.

Abu Hanifah tidak memerbolehkan jamak, kecuali di Arafah dan


Muzdalifah, karena untuk keperluan manasik haji dan bukan karena
perjalanan.

Jumhur berhujjah dengan hadis-hadis yang menyebutkan jamak secara


mutlak tanpa ada batasan perjalanan, ketika singgah atau ketika mengadakan
perjalanan. Begitu pula yang disebutkan di dalam Al-Muwaththa’ dari Muadz
bin Jabal, bahwa pada Perang Tabuk Rasulullah ‫ ﷺ‬mengakhirkan shalat,
kemudian keluar shalat Zuhur dan Ashar bersama-sama, kemudian masuk dan
keluar lagi untuk shalat Maghrib dan Isya’. Menurut Ibnu Abdil Barr, isnad
hadis ini kuat. Asy-Syafi’y menyebutkannya di dalam Al-Umm. Menurut
Ibnu Abdul Barr dan Al-Bajy, keluar dan masuknya Rasulullah ‫ﷺ‬
menunjukkan, bahwa beliau ‫ ﷺ‬sedang singgah dan tidak sedang dalam
perjalanan. Ini merupakan penolakan secara tegas terhadap orang yang
menyatakan, bahwa beliau ‫ ﷺ‬tidak menjamak, kecuali ketika mengadakan
perjalanan.

Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadis
Ibnu Umar, bahwa jika beliau mengadakan perjalan, maka beliau menjamak
Maghrib dan Isya’, seraya berkata: “Jika Rasulullah ‫ ﷺ‬mengadakan
perjalanan, maka beliau ‫ ﷺ‬menjamak keduanya”.

Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadis yang lain
layak untuk diterima. Bagaimanapun juga, bepergian mendatangkan banyak

21
kesulitan, baik ketika singgah maupun ketika dalam perjalanan. Rukhshah
jamak tidak dibuat, melainkan untuk memberikan kemudahan didalamnya.

Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu, menjadikan hadis Mu’adz dan


sejenisnya termasuk dalil-dalilnya,bahwa rukhshah jamak tidak ditetapkan,
melainkan ketika mengadakan perjalanan (bukan ketika singgah). Adapun
pendapat Abu Hanifah tertolak oleh berbagai hadis yang Shahih dan jelas
maknanya.

Faidah Hadis

Pertama: Seperti yang disebutkan pengarang tentang jamak karena


perjalanan, maka di sana ada beberapa alasan selain perjalanan yang
memerbolehkan jamak, di antaranya hujan. Al-Bukhary meriwayatkan,
bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬menjamak Maghrib dan Isya’ pada suatu malam ketika
turun hujan. Jamak ini dikhususkan untuk Maghrib dan Isya’, bukan untuk
Zuhur dan Ashar. Namun ulama lain membolehkannya juga, di antaranya Al-
Imam Ahmad dan rekan-rekannya.

Begitu pula alasan sakit. Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬


pernah menjamak Zuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ bukan karena takut
dan hujan. Dalam riwayat lain disebutkan, bukan karena takut dan perjalanan.
Tidak ada sebab lain kecuali sakit. Banyak ulama yang memerbolehkannya,
di antaranya Malik, Ahmad, Ishaq dan Al-Hasan. Ini juga merupakan
pendapat segolongan ulama dari madzhab Syafi’y, seperti Al-Khaththaby dan
ini juga merupakan pilihan An-Nawawy di dalam Shahih Muslim. Ibnu
Taimiyah menyebutkan, bahwa Al-Imam Ahmad menetapkan pembolehan
jamak bagi orang yang terluka dan karena kesibukan, yang didasarkan kepada
hadis yang diriwayatkan tentang masalah ini. Ada pula yang menetapkan
pembolehan jamak bagi wanita istihadhah, karena istihadhah termasuk
penyakit.

Kedua: Batasan perjalanan yang menyebabkan pembolehan jamak


diperselisihkan para ulama. Asy-Syafi’i dan Ahmad menetapkan lama

22
perjalanan selama dua hari hingga ke tujuan, atau sejauh enam belas farskah
[Satu farskah sama dengan empat mil. Satu mil sama dengan satu setengah
kilometer. Enam belas farsakh sama dengan enam puluh emapt mil, atau sama
dengan sembilan puluh enam kilometer]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan pilihan, bahwa apa pun


yang disebut dengan perjalanan, pendek atau jauh, diperbolehkan jamak di
dalamnya. Jadi tidak diukur dengan jarak tertentu. Menurut pendapatnya, di
dalam nash Al-Kitab dan As-Sunnah tidak disebutkan perbedaan antara jarak
dekat dengan jarak jauh. Siapa yang membuat perbedaan antara jarak dekat
dan jarak jauh, berarti dia memisahkan apa yang sudah dihimpun Allah,
dengan sebagian pemisahan dan pembagian yang tidak ada dasarnya.
Pendapat Syaikhul Islam ini sama dengan pendapat golongan Zhahiriyah,
yang juga didukung pengarang Al-Mughny.

Ibnul Qayyim menyatakan di dalam Al-Hadyu, tentang riwayat yang


membatasi perjalanan sehari, dua hari atau tiga hari, maka itu bukan riwayat
yang Shahih.

Ketiga: Menurut jumhur ulama, meninggalkan jamak lebih utama daripada


jamak, kecuali dalam dua jamak, di Arafah dan Muzdalifah, karena di sana
ada kemaslahatan.

d) Hukum Menjamak Shalat Ashar dengan Shalat Jumat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan sebagai berikut:


Tidak boleh menjamak (menggabungkan) shalat Ashar dengan shalat Jumat,
ketika diperbolehkan menjamak antara shalat Ashar dan Zuhur (karena ada
alasan syari, seperti perjalanan). Seandainya seseorang yang sedang
melakukan perjalanan jauh melintasi suatu daerah, lalu dia melakukan shalat
Jumat bersama kaum Muslimin di sana, maka (dia) tidak boleh menjamak
Ashar dengan shalat Jumat.

23
Seandainya ada seorang yang menderita penyakit sehingga
diperbolehkan untuk menjamak shalat, (lalu ia) menghadiri shalat dan
mengerjakan shalat Jumat, maka dia tidak boleh menjamak shalat Ashar
dengan shalat Jumat. Dalilnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya


atas orang-orang yang beriman” [An-Nisaa: 103]

Maksudnya, (ialah) sudah ditentukan waktunya. Sebagian dari waktu-


waktu ini sudah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala secara global
dalam firman-Nya:

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap


malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu
disaksikan (oleh Malaikat)” [Al-Israa: 78]

Jika ada yang mengatakan, apakah tidak boleh mengqiyaskan jama


shalat Ashar ke Jumat dengan menjamak shalat Ashar ke Zuhur?

Jawabnya adalah tidak boleh, karena beberapa sebab:

• Tidak ada qiyas dalam masalah ibadah.

• Shalat Jumat merupakan shalat tersendiri, memiliki lebih dari 20 hukum


(ketentuan-ketentuan) tersendiri yang berbeda dengan shalat Zuhur.
Perbedaan seperti ini menyebabkannya tidak bisa disamakan (diqiyaskan)
ke shalat yang lainnya.

• Qiyas seperti (dalam pertanyaan di atas) ini bertentangan dengan zahir


sunnah. Dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬menjamak Maghrib dengan Isya di Madinah
dalam kondisi aman dan tidak hujan.

Pada masa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah juga turun hujan yang menimbulkan


kesulitan. Akan tetapi beliau ‫ ﷺ‬tidak menjamak shalat Ashar dengan Jumat,

24
sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya dari sahabat
Anas bin Malik, bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah meminta hujan pada hari Jumat saat
beliau ‫ ﷺ‬di atas mimbar. Sebelum beliau ‫ ﷺ‬turun dari mimbar, hujan turun
dan mengalir dari jenggotnya. Ini tidak akan terjadi, kecuali disebabkan oleh
hujan yang bisa dijadikan alasan untuk menjamak shalat, seandainya boleh
menjamak Ashar dengan shalat Jumat. Sahabat Anas bin Malik mengatakan,
pada hari Jumat berikutnya, seseorang datang dan berkata: “Wahai,
Rasulullah. Harta benda sudah tenggelam dan bangunan hancur, maka
berdoalah kepada Allah agar memberhentikan hujan dari kami”.

Kondisi seperti ini, (tentunya) memerbolehkan untuk menjamak, jika


seandainya boleh menjamak shalat Ashar dengan shalat Jumat.

Jika ada yang mengatakan: “Mana dalil yang melarang menjamak


shalat Ashar dengan shalat Zuhur?”

Pertanyaan seperti ini tidak tepat, karena hukum asal beribadah adalah
terlarang, kecuali ada dalil (yang merubah hukum asal ini menjadi wajib atau
sunat). Maka orang yang melarang pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan
suatu amalan fisik atau hati, tidak dituntut untuk mendatangkan dalil. Akan
tetapi, yang dituntut untuk mendatangkan dalil ialah orang yang melakukan
ibadah tersebut, berdasarkan firman Allah yang mengingkari orang-orang
yang beribadah kepadanya, tanpa dasar syari “Apakah mereka memunyai
Sembahan-Sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah” [Asy-Syuura: 21]

Dan firman-Nya:

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agamamu” [Al-Maidah: 3]

Berdasarkan ini, jika ada yang menanyakan: “Mana dalil larangan


menjamak shalat Ashar dengan shalat Jumat?” (Maka) kita mengembalikan

25
pertanyaan: “Mana dalil yang memerbolehkannya? Karena hukum asal shalat
Ashar dikerjakan pada waktunya. Ketika ada faktor yang memerbolehkan
untuk menjamak shalat Ashar, hukum asal ini bisa diselisihi. (Maka yang)
selain itu tetap pada hukum asalnya, yaitu tidak boleh diajukan dari waktunya.

Jika ada yang mengatakan: “Bagaimana pendapatmu jika dia berniat


shalat Zuhur ketika shalat Jumat agar bisa menjamak?”

Jawab, jika seorang imam shalat Jumat di suatu daerah, berniat shalat
Zuhur dengan shalat Jumatnya, maka tidak syak lagi (demikian) ini
merupakan perbuatan haram, dan shalatnya batal. Karena bagi mereka, shalat
Jumat itu wajib. Jika ia mengalihkan shalat Jumat ke shalat Zuhur, berarti
mereka berpaling dari perintah-perintah Allah kepada sesuatu yang tidak
diperintahkan, sehingga berdasarkan hadis di atas, (maka) amalnya batal dan
tertolak.

Sedangkan jika yang berniat melaksanakan shalat Jumat dengan niat


Zuhur adalah seorang musafir (misalnya), yang bermakmum kepada orang
yang wajib melaksanakannya, maka perbuatan musafir ini juga tidak sah.
Karena, ketika dia menghadiri shalat Jumat, berarti dia wajib melakukannya.
Orang yang terkena kewajiban shalat Jumat, namun dia melaksanakan shalat
Zuhur sebelum imam salam dari shalat Jumat, maka shalat Zuhurnya tidak
sah.

3) Sholat Jama’ Qashar

Menjama’ dan mengqashar sholat mempunyai aturan tersendiri,


seseorang diperbolehkan menjama’ atau hanya mengqashar sholat dengan
syarat-syarat yang telah terpenuhi. Tidak diharuskan mengqashar sekaligus
menjama’ sholat, tetapi perlu digaris bawahi, bila syarat untuk menjama’ dan
mengqashar terpenuhi, tentu saja diperbolehkan menjama’ sholat sekaligus
mengqasharnya.

26
Salah satu penyebab Bersama itu tidak lain adalah safar. Bahwa safar
atau perjalanan adalah penyebab diperbolehkannya seseorang untuk
menjama’ sholat ataupun mengqasharnya secara bersamaan.

3. Temuan
a. Sholat qashar
1) Syaikh Al-Utsaimin : qashar sholat dianjurkan, bukan wajib, dengan
ketentuan tiga hari lamanya perjalanan. (masih diperselisihkan)
Sebagian mensyaratkan harus mencapai 81 km. Sebagian tidak
menentukan jarak, yg penting sesuai adat/uruf’ yang berlaku.
2) 3 Imam: Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad memperbolehkan
penyempurnaan sholat, namun lebih baik di qashar.
3) Abu hanifah mewajibkan qashar didukung oleh ibnu hazm
4) Mayoritas ulama: mengqashor lebih baik
b. Sholat jama’
1) Jumhur ulama: boleh mengumpulkan 2 sholat pada waktu bepergian
walaupun pada tempat selain Arafah dan Muzdalifah.
2) Jumhur ulama: meninggalkan jamak lebih utama daripada jamak, kecuali
dalam dua jamak, di Arafah dan muzdalifah karena disana ada
kemaslahatan.
3) Abu Hanifah: menakwilkan dengan jamak shuwari: mengakhirkan dzuhur
sampai mendekati waktu ashar, demikian pula maghrib dan isya.
Menurutnya, jama’ bukan sunnah safar sebagaimana qashar.
4) abu hanifah dan kedua rekannya, Al-Hasan dan An-Nakhay tidak
memperbolehkan jama’ kecuali di Arafah dan Muzdalifah.
5) Mayoritas sahabat dan tabiin memperbolehkan jamak, baik taqdim
maupun Takhir. Juga pendapat As-Syafi’i, Ahmad dn At-Tsauri mereka
berhujjah dengan hadits Ibnu Abas dan Ibnu Umar.
6) Ibnu Hazm dan salah satu Riwayat dari malik: boleh jamak ta’khir, tidak
dengan jamak taqdim.
7) syaikh Muhammad bin shalih Al- utsaimin: tidak boleh menjamak sholat
ashar dengan sholat jum’at.
4. Analisa

27
a. Sholat qashar
1) Pensyaratan qashar shalat empat rakaat dalam perjalanan menjadi dua
rakaat saja.
2) Qashar merupakan sunnah Rasulullah ‫ ﷺ‬dan sunnah Al-Khulafa Ar-
Rasyidun dalam perjalanan mereka.
3) Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan
untuk ketaatan. Para ulama juga memasukkan perjalanan yang mubah.
Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat bahwa dalam semua
perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak
membolehkan qashar dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar,
rukhshah ini bersifat umum dan sama untuk semua orang.
4) Kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya dan keluwesan syariat ini,
yang memberi kemudahan dalam beribadah kepada makhluk. Karena
perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan, maka dibuat keringanan
untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika
tingkat kesulitan semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka
sebagian shalat juga diringankan.
5) Perjalanan di dalam hadis diatas tidak terbatas, tidak dibatasi dengan jarak
jauh. Yang lebih baik ialah dibiarkan menurut kemutlakannya. Lalu
rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut perjalanan. Pembatasanya
dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak pernah disebutkan
di dalam nash. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Perjalanan tidak
pernah dibatasi oleh syariat, tidak ada pembatasan menurut bahasa. Hal ini
dikembalikan kepada tradisi manusia. Apa yang mereka sebut dengan
perjalanan, maka itulah perjalanan”.
b. Sholat jamak
1) Boleh menjamak shalat Zuhur dengan Ashar, shalat Maghrib denan Isya’
2) Keumuman hadis menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya
Jamak Taqdim dan Ta’khir antara dua shalat. Beberapa dalil menunjukkan
hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
3) Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Di atas telah
disebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari masing-

28
masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq Al-Id, hadis ini menunjukkan jamak
jika dalam perjalan. Sekiranya tidak ada hadis-hadis lain yang
menyebutkan jamak tidak seperti gambaran ini, tentu dalil ini
mengharuskan jamak dalam kondisi yang lain. Diperbolehkannya jamak
di dalam hadis ini berkaitan dengan suatu sifat yang tidak mungkin
diabaikan begitu saja. Jika jamak dibenarkan ketika singgah, maka
pengamalannya lebih baik, karena adanya dalil lain tentang
pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam perjalanan. Tegaknya
dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil ini
tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam hadis
ini, karena pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di dalam
gambaran ini secara khusus, jauh lebih kuat.
4) Hadis diatas dan juga hadis-hadis lainnya menunjukkan bahwa jamak
dikhususkan untuk shalat Zuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya,
sedangkan Subuh tidak dapat dijamak dengan shalat lainnya.
5) Tidak diperbolehkan jama’ sholat jum’at dengan sholat ashar.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Rukhsoh adalah keringanan hukum bagi mukallaf yang berlaku pada
situasi dan kondisi tertentu. Kemudahan dan keringanan itu diberikan
syari’at lantaran ada kesulitan-kesulitan (udzur) yang merintanginya.
b. Sholat Qashar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas bilangan
rakaatnya.
c. Sholat jama’ adalah mengerjakan dua sholat dengan mengumpulkannya
dalam satu waktu. Adapun sholat yang boleh di jama’ adalah sholat
dzuhur dengan ashar, dan sholat maghrib dan isya.
d. Sholat Jama’ Qashar adalah Menjama’ sholat fardhu sekaligus
mengqashar. yakni, mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu waktu
sekaligus menyingkat shalat yang terdiri dari 4 rakaat menjadi dua rakaat.
e. Sebab-sebab qashar diantaranya: Bepergian (al-shafar), sakit, pemaksaan,
lupa, ketidak tahuan, ‘usru wa ‘umumu al-balwa: adalah suatu kesulitan
dimana seseorang merasa kesulitan untuk menjauhinya dan hal itu sudah
berbaur dengan kehidupan manusia, sifat yang kurang sempurna.
f. Macam-macam rukhsah yang terdapat dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-
Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437 H) terbagi menjadi empat
bagian : rukhsah wajibah, rukhsah mandubah, rukhsah mubahah.
rukhsah khilaf al-aulā.

29
g. Sholat qashar dan jamak sesuai dengan hadits dan pendapat para ulama
hukum nya ada yg memperbolehkan, menganjurkan, dan ada juga yang
tidak memperbolehkan.
h. Diperbolehkan menjama’ dan mengqashar sholat jika syarat-syarat
terpenuhi.
2. Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah berikutnya.

30
E. DAFTAR PUSTAKA

257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, oleh Syaikh Muhammad Al-Shalih


Al-‘Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press, hal 133-134.

Al-mahfani, M Khalilurrahman, Buku Pintar Shalat pedoman shalat lengkap


menuju shalat khusyuk, Jakarta selatan: Wahyu Media, 2008.

Fadli, Riski Maulana, Macam-Macam Rukhshah Dalam Hukum Islam, dalam


https://bincangsyariah.com/kolom/macam-macam-rukhsah-dalam-hukum-
islam/ (24 Oktober 2020)

Fawaid, Achmad, pengertian dan macam-macam rukhshah dalam islam, dalam


https://bincangsyariah.com/khazanah/pengertian-dan-macam-macam-
rukhsah-dalam-islam/ (2 April 2022)

http://www.almanhaj.or.id

Kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadis


Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah

Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diambil dari Fatawa Syaikh


Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

nasihat sahabat, hukum sholat qashar dan sholat jamak, dalam


https://nasihatsahabat.com/hukum-shalat-qashar-dan-shalat-jamak/ (21
April 2017).

Rumah Fiqih Indonesia, bolehkah menjama dua shalat dan mengqasharnya


sekaligus?, dalam http://www.rumahfiqih.com/konsultasi-2021-bolehkah-
menjama-dua-shalat-dan-mengqasharnya-sekaligus.html (10 April 2014)

Silsilah Al-Hadis Ash-Shahihah Wa Syaiun Min Fiqhiha Wa Fawaaidiha, edisi


Indonesia Silsilah Hadis Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya,
karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan CV. Pustaka
Mantiq, hal. 362-372.

31

Anda mungkin juga menyukai