Anda di halaman 1dari 5

Shalat Seorang Musafir

78Share

Hari raya selalu identik dengan kegiatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu dengan
sanak keluarga atau yang dikenal dengan istilah ‘mudik’. Acapkali mudik tersebut harus
ditempuh dengan perjalanan yang cukup jauh (safar). Seorang muslim yang baik tentu saja tidak
akan melalaikan kewajiban utamanya untuk tetap beribadah pada Allah meski pun berada dalam
kondisi safar yang melelahkan. Artikel berikut akan mengulas permasalahan sholat seorang
musafir yang dikutip dari makalah karya Al Ustadz Abu ‘Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi
– hafidzahullah- dalam Majalah Al Furqon edisi 11/tahun-8.

1. Meringkas Shalat

Meringkas shalat (qoshor) dimana shalat empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat ketika safar
disyariatkan. Dalil-dalil tentang masalah ini di antaranya:
Allah berfirman:

‫صلَ ٰو ِة ِا ْن ِخ ْفتُ ْم اَ ْن يَ ْفتِنَ ُك ُم الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا اِ َّن ْالكفِ ِر ْينَ َكانُوْ الَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُّمبِ ْينًا‬ ُ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح اَ ْن تَ ْق‬
َّ ‫صرُوْ ا ِمنَ ال‬ ِ ْ‫ض َر ْبتُ ْم فِى ْاالَر‬
َ ‫ض فَلَي‬ َ ‫َواِ َذا‬

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor
sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
musuh yang nyata bagimu.” (Qs. An Nisa’: 101)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

‫ض ِر‬ َ ُ‫صالَة‬
َ ‫الح‬ ْ ‫صالَةُ ال َّسفَ ِر َوأُتِ َّم‬
َ ‫ت‬ ْ ‫فَأُقِر‬،‫ت َر ْك َعتَ ْي ِن‬
َ ‫َّت‬ َ ‫صالَةَ أَ َّو ُل َمافُ ِر‬
ْ ‫ض‬ َّ ‫أَ َّن ال‬

“Pertama kali sholat diwajibkan adalah dua raka’at, maka tetaplah sholat musafir dua raka’at dan
shalat orang yang muqim (menetap) sempurna (empat raka’at).” (HR. Al Bukhari: 1090 dan
Muslim:685)
Asy Syinqithi mengatakan, “Para ulama bersepakat atas disyariatkannya meng-qoshor sholat
empat raka’at ketika safar. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan bahwa tidak ada
qoshor kecuali ketika haji, umroh, atau ketika keadaan mencekam. sesungguhnya perkataan
seperti ini tidak ada dasarnya menurut ahli ilmu.” (Adhwa’ul Bayan 1/265).

a. Shalat yang boleh diqoshor.

Merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama, shalat yang boleh diringkas adalah shalat
Zhuhur, Ashar, dan ‘Isya’. Imam Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa sholat
Maghrib dan Shubuh tidak boleh diqoshor.” (al-Ijma’ hal. 9)

b. Kapan seorang musafir boleh meringkas shalat?

Orang yang safar diperbolehkan meringkas shalatnya apabila telah berangkat dan meninggalkan
tempat tinggalnya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫الظه َْر َم َع النَّبِ ِّي بِ ْال َم ِد ْينَ ِ•ة أَرْ بَعًا َوبِ ِذى ْال ُحلَ ْيفَ ِة َر ْك َعتَ ْي ِن‬
ُّ ‫ْت‬
ُ ‫صلَّي‬.
َ

“Aku shalat bersama Nabi di Madinah empat raka’at dan di Dzulhulaifah dua raka’at.” (HR. Al
Bukhari:1039 dan Muslim:690)

c. Apabila musafir bermakmum kepada muqim.

Kewajiban seorang musafir apabila bermakmum di belakang muqim adalah tetap shalat secara
sempurna mengikuti imamnya berdasarkan keumuman hadits,
‫إِنَّ َما ُج ِع َل ْا ِإل َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه‬

“Sesungguhnya (seseorang) itu dijadikan imam untuk diikuti”. (HR. Al Bukhari:722 dan
Muslim:414)

Dan juga para shahabat shalat di belakang Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu, tatkala beliau shalat di Mina empat raka’at, maka para shahabat tetap mengikutinya shalat
empat raka’at. Oleh karena itu Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika ditanya, “Mengapa
seorang musafir kalau shalat sendirian dia shalat dua raka’at tetapi kalau shalat bersama imam
dia shalat empat raka’at ?”, beliau menjawab, “Demikianlah sunnah Abul Qashim (Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)” (Liqa’ Bab Maftuh hal. 40)

Mengomentari atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ini, Syaikh Al Albani rahimahullah
berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa seorang musafir apabila
bermakmum kepada muqim maka dia menyempurnakan dan tidak menqoshor. Ini merupakan
madzhab imam yang empat dan selain mereka. Bahkan Imam Syafi’i menceritakan dalam Al
Umm (1/159) kesepakatan mayoritas ulama akan hal itu dan disetujui oleh Al Hafidz Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari (2/465).” (Silsilah Ahadits Shohihah 6/387)

d. Lupa shalat ketika safar dan ingat ketika muqim.


Kalau ada seorang musafir lalu dia ingat bahwa dia belum shalat Zhuhur – misalnya—ketika
masih di rumah, apakah dia shalat qoshor dua raka’at (mengingat keadaan dirinya sekarang
sebagai musafir) ataukah empat raka’at (karena keadaan ketika lupa adalah saat muqim)?
Demikian juga sebaliknya, kalau ketika muqim teringat bahwa dia lupa belum shalat ketika
dalam safarnya, apakah dia melakukannya qoshor ataukah menyempurnakan shalat?!

Masalah ini diperselisihkan para ulama. Akan tetapi yang benar – Wallahu a’lam – bahwa yang
menjadi patokan adalah keadaan ketika dia lupa tersebut. Artinya, dia qoshor kalau shalat yang
dia tinggalkan adalah ketika safar walaupun dia ingat ketika muqim. Begitu pula, dia tetap shalat
secara sempurna kalau shalat yang dia tinggalkan adalah ketika muqim meskipun dia ingat ketika
dalam keadaan safar. Dasarnya adalah keumuman hadits,

َ ُ‫صالَةً أَوْ نَا َم َع ْنهَا فَ ْلي‬


‫صلِّهَا إِ َذا َذ َك َرهَا‬ َ ‫َم ْن ن َِس َي‬

“Barangsiapa yang lupa akan shalat atau tertidur maka hendaknya dia mengerjakannya ketika
dia ingat.” (HR. Al Bukhari:572 dan Muslim:682)

e. Sudah qoshor dan jama’ kemudian tiba di kampung sebelum waktu shalat kedua.

Gambaran masalahnya, ada seorang musafir telah mengerjakan shalat zhuhur dan asar dengan
qoshor di perjalanan. Kemudian sampai di rumah sebelum masuknya waktu shalat asar. Apakah
dia berkewajiban untuk mengulang shalatnya? Jawabnya tidak harus karena dia telah
menunaikan kewajibannya (Ta’liqot Syaikh Ibni ‘Utsaimin ‘ala Qowa’id Ibni Rojab 1/35).

2. Menjama’ (Menggabung) Dua Shalat

Termasuk kesempurnaan rahmat Allah bagi seorang musafir adalah diberi keringanan untuk
menjama’ dua shalat di salah satu waktunya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

‫ب َو ْال ِع َشا ِء‬


ِ ‫الظه ِْر َوال َعصْ ِر إِ َذا َكانَ َعلَى ظَه ِْر َسي ٍْر َويَجْ َم ُع بَ ْينَ ْال َم ْغ ِر‬
ُّ ‫صالَ ِة‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَجْ َم ُع بَ ْين‬
َ ِ‫َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬

“Apabila dalam perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur
dengan Asar serta Maghrib dengan ‘Isya’.” (HR. Al Bukhari:1107 dan Muslim:704)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Boleh menjama’ shalat Zhuhur dan Asar di salah satu
waktu keduanya sesuai kehendaknya. Demikian pula shalat Maghrib dan ‘Isya’, baik safarnya
jauh atau dekat.” (Syarh Shahih Muslim 6/331)

Imam Ibnu Qudamah rahimahulah berkata, “Boleh menjama’ antara Zhuhur dan Asar serta
Maghrib dan ‘Isya’ pada salah satu waktu keduanya.” (Al Muqni’ 5/84)

Shalat yang boleh dijama’ adalah shalat Zhuhur dengan Asar serta shalat Maghrib dengan ‘Isya’.
Adapun shalat shubuh tidak boleh dijama’ dengan shalat yang sebelumnya atau sesudahnya.
Demikian pula tidak boleh menjama’ shalat asar dengan maghrib. Anas radhiyallahu ‘anhu
berkata,
ُّ ‫صلَّى‬
َ ‫الظه َْر ثُ َّم َر ِك‬
‫ب‬ ْ ‫ت ْال َعصْ ِر ثُ َّم يَجْ َم ُع بَ ْينَهُ َما َوإِ َذا َزاغ‬
َ ‫َت‬ ُّ ‫ َكانَ النَّبِ ُّي إِ َذا ارْ ت ََح َل قَ ْب َل أَ ْن ت َِز ْي َغ ال َّش ْمسُ أَ َّخ َر‬.
ِ ‫الظ ْه َر إِلَى َو ْق‬

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berangkat sebelum matahari tergelincir maka
beliau mengakhirkan shalat Zhuhur hingga Asar kemudian menjama’ keduanya. Apabila beliau
berangkat setelah Zhuhur maka beliau shalat Zhuhur kemudian baru berangkat.” (HR. Al
Bukhari:1111 dan Muslim:704)

Adapun tatacara menjama’ shalat adalah menggabungkan dua shalat dalam salah satu waktu,
baik diakhirkan maupun dikedepankan. Misalnya shalat Zhuhur dan Asar dijama’ (digabung)
dikerjakan pada waktu Zhuhur atau pada waktu Asar, keduanya boleh. Hendaklah adzan untuk
satu kali shalat dan iqomah pada setiap shalat. yaitu satu kali adzan cukup untuk Zhuhur dan
Asar dan iqomah untuk setiap shalat (HR. Al Bukhari: 629).

3.  Shalat Berjama’ah (Terutama Bagi Laki-Laki)


Shalat berjama’ah tetap disyariatkan ketika safar. Bahkan para ulama mengatakan bahwa hukum
shalat berjama’ah tidak berubah baik ketika safar maupun muqim berdasarkan dalil-dalil berikut:

a. Al Qur’an. Allah berfirman,

﴿‫ك َو ْليَأْ ُخ ُذ ۤو ْا اَ ْسلِ َحتَهُ ْم‬


َ ‫صلَ ٰوةَ فَ ْلتَقُ ْم طَآ ئِفَةٌ ِّم ْنهُ ْم َّم َع‬
َّ ‫﴾ َواِ َذا ُك ْنتَ فِ ْي ِه ْم فَاَقَ ْمتَ لَهُ ُم ال‬

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat)
besertamu dan menyandang senjata.” (Qs. An Nisa’: 102)

b. As-Sunnah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa tetap shalat berjama’ah ketika safar sebagaimana
dalam kisah tertidurnya beliau bersama para shahabatnya ketika safar hingga lewat waktu
shubuh. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

َ ُ‫صلُّوْ ا َك َما َرأَ ْيتُ ُموْ نِ ْي أ‬


‫صلِّ ْي‬ َ

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al Bukhari:631. Lihat Syarh Al
Mumthi’ 4/141)

4.  Shalat di Atas Kendaraan

Pada asalnya, shalat wajib tidak boleh ditunaikan di atas kendaraan. Hendaknya dikerjakan
dengan turun dari kendaraan sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkecuali dalam keadaan terpaksa seperti khawatir akan habisnya waktu shalat. Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

‫ُصلِّ ْي ْال َم ْكتُوْ بَةَ نَ َز َل‬


َ ‫ق فَإ ِ َذا أَ َرا َد أَ ْن ي‬
ِ ‫احلَتِ ِه نَحْ َو ْال َم ْش ِر‬ َ ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ ي‬
ِ ‫صلِّ ْي َعلَى َر‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat (sunnah) di atas kendaraannya ke arah timur.
Apabila beliau hendak shalat wajib maka beliau turun dari kendaraan kemudian menghadap
kiblat”. (HR. Al Bukhari : 1099).

Adapun tatacara shalat di atas kendaraan, baik itu pesawat, bus, kereta, atau kapal laut, adalah
sebagai berikut:

Hendaklah shalat dengan berdiri menghadap kiblat apabila mampu. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang shalat di atas perahu. Beliau menjawab,

َ ‫ف ْالغ ََر‬
‫ق‬ ْ َ‫ص ِّل قَائِ ًما إِ ْن لَ ْم تَخ‬
َ

“Shalatlah dengan berdiri kecuali apabila kamu takut tenggelam.” (HR. Al Hakim 1/275,
Daraqutni 1/395, Al Baihaqi dalam Sunan Kubro 3/155, dishahihkan oleh Al Albani dalam
Ashlu Shifat Shalat Nabi 1/101)

Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Hukum shalat di atas pesawat itu seperti shalat di
atas perahu. Hendaklah shalat dengan berdiri apabila mampu. Jika tidak, maka shalatlah dengan
duduk dan berisyarat ketika ruku’ dan sujud” (Ashlu Shifat Shalat Nabi 1/102).

Berusahalah tetap shalat berjama’ah (terutama bagi laki-laki). Apabila dalam kendaraan ada
ruang yang bisa digunakan shalat berjama’ah maka shalatlah dengan berjama’ah walaupun hanya
dua orang. Bila tidak, maka shalatlah berjama’ah dengan duduk.

Kerjakan shalat seperti biasa: niat dalam hati, takbiratul ihram, membaca doa iftitah, membaca
Al Fatihah, membaca surat dalam Al Qur’an, ruku’, kemudian bangkit dari ruku’, lalu sujud. Bila
tidak mampu ruku’, maka cukup dengan menundukkan kepala dan engkau dalam keadaan
berdiri. Bila tidak mampu sujud, maka cukup dengan duduk seraya menundukkan kepala.
Apabila shalatnya dikerjakan dalam keadaan duduk, maka ketika ruku’ dan sujud cukup dengan
menundukkan kepala dan jadikan posisi kepala untuk sujud itu lebih rendah. (Majma’ Fatawa
wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin 15/250)

Demikian penjelasan sholat bagi musafir. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

***

Artikel muslimah.or.id

Anda mungkin juga menyukai