Anda di halaman 1dari 20

55 ADAB DALAM MENDAKI GUNUNG MENURUT SYARIAT

(EDISI REVISI)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-


orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
(Az-Zumar:9).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Adakah orang yang mengetahui
bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama
dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang
dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d:19).
01. Shalat Istikharah.
Melakukan shalat istikharah terlebih dahulu untuk memohon petunjuk
kepada Allah mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman
perjalanan dan arah jalan. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

‫ َك َما يُ َع ِل ُم‬، ‫ور ُك ِل َها‬ ِ ‫َارة َ فِى األ ُ ُم‬ ْ َ ‫َّللا – صلى هللا عليه وسلم – يُ َع ِل ُم أ‬
َ ‫ص َحابَهُ ا ِال ْس ِتخ‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬
‫آن‬ِ ‫ورة َ ِمنَ ْالقُ ْر‬ َ ‫س‬ ُّ ‫ال‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya
shalat istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau mengajari shalat ini
sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur’an.” [HR. Bukhari no.
7390]
02. Bermusyawarah dengan keluarga atau orang yang berilmu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

‫ورى َب ْي َن ُه ْم‬
َ ‫ش‬ُ ‫َوأ َ ْم ُر ُه ْم‬
“Dan perkara mereka dimusyawarahkan di antara mereka.” (Asy-Syura: 38)
Yaitu mereka memusyawarahkan permasalahan di antara mereka, tidak
bersikap terburu-buru/tergesa-gesa, dan mereka tidak menuruti pendapat
mereka sendiri. Adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajak musyawarah para sahabatnya dalam urusan-urusan beliau dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan hal ini kepada beliau dalam
firman-Nya:

‫َوشَا ِو ْر ُه ْم فِي اْأل َ ْم ِر‬


“Dan ajaklah mereka musyawarah dalam urusan-urusan yang ada.” [Fathul
Qadir, 4/642].
03. Meminta izin kepada orangtua.
Seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam meminta izin
untuk pergi Jihad, maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepadanya, “Apakah kedua ibu bapakmu masih hidup?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya.”
Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggallah dengan kedua
orangtuamu, maka itulah Jihadmu.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits di atas dijadikan dalil haramnya
safar tanpa izin orangtua. Karena menakala Jihad dilarang, padahal
keutamaannya sangat agung, maka safar yang mubah tentu lebih
dilarang…” [Fathul Bari, VI/174].
04. Mencukupi bekal dan harta dengan baik baik untuk orang yang
safar maupun keluarga yang ditinggalkan.
Allah Ta’ala berfirman, “…dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan.” [QS Al-Baqarah: 195].
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh
memudharatkan diri sendiri dan memudharatkan orang lain.” [HR Malik
II/745].
05. Pergi dengan harta yang halal.
Rasulullah menyebutkan seseorang yang mengadakan perjalanan jauh,
rambutnya kusut dan berdebu, ia mengangkat kedua tangannya ke arah
langit sambil mengatakan: “Ya rabb, ya rabb, sementara makanannya
haram, minumannya haram, pakaiannya juga haram, bahkan diberi dari
yang haram-haram, maka (beliau berkata:) mana mungkin akan dikabulkan
keinginannya.” [HR. Muslim bab Qubulus Shadaqah minal Kasbit-Thayyib
no. 1015].
06. Berwasiat atau menulis wasiat untuk kerabatnya.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah layak bagi orang muslim
yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan selagi masih hidup
selama dua malam, melainkan wasiatnya harus sudah ditulis di sisinya.”
[Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim].
Ibnu Umar berkata, “Semenjak kudengar sabda beliau ini, tidak pernah
lewat satu malam pun, melainkan aku sudah mempunyai wasiat.”
07. Melakukan perjalanan bersama 3 orang atau lebih.
Sebagaimana hadits,

ٌ ‫َان َوالثهالَثَةُ َر ْك‬


‫ب‬ َ ‫ش ْي‬
ِ ‫طان‬ َ ‫ان‬
ِ َ‫الرا ِكب‬ ٌ ‫ط‬
‫ان َو ه‬ َ ‫ش ْي‬
َ ‫ب‬
ُ ‫الرا ِك‬
‫ه‬
“Satu pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir)
adalah dua syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut
rombongan musafir.”[HR. Abu Daud no. 2607, At Tirmidzi no. 1674 dan
Ahmad 2/186. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 62].
Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang,
musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.[Lihat Fathul Bari, Ibnu
Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 6/53 dan penjelasan Syaikh Al
Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 62].
Namun larangan di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena
larangannya berlaku pada masalah adab.[Lihat perkataan Ath Thobari
yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 6/53].
08. Mencari orang atau teman-teman seperjalanan yang shalih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ُ ‫علَى ِدي ِْن َخ ِل ْي ِل ِه فَ ْليَ ْن‬
‫ظ ْر أ َ َح ُد ُك ْم َم ْن يُخَا ِل ُل (رواه الترمذي‬ َ ‫)الر ُج ُل‬
‫ه‬
“Seseorang itu tergantung kepada kepribadian teman dekatnya, maka
hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapa yang dijadikan
teman karibnya.” [HR. At-Tirmidzi].
09. Memilih atau mengangkat pemimpin rombongan.
Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,

‫سفَ ٍر فَ ْلي َُؤ ِم ُروا أ َ َح َد ُه ْم‬


َ ‫ِإ َذا َكانَ ثَالَثَةٌ فِى‬
“Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka
mengangkat salah di antaranya sebagai ketua rombongan.” [HR. Abu Daud
no. 2609. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih].
10. Dianjurkan bepergian pada hari Kamis.
Dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata,
‫ َو َكانَ ي ُِحبُّ أ َ ْن َي ْخ ُر َج‬، ‫ُوك‬ ِ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – خ ََر َج َي ْو َم ْالخ َِم‬
َ ‫يس فِى غ َْز َوةِ تَب‬ ‫أ َ هن النه ِب ه‬
‫يس‬ ِ ‫يَ ْو َم ْالخ َِم‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari
Kamis. Dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari
Kamis.”[HR. Bukhari no. 2950].
11. Melakukan perjalanan pada malam hari.
Waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu duljah. Sebagian
ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal malam. Ada pula yang
mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat
kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di
malam hari[Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Abu Ath
Thoyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H, 7/171].
Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika itu jarak bumi
seolah-olah didekatkan. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
ْ ُ‫ض ت‬
‫ط َوى بِالله ْي ِل‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم بِالد ُّْل َج ِة فَإ ِ هن األ َ ْر‬
َ
“Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah
bumi itu terlipat ketika itu.”[HR. Abu Daud no. 2571, Al Hakim dalam Al
Mustadrok 1/163, dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 5/256. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah
no. 681].
12. Melaksanakan shalat 2 rakaat sebelum pergi dan tatkala pulang
(atau mau masuk rumah).
Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ص ِل‬َ َ‫ت ِإلَى َم ْن ِز ِل َك ف‬ َ ‫س ْو ِء َو ِإ َذا َدخ َْل‬ ُّ ‫ص ِل َر ْك َعتَي ِْن َي ْمنَ َعانِ َك ِم ْن َم ْخ َرجِ ال‬ َ ‫ِإ َذا خ ََر ْج‬
َ َ‫ت ِم ْن َم ْن ِز ِل َك ف‬
ُّ ‫َر ْك َعتَي ِْن َي ْم َنعَانِ َك ِم ْن َم ْد َخ ِل ال‬
‫س ْو ِء‬
“Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at
yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar
rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua
raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam
rumah.”[HR. Al Bazzar, hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah
no. 1323].
13. Berpamitan ketika mau pergi kepada orang yang ditinggalkan.
Do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang
yang hendak bersafar adalah,

َ ‫َّللا دِين ََك َوأ َ َما َنتَ َك َوخ ََوا ِت‬


‫يم َع َم ِل َك‬ َ ‫أ َ ْست َ ْو ِدعُ ه‬
“Astawdi’ullaha diinaka, wa amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku
menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada
Allah)”[HR. Abu Daud no. 2600, Tirmidzi no. 3443 dan Ibnu Majah no.
2826. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As
Silsilah Ash Shahihah no. 14 dan 15.].
14. Mendoakan keluarga atau kerabat yang ditinggalkan.
Hendaklah musafir atau yang berpergian mengatakan kepada orang yang
ditinggalkan,

ِ َ‫َّللا الهذِى الَ ت‬


ُ‫ضي ُع َو َدا ِئعُه‬ ُ ‫أ َ ْست َ ْو ِد‬
َ ‫ع َك ه‬
“Astawdi’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’ahu (Aku menitipkan kalian
pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya).”[HR. Ibnu
Majah no. 2825. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih].
15. Membaca doa ketika keluar dari rumah.
ketika keluar rumah dianjurkan membaca do’a:

ِ ‫َّللا الَ َح ْو َل َوالَ قُ هوة َ ِإاله ِب ه‬


‫اّلل‬ َ ُ‫َّللا ت َ َو هك ْلت‬
ِ ‫علَى ه‬ ِ ‫ِبس ِْم ه‬
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah” (Dengan
nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan
kecuali dengan-Nya). [HR. Abu Daud no. 5095 dan Tirmidzi no. 3426, dari
Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1605].
16. Membaca doa naik kendaraan.
Ketika menaikkan kaki di atas kendaraan hendaklah seorang musafir
membaca, “Bismillah, bismillah, bismillah”. Ketika sudah berada di atas
kendaraan, hendaknya mengucapkan, “Alhamdulillah”. Lalu membaca,

َ ‫س ْب َحانَ الهذِى‬
َ‫س هخ َر لَنَا َه َذا َو َما ُكنها لَهُ ُم ْق ِرنِينَ َوإِنها إِلَى َربِنَا لَ ُم ْنقَ ِلبُون‬ ُ
“Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqriniin. Wa
inna ilaa robbina lamun-qolibuun” (Maha Suci Allah yang telah
menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan
kami).
Kemudian mengucapkan, “Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah”.
Lalu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu
membaca,

َ ‫وب ِإاله أ َ ْن‬


‫ت‬ َ ُ‫ظلَ ْمتُ نَ ْف ِسى فَا ْغ ِف ْر ِلى فَإِنههُ الَ َي ْغ ِف ُر الذُّن‬
َ ‫س ْب َحان ََك ِإ ِنى قَ ْد‬
ُ
“Subhaanaka inni qod zholamtu nafsii, faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz
dzunuuba illa anta” (Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah
menzholimi diriku sendiri, maka ampunilah aku karena tidak ada yang
mengampuni dosa-dosa selain Engkau).[HR. At Tirmidzi no. 3446, dari ‘Ali
bin Abi Thalib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]
17. Membaca doa safar atau bepergian.
Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan,
hendaklah mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.”
Setelah itu membaca,

‫سفَ ِرنَا‬ َ ‫س هخ َر لَنَا َه َذا َو َما ُكنها َلهُ ُم ْق ِرنِينَ َو ِإنها ِإ َلى َر ِبنَا َل ُم ْن َق ِلبُونَ الله ُه هم ِإنها نَسْأَلُ َك فِى‬
َ ‫س ْب َحانَ الهذِى‬ ُ
‫ت‬ َ ‫عنها بُ ْع َدهُ الله ُه هم أ َ ْن‬
َ ‫اط ِو‬ ْ ‫سفَ َرنَا َه َذا َو‬ َ ‫ضى الله ُه هم ه َِو ْن‬
َ ‫علَ ْينَا‬ َ ‫َه َذا ْالبِ هر َوالت ه ْق َوى َو ِمنَ ْالعَ َم ِل َما تَ ْر‬
‫ظ ِر‬َ ‫سفَ ِر َو َكآ َب ِة ْال َم ْن‬ ‫اء ال ه‬ ِ َ ‫عوذُ ِب َك ِم ْن َو ْعث‬ ُ َ‫سفَ ِر َو ْال َخ ِليفَةُ ِفى األ َ ْه ِل الله ُه هم ِإ ِنى أ‬
‫ب ِفى ال ه‬ ُ ‫اح‬ِ ‫ص‬‫ال ه‬
‫ب فِى ْال َما ِل َواأل َ ْه ِل‬ ِ َ‫وء ْال ُم ْنقَل‬
ِ ‫س‬ُ ‫َو‬
“Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa
inna ila robbina lamun-qolibuun[1]. Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa
hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin
‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash
shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min
wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal
ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini,
padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan
kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan,
taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah
mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh.
Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah
keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan
pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga). [HR. Muslim no.
1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar].
18. Memperbanyak doa, karena doanya musafir adalah
dikabulkan/mustajab.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫وم َو َدع َْوة ُ ْال َوا ِل ِد‬


‫علَى َولَ ِد ِه‬ ْ ‫سافِ ِر َو ْال َم‬
ِ ُ ‫ظل‬ َ ‫ت الَ ش هَك فِي ِه هن َدع َْوة ُ ْال ُم‬ ُ َ‫ثَال‬
ٍ ‫ث َد َع َوا‬
“Tiga do’a yang tidak diragukan lagi terkabulnya yaitu do’a seorang
musafir, do’a orang yang terzholimi, dan do’a orang tua kepada
anaknya.”[HR. Ahmad 2/434. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya].
19. Membaca doa ketika singgah di suatu tempat.
Tujuannya agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan gangguan.
Dari Khowlah binti Hakim As Sulamiyah, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ش ْى ٌء َحت هى يَ ْرتَ ِح َل‬ ُ َ‫ لَ ْم ي‬. َ‫ت ِم ْن ش َِر َما َخلَق‬


َ ُ‫ض ُّره‬ ِ ‫َّللا التها هما‬
ِ‫ت ه‬ ُ َ ‫َم ْن نَزَ َل َم ْن ِزالً ث ُ هم قَا َل أ‬
ِ ‫عوذُ ِب َك ِل َما‬
‫ِم ْن َم ْن ِز ِل ِه َذ ِل َك‬
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan,
”A’udzu bi kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq (Aku berlindung
dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan setiap makhluk)”,
maka tidak ada satu pun yang akan membahayakannya sampai dia pergi
dari tempat tersebut.”[HR. Muslim no. 2708].
20. Membaca dzikir pagi petang selama safar.
Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫ض ُّرعا ً َو ِخيفَةً َودُونَ ْال َج ْه ِر ِمنَ ْالقَ ْو ِل بِ ْالغُد ُِو َواآل‬


َ‫صا ِل َوالَ ت َ ُكن ِمن‬ َ َ‫َوا ْذ ُكر هرب َهك فِي نَ ْف ِس َك ت‬
َ‫ْالغَا ِفلِين‬
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri,
penuh dengan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu
pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
[QS. Al-A’raf: 205].
Ibnul Qayim mengatakan,“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah suatu saat shalat
shubuh. Kemudian (setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil berdzikir
kepada Allah Ta’ala hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling
padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak
berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang
semisal ini-.” [Al Wabilush Shoyib min Kalamith Thoyib, hal.63, Maktabah
Syamilah].
21. Berpakaian tebal ketika suhu dingin.
Allah Ta’ala berfirman,

َ‫ِف ٌء َو َمنَافِ ُع َو ِم ْن َها تَأ ْ ُكلُون‬ َ ‫َو ْاأل َ ْن َع‬


ْ ‫ام َخلَقَ َها لَ ُك ْم ِفي َها د‬
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada
(bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan
sebahagiannya kamu makan.” (QS. An Nahl: 5).
Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu pun pernah memberi wasiat ketika
masuk musim dingin untuk berbekal dengan pakaian-pakaian tebal karena
beliau katakan bahwa musim dingin adalah musuh, begitu cepat
menyerang dan amat sulit untuk keluar.[Lathoif Al Ma’arif, hal. 571].
22. Berwudhu dengan air sedikit ( atau berwudhu dengan membasuh
masing-masing 1 x atau 2 x).
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam biasa berwudhu dengan 1 mud ( 1 genggaman tangan orang
Arab zaman Nabi ) air dan mandi dengan 4 sampai 5 mud air.” [HR: Al
Bukhari no. 201, Muslim no. 325, menurut lafazh Muslim].
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal bahwa dia pernah mendengar
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan ada di kalangan umatku
suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdoa.” [R: Abu
Dawud (I/24) no.96, dan dishahihkan oleh Al Albani].
23. Berwudhu dalam cuaca yang sangat dingin atau memberatkan.
Disebutkan dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
ُ‫ قَا َل ِإ ْسبَاغ‬.ِ‫َّللا‬ ُ ‫ قَالُوا بَلَى يَا َر‬.ِ‫طايَا َويَ ْرفَ ُع بِ ِه الد َهر َجات‬
‫سو َل ه‬ َ ‫َّللاُ بِ ِه ْال َخ‬
‫علَى َما َي ْم ُحو ه‬ َ ‫أَالَ أَدُلُّ ُك ْم‬
‫ط‬ُ ‫الربَا‬
ِ ‫صالَةِ فَ َذ ِل ُك ُم‬
‫صالَةِ بَ ْع َد ال ه‬
‫ار ال ه‬
ُ ‫ظ‬َ ‫اج ِد َوا ْن ِت‬
ِ ‫س‬َ ‫طا إِلَى ْال َم‬
َ ‫ار ِه َو َكثْ َرة ُ ْال ُخ‬
ِ ‫علَى ْال َم َك‬
َ ‫وء‬
ِ ‫ض‬ُ ‫ ْال ُو‬.
“Maukah kalian untuk aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah
menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?” Mereka
menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan
wudhu pada sesuatu yang dibenci (seperti keadaan yang sangat dingin
pent), banyaknya langkah kaki ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya
setelah shalat. Itulah ribath.”[HR. Muslim no. 251].
24. Tayammum jika tidak ada air.
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci bagi
seorang muslim sekalipun dia tidak mendapatkan air sepuluh tahun.” [HR.
Nasa’i (321), Tirmidzi (124), Abu Dawud (332), Ahmad (5/160). Tirmidzi
berkata, “Hadits hasan shahih.”].
25. Mengusap khuf atau sepatu ketika berwudhu.
Dan dari Shafwan bin Asad berkata, “Artinya : Adalah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyuruh kami apabila kami musafir supaya tidak
melepas khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam, kecuali disebabkan
jenabat (junub). Akan tetapi (tidak harus dilepas kalau) dikarenakan buang
air besar, kencing dan tidur” [Hadits Riwayat Nasa’i dan Tirmidzi. Hadits
diatas yang terdpat dalam lafal Tirmidzi. Ibnu Khuzaimah juga
meriwayatkan hadits ini, dan sekaligus menilainya shahih].
26. Menentukan arah kiblat untuk shalat.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
ْ ‫ْث َما ُك ْنت ُ ْم فَ َولُّوا ُو ُجو َه ُك ْم ش‬
ُ‫َط َره‬ ُ ‫َط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬
ْ ‫فَ َو ِل َو ْج َه َك ش‬
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat
(musi’ salatahu),

‫ضو َء ث ُ هم ا ْست َ ْق ِب ِل ْال ِق ْبلَةَ فَ َك ِب ْر‬


ُ ‫صالَةِ فَأ َ ْس ِبغِ ْال ُو‬ َ ‫ِإ َذا قُ ْم‬
‫ت ِإلَى ال ه‬
“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah
wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” [HR.
Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912].
27. Berdoa ketika menjelang shubuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar dan bertemu dengan
waktu sahur, beliau mengucapkan,

‫ار‬ ِ ‫عائِذًا ِب ه‬
ِ ‫اّلل ِمنَ النه‬ َ ‫علَ ْينَا‬ ِ ‫اح ْبنَا َوأ َ ْف‬
َ ‫ض ْل‬ ِ ‫ص‬َ ‫علَ ْينَا َربهنَا‬
َ ‫َّللا َو ُحس ِْن َبالَئِ ِه‬
ِ ‫ام ٌع ِب َح ْم ِد ه‬
ِ ‫س‬َ ‫س هم َع‬
َ
“Samma’a saami’un bi hamdillahi wa husni balaa-ihi ‘alainaa. Robbanaa
shohibnaa wa afdhil ‘alainaa ‘aa-idzan billahi minan naar (Semoga ada
yang memperdengarkan pujian kami kepada Allah atas nikmat dan
cobaan-Nya yang baik bagi kami. Wahai Rabb kami, peliharalah kami dan
berilah karunia kepada kami dengan berlindung kepada Allah dari api
neraka).”[HR. Muslim no. 2718].
28. Bisa menyaksikan fajar shadiq dan menentukan waktu shalat.
Allah ta’ala berfirman :

‫ق الله ْي ِل َوقُ ْرآنَ ْالفَ ْج ِر ِإ هن قُ ْرآنَ ْالفَ ْج ِر َكانَ َم ْش ُهودًا‬


ِ ‫س‬ َ ‫ش ْم ِس ِإلَى‬
َ ‫غ‬ ‫وك ال ه‬ ‫أَقِ ِم ال ه‬
ِ ُ‫صالة َ ِل ُدل‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya salat shubuh itu
disaksikan (oleh malaikat)” [QS. Al-Israa’ : 78].

‫صنَ َع ِب ْاأل َ ْم ِس‬


َ ‫ص َن َع َك َما‬ ْ َ ‫حديث جبريل ث ُ هم أَتَاهُ ِحينَ ْامت َ هد ْالفَ ْج ُر َوأ‬
َ َ‫ص َب َح َوالنُّ ُجو ُم َبا ِد َيةٌ ُم ْشت َ ِب َكةٌ ف‬
‫)ـ‬513 :‫صلهى ْالغَ َداة َ (رواه النسائي‬ َ َ‫ف‬
Hadits Jibril (tentang waktu sholat): “…kemudian Jibril mendatangi beliau
(di hari kedua) ketika fajar memanjang, dan bintang-bintang masih jelas
dan bercampur, lalu ia melakukan apa yang dilakukannya kemarin,
kemudian sholat shubuh. [HR. Nasa’i, dishohihkan oleh Albani].
29. Shalat fardhu dengan jama’ dan qashar.
Mengqoshor shalat di sini hukumnya wajib sebagaimana hadits dari
‘Aisyah,

ِ‫صالَة‬ ‫صالَة ُ ال ه‬
َ ‫سفَ ِر َو ِزي َد ِفى‬ ْ ‫سفَ ِر فَأُقِ هر‬
َ ‫ت‬ َ ‫صالَة ُ َر ْك َعتَي ِْن َر ْك َعتَي ِْن فِى ْال َح‬
‫ض ِر َوال ه‬ ‫ت ال ه‬ َ ‫فُ ِر‬
ِ ‫ض‬
‫ض ِر‬ ْ
َ ‫ال َح‬.
“Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar dan
ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih berlaku
ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak bersafar.”[HR.
Bukhari no. 350 dan Muslim no. 685].
Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

‫س َف ِر‬ ِ ‫ب َو ْال ِعش‬


‫َاء فِى ال ه‬ ِ ‫صالَةِ ْال َم ْغ ِر‬ ُّ ِ‫َكانَ النهب‬
َ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َي ْج َم ُع بَيْن‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’
ketika safar”[HR. Bukhari no. 1108].
30. Shalat dengan berjama’ah.
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah
memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila
ada udzur.”[Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Darul Imam Ahmad, Kairo-
Mesir, hal. 107].
Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Apabila musafir
berada di perjalanan, maka tidak mengapa dia shalat sendirian. Adapun
jika telah sampai negeri tujuan, maka janganlah dia shalat sendiri. Akan
tetapi hendaknya dia shalat secara berjama’ah bersama jama’ah di negeri
tersebut, kemudian dia menyempurnakan raka’atnya (tidak mengqoshor).
Adapun jika dia melakukan perjalanan sendirian dan telah masuk waktu
shalat, maka tidak mengapa dia shalat sendirian ketika itu dan dia
mengqoshor shalat yang empat raka’at (seperti shalat Zhuhur) menjadi dua
raka’at.”[Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’, 12/243].
31. Shalat diatas kendaraan ketika dalam perjalanan.
Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,

‫ فَإ ِ َذا أ َ َرا َد‬، ‫ت‬ ُ ‫احلَتِ ِه َحي‬


ْ ‫ْث ت َ َو هج َه‬ ِ ‫علَى َر‬
َ ‫ص ِلى‬
َ ُ‫َّللا – صلى هللا عليه وسلم – ي‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬
َ‫ضةَ نَزَ َل فَا ْست َ ْق َب َل ْال ِق ْبلَة‬ َ ‫ْالفَ ِري‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat
sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun
jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan
menghadap kiblat.”[HR. Bukhari no. 400].
Akan tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau
kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat
dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia boleh
melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua syarat,
– Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan.
Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka
lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung
mengerjakan shalat fardhu.
– Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat.
Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat
fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari
kendaraan.
Jika memang kedua syarat ini terpenuhi, boleh seorang musafir
melaksanakan shalat di atas kendaraan.[Lihat pembahasan shalat di mobil
dan pesawat di Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 21869 pada
link http://www.islamqa.com/ar/ref/21869%5D.
32. Shalat witir dan Shalat Sunnah Shubuh (qabliyah shubuh) selama
safar.
Shalat witir adalah sunnah yang ditekankan sekali. Oleh sebab itu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan shalat
sunnah witir dengan sunnah Shubuh ketika bermukim atau ketika
bepergian. [Lihat Zaadul Ma’aad, I : 315 dan Al-Mughni, III : 196, dan II :
240].
33. Mengucapkan takbir ketika mendaki.
َ ‫ص ِع ْدنَا َكب ْهرنَا َو إ َذا نَزَ ْلنَا‬
‫سب ْهحنَا‬ َ ‫ ُكنها إ َذا‬: ‫ع ْن َجا ِب ٍر ب ِْن َع ْب َد هللا رضي هللا عنه قَا َل‬
َ
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami bertakbir, jika
menaiki (tempat yang tinggi), dan bertasbih manakala kami menuruni
lembah.” [HR Al Bukhari. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan
oleh Bukhari (6/135-Fathul Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/214)].
34. Mengucapkan Tasbih ketika turun.
Dalilnya sudah disebutkan sebelumnya.
35. Berdzikir ketika melihat kebesaran Allah.
Karena di gunung banyak sekali kami melihat kebesaran Allah yang belum
pernah kami lihat sebelumnya atau tidak kami lihat di tempat tinggal kami.
Rasulullah ShallallaHu ‘alaihi wa sallam bersabda, “tidaklah seorang
musafir di dalam perjalanannya berkhalwat dengan Allah dan berdzikir
kepada-Nya, melainkan ia akan disertai oleh Malaikat dan tidaklah ia
mengisi perjalannya dengan syair dan sebagainya, melainkan syaithan
akan menyertainya.” [HR: Ath Thabrani dalam kitab al Kabir 895/17.Lihat
Shahihul Jami 5706].
Lafazh “Subhanallah” dapat kita ucapkan ketika kita sedang takjub dengan
kebesaran ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala [HR. Bukhari].
Lafadz “Allahu Akbar” juga sunnah diucapkan ketika melihat sesuatu yang
menakjubkan dari ciptaan Allah [HR. Bukhari dalam al-Fath].
Seorang yang terkejut disunnahkan untuk mengucapkan lafadz “Laa ilah
illallah”. [HR. Bukhari dalam Fathul Baari VI/181 dan Muslim IV/22208].
Lafadz “Masya Allah” bisa diucapkan ketika kita takjub melihat kelebihan
yang dimiliki oleh orang lain, baik berupa harta, kondisi fisik atau yang
lainnya. Dalam surat Al Kahfi, terdapat tambahan, “Masya Allah laa
quwwata illa billah”
36. Olahraga agar tubuh kuat dan sehat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ShallallaHu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin
yang lemah dan keduanya memiliki kebaikkan.” [Shahih Muslim, kitab al
Qadar, bab al Iimaan bin Qadar wa idzan lahu no. 2664. Dikeluarkan juga
pada Sunan Ibni Majah, al Muqaddimah, bab fil Iimaan no. 79].
37. Memperbanyak jalan kaki.
Dalam keseharian, bila perjalanan jarak pendek, Rasulullah selalu berjalan
kaki, yaitu dari rumah ke masjid, dari masjid ke pasar dan dari pasar ke
rumah-rumah sahabat. Bahkan beliau berjalan kaki ketika mengunjungi
makam pahlawan di Baqi sekitar tiga kilometer dari pusat kota Madinah,
baik pada waktu terik matahari maupun malam. Beliau tidak suka hidup
manja. Sebab ketika berjalan kaki keringat mengalir di sekjur badan, pori-
pori kulit terbuka dan peredaran darah berjalan nomal sehingga terhindar
dari penyakit jantung. Ingatlah mencegah itu lebih baik daripada
mengobati.
Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada
dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus
melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak
makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan
hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering
sendiri. [Ath Thib An Nabawi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah].
38. Beristirahat di tengah jalan.
Rasulullah ShallallaHu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian tengah
melintas tanah yang subur, maka berilah bagian kepada unta tunggangan
untuk makan dari rerumputan…”
39. Berkumpul ketika singgah dan istirahat.
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Dahulu,
jika para sahabat singgah di suatu tempat, mereka berpencar di bukit-bukit
dan lembah-lembah. Maka Rasulullah bersabda,’Sesungguhnya
berpencarnya kalian ke bukit-bukit dan lembah-lembah merupakan
kehinaan bagi kalian (dan itu berasal) dari syethan’. Maka setelah kejadian
itu, mereka tidak singgah di suatu tempat, kecuali mereka bergabung satu
sama lainnya.”[Hadits shahih, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2.627), Ahmad
(4/193), Al Hakim (2/115), Al Baihaqi (6/152), Ibnu Majah (2.690)].
40. Membuat kemah yang jauh dari jalanan.
‫سافَ ْرت ُ ْم ِف ْي‬
َ ‫س ْو ُل هللا صلى هللا عليه و سلم (( إ َذا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ع ْنهُ قَا َل‬ َ ‫ع ْن أ ِب ْي ُه َري َْرة َ رضي هللا‬ َ
‫سي َْر َو‬ َ
‫عل ْي َها ال ه‬ ْ
َ ‫عوا‬ َ
ُ ‫ب فأس ِْر‬ ُ َ
ِ ‫ساف ْرت ْم في ال َج ْد‬ َ
َ ‫ َو إذا‬، ‫ض‬ ‫ه‬
ْ َ‫ب فأ ْعط ْوا اإلبِ َل َحظهُ ِمن‬
ِ ‫األر‬ ُ َ ِ ‫ص‬ ْ ‫الخ‬
ِ
‫ه‬
‫ب َو َم َأوى ال َه َو ِام ِبالل ْي ِل‬ِ ‫ط ُرقَ الد َهوا‬ ‫ه‬
ُ ‫اجتَنِب ُْوا الط ِريْقَ فَإنه َها‬
ْ َ‫َباد ُِروا ِب َها نِ ْق َي َها َو إ َذا َع هر ْست ُ ْم ف‬
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda,”Jika kalian bepergian dan melewati daerah
padang rumput, maka berikanlah unta haknya dari (rumput yang tumbuh
di) tanah tersebut. Dan jika kalian melewati daerah tandus, maka
percepatlah langkah kalian. Dan jika kalian hendak bermalam, maka
janganlah bermalam di jalan, karena ia merupakan tempat lewat hewan
dan tempat tinggal serangga pada malam hari.”[HR Muslim. Syaikh Salim
bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Muslim (1927).” Lihat Bahjatun
Nazhirin (2/203)].
41. Saling bekerja sama dan membantu antara sesama pendaki.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,”Barangsiapa yang
memiliki kelebihan tempat, hendaklah ia menyilahkannya bagi orang yang
tidak mempunyai tempat. Barangsiapa yang memiliki kelebihan bekal,
hendaklah ia menyilahkan kepada orang yang tidak memiliki bekal.” [HR:
Muslim, 1728, dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu].
42. Membaca doa-doa atau dzikir ketika hendak tidur dan setelah
bangun tidur.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

َ‫ فَ َجعَ َل يَ ْحثُو ِمن‬، ‫ت‬ ٍ ‫ فَأَتَا ِنى آ‬، َ‫ضان‬ َ ‫َّللا – صلى هللا عليه وسلم – ِب ِح ْف ِظ زَ َكاةِ َر َم‬ ِ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫َو هكلَ ِنى َر‬
‫ِيث فَقَا َل‬ َ ‫ فَ َذ َك َر ْال َحد‬. – ‫َّللا – صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫ فَأ َ َخ ْذتُهُ فَقُ ْلتُ أل َ ْرفَ َعنه َك ِإلَى َر‬، ‫الط َع ِام‬
‫ه‬
‫ان َحتهى‬ َ ‫ َوالَ يَ ْق َرب َُك‬، ‫ظ‬
َ ‫ش ْي‬
ٌ ‫ط‬ ٌ ِ‫َّللا َحاف‬
ِ ‫علَي َْك ِمنَ ه‬ َ ‫ْت إِلَى فِ َرا ِش َك فَا ْق َرأْ آيَةَ ْال ُك ْر ِس ِى لَ ْن يَزَ ا َل‬ َ ‫إِ َذا أ َ َوي‬
‫ان‬ٌ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬
َ ‫اك‬ َ ‫ َذ‬، ‫وب‬ ٌ ُ‫ص َدقَ َك َو ْه َو َكذ‬ َ « – ‫ى – صلى هللا عليه وسلم‬ ُّ ‫ فَقَا َل النه ِب‬. ‫ص ِب َح‬ْ ُ‫» ت‬
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan aku menjaga harta
zakat Ramadhan kemudian ada orang yang datang mencuri makanan
namun aku merebutnya kembali, lalu aku katakan, “Aku pasti akan
mengadukan kamu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“. Lalu
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan suatu hadits berkenaan
masalah ini. Selanjutnya orang yang datang kepadanya tadi berkata, “Jika
kamu hendak berbaring di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al Kursi
karena dengannya kamu selalu dijaga oleh Allah Ta’ala dan syetan tidak
akan dapat mendekatimu sampai pagi“. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Benar apa yang dikatakannya padahal dia itu
pendusta. Dia itu syetan“. [HR. Bukhari no. 3275].
43. Makan secara berjama’ah/bersama-sama.
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadu, wahai
Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang. Nabi
bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?” “Betul”, kata para
sahabat. Nabi lantas bersabda, “Makanlah bersama-sama dan sebutlah
nama Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan diberkahi.” [HR Abu
Dawud no. 3764 dan dinilai shahih oleh al-Albani].
44. Tidak mengeluh dan putus asa selama dalam perjalanan.
Dalam Shahih al Bukhari, dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :

َ ‫عد َْوى َوالَ ِطيَ َرة َ َويُ ْع ِجبُنِي ْالفَأ ْ ُل ْال َك ِل َمةُ ْال َح‬
ُ‫س َنة‬ َ َ‫ال‬
Tidak ada penyakit yang menular sendiri, dan tidak ada kesialan.
Optimisme (yaitu) kata-kata yang baik membuatku kagum.[HR al Bukhari
(10/181) dan Muslim (2224)].
Al Hulaimi rahimahullah mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
suka dengan optimisme, karena pesimis merupakan cermin persangkaan
buruk kepada Allah l tanpa alasan yang jelas. Optimisme diperintahkan dan
merupakan wujud persangkaan yang baik. Seorang mukmin diperintahkan
untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap kondisi”.[Fathu al Bari
(10/226)].
45. Menjaga kebersihan selama perjalanan.
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak
kebenaran dan merendahkan orang lain”[HR Muslim (no. 91)].
46. Mengucapkan salam jika saling bertemu.
Dari Abdullah bin Amr -radhiallahu anhu- dia berkata: Ada seseorang yang
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Islam apakah yang
paling baik?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
َ ‫ع َر ْف‬
ْ ‫ت َو َم ْن لَ ْم ت َ ْع ِر‬
‫ف‬ َ ‫علَى َم ْن‬ ‫ام َوت َ ْق َرأ ُ ال ه‬
َ ‫س َال َم‬ َ ‫الط َع‬ ْ ُ‫ت‬
‫ط ِع ُم ه‬
“Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu
kenal dan yang tidak kamu kenal”. [HR. Al-Bukhari no. 11, 27 dan Muslim
no. 39].
47. Menyingkirkan rintangan di jalan sesuai dengan kemampuan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوت ُ ِعي ُْن‬،ٌ‫ص َدقَة‬َ ‫ ت َ ْع ِد ُل َبيْنَ اثْنَي ِْن‬،‫س‬ ُ ‫ش ْم‬ ْ َ‫ص َد َقةٌ ُك هل َي ْو ٍم ت‬
‫طلُ ُع ِف ْي ِه ال ه‬ َ ‫ع َل ْي ِه‬َ ‫اس‬ ِ ‫ال َمى ِمنَ النه‬ َ ‫س‬ُ ‫ُك ُّل‬
‫ َو ِب ُك ِل‬،ٌ‫ص َدقَة‬ ‫ َو ْال َك ِل َمةُ ه‬،ٌ‫ص َدقَة‬
َ ُ‫الطيِبَة‬ َ ُ ‫عه‬ َ ُ‫علَ ْي َها أ َ ْو ت َ ْرفَ ُع لَه‬
َ ‫علَ ْي َها َمتَا‬ َ ُ‫الر ُج َل فِي َدابهتِ ِه فَت َ ْح ِملُه‬
‫ه‬
ٌ‫ص َدقَة‬ َ ‫ق‬ ‫ع ِن ه‬
ِ ‫الط ِر ْي‬ َ ‫ط األ َ َذى‬ ُ ‫ َوت ُ ِم ْي‬،ٌ‫ص َدقَة‬
َ ِ‫صالَة‬ ‫ت ََ ْم ِش ْي َها إِلَى ال ه‬ َ ٍ‫ط َوة‬ ْ ‫ُخ‬
“Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya
mulai matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua
orang (yang berselisih) adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas
kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya
adalah sedekah. Berkata yang baik juga termasuk sedekah. Begitu pula
setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Serta
menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah ”. [HR. Bukhari
dan Muslim].
48. Saling memberi nasehat atau beramar ma’ruf nahi munkar selama
perjalanan, seperti mengajak teman kita untuk shalat atau melarang
merokok, dsb.
Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫ع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُؤْ ِمنُونَ بِ ه‬


‫اّلل‬ ِ ‫اس تَأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬
َ َ‫وف َوتَ ْن َه ْون‬ ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ هم ٍة أ ُ ْخ ِر َج‬
ِ ‫ت ِللنه‬
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Mereka bisa menjadi umat terbaik jika
mereka memenuhi syarat (yang disebutkan dalam ayat di atas). Siapa saja
yang tidak memenuhi syarat di atas, maka dia bukanlah umat terbaik.”
49. Membawa hadiah ketika pulang.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling
mencinta”. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar
berkata,”Sanadnya shahih”].
50. Bersegera pulang jika urusan telah selesai.
ْ ِ‫سفَ ُر ق‬
َ‫ط َعةٌ ِمن‬ ‫س ْو َل هللا صلى هللا عليه و سلم قال (( ال ه‬ ‫ع ْن أ ِب ْي ُه َري َْرة َ رضي هللا عنه ه‬
ُ ‫أن َر‬ َ
َ ‫ضى أ َح ُد ُك ْم نَ ْه َمتَهُ ِم ْن‬
‫سفَ ِر ِه فَليُعَ ِج ِل إلى‬ َ ‫ب يَ ْمنَ ُع أ َح َد ُك ْم‬
َ َ‫طعَا َمهُ َو ش ََرابَهُ َو ن َْو َمهُ فَإ َذا ق‬ ِ ‫العَ َذا‬
‫))أ ْه ِل ِه‬.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Safar (perjalanan) adalah bagian
dari adzab yang mencegah salah seorang kalian dari makan, minum dan
tidur. Maka bila salah seorang kalian telah mencapai maksud dari
perjalanannya, hendaklah segera kembali kepada keluarganya.”
[Mutaffaqun ‘alaih, dan Syaikh Salim berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari
(3/262-Fathul Bari) dan Muslim (1.927).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/220)].
51. Memberi kabar ketika hendak pulang kepada orang yang
ditinggalkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pelan-pelanlah, jangan
tergesa-gesa (untuk masuk ke rumah kalian) hingga kalian masuk di waktu
malam –yakni waktu Isya’– agar para istri yang ditinggalkan sempat
menyisir rambutnya yang acak-acakan/kusut dan sempat beristihdad
(mencukur rambut kemaluan). ” [HR. Al-Bukhari no. 5245 dan Muslim].
52. Menghindari pulang malam-malam ketika sampai rumah.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – أ َ ْن ي‬
ً‫ط ُرقَ أ َ ْهلَهُ لَ ْيال‬ ُّ ِ‫نَ َهى النهب‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk pulang dari
bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari.”[HR. Bukhari no.
1801].
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
ً‫ع ِشيهة‬ ُ ‫ط ُر ُق أ َ ْهلَهُ لَ ْيالً َو َكانَ يَأْتِي ِه ْم‬
َ ‫غد َْوة ً أ َ ْو‬ ْ ‫ َكانَ الَ َي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ُ ‫أ َ هن َر‬
ِ ‫سو َل ه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak pulang dari bepergian
lalu menemui keluarganya pada malam hari. Beliau biasanya datang dari
bepergian pada pagi atau sore hari.”[HR. Bukhari no. 1800 dan Muslim no.
1928].
53. Membaca doa ketika kembali dari safar.
Do’a ketika kembali dari safar sama dengan do’a ketika hendak pergi safar.
Dan ditambahkan membaca,

َ‫امدُون‬ َ َ‫آ ِيبُونَ تَا ِئبُون‬


ِ ‫عا ِبدُونَ ِل َر ِبنَا َح‬
“Aayibuuna taa-ibuuna ‘aabiduun. Lirobbinaa haamiduun (Kami kembali
dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji Rabb kami).”[HR.
Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar].
54. Shalat dua rakaat di masjid ketika tiba dari safar.
Dari Ka’ab, beliau mengatakan,

‫صلهى َر ْك َعتَي ِْن‬ َ َ‫ ف‬، ‫ض ًحى َد َخ َل ْال َمس ِْج َد‬ ‫أ َ هن النه ِب ه‬
َ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ ِإ َذا قَد َِم ِم ْن‬
ُ ‫سفَ ٍر‬
َ ‫قَ ْب َل أ َ ْن َي ْج ِل‬
‫س‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tiba dari safar pada waktu Dhuha,
beliau memasuki masjid kemudian beliau melaksanakan shalat dua raka’at
sebelum beliau duduk.”[HR. Bukhari no. 3088].
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Aku pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. Tatkala kami tiba di Madinah,
beliau mengatakan padaku,

َ َ‫ا ْد ُخ ِل ْال َمس ِْج َد ف‬


‫ص ِل َر ْك َعتَي ِْن‬
“Masukilah masjid dan lakukanlah shalat dua raka’at.”[HR. Bukhari no.
3087].
55. Saling berpelukan ketika tiba dari safar.
Aisyah berkata: “Zaid bin Haritsah baru tiba dari Madinah dan Rasulullah
sedang berada dalam rumahku. Dia datang dan mengetuk pintu,
mendengar itu rasulullah bangkit dengan segera sambil mengangkat
bajunya. Beliau memeluknya dan menciumnya. [HR.Tirmidzi : 2732].
Asy-Sya’bi berkata: “Adalah para sahabat rasulullah apabila tiba dari safar
mereka saling berpelukan”.
BEKAL YANG HARUS DIMILIKI OLEH PENDAKI :
1. Bekal Rohani:
– Bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– Mendapat izin dan ridha dari orangtua (bagi yang masih memiliki
orangtua).
– Ikhlas dan bukan melakukan safar/perjalanan yang bid’ah atau terlarang.
– Melaksanakan segala kewajiban dan tidak meninggalkannya baik dalam
masalah agama ibadah dan lainnya, seperti shalat yang 5 waktu, dsb.
– Meninggalkan dan menjauhi segala perbuatan maksiat.
– Wajib mentaati pemimpin, kecuali jika disuruh bermaksiat.
– Saling tolong menolong dan meringankan beban sahabatnya.
– Menghindari sifat egois (mengutamakan diri sendiri) dan rasa malas.
– Tidak boleh takabbur atau sombong dan meremehkan segala sesuatu.
– Memperbanyak berdzikir, khususnya dzikir-dzikir yang dianjurkan.
– memperbanyak berdoa, karena doa seorang musafir adalah mustajab.
– Menyingkirkan segala gangguan di jalan.
– Qana’ah, yaitu menerima apa adanya.
– Hemat dalam segala kondisi.
– Memiliki sifat tawakkal kepada Allah, dan tidak boleh putus asa.
2. Bekal perlengkapan pribadi:
– Carier / Ransel / Tas besar minimal ukuran 60 liter.
– Pakaian pribadi (cadangan) secukupnya.
– Perlengkapan mandi (handuk, sikat gigi).
Ket: Jangan bawa sabun, odol dan detergent di tempat-tempat tertentu.
– Jaket tebal atau sweater.
– Mantel / Jas hujan.
– Senter.
– Lampu emergency atau lampu badai.
– Penutup kepala / kupluk, sarung tangan, kaos kaki dan sal/slayer
(penutup leher) jika ada.
– Perlengkapan makan (piring, sendok dan gelas) yang terbuat dari plastik
atau aluminium.
– Sleeping bag (penting).
– Korek api gas.
– Sepatu atau sendal gunung.
– Plastik kresek sebanyak-banyaknya.
– Baterai HP cadangan (bagi yang bawa HP).
– Matras untuk tidur.

Anda mungkin juga menyukai