Anda di halaman 1dari 14

Adab-Adab Safar Sesuai al Quran dan as Sunnah

Di tengah-tengah kesibukan Anda menyiapkan tas travel dan koper dengan segenap perbekalan dan perlengkapan, pernahkah
Anda mencoba menyisihkan sedikit waktu untuk merenung sejenak; Apa niat dan tujuan kepergian (safar) Anda? Dan tahukah
anda kapankah anda disebut seorang musafir? Dan Bagaimana adab adab syariat yang mesti Anda perhatikan agar safar
menjadi safar yang penuh berkah?
Jika niat kepergian Anda adalah untuk sebuah kebaikan, maka kabar gembira untuk Anda dengan sabda Nabi Shallallaahu
alaihi wa sallam:









Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Bila hamba-Ku bertekad melakukan suatu amal kebajikan lalu dia tidak
mengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan, hingga 700 kali
lipat. Dan bila dia bertekad melakukan suatu keburukan lalu dia tidak mengamalkannya, tidak Aku tulis (keburukan) atasnya.
Bila dia melakukannya, Aku tulis baginya satu keburukan. (HR. Bukhari).
Namun, jika yang Anda niatkan bukan kebaikan maka hendaknya Anda berhati-hati dan waspada, karena ketahuilah, kepergian
(safar) Anda adalah tercela dan dilarang. Dan perlu diketahui niat tempatnya dihati, tidak perlu dilafazh-kan.
Tak cukup dengan niat untuk sebuah kebaikan, jika kepergian (safar) Anda diwarnai dengan adab adab syari, maka Insya
Allah kepergian (safar) Anda menjadi safar yang berberkah. Namun jika tidak, Anda telah meninggalkan berbagai keutamaan
yang telah tersedia di hadapan Anda. Maka, cobalah untuk menyimak risalah singkat ini.

A. Kapan kita dikatakan seorang musafir?


Dari banyak pendapat yang ada, -insyaa Allaah- pendapat yang paling rjih, adalah tanpa adanya jarak perjalanan yang
khusus, sesuai dengan urf (kebiasaan masyarakat), jika kepergiannya tersebut menurut urf (kebiasaan masyarakat) adalah
suatu safar, maka ia terhitung musafir, jika tidak, maka tidak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:
Dalil yang lebih tepat dan kuat ialah pendapat ulama yang membolehkan qashar shalat dan berbuka puasa ketika musafir dan
tidak ada jarak perjalanan yang khusus. Inilah pendapat yang paling shahih. (Rujuk Kitab Majmuu al-Fataawaa, 24/106)
Imam Abu al-Qasim al-Kharqi rahimahullah telah menyatakan dalam kitab al-Mughni:
Aku tidak setuju dengan pendapat yang diutarakan oleh kebanyakan ulama fiqh karena pendapat mereka itu tidak ada
hujjahnya (dalam menghadkan jarak musafir). Ini karena, terdapat riwayat dari kata-kata para sahabat yang saling menyanggah.
Sedangkan, tidak boleh berhujjah menggunakan dalil yang saling berbeda.
Disimpulkan dari beberapa pendapat, bahwa pendapat yang paling rojih adalah tiada batasan tertentu yang membataskan
seseorang untuk dikategorikan sebagai musafir. Ia tergantung kepada uruf/kebiasaan seseorang itu sendiri iaitu dari mana
dia berada (kawasan kebiasaan dia berada/menetap) dan ke mana dia keluar (ke tempat yang di luar kebiasaannya) tanpa dibatasi
jaraknya.
(Disimpulkan dari perbahasan dalam buku Fiqh Dan Musafir Penerbangan, Hafiz Firdaus Abdullah, Di bawah Tajuk
Mengqashar shalat Dalam Penerbangan, Terbitan Perniagaan Jahabersa, m/s. 161-204)
Penjelasan lebih lengkap mengenai permasahan perbedaan pendapat diantara para ulama ini bisa dicek pada link berikut:
Qasharkanlah (Pendekkanlah) shalatmu Ketika Engkau Musafir

B. Adab-adab safar sesuai sunnah Rsulullh shllallhu alaihi wa sallam


1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi
Disunnahkan bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berpamitan sebelum
menjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorang
musafir berpamitan dengan mengucapkan doa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Saling berpamitan dan saling mendoakan bagi mereka yang hendak safar, dan mereka yang ditinggalkan
Berkata Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah-: Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia berpamitan
kepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan pada doa mereka berkah.
Berkata Asy-Sya`bi rahimahullah-: Sunnahnya jika seseorang datang dari safar untuk mengunjungi saudaranya dan
menyalaminya, kemudian jika ia hendak bersafar adalah mendatangi mereka dan berpamitan serta mengharapkan doa mereka.
Doa orang yang hendak pergi kepada yang ditinggalkan





Astawdiukumullah, alladzi laa tadhiiu wadaa-iahu
Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya..
(Hasan; HR. Ahmad, dll)[1. Rasuulullaah bersabda:

Jika kalian hendak keluar safar, maka katakanlah kepada mereka yang kalian tinggalkan: Astawdiukumullah, alladzi laa
tadhiiu wa daa-iahu (Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya)]
Berkata al Munawiy:
Artinya: -Allah adalah- sosok yang apabila diserahkan kepadanya suatu barang titipan maka barang itu tidak akan tersiasiakan, karena Allah taala apabila dititipi sesuatu maka Allah pasti akan menjaganya
(Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah)
Doa orang yang ditinggalkan kepada orang yang hendak safar
Sebagaimana doa Rasuulullaah ketika melepas pasukan perang:
Astaudiullaha diinak, wa amaanatak wa khawaatima amaalik
(Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agama kalian, amanat yang kalian emban, dan akhir penutup amal kalian). (HR at
Tirmidziy, dll)

Rasuulullaah bersabda ketika hendak mengutus pasukan perang:


Jika dititipkan sesuatu pada Allaah, maka Dia akan menjaganya




Dan aku titipkan pemeliharaan agama kalian, amanah yg kalian emban, serta kesudahan amalan kalian kepada Allaah (Terdapat
dalam Shahiih at-Tirmidziy)
Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menjadikan agama dan amanah seseorang
sebagai titipan, karena di dalam safar seseorang akan tertimpa rasa berat, dan takut sehingga hal itu menjadi sebab
tersepelekannya sebagian perkara-perkara agama. Lantaran itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakan kebaikan bagi
orang yang safar berupa bantuan dan taufiq. Seseorang dalam safarnya tersebut tak akan lepas dari kegiatan yang ia perlukan
di dalamnya berupa mengambil dan memberi sesuatu, bergaul dengan manusia. Karena itulah, Nabi -Shallallahu alaihi wa

sallam- mendoakannya agar dipelihara sifat amanahnya, dan dijauhkan dari sifat khianat. Kemudian, jika ia kembali kepada
keluarganya, maka akhir urusannya aman dari sesuatu yang membuatnya buruk dalam perkara agama dan dunianya. [Lihat
Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidziy]
Beliau juga mendoakan:
zawwadakaLLaahut taqwa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta
Semoga Allaah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosamu, serta mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu
berada (HR at Tirmidziy)[1. Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, Dari Anas -radhiyallahuanhu-, dia berkata: Ada
seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian (ia) berkata, Wahai Rasulullah, saya
hendak bepergian/safar maka berilah saya bekal.


Maka beliau menjawab, ZawwadakaLLaahut taqwa (semoga Allah membekalimu takwa).
Lalu dia berkata, Tambahkan lagi -bekal- untukku.


Beliau menjawab, Wa ghafara dzanbaka (dan semoga Allah mengampuni dosamu).
Dia berkata lagi, Tambahkan lagi -bekal- untukku, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu.


Beliau menjawab, Wa yassara lakal khaira haitsuma kunta (semoga Allah mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu
berada). (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan gharib. Syaikh al-Albani mengatakan: hasan sahih. Lihat Shahih Sunan
at-Tirmidzi (3/155) software Maktabah asy-Syamilah, dinukil dari: Bekal Safar: Kutitipkan Mereka Kepada-Mu, Ya Allah)]
Berkata al Munawiy:

Dianjurkan bagi masing-masing orang (baik yang pergi maupun yang ditinggal) untuk mengucapkan bacaan itu kepada
saudaranya yang lain dan hendaknya orang yang mukim (ditinggal) menambahkan bacaan zawwadakallahut taqwa wa ghafara
dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta.
(Faidh al-Qadir)

2. Dibencinya safar sendirian


Terdapat hadits Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bersabda :





Sekiranya manusia mengetahui apa-apa yang terjadi sewaktu bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui. Niscaya tidak
seorangpun yang akan melakukan safar di waktu malam sendirian . (HR. Bukhari).
Larangan tersebut bersifat umum baik di waktu malam maupun di waktu siang. Pengkhususkan malam yang disebutkan dalam
hadits di atas karena keburukan-keburukan di waktu malam lebih banyak dan bahayanya lebih besar. Wallahu A`lam.
Larangan safar sendirian juga terdapat dalam hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma, berkata: Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Yang bersafar sendirian maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar hanya
berdua maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar bertiga maka dia yang dinamakan bersafar. (HR. Abu Daud,
dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah).
Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang, musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.
[1. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Marifah, 1379, 6/53 dan penjelasan Syaikh Al Albani dalam As Silsilah

Ash Shohihah no. 62.] Namun larangan di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah adab.
[Lihat perkataan Ath Thobari yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 6/53.]

3. Disunnahkan mengangkat pemimpin jika safarnya tiga orang atau lebih


Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jika tiga
orang keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai pemimpin. (HR. Abu Daud, dan berkata Al-Albani
rahimahullah : Hadits hasan shahih).
Apabila pada safar yang jumlahnya tiga orang atau lebih tersebut, maka dianjurkan untuk mengangkat salah seorang dari
mereka sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka bagi kemaslahatan mereka. Kemudian wajib atas
mereka untuk mentaatinya dan mengikuti segala yang ia perintahkan selain bukan perintah untuk berbuat maksiat kepada Allah
-Subhanahu wa Ta`ala-.

4. Dilarang membawa anjing dan lonceng dalam safar


Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah radhiallahu
anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Malaikat tidak akan menemani safar seseorang
yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik. (HR. Muslim).
Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas dalam riwayat Muslim dan
selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :




Terompet adalah merupakan seruling syaithan. (HR. Muslim).

5. Dilarang bagi wanita safar tanpa ada mahram


al-Bukhari dan Muslim serta selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar dalam jarak
sehari semalam tanpa didampingi mahram. (HR. Bukhriy)
Dalam lafazh Muslim: Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang lakilaki yang merupakan mahramnya. (HR. Bukhari).

6. Disunnahkan safar pada waktu terbaik


Dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dari Kaab
bin Malik, beliau berkata,



Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk
bepergian pada hari Kamis. [HR. Bukhari no. 2950.]
Dianjurkan pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah. Sebagaimana doa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada waktu pagi,


Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya. [HR. Abu Daud no. 2606 dan At Tirmidzi no. 1212. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib
no. 1693.]
Ibnu Baththol mengatakan, Adapun Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengkhususkan waktu pagi dengan mendoakan
keberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah waktu yang biasa digunakan manusia
untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat (fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi
shallallahu alaihi wa sallam mengkhususkan doa pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di
dalamnya. [Syarhul Bukhari Libni Baththol, Asy Syamilah, 9/163]
Juga waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal
malam. Ada pula yang mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat kita maknakan bahwa
perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di malam hari. [Lihat Aunul Mabud, Muhammad Syamsul Haq Abu Ath Thoyib,
Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H, 7/171.]


Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu. [HR. Abu Daud no.
2571, Al Hakim dalam Al Mustadrok 1/163, dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 5/256. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah no. 681.]

7. Hendaknya melakukan shalat dua rakaat ketika hendak pergi


Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua rakaat yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan
yang berada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua rakaat yang akan menghalangimu
dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah. [HR. Al Bazzar, hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 1323]

8. Membaca doa doa ketika safar yang telah matsur (diriwayatkan) dari Nabi shllallhu alaihi wa sallam
Doa ketika ketika meninggalkan rumah

bismillah, tawwakaltu alallh,laa hawla wa laa quwwata illa billaah
Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah,




allaahumma inni a-udzubika an a-dhilla au u-dhall, au azilla au uzall, au azhlam au uzhlam, au ajhala au yujhala alayya
Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (syetan atau orang yang berwatak
syetan), atau tergelincir dan digelincirkan (orang lain), atau dari berbuat bodoh atau dibodohi. (Shahih, di shahihkan asysyaikh al-albani dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Daud, HN. 5094).
Doa menaiki kendaraan

Bismillaah, bismillaah, bismillaah
(dengan menyebut nama Allaah, dengan menyebut nama Allaah, dengan menyebut nama Allaah)
Ketika sudah duduk di atas kendaraan, membaca:
Alhamdulillah
(Segala puji bagi Allaah)
Lalu membaca,


Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqriniin. Wa inna ilaa robbina lamun-qolibuun
(Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan
sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami)
Kemudian mengucapkan,
Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah.
Lalu mengucapkan,



Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.

Setelah itu membaca,

Subhaanaka inni qad zhalamtu nafsii, faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta
(Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku sendiri, maka ampunilah aku karena tidak ada yang
mengampuni dosa-dosa selain Engkau) [Shahiih; HR Abu Daawud][1. Berdasarkan hadits Aliy bin Rabiah, ia berkata:





Aku menyaksikan Aliy bin Abi Thaalib radhiyallaahu anhu dibawakan kendaraan untuk dikendarainya. Ia berkata:
bismillaah, maka setelah ia telah diatas punggungnya, maka ia berkata: alhamdulillaah, kemudian ia berkata:
Subhanalladzi sakh-khara lanaa hadzaa, wa maa kunna lahu muqriniin. Wa inna ilaa rabbinaa lamun-qalibuun kemudian dia
mengucap alhamdulillaah tiga kali, Allaahu akbar tiga kali, (kemudian ia berucap) Subhaanaka inni qad zhalamtu nafsii,
faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta kemudian ia senyum. Kemudian aku berkata: terhadap apakah engkau
bersenyum wahai amirul mukminin? Ia menjawab: Sungguh aku telah melihat Rasuulullaah melakukan seperti apa yang aku
lakukan tadi (yaitu membaca dzikir-dzikirnya), kemudian beliau senyum. Maka aku bertanya terhadap apakah engkau
bersenyum wahai Rasuulullaah? maka beliau menjawab: sesungguhnya Rabbmu, benar-benar takjub terhadap hambaNya,
jika ia berkata: rabbighfirliy dzunubiy, innahu laa yaghfiru dzunuba ghayruk (Ya Allaah, ampuni dosaku; karena
sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain (daripada)Mu) (Shahiih; HR at Tirmidziy)]
Doa bepergian


subhaanaalladzi sakh-khrlanaa wa maa kunna lahu muqriniin wa inna ila rbbina lamunqlibuun
Maha Suci Allah yang telah menjalankan kami, dan sebelumnya kami tidak mampu, dan hanya kepada Rabb kami, kami
kembali.




allhumma inni nas-aluka fii safarinaa hadzaa al-birr wat-taqwa, wa minal amali maa tardh
Ya Allah! sesungguhnya aku memohon kepadaMu kebaikan dan ketakwaan di dalam perjalanan kami. Begitu pula amal yang
Engkau ridhai





allhumma hawwin alaynaa fii safarinaa haadzaa wa ath-wi annaa budah
Ya Allah mudahkan/ ringankanlah perjalanan kami ini, dan jadikan perjalanan yang jauh menjadi dekat dari kami.





allhumma antash-shhibu fiis-safar, wakh-liifatu fil ahl,
Ya Allah! Engkaulah teman di dalam perjalanan, dan Pemimpin/ Penjaga keluarga dan harta.









allhumma inni a-udzubika min wa-tsaa-is-safar, wa ka`aabatil munzhr, wa suu-il munqlabi fil maali wal ahli wal walad
Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari lelahnya perjalanan, dan sedihnya pemandangan, serta kesia-siaan
tempat kembali, dan buruknya pemandangan pada harta, keluarga, dan anak. (HR. Abu Daud, Shahih).
Doa Apabila kembali dari safar
Doa di atas dibaca (yakni doa bepergian), dan ditambah:

aayibuuna taa`ibuuna aabiduuna li rbbinaa haamiduun

Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rbb kami (HR. Muslim 2/998.).

9. Shlat diatas kendaraanya ketika dalam perjalanan


Termasuk sunnah yang telah banyak ditinggalkan adalah shalat sunnah bagi musafir di atas kendaraannya.
Ibnu Umar radhiallahu anhuma meriwayatkan, beliau berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan
shalat di atas tunggangan beliau ketika dalam safar dimana beliau mengarahkan tunggangannya ke arah kiblat dan shalat dengan
memberi isyarat. Beliau mengerjakannya hanya pada shalat al-lail tidak pada shalat fardhu dan beliau mengerjakan shalat witir
di atas kendaraan beliau. (HR. Al-Bukhari).

10. Doa ketika singgah di suatu tempat


Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda : Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia berdoa :


Auudzubikalimatillaahitt-tammmaati min syarri maa khlaq
Aku berlindung kepada dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Engkau ciptakan. (maka) Tidak
akan ada sesuatupun yang dapat memudharatkan sampai ia berlalu dari tempat tersebut. (HR. Muslim).

11. Disunnahkan untuk tinggal sementara dan makan secara bersama di satu tempat.
Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana mereka
tiba (singgah) dan bermalam. Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah.
Diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu anhu-, beliau berkata : Ketika para sahabat singgah di suatu
tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jika
kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan
syaithan. Setelah itu apabila mereka turun singgah d isuatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling
berkumpul sebagian dengan sebagian lainnyahingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan
mencakup mereka semua (HR. Abu Daud, dan dishahihkan oleh Al-Albani Rahimahullah).
Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka. Dari Husyai
bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya: Wahai
Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Mungkin
karena kalian makan dengan terpisah-pisah? Para sahabat menjawab: Benar. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
besabda: Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah
pada makanan tersebut bagi kalian. (HR. Abu Daud, dan dihasankan oleh Al-Albani Rahimahullah).

12. Hendaklah orang yang bersafar bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) ketika melewati tempat yang
tinggi.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Bahwasanya seorang lelaki bertanya, Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku hendak bersafar, maka berilah aku nasehat Beliau menjawab, Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah
Taala, dan mengucapkan takbir (bertakbir) ketika melewati tempat yang tinggi. (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan).
Juga berdasarkan hadits Jabir yang ia menuturkan: Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami bertakbir, dan apabila menurun
maka kami bertasbih. (HR. Al-Bukhari).

13. Hendaklah mengucapkan bismillaah jika mengalami gangguan dalam perjalanan


Jika terjadi suatu gangguan dalam perjalanan (seperti kendaraan mogok), janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan
akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan bismillah)
Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu tunggangan
yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, Celakalah syaithan. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menyanggah ucapanku tadi,

Janganlah engkau ucapkan celakalah syaithan, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar
seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, Itu semua terjadi karena kekuatanku. Akan tetapi, yang
tepat ucapkanlah Bismillah. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti
lalat. [HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Kalimu Ath Thoyib no. 238]
[Dikutip dari Tips Mudik Lebaran Penuh Berkah; Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal]

14. Apabila takut terhadap gangguan manusia, maka hendaklah ia berdoa seperti yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam




allhumma inna naj-aluka fiy nuhuurihim wa nauudzubika min syuruurihim
Artinya, Ya Allah, Sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai Penolong dalam menghadapi mereka, dan sesungguhnya
kami berlindung kepadaMu dari kejahatan-kejahatan mereka (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani),

15. Hendaklah dia berdoa di dalam safarnya dan memohon kepada Allah Taala kebaikan dunia dan akhirat.
Karena safar merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, Terdapat tiga
doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi padanya: doa orang yang dizhalimi, doa orang yang bersafar, dan doa orang
tua kepada anaknya. (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan).

16. Musafir Ketika Bertemu Waktu Sahur (Menjelang Shubuh)


Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika bersafar dan bertemu dengan waktu sahur, beliau mengucapkan,



Sammaa saamiun bi hamdillahi wa husni balaa-ihi alainaa. Robbanaa shohibnaa wa afdhil alainaa aa-idzan billahi
minan naar
(Semoga ada yang memperdengarkan pujian kami kepada Allah atas nikmat dan cobaan-Nya yang baik bagi kami. Wahai Rabb
kami, peliharalah kami dan berilah karunia kepada kami dengan berlindung kepada Allah dari api neraka). [HR. Muslim no.
2718] [Dikutip dari Tips Mudik Lebaran Penuh Berkah; Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal]

17. Membaca dzikir ketika masuk desa/kota


Disebutkan dalam shahiih ibnu khuzaimah, bahwa tidaklah Rasuulullaah melihat suatu daerah, dan hendak untuk
memasukinya; kecuali beliau membaca pada saat melihat daerah tersebut:












Allaahumma rabbassamawaatis sabi wa maa azhlalna, wa rabbal ardhiinassabi wa maa aqlalna, wa rabbasy syayaathiini
wa maa adhlalna, wa rabbarriyaahi wa maa dzarayna
Ya Allah, Tuhan tujuh langit dan apa yang dinaunginya. Tuhan penguasa tujuh bumi dan apa yang di atasnya. Tuhan Yang
menguasai syetan-syetan dan apa yang mereka sesatkan. Tuhan Yang menguasai angin dan apa yang diterbangkannya.

fa inna nas aluka khayra hadzihil qaryati wa khayra maa fiihaa. Wa nauudzubika min syarri hadzihil qaryati wa syarri maa
fiihaa
Maka kami mohon kepada-Mu kebaikan desa ini, kebaikan penduduknya, dan apa yang ada di dalamnya. Kami berlindung
kepada-Mu dan kejelekan desa ini, kejelekan penduduknya, dan apa yang ada di dalamnya. [HR an Nasaa-iy (sunan al kubra),
ibn hibbaan, ibnu khuzaymah, al haakim; dishahiihkan al haakim dan adz dzahabi, dikatakan al albaaniy: hasan li ghayrihi]
Maka ketika kita melihat sebuah daerah yang kita ingin kita masuki, maka ketika daerah itu terlihat, maka kita mengucapkan
dzikir diatas.

18. Disunnah-kan ketika safar untuk meng-QSHAR-kan (memendekkan) shlatnya dan BOLEH baginya
untuk menjama (menggabung) shalatnya
Dari banyak pendapat mengenai shlat seorang musafir, maka pendapat yang paling rjih -Insya Allh- adalah SUNNAH
baginya untuk meng-qshar-kan shlat, dan BOLEH baginya untuk men-jama'(menggabungkan) shalatnya. Wallhu taala
alam bish shwwab.
Sunnah bagi musafir untuk meng-qashar shalatnya
Allah ( ) berfirman di dalam surah an-Nisa ayat 101:







(artinya):Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-Qashar shalatmu, jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.
Dalam hal ini, terdapat suatu riwayat dari Abu Yala bin Umayyah, dia menceritakan: Aku pernah berkata kepada Umar bin
Khaththab: (Allah berfirman:) maka tidaklah mengapa kamu meng-Qashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. (Namun sekarang) masyarakat sekarang sudah berada dalam keadaan aman. Umar berkata: Aku juga pernah merasa
hairan sebagaimana engkau merasa hairan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah ( )mengenai hal tersebut. Beliau ()
bersabda:


Ia suatu sedekah yang telah disedekahkan oleh allah kepada kamu. Oleh itu, terimalah sedekah Allah. (HR Muslim)
Dari Aisyah, dia menyatakan: Ketika shalat pertama kali diwajibkan, Allah mewajibkan dua rakaat-dua rakaat, sama ada
ketika sedang tidak dalam perjalanan maupun ketika dalam perjalanan. (Selepas hijrah Nabi ( ))shalat ketika safar
ditetapkan/dibiarkan (dua rakaat), dan shalat ketika tidak safar (dalam perjalanan) ditambah (jumlah rakaatnya). (HR Muslim)
Dari Musa bin Salamah Al-Hudzali dia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: Bagaimana saya shalat jika saya berada di
Makkah (sedang safar) dan saya tidak ikut shalat di belakang imam (berjamaah)? Maka beliau menjawab, Shalatlah 2 rakaat,
itu merupakan sunnahnya Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wasallam. (HR. Muslim)
Bahkan disebutkan ibnu Umar: Aku pernah menemani Rasulullah ( )dalam perjalanannya dan beliau tidak pernah
mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat (bagi setiap shalat yg empat rakaat). Demikian juga dengan Abu Bakar, Umar, dan
Usman radhiyallhu anhum. (HR Muslim)
Dari hadits ini, sebagian ulama menghukumi bahwa qashar merupakan syarat sah shalat seorang musafir; tidak sah baginya
jika tidak diqashar (kecuali kalau bermakmum imam yang mukim).
Kapan mulai meng-qashar?
Ketika telah meniatkan safar, dan telah meninggalkan semua rumah di kampungnya. Sebagaimana yang dikatakan Imam
Ibnul Mundzir.
Berapa lama boleh mengqashar?
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan beberapa riwayat dari para shahabat, yang menyatakan bahwa TIDAK ADA BATASAN
WAKTU seseorang untuk tetap mengqasharkan shalatnya sebagaimana bisa dilihat dalam riwayat-riwayat berikut:
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa beliau berdiam di Naisabur (sebagai musafir) selama setahun atau dua tahun
sambil mengqashar shalat.
Dan dari sahabat Jabir bin Zaid bahwa beliau ditanya, Saya tinggal (sebagai musafir) di negeri Tastur selama setahun atau dua
tahun, dan saya sudah mirip dengan penduduk asli di situ, maka Jabir menjawab, Shalatlah dua rakaat.
Abu Al-Minhal bertanya kepada Ibnu Abbas, Saya berdiam (sebagai musafir) di Madinah selama setahun dan tidak sedang
melanjutkan perjalanan? maka Ibnu Abbas menjawab, Shalatlah kamu dua rakaat. Dan pada atsar setelahnya Ibnu Abbas
berkata, Shalatlah dua rakaat walaupun engkau berdiam selama 10 tahun.
Semua atsar sahabat ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dengan sanad yang shahih.
(Sumber: http://al-atsariyyah.com/hukum-shalat-qashar-bagi-musafir.html)

Hal ini menandakan, selama seseorang MASIH MENIATKAN untuk TIDAK MUKIM ditempat yang ia safari tersebut, maka
ia masih disebut musafir, sehingga selama itu pula ia DISUNNAHKAN untuk meng-qasharkan shalatnya.
Bolehnya jama bagi musafir
Para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama shalatnya, seperti
seorang yang sedang musafir. Dan menjama shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam
hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama. (Lihat al Irwa, III/40; dipetik dari abusalma ).
Imam Ahmad rahimahullah di dalam al-Musnadnya (6/241) menambahkan:
Kecuali shalat Maghrib dan subuh. (Rujukan: Catatan kaki no. 71, m/s. 550, Ensiklopedi shalat Menurut al-Quran dan asSunnah, oleh Sheikh Dr. Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafii)
Dari Ibnu Abbas, dia menyatakan:
Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi Kalian ( )ketika tidak dalam perjalanan (musafir) adalah empat rakaat dan
ketika dalam perjalanan dua rakaat, serta ketika menghadapi rasa takut adalah satu rakaat. (HR Muslim)
Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam:
Ada musafir saa-ir, yaitu yang berada dalam perjalanan
Dan ada musafir naazil, yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengahtengah safar selama beberapa lama.
Menjama shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya boleh dilakukan oleh musafir saa-ir maupun
musafir naazil. Namun yang lebih afdhol (lebih utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat (jika ia masih bisa
mengerjakannya pada waktunya masing-masing).
Musafir naazil diperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing
waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak.
Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabung
dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya.
(penjelasan diatas adalah penjelasan asy-syaikh al-utsaimin rhimahullh, lihat http://islamqa.com/ar/ref/49885, dialih
bahasakan oleh al-ustadz muhammad abduh tuasikal)

19. Apabila MENG-IMAMI shlat wajib 4 rakaat (zhuhur, ashr, isya) (baik makmumnya mukim atau
safar) tetap meng-qshar-kan shlat.
Dan bila ada makmum yang mukim, maka tetap harus menyempurnakan shlatnya.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:
Para ulama telah sepakat bahwa jika orang yang bermukim/bermastautin menjadi makmum kepada imam yang bermusafir
lalu musafir itu mengucapkan salam (setelah dua rakaat shalatnya secara Qashar pen.), maka orang yang bermukim harus
menyempurnakan shalatnya (kepada empat rakaat). (Rujukan: al-Mughni, 3/146. Lihat: Nailul Authaar, asy-Syaukani, 2/403)
Jika seorang musafir mengimami beberapa orang yang bermukim/bermastautin, lalu dia mengerjakan shalat itu secara
lengkap/tamam/sempurna, maka shalat mereka itu sempurna dan sah, hanya saja bertentangan dengan yang afdhal (sunnahnya).
(Majmuu Fataawaa Ibni Baaz, 12/260).
(Dinukil daripada: Ensiklopedi shalat Menurut al-Quran dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani,
Terbitan Pustaka Imam asy-Syafii, m/s. 270-271)

20. Apabila DI-IMAMI shlat wajib 4 rakaat (zhuhur, ashr, isya) oleh mukim, tetap menyempurnakan
shlatnya
Ibnu Abbas rahimahullah (ketika bermusafir), dia akan shalat empat rakaat jika shalat bersama imam (yang mukim) dan dua
rakaat (Qashar) jika shalat sendirian.(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 17 (688))

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan: Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa jika seorang musafir
melakukan takbiratul ihram di belakang orang yang bermukim/bermastautin sebelum salamnya, maka dia harus mengerjakan
shalat separti orang mukim, iaitu mengerjakan secara lengkap (empat rakaat). (at-Tamhiid, 16/311-312)
Mereka yang bermusafir ketika menjadi makmum kepada imam yang mukim harus mengerjakan shalat separti yang dilakukan
imamnya (shalat sempurna/empat rakaat). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Quran dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Said
bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafii, m/s. 271)

21. Tidak ada shlat sunnah kecuali shalat sunnah fajar, witir dan shalat sunnah muthlaqh
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Kegigihan dan kesungguhan Rasulullah ( )dalam memelihara shalat sunnah sebelum Subuh lebih besar daripada shalat
sunnah yang lainnya sehingga beliau tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula shalat witr, sama ada ketika dalam perjalanan
mau pun ketika sedang di rumah Tidak pernah dinukil bahwa Rasulullah ( )mengerjakan shalat sunnah rawatib selain shalat
sunnah sebelum subuh dan shalat witr dalam perjalanannya. (Rujuk: Zaadul Maaad fii Hadyi Khairil Ibaad, 1/315)
Berdasarkan fatwa Imam Ibnul Qayyim, ini menunjukkan bahwa dipahami hanya shalat sunnah rawatib subuh dan shalat witr
yang dituntut. Dan tiada sandaran bagi kesunnahan melakukan shalat sunnah rawatib bagi shalat-shalat yang lain melainkan
sebelum shalat subuh.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: Para ulama telah sepakat untuk menetapkan sunnah (adanya) terhadap shalat-shalat
sunnah mutlak (shalat-shalat sunnah yang tidak memiliki sebab khusus untuk ia dilakukan) dalam perjalanan. (Syarhun
Nawawi alaa shahih Muslim, 5/205). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Quran dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Said bin
Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafii, m/s. 269)

22. Tidak ada shlat jumat bagi sesama musafir


Ibnu Umar Radhiyallahu anhu berkata Tidak ada shalat Jumat bagi Musafir[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [1/442],
Ibnul Munzdir [4/19] dan Al-baihaqi dalam Al-Kubra [3/184] dengan sanad yang shahih]
Dari Nafi, dari Ibnu Umar : Bahwasannya ia tidak melaksanakan shalat Jumat ketika safar [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah, 2/104; sanadnya hasan, namun shahih dengan riwayat mauquf Al-Baihaqiy di awal].
Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu
shalat dua rakaat lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jumat [Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah [1/442], Ibnul
Munzdir [4/20] dengan sanad yang shahih; dari abul-jauzaa]
dari Al-Hasan : Bahwasannya Abdurrahman bin Samurah pernah berada di negeri Kaabul (Afghanistan) pada musim dingin
selama semusim atau dua musim. Ia tidak melakukan shalat Jumat, dan ia shalat dua rakaat [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; abul-jauzaa].
Dari Ats-Tsauriy, dari Mughiirah, dari Ibraahiim, ia berkata : Mereka tidak mengerjakan shalat Jumat ketika safar. Dan
mereka tidaklah shalat kecuali dua rakaat [Diriwayatkan Abdurrazzaaq 3/173-174 no. 5202; sanadnya shahih]. Mereka
yang dimaksud Ibraahiim An-Nakhaiy ini adalah beberapa tabiin dan shahabat yang semasa dengannya, karena ia sendiri
termasuk tabiiy kecil (thabaqah ke-5, wafat tahun 196 H). [dari abul-jauzaa]
dari Mak-huul, ia berkata : Tidak ada kewajiban bagi musafir shalat Iedul-Adlhaa, shalat Iedul-Fithri, dan shalat Jumat
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; dari abul-jauzaa].
dari Aliy bin Al-Aqmar, ia berkata : Masruuq, Urwah, Al-Mughiirah, dan sejumlah orang dari kalangan shahabat Abdullah
pernah keluar untuk safar. Tibalah hari Jumat, namun mereka tidak shalat Jumat. Dan tiba pula hari Iedul-Fithri, namun
mereka tidak shalat Ied [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih; dari abul-jauzaa].
dari Ibraahiim : Shahabat-shahabat kami pernah berperang selama kurang lebih setahun, dimana mereka menqashar shalat
namun tidak melakukan shalat Jumat [idem, sanadnya shahih; dari abul-jauzaa].
dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata : Tidak ada kewajiban shalat Jumat bagi musafir [Diriwayatkan Abdurrazzaq
3/172 no. 5197; sanadnya shahih; dari abul jauzaa]
Berkata Ibnul Mundzir:

Dan termasuk dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi musafir adalah bahwasannya Nabi shallallaahu
alaihi wa sallam dalam safar-safarnya tentu pernah melewati hari Jumat. Akan tetapi tidak sampai pada kita beliau shallallaahu
alaihi wa sallam mengerjakan shalat Jumat dalam keadaan safar. Bahkan, telah shahih dari beliau mengerjakan shalat Dhuhur
di Arafah yang saat itu bertepatan dengan hari Jumat. Maka, itu merupakan petunjuk dari perbuatan beliau shallallaahu alaihi
wa sallam bahwa tidak ada kewajiban shalat Jumat bagi musafir [Al-Ausath, 4/20; dari abul-jauzaa]
Berkata al Imaam ibnul Qudaamah: Nabi shallallaahu alaihi wa salam biasa melakukan safar, namun beliau tidak
melakukan halat Jumat dalam safarnya itu. Dan ketika dalam haji wada di Arafah pada hari Jumat, beliau shalat Dhuhur
dan menjamaknya, tanpa melakukan shalat Jumat. Hal yang sama dengan Al-Khulafaaur-Raasyidiin radliyallaahu anhum
dimana mereka biasa bersafar untuk haji dan selainnya tanpa ada seorang pun dari mereka melakukan shalat Jumat dalam
safarnya. Begitu pula dengan shahabat-shahabat Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam lainnya dan orang-orang setelah
mereka. [Al-Mughniy, 3/216; dari abul-jauzaa]
Ini berlaku bagi sesama musafir yang melewati atau menempati suatu daerah yang disafarinya, dan tidak ada disana orang
mukim. Maka sesama mereka tidak shalat jumat, tidak pula shalat id. Wallaahu alam.

23. Tetap mendatangi shalat jumat dan jamaah apabila melewati kampung yang mengumandangkan adzan,
atau telah sampai ditempat safarnya dan mendengar adzan
Rasuulullaah shallalaahu alayhi wa sallam bersabda:
Shalat Jumuat diwajibkan atas SETIAP yang mendengar adzan (Hasan; HR Abu Daawud)
Mamar pernah bertanya kepada az-Zuhriy tentang musafir yang melewati satu kampung/desa yang bertepatan dengan hari
Jumat, maka ia menjawab :
Apabila ia mendengar adzan, hendaklah ia menghadiri shalat Jumat [Shahiih; diriwayatkan oleh Abdurazzaaq 3/174 no.
5205; kutip dari ustadz abul-jauzaa]
Demikian pula shalat jamaah, berdasarkan keumuman hadits:
Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian tidak memenuhinya maka tidak ada sholat baginya kecuali orang yang memiliki
udzur.
Diatas dikatakan , , sedangkan disini umum, berlaku pada mukim maupun musafir. Demikian pula itu umum,
apakah itu adzan shalat jumat ataukah adzan shalat lima waktu. Maka perintah diatas ini berlaku untuk shalat jumat maupun
shalat berjamaah.
Sekalipun musafir telah menjama-taqdim shalatnya (sebelum keberangkatan atau ditengah perjalanannnya), tapi ketika ia
melewati daerah atau telah sampai di temapt safarnya dan masuk shalat berikutnya dan ia mendengar adzan, maka hendaknya
ia shalat kembali bersama orang-orang mukim.
Rasuulullaah shallallaahu alayhi wa sallam bersabda:



Jika kamu mendapati (imam dan jamaahnya sedang shalat) maka shalatlah bersama manusia, meskipun engkau SUDAH
SHALAT
Juga sabda beliau:

Jika engkau mendapati (shalat) bersama mereka, maka shalatlah (bersama mereka), sesunggunya shalatmu (bersama mereka)
adalah naafilah
Juga sabda beliau:
Shalatlah pada waktunya; dan jika engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersama mereka); JANGAN
ENGKAU KATAKAN: aku sudah shalat, maka aku tidak shalat lagi (bersama mereka)
Maka:
=> Sekalipun seorang musafir telah menjama-taqdim shalatnya, tapi ia melewati daerah yang dikumandangkan adzan waktu
shalat berikutnya; atau ia sudah sampai ke tempat safarnya dan ia mendapati adzan; maka hendaknya ia tetap mendatangi
masjid dan shalat bersama orang-orang mukim, meskipun ia telah shalat.

=> KELIRU. Jika seorang musafir yang telah sampai ditempat tujuannya; tapi malah shalat di hotel/aula/rumah bersama sesama
musafir, padahal disekitarannya masih ada masjid. Hendaknya ia shalat di masjid bersama orang-orang mukim.

24. Disunnahkan untuk tidak puasa bagi yang kepayahan, dan dianjurkan puasa bagi yang mampu
Pertanyaan:
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya puasa musafir padahal ia merasa berat ?
Jawaban: Apabila puasa dirasa memberatkan dan membebaninya maka itu menjadi makruh hukumnya, karena Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam pernah melihat seseorang pingsan, orang-orang disekitar beliau berdesak-desakan, beliau bertanya : Kenapa
orang ini?. Mereka menjawab. Dia berpusa. Beliau bersabda : Puasa di waktu bepergian bukanlah termasuk kebaikan
[Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena
sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab
Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)]
Adapun bila terasa berat atasnya puasa dengan kepayahan yang sangat maka wajib atasnya berbuka, karena Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam tatkala orang banyak mengadukan kepada beliau bahwa mereka merasa berat berpuasa (tatkala
bepergian, -pent) Nabi menyuruh mereka berbuka, lalu disampaikan lagi kepada beliau, Sesungguhnya sebagian orang tetap
berpuasa, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, Mereka itu ahli maksiat! Mereka itu pelaku maksiat! [Diriwayatkan
oleh Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di bulan Ramadhan bagi musafir selain tujuan maksiat
(1114)]
Sedangkan bagi orang yang tidak mengalami kepayahan untuk berpuasa, yang paling afdhal adalah tetap berpuasa meneladani
Rasul Shallallahu alaihi wa sallam manakala beliau tetap berpuasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Darda Radhiyallahu
anhu, Kami bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di bulan Ramadhan di panas terik yang menyengat, tiada
seorangpun dari kami yang berpuasa kecuali Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah
[Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena
sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab
Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)]
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar
Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah,
http://www.almanhaj.or.id/content/1959/slash/0]

25. Disunnahkan bagi musafir untuk segera kembali ke keluarganya setelah selesai urusannya dan tanpa
menunda-nunda
Disunnahkan bagi seorang musafir apabila dia telah mencapai maksud dari perjalanannya tersebut agar segera kembali kepada
keluarga. Tidak berdiam melebihi kebutuhannya. Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam, beliau bersabda : Safar itu adalah bagian dari adzab, karena dengan safar ia terhalang untuk makan, minum, dan
tidur. Maka jika telah selesai keperluannya maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya. (HR. Bukhari).
Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan: Hadits ini menunjukkan makruhnya berpisah dari keluarganya lebih dari
keperluannya. Dan disunnahkan untuk segera kembali kepada keluarganya apalagi ditakutkan kalau-kalau isterinya terabaikan
di saat kepergiannya. Diamnya berkumpul bersama keluarga akan memberikan kesejukan yang dapat membantu perbaikan
baik agama atau duniawiyah. Lagi pula berkumpul bersama keluarga akan mendatangkan rasa kebersamaan dan kekuatan
dalam pelaksaan ibadah (Fathul Bari (3/730)).

26. Makruh bagi seorang musafir pulang menjumpai keluarganya di malam hari tanpa menginformasikan
sebelumnya
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, beliau berkata: Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang
seseorang untuk mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari.
Pada riwayat Muslim: Jika salah seorang dari kalian datang dari suatu perjalanan, janganlah mengetuk pintu rumah istrinya
hingga istrinya tersebut telah merapikan dan menyisir rambutnya.
Jadi sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia kembali menjumpai istrinya untuk tidak mendatanginya di malam hari,
sehingga ia tidak melihat apa yang dia benci dari penampilan istrinya yang tidak rapi. Dari hadits-hadits ini juga dianjurkannya
para istri untuk berhias untuk suaminya untuk melayani suaminya yang baru datang dari safar.

27. Disunnahkan shalat dua rakaat bagi musafir ketika kembali ke negerinya
Diantara petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , apabila beliau Shallallahu alaihi wa sallam kembali dari suatu perjalanan
maka yang pertama kali segera beliau lakukan shalat di masjid dua rakaat.
Kaab bin Malik radhiallahu anhu mengatakan : Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , apabila beliau tiba
dari suatu perjalanan pada waktu dhuha,beliau mendatangi masjid lalu mengerjakan shalat dua rakaat sebelum beliau duduk
(HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad).

28. Apabila telah sampai di rumah, maka disunnahkan berjima dengan istri
Rsulullh shllallhu alayhi wa sallam juga bersabda, (yang artinya)
Artinya : Jangan tergesa-gesa hingga engkau dapat datang pada waktu malam -yaitu Isya- agar ia (isterimu) sempat menyisir
rambut yang kusut dan mencukur bulu kemaluannya. Selanjutnya, hendaklah engkau menggaulinya (HR. Bukhriy, Muslim,
Ahmad, al-Baihaqiy dan selainnya)
Hal ini adalah Sunnah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, sebagaimana yang diceritakan oleh Kaab bin Malik radhiyallaahu
anhu ketika ia tidak ikut perang Tabuk dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3088) dan Muslim
(no. 716 (74)).
[sumber: Buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa
Bogor Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qadah 1427H/Desember 2006; dari almanhaj]
Semoga risalah singkat ini bisa bermanfaat bagi kita, dam semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya, memahaminya
dengan baik dan benar, serta mengamalkannya dengan benar; dengan sebaik-baiknya.
Disusun: Abu Zuhriy al-Gharantaliy
Artikel AbuZuhriy.com. Link: https://abuzuhriy.wordpress.com/?p=578

Anda mungkin juga menyukai