Anda di halaman 1dari 299

KATA PENGANTAR

Oleh : KH. Mufty Ahmad Nashihin


(Pimpinan Majlis Ta'lim Darus Shofa Medan ~ Sumatera Utara)

‫السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

‫الحمد هلل األحد الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفؤا احد‬

‫والصالة والسالم األتمان على سيدنا دمحم هادينا الى طريقه األرشد وعلى آله وصحبه الذين نالوا كل‬

‫ وبعد‬. ‫فخر أمجد وبهم نال من نال كل فضل وسؤدد‬

Merupakan kebahagiaan tersendiri yg sulit di ungkapkan saat

alfaqir di tunjukkan buku terjemah dan syarah kitab Aqidatul awam

ini. Keberkahan kitab ini tidak bisa di pungkiri oleh siapa pun, kitab

yg setiap pondok pesantren dan lembaga lembaga pendidikan di

kebanyakan belahan dunia selalu menjadikan kitab ini sebagai bahan

pelajaran yg wajib di baca dan di hafalkan.

Belum lagi dari riwayat mimpi pengarang kita yaitu

Assayyid Ahmad Almarzuqi Alhasani yg di minta Rasulullah SAW

i
Kitab Tauhid Dasar
untuk membaca “Aqidah Ahlil Jannah” dan beliau pun membaca

nadzam nadzam kitab ini.

Kitab ini di sebut “Aqidatul Awam” aqidah keyakinan orang

awam selain tawadhu nya pengarang kitab, juga sebagai teguran

untuk semua masyarakat khusus nya di akhir zaman yg penuh gejolak

fitnah yg tak menentu,dengan kesibukan dunia yg melalaikan

ditambah merebaknya faham faham sesat sehingga tidak jarang anak

kecil pun sudah terbiasa dengan ungkapan sesat “Allah di langit,

Allah punya tangan mata”dan seterus nya .

Dengan mempelajari kitab ini,insyaallah generasi kita akan

terbentengi tauhid nya, pemahamannya akan kewajiban kewajiban

iman yg semua ini adalah pondasi penentu akan dunia akhirat kita.

Saya telah membaca beberapa halaman dari buku terjemah&syarah

ini,dengan mengetahui secara pasti akhlaqul karimah dan amanah

ilmiyah yg di miliki oleh penulisnya, Fadhilatul Ustadz Jalaluddin

Attijany saya merasa tenang tenteram hati untuk bisa di jadikan

sebagai buku pegangan buat santri pemula dan rujukan buat para

pengajar dan asatidz baik di madrasah madrasah atau majelis majelis

taklim di masjid masjid.


ii
Kitab Tauhid Dasar
Semoga kitab ini bisa lebih bermanfaat dhohir wa bathin. Kami

ucapkan kepada penulis kitab ini semua ungkapan penghormatan

dengan di sertai semua harapan dan doa.

Semoga selalu bisa saling mendukung karena Allah, saling mencinta

karena Allah . Aamiin

ّٗ١‫اووِٕب ثوفمخ ٔج‬ٚ ُ١ٌ‫ػناثٗ األ‬ٚ ٗ٠‫أعبهٔب ِٓ في‬ٚ ُ١‫ اٌظواؽ اٌَّزم‬ٍٝ‫ ػ‬ٌٝ‫صجّزٕب هللا رؼب‬

ٓ١ِ‫ُ آ‬١‫ عٕخ إٌؼ‬ٍٝ‫ اػ‬ٟ‫ُ ف‬٠‫اٌىو‬

Akhukum, KH. Mufty Ahmad Nasihin

iii
Kitab Tauhid Dasar
SEKAPUR SIRIH PENULIS

ٍ‫ َٔعٕر ببهلل ي‬،ٍّ‫ َٔإيٍ بّ َٔتٕكم عه‬،ٌّ‫ َذًذِ َٔستعٍُّ َٔستغفشِ َٔستٓذ‬،‫ئٌ انذًذ هلل‬

،ّ‫ ٔيٍ ٌضهم فال ْبدي ن‬،ّ‫ يٍ ٌٓذي هللا فال يضم ن‬،‫ششٔس أَفسُب ٔيٍ سٍئبث أعًبنُب‬

،ِ‫أشٓذ أٌ ال ئنّ ئال هللا ٔدذِ ال ششٌك نّ ٔأشٓذ أٌ دمحما عبذِ ٔسسٕنّ ال َبً بعذ‬

‫انهٓى صم عهى سٍذَب دمحم انفبتخ نًب أغهق ٔانخبتى نًب سبق َبصش انذق ببنذق ٔانٓبدي انى‬

‫ أيب بعذ ؛‬،‫صشاطك انًستقٍى ٔعهى أنّ دق قذسِ ٔيقذاسِ انعظٍى‬

halege ilip SelaegeS ipgp lggeS SWT yang dengan nikmat-

Nya segala kebaikan menjadi sempurna, Sholawat beriring Salam

semoga senantiasa tercurah atas Baginda Rasulullah SAW,

keluarganya, para sahabatnya serta segenap umatnya yang berusaha

mengikuti ajarannya.

Tidak diragukan lagi bahwasanya ilmu untuk mengenal Allah

SWT, dengan mengenal sifat-sifat-Nya adalah ilmu yang paling

mulia dan paling utama, serta ilmu yang paling wajib dituntut dan

dipelajari terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu yang lain,

karena pengetahuan terhadap ilmu ini merupakan suatu pondasi bagi

pengetahuan akan ilmu yang lain, dan karena itulah disamping

iv
Kitab Tauhid Dasar
disebut dengan ilmu Tauhid atau ilmu Aqidah, ilmu ini dikenal juga

dengan istilah ilmu Ushul atau Ushuluddin (akar atau pondasi

Agama), sementara ilmu lainnya disebut sebagai ilmu Furu' atau

cabang-cabang Agama.

Demikian juga kaitannya dengan kemanfaatan ilmu ini bagi

kita, ilmu ini merupakan asas utama bagi kita untuk mendapatkan

keselamatan Hakiki dalam kehidupan di Akhirat nanti.

Atas dasar itulah para ulama senantiasa mengarahkan kita

agar mempelajari ilmu ini dengan penuh perhatian agar menjadi suatu

kemantapan dihati dalam berkeyakinan, Sebagaimana firman Allah

dalam Al-Quran;

}٩١ : ‫{سٕسة دمحم‬.. ‫فبػٍُ أَّ ال ئنّ ئال هللا ٔاستغفش نزَبك ٔنهًإيٍٍُ ٔانًإيُبث‬

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah

(sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi

dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan

perempuan”

Dalam ayat diatas Allah SWT telah mendahulukan perintah

untuk mengenal-Nya sebelum perintah untuk menjalankan Amaliyah

Istighfar kepada-Nya, dari sini menurut para ulama, segala Amaliyah

kita baik Istighfar, Sholat maupun Amaliyah lainnya adalah tidak


v
Kitab Tauhid Dasar
dibenarkan sebelum mengetahui ilmu Tauhid, karena itu pula ilmu ini

laksana akar bagi pepohonan atau ibarat pondasi bagi suatu

bangunan.

Syeikh Nawawi Al-Bantani Rah a juga menegaskan masalah

ini dengan mengatakan; "sesungguhnya ilmu ini ibarat suatu pohon,

sedangkan Ibadah adalah buahnya, maka wajib atasmu mengenal Al-

Ma'bud (Dzat yang disembah) terlebih dahulu, sebelum kamu

menyembah-Nya, bagaimana mungkin engkau menyembah Dzat

yang belum engkau kenali nama-nama-Nya dan sifat-sifat bagi Dzat-

Nya, baik sifat-sifat yang Wajib bagi-Nya maupun sifat-sifat yang

Mustahil atas-Nya dengan semestinya? maka jadilah amalanmu

seperti debu tertiup angin.." (lihat: Syarah Maraqi Al-Ubudiyah 'alaa

Bidayah al-Hidayah).

Diantara kitab yang dikarang para ulama yang membahas

pengenalan dasar-dasar Aqidah dalam mentauhidkan Allah adalah

Kitab Manzhumah Aqidatul Awam karya Sayyid Ahmad al-Marzuqi

Rah a, kitab ini beliau tuliskan dalam bentuk Nazhom Syair dalam

Bahar Rajaz agar memudahkan kalangan Awam dalam

menghafalkannya, dan kitab ini juga telah terbukti diterima umat dari

masa ke masa karena telah dirasakan keberkahan dan


vi
Kitab Tauhid Dasar
kemanfaatannya sejak kelahirannya bagi kaum muslimin di seluruh

dunia.

Dan karena keistimewaan serta kelebihannya, tidak sedikit

para ulama yang telah memberikan Syarah (penjelasan) terhadap

kitab ini, namun sangat disayangkan kebanyakan Syarah tersebut

pada umumnya masih menggunakan bahasa Arab sehingga tidak

semua lapisan masyarakat kaum muslimin yang dapat

memahaminya, atas dasar itulah untuk memenuhi harapan sebagian

Ikhwan, dan agar lebih menjangkau berbagai kalangan, kami telah

mencoba menganalisa dan berusaha menelaah, mengkaji dan

kemudian menuliskan penjelasan kitab ini dengan bahasa Indonesia

sedaya kemampuan kami yang Dhaif dan terbatas ini, tentunya pasti

disana sini masih banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan

saran serta masukan dari para alim ulama adalah satu keniscayaan

untuk perbaikan pada cetakan kemudian.

Penjelasan kitab ini merupakan himpunan dari berbagai

referensi karya para ulama Ahlissunnah wal Jamaah, namun kami

lebih menitikberatkan kepada kitab Nuruz Zhalam Syeikh Nawawi

al-Bantani Rah a, Mujaz al-Kalam Sayyid Muhammad ba Athiyah

vii
Kitab Tauhid Dasar
Rah a dan Jalaaul Afham karya Syeikh Ihyaa ulumiiddin

Hafizhahullah.

Besar harapan kami semoga tulisan ini bermanfaat khususnya

bagi kami pribadi dan umumnya bagi kaum Muslimin, bukan hanya

sekedar pelengkap perpustakaan namun juga semoga kiranya dapat

membantu untuk lebih mengenal Allah, karena disitulah letak

kemuliaan sejati seorang hamba, sejauh mana mengenal Allah maka

sejauh itulah kemuliaannya disisi-Nya, Rasulullah SAW adalah sosok

yang paling mengenal Allah, karena itulah Beliau SAW yang paling

mulia disisi-Nya, sebagaimana diungkapkan dalam sabdanya;

}‫ {سٔاِ انبخبسي‬.. ّ‫أٔب أعهًكى ببهلل ٔأخشبكى ن‬

l l eyegeS aell iegpll iallaleg lggeS ypellede egian dan akulah

."aae- aell iegpll le ll ypellede egpel aieye.(HR Bukhari).

Menurut para ulama, meneladani Rasulullah SAW bukan

hanya dari sisi lahiriyah semata, meskipun itu suatu tuntutan, namun

juga yang lebih sempurna ialah meneladani Beliau SAW dalam Hal

Batiniah.

Akhirul Kalam, kami menyampaikan ribuan terimakasih

terhadap semua pihak yang telah membantu terwujudnya tulisan


viii
Kitab Tauhid Dasar
ini,Khususnya kepada Shahibul Fadhilah KH. Mufty Ahmad

Nashihin yang telah memberikan kata pengantar, Jazaakumullahu

Ahsanal Jazaa.

Langkat, 21 Dzulqa’dah 1442 H

02 Juli 2021 M

Jalaluddin Al-Tijani

ix
Kitab Tauhid Dasar
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


SEKAPUR SIRIH PENULIS ................................................................... iv
DAFTAR ISI ..................................................................................... x
BIOGRAFI SAYYID AHMAD AL-MARZUQI RAH................................. xiii
SANAD PENULIS TERHADAP KITAB MANZHUMAH AQIDATUL AWAM
...................................................................................................... xvii
BAB 1 .................................................................................................1
MUQADDIMAH..................................................................................1
BAB II ...............................................................................................21
KEWAJIBAN MENGENAL ALLAH BESERTA ........................................21
SIFAT-SIFAT-NYA..............................................................................21
Hukum Ahlul Fatrah ............................................................24
Hukum kedua ibu bapak Rasulullah SAW ...........................29
Makna makrifat kepada Allah SWT dan hukumnya ............39
Hukum bertaqlid dalam bertauhid .....................................40
Kewajiban pertama seorang Mukallaf ................................46
Arti Sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz bagi Allah ......................47
BAB III ..............................................................................................50
MENGENAL SIFAT 20 .......................................................................50
Pembagian sifat dua puluh .................................................63
Hikmah penetapan sifat Maknawiyah. ...............................65
Ta'alluq sifat-sifat Ma'ani....................................................66
Kajian sifat 20 sebagai sarana efektif untuk menguatkan
dan meluruskan Aqidah umat .............................................68
BAB IV ...........................................................................................73
SIFAT JAIZ BAGI ALLAH ...........................................................73
x
Kitab Tauhid Dasar
Larangan menisbatkan keburukan kepada Allah. ...............77
BAB V ...............................................................................................81
SIFAT WAJIB, JAIZ DAN KEMAKSUMAN PARA NABI ........................81
'ALAIHIM AL-SHALATU WASSALAM. ................................................81
Sifat-sifat yang Wajib bagi para Rasul .................................89
Sifat Jaiz bagi para Nabi 'alaihim al-Shalatu Wassalam .......94
Kemaksuman para Nabi dan kelebihan derajat mereka
diatas Malaikat. ..................................................................98
BAB VI ............................................................................................106
SIFAT MUSTAHIL BAGI ALLAH DAN PARA NABI .............................106
ALAIHIM AL-SHALATU WASSALAM ................................................106
BAB VII ...........................................................................................109
PARA RASUL 'ALAIHIM AL-SHALATU WASSALAM ..........................109
YANG TERSEBUT DALAM AL-QUR'AN ............................................109
BAB VIII ..........................................................................................126
BERIMAN KEPADA PARA MALAIKAT ..............................................126
BAB IX ............................................................................................138
BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH SWT DAN KEWAJIBAN
MENAATI RASULULLAH SAW .........................................................138
Shuhuf-Shuhuf Samawiyah. ..............................................144
Kewajiban menerima semua ajaran Rasulullah SAW ........145
BAB X .............................................................................................148
BERIMAN KEPADA HARI AKHIR......................................................148
BAB XI ............................................................................................172
KETINGGIAN DERAJAT RASULULLAH SAW .....................................172
BAB XII ...........................................................................................188
NASAB, KELAHIRAN DAN KEWAFATAN..........................................188

xi
Kitab Tauhid Dasar
RASULULLAH SAW .........................................................................188
Kelahiran dan kewafatan Rasulullah SAW ........................198
Masa Nubuwwah Rasulullah SAW ....................................200
BAB XIII ..........................................................................................202
PUTRA PUTRI RASULULLAH SAW ...................................................202
Kewajiban mencintai Ahlul Bait Rasulullah SAW ..............209
Semestinya bagi Ahlul Bait................................................218
Sekelumit Biografi Khulafaa al-Rasyidin ............................220
BAB XIV..........................................................................................226
ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW .......................................................226
Khushushiyyah Rasulullah SAW ........................................237
Hikmah dibalik Poligami Rasulullah SAW ..........................244
BAB XV...........................................................................................249
PAMAN DAN BIBI RASULULLAH SAW ............................................249
BAB XVI..........................................................................................256
ISRA' DAN MI'RAJ RASULULLAH SAW ............................................256
Hukum mengingkari peristiwa Isra' dan Mi'raj .................262
Melihat Allah 'Azza wa Jalla ..............................................262
Anugerah Shalat lima waktu .............................................264
Ujian keimanan Umat dalam Peristiwa Isra' dan Mi'raj ....267
BAB XVII.........................................................................................272
KHATIMAH (PENUTUP) ..................................................................272
TEKS AQIDATUL AWWAM .................................................................2
BA'DHUL MARAJI' ( SUMBER RUJUKAN ) ...........................................1

xii
Kitab Tauhid Dasar
BIOGRAFI SAYYID AHMAD AL-MARZUQI RAH

Sayyid Ahmad bin Muhammad Ramadhan bin Manshur bin

Muhammad bin Syamsuddin al-Marzuqi al-Maliki al-Hasani Rah a,

merupakan salah seorang Ahlul Bait Rasulullah SAW dari jalur

Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib Ra, dipanggil juga dengan

nama Kuniyah Abul Fauz.

Beliau adalah salah seorang pengajar tetap di Masjid al-Haram

sekaligus sebagai Mufti madzhab Maliki dimasanya.

Salah seorang muridnya yang terkenal adalah Allamah Sayyid

Ahmad Zaini Dahlan Rah a.

Sayyid Ahmad al-Marzuqi Rah a memiliki karya tulis lainnya

selain dari kitab Manzhumah Aqidatul Awam, diantaranya:

- Tashilu Nail al-Maram, Syarah Manzhumah Aqidatul Awam,

- al-Fawaid al-Marzuqiyah,

- Syarah al-Jurumiyah,

- Manzhumah 'Ilmi al-Falak

- Manzhumah 'Ishmat al-Anbiya dan lain-lain.

xiii
Kitab Tauhid Dasar
Sayyid Ahmad al-Marzuqi Rah a wafat pada tahun 1262 H dan

dikebumikan di pemakaman Ma'laa Makkah al-Mukarramah.

Adapun yang menjadi penyebab Beliau mengarang kitab Manzhumah

Aqidatul Awam diceritakan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani Rah a

dalam Nuruz Zhalam sebagai berikut;

"Suatu malam Sayyid Ahmad al-Marzuqi Rah a bermimpi melihat

Rasulullah SAW dalam tidurnya, tepatnya di akhir malam Jum'at

pada Jum'at pertama bulan Rajab 1285 H, saat itu Baginda Rasulullah

SAW dikelilingi oleh para sahabatnya, maka Rasulullah SAW

bersabda kepada Sayyid Ahmad al-Marzuqi Rah a : "Bacalah

Nazham-Nazhom ilmu Tauhid yang mana siapa saja yang

menghafalnya niscaya akan masuk Surga dan akan tercapai segala

cita-citanya yang baik yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah",

Sayyid Ahmad al-Marzuqi Rah a bertanya: "Nazhom yang manakah

wahai Rasulullah SAW?", Para Sahabat R hum berkata: "

Dengarkanlah apa yang akan dikatakan Rasulullah SAW..",

Rasulullah SAWradaerye : "nellll ellah oleh mu .."

٫" ًٍ‫أبذأ ببسى هللا ٔانشد‬

xiv
Kitab Tauhid Dasar
edal p neS e ill ilgep iagellll ellae yedp -heaapy lSiey eg

;iadilgeel

...... ًٍ‫أثلأ ببسى هللا ٔانشد‬

hehingga berakhir pada Nazhom:

‫فٍٓب كالو انذكى انعهٍى‬ ‫طؾف انخهٍم ٔانكهٍى‬ٚ

Kemudian ketika terjaga dari tidurnya, beliau Rah a mengulang

semua yang dibacanya dihadapan Rasulullah SAW dalam mimpinya,

ternyata beliau masih hafal seluruh bait-bait Nazhom tersebut,

kemudian pada waktu sahur malam Jum'at pada tanggal 28 Dzul

qa'dah tahun yang sama, beliau Rah a bermimpi kembali melihat

Baginda Rasulullah SAW, pada kali yang kedua ini Rasulullah SAW

bersabda kepadanya: "Bacalah apa yang sudah engkau himpun di

dalam hatimu.. ", Sayyid Ahmad al-Marzuqi Rah a pun membacanya

kembali dari awal hingga akhir dihadapan Rasulullah SAW,

sedangkan para sahabat duduk mengitarinya sembari mengatakan:

"Aamiin .." pada setiap akhir bait syair. Setelah selesai seluruhnya

Rasulullah SAW bersabda kepadanya:

xv
Kitab Tauhid Dasar
"Semoga Allah SWT memberikan Taufik kepadamu terhadap apa

yang diridhai-Nya dan menerima usahamu, memberikan berkah

atasmu dan atas orang-orang yang beriman dan semoga ini menjadi

manfaat bagi hamba-hamba Allah SWT ".

Dan kemudian ketika berita tentang mimpi tersebut tersiar di

khalayak ramai, beliau Rah a ditanya oleh mereka tentang Nazhom

tersebut, maka beliau membacakan kepada mereka dengan

menambahkan bait-bait selanjutnya, yakni mulai dari:

‫فذقّ انتسهٍى ٔانقبٕل‬ ‫وً يب أتى بّ انشسٕل‬ٚ

"Segala apa saja aell ypreRe egaS nealglggeS semestinya diterima

dengan lapang dada .. ".

xvi
Kitab Tauhid Dasar
SANAD PENULIS TERHADAP KITAB MANZHUMAH
AQIDATUL AWAM

Kami meriwayatkan kitab Aqidah Awam secara Sima'

beserta Syarah Syeikh Nawawi al-Bantani Rah a dari guru kami

Allahu Yarham al-Sayyid Muhammad Fadhli al-Yamani Rah a di

Kuala lumpur Malaysia.

Dan kami juga meriwayatkan secara Ijazah dari KH Ihyaa

Ulumiiddin al-Jawi Hafizhahullah akan Syarah beliau yang bernama

Jalaaul Afham bi Syarhi Aqidatil Awam yang merupakan himpunan

Syarah dari Guru beliau yakni Muhaddits al-Haramain Allamah

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani Rah a.

Demikian juga kami meriwayatkan dengan Sanad lain

melalui guru kami al-Musnid Syeikh Muhammad Husni Ginting al-

Langkati al-Azhari Rah a dari Syeikh Hasan bin Ahmad ad-Dari al-

Mandaily Rah a dari Syeikh Abbas bin Abdul Aziz Al-Maliki Rah a

dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Rah a dari Sayyid Ahmad al-

Marzuqi Rah a.

xvii
Kitab Tauhid Dasar
BAB 1
MUQADDIMAH

Sheikh Ahmad Marzuqi Rahimahullah berkata;

ْ‫َب‬
َ ‫اإلؽ ْـ‬
ِ ُ‫ ُِْ كَا ِئ ِـ‬١‫بٌوؽـ‬
‫ ِث ه‬َٚ ِٓ ‫اٌوؽ ْــّ ٰـ‬ ِ ‫اَثْـلَا ُ ِثَ ْـ ِـُ ه‬
‫ ه‬َٚ ‫َّللا‬
ٰ ْ‫ ا‬ٚ
‫ ِي‬ُّٛ َ‫ ِث ََل رَؾـ‬ٝ‫ألفــِ ِو اٌْجـب َ ِل‬ ِ ‫ ْـ‬٠‫ّٰلل ْاٌمَ ِل‬
‫ ِي‬ٚ‫ــُ اْأل َ ه‬ ِ ‫فَ ْبٌؾــ َ ّْلُ ه‬

ّ ‫ إٌه ِج‬ٍٝ
َ‫ؽـهل‬َٚ ‫ ِْو َِ ْٓ لَ ْل‬١‫ ِ َف‬ٟ َ ‫ػ‬َ َ َُ ‫َ ََل‬
‫ٍ ْو َِل‬ ‫ص ُ هُ اٌ ه‬
‫اٌ ه‬َٚ ُ ‫ظ ََلح‬

‫ َْو ِـ ُ ْجز َ ِل ْع‬١‫غ‬ ِ ّ ‫ ِْٓ ْاٌ َؾ‬٠‫ ًَ ِك‬١ْ ِ‫ٍج‬


َ ‫ك‬ َ ْ ِ‫ـٓ رَج‬
‫ـغ‬ َ َٛ ِٙ ‫ ٰا ٌِـ‬َٚ
ْ َِ َٚ ِٗ ِ‫طــــؾـْج‬

"Aku memulai penulisan kitab ini dengan menyebut nama

Allah yang maha pengasih dan maha penyayang yang senantiasa

mencurahkan berbagai kebaikan".

"Segala puji bagi Allah, Dzat yang terdahulu, yang Awal dan

yang Akhir serta kekal tanpa ada perubahan".

Semoga Sholawat dan Salam sejahtera selamanya tercurah

atas Nabi Muhammad Saw, sebaik baik hamba yang mentauhidkan-

Nya".

"Dan atas keluarganya, para sahabatnya serta orang-orang

yang mengikuti agama yang Haq tanpa berbuat kebid'ahan".

1
Kitab Tauhid Dasar
Penjelasan :

Lafadz ٍُ‫ا‬ berasal dari lafadz. ٌَّٛ‫ا‬ Yang artinya

ketinggian, dengan demikian penyebutan nama menunjukkan akan

kemuliaan sesuatu yang diberi nama dan ketinggian derajat nya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa Lafadz ٍُ‫ا‬ Juga berasal

dari ٌٍُٛ‫ا‬ Yang artinya alamat atau tanda-tanda, dengan

demikian nama (Isim) merupakan suatu pertanda yang dapat

menunjukkan kepada sesuatu yang diberi nama (Musamma).

Lafadz ‫ هللا‬dikenal juga dengan sebutan lafzhul jalalah,

sebagian ulama mendefinisikan sebagai suatu nama bagi satu Dzat

yang Wajibul Wujud yang berhak untuk disembah dengan

sebenarnya.

Sheikh Muhammad bin Ali ba athiyah Rah a dalam kitab

Mujazul Kalam mendefinisikan lafadz Allah sebagai suatu nama bagi

Dzat yang memiliki sifat sifat yang sempurna dan terbebas dari

segala kekurangan, dan menurut beliau lafadz Allah dikenal juga

sebagai Ismul A'zhom dengan merujuk pendapat para ahli Tahqiq.

Sedangkan Imam Nawawi Rah a, beliau memilih lafadz al Hayyul

Qoyyum sebagai Ismul A'zhom ( nama Allah yang teragung).

2
Kitab Tauhid Dasar
Adapun mengenai akar kata (Musytaqq) atau asal

pengambilan lafadz Allah, para ulama berbeda pendapat, sebagian

mereka mengatakan berasal dari lafadz ٌٗٚ (kebingungan), lafazh

tersebut mengalami proses I'lal, sehingga menjadi lafadz ‫هللا‬ ,

dengan demikian menurut mereka Allah SWT akan membuat

bingung atau keheranan bagi siapa saja yang mencoba memikirkan

hakikat Dzat , sifat dan keagungan -Nya. Ulama lainnya berpendapat

bahwa lafadz Allah berasal dari lafadz ٌٗ‫ ا‬Yang artinya damai,

tentram atau nyaman, dengan demikian membawa pengertian bahwa

setiap akal atau jiwa akan merasakan damai, tentram dan nyaman

dengan mengingat -Nya dan hati terasa bahagia dengan makrifat

kepada -Nya.

Pendapat lain dari para ulama mengatakan berasal dari lafad

ٌٌٗٛ‫ ا‬, artinya cinta yang teramat sangat. Masih banyak pendapat

lainnya yang dikemukakan para ulama mengenai akar kata (Isytiqaq)

lafadz Allah, disamping itu ada juga diantara ulama yang

berpendapat bahwa lafadz Allah tidak memiliki akar kata apapun

dalam bahasa Arab, menurut mereka lafadz Allah telah ada dengan

tanpa memandang sifat atau makna tertentu, pendapat terakhir ini lah

3
Kitab Tauhid Dasar
yang dipilih imam ar-Razi, imam al-Khalil dan Imam Sibaweh serta

kebanyakan ahli Ushuluddin.

Lafadz ّٓ‫ اٌوؽ‬dan ُ١‫ اٌوؽ‬berasal dari lafadz ‫ اٌوؽّخ‬Yang

maknanya menurut bahasa adalah sifat belas kasih atau perasaan

yang halus yang dapat mengarahkan pada berbuat kebaikan. Namun

makna Lughawi tersebut mustahil bagi Haq Allah SWT menurut para

ulama. Para ulama berselisih pendapat apakah al-Rahman dan al-

Rahim dua lafadz yang semakna atau berbeda, sebagian mereka

mengatakan sama maknanya, pendapat tersebut diusung oleh imam

Abu Ubaid, namun pendapat jumhur atau mayoritas ulama

mengatakan berbeda. Abu Ali Al farisi mengatakan bahwa al-

Rahman adalah satu nama yang bersifat umum bagi segala macam

bentuk kasih sayang yang khusus milik Allah SWT, sedangkan al

Rahim hanya untuk orang yang beriman sebagaimana dalam ayat

"wa kaana bil mu miniina Rahiimaa". Dan Sheikh 'Urzumi

mengatakan bahwa al-Rahman bagi seluruh makhluk Allah SWT

seperti nikmat curahan hujan, nikmat panca indera dan nikmat nikmat

umum lainnya, sedangkan al-Rahim khusus bagi orang yang

beriman berupa hidayah-Nya.

4
Kitab Tauhid Dasar
Menurut ulama lainnya Al-Rahman bermakna pemberi

nikmat yang besar atau dasar dasar nya seperti nikmat keimanan,

kesehatan, Rizqi, pendengaran, penglihatan dan lain lain. Sedangkan

al-Rahim bermakna pemberi nikmat yang halus atau cabang cabang

nya seperti bertambahnya keimanan, keluasan Rizqi, ketajaman

penglihatan atau pendengaran dan sebagainya. Imam Qurtubi Rah a

dalam kitab tafsirnya menukil ungkapan yang masyhur dikalangan

ulama, "al-Rahman khosshul ismi,'aamul fi'li wal Rahim 'aamul

ismi, khosshul fi'li", artinya lafadz al-Rahman adalah nama yang

khusus bagi Allah namun sasarannya untuk umum, sedangkan al-

Rahim nama yang umum bagi siapa saja (boleh dijadikan nama bagi

Allah maupun selain Allah) namun sasarannya bersifat khusus (hanya

untuk orang beriman).

Kedua lafadz tersebut sering disandingkan sebagai isyarat

bahwa seyogyanya kita berharap dan selalu meminta pada Allah akan

berbagai nikmat -Nya meskipun kecil atau remeh dalam pandangan

kita sebagaimana kita berharap terhadap nikmat -nikmat -Nya yang

besar. Kemudian menurut para ulama, Ar Rahmah dalam Haq Allah

SWT boleh dikategorikan sebagai sifat bagi Zat- Nya, dan bisa juga

dikategorikan sebagai sifat bagi Fi'il-Nya. Jika disebut sebagai sifat

5
Kitab Tauhid Dasar
Dzat maknanya Allah SWT memiliki Iradah atau kehendak

memberikan ganjaran dan kebaikan serta kehendak untuk menolak

keburukan, yang berarti Allah SWT telah bersifat Rahman dan

Rahim sejak azali karena Iradah atau kehendak Allah itu bersifat

azali. Dan jika disebut sebagai sifat Fiil maknanya Allah SWT akan

memberikan kebaikan atau menolak keburukan dari orang-orang

yang telah Dia kehendaki.

Diantara Perbedaan antara sifat Dzat dan sifat Fiil ialah kalau

sifat Dzat merupakan sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan mustahil

bersifat dengan sifat yang menjadi lawannya, contohnya sifat Qudrah

(kuasa), Ilmu (Mengetahui) dan Baqo (kekal), sifat - sifat tersebut

berdiri pada Dzat-Nya dan mustahil Allah bersifat kebalikan sifat -

sifat tersebut yaitu lemah, bodoh dan binasa. Sedangkan sifat Fiil

ialah sifat yang boleh ada pada diri-Nya dan boleh pula Allah bersifat

dengan sifat lawannya atau kebalikannya, contoh sifat Fiil ialah sifat

Ridho, Naafi' (memberikan kemanfaatan) dan sifat Muhyi

(menghidupkan). Sifat tersebut boleh ada pada Allah dan boleh juga

Allah bersifat kebalikannya yaitu sifat Ghodhob (murka), Dhoorr

(menimpakan kemadhorotan) dan sifat Mumit (mematikan).

6
Kitab Tauhid Dasar
Lafadz ‫ اٌؾّل هلل‬termasuk diantara lafadz-lafadz yang

digunakan sebagai pujian kepada Allah, Lafadz ‫اٌؾّل‬ menurut

bahasa adalah pujian dengan lisan terhadap suatu kebaikan yang telah

diperbuat yang disertai adanya pengagungan, baik sebagai balasan

atas kebaikan tersebut ataupun tidak. Sebagai contoh jika ada

seseorang yang telah berbuat baik kepada kita atau berjasa dalam

hidup kita maka kita akan mengatakan , "si Fulan adalah orang yang

mulia", perkataan tersebut merupakan ungkapan pujian (Hamd)

untuk membandingi kebaikan atau jasa orang tersebut. Contoh

lainnya jika kita melihat seseorang yang baik akhlaknya, sopan

santun prilakunya, semangat beribadahnya, maka hal itu dapat

memicu orang lain untuk memujinya misalnya dengan ungkapan,"si

Fulan adalah orang yang baik". Perkataan tersebut merupakan bentuk

Hamd (sanjungan) yang tidak didasarkan atas balasan suatu

kebaikan yang diterima penyanjungnya.

Hamd (pujian) menurut istilah syariat ialah suatu perbuatan

yang dapat memberitakan adanya pengagungan terhadap pemberi

nikmat yang disebabkan karena pemberi nikmat tersebut (Allah

SWT) telah memberikan nikmat -Nya kepada si pemuji ataupun pada

7
Kitab Tauhid Dasar
orang lain yang mana pujian tersebut dapat direalisasikan baik

dengan i'tiqad hati, ucapan lisan maupun perbuatan anggota tubuh.

Sheikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nuruzzhalam telah

membagi pujian menjadi 4 bagian yaitu;

1. Pujian Allah SWT pada diri -Nya (Hamdu Qadiim Li Qadiim),

contohnya adalah firman Allah SWT ;

ِ ‫ ِٔ ْؼ َُ إٌه‬َٚ ٌٰٝ ْٛ َّ ٌ‫ِٔ ْؼ َُ ْا‬


‫ ُْو‬١‫ظ‬

"Dia (Allah) sebaik baik pelindung dan sebaik-baik

penolong" (QS Al Anfal : 40)

2. Pujian Allah kepada makhluk -Nya (Hamdu Qadiim Li

haadits). Contohnya firman Allah SWT yang memuji Rasulullah

Saw ;

"ٍُْ ١‫ػ ِظ‬ ٍ ٍُ‫ ُف‬ٍٰٝ َ‫ أِه َه ٌَؼ‬َٚ


َ ‫ك‬

"Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar benar berbudi

pekerti yang agung" (QS Al Qalam :4).

3. Pujian makhluk kepada Allah (Hamdu haadits Li Qadiim)

contohnya perkataan Nabi Isa as sebagaimana disebutkan dalam

Al-Qur'an ;

ِ ْٛ ُ١ٌُُْ‫ػ َّلَ َُ ا‬
‫ة‬ َ ْٔ َ‫ َٔ ْف َِ َه أِه َه ا‬ْٟ ِ‫ َل اا َ ْػٍَ ُُ َِب ف‬َٚ ْٟ َِ ‫ َٔ ْف‬ْٟ ِ‫ر َ ْؼٍَ ُُ َِب ف‬
َ ‫ذ‬

"Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku dan aku


8
Kitab Tauhid Dasar
tidak mengetahui apa yang ada pada -Mu, sesungguhnya

engkau maha mengetahui yang ghaib" ( QS Al Maidah

:116)

4. Pujian makhluk kepada makhluk (Hamdu haadits Li haadits)

contohnya banyak dalam berbagai riwayat yang

menyebutkan pujian Rasulullah Saw kepada beberapa orang

sahabat seperti Abu bakar Shiddiq Ra, Umar Ra dan sebagainya.

Di samping itu menurut para ulama, pujian memiliki rukun rukun

yang mesti terpenuhi, yaitu ;

1. Haamid (yang memuji)

2. Mahmuud (yang mendapat pujian)

3. Mahmuud bih (sesuatu yang digunakan untuk memuji /

lisan)

4. Mahmuud alaih (dasar yang menyebabkan adanya pujian /

nikmat atau suatu keutamaan)

5. Shighot (lafadz-lafadz pujian) contohnya ucapan

Alhamdulillah.

Kemudian jika dipandang dari segi hukum ahkam pujian, para

ulama memberikan perincian sebagai berikut;

9
Kitab Tauhid Dasar
1. Wajib : ucapan Hamdalah dalam sholat (Al Fatihah) dan dalam

khutbah Jum'at.

2. Sunnah: membaca hamdalah dalam pembukaan doa, dzikir atau

penulisan kitab.

3. Makruh: membaca hamdalah karena mengerjakan perkara yang

makruh pada dzat nya seperti mencabut uban atau mencukur

jenggot bila berpegang dengan pendapat yang memakruhkanya.

4. Haram: membaca hamdalah karena mengerjakan perkara yang

haram pada dzat nya seperti berjudi, meminum khamar dan

sebagainya.

Lafadz ‫اد‬ٍٛ‫ ط‬menurut bahasa adalah doa kebaikan, dan

bila lafadz Sholawat disandarkan kepada Allah SWT maknanya

adalah bertambahnya nikmat dari Allah dengan disertai

penghormatan dan pengagungan. Sebagian ulama mengatakan bila

Sholawat berasal dari Allah maknanya pemberian Rahmat Ta'zhim

, dan bila berasal dari malaikat bermakna Istighfar atau permohonan

ampun, dan seandainya berasal dari manusia atau jin berarti doa

kebaikan.

Lafadz َ‫ اٌََل‬menurut Imam Bajuri Rah a bermakna suatu

penghormatan yang layak dari Allah SWT untuk Baginda Nabi

10
Kitab Tauhid Dasar
Muhammad Saw. Sedangkan sebagian ulama menafsirkan Assalaam

dengan makna Al Aman yang berarti rasa aman dari segala apa saja

yang menakutkan.

Lafadz ٟ‫ إٌج‬berasal dari lafadz ‫ إٌجبء‬yang artinya berita

atau Khabar menurut sebagian ulama, jika demikian Nabi berarti

seorang pembawa berita dari Allah SWT. Sebagian ulama lainnya

berpendapat bahwa lafadz ٝ‫ إٌج‬berasal dari ‫ح‬ٚ‫ إٌجب‬/ ‫ح‬ٛ‫ إٌج‬yang

artinya ketinggian, jika demikian Nabi berarti seorang yang

ditinggikan derajatnya dan kemuliaannya diatas seluruh makhluk

serta menjadi penyebab kemuliaan dan ketinggian derajat orang

orang yang menjadi pengikutnya sebagaimana yang Allah SWT

firmankan;

)٘٘ : ْ‫ (اي ػّوا‬...‫ا‬ْٚ ‫َْٓ َوفَ ُو‬٠‫قَ اٌه ِن‬ْٛ َ‫ َن ف‬ْٛ ُ‫َْٓ ارهجَؼ‬٠‫ َعب ِػ ًُ اٌه ِن‬َٚ

“Dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu diatas orang-

orang kafir” ( Al-Imran :55 )

Adapun pengertian Nabi secara umum adalah seorang lelaki

merdeka dari kalangan Bani Adam yang bernasab mulia serta

terbebas dari aib yang dapat mengurangi derajat kemuliaannya yang

mana telah menerima Wahyu dari Allah dan diberikan syariat untuk

diamalkan namun tidak diberi perintah untuk menyampaikan pada

11
Kitab Tauhid Dasar
orang lain. Sebaliknya jika Dia mendapat perintah untuk

menyampaikan syariat tersebut (Tabligh) maka Dia adalah seorang

Rasul sekaligus seorang Nabi. Wal Hashil, seorang Rasul berarti

Nabi dan seorang Nabi belum tentu menjadi Rasul.

Namun perbedaan pengertian antara Nabi dan Rasul diatas

bukanlah hal yang disepakati para ulama, Syeikh Abdurrauf al-

Manawi Rah a dalam Al-Faidhul Kabir Syarah al-Jaami'us Shaghir

mengutip pendapat sebagian ahli Tahqiq seperti Ibnul Hammam, Az-

Zamakhsyari, al-Adhud, al-Taftazani dan Syarif al-Jurjani yang

mengatakan bahwa lafazh Nabi dan Rasul adalah semakna

(Mutaradifain), tidak ada perbedaan pengertian diantara kedua lafazh

tersebut melainkan hanya sekedar perbedaan penulisan.

Dalam bait syair yang ketiga diatas disebutkan lafadz ِٓ ‫و‬١‫ف‬

‫ؽل‬ٚ ‫( لل‬Rasulullah Saw sebaik- baik hamba yang mentauhidkan

Allah). Maksudnya ialah bahwa diantara semua hamba Allah yang

mentauhidkan-Nya, baik dari kalangan orang yang beriman pada

umumnya bahkan dari semua para Auliya dan para Anbiya, yang

paling Afdhol atau paling tinggi derajatnya adalah Rasulullah Saw.

Telah masyhur dikalangan para ulama Ahlussunnah adanya ketetapan

Ijma' (kesepakatan), sehingga bahkan dari kaum Muktazilah bahwa

12
Kitab Tauhid Dasar
Nabi Muhammad Saw adalah sebaik-baik makhluk secara mutlak

baik dari golongan manusia, jin maupun malaikat. Kecuali pendapat

Sheikh Zamakhsyari yang menurutnya Jibril as yang paling utama,

pendapat ini tentunya di tolak karena menyelisihi Ijma' ulama

Ahlussunnah.

Imam Bushairi Ra mengatakan dalam qashidah Burdah;

ٍَ ‫ َو َو‬ْٟ ِ‫ ف‬َٚ ٍُ ٍْ ‫ ِػ‬ْٟ ِ‫ُٖ ف‬ْٛ ُٔ‫ُلَا‬٠ ُْ ٌَ َٚ ٍ ٍَْ ‫ ف‬ْٟ ِ‫َْٓ ف‬١ّ١ِ ‫فَبقَ إٌه ِج‬
ٍ ٍُ‫ ُف‬ْٟ ِ‫ ف‬َٚ ‫ك‬
‫ك‬

"Beliau Rasulullah Saw mengungguli para nabi-nabi yang lain


lahir dan batin, mereka tidak dapat mendekati derajatnya dalam
ilmu dan kemuliaan".

Lafadz ٌٗ‫( أ‬keluarga Nabi Saw) yang selalu dibaca dalam

berbagai bentuk Sholawat memiliki banyak makna menurut berbagai

sudut pandang, jika lafadz ٌٗ‫ أ‬Dibaca ketika berdoa maknanya

meliputi setiap siapa saja orang yang beriman meskipun sering

bermaksiat, karena seorang pendosa adalah orang yang paling

berhajat terhadap manfaat doa tersebut. Dan apabila digunakan dalam

pujian, maknanya ialah setiap orang yang bertaqwa dan kuat

keimanannya. Sedangkan apabila digunakan atau dibahas dalam bab

Zakat, maksudnya ialah Bani Hasyim atau Bani Muthalib.

13
Kitab Tauhid Dasar
Sheikh Muhammad bin Arobi al Saih al Umari al Tijani Ra

mengatakan dalam kitab Bughyatul Mustafid bahwa lafadz ٌٗ‫ أ‬Dalam

Maqom doa adalah untuk semua umat Rasulullah Saw, namun

meskipun demikian semestinya kita yang membacanya agar

mengkhususkan keluarga Nabi Saw dengan penambahan

pengagungan dan kemuliaan.

Lafadz ٗ‫ طؾج‬artinya para sahabat Rasulullah Saw, yakni

orang yang bertemu dengan Nabi Saw dalam keadaan beriman

kepada beliau setelah beliau diutus sebagai Rasul, meskipun tidak

melihat atau meriwayatkan hadits Beliau Saw dan meskipun belum

Mumayyiz (menurut pendapat yang shohih) dan kemudian dia mati

dalam keimanan.

Dari pengertian Sahabat diatas bisa diambil beberapa kesimpulan;

 Jika seseorang beriman sebelum beliau diangkat sebagai Rasul

maka tidak bisa disebut sebagai sahabat, contohnya Waroqoh bin

Naufal.

 Melihat Nabi Saw dengan mata kepala tidak menjadi syarat

seorang dikatakan Sahabat, karena itu Abdulloh bin ummi

Maktum Ra seorang yang buta, beriman dan hidup di zaman

beliau termasuk Sahabat beliau.


14
Kitab Tauhid Dasar
 Anak kecil yang belum Mumayyiz di zaman Rasulullah Saw,

beriman kepada beliau termasuk Sahabat Beliau.

 Jika seseorang beriman yang hidup di zaman Rasulullah Saw

dikemudian hari mati dalam keadaan murtad atau keluar dari

Islam maka tidak disebut sebagai sahabat, contohnya Abdulloh

bin khathal, namun jika yang murtad itu kembali lagi masuk

Islam maka boleh disebut sebagai sahabat, contohnya adalah

Abdullah bin Abi assarh.

Yang dimaksud dengan ‫ٓ اٌؾك‬٠‫ ك‬dalam bait syair diatas ialah

agama yang sesuai dengan Al Qur'an dan al Sunnah serta Ijma' dan

Qiyas, dalam hal ini ungkapan tersebut mengecualikan agama yang

bathil, baik bathil pada asalnya seperti agama diluar Islam (termasuk

Atheisme) maupun orang yang beragama Islam namun beraqidah

diluar Aqidah Ahlussunah wal Jamaah. Makna al-Diin menurut

bahasa ialah apa saja yang dijadikan sebagai agama baik bersifat Haq

maupun bathil, sedangkan maknanya menurut istilah ialah segala

yang telah disyariatkan Allah SWT melalui lisan Rasulullah Saw

daripada hukum ahkam. Menurut para ulama lafadz ٓ٠‫ اٌل‬memiliki

ragam makna, diantaranya al-Tho'ah (ketaatan), Ibadah

15
Kitab Tauhid Dasar
(penghambaan diri), Jazaa (hari pembalasan), Al Hisab (hari

perhitungan) dan lain lain.

Yang dimaksud dengan lafadz ‫و ِجزلع‬١‫ غ‬dalam bait syair

diatas ialah bukan pelaku Bid'ah dalam aqidah seperti Khowarij,

Muktazilah, Rafidhoh, Mujassimah dan sebagainya. Menurut bahasa

Bid'ah adalah sesuatu yang diada adakan dengan tanpa contoh

sebelumnya, sedangkan menurut istilah ialah sesuatu yang diada

adakan bila menyelisihi Syariat.

Telah masyhur perkataan Imam Syafi'i Rah a yang membagi

Bid'ah menjadi dua bagian, yaitu;

1. Perkara baru yang menyelisihi Al Qur'an, Al Sunnah ataupun

Ijma' ulama, inilah yang dikenal sebagai Bid'ah Dholalah

(Bid'ah yang sesat) atau Madzmumah (tercela)

2. Perkara baru yang berupa kebaikan kebaikan yang tidak

menyelisihi Al Qur'an, Al Sunnah maupun Ijma' ulama, inilah

yang dikenal sebagai Bid'ah Hasanah (Bid'ah yang baik) atau

Bid'ah ghoiru Madzmumah (Bid'ah yang tidak tercela)

Sejalan dengan pernyataan Imam Syafi'i diatas, Imam

Nawawi Rah a menyebutkan dalam Syarah Shohih Muslim;

16
Kitab Tauhid Dasar
"adapun sabda Rasulullah Saw ‫ وً ثلػخ ػَلٌخ‬ٚ Ini adalah lafadz
umum yang dikhususkan ('aamun makhshush), yang maksudnya
ialah keumuman Bid'ah, Ahlullughat berkata: "Bid'ah ialah
sesuatu yang diamalkan dengan tanpa contoh sebelumnya", para
ulama mengatakan Bid'ah ada lima macam yaitu wajib, Sunnah,
Harom, Makruh dan Mubah, diantara Bid'ah yang wajib ialah
penyusunan dalil-dalil ahlil Kalam untuk menolak kaum Atheis
dan ahli Bid'ah dan semacamnya, diantara Bid'ah yang Sunnah
ialah mengarang kitab kitab ilmiah membangun Madrasah atau
Ribath dan lainnya, diantara Bid'ah yang Mubah ialah berluas
luas dalam aneka ragam bentuk makanan dan lainnya, sedangkan
Bid'ah yang Harom serta Makruh contohnya telah jelas, aku telah
menjelaskan masalah ini beserta dalil-dalil nya dengan panjang
lebar dalam kitab Tahdzibul Asma wallughot.."
Selain Imam Nawawi, para ulama lainnya juga menyatakan

demikian, diantara mereka ialah;

 Sheikh Izzuddin bin Abdussalam Rah a dalam Al Qawaid

 Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rah a dalam Fathul Bari

 Imam Syaukani Rah a dalam Nailul Author

 Sheikh Asshon'ani Rah a dalam Subulussalam

 Sheikh Azzarqani Rah a dalam Syarah Al muwattho.

 Imam Ibnu Asakir dalam Tabyiinu Kidzb al-Muftariy.

Hikmah dan Faedah :

17
Kitab Tauhid Dasar
 Sheikh Ahmad Marzuqi Rah a memulai penulisan kitab Aqidah

awam dengan menyebut nama Allah SWT adalah sebagai

pengakuan beliau akan kelemahan diri sehingga beliau memohon

pertolongan Allah yang maha pengasih dan penyayang yang

Rahmat -Nya meliputi segala sesuatu dan kebaikan -Nya tidak

terputus, beliau berharap agar diberikan pertolongan, kemudahan

dan petunjuk dalam penulisan kitab tersebut.

 Memulai segala amal kebaikan dengan Basmalah sangat

dianjurkan menurut para ulama untuk mencontoh Al Qur'an

yang penyusunannya dimulai dengan lafadz Basmalah dan untuk

mengamalkan Sunnah Rasulullah Saw dengan meneladani beliau

yang senantiasa mengawali kebaikan dengan Basmalah terlebih

dahulu, disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa Rasulullah

Saw telah membuka atau memulai surat surat beliau yang

ditujukan pada raja raja seperti Heraklius Kaisar Romawi dan

lainya dengan lafadz Basmalah, karena pentingnya hal ini beliau

bersabda sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Ra;

‫ أ َ ْلطَ ُغ‬َٛ ُٙ َ‫ ُِْ ف‬١‫اٌو ِؽ‬


‫اٌوؽْ ّٰ ِٓ ه‬ ِ ‫ُ ْجلَأ ُ ِث ِجَ ُِْ ه‬٠ ‫بي َل‬
‫َّللا ه‬ ْ ‫ُو ًُّ ا َ ِْ ٍو ِم‬
ٍ َ‫ ث‬ٞ

18
Kitab Tauhid Dasar
"Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan
bacaan Basmalah maka akan terputus (kurang / sedikit
keberkahannya).
(HR Abdul Qodir Al Rohawi dan Al khothib ).
 Membaca Hamdalah juga dianjurkan dalam syariat ketika

memulai suatu amal kebajikan, sebagai tanda kesyukuran seorang

hamba atas nikmat Tuhannya, yang mana diberikan Taufik

dalam menyusun sebuah kitab termasuk diantara nikmat Allah

yang mesti disyukuri, oleh karena itu Sheikh Ahmad Marzuq Rah

a menuliskannya dalam Muqaddimah kitab ini seperti kebiasaan

para ulama pada umumnya dalam kitab kitab mereka, dalam satu

hadits Rasulullah Saw juga telah bersabda;

‫ط ُغ‬ ِ ‫ ِٗ ِث ْبٌ َؾ ّْل ُ ِ ه‬١ْ ِ‫ُ ْجلَأ ُ ف‬٠ ‫بي َل‬


َ ‫ أ َ ْل‬َٛ ُٙ َ‫ّٰلل ف‬ ْ ‫ُو ًُّ ا َ ِْ ٍو ِم‬
ٍ َ‫ ث‬ٞ

"Setiap perkara penting yang tidak dimulai padanya


dengan bacaan Hamdalah maka sedikitlah berkahnya"
(HR Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abu Hurairah Ra).

 Mengawali segala perkara penting dengan Sholawat kepada Nabi

Saw juga sangat dianjurkan para ulama, menurut Imam Bajuri

Rah a, tradisi menulis lafadz Sholawat dipermulaan kitab dan

surat menyurat terjadi pada masa Hisyam bin Abdul Malik bin

19
Kitab Tauhid Dasar
Marwan (w 125 H), salah seorang Kholifah Bani Umayyah,

kebiasaan yang sangat baik ini masih lestari hingga kini karena

para ulama menganggap sebagai hal yang Mustahab, bahkan

banyak diantara ulama yang membiasakan menulis Sholawat

tidak hanya dipermulaan kitab mereka saja, tapi juga diakhir

kitab mereka dituliskan bacaan Hamdalah dan Sholawat atas

Baginda Nabi Saw.

20
Kitab Tauhid Dasar
BAB II
KEWAJIBAN MENGENAL ALLAH BESERTA
SIFAT-SIFAT-NYA

Sheikh Ahmad Marzuqi Rah a berkata;

‫طفَ ْخ‬
ِ َْٓ٠‫ّٰلل ِػ ْش ِو‬
ِ‫ت ِه‬ ِ َٚ ْٓ ِِ
ٍ ‫اع‬ ‫ة ْاٌ َّ ْؼ ِوف َ ْخ‬
ِ ْٛ ‫ ُع‬ُٛ ‫ ثَ ْؼلُ فَب ْػٍَ ُْ ِث‬َٚ

"Setelah itu ketahuilah, bahwa mengenal Dua puluh sifat wajib

bagi Allah itu diwajibkan atas Setiap orang yang mukallaf.."

Penjelasan :

Lafadz ‫ ثؼل‬ٚ berasal dari ‫ أِب ثؼل‬, lafadz tersebut biasa

digunakan sebagai kalimat peralihan atau pemisah satu pembahasan

kepada pembahasan yang lain, maksud kalimat diatas ialah "bahwa

setelah kami mengucapkan Basmalah, Hamdalah dan Sholawat

maka ketahuilah...". Ada perbedaan pendapat tentang siapa yang

pertama mengucapkannya, sebagian mengatakan Nabi Adam as, yang

lain mengatakan Nabi Daud as, ada juga yang mengatakan Ya'rob bin

qahthon, Kaab bin luay dan masih banyak pendapat lainnya. Lafadz

Amma Ba'du juga telah dijadikan sebagai kebiasaan para ulama

dalam penulisan kitab dan para khothib dalam Khutbah mereka, dan

21
Kitab Tauhid Dasar
Rasulullah Saw sendiri dalam beberapa riwayat diketahui telah

melafalkannya baik dalam Khutbah maupun penulisan surat.

Yang menjadi Khithob (sasaran pembicaraan) dari lafadz

ٍُ‫( فبػ‬ketahuilah) dalam bait syair diatas ialah setiap orang yang

Mukallaf (telah menerima pembebanan syariat / Taklif). Menurut

para ulama, seseorang belum dianggap menerima pembebanan

Syariat atau menjadi seorang Mukallaf melainkan jika sudah

memenuhi 4 persyaratan sebagai berikut;

 Baligh, dengan demikian seorang anak yang belum baligh belum

terkena Taklif meskipun ia telah Mumayyiz (dapat membedakan

sesuatu), menurut Al Habib Hasan bin Ahmad Al kaf dalam kitab

Taqrirot al-Sadidah, tanda seseorang telah mencapai Baligh bila

sudah mencapai salah satu dari 3 alamat, yaitu;

1) Mencapai usia 15 tahun Qamariyah baik bagi laki-laki

maupun wanita

2) Keluar mani baik melalui mimpi (Ihtilam) maupun terjaga

pada usia 9 tahun Qamariyah bagi laki-laki maupun wanita

3) Keluarnya darah haid pada usia sekitar 9 tahun bagi wanita.

Melihat batasan diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang

yang belum baligh belum dianggap sebagai Mukallaf, dan jika ia


22
Kitab Tauhid Dasar
mati maka ia tergolong orang yang selamat di Akhirat. Para ulama

memberikan perincian bahwa jika seseorang yang mati tersebut anak

orang Islam maka dipastikan termasuk ahli surga menurut

kesepakatan ulama, meskipun ada sekelompok ulama lainnya yang

menangguhkannya. Sedangkan jika seseorang yang mati tersebut

anak orang kafir para ulama terbagi atas beberapa madzhab, diantara

mereka ada yang menangguhkan hal tersebut dan menyerahkan

urusannya pada Allah, bahkan diantara mereka menganggap makruh

menyelami pembahasan masalah tersebut, sementara para ulama

Muhaqqiqin diantaranya Imam Nawawi Rah a condong kepada

pendapat yang mengatakan bahwa anak anak orang kafir termasuk

golongan ahli surga dengan berpatokan pada beberapa dalil

diantaranya yang termaktub dalam Shohih Bukhari tentang Nabi

Ibrahim As tatkala dilihat Baginda Rasulullah Saw dilangit ketujuh

dan disekitarnya banyak anak kecil dan termasuk didalamnya anak

anak orang kafir.

 Aqil (berakal), keberadaan akal juga menjadi salah satu syarat

Taklif yang berarti jika ada seseorang yang gila sejak permulaan

balighnya dan terus dalam keadaan tersebut hingga matinya maka

dia termasuk golongan yang selamat Dan masuk kedalam surga.


23
Kitab Tauhid Dasar
Berbeda halnya jika ia seorang yang berakal sejak permulaan

balighnya, lalu hidup dalam kekafiran dan kemudian menjadi gila

hingga kematiannya, orang tersebut tidak akan selamat.

 Bulughudda'wah (telah sampai Dakwah Islam), sampainya

dakwah Islam juga termasuk dalam syarat Taklif, dengan

demikian jika seumpamanya ada seseorang tinggal ditengah

hutan atau menyendiri disebuah pulau sejak kecilnya dan ternyata

tidak ada Nabi atau seorang Da'i yang menyampaikan dakwah

kepadanya sampai matinya maka dia termasuk golongan yang

selamat meskipun mati dengan tidak mengenal Tuhannya.

 Salimul Hawwas (sehat panca indera), syarat Taklif yang

keempat ini mengecualikan keadaan sebaliknya yakni seorang

yang terlahir dalam keadaan buta sekaligus tuli (Faqidul

Hawwas), orang tersebut bukan termasuk orang Mukallaf, yang

berarti dia termasuk golongan yang selamat di Akhirat.

Hukum Ahlul Fatrah :

Ahlul Fatrah ialah orang atau suatu kaum yang hidup

diantara zaman seorang Rasul yang mana Rasul tersebut tidak diutus

kepada mereka, sementara mereka juga tidak bertemu atau tidak

24
Kitab Tauhid Dasar
mendapati zaman Rasul yang berikutnya. Diantara contoh mereka

ialah orang orang Arab sebelum zaman Rasulullah Saw, telah

diketahui bahwa Nabi Isa As tidak diutus kepada mereka, sedangkan

mereka telah meninggal terlebih dahulu sebelum diutusnya

Rasulullah Saw, singkatnya mereka hidup dalam tenggang waktu

yang vakum dari seorang Nabi yakni diantara zaman Nabi Isa As dan

zaman Nabi Muhammad Saw yang mana menurut Imam Suyuthi Rah

a masa Fatroh antara Nabi Isa As dengan Baginda Rasulullah Saw

mencapai waktu sekitar enam ratus tahun dan ketika itu seluruh

manusia di dunia baik timur maupun barat dipenuhi dengan

kebodohan yang sangat dalam hal Aqidah kecuali segelintir Rahib

ahlul kitab yang terpencar dibeberapa wilayah seperti negeri Syam

dan lainnya.

Bagaimana hukum mengenai Ahlul Fatroh?, Dalam hal ini

ada silang pendapat diantara para ulama, dan dalam hal ini Imam

Bajuri Rah a mengatakan;

ٚ‫ٓ اىِٕخ اٌوًٍ أ‬١‫ا ث‬ٛٔ‫ ُ٘ ِٓ وب‬ٚ _ ‫فبٌّن٘ت اٌؾك أْ اً٘ اٌفزوح _ ثفزؼ اٌفبء‬

.َ‫ا األطٕب‬ٚ‫ ػجل‬ٚ ‫ا‬ٚ‫و‬١‫ غ‬ٚ ‫ا‬ٌٛ‫ ئْ ثل‬ٚ ْٛ‫ُ ٔبع‬ٙ١ٌ‫وًٍ ئ‬٠ ٌُ ٞ‫ي اٌن‬ٍٛ‫ ىِٓ اٌو‬ٟ‫ف‬

"Madzhab yang haq menetapkan bahwasanya Ahlul fatroh


yakni mereka yang hidup diantara zaman zaman para Rasul atau

25
Kitab Tauhid Dasar
hidup di zaman seorang Rasul yang tidak diutus kepada mereka,
mereka adalah termasuk golongan orang-orang yang selamat
meskipun telah mengubah atau menggantikan ajaran Nabi
sebelum zaman mereka dan meskipun mereka telah menyembah
berhala " (Tuhfatul Murid Syarah Jauharotuttauhid).
Adapun mengenai beberapa riwayat yang menyatakan bahwa

ada beberapa individu Ahlul Fatroh akan dimasukan kedalam neraka

seperti Amrul Qais, Hatim atthoi, Ibnu Jad'an dan beberapa orang

tua para sahabat dan sebagainya seperti yang ada dalam beberapa

riwayat telah dijawab oleh para ulama Muhaqqiqin bahwasanya

riwayat tersebut berupa Khobar Ahad yang masih diperselisihkan

para ulama dalam ke-Hujjahannya dalam persoalan Akidah dan

apalagi dalam hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT;

‫ل‬ْٛ ٍ َ َ‫ َٔ ْجؼ‬ٝ‫َْٓ َؽزه‬١ِ‫ َِب ُوٕهب ِـُؼَ ِنّث‬َٚ


ُ ‫ش َه‬

"Dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus


seorang Rasul" (QS Al Isra : 15).

Diantara para ulama ada yang memberikan perincian bahwa

Ahlul Fatroh terbagi atas tiga bagian yaitu;

1) Orang yang mendapatkan Tauhid melalui Bashiroh, dan

kelompok ini terbagi dua yaitu orang yang tidak memasuki suatu

syariat seperti Qis bin Saidah dan Zaid bin Amr bin Nufail dan

26
Kitab Tauhid Dasar
orang yang memasuki suatu syariat yang Haq melalui literatur

sebelumnya seperti Tubba' dan kaumnya.

2) Orang yang telah merubah atau mengganti Syariat sebelumnya,

dengan membuat syariat sendiri dan mereka tidak bertauhid

bahkan menyekutukan Allah contohnya adalah Amru bin Amir

Al khuza'i dan lainnya.

3) Orang yang tidak musyrik dan tidak bertauhid, tidak memasuki

satu syariat dan tidak mengada-ada satu agama, umur mereka

habis dalam kelalaian dan kebodohan dalam Aqidah.

Berdasarkan pembagian diatas, jika kita menetapkan adanya

siksaan bagi sebagian ahlul Fatroh maka kelompok kedua lah yang

berhak mendapatkannya karena kekufuran mereka yang tidak dapat

dimaafkan, sedangkan kelompok ketiga mereka lah Ahlul Fatroh

yang haqiqi yang termasuk golongan yang selamat tidak akan di

siksa, adapun kelompok pertama, yakni Qis bin Saidah dan Zaid bin

Amr bin Nufail dianggap sebagai satu umat tersendiri sedangkan

Tubba' dan kaumnya dihukumi sebagai orang yang beragama dan

memiliki syariat selagi seorang mereka tidak mendapati Islam yang

Syariatnya menghapus syariat sebelumnya.

27
Kitab Tauhid Dasar
Imam Suyuthi Rah a juga mengomentari riwayat riwayat

yang menyebutkan beberapa Ahlul Fatroh yang akan di siksa tersebut

bahwa disamping berupa Khobar Ahad, bisa juga siksaan tersebut

hanya ditimpakan kepada orang-orang yang disebutkan dalam hadits

itu secara khusus, bukan menimpa kepada seluruh Ahlul Fatroh

secara umum, atau hanya tertentu bagi sekelompok Ahlul Fatroh

yang merubah syariat Nabi terdahulu dan kemudian menggantinya

dengan syariat atau ajaran yang sesat, contohnya seperti Amru bin

luhay yang telah disebutkan dalam suatu riwayat bahwa dia lah yang

pertama merubah agama Nabi Ibrahim As dan menjadi pelopor

penyembahan kepada berhala bagi masyarakat Arab jahiliah dan

sebagai pengasas perbuatan Bahiiroh (unta betina yang telah beranak

lima dan kalau anak yang kelima itu jantan maka boleh dimakan oleh

lelaki maupun perempuan, namun jika anak kelima itu betina maka

dibelah telinganya dan dilepaskan tidak boleh diminum air susunya

dan harom dimakan oleh wanita), Saaibah (unta yang dibiarkan

kemana saja tidak digembalakan dan tidak ditunggangi lantaran suatu

nazar), Washiilah (kambing betina yang beranak kembar yang terdiri

dari jantan dan betina, maka yang jantan disebut Washiilah, tidak

boleh disembelih untuk dimakan, dia dihadiahkan kepada berhala)

28
Kitab Tauhid Dasar
dan Haam (unta jantan yang telah membuntingkan unta betina

sepuluh kali maka dia dibiarkan tidak boleh diganggu gugat).

Hukum kedua ibu bapak Rasulullah SAW.

Dikalangan para ulama terjadi perbincangan mengenai nasib

di akhirat bagi kedua ibu bapak Baginda Rasulullah Saw apakah

keduanya termasuk golongan orang-orang yang selamat dari azab

Allah atau sebaliknya, akar masalah yang sebenarnya adalah terletak

pada silang pendapat mengenai nasib Ahlul Fatrah diatas, jadi

perbincangan mengenai nasib kedua orang tua Baginda Nabi SAW

merupakan cabang masalah di atas.

Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa bahwa kedua ibu

bapak Baginda Nabi Saw termasuk golongan yang celaka

mendapatkan azab di akhirat dengan berpegang pada dalil dalam

Riwayat Imam Muslim, yakni ketika seseorang bertanya kepada

Rasulullah Saw ; "wahai Rasulullah, dimana tempat ayahku (di

akhirat)?", Beliau menjawab "di neraka", ketika orang tersebut

pergi berpaling Rasulullah Saw memanggilnya dan bersabda;

ِ ‫ إٌه‬ِٟ‫ َاثب َ َن ف‬َٚ ْٟ ‫ِئ هْ أ َ ِث‬


‫به‬

29
Kitab Tauhid Dasar
"Sesungguhnya ayahku dan ayahmu masuk kedalam neraka (HR
Muslim).
Adapun Mayoritas ulama Ahlissunnah berpendapat bahwa kedua ibu

bapak Rasulullah Saw termasuk golongan yang selamat, mereka

menolak Istidlal kelompok pertama diatas dengan beberapa

pertimbangan yang diantaranya:

 Riwayat dari hadits Muslim tersebut berupa Khobar Ahad

yang telah dimaklumi menurut sebagian ulama bahwasanya

Khobar Ahad masih diperselisihkan untuk dijadikan sebagai

Hujjah atau argumentasi dalam masalah Aqidah.

 Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa hadits yang

berkaitan dengan ibu bapak Nabi Saw telah di Mansukh (di

hapus hukumnya) oleh ayat Alquran;

)ٔ٘ : ‫الً (الٍواء‬ٛۡ ٍ َ َ‫ ٔ َۡجؼ‬ٝ‫َٓ َؽزه‬١ۡ ‫ َِب ُوٕهب ُِؼ َ ِنّ ِث‬َٚ
ُ ‫ش َه‬
"Dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus
seorang Rasul" ( Al isra : 15).
Imam Suyuthi Rah a juga telah memberikan komentar terhadap

hadits tersebut dalam kitab al-Ta'zhim wal Minnah fi Anna

Abaway Rasulillah SAW fil Jannah, dalam kitab tersebut beliau

menilai Hadits tersebut memiliki dua 'Illat (cacat), yakni 'Illat

pada sanad dan 'Illat pada Matan Hadits nya.

30
Kitab Tauhid Dasar
Selain pada kitab tersebut, Beliau juga membahas secara khusus

masalah ini dalam risalah beliau lainnya yang berjudul Masalikul

Hunafa fi waalidail Musthofa, dalam kitab ini beliau

menyebutkan pendapat para ulama yang yang menyatakan

selamatnya kedua orang tua Nabi Saw dengan berpedoman

kepada beberapa pijakan yang antara lain;.

 Kedua orang tua Baginda Rasulullah Saw tersebut meninggal

Qablal Bi'tsah (sebelum Rasulullah Saw diutus sebagai

Rasul) yang berarti keduanya termasuk golongan Ahlul

Fatroh seperti yang telah dijelaskan di atas.

 Tidak terdapat bukti Shorih yang menunjukkan bahwa

keduanya termasuk orang musyrik atau penyembah berhala,

justru sebaliknya mereka termasuk orang yang berpegang

kepada agama nenek moyang mereka yakni Nabi Ibrahim As

sebagaimana yang dianut sekelompok orang Arab seperti

Zaid bin Amr bin Naufal, Waroqoh bin Naufal, dan lain lain.

Langkah inilah yang dipilih oleh Imam Fakhruddin arrozy

Rah a seperti yang beliau nyatakan dalam kitab tafsirnya

Asroruttanzil berdasarkan dalil ayat;

‫ اٌ ه‬ِٟ‫ رَمٍَُّجَ َه ف‬َٚ


)ٕٔ٢( َْٓ٠‫َ ٰـ ِغ ِل‬

31
Kitab Tauhid Dasar
"Dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu diantara
orang-orang yang sujud (QS Asy Syu'araa : 219)
Imam Fakhruddin ar-Rozy Rah a yang merupakan tokoh

besar madzhab Asy'ari dimasanya mengutip sebagian ahli tafsir

bahwa makna ayat diatas ialah bahwasanya Nur Muhammad Saw

telah berpindah dari seorang ahli sujud kepada ahli sujud lainnya.

Imam Suyuthi Rah a dengan tegas menyatakan dalam kitab

tersebut bahwa beliau mendukung langkah tersebut dan membela

pendapat Imam Fakhruddin Ar-Rozy dengan beberapa pertimbangan,

pertama; adanya beberapa hadits Shohih yang menunjukkan bahwa

seluruh nenek moyang Baginda Nabi Saw sejak Nabi Adam As

hingga ayah beliau Abdulloh adalah termasuk orang - orang yang

terbaik dan paling Afdhol disetiap masanya, kedua; adanya beberapa

hadits atau Atsar yang menunjukkan bahwa bumi ini sejak zaman

Nabi Adam As atau Nabi Nuh As hingga diutus Rasulullah Saw

bahkan seterusnya sampai hari kiamat tidak akan pernah kosong dari

orang - orang yang menauhidkan Allah dan menyembah-Nya, yang

karena itulah bumi masih terjaga kelestariannya, seandainya bumi ini

kosong dari mereka niscaya akan hancurlah kehidupan dunia.

32
Kitab Tauhid Dasar
Untuk pertimbangan yang pertama Imam Suyuthi mengemukakan

beberapa dalil yang tiga diantaranya;

‫ آكَ لؤب‬ٟٕ‫ْ ث‬ٚ‫و لو‬١‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص ؛ " ثؼضذ ِٓ ف‬ٍٛ‫ هللا ػٕٗ لبي لبي ه‬ٟ‫وٖ هػ‬٠‫ ٘و‬ٟ‫ػٓ اث‬

ٞ‫اٖ اٌجقبه‬ٚ‫ٗ" ه‬١‫ وٕذ ف‬ٞ‫ ثؼضذ ِٓ اٌموْ اٌن‬ٝ‫فمؤب ؽز‬

"Dari abu Hurairah Ra mengatakan Rasulullah Saw bersabda;


"aku diutus dari sebaik baik zaman Bani Adam, masa demi masa
sehingga aku diutus dari zaman yang aku kini berada". (HR
Bukhari).
‫ ِٓ الطَلة‬ٍٟٕ‫ٕم‬٠ ‫يي هللا‬٠ ٌُ " ‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص؛‬ٍٛ‫ّب لبي لبي ه‬ٕٙ‫ هللا ػ‬ٟ‫ػٓ اثٓ ػجبً هػ‬

ٖ‫ا‬ٚ‫وّ٘ب"_ ه‬١‫ ف‬ٟ‫نثب ل رٕشؼت شؼجزبْ ال وٕذ ف‬ِٙ ٝ‫ الهؽبَ اٌطب٘وح ِظف‬ٌٝ‫جخ ا‬١‫اٌط‬

_ ٖٛ‫ كلئً إٌج‬ٟ‫ُ ف‬١‫ ٔؼ‬ٛ‫اث‬

"Dari Ibnu Abbas Ra ia berkata Rasulullah Saw bersabda; "Allah


SWT senantiasa memindahkan aku dari sulbi sulbi yang baik
kepada rahim rahim yang suci, terpilih dan tersaring dan tiada lah
terbagi dua bagian manusia melainkan aku selalu berada di pihak
yang terbaik dari keduanya ". (HR Abu Nuaim)

ُ١٘‫ٌل اثوا‬ٚ ِٓ ٝ‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص؛ "ئْ هللا اططف‬ٍٛ‫ هللا ػٕٗ لبي لبي ه‬ٟ‫اصٍخ ثٓ األٍمغ هػ‬ٚ ٓ‫ػ‬

ٝ‫ اططف‬ٚ ‫ب‬١‫ش‬٠‫ وٕبٔخ لو‬ٟٕ‫ ِٓ ث‬ٝ‫ اططف‬ٚ ‫ وٕبٔخ‬ٟٕ‫ً ث‬١‫ٌل ئٍّبػ‬ٚ ِٓ ٝ‫ اططف‬ٚ ً١‫اٍّبػ‬

_ ٗ‫ طؾؾ‬ٚ ٞ‫ اٌزوِن‬ٚ ٍَُِ ٖ‫ا‬ٚ‫ ٘بشُ"_ ه‬ٟٕ‫ ِٓ ث‬ٟٔ‫ اططفب‬ٚ ُ‫ ٘بش‬ٟٕ‫ش ث‬٠‫ِٓ لو‬

"Dari watsilah bin Asqo' Ra ia mengatakan Rasulullah Saw


bersabda; "sesungguhnya Allah telah memilih Ismail as diantara

33
Kitab Tauhid Dasar
anak Ibrohim as, dan memilih Bani Kinanah diantara anak Ismail
as dan memilih Suku Quraisy diantara Bani Kinanah dan memilih
kabilah Bani Hasyim diantara suku Quraisy dan telah memilih aku
dari antara Bani Hasyim" . (HR Muslim dan Turmudzi)
Selanjutnya untuk pertimbangan kedua, Imam Suyuthi Rah a

menguatkan dengan banyak dalil yang dinukil dari perkataan

beberapa orang sahabat dan tabiin, antara lain;

:ٕٗ‫ هللا ػ‬ٟ‫ ؽبٌت هػ‬ٟ‫ ثٓ اث‬ٍٟ‫ لبي ػ‬: ‫ت‬١ٌَّ‫ لبي اثٓ ا‬:‫ظ لبي‬٠‫ػٓ ِؼّو ػٓ اثٓ عو‬

ٚ ‫ ل مٌه ٍ٘ىذ الهع‬ٍٛ‫ْ فظبػلا ف‬ٍَِّٛ ‫ الهع ٍجؼخ‬ٟ‫عٗ اٌل٘و ف‬ٚ ٍٝ‫يي ػ‬٠ ٌُ "

"‫ب‬ٙ١ٍ‫ِٓ ػ‬

_ _ ٓ١‫ق‬١‫ شوؽ اٌش‬ٍٝ‫ؼ ػ‬١‫ ٘نا ئٍٕبك طؾ‬: ٟ‫ؽ‬ٛ١ٌَ‫لبي ا‬ٚ ‫ اٌّظٕف‬ٟ‫اٖ ػجل اٌوىاق ف‬ٚ‫ه‬

"Ali Ra berkata : "senantiasa disetiap masa dimuka bumi ada


tujuh orang Muslimin atau lebih, yang seandainya mereka tiada,
bumi ini dengan apa yang ada di atasnya akan binasa". (HR Abdul
Razzaq)

ُٙ‫لفغ هللا ث‬٠ ‫ػ ِٓ ٍجؼخ‬ٛٔ ‫ " ِب فٍذ الهع ِٓ ثؼل‬: ‫ّب لبي‬ٕٙ‫ هللا ػ‬ٟ‫ػٓ اثٓ ػجبً هػ‬

" ‫ػٓ أً٘ الهع‬

_ ٍٝ‫ؼ ػ‬١‫بء ثَٕل طؾ‬١ٌٚ‫ وواِبد ال‬ٟ‫اٌقَلي ف‬ٚ ‫ اٌي٘ل‬ٟ‫اٖ اإلِبَ أؽّل ثٓ ؽٕجً ف‬ٚ‫ه‬

_ ٓ١‫ق‬١‫شوؽ اٌش‬

34
Kitab Tauhid Dasar
"Ibnu Abbas Ra berkata : bumi ini sejak zaman Nabi Nuh as tidak
pernah sepi dari tujuh orang yang sebab merekalah Allah SWT
menghindarkan bencana -Nya dari penduduk bumi ".
Dalil lainnya disebutkan oleh Ibnu Mundzir Rah a dalam kitab

tafsirnya sebuah riwayat dengan sanad yang Shohih dari Ibnu Juroij

dalam menafsirkan ayat;

‫ َُْ اٌ ه‬١‫ ُِ ِم‬ْٟ ٍِْٕ َ‫ة اْعؼ‬


)ٗٓ : ُ١٘‫ (اثوا‬.. ْٟ ِ‫هز‬٠‫ ِِ ْٓ مُ ِ ّه‬َٚ ‫ ِح‬ٰٛ ٍَ‫ظ‬ ِ ّ ‫َه‬

" Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang

tetap mendirikan sholat.." (QS-Ibrahim : 40)

Beliau menafsirkan ayat diatas bahwa senantiasa dari keturunan Nabi

Ibrahim As adanya orang yang selalu dalam fitrah menyembah Allah

SWT.

 Adapun landasan ketiga yang dikemukakan Imam Suyuthi

Rah a dalam menegaskan selamatnya kedua orang tua Nabi

Saw ialah bahwasanya Allah SWT telah menghidupkan

kembali keduanya untuk beriman kepada Baginda Nabi

Muhammad Saw dengan berpegang pada hadits Aisyah R ha

yang diriwayatkan oleh Ibnu Shahin dalam kitab an-Naasikh

wal Mansukh, al-Khotib al-Baghdadi dalam kitab as-Saabiq

wal-laahiq, ad-Daruqutni dan Ibnu Asakir yang meskipun

35
Kitab Tauhid Dasar
disepakati kedhoifannya oleh para Muhadditsin. Landasan

inilah yang dijadikan pegangan banyak para Huffazh dan

Muhadditsin yang antara lain Ibnu Syahin, Al Hafizh Abu

bakar Khotib Al Baghdadi, Imam Suhaili, Imam Qurtubi,

Sheikh Al Muhib Al Thobari, allamah Nashiruddin bin

Munir Rahimahumulloh dan lainnya.

Al Hafizh Syamsuddin bin Nashiruddin ad-Dimasyqi Rah a

mengungkapkan dalam bentuk syair dalam kitab Mauridusshodi fii

Maulid Al Haadi;

‫فب‬ٚ‫وبْ ثٗ هؤ‬ٚ ً‫ فـــؼ‬ٍٝ‫ػ‬ ً‫ل فـؼ‬٠‫ ِي‬ٟ‫ؽجب هللا إٌج‬

‫ــفب‬١‫ّـــبْ ثٗ فـؼــَل ٌطــ‬٠‫إل‬ ٖٛ‫ وـنا اثــ‬ٚ ٗ‫ب اِــ‬١‫فأؽــ‬

‫فب‬١‫ش ثٗ ػؼ‬٠‫ئْ وبْ اٌؾل‬ٚ ‫و‬٠‫ُ ثنا لـل‬٠‫فَـٍُ فبٌمـل‬

"Allah SWT telah menganugrahkan kepada Baginda Nabi Saw


karunia demi karunia yang senantiasa bertambah, Dia (Allah)
maha penyayang kepadanya"
"Dia telah menghidupkan ibundanya dan ayahandanya agar
beriman kepada-Nya sebagai anugerah untuknya"
"Terimalah pemahaman ini, Allah swt Dzat yang Qadim maha
Kuasa atas hal ini, meskipun hadits mengenainya berupa hadits
Dhaif".
Sebagai penyempurna argumentasinya, Imam Suyuthi Rah a

dalam kitab Masalik al-Hunafaa di waalidail Mushthofa

36
Kitab Tauhid Dasar
menyebutkan riwayat yang Shahih tentang paman Nabi SAW Abu

Thalib yang akan mendapatkan siksa yang paling ringan dalam

neraka, yakni dipakaikan terompah neraka dikedua kakinya yang

dengannya menggelegak otaknya.

Imam Suyuthi Rah a menyatakan bahwa riwayat tersebut

menunjukkan akan selamatnya kedua orang tua Nabi SAW dari api

neraka, karena jika mereka ahli neraka, semestinya lebih ringan

azabnya dari Abu Thalib, sebab kedua orang tua beliau lebih dekat

hubungannya dengan beliau, lebih lapang alasannya dan tidak

mendapatkan masa Bi'tsah ( diutusnya beliau sebagai Rasul) dan

tidak pernah menerima tawaran Islam yang kemudian menolaknya,

tidak seperti Abu Thalib.

Pendekatan demikian menurut Ahli Ushul dinamakan dengan

Dilalah al-Isyarah.

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama

mengenai nasib kedua orang tua Nabi Saw, ada sekelompok ulama

yang memilih untuk menangguhkan (Mauquf) masalah ini, mereka

menyikapi hadits riwayat imam Muslim diatas dengan membiarkan

makna lahirnya namun mereka menegaskan bahwa tidak boleh bagi

siapapun menyebutkan kedua orang tua Nabi Saw sebagai ahli

37
Kitab Tauhid Dasar
neraka, karena dengan demikian akan menyakiti hati Baginda Nabi

Saw, sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau :

)ٙ٘ٔٙ ٚ ٖٔ٣ٖ ٞ‫اٖ اٌجخبس‬ٚ‫ا" (س‬ِٛ‫ ِب لذ‬ٌٝ‫ا ا‬ٛ‫ُ لذ افن‬ٙٔ‫اد فب‬ِٛ‫ا األ‬ٛ‫ال رغج‬

"Janganlah kalian mencaci maki orang yang telah meninggal


dunia, karena mereka telah menerima balasan apa yang telah
mereka perbuat" (HR Bukhari).

Para ulama mengatakan bahwa alasan pelarangan mencaci

orang yang telah meninggal adalah karena dengan demikian akan

menyakiti keluarganya yang masih hidup.

Dan atas dasar alasan itulah Al Imam Al Qadhi Abu Bakar bin al-

Arabi Rah a, salah seorang ulama besar madzhab Maliki ketika

mendengar orang yang berkata : "sesungguhnya kedua orang tua

Nabi masuk neraka", maka beliau menghardiknya dan berkata :

"orang ini adalah seorang yang Mal'un (di laknat Allah), karena

Allah SWT telah berfirman:

ٰ ْ َٚ ‫َب‬١ْٔ ُّ‫ اٌل‬ِٝ‫َّللا ُ ف‬


ِ‫ال ِف َوح‬ ‫ ُُ ه‬ُٙ ََٕ‫ٌَ ٗٗ ٌَؼ‬ْٛ ٍ ‫َْ ه‬ْٚ ُ‫ُإْ م‬٠ َْٓ٠‫ا هِْ اٌه ِن‬
ُ ‫ َه‬َٚ َ‫َّللا‬
"Sesungguhnya (terhadap) orang yang menyakiti Allah dan Rasul-
Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat" ( QS Al
ahzab : 57).

38
Kitab Tauhid Dasar
Menurut beliau tidak ada hal yang paling menyakitkan

Baginda Rasulullah Saw dari pada mengatakan bahwa orang tua Nabi

Saw masuk kedalam neraka.

Pendapat ini (menangguhkan nasib kedua orang tua Nabi) juga di

dukung oleh Sheikh Tajuddin al-Fakihani Rah a dalam kitabnya al-

Fajrul Munir, beliau mengatakan: "Allohu a'lam Bu haali

abawaihi" (Allah SWT yang lebih mengetahui tentang keadaan

kedua orang tua Nabi Saw).

Makna makrifat kepada Allah SWT dan hukumnya

Menurut Sayyid Muhammad alawi Al-Maliki Rah a, Makrifat ialah

kemantapan hati akan suatu kebenaran yang berdasarkan dari adanya

Dalil (petunjuk), bukan berdasarkan Taqlid (ikut ikutan), karena

iman yang dihasilkan dari ber-Taqlid adalah terlarang dalam hal

Aqidah apabila seorang yang ber-Taqlid tersebut memiliki

kemampuan untuk melakukan pengamatan (Nazhor) terhadap dalil

yang akan menyampaikan kepada Makrifat.

Adapun mengenai hukum Makrifat kepada Allah SWT,

Sayyid Muhammad bin Ali baathiyah memberikan perincian, yakni

makrifat kepada Allah dengan mengetahui dalil dalil Ijmali (global)

39
Kitab Tauhid Dasar
adalah Fardhu Ain (kewajiban yang dibebankan kepada setiap

individu mukallaf), sedangkan Makrifat kepada Allah dengan

mengetahui dalil-dalil secara terperinci (Tafshili) adalah Fardhu

Kifayah (kewajiban yang dituntut agar terlaksana tanpa memandang

siapa pelaksananya), maksudnya seandainya ada sekelompok

mukallaf yang mengenal Allah dengan dalil-dalil yang terperinci,

maka dianggap telah menggugurkan tuntutan bagi yang lain.

Para ulama juga memandang bahwa keberadaan sekelompok

orang yang memahami dalil-dalil makrifat secara terperinci

merupakan satu hal yang sangat diperlukan untuk menerangkan

masalah-masalah yang masih samar dalam aqidah dan untuk

menghilangkan keraguan-keraguan serta membantah orang-orang

yang ingkar.

Hukum bertaqlid dalam bertauhid

Makna Taqlid dalam hal ini adalah menerima ucapan orang lain

dalam beraqidah dengan tanpa mengetahui dalil-dalilnya, orang

seperti ini disebut Muqallid.

Sheikh al-Sanusi Rah a memberikan gambaran untuk memperjelas,

misalnya sekelompok orang yang membenarkan munculnya Hilal

40
Kitab Tauhid Dasar
atau bulan sabit, beberapa orang dari mereka telah melihatnya dengan

yakin, kemudian mereka mengabarkan hal tersebut kepada khalayak

ramai, maka beberapa orang yang melihat tersebut adalah gambaran

orang yang Makrifat, dan jika diantara khalayak ramai tersebut ada

yang membenarkan dan percaya begitu saja tanpa ikut melihat maka

mereka adalah orang-orang yang bertaqlid, namun jika diantara

mereka yang lain ikut membenarkan dan kemudian ikut mencari

kebenarannya dengan berusaha melihat, maka orang yang terakhir ini

tidak termasuk golongan Muqallid.

Mengenai hukumnya para ulama berselisih pendapat, menurut

mayoritas para ulama dan diunggulkan Imam Al-Razi dan al-Amidi,

hukum Taqlid dalam aqidah atau Ushuluddin adalah haram, karena di

dalam Al-Qur'an terdapat celaan terhadap orang yang ikut ikutan

dalam masalah ini, diantaranya firman Allah SWT;

)ٕٕ : ‫َْ (اٌضخشف‬ُْٚ ‫زَل‬ْٙ ُِّ ُْ ِ٘ ‫ ٰا ٰص ِو‬ٝ‫ػ ٍٰا‬ ‫ع ْلَٔب ا ٰاث ۤبءَٔب ا‬ٚ ‫ا أِهب‬ٛ‫ث ًْ لَبٌُ ا‬
َ ‫أِهب‬ٚ‫ ا ُ هِ ٍخ ه‬ٍٰٝ ‫ػ‬
َ َ َ َ َ ْ َ

"Bahkan mereka berkata: "sesungguhnya kami mendapati bapak-


bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak
mereka". (QS azzukhruf : 22)
Keharaman Taqlid atau ikut ikutan juga karena pada sisi lain

persoalan aqidah mesti didasari dengan keyakinan, bukan

41
Kitab Tauhid Dasar
berdasarkan dugaan (Zhonn) semata sebagaimana dalam firman-

Nya:

‫َْ ا هِل اٌ ه‬ْٛ ُ‫هزهجِؼ‬٠ ِْْ ‫َّللا ۗا‬


‫ا ِْْ ُ٘ ُْ ا هِل‬َٚ ٓ‫ظ ه‬ َ ‫ َن‬ْٛ ٍُّ‫ؼ‬
َ ْٓ ‫ػ‬
ِ ‫ ًِْ ه‬١ِ‫ٍج‬ ِ ‫ ْالَ ْه‬ِٝ‫ا ِْْ ر ُ ِط ْغ ا َ ْوض َ َو َِ ْٓ ف‬َٚ
ِ ُ٠ ‫ع‬

)ٔٔٙ : َ‫(االٔؼب‬ ُ ‫َ ْق ُو‬٠


َْْٛ ‫ط‬

"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka


bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah,
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)". (Al-an'am:
116).
Oleh karena itu menurut kebanyakan ulama, dalam masalah aqidah

atau Ushuluddin, melakukan pengamatan (Nazhor) hukumnya wajib

dan perintah untuk itu banyak disebutkan dalam Al-Qur'an, sebab

yang dituntut dalam masalah ini adalah keyakinan. Allah SWT

tegaskan dalam Al-Qur'an:

)ٔ٣ : ‫(دمحم‬ ‫ل ا ٌَِٰٗ ا هِل ه‬


... ُ ‫َّللا‬ ‫فَب ْػٍَ ُْ أَهٗٗ َ ا‬

"Maka yakinlah, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah".


(QS Muhammad :19).
Adapun perintah untuk melakukan pengamatan diantaranya firman

Allah SWT:

)٘ٓ :َٚ‫(اٌش‬ ..‫ ۗب‬َٙ ِ‫ر‬ْٛ َِ َ‫ع ثَ ْؼل‬


َ ‫ ِ ْالَ ْه‬ٟ ْ‫ُؾ‬٠ ‫ْف‬
َ ١‫َّللا َو‬
ِ‫ذ ه‬ ِ َّ ْ‫ ٰا ٰص ِو َهؽ‬ٝ‫ظ ْو ا ٌِٰا‬
ُ ْٔ ‫فَب‬

"Maka perhatikanlah bekas-bekas Rahmat Allah, bagaimana


Allah menghidupkan bumi yang sudah mati...". (QS al-Ruum : 50).

42
Kitab Tauhid Dasar
Pendapat lain mengatakan bahwa Taqlid dalam masalah Ushuluddin

diperbolehkan dengan merujuk kepada riwayat yang menyebutkan

bahwa Rasulullah Saw menganggap cukup pengakuan keimanan

orang-orang Arab Badui (suku pedalaman) dengan hanya mengucap

dua kalimat Syahadat yang disertai dengan kemantapan hati, padahal

mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam bernalar dan

melakukan pengamatan (Nazhor). Pendapat ini dipegang oleh Sheikh

al-Anbari dan lainnya. Namun argumentasi tersebut mendapat

penolakan para ulama, yakni tidak dapat diterima jika orang Arab

Badui dikatakan bukan ahli Nazhor, karena sebenarnya Nazhor yang

dituntut adalah Nazhor versi orang awam yang sederhana, bukan

Nazhor versi ahli Kalam yang rumit, sehingga dengan demikian bisa

dilakukan siapa saja kalangan awam, sebagaimana dialog yang terjadi

antara Sheikh al-Ashmu'i dengan sebagian orang Arab Badui, beliau

berkata: "dengan apa kamu mengenal Tuhanmu?", Orang Arab Badui

tersebut menjawab dengan ungkapan;

‫اسك راد‬ٚ ,‫ فغّبء راد اثشاط‬,‫ش‬١‫ اٌّغ‬ٍٝ‫أصش االلذاَ رذي ػ‬ٚ ,‫ش‬١‫ اٌجؼ‬ٍٝ‫اٌجؼشح رذي ػ‬

‫؟‬..‫ش‬١‫ف اٌخج‬١‫ اٌط‬ٍٝ‫اط) اال رذي ػ‬ِٛ‫س راد ا‬ٛ‫ ثذ‬ٚ :‫خ‬٠‫ا‬ٚ‫ س‬ٟ‫ ف‬ٚ( ،‫فجبط‬

43
Kitab Tauhid Dasar
"Kotoran unta menunjukkan adanya unta, dan jejak kaki
menunjukkan adanya orang yang lewat, maka langit yang penuh
bintang dan bumi yang menghampar, (dalam satu riwayat ada
tambahan: dan samudra yang bergelombang) bukankah semua itu
menunjukkan adanya Dzat yang maha pengasih dan maha
mengetahui?"
Menurut Syaikh Jalaluddin al-Mahalli Rah a dalam Syarah

Jam'ul jawami', Nazhor versi ulama Mutakallimin tentang menyaring

atau merumuskan dalil-dalil serta menelitinya, upaya menolak

keragu-raguan dan kesamaran (Syubhat) dalam aqidah adalah Fardhu

Kifayah bagi orang berkompeten di bidangnya. Adapun bagi orang

awam yang tidak memiliki kemampuan untuk itu yang jika

menyelaminya dikhawatirkan terjerumus dalam keraguan dan

kesesatan maka bagi mereka haram hukumnya melakukan Nazhor

menurut cara ahli Kalam, dari sinilah dimungkinkan pelarangan

Imam Syafi'i Rah a dan beberapa ulama salaf lainnya dari

menyibukkan diri dengan ilmu Kalam.

Mengenai silang pendapat yang terjadi diantara ulama, Imam

Bajuri Rah a dalam Tuhfatul Murid Syarah Jauharoh al-Tauhid

menyebutkan ada enam pendapat yang masyhur dikalangan para

ulama;

44
Kitab Tauhid Dasar
1. Tauhid seorang Muqallid belum dianggap mencukupi aliyas

tidak sah, dengan demikian menurut pendapat ini orang yang

Taqlid tergolong kafir, pendapat ini dipegang Sheikh al-

Sanusi dalam kitab Aqidah al-Kubra.

2. Taqlid dianggap mencukupi, namun seorang Muqallid

menurut pendapat ini dianggap Maksiat atau berdosa secara

mutlak baik dia memiliki kemampuan untuk melakukan

pengamatan (Nazhor) ataupun tidak.

3. Taqlid dianggap mencukupi namun seorang Muqallid

dianggap berdosa jika dia memiliki kemampuan untuk

melakukan pengamatan (Nazhor), jika tidak memiliki

kemampuan maka tidak berdosa.

4. Orang yang tidak mengambil dalil 'Aqli namun bertaqlid

kepada Al-Qur'an dan Sunnah (Dalil-dalil Naqli) dianggap

sah keimanannya karena mengikuti dalil yang Qath'i, dan

orang yang ber-Taqlid kepada selain itu tidak sah

keimanannya, karena selain yang Makshum tidak aman dari

kesalahan.

5. Taqlid dianggap mencukupi dan seorang Muqallid tidak

berdosa Secara mutlak, karena menurut pendapat ini Nazhor

45
Kitab Tauhid Dasar
(pengamatan) hanyalah syarat kesempurnaan, maka jika

seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan

pengamatan namun dia tidak melakukan pengamatan dia

hanya meninggalkan hal yang paling utama.

6. Iman seorang Muqallid adalah shohih dan Nazhor atau

melakukan pengamatan adalah haram, pendapat terakhir ini

terindikasi dari pendapat ahli Filsafat.

Diantara semua pendapat diatas, Imam Bajuri Rah a

cenderung kepada pendapat yang ketiga.

Kewajiban pertama seorang Mukallaf

Mengenai hal yang pertama diwajibkan atas mukallaf juga terdapat

khilafiyah dikalangan para ulama, bahkan menurut Imam Bajuri Rah

a dalam Syarah Jauharoh al-Tauhid, terdapat dua belas pendapat yang

masyhur di kalangan ulama.

Secara globalnya diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang

pertama di wajibkan adalah Makrifat ( mengenal Allah), inilah yang

dipegang Imam al-Asy'ari Rah a yang merupakan Imam bidang ini,

ada juga yang berpendapat Nazhor yang menghantarkan kepada

Makrifat ( pendapat Sheikh abu Ishaq al-Isfirayini Rah a), yang lain

46
Kitab Tauhid Dasar
berpendapat Qashd Ilan Nazhor (menyengaja meluangkan waktu

untuk Nazhor), ini pendapat Imam Haromain Rah a, yang lain

berpendapat Taqlid, ada juga yang berpendapat an-Nuthqu bis-

Syahadatain (mengucapkan dua kalimat syahadat), ada juga yang

berpendapat bahwa yang diwajibkan pertama adalah beriman,

disamping ada juga yang mengatakan mesti masuk Islam terlebih

dahulu, namun beberapa pendapat yang terakhir ini dengan tegas di

tolak para ulama sebab bagaimana mungkin seseorang beriman atau

masuk Islam sementara ia tidak mengenal Allah dengan benar.

Imai Bajuri Rah a cenderung menggabungkan tiga dari

pendapat yang masyhur diatas dan beliau menganggapnya sebagai

pendapat yang paling shohih, yakni yang pertama diwajibkan secara

tujuan (Maqshod) adalah Makrifat, sedangkan yang pertama

diwajibkan secara perantaraan yang dekat (Washilah Qaribah)

adalah Nazhor, dan secara perantaraan yang jauh (Washilah ba'idah)

adalah al-qashdu Ilan Nazhor.

Arti Sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz bagi Allah.

Menurut Sayyid Muhammad ba Athiyyah Rah a dalam

kitabnya Mujazul Kalam, mengetahui dua puluh sifat yang wajib bagi

47
Kitab Tauhid Dasar
Allah secara terperinci hukumnya Fardhu Ain atas setiap mukallaf,

dengan disertai keyakinan bahwasanya Allah SWT memiliki sifat-

sifat kesempurnaan yang tidak terbatas pada hanya dua puluh sifat

tersebut yang hakikatnya hanya Allah SWT saja yang

mengetahuinya.

Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut mengenai dua puluh

sifat tersebut, ada baiknya memahami terlebih dahulu pengertian sifat

wajib, mustahil dan Jaiz.

Sifat Wajib menurut para ulama Mutakallimin adalah;

ِٗ‫ اٌؼمً ػذ‬ٟ‫س ف‬ٛ‫زق‬٠ ‫ِب ال‬


Perkara atau sifat tertentu yang ketiadannya tidak dapat
digambarkan atau tidak dapat diterima oleh akal pikiran.
Contohnya sifat Wujud (ada) bagi Allah, dalam hal ini akal sehat

tidak dapat menerima jika semesta alam yang sangat indah dan

teratur ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya.

Contoh lainnya sifat Qidam (terdahulu), dalam hal ini akal sehat juga

tidak dapat menerima atau membayangkan jika Dzat yang maha

pencipta alam ini beserta segala isinya tidak bersifat Qidam yang

48
Kitab Tauhid Dasar
berarti Allah SWT merupakan Dzat yang baru keberadaannya seperti

makhluk atau benda lainnya.

Sifat Mustahil ialah;


ٖ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ً‫ اٌؼم‬ٟ‫س ف‬ٛ‫زق‬٠ ‫ِب ال‬
Sesuatu perkara atau sifat tertentu yang keberadaannya tidak
dapat diterima oleh akal pikiran.

Contoh sifat Mustahil ialah sifat Fana (binasa), sifat ini juga bila
disematkan kepada Allah SWT maka akal tidak dapat menerimanya,
karena bagaimana mungkin Dzat yang maha pencipta dan maha
kuasa atas bersifat Fana yang berarti akan mengalami kebinasaan
atau kematian.

Sifat Jaiz (boleh) adalah;


ِٗ‫ ػذ‬ٚ ٖ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ً‫ اٌؼم‬ٟ‫قخ ف‬٠ ‫ِب‬
Suatu perkara atau sifat tertentu yang mana keberadaannya
atau ketiadannya dapat diterima akal pikiran.
Contoh sifat Jaiz bagi Allah adalah menetapkan pahala kebaikan bagi

orang yang taat dan memasukkan mereka ke dalam surga atau

sebaliknya menetapkan azab bagi orang yang maksiat, memberikan

keluasan Rizqi kepada seseorang atau menyempitkannya, demikian

juga menghidupkan atau mematikan seseorang, semua itu Jaiz bagi

Allah yang seandainya Allah perbuat atau tidak berbuat demikian

akal pikiran kita dapat menerimanya.

49
Kitab Tauhid Dasar
BAB III
MENGENAL SIFAT 20

‫ِخبٌف ٌٍخٍك ثبالهالق‬ ‫ُ ثبق‬٠‫د لذ‬ٛ‫ج‬ِٛ ‫فبهلل‬

ٟ‫ذ ػبٌُ ثىً ؽ‬٠‫لبدس ِش‬ ٟ‫ د‬ٚ ‫ادذ‬ٚ ٟٕ‫ لبئُ غ‬ٚ

ُ‫ٌٗ ففبد عجؼخ رٕزظ‬ ٍُ‫اٌّزى‬ٚ ‫ش‬١‫غ ْ اٌجق‬١ّ‫ع‬

‫بحْ اٌؼٍُ والَ اعزّش‬١‫د‬ ‫فمذسح اسادح عّغ ثقش‬

Allah SWT Dzat yang Wujud, Qidam, Baqa' dan Mukhalafah Lil

Hawadits (berbeda dengan makhluk) secara mutlak"

"Qiyam bi nafsih, Waahid, Hayy, Qaadir, Muriid, dan 'Aalim

(mengetahui) segala sesuatu"

"Samii', Bashiir, Mutakallim, dan memiliki tujuh sifat lainnya

(Ma'ani) yang terrangkai dalam Nazhom berikut.."

"Yakni sifat Qudrah, Iradah, Sama', Bashar, Hayat, 'Ilmu, dan

Kalam (senantiasa berbicara)"

Penjelasan :

Empat bait syair diatas menyebutkan dua puluh sifat wajib

bagi Allah SWT yang mesti diketahui dan diyakini oleh setiap

mukallaf. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sifat wajib ialah sifat-

sifat yang ketiadannya tidak dapat diterima akal pikiran yang sehat,

50
Kitab Tauhid Dasar
maka jika kita kaitkan kepada Allah SWT sebagai Dzat yang berhak

disembah, maknanya tidak dapat diterima akal jika dua puluh sifat

tersebut tidak dimiliki oleh Allah SWT. Karena itu sebagian ulama

menyebutkan bahwa dua puluh sifat tersebut sebagai Syuruthul

Uluhiyah (syarat-syarat ketuhanan).

Dua puluh sifat wajib yang disebutkan dalam bait syair diatas

sebagai berikut;

1. Wujud : sifat Wujud bermakna menetapkan sesuatu dan

menyatakan keberadaannya, sifat ini wajib bagi Allah karena Dzat-

Nya, bukan dikarenakan sebab ('Illat) tertentu, maka selain Allah

tidak berpengaruh akan Wujud-Nya Allah. Lain halnya dengan selain

Allah, semuanya ada karena perbuatan (Fi'il) Allah SWT. Maka

setiap Dzat yang mana wujud segala sesuatu bergantung kepadanya,

maka Dzat tersebut disebut Wajibul Wujud, seandainya Allah tidak

Wajibul Wujud berarti Jaizul Wujud (boleh ada dan boleh tiada),

jika demikian maka Allah butuh kepada Muhdits (yang

mewujudkan) dan Muhdits tersebut butuh kepada Muhdits yang lain

sehingga terjadi salah satu dari dua kemungkinan yang keduanya

mustahil bagi Allah yaitu Daur atau Tasalsul. Daur ialah Tawaqquf

al-Syai 'alaa maa Tawaqqafa ilaih (bergantungnya sesuatu kepada

51
Kitab Tauhid Dasar
perkara yang mana perkara itu bergantung pula pada sesuatu tersebut)

contohnya Allah adalah penyebab adanya alam namun wujudnya

Allah juga bergantung kepada alam. Sedangkan Tasalsul ialah

Tawaqquf al-Syai 'alaa al-Syai ilaa maa laa nihaayata lahu

(bergantungnya sesuatu kepada sesuatu yang lain dan seterusnya

tanpa akhir), contohnya keberadaan A bergantung kepada B, B

bergantung kepada C, C bergantung kepada D dan seterusnya tiada

akhir. Jadi Dalil Aqli (rasio) yang menunjukkan Wujud-Nya adalah

adanya semesta alam atau seluruh makhluk-Nya, jika Allah tiada

niscaya segala sesuatu inipun tiada. Dalam pembahasan sebelumnya

telah kami ceritakan dialog yang terjadi antara Sheikh Ashmu'i dan

orang Arab Badui yang menyebutkan dalil Aqli Wujud-Nya Allah

SWT. Sedangkan dalil Naqli (bersumber dari Al-Qur'an atau Hadits)

tentang sifat Wujud Allah diantaranya firman Allah SWT:

‫ل ا ٌَِٰٗ ا ه ا‬
)ٔٗ : ٗ‫ ( ه‬.ْٟ ِٔ ‫ِل أَ َ۠ب فَب ْػجُ ْل‬ ‫َّللاُ َ ا‬
‫ أََب ه‬ٟ‫أه ِٕ ْا‬

nhnpnaapan susepusdsusauhuusa uogsdsuopasnunhusgnusep " sesu u

"unh sausauhep

2. Qidam (terdahulu) : sifat Qidam adalah meniadakan adanya

permulaan bagi Wujud Allah SWT, karena Allah SWT adalah

sumber segala yang ada dan yang mewujudkan segala sesuatu, maka

52
Kitab Tauhid Dasar
mestilah Wujud-Nya terdahulu dari segala sesuatu dan mestilah tidak

ada segala sesuatu apapun yang mendahului Wujud-Nya SWT. Allah

SWT berfirman :

)ٖ : ‫ذ‬٠‫سح اٌذذ‬ٛ‫(ع‬ َ ٍ‫ء‬َٟۡ ‫ ثِ ُى ًِّ ش‬َٛ ُ٘ َٚ ُٓ ُۖ ‫بؽ‬


ٌُ ١ٍِ ‫ػ‬ ‫ٱٌ ٰ ه‬َٚ ‫ ۡٱأل ا ِف ُو‬َٚ ‫ ُي‬ٚ‫ ۡٱأل َ ه‬َٛ ُ٘
ِ َ‫ ۡٱٌج‬َٚ ‫ ُو‬ِٙ ‫ظ‬

“ialah yang Awal dan yang Akhir, yang hahir an yang Bathil, dan

Dia mengetahui segala sesuatu" (Al- Hadid ; 3 )

3. Baqa' (kekal) : sifat Baqa' bermakna meniadakan adanya

kesudahan bagi Wujud-Nya Allah SWT atau bermakna bahwasanya

Wujud-Nya Allah SWT langgeng tanpa batas akhir dan kekal tanpa

kesudahan. Dalil sifat Baqa' (menurut akal) ialah bahwa seandainya

Wujud Allah mengalami kebinasaan atau batas akhir niscaya

mustahil jika Allah bersifat Qidam (terdahulu), karena sesuatu yang

boleh menjadi tiada maka sesuatu itu mustahil bersifat Qidam. Allah

SWT berfirman:

ِ ْ َٚ ًِ ٍٰ ‫ ْاٌ َغ‬ُٚ‫عْ ُٗ َه ِثّ َه م‬َٚ ٝ‫َج ْٰم‬٠ٚ‫ٕ) ه‬ٙ(ْ‫ب‬


)ٕ٢(َ‫ال ْو َو ِا‬ ٍ ُۖ َ‫ب ف‬َٙ ١ْ ٍَ‫ػ‬
َ ْٓ َِ ًُّ ‫ُو‬
"Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26) dan tetap kekal
Wajah Tuhan-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan "
(27) (QS al-Rahman 26 - 27)

4. Mukhalafah Lil Hawadits (berbeda dengan makhluk). Sifat

Mukhalafah Lil Hawadits bermakna meniadakan penyerupaan Allah

53
Kitab Tauhid Dasar
SWT dengan makhluk-Nya secara mutlak, maksud mutlak disini

ialah bahwa Allah berbeda dengan makhluk-Nya dalam segala segi,

bukan berbeda ( Mukhalafah) dalam satu segi tapi serupa

(Mumatsalah) dalam segi yang lain.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an;

ِ َ‫ ُغ ْاٌج‬١ْ ِّ َ
ٔٔ - ‫ ُْو‬١‫ظ‬ ‫ اٌ ه‬َٛ ُ٘ َٚ ‫ ٌء‬َْٟ ‫ٌْ َو ِّضْ ٍِ ٖٗ ش‬
َ ١ٌَ
"... Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat".
(QS asy syuura : 11)

Adapun dalil Aqli-nya adalah bahwa seandainya Allah tidak

Mukhalafah dengan makhluk-Nya berarti Allah Mumatsalah

(serupa) dengan makhluk, dan seandainya Allah serupa dengan

makhluk berarti Allah bersifat Baharu (Hadits), padahal telah

menjadi ketetapan dengan adanya dalil Naqli dan Aqli seperti

diterangkan diatas bahwasanya Allah SWT bersifat terdahulu

(Qidam).

5. Qiyam binafsih (berdiri dengan Dzat-Nya). Sifat Qiyamuhu

binafsih bermakna meniadakan adanya hajat atau butuhnya Allah

SWT terhadap tempat atau arah serta Dzat lain untuk

mewujudkannya, tegasnya Allah SWT maha kaya (Ghoniyy) tidak


54
Kitab Tauhid Dasar
berhajat kepada segala sesuatu selain-Nya. Dalil Qiyam binafsih

menurut Akal ialah bahwa seandainya Allah butuh kepada tempat

(dzat lain) berarti Allah berupa sifat, bukan dzat, karena yang

membutuhkan tempat adalah sifat, dan andaikan Allah berupa sifat,

maka tentunya Dia tidak dapat memiliki sifat lainnya seperti Qudrah,

Iradah, Hayat dan lainnya. Adapun dalil Naqli nya Allah SWT

berfirman;

)ٔٔٔ : ٗ‫سح ه‬ٛ‫ ( ع‬..َُّٛ


ۡ ِٟ
ُِۖ ١َ‫ٱٌم‬ ّ ‫ُٖ ٌِ ٍۡ َؾ‬ٛ‫ ُع‬ُٛ ٌ‫ذ ۡٱ‬
ِ َٕ‫ػ‬
َ َٚ

"Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada

Tuhan yang Hidup Kekal lagi senantiasa Mengurus (makhluk-

Nya)..(QS Thaahaa : 111)

6. Wahdaniyah (Maha Esa), sifat Wahdaniyah meniadakan adanya

Ta'addud (berbilang) bagi Allah SWT baik Dzat-Nya, Sifat-Nya

maupun Af'al-Nya. Dalam hal ini dikenal dikalangan ahli Kalam

dengan Istilah Wahdatuddzat, Wahdatusshifat dan Wahdatul

Af'al. Wahdatuddzat maknanya adalah bahwa Dzat-Nya tidak

tersusun dari bagian-bagian (juz-juz), ibarat sehelai benang terdiri

dari bagian pangkal dan bagian lain di ujungnya atau sosok manusia

yang tersusun dari berbagai unsur dalam tubuhnya, ulama ahli

55
Kitab Tauhid Dasar
Kalam memberi istilah dengan Kamm Muttashil fiddzat.

Wahdatuddzat juga bermakna meniadakan adanya Dzat lain di alam

ini yang memiliki kesempurnaan yang sama dengan Dzat Allah SWT

(Kamm munfashil fiddzat). Wahdatusshifat meniadakan bagi Allah

dari adanya Ta'addud (berbilang) pada satu jenis dari sifat-sifat-Nya

seperti memiliki dua Qudrah yang berbeda atau dua Iradah (Kamm

Muttashil fisshifat), dan juga meniadakan adanya Dzat lain selain

Allah yang memiliki sifat kesempurnaan sebagaimana sifat-sifat

Allah SWT (Kamm munfashil fisshifat). Wahdatul Af'al bermakna

bahwasanya tidak ada satu makhluk pun yang memiliki perbuatan

(Fi'il) untuk menciptakan atau mewujudkan sesuatu (Kamm

munfashil Af'al), tegasnya Allah SWT menyendiri dalam mencipta

dan mewujudkan.

Allah SWT berfirman;


‫ ه‬َٛ ُ٘ ‫ل ِئ ٌََٰٗ ِئ هل‬
‫ٱٌو ۡؽ ٰ َّ ُٓ ه‬
)ٖٔٙ : ‫سح اٌجمشح‬ٛ‫ ُُ (ع‬١‫ٱٌو ِؽ‬ ‫ ُۖل ه ا‬ٞ ‫ ِؽ‬َٚ ٰ ٌَٰٞٗ ‫ىُ ُۡ ِئ‬ُٙ ٌَٰ ‫ ِئ‬َٚ َٚ ٌٌَٗ‫ ُى ُْ ِئ‬ُٙ ٌَ‫ ِئ‬َٚ
"Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang maha Esa; tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang". (QS Al Baqarah: 163)

7. Qudrah (Berkuasa), sifat Qudrah maknanya sifat Allah SWT

yang terdahulu (Azali) yang berdiri pada Dzat-Nya yang mana Allah

SWT Berkuasa untuk mewujudkan sesuatu yang Mumkin (boleh


56
Kitab Tauhid Dasar
terjadi) atau meniadakannya sesuai Iradah-Nya. Adapun dalil adanya

sifat Qudrah bagi Allah ialah bahwasanya telah menjadi ketetapan

bahwa Allah Maha Pencipta dan Dzat yang Terdahulu, dan Allah

SWT memiliki ciptaan yakni makhluk-makhluk-Nya yang bersifat

Baharu, maka tentunya Dzat yang mampu akan hal tersebut pastilah

memiliki sifat Qudrah. Allah SWT berfirman;

ٌ ‫ ٖء لَ ِل‬َٟۡ ‫ ُو ًِّ ش‬ٰٝ ٍَ‫ػ‬


)ٔٓٙ : ‫ (اٌجمشح‬. ‫و‬٠ ‫أٌََ ُۡ رَؼۡ ٍَ ُۡ أ َ هْ ه‬
َ َ‫ٱّٰلل‬
"Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu?" (QS Al Baqarah: 106)

8. Iradah (Berkehendak), Sifat Iradah ialah sifat Allah yang

terdahulu (Qadimah) dan berdiri pada Dzat-Nya yang mana dengan

Sifat tersebut Allah SWT berkehendak memberi suatu ketentuan

(khushushiyah) terhadap segala perkara yang Mumkin (boleh

terjadi atau tidak) atau memberikan ketentuan yang lain. Tegasnya

Allah SWT dapat menjadikan sesuatu di alam ini dengan Iradah atau

Masyiah-Nya besar atau kecil, panjang atau pendek, baik atau buruk,

pintar ataupun bodoh dan sebagainya. Dalil Sifat Iradah ialah

bahwasanya Allah SWT telah menciptakan alam semesta ini dengan

pilihan-Nya (Ikhtiyar), bukan karena terpaksa, maka jika demikian

wajib bagi Allah bersifat Iradah. Allah SWT berfirman;

57
Kitab Tauhid Dasar
ُ ۗ َ ‫َ ۡقز‬٠َٚ ‫شب ا ُء‬
)ٙ٦ : ‫ (اٌمقـ‬..ُُ ُٙ ٌَ َْ ‫به َِب َوب‬ َ َ٠ ‫َ ۡقٍُ ُك َِب‬٠ ‫ َهث َُّه‬َٚ

""Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia Kehendaki dan


memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka,.. " (QS Al
Qashash: 68).

9. Ilmu (ber-Pengetahuan). Ilmu ialah sifat Allah SWT yang

terdahulu (Azali) dan berdiri pada Dzat-Nya yang dengannya Allah

mengetahui segala sesuatu baik yang bersifat wajib, mustahil maupun

Jaiz. Dalil adanya sifat Ilmu bagi Allah ialah bahwasanya Allah SWT

adalah Dzat yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya,

dan Allah menciptakan semuanya dengan Kehendak dan Pilihan-

Nya, jika demikian maka Wajib bagi-Nya bersifat Ilmu. Allah SWT

berfirman;

ُ ِ‫ف ۡٱٌ َقج‬١


)ٔٗ :‫سح اٌٍّه‬ٛ‫ (ع‬.‫و‬١ ُ ‫ ٱٌٍه ِط‬َٛ ُ٘ َٚ َ‫َؼۡ ٍَ ُُ َِ ۡٓ َفٍَك‬٠ ‫أ َ َل‬

"Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang


kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha
Mengetahui?"(QS Al Mulk: 14)

10. Hayat (Maha Hidup). Hayat ialah sifat Allah SWT yang

terdahulu (Azali) dan berdiri pada Dzat-Nya yang dengannya Allah

SWT berhak dan pantas memiliki sifat Qudrah, Iradah, Ilmu,

Sama', Bashar dan Kalam, karena jika Allah tidak bersifat Hayat,

58
Kitab Tauhid Dasar
Mustahil Allah memiliki sifat-sifat tersebut. Dalil Sifat Hayat ialah

bahwasanya telah menjadi ketetapan Allah SWT bersifat Qudrah dan

Iradah, jika demikian wajib bagi Allah bersifat Hayat. Allah SWT

berfirman;

ۗ ّ‫َٓ ٌَُٗ ٱٌل‬١‫ظ‬


)ٙ٘ : ‫سح غبفش‬ٛ‫ (ع‬.. َٓ٠ِ ُ ‫ فَ ۡٲك‬َٛ ُ٘ ‫ َلا ئِ ٌََٰٗ ئِ هل‬ٟ
ِ ٍِ ‫ٖ ُ ُِ ۡق‬ٛ‫ػ‬ ُّ ‫ ۡٱٌ َؾ‬َٛ ُ٘
"Dialah Yang Hidup Kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah
kepada-Nya.." (QS Ghafir: 65).
11. Sama' (pendengaran)

12. Bashar (Penglihatan).

Sama' dan Bashar merupakan sifat Allah yang Azali dan berdiri

pada Dzat-Nya yang dengan keduanya segala sesuatu (Maujudat)

dapat terliput atau tersingkap oleh-Nya. Maka Allah SWT maha

mendengar dan melihat segala sesuatu sehingga derap langkah semut

hitam di batu yang hitam dimalam yang gelap gulita dan dapat

melihat atau mendengar apa saja dengan sempurna meliputi segala

yang Msujud. Adapun dalil Aqli adanya sifat Sama' dan Bashar bagi

Allah adalah bahwa seandainya Allah tidak melihat dan mendengar

berarti itu suatu kekurangan (Naqosh), padahal adanya Naqosh

merupakan hal yang mustahil bagi Dzat yang disembah sebagai

Tuhan, dan Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an;

59
Kitab Tauhid Dasar
‫ ۢ ُغ‬١ِّ ٍ ‫ َه ُو َّب ا ِئ هْ ه‬ٚ‫ب‬
َ َ‫ٱّٰلل‬ ُ ‫َ َۡ َّ ُغ ر َ َؾ‬٠ ُ‫ٱّٰلل‬ ِ ‫ ه‬ٌَٝ‫ ِئ‬ٟ‫ر َ ۡشز َ ِى ا‬َٚ ‫ب‬َٙ ‫ ِع‬ٚۡ َ‫ ى‬ِٟ‫ ر ُ ٰ َغ ِلٌُ َه ف‬ِٟ‫ َي ٱٌهز‬ٛۡ َ‫ٱّٰللُ ل‬
‫ ه‬َٚ ‫ٱّٰلل‬ َ ‫لَ ۡل‬
‫ٍ ِّ َغ ه‬

)ٔ :‫ (اٌّجبدٌخ‬. ‫و‬١
ٌ ‫ظ‬ِ َ‫ث‬

"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang


memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan
mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal
jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS Al Mujaadilah : 1)

13. Kalam (Berbicara), Kalam ialah sifat Allah SWT yang Azali

dan berdiri pada Dzat-Nya serta bukan berupa huruf maupun suara,

tiada permulaan maupun akhiran dan terbebas dari adanya I'rab

(keadaan akhir kalimat) maupun Binaa ( bentuk kalimat). Menurut

para ulama, Kalamullah jika dimutlakkan bersekutu dalam dua

makna yaitu Kalam Nafsi dan Hissi, Kalam Nafsi sebagaimana

disebutkan diatas ialah Kalam yang bukan berupa Huruf dan suara,

tidak disifati dengan adanya permulaan maupun akhiran dan dia

bersifat Qadim yang berarti bukan Makhluk. Sedangkan Kalam Hissi

adalah berupa huruf dan suara yang mana dia adalah bentuk yang

dirupakan (Madlul) dari Kalamullah yg Qadim tadi. Menurut para

ulama, Kalam Allah yang Qadim tersebut diperdengarkan Malaikat

Jibril as sebagai Wahyu dari Allah SWT kepada Baginda Nabi Saw

diwujudkan dengan adanya suara dan berhuruf, kemudian Rasulullah


60
Kitab Tauhid Dasar
Saw membacakan kepada para Sahabat R hum, dan para Sahabat ada

yang menghafalnya dan ada pula yang menyalinnya di dedaunan,

pelepah kurma dan tulang belulang hingga akhirnya terbukukan

seperti sekarang, kesimpulannya menurut para ulama ahli Sunnah wal

Jamaah ialah bahwa yang tertulis dalam Mushaf maupun suara-suara

yang diperdengarkan para Qari adalah Madlul (bentuk yang

dirupakan) dari Kalamullah yang Qadim tersebut. Namun perlu untuk

difahami bahwa meskipun suara para Qari dan huruf-huruf yang

tertulis itu makhluk (hadits), para ulama ahli Sunnah wal Jamaah

telah melarang dengan tegas penyebutan Al Qur'an sebagai sesuatu

yang baru atau sebagai makhluk (kecuali ketika menyampaikan

pengajaran) karena dikhawatirkan timbul adanya dugaan (Wahm)

bahwa Kalam Allah adalah makhluk. Kesimpulannya, jalan yang

lebih selamat ialah mengikuti pendapat para ulama ahli Sunnah wal

Jamaah, yakni cukup meyakini bahwa Al Qur'an adalah Kalamullah

yang Qadim (terdahulu) bukan Makhluk, untuk mempertahankan

Aqidah seperti ini tidak sedikit ulama ahli Sunnah mengalami

penyiksaan dimasa Dinasti Abbasiyah, diantaranya ialah Imam

Ahmad bin Hambal Rah a, Sheikh Muhammad bin Nuh dan lainnya.

Dalil adanya sifat Kalam bagi Allah ialah firman Allah SWT;

61
Kitab Tauhid Dasar
)ٔٙٗ : ‫ّب (إٌغبء‬١ٗ ٍِ ‫ ر َ ۡى‬ٰٝ ٍ ‫ َوٍه َُ ه‬َٚ
َ ُِٛ ُ‫ٱّٰلل‬

"... Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung" .

(QS An Nisa : 164)

Perlu difahami dari ayat diatas, bahwa Kalam Allah terhadap

Nabi Musa as tersebut bukan berarti Allah SWT berbicara setelah

sebelumnya diam mendengarkan, setelah itu berbicara lagi dan diam

lagi yang mengindikasikan adanya awalan dan akhiran sebagaimana

dialog yang terjadi sesama makhluk, Maha Suci Allah SWT dari

menyerupai Makhluk-Nya, menurut para ulama, yang benar ialah

bahwa Allah SWT senantiasa bersifat Kalam, kemudian dengan

karunia-Nya menghilangkan hijab pendengaran Nabi Musa As dan

memberikan kekuatan kepadanya sehingga dapat meliput Kalam-Nya

yang Qadim, dan kemudian setelah itu Allah menutup kembali hijab

tersebut kepada Nabi Musa As seperti sebelumnya.

Menurut para ahli Kalam, jika Allah SWT memiliki sifat

Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama', Bashar dan Kalam yang dikenal

dengan Sifat Ma'ani, maka secara Tabiat Allah SWT pasti memiliki

sifat-sifat berikutnya ( Sifat Maknawiyah) yaitu; Kaunuhu (adanya

Dia):

62
Kitab Tauhid Dasar
14. Qaadiron (berkuasa).

15. Muriidan (menghendaki)

16. 'Aaliman (mengetahui)

17. ys an (Hidup)

18. Samii'an (mendengar)

19. Bashiiran ( melihat)

20. Mutakalliman (berbicara)

Pembagian sifat dua puluh.

Menurut para ulama, Sifat dua puluh yang wajib bagi Allah terbagi

atas 4 bagian;

1. Sifat Nafsiah : lafadz Nafsiah dinisbatkan kepada lafadz

Nafs (Dzat), sifat Nafsiah ialah sifat yang mana keberadaan

Dzat Allah tidak dapat diterima akal tanpa sifat tersebut, sifat

Nafsiah hanya satu yaitu Sifat Wujud.

2. Sifat Salbiyah : lafadz Salbiyah dinisbatkan kepada lafadz

Salb (semakna dengan Nafy/ Peniadaan), dinamakan

Salbiyah karena sifat ini meniadakan dari Allah sifat-sifat

yang tidak layak bagi keagungan-Nya, sifat Salbiyah ada

63
Kitab Tauhid Dasar
Lima yaitu Qidam, Baqa', Mukhalafah Lil Hawadits,

Qiyamuhu bi Nafsih, dan Wahdaniyah.

3. Sifat Ma'ani : dinamakan dengan Sifat Ma'ani karena sifat

ini menetapkan bagi Allah adanya Makna-makna Wujudiyah

yang berdiri pada Dzat-Nya dan layak bagi kesempurnaan-

Nya, sifat Ma'ani ada tujuh yaitu ; Qudrah, Iradah, Ilmu,

Hayat, Sama', Bashar dan Kalam.

4. Sifat Maknawiyah: Maknawiyah dinisbatkan kepada sifat

Ma'ani diatas dan merupakan cabang darinya, dinamakan

Maknawiyah karena sifat-sifat ini selalu menetap (lazim)

pada sifat Ma'ani, karena itu sifat Maknawiyah ada tujuh

sebagaimana sifat Ma'ani, yaitu kaunuhu Qaadiran,

Muriidan, 'Aaliman, Hayyan, Samii'an, Bashiiran dan

Mutakalliman, perbedaan antara sifat Ma'ani dengan

Maknawiyah ialah bahwa sifat Ma'ani merupakan sifat-sifat

Wujudiyah (nyata keberadaannya berdiri pada Dzat-Nya),

sedangkan sifat Maknawiyah merupakan sifat Tsubutiyah

I'tibariyah (perkara-perkara yang ditetapkan dengan

memandang adanya sifat Ma'ani), jadi sifat Maknawiyah

64
Kitab Tauhid Dasar
merupakan suatu ungkapan ('Ibarah) dari wujudnya sifat

Ma'ani bagi Dzat Allah SWT.

Hikmah penetapan sifat Maknawiyah.

Menurut para ulama, setidaknya ada dua alasan dan dalam

penetapan sifat Maknawiyah bagi Allah, padahal sepintas lalu

dipandang cukup dengan adanya sifat-sifat Ma'ani, alasan Pertama

ialah untuk menyebutkan persoalan Aqidah secara terperinci, karena

ketidaktahuan akan hal ini adalah bahaya dan berakibat fatal menurut

ulama ahli Sunnah. Kedua ialah untuk menolak pendapat kaum

Muktazilah yang mengingkari adanya sifat Ma'ani, menurut mereka

(Muktazilah) Allah SWT Maha Kuasa (Qaadir) dengan Dzat-Nya,

menghendaki (Muriid) dengan Dzat-Nya dan Mengetahui ('Aalim)

dengan Dzat-Nya dengan tanpa Qudrah, Iradah dan Ilmu dan

seterusnya meskipun tujuan mereka untuk mensucikan Dzat Allah

SWT. Alasan kaum Muktazilah ialah bahwa jika sifat-sifat Ma'ani itu

sifat yang baru (haaditsah) maka hal itu mustahil bagi Allah, dan jika

sifat-sifat itu bersifat terdahulu (Qadiimah) maka akan terjadi

Ta'addud al-Qudamaa (banyaknya perkara yang Qadim) yang

65
Kitab Tauhid Dasar
tentunya meniadakan sifat Wahdaniyah yang berarti bisa

membatalkan Tauhid seseorang.

Para ulama ahli Sunnah wal Jamaah menjawab Syubhat tersebut

dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Ma'ani bukanlah terpisah

(Mustaqillah) dari Dzat Allah, justru sifat-sifat tersebut mengikut

kepada Dzat dan merupakan sifat Wujudiyah yang berdiri pada Dzat.

Dan menurut ulama ahli Sunnah yang membatalkan Tauhid itu jika

Ber-I'tiqad akan adanya Ta'addud al-Qudamaa yang sifatnya berbeda

dan terlepas dari Dzat, sementara kami (ahli Sunnah) Ber-I'tiqad

bahwa sifat-sifat Ma'ani adalah sifat-sifat yang tidak terlepas dari

Dzat, menjadi penambah (Zaidah) kesempurnaan Dzat dan selalu

menetap pada Dzat-Nya tak akan pernah terpisahkan, dan yang

Qadim hanyalah satu yaitu Dzat-Nya yang Muqaddasah. Wallahu

A'lam.

Ta'alluq sifat-sifat Ma'ani.

Dari semua sifat Ma'ani diatas kecuali Sifat Hayat memiliki Ta'alluq

(keterkaitan) masing-masing terhadap perkara-perkara yang menjadi

sasaran nya, yakni sebagai berikut;

 Sifat Qudrah dan Iradah hanya berkaitan dengan segala hal

yang boleh terjadi (Mumkinat), tidak kepada yang Wajib dan


66
Kitab Tauhid Dasar
Mustahil. Contoh Qudrah kepada yang Wajib misalnya Allah

mewujudkan dirinya sendiri, ini tidak mungkin karena akan

terjadi Tahshil al-Hashil (mewujudkan yang sudah Wujud),

dan contoh Qudrah dan Iradah kepada yang mustahil

misalnya Allah menjadikan anak bagi-Nya atau menciptakan

sekutu yang sepadan dengan diri-Nya, ini juga tidak

mungkin.

 Sifat Ilmu dan Kalam berkaitan (Ta'alluq) terhadap segala

yang wajib, Jaiz dan Mustahil. Namun meskipun sama

Ta'alluq Ilmu dan Kalam, Sifat Ta'alluq keduanya berbeda,

Ta'alluq Sifat Ilmu bersifat Ihathoh (meliputi) dan Inkisyaf

(menyingkap) akan segala hal yang wajib, Jaiz dan Mustahil,

sedangkan Ta'alluq Sifat Kalam bersifat Dilalah

(menunjukkan) terhadap segala hal yang wajib, Jaiz dan

Mustahil menurut akal. Karena itu ketika kita men-Tadabburi

Al-Qur'an, kita dapat mengetahui bahwa Kalam Allah

menunjukkan kepada kita akan hal yang Wajib menurut akal

misalnya ayat yang menerangkan tentang Dzat Allah serta

Sifat-Nya, dan hal yang mustahil seperti penapian adanya

anak atau sekutu bagi-Nya dan hal yang Jaiz seperti

67
Kitab Tauhid Dasar
memberikan Rizqi, karunia, Hidayah dan balasan pada

sebagian hamba-Nya.

 Sifat Sama' dan Bashar berkaitan (Ta'alluq) terhadap segala

yang telah terwujud atau akan diciptakan (Maujudat) baik

benda maupun suara termasuk warna-warna. Namun

meskipun keduanya sama dalam Ta'alluq, namun Hakikat

Inkisyaf (penyingkapan) Sifat Sama' dan Bashar memiliki

perbedaan yang hanya Allah saja yang mengetahuinya,

Wallahu A'lam.

Kajian sifat 20 sebagai sarana efektif untuk menguatkan


dan meluruskan Aqidah umat

Jika kita membaca berbagai literatur dalam bidang kajian

Aqidah atau Tauhid menurut madzhab Ahlu Sunnah, maka pada

umumnya akan dijumpai pembahasan mengenai sifat 20 yang wajib

bagi Allah. Dan di dunia pesantren yang notabene nya bermazhab

Asy'ari dalam Aqidah, pelajaran mengenai sifat 20 adalah termasuk

dalam kurikulum yang wajib dipelajari oleh para santri. Oleh karena

itulah kitab-kitab yang membahas sifat 20 seperti Aqidah Awam,

Fathul Majid, Jawahir al-Kalamiyah, Jauharoh al-Tauhid, al-

68
Kitab Tauhid Dasar
Sanusiyah serta berbagai Syarah kitab-kitab tersebut masih tetap

bertahan hingga kini, tak pernah lekang oleh zaman selalu dikaji para

santri di Nusantara sejak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagai bukti

betapa para ulama kita sejak dulu hingga kini memiliki perhatian

serius dalam menanamkan Aqidah yang lurus terhadap kaum

muslimin.

Sejarah juga mencatat bahwa penyebaran dakwah Islam dan

usaha menanamkan Aqidah yang benar dinusantara khususnya

dengan menghidupkan kajian sifat 20 terbukti efektif

mempertahankan Islam di Nusantara walaupun sekian lama

mengalami masa-masa kelam hidup dalam penjajahan bangsa asing.

Dan tidak dapat dipungkiri bahwa yang paling besar peranannya

dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan ialah para ulama

dan para santri yang menjadikan pesantren sebagai sentral

perjuangan, namun yang perlu difahami ialah bahwa tidak mungkin

para santri tersebut siap berjuang dan rela berkorban jiwa dan raga

jika tidak didasari dengan kekuatan iman yang ditopang oleh

landasan Aqidah yang benar.

Singkatnya kajian Aqidah dengan pendekatan sifat 20 ini

telah terbukti sukses membentuk kepribadian mukmin sejati yang

69
Kitab Tauhid Dasar
siap berjuang untuk agama dan bangsa bahkan jauh sebelum dikenal

konsep pembagian Tauhid menjadi tiga yang diperkenalkan

kelompok yang mengaku-ngaku sebagai pembaharu belakangan ini.

Dewasa ini telah muncul penolakan dari kelompok tersebut

terhadap ajaran sifat 20, menurut mereka kewajiban mempelajari sifat

20 tidak ada dalam Al-Qur'an dan Hadits, bahkan menurut mereka

dalam Hadits justru disebutkan bahwa Allah memiliki nama-nama

yang baik yang dikenal dengan nama al-Asma al-Husna yang

berjumlah 99 nama, akhirnya dari sinilah muncul persoalan mengapa

Sifat yang Wajib diketahui hanya terbatas 20 Sifat, bukan 99

sebagaimana al-Asma al-Husna, padahal tentunya para ulama ahli

Sunnah dalam menetapkan 20 Sifat Wajib bagi Allah adalah setelah

melakukan ijtihad dengan analisa yang mendalam terhadap Al Qur'an

dan Hadits, bukan karena tidak mengetahui Hadits al-Asma al-Husna

tersebut.

Berikut ini kami akan sebutkan beberapa dasar ilmiah yang

menjadi landasan argumentasi para ulama dalam merumuskan Sifat

20, antara lain;

 Setiap mukallaf mesti meyakini atau Ber-I'tiqad bahwa Allah

SWT memiliki segenap sifat kesempurnaan yang layak bagi

70
Kitab Tauhid Dasar
keagungan-Nya. Inilah yang menjadi dasar adanya ijtihad

menetapkan sifat wajib bagi-Nya.

 Para mukallaf juga mesti meyakini bahwa Allah SWT bersih

dan terbebas dari segala sifat kekurangan yang tidak layak

bagi keagungan-Nya. Dari sini muncul penetapan sifat

Mustahil bagi Allah.

 Dan para mukallaf juga mesti meyakini bahwa Allah SWT

boleh berbuat apa saja yang boleh atau Mumkin pada hak-

Nya seperti menghidupkan, mematikan, memberi, menahan

pemberian, memuliakan atau menghinakan dan sebagainya.

Atas dasar itulah para ulama menetapkan Sifat Jaiz bagi

Allah SWT.

 20 Sifat Wajib bagi Allah tersebut menurut para ulama telah

dianggap memadai dalam menanamkan Aqidah yang benar

sesuai Al-Quran dan As-sunah dan telah teruji dalam

membentengi seseorang dari pemahaman yang keliru dalam

ber-Aqidah kepada Allah, seperti pemahaman Muktazilah,

Musyabbihah, Mujassimah Hasyawiyah, Karomiyah,

Falasifah dan sebagainya, contohnya kaum Muktazilah

berpendapat bahwa Allah Maha Kuasa namun tidak punya

71
Kitab Tauhid Dasar
sifat Qudrah, berkehendak namun tidak memiliki Iradah,

Maha Mengetahui namun tidak memiliki Ilmu dan

seterusnya, maka pemahaman seperti ini akan tertolak

dengan memahami dan meyakini sifat-sifat Ma'ani.

Demikian juga kaum Mujassimah, mereka mengatakan

bahwa Allah duduk dan bertempat di Arasy, dan boleh

ditunjuk ke arah langit, maka pendapat tersebut tertolak

dengan memahami dan meyakini sifat Qiyamuhu binafsih.

Dan demikian juga ketika kaum Musyabbihah menyerupakan

Allah dengan makhluk-Nya, seperti memiliki tangan, mata,

dan organ tubuh lainnya, maka pemahaman ini juga tertolak

dengan Sifat Mukhalafah Lil Hawadits.

 Sebenarnya para ulama tidak membatasi sifat wajib bagi


Allah hanya 20 Sifat tersebut, sebagaimana juga tidak
membatasi nama-nama Allah hanya terbatas pada 99 nama.
Sayyid Muhammad bin Ali baathiyah mengatakan dalam
Mujazul Kalam;
‫ً ِغ اػزمبد أْ هلل‬١‫ اٌزفق‬ٍٝ‫ ػ‬ٌٝ‫اججخ هلل رؼب‬ٌٛ‫ٓ اٌقفخ ا‬٠‫ب ِؼشفخ اٌؼؾش‬١ٕ١‫ثب ػ‬ٛ‫ج‬ٚ ‫جت‬٠
.. ٝ٘‫ ففبد وّبي ال رزٕب‬ٌٝ‫رؼب‬
"Wajib atas setiap mukallaf mengetahui 20 Sifat Wajib bagi Allah
secara terperinci disertai dengan keyakinan bahwa Allah SWT
memiliki sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terhingga".

72
Kitab Tauhid Dasar
BAB IV
SIFAT JAIZ BAGI ALLAH

ْ ُِ ًّ ِ ‫ر َ ْشنٌ ٌِـ ُى‬


ِٗ ٍِ ‫ـّ ِى ٍٓ وَـ ِف ْؼــ‬ ْ َ‫ِئض ثِف‬
ِٗ ٌِ ‫ ػَــ ْذ‬َٚ ِٗ ٍِ ‫نــ‬ ٌ ‫ َجـب‬َٚ

"Dan Jaiz (boleh) bagi Allah untuk meninggalkan atau berbuat

segala yang bisa terjadi (Mumkin) dengan karunia-Nya dan

Keadilan-Nya"

Keterangan

Setelah menyebutkan sifat Wajib bagi Allah, Sheikh Ahmad

Marzuq Rah a mencoba menerangkan bagian yang kedua dari hukum

akal, yaitu Sifat Jaiz bagi Allah.

Sebagaimana diterakan dalam kandungan Nazhom diatas,

sifat Jaiz bagi hak Allah adalah kebolehan untuk berbuat segala yang

Mumkin (segala yang bisa terjadi sesuai Qudrah dan Iradah-Nya) atau

meninggalkannya (tidak berbuat).

Maka menurut para ulama ahli Sunnah wal Jamaah, setiap

Mukallaf Wajib meyakini bahwasanya Jaiz (boleh) bagi Allah untuk

menciptakan siapa yang Dia kehendaki atau tidak menciptakanya,

dan boleh juga untuk Memilih dari ciptaan-Nya dengan suatu sifat

atau keadaan tertentu atau tidak memilihnya. Maksudnya mencipta

73
Kitab Tauhid Dasar
atau memilih hamba-Nya adalah Jaiz bagi Allah, bukan Wajib.

Karena Allah adalah al-Mutasharrif al-Muthlaq (Sang penguasa

Mutlak), maka tidak ada seorangpun dari hamba-Nya yang memiliki

pilihan disamping pilihan-Nya, hanya ditangan Allah segala perkara,

baik maupun buruk, Dialah Allah yang dapat memberi atau

mencegah, memuliakan atau menghinakan, memberi manfaat atau

madhorot, mengampuni atau mengazab, memberikan pahala atau

siksa dan sebagainya.

Didalam bait syair diatas, Sheikh Ahmad Marzuq Rah a

menyebutkan lafadz ٌٗ‫ػذ‬ٚ ٍٗ‫ ثفن‬, maksudnya ialah tentang masalah

pahala dan siksa, yakni apabila Allah SWT memberikan pahala

kepada seorang hamba, itu adalah murni karena karunia-Nya, bukan

karena amalan hamba tersebut, karena pada dasarnya amalan seorang

hamba sebenarnya tidak cukup untuk membandingi sedikit nikmat

yang Allah berikan kepadanya, dan jika Allah menghendaki untuk

menyiksa seorang hamba, maka itu adalah karena keadilan-Nya.

Sebagaimana disebutkan dalam Shohih Bukhari dari sahabat Abu

Hurairah Ra bahwa Baginda Rasulullah Saw bersabda;

ْ‫ال أٔب اال أ‬ٚ ‫ ال‬:‫ي هللا؟ لبي‬ٛ‫ب سع‬٠ ‫ال أٔذ‬ٚ ‫ا‬ٌٛ‫ لب‬،‫ذخً أدذا ػٍّٗ اٌجٕخ‬٠ ٌٓ

.. ‫سدّخ‬ٚ ً‫ هللا ثفن‬ٝٔ‫زغّذ‬٠


74
Kitab Tauhid Dasar
"Amalan seorang tidak dapat memasukan ya kedalam

surga", para sahabat bertanya: "tidak juga engkau ya

Rasulullah?" Beliau bersabda: "tidak, tidak juga amalan saya,

kecuali jika Allah meliputiku dengan Karunia dan Rahmat-Nya"

(HR Bukhari).

Maka menurut para ulama adalah Jaiz bagi Allah jika Allah

berbuat sebaliknya, misalnya menyiksa orang yang taat dan

mengampuni orang yang maksiat, hal itu tidak bisa dikatakan zhalim,

karena semua yang ada di langit dan bumi adalah milik-Nya, maka

Allah berhak berbuat apa saja terhadap apa yang menjadi milik-Nya,

perbuatan zhalim hanya boleh disematkan kepada yang menguasai

milik orang lain tanpa hak. Ini adalah pendapat ulama ahli Sunnah

wal Jamaah, berbeda dengan pendapat kaum Muktazilah yang

mengatakan bahwa Allah wajib memberikan pahala kepada hamba

yang taat dan wajib menyiksa orang yang bermaksiat.

Demikian juga Jaiz bagi Allah untuk memilih dari hamba-

Nya, ada yang dijadikan sebagai Nabi, sebagai Wali atau Ulama atau

seorang awam, menjadikan taat atau ahli maksiat, menjadikan

mukmin atau kafir, memilih menjadi umat Nabi tertentu serta

memilih diantara hamba-Nya sebagai ahli surga atau neraka.

75
Kitab Tauhid Dasar
Sebagaimana Jaiz bagi-Nya untuk menjadikan seseorang sebagai raja

atau rakyat jelata, kaya atau miskin, sehat atau sakit dan menjadikan

bangsa atau suku tertentu. Kesimpulannya, semua itu adalah Jaiz atau

boleh bagi Allah bukan wajib bagi-Nya. Allah SWT berfirman dalam

Al-Qur'an;

}ٙ٦ : ‫َ َوح ُ {اٌمقـ‬١‫ ُُ ۡٱٌ ِق‬ُٙ ٌَ َْ ‫به َِب َوب‬


ُ ۗ َ ‫َ ۡقز‬٠َٚ ‫شب ا ُء‬
َ َ٠ ‫َ ۡقٍُ ُك َِب‬٠ ‫ َهث َُّه‬َٚ

"Dan Tuhan-Mu menciptakan apa yang Dia kehendaki

dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka, .." (QS

Al Qashash : 68)

Para ulama juga menetapkan bahwa Allah SWT juga lah

yang telah menciptakan segenap amalan hamba-Nya baik amal

kebaikan maupun keburukan, baik dalam keadaan dapat memilih

(Ikhtiyar) maupun keadaan terpaksa (Idhthirar), seorang hamba

hanya memiliki kecendrungan (Mail) terhadap pilihannya yang

menggerakkannya berbuat upaya (Kasab), maka karena

kecenderungan tersebut itulah seorang hamba dituntut untuk

bertaubat dan menyesal ketika jatuh pada perbuatan yang buruk. Jadi

Madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah menetapkan adanya Kasab bagi

setiap hamba dalam perbuatan mereka yang bersifat Ikhtiyariyah.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an.

76
Kitab Tauhid Dasar
}٣ٙ : ‫ْ {اٌقبفبد‬ٍّٛ‫ِب رؼ‬ٚ ُ‫هللا خٍمى‬ٚ

"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu

perbuat itu" (QS Ash shaaffaat : 96)

Ayat diatas secara Shorih menolak pendapat kaum

Muktazilah yang mengatakan bahwa setiap hamba menciptakan

amalannya sendiri yang bersifat Ikhtiyariyah, menurut mereka

(Muktazilah) yang diciptakan Allah hanyalah amalan yang bersifat

Idhthirariyah (terpaksa) seperti gerakan orang yang gemetar dan

sebagainya. Jadi antara Madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah dengan

kaum Muktazilah sepakat mengenai perbuatan Idhthirariyah, namun

berbeda mengenai perbuatan Ikhtiyariyah.

Larangan menisbatkan keburukan kepada Allah.

Meskipun telah jelas ketetapan para ulama bahwa semua

perbuatan hamba, baik maupun buruk adalah ciptaan Allah, namun

untuk menerapkan adab kepada Allah semestinya setiap hamba

jangan menisbatkan keburukan kepada Allah, adab yang baik

menuntut kita agar hanya menisbatkan kebaikan kepada-Nya,

sedangkan terhadap keburukan seyogyanya kita nisbatkan kepada diri

77
Kitab Tauhid Dasar
kita, karena kekurangan, kelemahan dan kesembronoan kita

walaupun pada hakikatnya semuanya kembali kepada Allah.

Para ulama mengatakan demikian berdasarkan beberapa dalil

yang mengisyaratkan hal tersebut, antara lain fiman Allah SWT;

ُّ ‫ ۡٱٌجَ ۡؾ ِو فَأ َ َه‬ِٟ‫َْ ف‬ٍَُّٛ ۡ‫َؼ‬٠ َٓ١‫َ ِى‬


‫ه‬ٞ ٍِ ِ‫ َهاا َءُُ٘ ه‬َٚ َْ‫وَب‬َٚ ‫ب‬َٙ َ‫ج‬١‫كد أ َ ْۡ أ َ ِػ‬ ‫أ َ هِب ٱٌ ه‬
َ ٰ َّ ٌِ ‫َٕخُ فَ َىبٔ َۡذ‬١‫َ ِف‬

َ ً‫َ ۡأ ُفنُ ُو ه‬٠


}٢٣ :‫ف‬ٙ‫سح اٌى‬ٛ‫َٕ ٍخ غَظۡ جٗ ب {ع‬١‫ٍ ِف‬

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin

yang bekerja di laut, dan aku bertujuan untuk merusakkan bahtera

itu, karena dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas

tiap-tiap bahtera" (QS Al Kahfi : 79)

Ayat diatas dengan jelas menyebutkan perkataan al-Khidhir

Ra yang menyatakan hendak merusak sebuah perahu milik nelayan

miskin, terlepas dari hikmah yang ada, perbuatan merusak adalah

suatu keburukan, atas hal tersebut al-Khidhir Ra menisbatkan

perbuatannya tersebut kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah

walaupun semua itu terjadi atas kehendak Allah SWT. Sedangkan

dalam kasus yang lain pada kisah selanjutnya yang menyebutkan

adanya Rahmat Allah kepada dua orang anak yatim, Allah SWT

berfirman;

78
Kitab Tauhid Dasar
ٰ
َ ٰ ‫ُ٘ َّب‬ُٛ‫وَبَْ أَث‬َٚ ‫ َّب‬ُٙ ‫ٕي ٌه‬ٞ ‫ َوبَْ ر َۡؾز َ ۥُٗ َو‬َٚ ‫َٕ ِخ‬٠ِ‫ ۡٱٌ َّل‬ٟ‫ ِٓ ِف‬١ۡ َّ ١ِ‫َز‬٠ ِٓ ١ۡ َّ ٌٍَُُِ َْ‫اه فَ َىب‬
َ‫ط ٍِ ٗؾب َفأ َ َهاك‬ ُ َ‫أ َ هِب ۡٱٌ ِغل‬َٚ

}٦ٕ :‫ف‬ٙ‫سح اٌى‬ٛ‫ {ع‬... ‫ َۡز َۡق ِو َعب َوٕيَ ُ٘ َّب َه ۡؽ َّ ٗخ ِِّٓ هه ِثّ َه‬٠َ َٚ ‫ ۡجٍَُُب ا أَشُلهُ٘ َّب‬٠َ َْ‫َهث َُّه أ‬

"Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang


anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta simpanan bagi
mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka
Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai
Rahmat dari Tuhanmu, ..." (QS Al Kahfi : 82)

Penggalan ayat diatas menyebutkan adanya kebaikan berupa

Rahmat Allah bagi kedua anak yatim dalam kisah perjalanan Nabi

Musa as dan al-Khidhir Ra, disitu dengan jelas al-Khidhir Ra

menisbatkan kebaikan tersebut kepada Allah.

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman berkenaan

dengan kisah Nabi Ibrahim as;

ِ ‫َ َۡ ِم‬٠َٚ ُِّٟٕ ‫ُ ۡط ِؼ‬٠ َٛ ُ٘ ٞ‫ٱٌه ِن‬َٚ }٢٦{ ٓ٠


ۡ ‫ئِمَا َِ ِو‬َٚ }٢٣{ ٓ١
ُ‫ػذ‬ ِ ‫ۡ ِل‬َٙ٠ َٛ ُٙ َ‫ ف‬َِٟٕ‫ َفٍَم‬ٞ‫ٱٌه ِن‬

ِ ‫َ ۡش ِف‬٠ َٛ ُٙ َ‫ف‬
}٦ٓ{ ٓ١

"(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah


yang menunjuki aku (78) dan Tuhanku, yang Dia memberi makan
dan minum kepadaku, (79) dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkanku" (80) (QS Asy Sua'araa' : 78-80)

79
Kitab Tauhid Dasar
Dalam ayat diatas disebut bahwa untuk kebaikan-kebaikan

seperti menciptakan, memberi petunjuk, memberi makanan dan

minuman serta memberikan kesembuhan, semuanya dinisbatkan

kepada Allah, sebaliknya untuk sesuatu yang tidak disukai, yakni

datangnya suatu penyakit maka tidak dinisbatkan kepada Allah

meskipun pada hakikatnya penyakit juga datang dari Allah, karena

itu diungkapkan dengan lafadz "Wa idzaa Maridhtu .." (dan apabila

aku sakit) bukan dengan lafadz misalnya "Wa idzaa amradhanii

rabbii" (apabila Tuhanku memberikan penyakit kepadaku).

Disebutkan juga dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman;

ِ ‫ ۡٱأل َ ۡه‬ِٟ‫لَ ِث َّٓ ف‬٠‫ أَش ٌَّو أ ُ ِه‬ٞ


}ٔٓ{ ‫ ُۡ َهشَلٗ ا‬ُٙ ُّ‫ ُۡ َهث‬ِٙ ‫ع أ َ َۡ أ َ َهاكَ ِث‬ ‫أَٔهب َل ٔ َۡل ِه ا‬َٚ
"Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan
adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi
orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan
bagi mereka" (QS Al Jin : 10)
Mengenai ayat diatas, Imam Ibnu Katsir Rah a menafsirkan

dengan mengatakan; "ini termasuk diantara adab mereka (bangsa Jin

yang beriman kepada Rasulullah Saw) saat menyampaikan suatu

ungkapan dengan menyandarkan keburukan bukan kepada

pelakunya dan menyandarkan kebaikan kepada Allah SWT".

80
Kitab Tauhid Dasar
BAB V

SIFAT WAJIB, JAIZ DAN KEMAKSUMAN PARA NABI

'ALAIHIM AL-SHALATU WASSALAM.

ْ َٔ‫اْأل َ َِـــب‬َٚ ‫غ‬١ْ ٍِ ‫اٌز َّ ْجــ‬َٚ ‫ْق‬


‫ـخ‬ ِ ‫قـذ‬
ّ ِ ٌ‫ِثب‬ ْ َ ٔ‫طــب‬
‫ـخ‬ َ ‫أ َ ْس‬
َ ‫ فَــ‬ِٞٚ َ ‫َـــب ر‬١‫عـ ًَ ا َ ْٔ ِج‬
ِ

ِ ‫ف اٌْ َّ َش‬
‫ك‬ ٍ ‫ ِش َٔـ ْم‬١ْ َ‫ِثــغ‬
ِ ١ْ ‫ــ وَـ َخ ِفـ‬ ‫ك‬ َ ‫ ُْ ِِ ْٓ ػ‬ِٙ ّ‫ َدـ ِم‬ٝ‫ َجـب ِئ ٌض ِف‬َٚ
ِ ‫َـش‬

‫ا اٌْ َّ َـالئِــى َْخ‬ْٛ ٍُ‫مــ‬


َ ‫فَــب‬َٚ ٌ‫اجــجَخ‬
ِ َٚ ‫ــالئِـى َْخ‬
َ َّ ٌْ‫غـبئِ ِش ا‬
َ ‫ ُْ وَـ‬ُٙ ُ ‫ق َّــز‬
ْ ‫ِػــ‬

"Allah telah mengutus para Nabi yang memiliki sifat Fathanah

(cerdas), Shiddiq (jujur), Tabligh (menyampaikan) dan Amanah

(terpercaya)"

"Dan Jaiz (boleh) bagi para Nabi mengalami keadaan yang tidak

mengurangi kemulyaan derajat mereka semacam penyakit yang

ringan"

"Meyakini bahwa para Nabi itu Ma'shum (terpelihara dari

perbuatan dosa) sebagaimana Malaikat ialah wajib atas mukallaf

dan para ulama mengunggulkan derajat para Nabi daripada

derajat para Malaikat"

Penjelasan

Setelah menjelaskan sifat Jaiz bagi Allah, Sayyid Ahmad

Marzuq Rah a memulai pembahasan I'tiqad selanjutnya yang mesti

81
Kitab Tauhid Dasar
diyakini setiap mukallaf, yakni bahwasanya Allah SWT telah

mengutus para nabi dan rasul yang menyampaikan Risalah dari-Nya

kesegenap umat manusia, menurut para ulama Ahlu Sunnah wal

Jamaah, mengimani mereka secara Ijmali (global) dari Nabi Adam

As hingga Nabi Muhammad Saw adalah Wajib atas setiap mukallaf,

adapun mengimani mereka secara terperinci (Tafshiliy) akan dibahas

pada pembahasan yang akan datang.

Beliau Rah a meletakkan pembahasan para nabi dan Rasul

beserta sifat-sifat mereka setelah membahas Sifat Jaiz bagi Allah

adalah berdasarkan apa yang beliau yakini dari beberapa pendapat

yang ada tentang pengutusan para Nabi, apakah hal tersebut wajib

bagi Allah?, Dalam hal ini ada beberapa pendapat;

 Pendapat pertama mengatakan wajib, pendapat ini dianut

oleh kaum Falasifah dan kaum Muktazilah, menurut kaum

Falasifah Allah wajib mengutus utusan berdasarkan kepada

adanya 'Illat (sebab) dan Thabi'at (adat), menurut mereka

adanya Allah mengharuskan adanya alam, dan adanya alam

mengharuskan adanya orang yang membuat kemaslahatan

untuk alam tersebut, dari pemahaman ini jelaslah bahwa

kaum Falasifah berkeyakinan bahwa alam ini bersifat Qadim

82
Kitab Tauhid Dasar
sebagaimana Allah juga bersifat Qadim, menurut para ulama

ahli Sunnah wal Jamaah pemahaman demikian dapat

menjadikan seseorang jatuh pada kekufuran. Adapun alasan

kaum Muktazilah bahwa Allah wajib mengutus para Nabi

adalah bertolak dari keyakinan mereka akan wajibnya Allah

untuk berbuat Sholah wal Ashlah (kebaikan dan yang

terbaik) bagi hamba-Nya. Padahal menurut Aqidah ahli

Sunnah wal Jamaah memberikan Sholah wal Ashlah bagi

Allah adalah Jaiz, bukan Wajib, namun menurut para ulama

keyakinan kaum Muktazilah dalam masalah Sholah wal

Ashlah ini tidak sampai menjadikan mereka jatuh pada

kekufuran, itu hanya menyebabkan kefasikan.

Aqidah kaum Muktazilah dalam masalah Sholah wal Ashlah

ini telah dibantah oleh Imam Ahlu Sunnah wal Jamaah yakni

Sheikh Abu Hasan Asy'ari Rah a dalam satu forum diskusi

bersama Sheikh al-Jubai salah seorang tokoh Muktazilah.

Diantara cuplikan dialog mereka sebagai berikut;

Imam Asy'ari : "apa pendapat tuan tentang tiga orang

bersaudara, salah satu mereka meninggal dunia dalam

ketaatan dimasa tuanya, kemudian saudaranya yang kedua

83
Kitab Tauhid Dasar
meninggal sebagai ahli maksiat di masa tuanya sedangkan

saudara yang ketiga meninggal masih kecil sebelum

balighnya, bagaimana nasib mereka di akhirat?"

Sheikh al-Jubai : "saudara yang pertama (yang meninggal

dalam ketaatan) akan masuk surga, dan saudara yang kedua

(ahli maksiat) akan masuk neraka sedangkan saudara ketiga

(yang meninggal sebelum baligh) tidak akan masuk surga

dan tidak akan disiksa dalam neraka".

Imam Asy'ari : " bagaimana seandainya saudara ketiga

tersebut mengadu kepada Allah dengan berkata "ya Tuhan,

Engkau matikan aku masih kecil, seandainya Engkau

hidupkan aku hingga dewasa niscaya aku akan mentaati

Engkau sehingga aku akan masuk dalam surga-Mu", apa

yang akan Allah katakan kepadanya?"

Sheikh al-Jubai : "Allah akan berkata kepadanya:

"sesungguhnya aku mengetahui bahwa seandainya engkau

hidup hingga dewasa, kamu akan menjadi ahli maksiat dan

kamu akan masuk kedalam neraka, maka yang terbaik

(Ashlah) adalah kamu meninggal masih kecil.."

84
Kitab Tauhid Dasar
Imam Asy'ari : "bagaimana seandainya saudara kedua

yang ahli maksiat berkata: " wahai Tuhan, mengapa Engkau

tidak matikan aku disaat aku masih kecil (tidak membuat

kemaslahatan), tentunya aku tidak akan maksiat dan tidak

akan masuk neraka.." apa jawaban Allah?"

Sheikh al-Jubai: terdiam tidak menjawab.

 Pendapat kedua mengatakan Mustahil Allah mengutus para

Nabi, pendapat ini diusung oleh kaum Barahamah. Imam

Syahrastani Rah a dalam kitabnya al-Milal wan Nihal

menyebutkan beberapa alasan kaum Barahamah berpendapat

demikian, diantaranya menurut mereka ialah bahwa ajaran

yang dibawa para Nabi tidak terlepas dari salah satu dua

perkara, yakni adakalanya masuk akal (Ma'qul) dan

adakalanya tidak masuk akal (Ghairu Ma'qul), karenanya

menurut mereka seandainya ajaran yang dibawa para Nabi

itu masuk akal, maka adanya akal sehat yang diberikan

Tuhan sudah cukup memadai untuk mencapai ajaran

tersebut, jadi menurut mereka ketika akal sudah mencukupi

untuk mencapai ajaran tersebut, untuk apa lagi Tuhan

mengutus para Nabi? Sedangkan seandainya ajaran para Nabi

85
Kitab Tauhid Dasar
itu sesuatu yang tidak masuk akal, maka tentunya ajaran

tersebut tidak dapat diterima, karena menurut mereka

menerima sesuatu yang tidak masuk akal merupakan perkara

yang berada diluar nalar atau melampaui batas kemanusiaan.

Para ulama telah menjawab Syubhat-syubhat kaum

Barahamah tersebut dengan mengemukakan Argumentasi

bahwasanya akal pikiran manusia belum cukup memadai

untuk dapat meliputi atau mencapai seluruh Hikmah dan

Maslahat apa saja yang ada dalam ajaran para Nabi tersebut

terutama dalam hal yang berkaitan dengan rahasia-rahasia

Syari'at yang dibawa para Nabi 'Alaihim al-Shalatu

Wassalam.

 Pendapat ketiga yaitu pendapat Ahlu Sunnah wal Jamaah,

yaitu bahwasanya mengutus para Nabi adalah perkara yang

Jaiz menurut akal. Menurut ulama Ahlu Sunnah, Allah

mengutus para utusan adalah murni sebagai karunia, Rahmat,

hikmah dan karena Adil-Nya Allah SWT, dalam kitab

Jauharah al-Tauhid disebutkan;

ْ َ‫ل اٌْف‬
ًِ ‫ن‬ َ ْٛ ‫ ُج‬ُٚ ‫فَ َال‬
ِ ْ‫ة ثَ ًْ ِث َّذ‬ ًِ ‫عـ‬
ْ ‫اٌش‬ َ ‫ ِِ ُْٕٗ ا ِْس‬َٚ
ُّ ‫ ِغ‬١ْ ‫عــب ُي َج ِّـ‬

86
Kitab Tauhid Dasar
"Diantara hal yang Jaiz bagi Allah ialah mengutus para Rasul, itu

bukan wajib bagi Allah, akan tetapi murni karena Karunia-Nya"

Adapun dalil yang dijadikan pegangan para ulama Ahli

Sunnah diantaranya ialah firman Allah SWT dalam Al-Qur'an;

َ ْ‫ا‬ٍُٛ‫َ ۡز‬٠ ُۡ ِٙ َِ ُ‫ل ِ ِّ ۡٓ أَٔف‬ٛ


ُۡ ِٙ ١‫ُيَ ِ ّو‬٠َٚ ‫َزِ ِٗۦ‬٠ٰ ‫ ُۡ َءا‬ِٙ ١ۡ ٍَ‫ػ‬ ٗ ٍ َ َ‫َٓ ِئ ۡم ثَؼ‬١ِِِٕ ‫ ۡٱٌ ُّ ۡإ‬ٍَٝ‫ػ‬
ُ ‫ ُۡ َه‬ِٙ ١ِ‫ش ف‬ ‫ٌَمَ ۡل َِ هٓ ه‬
َ ُ‫ٱّٰلل‬
ٰ َ ٟ‫اْ ِِٓ لَ ۡج ًُ ٌَ ِف‬ُٛٔ‫ئْ وَب‬ٚ َ‫ ۡٱٌ ِؾ ۡىّخ‬ٚ ‫ت‬
ٍ ‫ػٍَ ًٖ ُِّ ِج‬
}ٔٙٗ{ ٓ١ َِ َ َ َ َ ‫ ُُ ۡٱٌ ِى ٰز‬ُٙ ُّ ٍِّ َ‫ُؼ‬٠َٚ

"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-


orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka
seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata".
(QS Ali Imran: 164)
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman

...... ُۡ ُٙ ٕۡ ِّ ِ ‫ل‬ٛ ُ ‫ ُۡ َه‬ِٙ ١‫ ۡٱثؼَ ۡش ِف‬َٚ ‫َهثهَٕب‬


ٗ ٍ

"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari

kalangan mereka, ... "(QS Al Baqarah: 129)

Ayat pertama diatas menjelaskan pengutusan para Rasul dari

kalangan manusia merupakan anugerah Allah bagi orang-orang yang

beriman dan ayat selanjutnya menceritakan doa Nabi Ibrahim As

87
Kitab Tauhid Dasar
yang beliau panjatkan ketika membina dasar-dasar Baitullah bersama

putra beliau Ismail As, maka seandainya pengutusan para Rasul

merupakan perkara yang wajib bagi Allah tentunya Nabi Ibrahim As

tidak akan meminta agar diutus Nabi setelah beliau. Para ulama juga

menambahkan argumen mereka bahwa seandainya pengutusan para

Rasul itu wajib bagi Allah, maka tentunya disetiap zaman mestilah

ada Nabi yang diutus, karena meninggalkan yang wajib adalah

mustahil bagi Allah, namun kenyataannya dalam Al-Qur'an

ditunjukkan adanya zaman Fatrah atau zaman yang vakum dari

kenabian, yakni Nabi yang lama telah tiada dan belum ada Nabi

penggantinya. Sebagaimana firman Allah SWT;

‫اْ َِب َعب ا َءَٔب‬ٌُُٛٛ‫ٍ ًِ أَْ رَم‬ ُّ َِّٓ ِ ‫ فَ ۡز َو ٖح‬ٰٝ ٍَ‫ػ‬


ُ ‫ٱٌو‬ َ ُۡ ‫ّ ُٓ ٌَ ُى‬١ِ َ‫ُج‬٠ ‫ٌَُٕب‬ٍٛ ِ َ ‫َاأ َ ۡ٘ ًَ ۡٱٌ ِى ٰز‬٠ٰ
ُ ‫ت لَ ۡل َعب ا َء ُو ُۡ َه‬

‫و‬٠ٞ ‫ ٖء لَ ِل‬َٟۡ ‫ ُو ًِّ ش‬ٰٝ ٍَ‫ػ‬ ‫ ه‬َٚ ‫و‬٠ۗ ٞ ‫َٔ ِن‬َٚ ‫و‬١ٞ ‫و فَمَ ۡل َعب ا َء ُوُ ثَ ِش‬٠ُۖ ٖ ‫ َل َٔ ِن‬َٚ ‫و‬١ٖ ‫ِِ ۢٓ ثَ ِش‬
َ ُ‫ٱّٰلل‬

"Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu


Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus
(pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: "tidak
datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira
maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang
kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu".
(QS Al Maidah: 19)

88
Kitab Tauhid Dasar
Para ulama juga menambahkan bahwa kedudukan Rasulullah

Saw sebagai Khatimul Anbiya wal Mursalin juga menjadi argumen

bagi yang berpendapat Jaiz dalam pengutusan para Rasul, sebab

seandainya wajib bagi Allah akan timbul persoalan mengapa Allah

tidak mengutus lagi nabi setelah beliau Baginda Rasulullah Saw.

Sifat-sifat yang Wajib bagi para Rasul.

Bait-bait syair diatas juga menyebutkan sifat-sifat Wajib bagi para

Rasul yang mesti diyakini oleh setiap mukallaf, yaitu ada empat Sifat

sebagai berikut;

 Fathanah (kecerdasan), para Rasul wajib bersifat Fathanah

karena seandainya tidak demikian tentunya mereka tidak

akan mampu menegakkan Hujjah (berargumentasi) atas

orang-orang yang mengingkari risalah Ilahiyah yang mereka

bawa, sedangkan ketidakmampuan tersebut menunjukkan

sifat Baladah (kebodohan) yang merupakan hal yang

mustahil bagi mereka, didalam Al-Qur'an banyak disebutkan

dalil-dalil yang menunjukkan sifat Fathanah para Rasul,

diantaranya firman Allah SWT;

89
Kitab Tauhid Dasar
ۡ
َ ٌُ ١‫شب ا ۗ ُء ِئ هْ َهث َهه َؽ ِى‬
ُ١ٞ ٍِ ‫ػ‬ ٖ ‫ ِِِۦٗ ٔ َۡوفَ ُغ ك َ َه ٰ َع‬ٛۡ َ‫ ل‬ٰٝ ٍَ‫ػ‬
َ ‫ذ هِٓ ٔه‬ َ ِ٘ ‫ب ا ِئ ۡث ٰ َو‬َٙ َٰٕ ١ۡ َ ‫رٍِ َه ُؽ هغزَُٕب ا َءار‬َٚ
َ ُ١

}٦ٖ{

"Dan itulah Hujjah Kami yang Kami berikan kepada


Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan
siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui"(QS Al An'aam: 83)

 Shidiq (kejujuran), para Rasul wajib memiliki sifat Shidiq

karena seandainya tidak demikian tentunya apa yang mereka

sampaikan berasal dari kedustaan (kadzib), sedangkan sifat

Kadzib adalah mustahil bagi para Rasul. Adapun diantara

dalil Naqli nya disebutkan dalam Al-Qur'an;

َ ‫طلَ َق ۡٱٌ ُّ ۡو‬


}ٕ٘{ ٍٍَُْٛ َ َٚ ٍُ ًٰ ْ‫انشد‬ َ َٔ ‫قَبنُٕاْ ٌٰ َٕ ٌْهََُب َي ٍْ بَعَثََُب ِي ٍْ َّي ْشق َ ِذََب ْٰزَا َيب‬
َّ ‫عذ‬

"Mereka berkata: "aduh celakalah kami! Siapakah yang

membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?" Inilah

yang dijanjikan (Tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah

Rasul-rasul (Nya) (QS yaasiin : 52)

 Tabligh (menyampaikan), para Rasul wajib bersifat

Tabligh karena mereka adalah insan pilihan Allah yang

ditugaskan menyampaikan risalah dengan membawa berita

90
Kitab Tauhid Dasar
gembira (Tabsyir) dan memberi peringatan (Indzar),

sedangkan Tabsyir dan Indzar tidak akan dapat terlaksana

tanpa adanya Tabligh, dan seandainya mereka tidak ber-

Tabligh berarti menyembunyikan (Kitman) risalah Ilahiyah,

para ulama ahli Sunnah wal Jamaah telah menetapkan bahwa

Kitman (menyembunyikan risalah) adalah mustahil bagi para

Rasul. Dalil Sifat Tabligh banyak disebutkan dalam Al-

Qur'an, antara lain fiman Allah SWT.


ۢ
‫وَبَْ ه‬َٚ ًِ ٍ
ُ‫ٱّٰلل‬ ُّ َ‫ٱّٰلل ُؽ هغخُ ثَ ۡؼل‬
ُ ‫ٱٌو‬ ِ ‫ ه‬ٍَٝ‫ػ‬
َ ً‫ب‬ ّ ِ َ‫ٍ َٗل ُِّج‬
ِ ‫ َْ ٌٍِٕه‬ٛ‫َ ُى‬٠ ‫َٓ ٌِئ َ هَل‬٠‫ ُِٕ ِن ِه‬َٚ َٓ٠‫ش ِو‬ ُ ‫ُّه‬

ٔٙ٘{ ‫ّب‬١ٗ ‫يا َؽ ِى‬٠‫ػ ِي‬


َ

(Mereka Kami Utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira

dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi

manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. Dan

adalah Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana (An-Nisa :165)

Namun menurut para ulama diantaranya Sheikh Muhammad

baathiyah, Imam Bajuri dan lainnya, tidak semua ilmu yang diketahui

para Rasul wajib disampaikan kesetiap umat mereka, menurut

mereka secara garis besar Ilmu para Rasul terbagi atas tiga bagian,

yaitu;

91
Kitab Tauhid Dasar
1. Ilmu yang Wajib di-Tablighkan.

2. Ilmu yang Wajib disembunyikan.

3. Ilmu yang mana para Rasul telah diberikan pilihan (Takhyir)

yakni boleh menyampaikannya maupun menyembunyikannya.

Sebagian ulama memberikan penjelasan bahwa ilmu yang

diperintahkan untuk di-tablighkan ialah ilmu Syariat atau yang

berkaitan dengan Hukum Ahkam Agama, dan yang Wajib

disembunyikan ialah ilmu Nubuwwah, karena tidak ada seorangpun

yang sanggup memikulnya kecuali para Nabi, sedangkan ilmu yang

para nabi diberikan pilihan antara menyampaikan atau

menyembunyikannya ialah ilmu Wilayah (kewalian) atau disebut

juga dengan Batin Syariat, karena itu terkadang Rasulullah Saw

menyampaikan satu hal kepada seorang atau sebagian Sahabat,

namun menyembunyikannya dari sahabat yang lain. Sebagai contoh

adalah Sahabat Hudzaifah Ra, beliau memegang rahasia daftar nama-

nama orang munafik dimasa Rasulullah Saw, sehingga ia mendapat

julukan Shohibu sirri Rasulillah Saw (pemegang Rahasia Rasulullah

Saw), demikian juga sahabat Abu Hurairah Ra, beliau mendapatkan

ilmu khusus yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada

92
Kitab Tauhid Dasar
sahabat yang lain, sebagaimana disebutkan dalam Shohih Bukhari;

beliau berkata;

ٗ‫ ثضضز‬ٍٛ‫أِب األخش ف‬ٚ ،ٗ‫ أِب ادذّ٘ب فجضضز‬،ٓ١‫ػبئ‬ٚ ‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬ٛ‫"دفظذ ػٓ سع‬

."َٛ‫لطغ ٘زا اٌجٍؼ‬

"Aku telah memperoleh dua bejana ilmu dari Rasulullah

Saw, adapun salah satu diantara keduanya aku telah

menyampaikannya, adapun yang lainnya seandainya aku

sampaikan niscaya leherku ini akan terpenggal". (HR Bukhari).

Menurut Sayyid Muhammad al-Hafizh al-Mishri Al-Tijani

Rah a dalam kitabnya Ashfa Manahil al-Shafa, yang mendapat ilmu

khusus dari Rasulullah Saw bukan hanya Sahabat Hudzaifah Ra dan

Sahabat Abu Hurairah Ra saja, tapi juga sahabat Ali bin Abi Thalib

Ra dan beberapa sahabat lainnya.

Amanah (dapat dipercaya), Sifat Amanah juga merupakan sifat

yang wajib bagi para Rasul karena seandainya tidak demikian berarti

bersifat Khiyanah, dan seandainya mereka bersifat Khiyanah maka

akan berbuat sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan, dan pada

akhirnya perbuatan Haram dan Makruh itu menjadi bentuk ketaatan

dalam hak mereka, karena Allah telah memerintahkan setiap umat

93
Kitab Tauhid Dasar
untuk mengikuti dan mentaati para Nabi tersebut. Padahal hlllA

SWT telah berfirman dalam Al-Qur'an :

}٘٦ : َٓ١ِِٕ‫ت ۡٱٌ َقبائ‬


ُّ ‫ُ ِؾ‬٠ ‫ٱّٰللَ َل‬
‫ ئِ هْ ه‬........

"... Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

berkhianat".(QS Al Anfal: 58).

Dan diantara dalil yang menunjukkan sifat Amanah adalah

firman Allah SWTlallell aerp lae la ;

ٞ ِِ َ ‫ ٌي أ‬ٍٛ
}ٔ٦ :ْ‫سح اٌذخب‬ٛ‫ٓ {ع‬١ ُ ‫ ٌَ ُى ُۡ َه‬ِّٟٔ ‫ٱّٰلل ِئ‬ ‫اْ ِئٌَ ه‬ُّٚ‫أ َ ْۡ أَك ا‬
ِ ُۖ ‫ ِػجَبكَ ه‬ٟ

"as suhuusauuinsngu nmsguu snau -ahmsaesnusaueh sdsepuas s

iu es pu hm pdse Sesungguhnya aku adalah utusan (Allah) yang

dipercaya kepadamu". (QS Ad Dukhan: 18).

Sifat Jaiz bagi para Nabi 'alaihim al-Shalatu Wassalam.

Bait yang kedua dari tiga syair diatas menjelaskan tentang

I'tiqad yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf yaitu bahwasanya

bagi para Nabi boleh mengalami kejadian atau keadaan tertentu

sebagaimana yang dialami oleh manusia pada umumnya (al-A'radh

al-Basyariyah) dengan batasan selama kejadian atau keadaan tersebut

tidak mengurangi kemulyaan derajat dan kedudukan mereka disisi

Allah SWT. Diantara hal yang Jaiz bagi para Nabi tersebut ialah

makan dan minum, bermuamalah jual beli, memasuki pasar,


94
Kitab Tauhid Dasar
berkeluarga, mengalami kematian, merasakan kelezatan atau

kepedihan, mengalami sehat atau sakit, merasakan haus dan lapar

serta tidur dan istirahat.

Namun menurut para ulama tidurnya para Nabi berbeda

dengan tidurnya manusia pada umumnya, tidur para Nabi hanya

sebatas terpejamnya mata lahir, sementara hati atau mata batin

mereka senantiasa terjaga mengingat Allah, dan mereka juga

terpelihara dari mimpi basah (Ihtilam) sebagaimana telah dianggap

Shohih oleh Imam Nawawi Rah a, karena Ihtilam merupakan

permainan syetan sedangkan syetan tidak dapat mempermainkan atau

menguasai para Nabi.

Para Nabi juga tidak mengalami pingsan yang lama,

sebaliknya jika sebentar masih boleh terjadi menurut Sheikh Abu

Hamid Rah a dan Imam Bulqaini Rah a. Lain halnya dengan gila

(Junun), baik sebentar maupun lama tidak akan terjadi pada para

Nabi karena jelas sekali mengurangi derajat mereka sebagaimana

penyakit lepra, tuli, bisu, buta, picak sebelah mata, lumpuh dan

sebagainya.

Adapun kisah-kisah yang tersiar mengenai nabi-nabi tertentu

yang mengalami penyakit tersebut seperti Nabi Syuaib As yang

95
Kitab Tauhid Dasar
mengalami kebutaan, adalah tidak berdasar menurut ulama, dan kisah

Nabi Ayub As yang diuji dengan penyakit kulit yang parah, itu hanya

sebatas antara kulit dan tulang, tidak sampai merendahkan martabat

beliau, dan tentang kisah-kisah yang berkaitan dengan penyakit

beliau, tidak sedikit yang bersumber dari riwayat yang tidak berdasar.

Adapun kisah Nabi Yaqub As yang mengalami gangguan

penglihatan, menurut para ulama hanya sebatas selubung

(Ghisyawah) yang disebabkan karena terus menerus dalam

kesedihan, karenanya dikemudian hari telah pulih kembali dengan

hilangnya kesedihan.

Diantara dalil yang menunjukkan kebolehan terjadinya al-

A'radh al-Basyariyah tersebut ialah firman Allah SWT dalam Al-

Qur'an;

ِ ‫ا‬َٛ ٍۡ َ ‫ ۡٱأل‬ِٟ‫َْ ف‬ٛ‫ش‬


...‫ق‬ ُ ّۡ َ٠َٚ َ‫ب‬ ‫َْ ٱٌ ه‬ٍُٛ‫َ ۡأ ُو‬١ٌَ ُۡ ُٙ ‫ل ِئٔه‬
َ َ ‫طؼ‬ َ ‫ٍ ٍَٕۡب لَ ۡجٍَ َه َِِٓ ۡٱٌ ُّ ۡو‬
‫َٓ ِئ ه ا‬١ٍِ ٍ َ ‫ َِب ا أ َ ۡه‬َٚ

}ٕٓ :ْ‫سح اٌفشلب‬ٛ‫{ع‬

"Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu,

melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di

pasar-pasar ..."(QS Al Furqan: 20)

Demikian juga Allah SWT berfirman;

}ٖ٦: ‫سح اٌشػذ‬ٛ‫ {ع‬... ‫ ٗهخ‬٠‫مُ ِ ّه‬َٚ ‫ ٗعب‬َٚ ٰ ‫ ُۡ أ َ ۡى‬ُٙ ٌَ ‫ َعؼَ ٍَٕۡب‬َٚ ‫ٍ َٗل ِ ِّٓ لَ ۡج ٍِ َه‬
ُ ‫ٍ ٍَٕۡب ُه‬
َ ‫ٌَمَ ْل أ َ ۡه‬َٚ
96
Kitab Tauhid Dasar
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum

kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan

keturunan"(QS Ad Ra'd: 38)

Menurut Imam Muhammad bin Yusuf Al-Sanusi Rah a

dalam kitabnya Ummul Barahin, terdapat berbagai Hikmah Ilahiyah

dan banyak Faidah dalam terjadinya al-A'radh al-Basyariyah pada

para Nabi tersebut, diantaranya ialah;

 Memperbesar atau melipatgandakan pahala mereka.

 Untuk menerapkan Syariat atau Hukum tertentu yang berkaitan

dengan dengan keadaan tersebut seperti hukum pernikahan,

ibadah orang yang sakit dan sebagainya.

 Melatih dan mengajarkan sifat sabar akan kesusahan dunia

sehingga tidak menjadikan dunia sebagai tujuan.

 Mengingatkan umatnya akan rendahnya nilai dunia dalam

pandangan Allah sehingga Allah tidak menjadikan dunia sebagai

balasan kebaikan bagi kekasihnya.

97
Kitab Tauhid Dasar
Kemaksuman para Nabi dan kelebihan derajat mereka

diatas Malaikat.

Bait yang ketiga dari Syair diatas menyebutkan persoalan

Aqidah yang mesti diyakini setiap mukallaf terhadap para Nabi dan

Rasul, yakni semestinya kita Ber-I'tiqad bahwasanya para Nabi

memiliki sifat Ishmah, Ishmah menurut bahasa adalah penjagaan

secara mutlak, sedangkan menurut istilah Ishmah bermakna

penjagaan dari Allah SWT terhadap para Nabi dari perbuatan dosa

dan kemaksiatan sehingga mustahil terjadi perbuatan tersebut dari

mereka. Atas hal tersebut para Nabi disebut sebagai Ma'shum

sebagaimana para Malaikat juga bersifat Ma'shum.

Karenanya para Nabi tidak mungkin terjatuh dalam

kemaksiatan, meninggalkan yang diwajibkan, mengerjakan yang

diharamkan dan memiliki Adab dan Akhlak yang buruk, semua itu

mustahil bagi mereka. Menurut Imam Al-Sanusi Rah a jika kita

memandang perbuatan para Nabi, akan terlihat perbuatan mereka

hanya berkisar antara perbuatan yang wajib, Sunnah dan Mubah,

tidak didapati perbuatan yang Makruh apalagi yang diharamkan, dan

bahkan jika memandang penyebab atau perkara yang menuntut

98
Kitab Tauhid Dasar
perbuatan itu, maka akan terlihat bahwa perbuatan mereka hanya

berkisar antara yang wajib dan Sunnah saja, karena perbuatan mubah

yang mereka perbuat pada dasarnya bukan karena nafsu syahwat atau

kemalasan seperti kebanyakan manusia pada umumnya, akan tetapi

perbuatan Mubah tersebut didasari dengan tujuan menjelaskan

hukum Syari'at kepada umat, sebagai contoh bahwa Rasulullah Saw

pernah berwudhu dengan sekali-sekali basuhan setiap anggota wudhu

(Riwayat Bukhari), pernah juga Beliau membasuhnya dengan dua

kali - dua kali basuhan (Riwayat Bukhari dan Muslim), pernah buang

air kecil dan pernah minum dengan berdiri (Riwayat Bukhari dan

Muslim), menurut Imam Bajuri dan lainnya perbuatan tersebut

menjadi perbuatan yang wajib atau Sunnah ketika diniatkan untuk

mengajarkan kepada umatnya (maksudnya ialah dalam konteks

menjelaskan hukum bahwasanya hal-hal tersebut bukanlah sesuatu

yang diharamkan, misalnya berwudhu dengan sekali basuhan itu

bukanlah sesuatu yang diharamkan atau tidak sah wudhunya, itu

hanya menyelisihi keutamaan).

Mengapa mereka Allah pelihara sehingga tidak terjadi hal

yang Makruh dan diharamkan pada perbuatan mereka? karena

mereka adalah Insan pilihan yang senantiasa dibimbing, dibentuk dan

99
Kitab Tauhid Dasar
diarahkan serta dijadikan Allah sebagai Uswah Hasanah (teladan

yang baik) bagi umatnya masing-masing. Dan tidak diragukan lagi

bahwasanya setiap umat para Nabi telah diperintahkan Allah untuk

mengikuti setiap ucapan maupun perbuatan nabinya masing-masing

kecuali hal-hal yang dikhususkan Allah bagi mereka dan Allah tidak

memerintahkan hamba-Nya berbuat yang haram dan Makruh, karena

itulah para Nabi dipelihara (Ma'shum) dari yang haram dan

dimakruhkan.

Diantara dalil adanya Ishmah bagi para nabi ialah firman

Allah SWT dalam Al-Qur'an;

َ ٰٝ ٍَ‫ػ‬
}ٖ٣ :ٗ‫سح ه‬ٛ‫ {ع‬ٟ‫ ِٕ ا‬١ۡ ‫ػ‬ َ ُ‫ذ‬١ۡ َ‫أ َ ٌۡم‬َٚ ۚ
َ ‫ ٌِزُظۡ َٕ َغ‬َٚ ِّٟٕ ِّ ِ ‫ َه َِ َؾج ٗهخ‬١ۡ ٍَ‫ػ‬

"Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang

datang dari-Ku dan supaya kamu diasuh dibawah pengawasan-

Ku". (QS Thaahaa: 39)

Dan Allah SWT berfirman;

....... ً‫َُُ ه‬٠ َْ‫ ٍ أ‬ٟ


ّ ‫ َِب َوبَْ ٌَِٕ ِج‬َٚ

"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta

rampasan perang) ..."(QS Ali Imran: 161).

Bait syair diatas juga menjelaskan bahwa derajat para Nabi

disisi Allah lebih tinggi dari derajat para Malaikat berdasarkan

100
Kitab Tauhid Dasar
pendapat jumhur ulama kita, para ulama lebih mengutamakan para

Nabi melebihi keutamaan para malaikat berdasarkan alasan-alasan

sebagai berikut;

 Berdasarkan firman Allah SWT;

}٦ٙ: َ‫سح األٔؼب‬ٛ‫َٓ {ع‬١ِّ ٍََ‫ ۡٱٌ ٰؼ‬ٍَٝ‫ػ‬


َ ‫ؼ ٍَٕۡب‬
‫ ُو ٗ َّل فَ ه‬َٚ .....

"... Dan masing-masing (para Nabi) Kami lebihkan derajatnya

diatas (umat) seluruh alam". (QS Al An'aam: 86)

Sementara menurut ulama, seluruh alam maknanya

mencakup umum termasuk juga para malaikat.

 Para malaikat pernah diperintahkan untuk sujud kepada Nabi

Adam As, padahal Nabi Adam As bukan yang paling utama,

masih banyak nabi yang lain yang lebih utama dari Nabi

Adam As.

 Para Nabi diberikan sifat Ishmah disertai dengan ujian

kesulitan yang mesti dilewati dengan kesabaran, dan ujian

hawa nafsu yang mesti bermujahadah dalam

mengendalikanya, perjuangan mereka akan melipatgandakan

keutamaan mereka.

 Umat manusia di akhirat kelak akan memohon Syafaat

melalui para Nabi, bukan kepada malaikat.


101
Kitab Tauhid Dasar
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, yaitu pendapat

Sheikh al-Qadhi Abu Abdillah al-Halimi serta ulama lainnya

termasuk kaum Muktazilah yang mengatakan bahwa para malaikat

lebih utama dari pada para nabi kecuali Rasulullah Saw.

Keutamaan Rasulullah Saw diatas seluruh makhluk secara

mutlak merupakan hal yang disepakati oleh Ijma' para ulama bahkan

kaum Muktazilah, tidak ada yang menyelisihinya kecuali Sheikh

Zamakhsyari, Maka ulama tidak menganggap apa yang dikatakan

Sheikh Zamakhsyari yang lebih mengutamakan Jibril As diatas

Rasulullah Saw, karena bertolak belakang dengan pendapat Ijma'

tersebut.

Rasulullah Saw memiliki banyak keistimewaan dari nabi

yang lain diantaranya;

 Dijadikan sebagai penutup para nabi, sebagaimana dalam

firman Allah;

َْۗ ۚۧ ِ ٟ
ّ ‫فَبر َ َُ ٱٌٕه ِج‬َٚ ‫ٱّٰلل‬ ُ ‫ ٌَٰ ِىٓ هه‬َٚ ُۡ ُ‫هِب وَبَْ ُِ َؾ هّلٌ أَثَب ا أ َ َؽ ٖل ِ ِّٓ ِ ّه َعب ٌِى‬
ِ ‫ َي ه‬ٍٛ
"
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang

laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan

penutup nabi-nabi ..."(QS Al Ahzab: 40)

102
Kitab Tauhid Dasar
 Diutus untuk seluruh umat manusia, bukan sebatas kaum atau

golongan tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an;

ِ ‫ٍ ٍۡ َٰٕ َه ئِ هل َوبافه ٗخ ٌٍِّٕه‬


‫وا‬٠ٗ ‫َٔ ِن‬َٚ ‫وا‬١ٗ ‫بً ثَ ِش‬ َ ‫ َِب ا أ َ ۡه‬َٚ

"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada

umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita

gembira dan sebagai pemberi peringatan ..."

(QS Saba' : 28)

 Beliau diutus untuk seluruh alam sebagaimana firman Allah

SWT;

}ٔٓ٢ :‫بء‬١‫سح األٔج‬ٛ‫َٓ {ع‬١ِّ ٍََ‫ٍ ٍۡ َٰٕ َه ئِ هل َه ۡؽ َّ ٗخ ٌِّ ٍۡ ٰؼ‬


َ ‫ َِب ا أ َ ۡه‬َٚ

"Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

Rahmat bagi semesta alam"(QS Al Anbiyaa : 107)

Berdasarkan ayat diatas sebagian ulama berpendapat bahwa

Rasulullah Saw diutus Secara umum baik kepada manusia, jin

maupun para malaikat dan Makhluk lainnya karena umumnya makna

dari lafazh 'Aalamin tersebut untuk segala sesuatu selain Allah.

Namun pengutusan beliau terhadap seluruh manusia dan jin adalah

hal yang disepakati oleh para ulama, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami

Rah a dalam Syarah Minhaj menyatakan adanya Ijma' akan hal ini

serta menggolongkannya termasuk diantara hal yang mesti diketahui

103
Kitab Tauhid Dasar
dalam Agama secara pasti (Ma'luman min al-Diin bil-Dharurah)

yang mana orang yang mengingkarinya dianggap kafir (lihat:

Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj). Sedangkan pengutusan beliau

terhadap malaikat terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama,

sebagian berpendapat bahwa Rasulullah Saw tidak diutus kepada

malaikat, pendapat ini dipegang oleh oleh Sheikh al-Halimi Rah a

dan Imam Baihaqi Rah a, keduanya dari kalangan madzhab Syafi'i,

Sheikh Mahmud bin Hamzah al-Kirmani Rah a dari kalangan

madzhab Hanafi, demikian juga Sheikh An Nasafi Rah a dan Imam

Fakhrurrozi Rah a yang mengklaim adanya Ijma' dalam kitab Tafsir

keduanya, dan didukung pula oleh Sheikh Jalaluddin al-Mahalli Rah

a dan Al -Hafizh Zainuddin al-Iraqi Rah a serta diunggulkan Imam

al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj. Pendapat kedua mengatakan

bahwa Rasulullah Saw juga diutus kepada para malaikat, yakni

dengan pengutusan yang bersifat Tasyrif (menambah kemulyaan)

bukan bersifat Taklif (pembebanan Syariat) sebagaimana kepada

manusia dan Jin, pendapat ini diunggulkan oleh Imam Taqiyuddin al-

Subki Rah a, Imam Suyuthi Rah a dalam al-Khashaish, Imam Bajuri

Rah a dalam Tuhfatul Murid, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Rah a

104
Kitab Tauhid Dasar
dalam Tuhfatul Muhtaj, Allamah al-Bannaniy Rah a dalam Hasyiyah

beliau terhadap Syarah al-Mahalli 'alal Jam'il Jawami' dan lainnya.

Selanjutnya, Imam Bajuri Rah a memberikan perincian akan

peringkat keutamaan diantara para Nabi dan Rasul sebagai berikut;

1. Nabi Muhammad Saw.

2. Nabi Ibrahim As.

3. Nabi Musa As.

4. Nabi Isa As.

5. Nabi Nuh As.

6. Rasul-rasul yang lain.

7. Nabi-nabi yang bukan Rasul.

Kemudian lima orang nabi yang disebutkan secara khusus

dalam perangkat diatas dikenal sebagai Ulul 'Azmi, yakni nabi-nabi

yang memiliki kesungguhan dan keteguhan yang luar biasa dalam

mengemban risalah, perihal mereka Allah SWT berfirman;

ُۡ ُٙ ‫ َل ر َ َۡزَؼۡ ِغً ٌه‬َٚ ًِ ٍ ُّ َِِٓ َِ ‫اْ ۡٱٌؼَ ۡي‬ٌُْٛٚ ُ ‫طجَ َو أ‬


ُ ‫ٱٌو‬ َ ‫فَٲطۡ ِج ۡو وَ َّب‬

"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang memiliki

keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah

kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka ..."

(QS Al Ahqaaf: 35).


105
Kitab Tauhid Dasar
BAB VI
SIFAT MUSTAHIL BAGI ALLAH DAN PARA NABI
ALAIHIM AL-SHALATU WASSALAM

‫ت‬
ٍ ‫اجـ‬ ِ ّْ ‫فَبدْ فَ ْع ٌِ َخ‬
ِ َٚ ٍُ ‫ َٓ ِث ُذـ ْى‬١ْ ‫غـ‬ ‫ت‬
ٍ ‫اجـ‬ ْ ُّ ٌْ‫ا‬َٚ
ِ َٚ ًّ ِ ‫ ًُ ِمـ ُّذ ُو‬١ْ ‫غز َ ِذــ‬

"Sifat Mustahil adalah lawan bagi setiap Sifat yang wajib,

hafalkanlah Aqidah Khamsin (Lima puluh sifat) sebagai suatu

kewajiban".

Penjelasan.

Nazham diatas menjelaskan tentang adanya sifat Mustahil


bagi Allah dan para rasul-Nya, yang juga mesti diketahui dan
diyakini oleh setiap para Mukallaf, sebagaimana disebutkan dalam
Nazhom, sifat Mustahil merupakan lawan atau kebalikan dari sifat
wajib, karenanya jika sifat wajib bagi Allah ada dua puluh, maka sifat
Mustahil bagi Allah juga ada dua puluh, demikian juga jika sifat
wajib bagi para Rasul ada empat, maka sifat mustahil bagi mereka
juga ada empat.
Dan jika dijumlahkan secara keseluruhan dari sifat wajib,
Mustahil dan Jaiz bagi Allah ditambahkan dengan Sifat wajib,
Mustahil dan Jaiz bagi para nabi dan rasul maka seluruhnya
berjumlah lima puluh, perinciannya; sifat wajib bagi Allah ada 20,
sifat mustahil bagi Allah ada 20, Sifat Jaiz bagi Allah ada 1,
ditambah dengan Sifat wajib bagi para Rasul ada 4, sifat mustahil
bagi para Rasul ada 4 dan Sifat Jaiz bagi para Rasul ada 1, maka

106
Kitab Tauhid Dasar
jumlah keseluruhan adalah 50, lima puluh Sifat tersebut dikenal
dengan istilah 'Aqidah Khamsin'.
Sifat mustahil bagi Allah adalah sebagai berikut;

1. Al 'adam (ketiadaan), kebalikan dari sifat Wujud (Ada)

2. Huduts (baru), kebalikan dari sifat Qidam (Terdahulu)

3. Fanaa' (Binasa), kebalikan dari sifat Baqaa' (kekal)

4. Mumatsalah Lil Hawadits (sama dengan makhluk), kebalikan

dari Mukhalafah Lil Hawadits (berbeda dengan makhluk)

5. 'Adamul qiyam binnafsi (tidak berdiri pada Dzat-Nya),

kebalikan dari Qiyamuhu binafsih (Berdiri pada Dzat-Nya)

6. Ta'addud (berbilang), kebalikan dari Wahdaniyah (Esa /

Tunggal)

7. Al 'Ajez (lemah), kebalikan dari Qudrah (Berkuasa)

8. Karahah (terpaksa), kebalikan dari Iradah (Berkehendak)

9. Jahel (kebodohan), kebalikan dari Ilmu (pengetahuan)

10. Al-Maut (kematian), kebalikan dari Hayat (Kehidupan)

11. Shamam (tuli), kebalikan dari Sama' (Pendengaran)

12. Al-'Amaa (buta), kebalikan dari Bashar (Penglihatan)

13. Al-Bukem (bisu), kebalikan dari Kalam (Pembicaraan)

107
Kitab Tauhid Dasar
14. Kaunuhu 'Aajizan (adanya Dia dalam kelemahan), kebalikan

dari Kaunuhu Qaadiran (Adanya Dia Berkuasa)

15. Kaunuhu Kaarihan (adanya Dia dalam keterpaksaan), kebalikan

dari Kaunuhu Muriidan (Adanya Dia Berkehendak)

16. Kaunuhu Jaahilan (adanya Dia dalam kebodohan), kebalikan

dari Kaunuhu 'Aaliman (adanya Dia Maha Mengetahui)

17. Kaunuhu Mayyitan (adanya Dia mengalami kematian),

kebalikan dari Kaunuhu Hayyan (adanya Dia Maha Hidup)

18. Kaunuhu Ashomma (adanya Dia dalam ketulian), kebalikan dari

Kaunuhu Samii'an (adanya Dia Maha Mendengar)

19. Kaunuhu A'maa (adanya Dia dalam kebutaan), kebalikan dari

Kaunuhu Bashiiran (adanya Dia Maha Melihat)

20. Kaunuhu Abkam (adanya Dia dalam kebisuan), kebalikan dari


Kaunuhu Mutakalliman (adanya Dia Maha Berbicara).
Sifat Mustahil bagi para nabi dan rasul sebagai berikut;
1. Baladah (kebodohan), kebalikan dari Fathanah (kecerdasan)
2. Kadzib (kedustaan), kebalikan dari al-Shideq (kejujuran)
3. Kitmaan (menyembunyikan), kebalikan dari Tabligh
(menyampaikan)
4. Khiyanah (berkhianat), kebalikan dari Amanah (terpercaya).

108
Kitab Tauhid Dasar
BAB VII

PARA RASUL 'ALAIHIM AL-SHALATU WASSALAM

YANG TERSEBUT DALAM AL-QUR'AN

Sheikh Ahmad Marzuq Rah a berkata;

ُْ ‫اْغزَِٕـ‬َٚ ْ‫ـف فَ َذ ِمّـك‬


ٍ ٍَّ‫ُو ًَّ ُِ َى‬ َْ ‫ َٓ ٌَ ِض‬٠ْ ‫ ِػـؾ ِْش‬َٚ ‫غـ ٍخ‬
َ ّْ ‫ ًُ َخ‬١ْ ‫ر َ ْف ِقـ‬

ْ َ‫ ُُ وُ ًٌّ ُِزَّج‬١ْ ‫اِ ْث َشا ِ٘ـ‬َٚ ‫فب ٌِـ ْخ‬


‫ـغ‬ َ ‫ ُد َِ ْغ‬ٛ‫ح ُ٘ ْـ‬ ُ ٠ْ ‫ُ٘ ُْ أٓ َد ٌَ اِد ِْس‬
ٌ ٛ‫ـظ ُٔ ْـ‬

ُ ُٛ ُّ٠َ‫أ‬َٚ ‫ف‬
َٜ‫ة اْدزَز‬ ُ ‫ع‬ ُ ْٛ ُ‫ َ ْؼم‬٠
ُ ْٛ ُ ٠ ‫ة‬ ‫ق وَـزَا‬
ٌ ‫ع َذـب‬
ْ ِ‫ ًُ ا‬١ْ ‫ع َّب ِػـ‬ ٌ ْٛ ٌُ
ْ ِ‫ا‬َٚ ‫ه‬

‫ َّبُْ ارَّجَ ْغ‬١ْ ٍَ‫ع‬ ُ ‫اٌ ِى ْف ًِ د‬ْٚ ُ‫ر‬


ُ ‫ ُد‬ٚٚ‫َا‬ َ َ١ٌْ‫ا‬َٚ ٝ‫ع‬
‫غ ْغ‬ ُ َ٘ ‫ت‬
َ ْٛ ُِ َٚ ُْ ْٚ ‫بس‬ ُ ١ْ َ‫ؽؼ‬
ُ

َ ‫ع‬
‫َّب‬١‫غـ‬ ٰ ‫ ٰه‬َٚ ٝ‫ ٰغ‬١ْ ‫ِػـ‬
ْ ‫ـٗ خـَـبرِ ٌُ َد‬ ٝ‫ ٰـ‬١‫َذْ ـ‬٠ ‫َّب‬٠‫ظ َصو َِـش‬ ُ َ١ٌْ ‫ِا‬
ُ ُ ‫ٔـ‬ْٛ ُ٠ ‫ـبط‬

َُ ‫ـَّــب‬٠‫ذ اْ َأل‬
ِ ‫ ُْ َِب دَا َِـــ‬ٙ‫ـــ‬
ِ ٌِ ٓ ‫ا‬َٚ َ ‫غ‬
َُ ‫ـــال‬ َّ ٌ‫ا‬َٚ ُ‫ـــالح‬
َ ‫ق‬ َّ ٌ‫ـ ُُ ا‬ِٙ ١ْ ‫ػٍَـــ‬
َ

"Mengetahui perincian nama-nama dua puluh nabi dan rasul

adalah wajib atas setiap mukallaf, karenanya yakinilah dan

raihlah keuntungannya"

"Mereka adalah Adam, Idris, Nuh, Hud, Sholeh, Ibrahim, setiap

mereka menjadi suri tauladan"

"Demikian juga Luth, Ismail, Ishaq, Ya'qub, Yusuf dan Ayyub

yang selalu meneladani pendahulunya dari para nabi"

109
Kitab Tauhid Dasar
"Dan juga Syuaib, Harun, Musa, Ilyasa', Dzul Kifli, Daud dan

Sulaiman yang meneruskan perjuangan para pendahulu"

"Dan juga Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa serta Thaha

(Rasulullah Saw) Sang Penutup para Nabi, tinggalkan kesesatan"

"Semoga Rahmat Allah dan Kesejahteraan-Nya senantiasa

tercurah kepada mereka semua serta keluarga mereka selamanya"

Penjelasan.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap mukallaf wajib

meyakini adanya para nabi secara global (Ijmali) dari Nabi Adam As

hingga Nabi Muhammad Saw, para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah

juga menetapkan bahwa setiap Mukallaf Wajib mengimani para nabi

secara terperinci (Tafshiliy).

Karena merujuk kepada Al-Qur'an, tidak semua para nabi

dan para Rasul yang diutus Allah itu tertulis namanya dan disebutkan

kisahnya dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman;

ٰٝ ٍ ‫ َوٍه َُ ه‬َٚ ‫ َه‬١ۡ ٍَ‫ػ‬


َ ُِٛ ُ‫ٱّٰلل‬ ُ ‫ٍ َٗل ٌه ُۡ ٔ َۡم‬
َ ُۡ ُٙ ۡ‫ظظ‬ َ ُۡ ُٙ َٰٕ ۡ‫ظظ‬
ُ ‫ ُه‬َٚ ًُ ‫ َه ِِٓ لَ ۡج‬١ۡ ٍَ‫ػ‬ َ َ‫ٍ َٗل لَ ۡل ل‬
ُ ‫ ُه‬َٚ

}ٔٙٗ{ ‫ّب‬١ٗ ٍِ ‫ر َ ۡى‬

"Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh

telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-

110
Kitab Tauhid Dasar
rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan

Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung".

(QS An Nisaa : 164).

Tentang jumlah para nabi dan rasul, para ulama berbeda

pandangan, karena memang banyak riwayat yang menyebutkan

jumlah mereka, sebagian riwayat yang ada telah disebutkan Imam

Ibnu Katsir Rah a dalam menafsirkan ayat diatas, diantara riwayat

menyebutkan bahwa jumlah para nabi adalah 124 000 nabi, Imam

Ibnu Hajar Al-Haitami Rah a menganggap Shohih Riwayat tersebut

dalam Syarah Minhaj, riwayat lain 25 000 nabi dan ada juga riwayat

lain yaitu riwayat al-Hafizh Abu Ya'la al-Maushuliy dengan sanad

yang Dhoif menyebutkan 8000 nabi yang mana 4000 darinya diutus

kepada Bani Israil dan 4000 lainnya diutus untuk kaum yang lainnya,

demikian juga dengan para Rasul, suatu riwayat menyebutkan 313

Rasul, Riwayat lain 314 rasul, dan ada juga 315 rasul dan sebagainya.

Imam Qurthubi Rah a dalam kitab tafsirnya mengatakan

bahwa yang paling Shohih menurut beliau adalah riwayat yang

menyebutkan 124 000 nabi dan 313 rasul, namun yang Shohih

menurut Imam Bajuri Rah a ialah tidak menentukan secara pasti,

karena dikhawatirkan menetapkan kerasulan atau kenabian kepada

111
Kitab Tauhid Dasar
yang bukan Nabi dan bukan Rasul, atau sebaliknya malah menafikan

orang-orang yang kenyataannya merupakan seorang nabi atau rasul.

Demikian juga menurut Imam Al-Dasuqi Rah a dalam Hasyiyah

Ummul Barahin bahwa yang Mu'tamad menurut ulama tidak ada

yang mengetahui bilangan para nabi dan rasul dengan pasti kecuali

Allah, namun para nabi yang disebutkan namanya dengan Isim Alam

dalam Al-Qur'an adalah wajib diimani secara terperinci, dan adapun

selain yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an, wajib mengimani

mereka secara global.

Kemudian apakah para Nabi semuanya lelaki dan tidak ada

dari kaum hawa? Ada satu riwayat dari Imam Asy'ari Rah a bahwa

dikalangan wanita ada yang menjadi nabi, sementara Imam Ibnu

Hazem membatasi kenabian dari kaum wanita hanya enam orang

yakni Sayyidah Hawa R ha, Sayyidah Sarah R ha, Sayyidah Hajar R

ha, Ummu Musa R ha, Sayyidah Asiyah R ha (istri Fir'aun) dan

Sayyidah Maryam R ha. Demikian juga riwayat yang dinuqil oleh

Imam Suhaili Rah a. Imam Qurthubi Rah a juga mengatakan bahwa

pendapat yang Shohih ialah bahwa Maryam R ha adalah seorang

Nabiyyah, namun menurut Imam Iyadh Rah a pendapat tersebut

menyelisihi Mayoritas ulama (Jumhur), Imam Nawawi Rah a juga di

112
Kitab Tauhid Dasar
dalam kitab al-Adzkar meriwayatkan dari Imam Haramain Rah a

bahwa beliau menukil adanya Ijma' (kesepakatan ulama) bahwa

Sayyidah Maryam R ha bukan seorang Nabiyyah. Dan ada juga

riwayat dari Imam Hasan al-Bashri Rah a bahwasanya tidak ada

seorang nabi pun baik dari kaum wanita maupun bangsa Jin (Fathul

Bari)

Mengimani para nabi yang disebutkan dalam Al-Qur'an

secara terperinci (Tafshiliy) bermakna mengimani nabi-nabi yang

disebutkan namanya dalam Al-Qur'an dengan Isim Alam, yang

sekiranya salah satu mereka disebutkan maka kita tidak boleh

mengingkari kenabian atau kerasulannya meskipun tidak hafal

seluruh nama-nama mereka, dan menurut para ulama, jumlah mereka

ada 25 nabi dan rasul.

Adapun nama-nama yang disebutkan selain dari 25 tersebut,

kenabian mereka diperselisihkan ulama yaitu Uzair Ra, Dzulqarnain

Ra, Luqman Ra dan al-Khidhir Ra.

Berikut ini adalah nama-nama nabi dan rasul yang

disebutkan dalam Al-Qur'an;

1. Nabi Adam As, beliau dikenal sebagai Abul Basyar atau

Bapaknya umat manusia, dalam Shohih Bukhari disebutkan

113
Kitab Tauhid Dasar
bahwa Allah menciptakan beliau tingginya 60 dzira', ulama

berselisih tentang lafazh Adam, sebagian mengatakan berasal

dari bahasa Suryani, Imam Tsa'labi mengatakan bahwa Adam

dari bahasa Ibrani yang artinya tanah, sedangkan menurut imam

Jauhari berasal dari bahasa Arab.

2. Nabi Idris As, beliau adalah kakek dari ayah Nabi Nuh As

seperti dalam riwayat Bukhari. Beliau orang yang pertama

menulis dengan pena, menjahit pakaian dan mengenakannya, dan

yang pertama melakukan pengamatan dengan ilmu hisab dan

perbintangan, dinamakan Idris (Musytaqnya dari lafazh al-Dars)

karena banyak mempelajari Kitabullah, menurut riwayat dari

Abu Dzar Ra Allah menurunkan tiga puluh Shuhuf kepadanya.

Dalam Tafsir al-Qurthubi, nasab beliau adalah putra dari Yarid

bin Mihlail bin Qaynan bin Yanisy bin Syits bin Adam As.

Berdasarkan ayat 57 Surat Maryam, sebagian Mufassiriin

menafsirkan bahwa beliau diangkat ke langit yang keempat,

riwayat lain menyebutkan langit keenam.

3. Nabi Nuh As, beliau Nabi yang telah diselamatkan Allah

bersama dengan kaumnya yang beriman kepadanya dari banjir

besar (Thuufaan) dimana kaumnya yang tidak beriman termasuk

114
Kitab Tauhid Dasar
putra beliau yang bernama Kan'an (menurut Ba'dhul Mufassiriin)

mati tenggelam, setelah berdakwah selama 950 tahun

sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, beliau dikenal juga

sebagai Abul Basyar al-Tsaniy (bapak bagi umat manusia yang

kedua) karena keturunannya menyebar sejak dari masanya

hingga kini keseluruh penjuru dunia.

4. Nabi Hud As, beliau Nabi yang berasal dari keturunan Sam bin

Nuh, Allah mengutus beliau kepada kaum 'Aad, suatu kaum yang

terletak di pegunungan Ahqaaf di wilayah Utara Hadhramaut

Negara Yaman, maka tatkala kaum 'Aad mendustakan Nabi Hud

As, maka Allah membinasakan mereka dengan angin Sharshar

yang maknanya sangat dingin yang membinasakan (menurut

Imam Dhahhak), ulama lain menafsirkan Syadidul Shaut (angin

yang bersuara dahsyat menggemuruh), angin yang sangat dingin

dan kencang tersebut menimpa mereka selama tujuh malam

delapan hari terus menerus sehingga kaum 'Aad mati

bergelimpangan seakan-akan Tunggul pohon kurma yang lapuk.

5. Nabi Sholih As, beliau juga masih keturunan Sam bin Nuh As,

diutus Allah kepada kaum Tsamud, suatu kaum yang ahli dalam

memahat pegunungan batu untuk dijadikan tempat tinggal

115
Kitab Tauhid Dasar
mereka, mereka bermukim di wilayah Hijer yang dikenal juga

dengan nama Madain Sholih, letaknya antara Hijaz dan Syam,

maka tatkala mereka mendustakan Nabi Shalih As, Allah

membinasakan mereka dengan Thaghiyah, yakni Suara dahsyat

yang melampaui batas (menurut Imam Qatadah Rah a).

6. Nabi Ibrahim As, beliau adalah putra dari Tarakh, mendapat

julukan (laqab) Kholilullah (kekasih Allah yang teristimewa) dan

Abul Anbiyaa' (bapaknya para Nabi), beliau juga masih

keturunan Sam bin Nuh As, dalam masa perjuangannya pernah

dibakar dalam lautan api raja Namrud, namun dengan Qudrah

Allah api tersebut menjadi sejuk dan menyelamatkan bagi Nabi

Ibrahim As.

7. Nabi Luth As, beliau adalah keponakan Nabi Ibrahim As, Allah

telah mengutusnya ke negeri Saduum, negeri yang mana

penduduknya terkenal kebejatannya karena menyukai sesama

jenis, Nabi Luth As mengajak mereka untuk beriman dan

meninggalkan keburukan tersebut, maka tatkala mereka menolak,

Allah memerintahkan Jibril As mencungkil negri mereka dengan

ujung sayapnya kemudian mengangkatnya ke langit, sehingga

penduduk langit dapat mendengar suara ternak mereka,

116
Kitab Tauhid Dasar
kemudian membinasakannya dengan menjadikan negeri mereka

terbalik (yang diatas kebawah) dan menghujani mereka dengan

batu dari tanah yang terbakar bertubi-tubi (al-Jaami' li Ahkamil

Qur'an). Luth As dan keluarganya diselamatkan Allah, kecuali

istrinya yang termasuk golongan orang yang zhalim.

8. Nabi Ismail As, beliau putra Nabi Ibrahim As bersama Hajar R

ha, Allah SWT telah memerintahkan ayahnya agar menempatkan

beliau dan ibunya di satu lembah yang tidak ada tanda kehidupan

yang kemudian menjadi kota Makkah al-Mukarramah, dan beliau

yang membantu ayahnya membina Ka'bah. Allah telah mengutus

beliau kepada beberapa kabilah Yaman dan kepada bangsa

'Amaliq, yaitu suatu kaum yang tinggal di jazirah Arab dari arah

Syam.

9. Nabi Ishaq As, beliau juga putra Nabi Ibrahim As bersama

Sarah Rah a, menurut Imam Ibnu Katsir Rah a Ismail As lebih

dahulu dilahirkan dari pada Ishaq As.

10. Nabi Ya'qub As, beliau adalah putra Ishaq bin Ibrahim As,

Allah telah mengutus beliau ke negeri Kan'an, menurut al-Hafizh

Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a Israil adalah julukan Nabi Ya'qub

As, karenanya keturunan beliau disebut dengan Bani Israil.

117
Kitab Tauhid Dasar
11. Nabi Yusuf As, sebagaimana dalam riwayat Bukhari, Rasulullah

menyebutkan keutamaan beliau sebagai al-Karim bin al-Karim

bin al-Karim bin al-Karim (Seorang yang Mulia putera dari

seorang yang Mulia putera dari seorang yang Mulia dan putera

seorang yang Mulia), maksudnya ialah Yusuf As bin Ya'qub As

bin Ishaq As bin Ibrahim As. Beliau mengalami berbagai liku-

liku kehidupan, pernah dibuang kedalam sumur, hidup dalam

perbudakan, terpisah dari orang-orang yang dicintai, difitnah dan

masuk kedalam penjara dan sebagainya, beliau melalui semuanya

dengan kesabaran hingga akhirnya beliau menjadi penguasa

Mesir, kisah beliau disebut dalam Al-Qur'an sebagai Ahsanul

Qashash (kisah yang terbaik). Para ulama memberikan berbagai

pandangan tentang mengapa surat Yusuf dinamakan dengan

Ahsanul Qashash? Salah satu pandangan yang dikemukakan

ulama adalah bahwa Surat Yusuf menceritakan banyak hal antara

lain Kisah para nabi, orang-orang Shaleh, para malaikat, syetan,

manusia, jin, binatang ternak, burung, sejarah raja-raja, budak-

budak, perniagaan, ulama, orang-orang bodoh, kaum lelaki, kaum

wanita dengan berbagai tipu dayanya dan dijelaskan juga tentang

Tauhid, fiqih, Sirah, takwil mimpi, politik, pergaulan dan cara

118
Kitab Tauhid Dasar
mengatur penghidupan dan ekonomi serta berbagai faedah baik

bersifat duniawi maupun Ukhrawi. Dan menurut sebagian Ahli

Ilmu Ma'ani, dinamakan Ahsanul Qashash karena semua yang

terlibat dalam kisah tersebut jika diperhatikan ujung-ujungnya

mendapatkan Happy ending, misalnya Yusuf As, ayahnya,

saudara-saudaranya, Istri Raja (Imraat al-'Aziz), dan konon Sang

Raja juga mendapatkan Hidayah melalui Nabi Yusuf As dan

demikian juga dengan seorang yang bertanya Takwil mimpi.

12. Nabi Ayyub As, ulama tidak sepakat mengenai nasab beliau,

diantara pendapat yang ada seperti dinukil dari kitab Fathul Bari,

Ayyub As bin Saariy bin Raghwal bin 'Aishuw bin Ishaq As bin

Ibrahim As. Beliau adalah seorang Nabi yang menjadi Teladan

dalam kesabaran, karena dimasa hidupnya pernah mendapat ujian

suatu penyakit yang parah, menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-

Asqalani Rah a, beliau mendapat ujian tersebut selama 13 Tahun.

13. Nabi Syu'aib As, menurut Imam Ibnu Ishaq Rah a, beliau putra

dari Maikail bin Yasyjur bin Laawiy bin Ya'qub As, Ahli sejarah

lain mengatakan Syu'aib bin Shafuur bin 'Unaqaa bin Tsabit bin

Madyan, sedangkan Madyan termasuk orang yang beriman

kepada Nabi Ibrahim As ketika dibakar Raja Namrud, menurut

119
Kitab Tauhid Dasar
Imam Qatadah Rah a beliau diutus kepada dua umat, yakni

Ashhabu Madyan dan Ashhabul Aykah, sedangkan menurut

Jumhur ulama Ashhabu Madyan dan Ashhabul Aykah adalah satu

kaum yang sama (Fathul Bari).

14. Nabi Harun As, beliau adalah Saudara Nabi Musa As, diutus

sebagai Nabi untuk membantu usaha Nabi Musa As dalam

menyampaikan Risalah atas permintaan Nabi Musa As kepada

Allah, Nabi Harun As setahun lebih tua dari Nabi Musa As,

pendapat lain mengatakan tiga tahun lebih tua, dan beliau lebih

tegap perawakannya, lebih tinggi, lebih putih dan lebih fasih

tutur katanya, dan beliau wafat tiga tahun sebelum Nabi Musa

As.

15. Nabi Musa As, beliau putra Imran bin Laahib bin 'Aazur bin

Laawiy bin Ya'qub As, sedangkan menurut riwayat lain Musa bin

Imran bin Yashhar bin Qahit bin Laawiy bin Ya'qub As (al-

Jaami' li Ahkamil Qur'an dan Tafsir al-Thabari) dikenal dengan

julukan Kaliimullah (Nabi yang dapat berbicara langsung dengan

Allah), diutus Allah untuk menunjukkan Firaun dan kaumnya

kepada jalan Hidayah.

120
Kitab Tauhid Dasar
16. Nabi Ilyasa' As, beliau putra dari Akhthub bin 'Ajuuz (Tafsir al-

Thabari), seorang Nabi dari kalangan Bani Israil, ada tudingan

bahwa Ilyasa' As sama dengan Ilyas As, tudingan tersebut tidak

berdasar karena dalam Surat al-An'am Allah menyebutkan secara

sendiri-sendiri, menurut Imam Waheb Rah a Nabi Ilyasa' As

adalah sahabat Nabi Ilyas As, keduanya diutus sebelum Nabi

Zakariya As, Nabi Yahya As dan Nabi Isa As.

17. Nabi Dzulkifli As, Badhul Ulama mengatakan nama asli beliau

Bisyer Bin Ayyub As, Dzulkifli nama Laqab (julukan) beliau,

para ulama berbeda pandangan tentang kenabiannya, menurut

Zhahir ayat 85 Surat Al-Anbiyaa beliau termasuk seorang Nabi,

karena namanya dirunut bersama nabi yang lain, Imam al-Hasan

Juga berpendapat Bahwa Dzulkifli As seorang Nabi yang diutus

sebelum Nabi Ilyas As, pendapat lain mengatakan beliau seorang

lelaki yang Sholeh dan ada juga yang mengatakan Raja yang

Adil. Imam al-Shawi Rah a dalam Hasyiyah al-Jalalain berkata

bahwa pendapat yang Shohih ialah Dzulkifli As seorang Nabi

yang diutus kepada seorang lelaki.

18. Nabi Daud As, beliau putra dari Iisyaa bin 'Aubad bin Baa'ir bin

Salmuun bin Yaarib bin Raam bin Hadhruun bin Faarish bin

121
Kitab Tauhid Dasar
Yahudza bin Ya'qub As. Beliau seorang Nabi Yang diturunkan

Kitab Zabur kepadanya. Sebagian mukjizatnya diceritakan

dalam Al-Qur'an antara lain gunung-gunung ikut bertasbih

bersamanya, demikian juga dengan unggas-unggas, Allah

melunakkan besi baginya dan Allah menjadikan beliau sebagai

Raja Bani Israil dimasanya.

19. Nabi Sulaiman As, beliau dijadikan Allah sebagai Nabi dan

Raja bagi Bani Israil setelah ayahnya yakni Nabi Daud As, dan

bahkan Allah memberikan kerajaan baginya yang tidak ada

bandingannya baik sebelum maupun setelah beliau, bala tentara

beliau terdiri dari manusia, bangsa jin dan hewan-hewan, dan

Allah telah menundukkan angin bagi Nabi Sulaiman As untuk

bergerak sekehendak beliau, dan disamping itu Allah SWT juga

memberikan kepada beliau akan Manthiq al-Thair (kefahaman

bahasa burung) dan segala bahasa lainnya.

20. Nabi Ilyas As, menurut Imam Ibnu Ishaq Rah a, Ilyas As bin

yusaa bin Finhash bin 'Iizaar bin Harun bin Imran As (Saudara

Nabi Musa As), beliau juga termasuk Nabi yang diutus kepada

Bani Israil.

122
Kitab Tauhid Dasar
21. Nabi Yunus bin Mataa As, beliau diutus kepada penduduk

kampung Ninawa, Ninawa termasuk dalam wilayah negri

Maushul, beliau disebut juga dalam Al-Qur'an dengan nama

Dzan Nun atau Shohibul Hut, karena dalam masa perjuangannya

pernah ditelan ikan Hut, menurut riwayat Imam Sudiy Rah a dari

Imam Abu Malik Rah a beliau tinggal dalam perut ikan Hut

selama 40 hari, menurut riwayat Imam Ja'far Shodiq 7 hari, dan

riwayat Imam Qatadah 3 hari, sedangkan riwayat imam Sya'bi

ditelan di waktu Dhuha dan dimuntahkan pada waktu petangnya.

22. Nabi Zakariya As, para Sejarawan berbeda pendapat mengenai

ayah Beliau, sebagian berpendapat beliau putra dari Uden,

pendapat lain beliau putra Barkhiya, dan pendapat lain putra

Ubay bin Barkhiya, namun yang masyhur Nabi Zakariya As

keturunan dari Nabi Sulaiman bin Daud As. Menurut Imam Ibnu

Ishaq Rah a, Nabi Zakariya As dan putranya (Nabi Yahya As)

adalah Nabi terakhir yang diutus dari kalangan Bani Israil

sebelum Nabi Isa As, dan diakhir perjuangannya beliau gugur

Syahid dibunuh oleh kaumnya dengan menggunakan gergaji

(Fathul Bari).

123
Kitab Tauhid Dasar
23. Nabi Yahya bin Zakariya As, beliau dilahirkan ketika ayahnya

telah berumur 120 tahun menurut satu pendapat, dan menurut

Imam Tsa'labi Rah a beliau lahir enam bulan lebih dahulu dari

pada Nabi Isa As, dan pendapat lain mengatakan tiga tahun.

Dalam Surat Ali Imran beliau dipuji dengan sebutan Sayyidan

Wa Hashuran, ada beragam pendapat ulama tentang makna

Sayyid disini, antara lain teladan dalam ilmu dan ibadah (Imam

Qatadah), atau dalam ilmu dan ketaqwaan (Imam Dhahhak),

teladan yang Mulia (Imam Mujahid), tidak dikuasai Amarah

(Ibnu Zaid) dan teladan yang mengungguli orang-orang

dimasanya dalam segala kebaikan (Imam al-Zujaj), sedangkan

makna Hashur disini menurut Ibnu Mas'ud Ra, Ibnu Abbas Ra,

Ibnu Jubair, Qatadah dan lainnya mengatakan dapat menahan

nafsunya dari wanita dan menjauhi mereka meskipun ada

kemampuan. Menurut Imam Ibnu Ishaq Rah a Nabi Yahya As

juga gugur Syahid disembelih Raja yang Zhalim, dan hal itu

terjadi sebelum Nabi Isa As diangkat ke langit.

24. Nabi Isa bin Maryam As, beliau putra putra Maryam binti

Imran bin Yaasyim (bin Amun) bin Miisyaa bin Hizqiyaa dan

seterusnya hingga Sulaiman bin Daud As (nasab beliau secara

124
Kitab Tauhid Dasar
lengkap bisa dilihat pada Tafsir Ibnu Katsir dalam pembahasan

Surat Ali Imran) beliau adalah Nabi terakhir bagi Bani Israil,

laqabnya al-Masih, dan Nama Kuniyahnya Ibnu Maryam, kisah

kelahiran beliau diceritakan dalam Al-Qur'an karena

mengandung Hikmah Ilahiyah yang sangat besar, yakni Allah

menciptakan beliau tanpa seorang ayah, sebagaimana Allah

kuasa menciptakan Nabi Adam As tanpa ayah dan ibu,

sedangkan selain mereka Allah SWT ciptakan dengan

perantaraan ayah dan ibu.

25. Sayyid al-Awwaliin wal-Akhiriin wa Imaam Al-Anbiyaa wal-

Mursalin Sayyidina wa Maulana Muhammad al-Fatih, al-

Khatim, al-Nashir wal-Haadii ilaa Shirathi Rabbil 'Aalamiin.

Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam wa ala Alihi wa Shahbihi Ajmaiin.

125
Kitab Tauhid Dasar
BAB VIII
BERIMAN KEPADA PARA MALAIKAT

َ ‫َال أ َ ْو ًَ َال ؽ ُْش‬


ُْ ُٙ ٌَ ََ ْٛ َٔ ‫ َال‬َٚ ‫ة‬ ٍ َ ‫ ثِ َال أ‬ٜ‫ اٌْ َّـٍَهُ اٌَّـ ِز‬َٚ
َْ ُ ‫ أ‬َٚ ‫ة‬

ًُ ْ١ِ‫ ًُ ِػ ْض َسئـ‬١ْ ‫ع َشافِـ‬


ْ ِ‫ىَب ُي ا‬١ْ ‫ِِـ‬ ًُ ٠ْ ‫ ُُ ِج ْج ِش‬ُٙ ْٕ ِِ ‫ػؾ ٍْش‬
َ ًُ ١ْ ‫ر َ ْف ِقـ‬

َٜ‫اُْ اْدزَز‬َٛ ‫م‬


ْ ‫ ِس‬َٚ ٌ‫ ُذ َِب ٌِه‬١ْ ِ‫ػز‬
َ ‫ وـَزَا‬َٚ ‫ت‬
ٌ ١ْ ‫ َسلِـ‬َٚ ‫ْ ٌش‬١‫ُِـ ْٕى َْش َٔـ ِى‬

"Dan kita wajib meyakini adanya Malaikat yang tercipta tanpa

adanya ayah dan ibu, Dan tidak makan, minum dan tidak tertidur"

"Perincian sepuluh Malaikat (yang wajib diimani) dari

kesemuanya yaitu Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, ..."

"Munkar, Nakir, Raqib dan Atid, Malik dan Ridhwan alaihim al-

Shalatu Wassalam"

Penjelasan

Melalui bait-bait syair diatas, Sheikh Ahmad Marzuq Rah a

menjelaskan kepada kita akan suatu persoalan Aqidah yang juga

wajib diyakini oleh setiap mukallaf setelah beriman kepada Allah dan

para utusan-Nya, yaitu beriman akan adanya malaikat-malaikat Allah

SWT.

126
Kitab Tauhid Dasar
Menurut Imam Bajuri Rah a malaikat adalah makhluk yang Allah

ciptakan berupa jisim-jisim yang terbuat dari cahaya dan bersifat

halus (al-Ajsam al-lathifah) dan diberikan kemampuan untuk

merubah diri dengan berbagai bentuk.

Dalam permulaan Surat Fathir disebutkan bahwa diantara malaikat

ada yang diciptakan dengan dua sayap, tiga sayap, empat sayap dan

ada juga yang lebih dari itu, dalam riwayat Bukhari dan Muslim

disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah melihat Jibril As memiliki

600 sayap ditubuhnya.

Para malaikat juga memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda

dengan ciptaan Allah yang lain, diantaranya: mereka tercipta tanpa

perantaraan ayah dan ibu, tidak makan dan minum, tidak mengalami

kantuk apalagi tertidur, juga tidak berjenis kelamin baik lelaki

maupun perempuan apalagi banci. Menurut para ulama, orang yang

Ber-I'tiqad bahwasanya malaikat itu berjenis kelamin laki-laki maka

ia dikatakan sebagai Ahli Bid'ah dan jatuh kepada kefasikan, dan jika

Ber-I'tiqad bahwa malaikat itu perempuan, maka dapat jatuh kepada

kekafiran. Allah berfirman;


‫ا‬
‫سح‬ٛ‫َْ {ع‬ْٛ ٍَُ‫ُ َْئ‬٠َٚ ُۡ ُٙ ُ ‫لَر‬َٙ ٰ ‫ش‬ َ ُۡ ُٙ َ‫اْ ف ٍَۡم‬ُٚ ‫ل‬ِٙ ‫ش‬
ُ َ ‫ٍز ُ ۡىز‬
َ ‫ت‬ ‫َٓ ُ٘ ُۡ ِػ ٰجَل ُ ه‬٠ِ‫اْ ۡٱٌ َّ ٍَٰئِ َىخَ ٱٌهن‬ٍَُٛ‫ َعؼ‬َٚ
َ َ ‫ٱٌو ۡؽ ٰ َّ ِٓ ِئ َٰٔضب أ‬

}ٔ٣ : ‫اٌضخشف‬
127
Kitab Tauhid Dasar
"Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu

adalah hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah sebagai orang-

orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan

malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka

dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban". (QS Az Zukhruf

: 19)

Terlebih lagi adalah jika Ber-I'tiqad bahwasanya malaikat berjenis

kelamin banci, I'tiqad seperti ini lebih layak kepada kekafiran, karena

penyebutan banci lebih menghinakan derajat malaikat dari pada

penyebutan perempuan.

Para malaikat juga memiliki karakteristik lainnya yang merupakan

keutamaan yang Allah berikan bagi mereka, seperti selalu dalam

ketaatan yang sempurna kepada-Nya, selalu tunduk dan patuh

menjalankan perintah-Nya, dibersihkan dari Syahwat Haywaniyah

atau dibebaskan dari kecenderungan terhadap hawa nafsu sehingga

dapat dipastikan mereka terbebas dari dosa dan maksiat dan tidak

pernah menyeleweng sedikit pun dari batasan Allah SWT. Tentang

karakteristik mereka Allah SWT berfirman;

}ٙ{ َْٚ‫ُ ۡإ َِ ُو‬٠ ‫َْ َِب‬ٍَُٛ‫َ ۡفؼ‬٠َٚ ُۡ ُ٘ ‫ٱّٰللَ َِب ا أ َ َِ َو‬


‫َْ ه‬ٛ‫ظ‬ ‫ه‬
ُ ۡ‫َؼ‬٠ ‫ل‬......

128
Kitab Tauhid Dasar
"... (Mereka para malaikat itu) tidak mendurhakai Allah terhadap

apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu

mengerjakan apa yang diperintahkan".

(QS At Tahriim : 6)

Para ulama telah meneliti tugas-tugas para malaikat yang telah

disebutkan dalam berbagai Nash-nash dalil baik dalam Al-Qur'an

maupun hadits-hadits Rasulullah Saw, akhirnya ditemukanlah

bagian-bagian para malaikat berdasarkan tugas-tugasnya masing-

masing antara lain; Malaikat pencatat amal-amal hamba (Kiraman

Kaatibiin), pengawas makhluk-Nya (Hafazhah), pemikul Arasy

(Hamalatul 'Arasy), malaikat-malaikat yang selalu bertasbih

(Musabbihuun), yang selalu memohon ampun bagi orang yang

beriman (Mustaghfiruun), selalu bersujud (Saajiduun), bergantian

mengurus Makhluk siang dan malam (Muta'aaqibuun), dan ada juga

malaikat Rahmat serta malaikat yang tugasnya berkeliling mencari

majelis-majelis Dzikir (Sayyaarah) dan sebagainya.

Menurut al-'Allamah al-Habib Zein bin Smith Hafizhahullah dalam

Syarah Hadits Jibril, para malaikat Allah sangat banyak yang tidak

ada seorangpun yang mengetahui bilangannya secara pasti melainkan

Allah, karena tidaklah satu jengkal pun tempat baik dibumi maupun

129
Kitab Tauhid Dasar
di langit kecuali selalu ada malaikat yang memakmurkannya. Dan

menurut beliau sebagaimana juga disebutkan ulama-ulama lainnya,

dari sekian banyak malaikat tersebut ada sepuluh Malaikat yang

wajib diyakini secara terperinci (Tafshiliy) oleh setiap mukallaf, yang

tidak boleh satu pun dari sepuluh Malaikat tersebut diingkari

keberadaannya.

Berikut ini daftar nama-nama malaikat tersebut berikut tugasnya

masing-masing:

1. Jibril As, menurut Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami Rah a, lafazh

Jibril adalah bahasa Suryani, bahasa arabnya adalah Abdullah, beliau

adalah Malaikat yang paling utama yang diberi tugas sebagai

penyampai Wahyu dari Allah kepada para Anbiya alaihim al-Shalatu

Wassalam. Karena Jibril As dijadikan sebagai perantara antara Allah

dan rasul-rasul-Nya. Menurut para ulama lafadz Jibril menurut lughat

memiliki berbagai penyebutan, diantaranya Jibriil (Bahasa Ahli

Hijaz), Jabriil (Qiraat Imam Hasan dan Ibnu Katsir), Jabraiil (Qiraat

Ahli Kufah), Jabrail (Qiraat Imam Abu Bakar dari Imam Ashim),

Jabraill (Qiraat Yahya bin Ya'mur), Jabraail (Qiraat Ikrimah),

Jabrayiil (Qiraat al-A'masy dan juga Imam Yahya) dan ada juga yang

130
Kitab Tauhid Dasar
membaca dengan huruf Nun sehingga menjadi Jibriin (Bahasa Bani

Asad) dan masih ada bentuk lainya. Dan didalam Al-Qur'an Jibril As

kadang disebut dengan nama Ruh al-Amin (As Syu'ara: 193), Ruh al-

Qudus (An Nahel: 102) dan didalam hadits ada riwayat menyebutkan

Jibril As sebagai Namus yaitu riwayat yang menceritakan pertemuan

Rasulullah Saw dengan Waraqah bin Naufal setelah beliau bertemu

Jibril As di gua Hira.

2. Mikail As, malaikat Mikail As bertugas sebagai pengurus hujan

dan rizqi makhluk-makhluk-Nya. Lafadz Mikail juga memiliki ragam

Lughawiy, Imam Qurthubi Rah a menyebutkan antara lain Miikaayiil

(Qiraat Nafi), Miikaaiil (Qiraat Hamzah), Miikaal (bahasa ahli Hijaz

dan Qiraat Hafsh), Miikaiil (Qiraat Ibnu Muhaishin), miikaayiil

(Qiraat al-A'masy) dan lainnya.

3. Israfil As, malaikat Israfil As bertugas sebagai peniup Sangkakala

pada hari kiamat, yakni meniup dengan dua kali tiupan, tiupan

pertama sebagai sebab kehancuran alam semesta dan kematian para

hamba kecuali yang Allah kehendaki untuk tetap hidup, kemudian

tiupan kedua yang akan membangkitkan semua hamba (Nafkhatul

Bi'tsah), Allah SWT berfirman;

131
Kitab Tauhid Dasar
ٰٜ ‫ ِٗ أ ُ ۡف َو‬١‫ٱّٰللُ ص ُ هُ ُٔ ِف َـ ِف‬
ُۖ ‫شب ا َء ه‬ ِ ‫ ۡٱأل َ ۡه‬ٟ‫ َِٓ ِف‬َٚ ‫د‬
َ َِٓ ‫ع ِئ هل‬ ِ َٛ ٰ َّ ٰ َ َ َ‫ه ف‬ٛ
‫ ٱٌ ه‬ٟ‫ظ ِؼكَ َِٓ ِف‬ ِ ‫ظ‬ُّ ٌ‫ ٱ‬ٟ‫ُٔ ِف َـ ِف‬َٚ

ُ َٕ٠ َ‫ب‬ٞ َ١ِ‫فَاِمَا ُ٘ ُۡ ل‬


}ٙ٦ :‫سح اٌضِش‬ٛ‫{ع‬...... َْٚ‫ظ ُو‬

"Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan

di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah, kemudian ditiup

sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu

(putusannya masing-masing)".

(QS Az Zumar : 68)

Adapun yang Allah kehendaki untuk tidak mati pada tiupan pertama,

para ulama berbeda pendapat, satu pendapat mengatakan Jibril As,

Mikail As, Israfil As, malaikat pemikul Arasy (Hamalatul 'Arasy)

dan Izrail As. Sedangkan Imam Dhahhak Rah a mengatakan

Ridhwan As, bidadari-bidadari Surga, malaikat Malik dan Zabaniyah.

Dan ada juga yang berpendapat bahwa yang dikecualikan dari

kematian pada tiupan pertama adalah orang-orang yang telah

meninggal dunia sebelum hari kiamat, karena mereka telah

mengalami kematian.

4. Izrail As, lafadz Izrail dalam bahasa Arab adalah Abdul Jabbar,

dia bertugas menangani urusan kematian, karenanya didalam Al-

132
Kitab Tauhid Dasar
Qur'an disebut dengan Malakul Maut, malaikat Izrail memiliki postur

tubuh yang sangat besar, jika berdiri kepalanya di langit, dan kedua

kakinya di dasar bumi, wajahnya menghadap Lauh al-Mahfuzh,

sedangkan semua makhluk diantara kedua matanya, dia memiliki

banyak pembantu, dan jika mencabut nyawa seorang mukmin, dia

akan berlaku lemah lembut dan dengan penampilan yang

menyenangkan, tidak sebaliknya (Mujazul Kalam), dan menurut

ulama Ahlul Hak, yang dicabut nyawanya oleh Malakul Maut bukan

hanya manusia dan Jin, tetapi juga ruh hewan-hewan semuanya

bahkan nyamuk sekalipun, berbeda dengan pendapat Muktazilah

yang berpendapat hanya terbatas pada ruh manusia dan Jin saja, lalu

siapa yang mencabut nyawanya sendiri? Dalam hal ini ada dua Qaul

(pendapat), pendapat pertama mengatakan malaikat Izrail sendiri

yang mencabut nyawanya sendiri, pendapat kedua mengatakan Allah

yang mencabut nyawanya (Tuhfatul Murid).

5. Munkar As.

6. Nakir As. Malaikat Munkar dan Nakir As adalah dua malaikat

yang bertugas untuk menyoal setiap hamba di alam kubur mengenai

Tauhid, agama dan kenabian. Imam Suyuthi Rah a dalam kitab Syarh

133
Kitab Tauhid Dasar
al-Shudur mengutip perkataan Imam Hakim al-Turmudzi Rah a

bahwa kedua malaikat tersebut dinamakan Munkar dan Nakir karena

memiliki perawakan yang berbeda dengan perawakan manusia,

malaikat maupun binatang, jadi bentuk tubuhnya tidak ada kemiripan

dengan bentuk tubuh makhluk Allah yang lain.

Setiap hamba akan ditanya persoalan tersebut meskipun jasadnya

telah hancur lebur atau cerai berai karena berbagai penyebab

kematiannya, misalnya seorang yang mati dimakan binatang buas,

terbakar menjadi debu dan sebagainya. Karena menurut para ulama

jasad akan dikembalikan secara utuh dengan ruhnya, dan persoalan

malaikat tersebut akan terjadi pada ruh dan jasad, bukan ruh saja, dan

proses persoalan tersebut terjadi setelah pengebumian mayat.

Menurut Sayyid Muhammad bin Ali baathiyah Rah a, ada hamba-

hamba tertentu yang tidak akan ditanya oleh malaikat Munkar dan

Nakir, yaitu para nabi, Shiddiqin, Syuhada dan orang yang

melazimkan membaca Surat al-Mulk, Allohummmaj 'alnaa minhum

bi Rahmatika wa Karamika.

7. Raqib As.

134
Kitab Tauhid Dasar
8. Atid As. Malaikat Raqib dan Atid ialah dua malaikat yang bertugas

menjadi penjaga atau pengawas setiap perbuatan atau ucapan setiap

hamba, semua ucapan hamba akan dicatat bahkan rintihan mereka

ketika sakit tidak akan terluput dari catatan malaikat Raqib dan Atid,

demikian lah pendapat yang dinukil dari banyak ulama kaum

muslimin termasuk di antaranya Imam Malik Rah a, dan perlu

difahami bahwa setiap salah satu keduanya bernama Raqib dan Atid,

tidak seperti anggapan sebagian orang yang menyangka bahwa salah

satunya bernama Raqib dan yang lainnya bernama Atid, demikian

menurut Imam Bajuri Rah a, Imam Jalaluddin al-Mahalli Rah a dan

Sheikh Nawawi al-Bantani Rah a dalam Nur al-Zhalam dan ulama

lainnya. Dan dipandang dari segi makna, Raqib bermakna Hafizh

yang artinya penjaga atau pengawas, sedangkan Atid bermakna

Hadir.

9. Malik As. Malaikat Malik As bertugas sebagai penjaga Neraka,

baik neraka Jahannam, Lazha, Huthamah, Sa'iir, Saqar, Jahim

maupun Hawiyah. Dan dalam melaksanakan tugasnya, malaikat

Malik As dibantu oleh malaikat Zabaniyah yang jumlahnya 19

malaikat, dan setiap satu dari malaikat Zabaniyah memiliki banyak

135
Kitab Tauhid Dasar
pasukan yang tidak ada yang mengetahui bilangannya kecuali Allah

SWT. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an :


ُۖ ‫ا‬
}ٖٔ{ ...‫به ئِ هل َِ ٍَٰئِ َى ٗخ‬ َ ‫ َِب َعؼَ ٍَٕۡب ا أَطۡ ٰ َؾ‬َٚ ‫ػش ََو‬
ِ ‫ت ٱٌٕه‬ َ َ‫ب رِ َۡؼَخ‬َٙ ١ۡ ٍَ‫ػ‬
َ

"Diatasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Dan tiada Kami

Jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat ... " (QS Al

Muddatstsir: 30-31).

10. Ridhwan As. Malaikat Ridhwan As bertugas sebagai penjaga

Surga, baik Firdaus, al-Ma'wa, al-Khuld, Jannatunna'iim, 'Aden, Dar

al-Salam dan Dar-al-Jalal (menurut Ibnu Abbas Ra). Sedangkan

menurut Jumhur ulama, Surga hanya empat sebagaimana dinyatakan

dalam dua ayat pada Surat Al-Rahman;

ِ َ ‫بَ َه ِثِّۦٗ َعٕهز‬


}ٗٙ :ّٓ‫سح اٌشد‬ٛ‫بْ {ع‬ َ ‫ ٌِ َّ ۡٓ ف‬َٚ
َ َ‫َبف َِم‬

"Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada

dua Surga". (QS At Rahman: 46)

ِ َ ‫ َّب َعٕهز‬ِٙ ُِٔٚ ‫ ِِٓ ك‬َٚ


}ٕٙ :ّٓ‫سح اٌشد‬ٛ‫بْ{ع‬

"Dan selain dari dua Surga itu ada dua Surga lagi".

(QS Ar Rahman: 62).

Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa surga hanyalah satu,

adapun nama-nama surga yang disebutkan dalam berbagai dalil baik

136
Kitab Tauhid Dasar
dalam Al-Qur'an maupun Hadits, hanyalah menunjukkan kemuliaan

dan ketinggian serta sifat-sifat surga tersebut, bukan menunjukkan

kepada pembagian surga, karena Surga yang satu itu boleh saja

disebut sebagai Dar al-Salam, karena memang suatu negeri yang

penuh kesejahteraan, atau disebut dengan nama Jannatunna'iim,

karena memang penuh dengan segala kenikmatan, atau Jannatul

Khuldi karena memang ahli surga akan kekal didalamnya dengan

penuh kegembiraan.

137
Kitab Tauhid Dasar
BAB IX
BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH SWT DAN
KEWAJIBAN MENAATI RASULULLAH SAW

Sheikh Ahmad Marzuq Rah a berkata;

‫ب‬َٙ ٍُْ٠‫ ر َ ْٕ ِض‬َٰٜ ‫ذ‬ُٙ ٌْ‫ ِثب‬ٝ‫ع‬


َ ْٛ ُِ ُ‫ َساح‬ْٛ َ ‫ر‬ ٍ ُ ‫أ َ ْسثَـؼَخٌ ِِ ْٓ وُـز‬
‫ـَب‬ٍُٙ١ْ ‫ت ر َ ْف ِقـ‬

َ ٌْ ‫ فُ ْشلَب‬َٚ ٝ‫غ‬
‫ ِش اٌْ َّ َال‬١ْ ‫ َخ‬ٍَٝ‫ػ‬ َ ١ْ ‫ِػ‬ ِ ِْٔ‫ ا‬َٚ ‫ َد‬ٚ‫َا‬
َٝ‫ـ ًٌ ػٍَـ‬١ْ ‫ـجــ‬ ُ ‫ ُس د‬ٛ‫َصثـ ُ ْـ‬

ُِ ١ْ ٍِ ‫ب وـ َ َال َُ اٌْ َذــى َُِ اٌْؼَــ‬َٙ ١ْ ‫ِفـ‬ ُِ ١ْ ٍِ ‫ اٌْ َى‬َٚ ًِ ١ْ ٍِ ‫ـف اٌْ َخـ‬
ُ ‫فـ ُذ‬
ُ َٚ

ْ َّ ‫فَ َذـمُُّٗ اٌز‬


‫ ُي‬ٛ‫ اٌْمَـجُ ْـ‬َٚ ُُ ‫ـ‬١ْ ٍِ ‫غـ‬ ‫ ُي‬ٛ‫ع ْـ‬ َّ ِٗ ِ‫ ث‬ٰٝ َ ‫ وُـ ًُّ َِب أَر‬َٚ
ُ ‫اٌش‬

"Ada empat Kitab yang wajib diimani, perinciannya adalah;


Taurat yang diturunkan sebagai petunjuk kepada Nabi Musa As,"
" Zabur kepada Nabi Daud As, Injil kepada Nabi Isa As dan Al-
Qur'an yang diturunkan kepada sebaik-baik rasul (Nabi
Muhammad Saw)"
"Dan (meyakini) adanya Shuhuf-Shuhuf yang diturunkan kepada
al-Khalil (Nabi Ibrahim As) dan al-Kalim (Nabi Musa As) yang
didalamnya terkandung Kalam Allah yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui".
"Dan (terhadap ajaran) apa saja yang dibawa oleh Rasulullah
Saw, semestinya setiap mukallaf menerimanya dengan lapang
dada".

138
Kitab Tauhid Dasar
Penjelasan.

Kewajiban Mengimani kitab-kitab Samawi.

Nazham diatas menjelaskan tentang perkara yang juga diwajibkan

kepada segenap para mukallaf, yaitu beriman kepada seluruh kitab

yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya, kitab-kitab tersebut disebut

juga sebagai al-Kutub al-Samawiyah, kitab-kitab Samawi diturunkan

kepada nabi-nabi tertentu sebagai Wahyu dari Allah, yang mana baik

mereka para nabi maupun para malaikat tidak ikut campur dalam

menetapkan lafazh-lafazhnya maupun makna-maknanya.

Secara global (Ijmali) kita diwajibkan mengimani seluruh kitab yang

diturunkan Allah tersebut tanpa batasan, karena para ulama tidak ada

kesepakatan tentang jumlah yang pasti dari seluruh kitab tersebut,

sebagian ulama diantaranya Allamah al-Habib Zein bin Smith

Hafizhahullah dalam Syarah Hadits Jibril mengatakan 104 kitab, dan

ada juga yang mengatakan 114 kitab, dan sementara Sayyid

Muhammad bin Ali baathiyah Rah a mengatakan bahwa jalan yang

lebih selamat adalah tidak membatasinya dengan bilangan tertentu.

Adapun yang wajib diimani secara terperinci (Tafshiliy) menurut para

ulama ada empat Kitab, maksudnya setiap mukallaf wajib meyakini

bahwa keempat kitab tersebut diturunkan oleh Allah, tidak boleh

139
Kitab Tauhid Dasar
mengingkarinya, dan seandainya mengingkari walaupun satu saja

dari empat kitab tersebut niscaya akan jatuh kepada kekafiran. Empat

kitab tersebut adalah;

1.Taurat. Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa As, dalam

Nazhom syair diatas Sheikh Ahmad Marzuq Rah a menyebutkan

lafazh "bil Hudaa Tanziiluhaa", maksudnya ialah bahwa di dalam

kitab Taurat terdapat petunjuk yang menjelaskan kebenaran, dan

diantara kebenaran yang dimaksud adalah kewajiban mengikuti Nabi

Muhammad Saw yang sifat-sifatnya disebutkan di dalam kitab Taurat

tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an;

ٞ َُٔٚ ٜ ٗ‫ب ُ٘ل‬َٙ ١ِ‫ َه ٰىخَ ف‬ٛۡ ‫ئِٔهب ا أَٔيَ ٌَٕۡب ٱٌز ه‬
........ ‫ه‬ٛ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya

(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) ..."

(QS Al Maidah: 44)

Imam Qurthubi Rah a menafsirkan penggalan ayat diatas bahwa di

dalam Taurat terdapat penjelasan dan penerangan serta

memperkenalkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah perkara yang

Haq.

Namun perlu diketahui bahwasanya kitab Taurat ini telah mengalami

penyimpangan atau penyelewengan (Tahrif) yang dilakukan oleh

140
Kitab Tauhid Dasar
para penulis dari kalangan rahib-rahib Yahudi, mereka

menyembunyikan kebenaran untuk tujuan duniawi dan memenuhi

ambisi hawa nafsu mereka.

Dalam Al-Qur'an disebutkan beberapa ayat yang menunjukkan

perilaku tangan-tangan kotor sebagian rahib-rahib Yahudi tersebut

dalam mencemari kitab Taurat, satu diantaranya firman Allah SWT;

........ ‫اػ ِؼ ِٗۦ‬ َ َُ ٍِ ‫َْ ۡٱٌ َى‬ُٛ‫ُ َؾ ِ ّوف‬٠ ْ‫ا‬ُٚ ‫َٓ َ٘بك‬٠ِ‫ِ َِّٓ ٱٌهن‬
ِ َٛ ِ‫ػٓ ه‬

"Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari

tempat-tempat nya ...” (QS An Nisa: 46).

2. Zabur. Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud As,

sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an;

ٗ ُ‫ۥكَ ىَ ث‬ٚ‫َٕب كَ ُا‬١ۡ َ ‫ َءار‬ٚ......


}ٖٔٙ :‫سح إٌغبء‬ٛ‫ها {ع‬ٛ َ

"... Dan Kami Berikan Zabur kepada Daud".

(QS An Nisa: 163)

Kemudian tentang isi kandungannya, Imam Suyuthi Rah a dalam

kitab al-Itqan fi ulum al-Quran menyebutkan riwayat Ibnu Abi Hatim

Rah a dari Imam Qatadah Rah a, beliau berkata; "kami menceritakan

sesungguhnya kitab Zabur terdiri dari 150 surat, semuanya berisikan

nasehat-nasehat dan berbagai pujian, didalamnya tidak disebutkan

141
Kitab Tauhid Dasar
hukum halal dan haram, tidak ada kefardhuan maupun hukuman-

hukuman ...".

3. Injil. Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa As, namun

sebagaimana Taurat, kitab Injil juga telah mengalami banyak

perubahan (Tahrif) yang disebabkan dari campur tangan para

pendeta Nasrani, jadi yang beredar saat ini sudah tidak otentik lagi

Menurut sebagian ulama, kitab Injil yang mendekati kebenaran

adalah yang ditulis oleh Barnabas, Injil Barnabas banyak menyelisihi

berbagai kitab Injil lainnya yang beredar saat ini seperti yang ditulis

oleh Matius, Yohanes, Lukas, Markus dan sebagainya.

Mengenai perilaku para pemuka kaum Nasrani tersebut, Allah SWT

berfirman;

َ ْ‫ا‬ُٛ‫َؼۡ ف‬٠َٚ ‫ت‬


‫و‬١ٖ ‫ػٓ َو ِض‬ ِ َ ‫َاأ َ ۡ٘ ًَ ۡٱٌ ِى ٰز‬٠ٰ
ِ َ ‫َْ ِِ َٓ ۡٱٌ ِى ٰز‬ُٛ‫وا ِ ِّ هّب ُوٕز ُ ُۡ ر ُ ۡقف‬١ٗ ِ‫ّ ُٓ ٌَ ُى ُۡ َوض‬١ِ َ‫ُج‬٠ ‫ٌَُٕب‬ٍُٛ‫ت لَ ۡل َعب ا َءوُ ُۡ َه‬
}ٔ٘ :‫سح اٌّبئذح‬ٛ‫ {ع‬.....
"Hai Ahlul kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab yang kamu
sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkan ..."
(QS Al Maidah: 15)

4. Al-Qur'an. Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan kepada

Nabi besar Muhammad Saw dan menjadi mukjizat terbesar Beliau

142
Kitab Tauhid Dasar
Saw. Al-Qur'an memiliki banyak nama, menurut Sheikh Abul ma'aliy

Uzaizy bin Abdul Malik Rah a dalam kitab al-Burhan bahwa Allah

SWT menamakan Al-Qur'an sebanyak 55 nama, diantaranya Kitaban

Mubiinan, ad-Dzikr, al-Furqan dan sebagainya. Al-Qur'an terdiri dari

30 juz dan 114 Surat, namun ada juga yang berpendapat 113 Surat,

dengan menjadikan Surat al-Anfal dan Baraah sebagai satu Surat tak

terpisah, sedangkan tentang jumlah ayatnya para ulama berbeda

pendapat, Imam Suyuthi dalam al-Itqan menyebutkan satu riwayat

dari Ibnu Abbas Ra bahwa jumlah ayatnya sebanyak 6616 ayat dan

jumlah hurufnya sebanyak 323 671 huruf, adapun jumlah Kalimat

Al-Qur'an menurut sekelompok ulama sebanyak 77 934 kalimat.

Berbeda dengan kitab suci lainnya, Al-Qur'an masih terjaga

keasliannya, tanpa ada penukaran dengan ucapan Makhluk (Tabdil)

dan tidak mengalami perubahan (Tahrif), karena diseluruh alam dari

masa ke masa hingga kini Al-Qur'an telah dihafal oleh jutaan umat

Islam, sehingga tidak mungkin atau Mustahil tangan-tangan jahil

dapat merubah atau merusak keasliannya.

Dan penjagaan Al-Qur'an adalah berada dalam jaminan Allah SWT

seperti dalam firman-Nya;

ُ ‫ ِئٔهب ٌَٗۥُ ٌَ ٰ َؾ ِف‬َٚ ‫ِئٔهب ٔ َۡؾ ُٓ ٔ هَي ٌَٕۡب ٱٌ ِنّ ۡو َو‬


}٣ :‫سح اٌذجش‬ٛ‫َْ {ع‬ٛ‫ظ‬

143
Kitab Tauhid Dasar
"Sesungguhnya Kamilah yang telah Menurunkan al-Dzikr (Al-
Qur'an), dan sesungguhnya Kami benar-benar Memeliharanya".
(QS Al Hijr: 9)

Shuhuf-Shuhuf Samawiyah.

Ber-I'tiqad akan adanya Shuhuf-Shuhuf (lembaran-lembaran firman

Tuhan) yang diturunkan kepada para nabi juga termasuk diantara

kewajiban-kewajiban bagi setiap mukallaf. Diantara nabi-nabi yang

mendapatkan Shuhuf-Shuhuf tersebut sebagaimana disebutkan dalam

Nazhom diatas adalah Nabi Ibrahim As dan Nabi Musa As, dan

menurut para ulama Nabi Musa As menerima Shuhuf sebelum beliau

menerima Kitab Taurat.

Allah SWT berfirman;

‫ ۡى َه‬ِٚ ‫ح‬ٞ ‫ ِاى َه‬َٚ ‫ٖ} أ َ هل ر َ ِي ُه‬٢{ ٝ‫ف ه ٰ ا‬َٚ ٞ‫ُ ٱٌه ِن‬١
َ ِ٘ ‫ ِئ ۡث ٰ َو‬َٚ }ٖٙ{ ٰٝ ٍ
َ ُِٛ ‫ف‬ ُ ِٟ‫َُٕج ۡهأ ِث َّب ف‬٠ ُۡ ٌَ َۡ َ ‫أ‬
ِ ‫ط ُؾ‬

}ٖ٢{ٰٜ ‫أ ُ ۡف َو‬

"Apakah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam


lembaran-lembaran Musa? (36) dan lembaran-lembaran Ibrahim
yang selalu menyempurnakan janji? (37) (yaitu) bahwasanya
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" (38).
(QS An najem : 36-38).

144
Kitab Tauhid Dasar
Kewajiban menerima semua ajaran Rasulullah SAW.

Setiap mukallaf juga wajib tunduk, patuh dan menerima dengan

lapang dada terhadap segala perkara yang dibawa oleh Rasulullah

Saw, baik hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Tauhid, syariat

maupun hukum-hukum agama.

Penolakan terhadap ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw

adalah suatu sikap yang sangat berbahaya, di Dunia maupun di

Akhirat. Dan Seandainya di dalam hati seorang mukallaf ada

perasaan tidak suka atau membenci satu perkara dari ajaran

Rasulullah Saw, misalnya membenci hukuman (Hudud) potong

tangan bagi seorang pencuri, atau hukum Rajam bagi pezina, atau

tidak menerima terhadap hukum keharaman memakan daging babi

atau meminum khamar atau berzina, maka sikap tersebut dapat

menjatuhkannya pada kekafiran.

Dan menurut para ulama, kewajiban untuk menerima dengan lapang

terhadap setiap ajaran Rasulullah Saw bukan hanya terbatas pada

perkara yang bersifat Ta'abbudiyah Mahdhah saja, seperti Sholat,

Zakat, puasa Ramadhan dan sebagainya, akan tetapi juga terhadap

perkara yang bersifat Tanzhimiyah fi Syu uun al-Hayat (aturan-aturan

dalam kehidupan), contohnya seperti undang-undang dalam


145
Kitab Tauhid Dasar
kehidupan bernegara. Maksudnya di dalam hati setiap muslim yang

mukallaf mesti meyakini bahwa undang-undang yang bersumber dari

Syariat yang dibawa Oleh Rasulullah Saw adalah lebih baik dari pada

aturan yang dibuat manusia lainnya.

Allah SWT berfirman;

‫ ُۡ َؽ َو ٗعب ِ ِّ هّب‬ِٙ َِ ُ‫ أَٔف‬ٟ‫اْ فِ ا‬ُٚ‫َ ِغل‬٠ ‫ ُۡ ص ُ هُ َل‬ُٙ َٕ١ۡ َ‫ش َغ َو ث‬ َ ُّ ‫ُ َؾ ِ ّى‬٠ ٰٝ ‫ َْ َؽز ه‬ُِِٕٛ ‫ُ ۡإ‬٠ ‫ َه ِثّ َه َل‬َٚ ‫فَ ََل‬
َ ‫ َّب‬١ِ‫ن ف‬ٛ

}ٙ٘ :‫سح إٌغبء‬ٛ‫ّب {ع‬١ٗ ٍِ َۡ َ ‫اْ ر‬ُّٛ ٍِّ َ َ ١ۡ ‫ؼ‬


َ ُ٠َٚ ‫ذ‬ َ َ‫ل‬

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman

hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang

mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan

dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan

mereka menerima dengan sepenuhnya".

(QS An Nisa: 65)

Rasulullah Saw bersabda;

)ٍُ‫ِغ‬ٚ ٞ‫اٖ اٌجخبس‬ٚ‫ٖ (س‬ٛ‫زىُ ػٕٗ فبجزٕج‬١ٙٔ ‫ِب‬ٚ ،ُ‫ا ِٕٗ ِب اعزطؼز‬ٛ‫ارا أِشرىُ ثؤِش فؤر‬

"Jika aku perintahkan kamu dengan satu perintah, kerjakan

sekemampuanmu, dan terhadap apa yang aku larang, maka

jauhilah.."

(HR Bukhari - Muslim)

146
Kitab Tauhid Dasar
Imam Malik Rah a berkata;

.‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬ٛ‫ سع‬ٟٕ‫ؼ‬٠ - ‫ اال فبدت ٘زا اٌمجش‬،ٗ١ٍ‫د ػ‬ٚ‫ِشد‬ٚ ‫ِب ِٕب اال ساد‬

"Tiadalah setiap kita melainkan bisa tertolak atau tidak diterima

(segala ucapannya), kecuali Sang Penghuni kuburan ini

(Rasulullah Saw)"

Imam Syafi'i Rah a berkata;

".. ‫ي أدذ‬ٛ‫ذػٗ ٌم‬٠ ْ‫ىٓ ٌٗ أ‬٠ ٌُ ‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬ٛ‫"ِٓ اعزجب ٔذ ٌٗ عٕخ سع‬

"Siapa yang telah nyata baginya satu Sunnah Baginda Rasulullah

Saw, tidak pantas baginya untuk meninggalkannya hanya karena

pendapat seseorang .."

147
Kitab Tauhid Dasar
BAB X
BERIMAN KEPADA HARI AKHIR

ْ ‫َبْ ِث ِٗ ِِ َٓ اٌْؼَ َج‬


‫ت‬ َ ‫ ُو ًُّ َِب و‬َٚ ‫ َج ْت‬َٚ ‫ ٍَ ٰأ ِخ ٍش‬ْٛ َ١‫ َّبَُٕٔب ِثـ‬٠ْ ‫ِا‬

Mengimani adanya hari Akhirat berikut segala perkara yang

dahsyat di hari itu adalah Wajib atas kita.

Penjelasan.

Termasuk diantara perkara yang wajib diyakini bagi setiap mukallaf

adalah adanya kehidupan hari akhir yang dikenal juga sebagai Yaum

al-Qiyamah, yakni hari kehancuran alam semesta ini sebagai penanda

berakhirnya kehidupan dunia yang fana dan dimulainya kehidupan

Akhirat yang abadi.

Hari akhirat dikenal juga dengan banyak sebutan, sebagai isyarat

yang menunjukkan keagungan hari tersebut, yang masyhur

diantaranya ialah Yaum al-Diin (hari pembalasan), Yaum al-Hisab

(hari perhitungan), Yaum al-Ba'ts (hari kebangkitan), dan masih

banyak sebutan lainnya. Menurut Sheikh Muhammad bin Ali

148
Kitab Tauhid Dasar
baathiyah Rah a, nama-nama atau sebutan bagi hari akhir mencapai

sekitar 300 nama.

Kemudian kapankah dimulainya hari akhirat dan kapan berakhirnya?,

Adapun tentang permulaan dimulainya kehidupan Akhirat Para

ulama berbeda pandangan, sebagian berpendapat dimulai sejak

dibangkitkanya manusia dari kubur, sebagian lainnya berpendapat

sejak manusia berkumpul di Mahsyar, dan ada juga yang mengatakan

bahwa hari akhirat dimulai sejak datangnya kematian bagi setiap

hamba.

Sedangkan mengenai batas berakhirnya, para ulama mengatakan

tidak ada batas akhir bagi kehidupan akhirat.

Berikut ini kami akan menyebutkan peristiwa demi peristiwa yang

akan dihadapi setiap hamba di dalam kehidupan akhirat;

1. Alam Barzakh.

Barzakh ialah suatu kehidupan yang terletak antara kematian

seseorang hamba dengan hari kebangkitan. Dalam Al-Qur'an

Allah SWT berfirman;

ُۖ
}ٔٓٓ :ِْٕٛ‫سح اٌّئ‬ٛ‫َْ {ع‬ُٛ‫ُ ۡجؼَض‬٠ َِ ٛۡ َ٠ ٰٝ ٌَ‫ُ ثَ ۡوىَ ٌؿ ِئ‬ِٙ ِ‫ َهاائ‬َٚ ِِٓ َٚ ‫ا‬.........

149
Kitab Tauhid Dasar
"Dan dibelakang mereka ada (alam) Barzakh hingga hari

mereka dibangkitkan" (QS Al Mukminun : 100)

2. Pertanyaan di alam kubur serta kenikmatan yang ada bagi orang

yang taat dan adanya siksa bagi ahli maksiat. Menurut Jumhur

ulama, pertanyaan di alam kubur terjadi oleh malaikat Munkar

dan Nakir terhadap setiap umat Dakwah, umat Dakwah

meliputi setiap orang baik Mukmin, munafik maupun kafir,

berbeda dengan pendapat Sheikh Ibnu Abdil Barr Rah a yang

mengatakan bahwa yang akan ditanya persoalan kubur

hanyalah orang mukmin dan munafik saja, sedangkan orang

kafir tidak akan ditanya di alam kubur.

Kemudian pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir tersebut

berkaitan dengan Tauhid dan kenabian dan terjadi setelah

sempurnanya proses pengebumian jenazah

Adapun diantara bentuk-bentuk nikmat kubur ialah meluasnya

kubur bagi orang yang taat sejauh mata memandang, dalam

riwayat lain kubur akan meluas sejauh 70 dzira' (riwayat Abu

Ya'la, Ibnu Hibban dan Baihaqi) dan riwayat lain menyebutkan

40 dzira' (Imam Qurthubi dalam al-Tadzkirah). Imam Qurthubi

Rah a juga mengatakan bahwa meluasnya kubur bagi orang yang

150
Kitab Tauhid Dasar
taat tersebut terjadi setelah menyempitnya kubur dan setelah

menjawab persoalan malaikat Munkar dan Nakir, sedangkan bagi

orang kafir, kubur tidak akan diluaskan.

Dan diantara bentuk-bentuk siksa kubur ialah adanya ular besar

yang akan mematuk atau menelan ahli kubur berulang-ulang

hingga hari kiamat seperti dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dan

Ibnu Majah dari sahabat Abu Sa'id Al Khudri Ra dan

menyempitnya kubur hingga bertemu kedua sisinya sehingga

akan menghimpitnya sampai tulang rusuknya bersilangan serta

diperlihatkannya api bagi ahli kubur tersebut, Wal 'iyaadzu

billaah..

Allah SWT berfirman;

ِ ‫شله ۡٱٌؼَنَا‬
}ٗٙ{ ‫ة‬ َ َ ‫َْ أ‬ٛۡ ‫ػ‬
َ ‫اْ َءا َي فِ ۡو‬ٛ‫ػخ ُ أ َ ۡك ِفٍُ ا‬ ‫ َُ ٱٌ ه‬ُٛ‫ ََ رَم‬ٛۡ َ٠َٚ ‫ّب‬١ٗ ‫ػ ِش‬
َ ‫َب‬ ُ ‫ب‬َٙ ١ۡ ٍَ‫ػ‬
َ َٚ ‫ا‬ُّٚ ٗ ‫غل‬ َ َْٛ‫ػ‬ ُ ‫ٱٌٕه‬
ُ ‫ُؼۡ َو‬٠ ‫به‬

"Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan

pada hari terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat):

"Masukkan lah Firaun dan kaumnya kedalam azab yang sangat

keras".(QS Al Mukmin: 46)

Imam Qurthubi Rah a dalam Tafsirnya menyebutkan pendapat

Jumhur ulama bahwa diperlihatkan api neraka dalam ayat diatas

151
Kitab Tauhid Dasar
terjadi di alam Barzakh dan ayat diatas menjadi landasan Argumen

bagi Ahli ilmu dalam menetapkan adanya siksa kubur.

Dalil lainnya ialah sabda Rasulullah Saw dari Abu Sa'id Al Khudri

Ra;

)ٞ‫اٖ اٌزشِز‬ٚ‫ دفشح ِٓ دفش إٌبس (س‬ٚ‫بك اٌجٕخ أ‬٠‫مخ ِٓ س‬ٚ‫أّب اٌمجش س‬

"Kubur hanyalah satu taman dari taman-taman Surga atau suatu

lembah dari lembah-lembah neraka"

(HR Turmudzi )

Para ulama juga menjadikan riwayat yang menyebutkan doa Nabi

Saw yang memohon perlindungan kepada Allah dari bermacam

siksaan yang salah satunya dari azab kubur sebagai penguat argumen

akan adanya sisa kubur.

3. Hari Kebangkitan (Yaum al-Ba'ts)

al-Ba'ts adalah suatu hari dimana umat manusia akan dihidupkan

dan dikeluarkan dari kubur mereka dalam keadaan menyatu

kembali anggota tubuh yang asli yang pernah ada sejak

permulaan hingga akhir kehidupannya di dunia secara utuh, lain

halnya dengan anggota tubuh yang tidak selalu ada selama hidup

seorang hamba seperti rambut atau kuku yang telah terpotong,

152
Kitab Tauhid Dasar
maka itu tidak termasuk dalam anggota tubuh yang akan

dibangkitkan kembali.

Dalil adanya Yaum al-Ba'ts ialah firman Allah SWT;

}ٔٙ :ِْٕٛ‫سح اٌّئ‬ٛ‫َْ {ع‬ُٛ‫َ َّ ِخ ر ُ ۡجؼَض‬١ٰ ‫ ََ ۡٱٌ ِم‬ٛۡ َ٠ ُۡ ‫ص ُ هُ ئِٔه ُى‬

"Kemudian sesungguhnya kamu akan dibangkitkan pada hari

kiamat" (QS Al Mukminun: 16)

4. Hari perhimpunan di Mahsyar (al-Hasyr).

Peristiwa berhimpunnya manusia di Mahsyar terjadi setelah

kebangkitan mereka dari kubur. Sekelompok ulama mengatakan

bahwa yang akan dihimpunkan di Padang Mahsyar hanyalah

Makhluk yang akan mendapat balasan Allah dari amalan mereka

di dunia, yakni hanya kalangan manusia dan Jin, namun menurut

para ulama Muhaqqiqin dan di anggap Shohih oleh Imam

Nawawi Rah a berpendapat bahwa yang akan dikumpulkan

dalam perhimpunan Agung di Mahsyar tidak hanya terbatas

kepada makhluk yang akan dibalas amalannya, akan tetapi juga

Makhluk yang tidak akan mendapat balasan amal, jadi bukan

hanya manusia dan Jin, tetapi juga segala jenis binatang.

Adapun bayi yang mati keguguran (lahir sebelum 6 bulan dalam

kandungan), jika mati setelah ditiupkan ruh, maka akan

153
Kitab Tauhid Dasar
dibangkitkan dan dikembalikan ruhnya kemudian akan

dimasukkan ke dalam surga, namun jika dilahirkan sebelum

ditiupkan ruh maka akan dihimpunkan dan kemudian akan

kembali menjadi tanah (Tuhfah al-Murid).

Rasulullah Saw bersabda;

.. ‫ا‬ٛ‫بِخ دفبح ػشاح غشال وّب خٍم‬١‫َ اٌم‬ٛ٠ ‫ذؾش إٌبط‬٠

"Manusia akan dihimpunkan pada hari kiamat dalam keadaan


tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan tidak berkhitan seperti
keadaan mereka sewaktu diciptakan.."(HR Turmudzi)

5. Syafaat Rasulullah Saw.

Adanya Syafaat Baginda Rasulullah Saw disebutkan dalam

riwayat Shahihain dari sahabat Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw

bersabda;

َ ُِ ‫ ُي‬َّٚ َ ‫أ‬َٚ ‫ ُي ؽَبفِ ٍغ‬َّٚ َ ‫أََٔب أ‬


)ٍُ‫ِغ‬ٚ ٞ‫اٖ اٌجخبس‬ٚ‫ؾفَّ ٍغ (س‬

"Aku adalah yang pertama memberi Syafaat dan akulah yang

pertama diterima Syafaatnya.."(HR Bukhari dan Muslim)

154
Kitab Tauhid Dasar
Menurut para ulama, setiap umat Rasulullah Saw mesti

meyakini tiga perkara, yaitu;

1. Nabi Muhammad Saw dapat memberikan Syafaat di Akhirat

(Syaafi')

2. Syafaat Rasulullah akan diterima disisi Allah SWT

(Musyaffa')

3. Syafaat Nabi Muhammad Saw lebih didahulukan dari pada

Syafaat selain beliau baik para nabi lainnya maupun para

Auliya.

Berkaitan dengan Syafaat Rasulullah Saw juga terdapat

riwayat mengenai keadaan di Mahsyar dimana umat manusia berada

dalam kepanikan yang luar biasa sehingga ketika itu manusia

berangan-angan seandainya dapat terbebas dari Mahsyar meskipun

dengan masuk ke dalam neraka, hingga pada akhirnya mereka

diberikan Ilham untuk mendatangi para nabi karena kedudukan

mereka sebagai perantara antara Allah dan makhluk-Nya.

Kemudian mereka mendatangi Nabi Adam As memohonkan

Syafaat, namun Nabi Adam tidak dapat memenuhi harapan mereka,

demikian juga ketika mereka memohon hal yang sama kepada Nabi

Nuh As dan nabi-nabi lainnya.

155
Kitab Tauhid Dasar
Setiap kali mereka mereka mendatangi nabi-nabi, semuanya

hanya mengatakan: "lastu lahaa lastu lahaa nafsii nafsii (aku

bukanlah pemilik Syafaat itu, pikirkan diri masing-masing)", keadaan

tersebut berlangsung demikian lama, karena konon masa untuk

menemui seorang Nabi kepada Nabi lainnya mencapai seribu tahun.

Sehingga pada akhirnya harapan mereka hanya kepada Nabi

Muhammad Saw, dan ternyata berbeda dengan Nabi yang lain,

Rasulullah Saw berkata: " ana lahaa ana lahaa .. Ummatii ummatii

..", dan kemudian setelah itu beliau bersujud dibawah Arasy serta

memuji-muji Allah SWT dengan pujian terbaik, lalu terdengarlah

seruan:

.. ‫اؽفغ رؾفغ‬ٚ ،‫ عً رؼو‬ٚ ،‫ اسفغ سأعه‬،‫ب دمحم‬٠

"Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah (apa saja)

engkau akan diberi, dan mohonlah Syafaat, Syafaatmu akan

diperkenankan .."

Setelah mendengar seruan tersebut beliau bangkit dan memberikan

Syafaatnya yang dengan itu terbukalah pintu Syafaat bagi umat

manusia, Syafaat tersebut dikenal juga dengan istilah al-Syafa'at al-

'Uzhmaa yang dikhususkan bagi beliau dan itulah yang disebutkan

156
Kitab Tauhid Dasar
dalam Al-Qur'an sebagai al-Maqaam al-Mahmuud sebagaimana yang

Allah janjikan dalam ayat;

}٢٣{ ‫كٗ ا‬ُّٛ ‫َ ۡجؼَض َ َه َهث َُّه َِمَ ٗبِب هِ ۡؾ‬٠ َْ‫ أ‬ٝ‫َ ٰ ا‬ َ ‫ هغ ۡل ثِ ِٗۦ َٔبفٍَِ ٗخ ٌه َه‬َٙ َ ‫ ًِ فَز‬١ۡ ‫ َِِٓ ٱٌه‬َٚ
َ ‫ػ‬

"Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu

sebagai ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu

mengangkat kamu ketempat yang terpuji"(QS Al Israa : 79)

Menurut Imam Qadhi Iyadh Rah a, Syafaat Baginda Nabi

Muhammad Saw pada hari kiamat terdiri dari lima macam Syafaat,

yaitu;

 Syafaat yang umum bagi seluruh makhluk (sebagaimana

kisah diatas).

 Syafaat untuk memasukkan suatu kaum ke dalam surga tanpa

hisab.

 Syafaat untuk menyelamatkan orang yang bertauhid dari

umatnya yang semestinya masuk neraka karena dosa-dosa

Mereka. Syafaat jenis ketiga inilah yang diingkari oleh

orang-orang ahli Bid'ah dari golongan Khawarij dan

Muktazilah.

 Syafaat untuk mengeluarkan orang yang sudah berada dalam

neraka dari para pendosa sehingga mereka dikeluarkan dari

157
Kitab Tauhid Dasar
neraka. Syafaat jenis keempat ini tidak hanya khusus milik

Nabi Muhammad Saw saja, akan tetapi juga milik para Nabi

yang lain, para wali maupun orang beriman lainnya.

 Syafaat untuk menambah atau meninggikan derajat orang

yang beriman di dalam surga. Syafaat jenis kelima dan jenis

pertama diatas disepakati bahkan oleh kaum Muktazilah.

(Lihat al-Jaami' li Ahkamil Qur'an Lil Qurthubi)

6. Al-Hisab (penghitungan amal)

Hari penghitungan amal-amal hamba juga termasuk diantara

peristiwa-peristiwa yang akan terjadi setelah hari kiamat yang

telah nyata dalil-dalilnya didalam Al-Qur'an maupun al-Sunnah.

Hisab ialah proses penghitungan amalan hamba baik ia seorang

Mukmin maupun kafir, baik ataupun buruk, berupa ucapan

maupun perbuatan yang telah dilakukan jin maupun manusia,

kecuali orang-orang yang dikecualikan Allah.

Perjstiwa Hisab amalan tersebut menurut ulama terjadi secara

terperinci setelah para hamba menerima buku catatan amal.

Allah SWT berfirman;

158
Kitab Tauhid Dasar
َ ََ ٛۡ َ١ٌ‫ ِثٕ َۡف َِ َه ۡٱ‬ٰٝ َ‫ها {ٖٔ} ۡٱل َو ۡأ ِو ٰز َجَ َه َوف‬ٛ‫ش‬
‫ َه‬١ۡ ٍَ‫ػ‬ ُ َِٕ ُٗ‫َ ٍۡمَ ٰى‬٠ ‫َ َّ ِخ ِو ٰز َجٗ ب‬١ٰ ‫ ََ ۡٱٌ ِم‬ٛۡ َ٠ ُ ٗ‫ُٔ ۡق ِو ُط ٌَ ۥ‬َٚ .....

}ٔٗ{ ‫جٗ ب‬١َِ‫َؽ‬

"... Dan Kami Keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah

kitab yang dijumpainya terbuka (13) " Bacalah kitabmu,

cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab

terhadapmu" (14) (QS Al Israa : 13-14)

7. Al Waznu.

8. Al Mizan. Termasuk diantara kejadian dahsyat yang akan

dihadapi para hamba juga adalah peristiwa al-Waznu wal

Mizan. Al-Waznu merupakan proses penimbangan amal

perbuatan hamba, sedangkan Mizan merupakan alat

penimbangnya. Dalil adanya peristiwa penimbangan (wazan)

amalan ialah firman Allah SWT;

}٦ : ‫سح األػشاف‬ٛ‫ {ع‬..... ‫ َِئِ ٍن ۡٱٌ َؾ ُّك‬ٛۡ َ٠ ُْ ‫ ۡى‬َٛ ٌ‫ ۡٱ‬َٚ

"Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan) "

(QS Al A'raf : 8)

Sedangkan dalil adanya Mizan ialah firman Allah SWT;

َ ٌٞ ‫َ َّ ِخ فَ ََل ر ُ ۡظٍَ ُُ َٔ ۡف‬١ٰ ‫ َِ ۡٱٌ ِم‬ٛۡ َ١ٌِ ‫ؾ‬


ٗ٢ : ‫بء‬١‫سح األٔج‬ٛ‫ {ع‬....‫ْئب‬١‫ش‬ َ َۡ ‫َٓ ۡٱٌ ِم‬٠‫ ِى‬َٛ ٰ َّ ٌ‫ؼ ُغ ۡٱ‬
َ َٔٚ

159
Kitab Tauhid Dasar
Kami akan memasang Timbangan yang tepat pada hari kiamat,

maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun .. "

(QS Al Anbiya: 47)

Menurut Imam Bajuri Rah a, Mizan Timbangan amal

diperuntukkan bagi setiap umat dan segenap amalan, kecuali para

nabi dan orang-orang tertentu yang mendapat keutamaan masuk

surga tanpa hisab, karena peristiwa al-Waznu wal Mizan merupakan

masih rentetan atau cabang dari peristiwa Hisab diatas.

9. Al-Shirath (jembatan).

Shirath adalah jembatan yang membentang di atas neraka

jahanam yang akan dilalui oleh setiap hamba, baik orang-orang

terdahulu maupun kemudian, termasuk juga para nabi, Shiddiqin

dan orang-orang yang masuk surga tanpa hisab serta orang kafir.

Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, Sheikh al-Hulaimi

Rah a berpendapat bahwa orang-orang kafir tidak akan melalui

jembatan Shirath, mereka akan dilemparkan kedalam neraka

langsung setelah selesai proses hisab di Mahsyar.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an;

160
Kitab Tauhid Dasar
ِ ‫ َه ِثّ َه َؽ ۡز ّٗب هِ ۡم‬ٰٝ ٍَ‫ػ‬
‫َٔنَ ُه‬ٚ‫اْ ه‬َٛ‫َٓ ٱرهم‬٠ِ‫ ٱٌهن‬ٟ‫} ص ُ هُ َُٕٔ ِ ّغ‬٢ٔ{ ‫ّب‬١ٗ ‫ؼ‬ َ َْ‫ ِاهك َُ٘ب َوب‬َٚ ‫ ِئ ْْ ِ ِّٕ ُى ُۡ ِئ هل‬َٚ
‫ٰه‬
}٢ٕ{ ‫ّب‬١ٗ ‫ب ِع ِض‬َٙ ١‫َٓ ِف‬١ِّ ٍِ ‫ٱٌظ‬

"Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan

mendatanginya, Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian

yang sudah ditetapkan (71) kemudian Kami akan menyelamatkan

orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang Zalim

di dalam neraka dalam keadaan berlutut" (72). (QS Maryam: 71-72).

Menurut sekelompok Mufassiriin, berdasarkan suatu riwayat

dari Ibnu Abbas Ra, Ibnu Mas'ud Ra, Ka'bul Ahbar Rah a dan Imam

Sudi Rah a, dan demikian juga riwayat dari Imam Al-Hasan Rah a,

lafazh Waarid dalam ayat di atas bukan berarti memasuki neraka,

akan tetapi lafazh Waarid tersebut bermakna melewati Shirath

(Jaami'u li Ahkamil Qur'an Lil Qurthubi).

Adapun mengenai sifat jembatan Shirath, menurut sebagian

riwayat yang dianggap masyhur, menyatakan bahwa jembatan

Shirath lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pada pedang,

namun sebagian ulama seperti Sheikh Izzuddin bin Abd al-Salam

Rah a, Sheikh al-Qarrafi Rah a dan Sheikh Az Zarkasyi serta ulama

lainnya menolak lahiriyah keadaan tersebut, menurut mereka bahwa

161
Kitab Tauhid Dasar
meskipun Riwayat tersebut Shohih, Zhahir keadaan tersebut bukan

menunjukkan makna yang sebenarnya, akan tetapi hal tersebut harus

ditakwili sebagai suatu Kinayah (kiasan) dari keadaan yang sangat

menyulitkan.

Imam Qarafi Rah a menambahkan: " Yang Shohih adalah bahwa

jembatan Shirath itu luas dan memiliki dua jalur, kanan dan kiri, jalur

kanan akan dilalui Ahlus Sa'adah (orang-orang taat yang akan

selamat), sedangkan lajur yang kiri akan dilalui Ahlus Syaqawah

(orang-orang kafir dan ahli Maksiat).

Kemudian keadaan manusia dalam melewati Shirath juga berbeda-

beda menurut amal masing-masing ketika di dunia, diantara manusia

ada yang melaluinya sekejap mata, merekalah golongan yang paling

istiqamah di sisi Allah, setelah mereka ada yang melaluinya secepat

kilat yang menyambar, kemudian level dibawahnya seperti angin

bertiup, dan dibawahnya lagi secepat burung yang terbang, setelah itu

seperti kuda yang berlari kencang, secepat orang berlari dan seperti

orang berjalan biasa, dan level terendah dari golongan yang selamat

adalah orang yang melintasi Shirath dengan merangkak.

Menurut Imam Bajuri Rah a, perbedaan hal ihwal manusia ketika

melintasi Shirath adalah menurut perbedaan mereka dalam berpaling

162
Kitab Tauhid Dasar
terhadap apa yang diharamkan Allah sewaktu hidup di dunia, maka

orang yang paling cepat berpaling atau menjauhi kemaksiatan,

mereka lah yang paling cepat melintasi jembatan Shirath.

10. Al-Haudh (Telaga Nabi Muhammad Saw).

Menurut para ulama, meskipun mengimani adanya Haudh Nabi

Saw termasuk perkara yang diwajibkan, namun orang yang

mengingkarinya tidak sampai jatuh pada kekafiran, orang yang

mengingkarinya hanya disebut Fasik, diantara Firqah yang

menolak adanya Haudh Nabi Muhammad Saw adalah kaum

Khowarij dan sebagian kaum Muktazilah.

Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setiap para nabi

memiliki Haudh yang akan didatangi setiap umat mereka di

akhirat yang dengan itu mereka saling berbangga-bangga dari

yang lain dengan banyaknya pengikutnya

Dan tentang Haudh Baginda Nabi Muhammad Saw telah

dikuatkan dengan banyaknya riwayat yang menurut sebagian

ulama telah mencapai derajat Mutawattir. Karenanya Imam

Qurthubi Rah a dan Qadhi Iyadh Rah a serta ulama lainnya

163
Kitab Tauhid Dasar
mengklaim adanya Ijma' ulama Salaf dan Kholaf akan adanya

Haudh Baginda Nabi Muhammad Saw.

Diantara sifat Haudh Nabi Muhammad Saw yang disebutkan

dalam beberapa riwayat ialah bahwa air nya lebih putih warnanya

dari susu, aromanya lebih harum dari kasturi, rasanya lebih manis

dari madu dan jumlah gayungnya lebih banyak dari bintang di

langit, dan siapa saja yang telah meminumnya meskipun sekali,

tidak akan merasakan haus selamanya.

Sedangkan mengenai luasnya, terdapat perbedaan pendapat

berdasarkan berbagai riwayat yang ada, satu riwayat

menyebutkan panjang Haudh Nabi Saw sejauh antara Kota Aden

dan Amman (sebulan perjalanan), riwayat lain antara Shon'a ke

Kota Madinah (dua bulan perjalanan), riwayat lain lagi antara

Kota Makkah ke Ailah (sebulan perjalanan) dan ada juga yang

menyebutkan antara Kota Madinah hingga Baitul Muqaddas

(sebulan perjalanan).

Adapun mengenai letaknya, menurut Jumhur ulama terletak

sebelum Shirath, karena manusia ketika dibangkitkan dari kubur

dalam keadaan haus, kemudian mereka mendatangi Haudh Nabi

Muhammad Saw dan meminum air nya. Sedangkan sebagian

164
Kitab Tauhid Dasar
ulama menganggap Shohih pendapat kedua, yang mengatakan

bahwa Haudh tersebut terletak setelah jembatan Shirath dengan

alasan bahwa air telaga tersebut bersumber dari Telaga Al-

Kautsar yang merupakan sebuah sungai yang ada di dalam surga,

jadi menurut pendapat ini Haudh terletak di luar Surga setelah

jembatan Shirath, karena kalau terletak sebelum Shirath tentunya

antara Haudh dan telaga Al-Kautsar akan terhalang dengan

Neraka.

Dari perselisihan di atas ada pendapat ketiga yang menengahi,

yaitu bahwasanya bagi Baginda Nabi Saw terdapat dua Haudh,

yakni satu Haudh terletak sebelum Shirath dan satu lagi terletak

setelahnya, pendapat ketiga ini dishohihkan Imam Qurthubi Rah

a.

Namun terlepas dari perbedaan mengenai keberadaan posisi

Haudh Nabi Saw, menurut para ulama yang wajib diyakini ialah

adanya Haudh tersebut, bukan posisi dimana letak Haudh Nabi

Muhammad Saw tersebut, jadi ketidaktahuan terhadap letak

Haudh apakah sebelum atau sesudah Shirath itu tidak

membahayakan akidah seorang muslim.

Diantara dalil adanya Haudh ialah sabda Nabi Muhammad Saw;

165
Kitab Tauhid Dasar
‫شح‬١‫ ِغ‬ٟ‫م‬ٛ‫ د‬: ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ ػ‬ٍٝ‫ ف‬ٝ‫ هللا ػٕٗ لبي لبي إٌج‬ٟ‫ سم‬ٚ‫ػٓ ػجذ هللا ثٓ ػّش‬

ِٓ ،‫َ اٌغّبء‬ٛ‫ضأٗ وٕج‬١‫و‬ٚ ، ‫ت ِٓ اٌّغه‬١‫ذٗ أه‬٠‫س‬ٚ ، ٓ‫ل ِٓ اٌٍج‬١‫ ِبإٖ أث‬، ‫ش‬ٙ‫ؽ‬

} ٞ‫اٖ اٌجخبس‬ٚ‫ظّؤ أثذا {س‬٠ ‫ب فال‬ِٕٙ ‫ؽشة‬

"Dari Abdullah bin Amr Ra berkata: Rasulullah Saw bersabda; "


Telagaku luasnya sebulan perjalanan, air nya lebih putih dari
susu, aromanya lebih harum dari Misik, gelas-gelasnya sebanyak
bintang di langit, siapa yang minum darinya tidak akan pernah
haus selamanya". (HR Bukhari)

11. Al-Jannah wan Naar (Surga dan neraka).

Jannah ialah suatu negeri yang penuh dengan berbagai

kenikmatan dan kesenangan yang disediakan Allah sebagai

balasan bagi orang yang bertaqwa kepada-Nya.

Sebaliknya, An Naar adalah suatu negeri yang penuh dengan

berbagai bentuk siksaan yang disediakan Allah sebagai balasan

bagi orang yang durhaka kepada-Nya.

Menurut para ulama ahli Sunnah wal Jamaah, kedua-duanya baik

surga maupun neraka telah diciptakan Allah SWT dan telah

terwujud keberadaannya sejak dulu, berbeda dengan pendapat

kaum Falasifah yang mengingkari adanya surga sama sekali, dan

166
Kitab Tauhid Dasar
pendapat Sheikh Abu Hasyim dan Sheikh Abdul Jabbar

(keduanya tokoh Muktazilah) yang mengingkari adanya surga

sudah terwujud keberadaannya, menurut keduanya surga dan

neraka saat ini belum tercipta, surga dan neraka akan diciptakan

pada hari kiamat. Menurut Imam Bajuri Rah a, orang yang

mengingkari adanya surga dan neraka sama sekali seperti kaum

Falasifah dapat jatuh pada kekafiran, sedangkan orang yang

mengingkari adanya surga dan neraka telah tercipta sejak dahulu

sebagaimana pendapat kedua tokoh Muktazilah tersebut maka

layak disebut sebagai ahli Bid'ah (Tuhfah al-Murid)

Sheikh Ibrahim al-Laqqani Rah a mengatakan dalam Jauharoh

Tauhid;

ْ َّٕ‫ ِجــ‬ْٞ ‫ـبد ٍذ ِر‬


‫ـخ‬ ِ ‫فَ َـال ر َ ِـّ ًْ ٌِ َج‬ ْ َّٕ‫ ِجـذَدْ وَبٌْـ َجــ‬ْٚ ُ ‫ك أ‬
‫ـخ‬ ُ ٌَّٕ‫ا‬َٚ
ٌّ ‫ـبس َدـ‬

"Adanya Neraka adalah suatu kebenaran dan telah tercipta

sebagaimana Surga, janganlah kamu condong kepada orang yang

mengingkarinya yang tidak berakal".

12. Rukyatullah 'Azza wa Jalla (Melihat Allah SWT).

Melihat Allah SWT termasuk dalam perkara yang Jaiz (boleh

terjadi) menurut akal, baik di dunia maupun akhirat, namun

167
Kitab Tauhid Dasar
menurut kebanyakan ulama diantaranya Ibnu Abbas Ra, tidak

terjadi melihat Allah di dunia melainkan hanya bagi Rasulullah

Saw. Meskipun Sayyidah Aisyah R ha menolak hal tersebut para

ulama lebih mengutamakan pendapat Ibnu Abbas Ra berdasarkan

kaidah al-Mutsbit Muqaddamun 'alan Naafii (yang menetapkan

mesti didahulukan dari yang menafikan).

Sedangkan melihat Allah SWT di akhirat (di dalam surga), para

ulama ahli Sunnah wal Jamaah berdasarkan dalil-dalil yang ada

baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits-hadits Nabi Saw

menetapkan sebagai perkara yang wajib diyakini oleh setiap

mukallaf. Diantara dalilnya ialah firman Allah SWT;

ِ ٔ ‫ب‬َٙ ّ‫ َه ِث‬ٰٝ ٌَ‫بػ َوح ٌ {ٕٕ} ِئ‬


}ٕٖ{ ‫ح‬ٞ ‫َبظ َو‬ ِ ‫ َِئِ ٖن ٔه‬ٛۡ َ٠ ٖٛ
ٞ ‫ ُع‬ُٚ

"Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-

seri (22) kepada Tuhannyalah mereka melihat". (23). (QS Al

Qiyamah: 22-23).

al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a dalam Fathul Bari

mengutip pendapat Sheikh Ibnu Batthal Rah a yang mengatakan

bahwa Madzhab Ahlu Sunnah dan suara Mayoritas (jumhur ulama)

umat Islam menetapkan kebolehan melihat Allah SWT di Akhirat,

168
Kitab Tauhid Dasar
sedangkan yang menolaknya hanyalah kaum Khawarij, Muktazilah

dan sebagian kaum Murjiah.

Imam Ibnu Batthal Rah a mengatakan bahwa kaum muslimin

telah menerima pendapat ini (kebolehan melihat Allah di akhirat)

sejak zaman para Sahabat dan Tabiin sehingga di kemudian hari

datanglah orang-orang yang mengingkarinya dan menyelisihi

pendapat ulama Salaf.

Mereka yang menolak kebolehan Rukyatullah beralasan bahwa

adanya Rukyat (melihat) akan mengharuskan adanya sesuatu yang

dilihat sebagai Muhdats (perkara baru) dan menetap di satu arah atau

tempat, maka melihat Allah adalah sesuatu yang mustahil secara akal.

Terhadap alasan kaum Muktazilah tersebut ulama Ahlu Sunnah wal

Jamaah menjawab bahwa alasan mereka tidak dapat diterima, karena

Rukyah (melihat) adalah satu kekuatan yang dijadikan Allah kepada

makhluk-Nya tanpa disyaratkan berada dihadapan orang yang

melihat dan tidak mesti berada di satu arah atau tempat.

Imam Qurthubi Rah a juga mengatakan bahwa Ahlu Sunnah tidak

mensyaratkan apapun dalam masalah Rukyah melainkan hanya sifat

Wujudnya perkara yang dilihat itu, karena Rukyah adalah kekuatan

untuk dapat meliput (Idrak) yang Allah ciptakan bagi yang melihat

169
Kitab Tauhid Dasar
sehingga dapat melihat dengan disertai keadaan-keadaan yang boleh

berubah-ubah yang ilmu mengenainya hanya Allah yang maha

mengetahui (Fathul Bari).

Imam Malik Rah a berkata: "ketika musuh-musuh Allah terhijab dari

memandang-Nya, maka Allah SWT ber-Tajalli kepada para kekasih-

Nya sehingga dapat memandang-Nya, dan andaikan orang-orang

yang beriman tidak dapat melihat Tuhannya di Akhirat tentunya

orang- kafir tidak akan dicela karena terhalang dari Nikmat yang

Agung tersebut, Allah SWT berfirman;

}ٔ٘ :ٓ١‫سح اٌّطفف‬ٛ‫َْ {ع‬ُٛ‫ث‬ٛ‫ َِئِ ٍن ٌه َّ ۡؾ ُغ‬ٛۡ َ٠ ُۡ ِٙ ّ‫ػٓ هه ِث‬


َ ُۡ ُٙ ‫َو هَلئِٔه‬

"Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-

benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka".

(QS Al Muthaffifiin : 15).

Syeikh Al-Zujaj Rah a berkata tentang ayat diatas: "ayat tersebut

menjadi dalil bahwa Allah Swt dapat dilihat pada hari kiamat, jika

tidak demikian tentunya ayat itu tidak berfaedah, dan orang-orang

kafir tidak dianggap tercela dengan terhalangnya mereka dari

melihat-Nya".

170
Kitab Tauhid Dasar
Imam Syafi'i Rah a berkata: " ketika Allah SWT menghijab suatu

kaum dengan kemurkaan, hal itu menunjukkan akan adanya suatu

kaum yang lain yang dapat melihat-Nya dengan keridhaan".

Kemudian beliau berkata : "Wallahi, andaikata Muhammad bin Idris

(Beliau sendiri) tidak meyakini bahwa sesungguhnya dia dapat

melihat Tuhannya di akhirat, berarti dia tidak benar-benar

menyembah-Nya di dunia". (Jami'u Ahkam al-Quran).

Sheikh Ibnu Araby Rah a berkata: "sesungguhnya melihat Allah SWT

dijadikan sebagai kekuatan karena sejauh mana Makrifat yang

dihasilkan seorang hamba ketika di dunia".

Syeikh Husein bi Fadhl Rah a berkata: "ketika orang-orang kafir

terhalang dari mentauhidkan Allah di dunia, maka mereka terhalang

dari melihat-Nya di Akhirat".

171
Kitab Tauhid Dasar
BAB XI

KETINGGIAN DERAJAT RASULULLAH SAW

Sheikh Ahmad Marzuqi Rah berkata;

‫ت‬
ِ ‫اجـ‬ ٍ ٍَّ‫ ُِىَـ‬ٍَٰٝ ‫ِِـ َّّب ػ‬
ِ َٚ ْٓ ِِ ‫ـف‬ ‫ت‬
ِ ‫اج‬ َ ْ‫ ا‬ِٝ‫ ِر ْو ِش ثَبل‬ِٝ‫َخبرِ َّخٌ ف‬
ِ ٌٛ

ّ ِ ‫ فُـ‬َٚ ً‫ َٓ َسدْ ــ َّـخ‬١ْ ‫ٌِ ْـٍؼَــبٌَ ِّــ‬


‫ن َـال‬ َ ‫ع‬
‫ــال‬ ِ ‫َُّٕــب ُِ َذــ َّّـ ٌذ لَـ ْذ أ ُ ْس‬١‫َٔ ِجـ‬

Pembahasan terakhir tentang perkara yang wajib bagi segenap

Mukallaf adalah meyakini;

(Bahwasanya) Nabi kita Muhammad Saw telah diutus sebagai

Rahmat bagi semesta alam dan diberikan keutamaan (di atas Nabi

yang lain).

Penjelasan

Melalui Bait-bait Syair diatas, Sheikh Ahmad Marzuq Rah a

menjelaskan kepada kita tentang keistimewaan Baginda Nabi

Muhammad Saw yang diutus Allah SWT sebagai Rahmat bagi

semesta alam serta keutamaan derajat Beliau diatas para nabi lainnya.

Menurut para ulama, jika Rasulullah Saw disebut sebagai Rahmat

bagi seluruh alam, hal itu menunjukkan bahwa Beliau adalah

172
Kitab Tauhid Dasar
Makhluk yang paling utama di seluruh alam. Karena menurut bahasa,

lafadz ٓ١ٌّ‫ ػب‬adalah bentuk Jama' dari lafadz ٌُ‫ ػب‬yang mana

artinya adalah satu nama untuk sesuatu selain Allah dari segala yang

ada (Maujudat) yang meliputi para malaikat, manusia, jin maupun

seluruh benda-benda (Jamadat).

Dalam pembahasan yang lalu yang menjelaskan tentang beriman

kepada para nabi telah kami sebutkan adanya Ijma' para ulama

bahwasanya Rasulullah Saw adalah Afdhalul Khalqi 'alal Ithlaaq

(makhluk yang paling utama secara mutlak) Disini kami akan

menyebutkan beberapa alasan yang dijadikan pegangan para ulama

yang menegaskan hal tersebut, diantaranya;

1. Rasulullah Saw adalah Rahmat bagi semesta alam sebagaimana

disebutkan dalam Firman Allah SWT;

}ٔٓ١ : ‫بء‬١‫هح األٔج‬ٍٛ{ َٓ١ِّ ٍََ‫ٍ ٍۡ َٰٕ َه ِئ هل َه ۡؽ َّ ٗخ ٌِّ ٍۡ ٰؼ‬


َ ‫ َِب ا أ َ ۡه‬َٚ

"Dan tidaklah Kami mengutus Kamu, Melainkan untuk (menjadi)

Rahmat bagi semesta alam".

(QS Al Anbiya: 107).

Menurut Imam Suyuthi Rah a dalam kitab Tazyiinul Araaik fi

irsaalin Nabiy SAW Ilal Malaaik, para ulama Mufassiriin telah

173
Kitab Tauhid Dasar
menetapkan Ijma' bahwasanya lafazh 'Aalamin dalam surat Al-

Fatihah adalah mencakup keumuman manusia, malaikat dan jin,

demikian juga halnya dengan yang terdapat pada ayat-ayat lainnya,

lafazh 'Aalamin ditetapkan dengan keumuman maknanya sehingga

ada dalil yang mengeluarkan sesuatu dari keumumannya tersebut.

2. Beliau Saw diutus kesegenap umat manusia, sebagaimana

disebutkan dalam Firman Allah SWT;

ِ ‫ٍ ٍۡ َٰٕ َه ِئ هل َوبافه ٗخ ٌٍِّٕه‬


}ٕ٦ :‫سح عجؤ‬ٛ‫{ع‬.... ً‫ب‬ َ ‫ َِب ا أ َ ۡه‬َٚ

"Dan Kami tidak Mengutus kamu, melainkan kepada umat

manusia seluruhnya .. "(QS Saba' : 28}

Imam Qatadah Rah a berkata tentang ayat diatas: "Allah SWT telah

mengutus Nabi Muhammad Saw kepada seluruh manusia baik Arab

maupun Ajam".

Ikrimah Rah a berkata: "aku mendengar Ibnu Abbas Ra berkata;

"sesungguhnya Allah SWT melebihkan derajat Rasulullah Saw diatas

penduduk langit (para malaikat) dan diatas seluruh para nabi".

Murid-murid beliau bertanya: "wahai Ibnu Abbas, dengan apa Allah

SWT melebihkan keutamaan Rasulullah?", Ibnu Abbas Ra menjawab

dengan menyebutkan ayat diatas (Tafsir Ibnu Katsir).

174
Kitab Tauhid Dasar
3. Allah SWT telah mengambil suatu perjanjian kepada seluruh para

nabi agar mereka beriman kepada Rasulullah Saw dan bersedia untuk

menjadi pembela Beliau Saw, sebagaimana disebutkan dalam Al-

Qur'an;
ٰ ‫ئ ۡم أ َ َفنَ ه‬ٚ
ُۡ ُ‫ق ٌِّ َّب َِؼَى‬ٞ ّ‫ظ ِل‬ ٖ َ ‫ز ُ ُىُ ِ ِّٓ ِو ٰز‬١ۡ َ‫َْٓ ٌَ َّب ا َءار‬١ّ١ِ ‫ض َكَ ٱٌَٕ ِج‬١ِِ ُ‫ٱّٰلل‬
ٞ ٍُ‫ ِؽ ۡى َّ ٖخ ص ُ هُ َعب ا َء ُو ُۡ َه‬َٚ ‫ت‬
َ ُِّ ‫ي‬ٛ َِ
ۡ َ‫اْ أ َ ۡل َو ۡهَٔب لَب َي ف‬ٛ‫ لَبٌُ ا‬ُٞۖ ‫ ٰمَ ٌِ ُى ُۡ ِئطۡ ِو‬ٰٝ ٍَ‫ػ‬
‫أَٔ َ۠ب‬َٚ ْ‫ا‬ُٚ‫ل‬َٙ ‫ٲش‬ َ ُۡ ُ ‫أَف َۡنر‬َٚ ُۡ ُ ‫ظ ُؤه ۥُٗ لَب َي َءأ َ ۡل َو ۡهر‬
ُ َٕ‫ٌَز‬َٚ ‫ٌَز ُ ۡإ ُِِٕ هٓ ِث ِٗۦ‬

‫َِؼَ ُىُ ِ َِّٓ ٱٌ ٰ ه‬


}٦ٔ{ َٓ٠ِ‫ل‬ِٙ ‫ش‬

"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para

nabi: "sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab

dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang

membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan

sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah

berfirman: " apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku

terhadap yang demikian itu?", Mereka menjawab: "kami

mengakui", Allah berfirman: "kalau begitu saksikanlah (hai para

nabi) dan Aku menjadi Saksi (pula) bersama kamu".

(QS Ali Imran : 81)

Berkenaan dengan ayat diatas, Imam Ibnu Katsir Rah a dalam kitab

Tafsirnya menukil satu riwayat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra

dan Sayyidina Ibnu Abbas Ra, keduanya berkata:

175
Kitab Tauhid Dasar
"tiadalah Allah mengutus satu orang nabi dari seluruh para nabi

melainkan Allah SWT telah mengambil satu perjanjian atasnya,

yakni jika Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad Saw dan

mereka masih hidup agar mereka beriman kepada Rasulullah SAW

dan bersedia membantu beliau SAW".

Imam Ibnu Katsir Rah a juga menambahkan: "Rasulullah SAW

adalah penutup para nabi, dan Beliau adalah Imamul A'zham yang

mana dimasa kapan saja beliau berada, Beliau wajib ditaati dan

harus didahulukan daripada nabi yang lain, karena itulah Beliau

SAW menjadi Imam Shalat dalam perhimpunan seluruh para nabi

pada malam Isra' dan Mi'raj, demikian juga Beliaulah Sang Pemberi

Syafaat (yang Agung) pada hari Mahsyar untuk memutuskan

pengadilan bagi hamba-hamba-Nya, dan itulah yang disebut sebagai

al-Maqaam al-Mahmuud yang hanya layak bagi Beliau.." (Tafsir Al-

Qur'an al-'Azhiim).

4. Nama dan penyebutan Beliau Saw senantiasa disandingkan dengan

Nama Allah SWT. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

}ٗ : ‫سح االٔؾشاح‬ٛ‫ َهفَؼۡ َٕب ٌَ َه ِم ۡو َو َن {ع‬َٚ

"Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama) mu".

176
Kitab Tauhid Dasar
(QS Al Insyirah : 4)

Imam Qurthubi Rah a dalam Tafsirnya menukil riwayat Imam

Dhahhak Rah a dari Ibnu Abbas yang Mafhumnya menerangkan

bahwasanya nama Rasulullah SAW selalu disandingkan

penyebutannya dengan nama Allah SWT seperti dalam Adzan,

Iqamah, Tasyahhud, Khutbah Jum'at, Khutbah 'Idul Fithri dan 'Idul

Adhha, dalam Manasik Haji, Khutbah Nikah dan dikumandangkan di

seluruh penjuru dunia. Dan manakala ada seseorang menyembah

Allah, membenarkan adanya surga dan neraka dan segala sesuatu

yang lainnya namun tidak mau bersaksi bahwasanya Beliau adalah

utusan Allah maka Seluruh Ibadahnya tidak akan bermanfaat baginya

dan dia termasuk golongan orang-orang kafir.

Ahli tafsir lainnya menafsirkan ayat diatas bahwasanya Allah SWT

meninggikan penyebutan Rasulullah SAW di langit dikalangan para

malaikat, dan dibumi dikalangan orang-orang yang beriman dan

ditinggikan pamor Beliau di Akhirat dengan al-Maqaam al-Mahmuud

serta kemuliaan derajat (Jaami'u li Ahkamil Qur'an).

177
Kitab Tauhid Dasar
5. Allah SWT menyandingkan ketaatan kepada Rasulullah SAW

dengan ketaatan kepada-Nya. Seperti disebutkan dalam penggalan

ayat;

ُۖ ‫ع ه‬
}٦ٓ :‫سح إٌغبء‬ٛ‫ {ع‬.. َ‫ٱّٰلل‬ َ َ ‫ َي فَمَ ۡل أ‬ٍٛ
َ ‫ؽب‬ ُ ‫ٱٌو‬
‫ُ ِط ِغ ه‬٠ ِٓ‫ه‬

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah

mentaati Allah .."(QS An Nisa: 80).

6. Allah SWT menyandingkan keridhaan Rasulullah SAW dengan

keridhaan-Nya. Seperti disebutkan dalam penggalan ayat;

ُ ‫ُ ۡو‬٠ َْ‫ٌُ اۥُٗ أ َ َؽ ُّك أ‬ٍٛ


}ٕٙ :‫ثخ‬ٛ‫سح اٌز‬ٛ‫َٓ {ع‬١ِٕ ِِ ‫اْ ُِ ۡإ‬ُٛٔ‫ُٖ ِئْ َوب‬ٛ‫ػ‬ ‫ ه‬َٚ ...
ُ ‫ َه‬َٚ ُ‫ٱّٰلل‬
"... Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka

cari Keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang

Mukmin"(QS At Taubah: 62).

7. Allah SWT telah menyertakan kewajiban memenuhi seruan

Rasulullah SAW dengan kewajiban memenuhi seruan kepada-Nya,

seperti dalam firman-Nya;

... ُۖ
ُۡ ‫ ُى‬١١ِ ‫ُ ۡؾ‬٠ ‫ػب ُو ُۡ ٌِ َّب‬
َ َ‫ي ِئمَا ك‬ٛ
ِ ٍُ ‫ٍو‬
‫ ٌِ ه‬َٚ ‫ّٰلل‬ ۡ ْ‫ا‬َُِٕٛ ‫َٓ َءا‬٠ِ‫ب ٱٌهن‬َٙ ُّ٠َ‫َاأ‬٠ٰ
ِ ‫اْ ِ ه‬ُٛ‫ج‬١‫ٱٍز َ ِغ‬

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan


seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu, ...(QS Al Anfal : 24)

178
Kitab Tauhid Dasar
8. Rasulullah SAW adalah Sayyidu Waladi Adam (Junjungan Anak

cucu Nabi Adam As) sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat

yang antara lain riwayat dari Abu Hurairah Ra, Abu Sa'id al-Khudhri

Ra, Abdullah bin Amr bin 'Ash Ra, Watsilah bin Asqa' Ra, Abu

Bakar al-Shiddiq Ra, Jabir bin Abdillah Ra, Anas bin Malik Ra,

Abdullah bin Salam Ra, Ubadah bin Shamit Ra, Ibnu Abbas Ra,

Aisyah R ha, al-Hasan bin Ali Ra dan lainnya.

Berikut ini adalah salah satu riwayat tersebut;

َٛ٠ َ‫ٌذ آد‬ٚ ‫ذ‬١‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص ؛ " أٔب ع‬ٛ‫ هللا ػٕٗ لبي لبي سع‬ٟ‫ سم‬ٞ‫ذ اٌخذس‬١‫ عؼ‬ٟ‫ػٓ اث‬

‫اٖ اال رذذ‬ٛ‫ِئز آدَ فّٓ ع‬ٛ٠ ٟ‫ِب ِٓ ٔج‬ٚ ، ‫ ال فخش‬ٚ ‫اء اٌذّذ‬ٌٛ ٞ‫ذ‬١‫ث‬ٚ ، ‫ال فخش‬ٚ ‫بِخ‬١‫اٌم‬

،‫اثٓ ِبجخ‬ٚ ٞ‫اٌزشِز‬ٚ ‫اٖ أدّذ‬ٚ‫ال فخش " س‬ٚ ‫ي ِٓ رٕؾك ػٕٗ األسك‬ٚ‫أٔب أ‬ٚ ، ‫اة‬ٌٛ

.ٓ‫ش دغ‬٠‫ أٗ دذ‬: ‫لبي‬ٚ ٞ‫بلٗ اٌزشِز‬١‫ع‬ٚ

Dari Abu Sa'id al-Khudhri Ra berkata: Rasulullah SAW bersabda;


" Aku adalah pemimpin Anak Adam pada hari kiamat, bukan
sombong, dan ditangankulah Bendera Pujian (Liwaa al-Hamdi)
bukan sombong, dan tiadalah seorang nabi pun semenjak Nabi
Adam hingga selainnya melainkan semuanya berada dibawah
benderaku dan akulah yang pertama dibangkitkan dari bumi,
bukan sombong".
(HR Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah)

179
Kitab Tauhid Dasar
Berkenaan dengan beberapa riwayat yang ada tentang penetapan

lafazh 'Sayyid' bagi Rasulullah SAW, para ulama memberikan

beberapa komentar, antara lain;

 Makna 'Sayyid' adalah seseorang yang mengungguli

kaumnya dalam berbagai kebaikan, pengertian ini disebutkan

oleh Imam al-Harwi Rah a, sedangkan ulama lainnya

mengatakan; orang yang dituju oleh kaumnya dalam

kesulitan dan malapetaka, dia tampil menangani urusan

mereka dan sanggup memikul beban penderitaan mereka dan

menjauhkan bencana dari mereka.

 Dalam sebagian riwayat lafadz 'Sayyidu Waladi Adam'

dibatasi (Qayyid) dengan lafadz 'Yaum al-Qiyamah',

padahal beliau adalah Junjungan Bani Adam baik di dunia

maupun di akhirat, penyebab adanya Qayyid (pembatasan)

tersebut adalah karena kelebihan derajat Rasulullah SAW

diatas seluruh makhluk Allah diakhirat tidak ada satu

makhluk pun yang menolaknya, berbeda dengan ketika di

dunia, keunggulan Rasulullah SAW masih ada yang

menolaknya, hal ini tidak jauh berbeda dengan lafadz

'Maaliki Yaumiddiin' (Allah SWT penguasa Hari

180
Kitab Tauhid Dasar
pembalasan), padahal Allah SWT adalah penguasa dan Sang

Raja secara Mutlak baik di dunia maupun di akhirat. Qayyid

disini disebabkan karena Kekuasaan Allah di akhirat tidak

ada satu makhluk pun yang mengingkari, sedangkan ketika di

dunia, masih ada diantara makhluk-Nya yang ingkar kepada-

Nya, seperti orang-orang Ateis dan orang-orang yang

mengaku-ngaku sebagai tuhan.

 Dalam Riwayat Imam Muslim dan beberapa riwayat lainnya

tidak memakai Lafazh ‫ال فخش‬ٚ yang maknanya bukan

sombong, ketiadaan lafazh tersebut adalah dikarenakan

adanya perintah untuk menceritakan nikmat Allah seperti

dalam ayat 'Wa Ammaa bini'mati Rabbika fahaddits' dan

termasuk sebagai perkara yang wajib di-tablighkan kepada

umatnya agar seluruh umatnya dapat mengenal, meyakini

dan mengagungkan kedudukan Beliau tersebut.

 Dalil tersebut sebagai Hujjah (Argumentasi) akan ketinggian

derajat Beliau SAW diatas seluruh makhluk, karena menurut

Imam Nawawi Rah a, madzhab Ahlu Sunnah menetapkan

bahwasanya Bangsa Adam lebih utama dari malaikat,

181
Kitab Tauhid Dasar
sedangkan Rasulullah SAW adalah yang paling Mulia dari

sekalian umat manusia.

Allamah al-Muhaddits Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Rah a

dalam kitab Manhaj al-Salaf fi Fahmin Nushush mengutip

pernyataan al-Hafizh Ahmad al-Ghumari Rah a yang berkata: " ini

adalah berbagai riwayat yang Mutawattir yang menghasilkan faedah

ilmu yang yakin dan pasti (Qath'i), yakni Sabda Rasulullah Saw

"Ana Sayyidu Waladi Adam", dan bahwa Beliau SAW Adalah

Pemimpin bagi setiap Mukmin dan Mukminah. Keimanan akan hal

tersebut adalah Fardhu, Wajib, satu keharusan dan kemestian, dan

keimanan tidak sempurna jika tidak mengucapkanya .."

Sayyid Muhammad Al-Maliki Rah a juga menyebutkan perkataan

Ibnu Abbas Ra dalam menafsirkan ayat ; " laa Taj'aluu du'aa al-

Rasuuli baynakum kadu'aai Ba'dhikum Ba'dhaa " (QS An Nuur :

63), beliau berkata: "semula para sahabat memanggil Rasulullah

SAW dengan ucapan Wahai Muhammad, atau hai Abul Qosim, maka

Allah Melarang hal tersebut (melalui ayat tersebut) untuk

mengagungkan Nabi-Nya SAW, akhirnya para sahabat mengatakan :

ya Nabyyallah atau Yaa Rasulallah.. ".

182
Kitab Tauhid Dasar
Para ulama umat Islam dan para Fuqaha lintas madzhab juga

menetapkan keharaman memanggil Rasulullah SAW dengan Nama

beliau berdasarkan ayat tersebut, demikian juga yang dituliskan oleh

ulama-ulama ahli Sirah. al-Hafizh al-Iraqi Rah a dalam kitab Alfiyah

nya berkata;

ْ ‫ ِثب‬َٜ‫ُـَٕبد‬٠ َ‫ال‬َٚ
ِٗ ‫ع ِـّ ِٗ ثَ ًْ ٔـ َ ْؼزِـ‬ ِٗ ِ‫ر‬ٛ‫ف ْـ‬ َ ٛ‫اٌش ْفـ ُغ فَ ْـ‬
َ ‫ق‬ َّ ًُّ ‫َ ِذـ‬٠ ‫ َال‬َٚ

"Tidak halal meninggikan suara melebihi suara Rasulullah SAW

dan tidak boleh menyeru Beliau dengan namanya, akan tetapi

hendaklah dengan sifatnya"

Tentang Hadits 'laa Tufaddhiluu Bayna Anbiyaaillah..

Lafadz diatas artinya "Janganlah kamu melebih-lebihkan aku dari

nabi-nabi Allah SWT (yang lain)", lafazh tersebut merupakan

penggalan suatu Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim Rah a

dalam Shahihnya dari sahabat Abu Hurairah Ra, dalam riwayat lain

disebutkan dengan lafadz "Laa Tukhayyiruunii 'alaa Muusaa .."

(jangan lah kamu menganggap aku lebih baik dari Nabi Musa As).

Asbab al-Wurud Hadits menceritakan tentang pertikaian yang terjadi

antara seorang Muslim dengan seorang Yahudi, orang yang Muslim

berkata: "Demi Dzat yang memilih Nabi Muhammad SAW diatas

183
Kitab Tauhid Dasar
seluruh alam", orang Yahudi tersebut menimpali: "Demi Tuhan yang

memilih Musa As diatas seluruh alam". Mendengar itu si Muslim

mengangkat tangannya dan menampar orang Yahudi tersebut, atas

hal itu si Yahudi pergi mengadukan perkara tersebut kepada

Rasulullah SAW, mendengar pengaduan tersebut Rasulullah SAW

memanggil si Muslim dan menanyakan kronologinya yang kemudian

si Muslim menceritakan kejadian tersebut, mendengar peristiwa

tersebut Rasulullah SAW bersabda;

ِٓ ‫ي‬ٚ‫ْ أ‬ٛ‫ُ فؤو‬ٙ‫بِخ فؤفؼك ِؼ‬١‫َ اٌم‬ٛ٠ ْٛ‫قؼم‬٠ ‫ فبْ إٌبط‬،ٝ‫ع‬ِٛ ٍٝ‫ ػ‬ٟٔٚ‫ش‬١‫ال رخ‬

ِّٓ ْ‫ وب‬ٚ‫ أ‬ٍٟ‫ّٓ فؼك فؤفبق لج‬١‫ أوبْ ف‬ٞ‫ فال أدس‬،‫ط ثبهؼ جٕت اٌؼشػ‬ِٛ ‫ فؤرا‬،‫ك‬١‫ف‬٠

‫ هللا‬ٕٝ‫اعزض‬

)ٍُ‫ِغ‬ٚ ٞ‫اٖ اٌجخبس‬ٚ‫(س‬

".. ‫بء هللا‬١‫ٓ أٔج‬١‫ا ث‬ٍٛ‫ "ال رفن‬:‫نب أٔٗ ملسو هيلع هللا ىلص لبي‬٠‫خ ػٕذ ِغٍُ أ‬٠‫ا‬ٚ‫ س‬ٝ‫ف‬ٚ

"Janganlah kamu menganggap aku lebih baik dari Nabi Musa As,
karena sesungguhnya semua manusia akan pingsan pada hari
kiamat (pada tiupan sangkakala pertama), maka aku juga pingsan
bersama mereka dan akulah yang pertama tersadar kembali (pada
tiupan kedua), dan ternyata (yang terlihat pertama) Nabi Musa As
telah meraih bagian dari Arasy dengan kuat, aku tidak tahu
apakah beliau termasuk diantara yang pingsan dan kemudian
tersadar sebelum aku atau beliau termasuk orang yang
dikecualikan Allah (tidak pingsan)"(HR Bukhari dan Muslim).

184
Kitab Tauhid Dasar
Dan dalam riwayat Imam Muslim Nabi Muhammad SAW

bersabda: "janganlah kalian melebihkan derajatku diantara para

nabi".

Riwayat-riwayat diatas sering kali dijadikan pegangan bagi para

penebar fitnah terhadap kaum muslimin yang senantiasa berusaha

mengagungkan Rasulullah SAW, padahal mengenai hadits tersebut

Imam Nawawi Rah a memberikan suatu komentar dalam Syarah

Shahih Muslim sebagai berikut:

"Adapun Hadits 'laa Tufaddhiluu baynal Anbiyaa", maka

jawabannya berdasarkan lima alasan;

1. Nabi Muhammad SAW menyabdakan Hadits itu sebelum

Beliau diberitahukan tentang kedudukan Beliau SAW

sebagai 'Sayyidu Waladi Adam', maka ketika telah

diberitakan barulah Beliau SAW menyampaikannya.

2. Beliau SAW menyabdakannya karena tata Krama dan sifat

Tawadhu atau sifat rendah hati Beliau.

3. Larangan dari melebih-lebihkan (Tafdhil) tersebut adalah

apabila mengarah kepada penghinaan kepada pihak yang

dibawah keutamaannya (Mafdhul).

185
Kitab Tauhid Dasar
4. Larangan dari melebih-lebihkan (Tafdhil) tersebut jika

berpotensi akan terjadinya permusuhan dan fitnah seperti

yang telah masyhur disebutkan dalam Asbab al-Wurud

bagi Hadits tersebut.

5. Larangan tersebut hanya tertentu kepada Tafdhil dalam

masalah sisi kenabiannya (Nubuwwah), dalam hal ini tidak

ada perbedaan antara sesama para nabi, sesungguhnya

yang membedakan antara satu nabi dengan nabi lainnya

adalah berkenaan dengan Khushushiyah (keistimewaan

khusus) dan fadhilah-fadhilah lainnya, dari sisi ini adanya

Tafdhil adalah suatu keniscayaan yang mesti diyakini,

sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an:

ٖۘ ٖ ۡ‫ ثَؼ‬ٰٝ ٍَ‫ػ‬
}‫غ‬ َ ۡ‫ؼ ٍَٕۡب ثَؼ‬
َ ُۡ ُٙ ‫ؼ‬ ‫ٍ ًُ فَ ه‬ ُّ ‫{ ۞رِ ٍۡ َه‬
ُ ‫ٱٌو‬

"Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian

yang lain.."

(QS Al Baqarah: 253).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a juga memberikan komentar

terkait Hadits tersebut dalam Syarah al-Bukhari;

"Para ulama berkata dalam masalah pelarangan Tafdhil diantara

para nabi, yakni bahwasanya larangan itu ditujukan kepada orang


186
Kitab Tauhid Dasar
yang melebih-lebihkan seorang nabi berdasarkan pendapatnya

sendiri, bukan berpedoman kepada dalil, atau kepada orang yang

melebih-lebihkan seorang nabi namun berindikasi merendahkan

martabat nabi lainnya atau berpotensi terhadap terjadinya

permusuhan dan perselisihan, atau bisa juga dimaksudkan agar

jangan melebih-lebihkan para nabi sehingga tidak menyisakan

satu keutamaan pun bagi yang lain (Mafdhul), sebagai contoh jika

kita berpendapat bahwasanya Imam Shalat lebih utama dari

Muaddzin, hal itu tidak mesti meremehkan keutamaan seorang

Muaddzin dalam keterkaitannya dengan Adzan, dan konon

dikatakan juga bahwa pelarangan Tafdhil itu hanya dalam sisi hak

Nubuwwahnya seperti ditegaskan dalam ayat "Laa nufarriqu

Bayna ahadin min Rusulihi", sedangkan dalam hal

mengutamakan sebagian sosok mereka dari yang lain, itu tidak ada

larangan sebagaimana disebutkan dalam ayat; " tilka al-Rusulu

Faddhalnaa Ba'dhahum 'alaa Ba'dhin" ...

(Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari).

187
Kitab Tauhid Dasar
BAB XII
NASAB, KELAHIRAN DAN KEWAFATAN
RASULULLAH SAW

Sheikh Ahmad Marzuq Rah a berkata;

ِ َ ‫ َ ْٕز‬٠ ‫ف‬
‫غ ْت‬ ٍ َ ‫ػ ْج ُذ َِٕب‬ ِ ‫ َ٘ب‬َٚ
َ ٌُ ‫ؽ‬ َّ ُّ ٌْ‫ػ ْج ُذ ا‬
‫ط ٍِ ْت‬ َ ‫ّٰللا‬ َ ُْٖٛ ُ‫أَث‬
ِ ‫ػ ْج ُذ ه‬

‫ َّ ْخ‬٠‫غـ ْؼ ِذ‬
َّ ٌ‫ َّخُ ا‬١ْ ‫ُِ ْش ِمـؼَزُُٗ َد ٍِـ‬ ْ َّ٠‫ــش‬
‫ــخ‬ ُّ ُ‫ أ ُ ُِّـــُٗ أ ٓ ِِـــَٕـخ‬َٚ
ِ ْ٘ ‫اٌـض‬

‫ ْــٕ َ ْخ‬٠‫جَـخَ اٌْـ َّــ ِذ‬١ْ ‫طــ‬


َ ‫فَـبرُـُٗ ِث‬َٚ ‫ْٕـ َ ْخ‬١‫ٌـِ ُذ ُٖ ثِـ َّـــىَّـخَ اْأل َ ِِــ‬ٛ‫ـــ‬
ْ َِ

‫َٕب‬١ْ ‫غ ِز ّـ‬ َ ‫ُـّـ ُش ُٖ لَ ْذ َج‬


ّ ِ ٌ‫ َص ا‬ٚ‫ـب‬ ْ ‫ ػ‬َٚ ‫َٕب‬١ْ ‫ ِ أ َ ْسثَـ ِؼـ‬ٟ‫دْ ـ‬ٌٛ
َ ْ‫أَرـ َ َُّ لَـ ْج ًَ ا‬

"Ayah Beliau adalah Sayyid Abdullah bin Abdul Mutthalib bin


Hasyim bin Abdi Manaf ..
Dan Ibunda Beliau adalah Sayyidah Aminah dari Bani Zuhrah,
sedangkan Ibu susuan Beliau adalah Halimah dari Kabilah Bani
Sa'ad,
Tempat kelahiran Beliau di kota Makkah Negri yang aman dan
diwafatkan di Kota Madinah al-Thayyibah,
Usia Beliau sebelum mendapat Wahyu kenabian ialah genap
berumur 40 tahun, dan usia kewafatan Beliau lebih dari 60 tahun
..".
Penjelasan

Nasab Rasulullah Saw.

188
Kitab Tauhid Dasar
Dua bait syair pertama diatas menyebutkan nasab Rasulullah SAW

dari jalur ayah dan jalur Ibunda Beliau yang menurut para ulama

termasuk diantara perkara yang wajib bagi setiap Mukallaf untuk

mengetahuinya.

Menurut Sheikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri Rah a dalam

kitabnya al-Rahiq al-Makhtum mengatakan bahwa nasab Rasulullah

SAW terbagi atas tiga bagian (juz), yaitu:

 Bagian yang disepakati para ahli Sirah dan ahli nasab.

Bagian ini dimulai dari Rasulullah SAW sampai kepada

leluhur Beliau yang bernama Adnan.

 Bagian yang banyak diperselisihkan diantara ahli Sirah dan

ahli nasab. Yaitu bagian yang dimulai setelah Adnan hingga

Nabi Ibrahim As. Sebagian ahli sejarah lebih memilih untuk

menangguhkannya (Mauquf) dan melarang menyebutkannya.

Sedangkan sebagian ulama lainnya membolehkan untuk

disebutkan, namun terjadi banyak Ikhtilaf diantara ulama

yang membolehkan untuk menyebutkannya sehingga

mencapai lebih dari tiga puluh pendapat, namun semuanya

sepakat bahwa Adnan adalah Sharih (jelas) keturunan Nabi

Ibrahim As.

189
Kitab Tauhid Dasar
 Bagian ketiga ialah bagian yang dimulai setelah Nabi

Ibrahim As sehingga berakhir kepada Nabi Adam As,

kebanyakan riwayat mengenainya berpatokan kepada

pendapat Ahli kitab.

Adapun Nasab Beliau SAW dari ayahnya sebagaimana disebutkan

dalam Nazhom adalah sebagai berikut:

 Nabi Muhammad Saw bin Sayyid Abdullah. Allah SWT

menamakan Beliau dengan nama Muhammad sejak Azali,

dinamakan demikian karena banyaknya kepribadian Beliau

yang patut dipuji, setelah seminggu sejak kelahiran Beliau

kakeknya yang bernama Abdul Mutthalib membawa Beliau

Thawaf di Ka'bah dan menamakannya dengan nama

Muhammad, namun ada juga yang berpendapat bahwa

Ibunda Beliau lah yang menamakannya demikian.

 Abdullah bin Abdul Mutthalib. Abdullah lahir sekitar 25

tahun sebelum terjadinya peristiwa penyerbuan tentara ber-

gajah ke kota Makkah yang dipimpin Abrahah, Abdullah

Wafat pada usia 25 tahun ketika Nabi Muhammad SAW baru

berusia 2 bulan, sedangkan Mayoritas Ahli Tarikh

190
Kitab Tauhid Dasar
mengatakan wafat saat Rasulullah SAW masih dalam

kandungan. Abdullah adalah putra Abdul Mutthalib yang

sangat dicintai ayahnya, karena diantara semua anaknya,

Abdullah adalah putranya yang paling baik lahiriyahnya,

paling cerdas dan paling baik budi pekertinya. Abdul

Mutthalib biasa mempercayakanya dalam urusan berniaga,

sehingga menurut ahli Tarikh Abdullah jatuh sakit dalam

perjalanan Berniaga ketika melewati kota Yastrib (sekarang

Madinah al-Munawwarah) dan kemudian meninggal di sana

dan dikebumikan di Darun Nabighah al-Ju'di.

 Abdul Mutthalib bin Hasyim. Dimasa kecilnya Abdul

Mutthalib dipanggil dengan nama Syaibatul Hamdi, karena

konon rambutnya telah beruban sejak dilahirkan. Dan dimasa

kecilnya, pamannya yang bernama Mutthalib membawanya

memasuki kota Makkah kemudian orang-orang Quraisy

berkata kepadanya:"anak siapa yang kau bawa?", Mutthalib

menjawab: "dia budakku". Sejak saat itulah beliau dipanggil

dengan nama Abdul Mutthalib. Abdul Mutthalib wafat

sewaktu Rasulullah SAW berusia 8 tahun setelah

191
Kitab Tauhid Dasar
mempercayakan pengasuhan Rasulullah SAW kepada salah

seorang putranya yang bernama Abu Thalib.

 Hasyim bin Abdi Manaf. Nama asli beliau dimasa kecilnya

adalah Amru al-'ula, beliau adalah orang yang sangat

dermawan, diantara kisah kedermawanannya beliau pernah

menghidangkan makanan Tsarid kepada khalayak ramai

ketika mereka ditimpa kelaparan, dari sinilah awal mula

beliau dipanggil dengan nama Hasyim yang berarti orang

yang pemurah.

 Abdi Manaf bin Qushay. Nama aslinya ialah Mughirah

sebagaimana disebutkan dalam kitab Maulid Al-Barzanji.

 Qushay bin Kilab. Qushay juga merupakan nama gelar

(Laqab), aslinya bernama Zaid (menurut kitab al-Rahiq al-

Makhtum), pendapat lain mengatakan Yazid, dan ada juga

yang mengatakan Mujammi', menurut pendapat terakhir,

beliau dinamakan Mujammi' yang artinya 'Sang penghimpun'

karena beliau selalu mengumpulkan kaumnya untuk

berkumpul dihari Jum'at dan kemudian mengingatkan dan

menganjurkan mereka untuk memuliakan tanah Haram

Makkah serta mengabarkan mereka akan datangnya seorang

192
Kitab Tauhid Dasar
nabi di tanah Haram tersebut, namun beliau lebih dikenal

dengan nama Qushay yang artinya 'orang yang terasing',

karena pernah hidup jauh dari keluarganya.

 Kilab bin Murrah. Kilab adalah nama julukan (Laqab),

nama aslinya Hakim, dipanggil dengan nama Kilab karena

beliau orang yang gemar berburu dengan membawa anjing

bersamanya.

Selanjutnya Nasab Beliau SAW dari jalur ayahnya sampai kepada

Adnan yang wajib diketahui menurut para ulama adalah sebagai

berikut:

Muhammad Saw bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim

bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin

Luay bin Ghalib bin Fiher (beliau yang mendapat Laqab

Quraisy yang kepadanya dinisbatkan Nama qabilah ) bin Malik

bin Nadhr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin

Ilyas (Husein) bin Mudhar bin Nizar (Khuldzan) Bin Ma'add

(Abu Qudha'ah) bin Adnan.

Adapun Nasab Beliau SAW dari jalur Ibundanya yaitu:

193
Kitab Tauhid Dasar
Muhammad SAW bin Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf bin

Zuhrah bin Kilab.

Berdasarkan silsilah diatas dapat diketahui bahwasanya nasab Beliau

SAW dari jalur ayah dan jalur Ibunya bertemu pada Kakek Beliau

yang bernama Kilab.

Menurut Sheikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri Rah a, Aminah R ha

Ibunda Rasulullah SAW wafat karena suatu penyakit dalam

perjalanan pulang dari Yatsrib untuk menziarahi makam suaminya

tercinta, Aminah R ha meninggal dan dimakamkan di Abwa', yaitu

satu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah, ketika itu

Rasulullah SAW berusia 6 tahun.

Rasulullah SAW di Bani Sa'ad.

Menurut adat yang berlaku pada masyarakat Arab terdahulu, mereka

biasa mencarikan ibu susuan diperkampungan untuk menyusui anak-

anak mereka dengan bayaran, dengan tujuan untuk menjauhkan anak-

anak mereka dari berbagai penyakit yang rentan terjadi diperkotaan,

juga untuk menguatkan fisik dan untuk membiasakan mereka

melafazkan bahasa Arab yang Fashahah dimasa kecil mereka serta

dikarenakan berbagai alasan lainnya.

194
Kitab Tauhid Dasar
Tidak terkecuali dengan Rasulullah SAW, sebagaimana diterangkan

sebelumnya, Beliau telah menjadi yatim saat dilahirkan, maka Kakek

Beliau Abdul Mutthalib mencarikan ibu susuan bagi Beliau SAW.

Adapun yang beruntung mendapat keberkahan menyusui Rasulullah

SAW ialah seorang wanita dari kabilah Bani Sa'ad yakni Halimah

binti Abi Dzuaib Abdillah bin Harits bin Syuhnah bin Jabir bin

Rizam bin Nashirah bin Qashiyah bin Nadhr bin Sa'ad (kepada Sa'ad

inilah dinisbatkan nama Kabilah) bin Bakar bin Hawazin. Suami

Halimah adalah Al-Harits bin Abdul 'uzza yang dikenal juga dengan

nama Kuniyah Abu Kabsyah.

Namun sebelum Halimah al-Sa'diyah, wanita pertama menyusui

Rasulullah SAW adalah Ibunda Beliau Aminah R ha selama 3 hari

menurut Sayyid Muhammad Baathiyah Rah a, sedangkan menurut

Sheikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri Rah a selama 7 hari dan ada

juga yang mengatakan 9 hari.

Setelah Ibundanya, Rasulullah SAW juga pernah disusui oleh

Tsuwaibah selama beberapa hari sebelum kedatangan Halimah al-

Sa'diyah, Tsuwaibah merupakan seorang budak wanita Abu Lahab,

dalam riwayat Imam Bukhari Rah a disebutkan bahwa Tsuwaibah

telah mengabarkan kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada Abu

195
Kitab Tauhid Dasar
Lahab, berita tersebut sangat menggembirakan Abu Lahab sampai-

sampai ia membebaskan budak wanitanya tersebut. Dalam Hadits

tersebut diceritakan bahwa setiap hari Senin Abu Lahab mendapatkan

keringanan siksaan di neraka karena kegembiraannya akan kelahiran

Nabi Muhammad SAW. Riwayat tersebut menjadi salah satu dalil

pegangan Ahlus Sunnah dalam anjuran merayakan Maulid, sebagai

ekspresi kegembiraan akan kelahiran Baginda Nabi Muhammad

SAW.

Dan dapat diambil kesimpulan sebagaimana disebutkan dalam

berbagai sumber, Halimah al-Sa'diyah adalah wanita yang paling

lama menyusui bayi Rasulullah SAW.

Menurut Sheikh Sa'id Ramadhan al-Buthi Rah a dalam kitabnya

Fiqhus Sirah, terdapat Ijma' dikalangan Ahli Sirah, bahwasanya

perkampungan Bani Sa'ad sebelum kedatangan Rasulullah SAW

berada dalam masa paceklik, dimana tanaman-tanaman telah

mengering dan hewan ternak juga telah menjadi kurus dan tidak

mengeluarkan air susu, namun ketika Bayi Rasulullah SAW tiba di

perkampungan tersebut, keadaan segera berubah, tanaman kembali

menghijau dan ternak-ternak kembali pada sore hari kekandangnya

dalam keadaan kenyang dan penuh dengan air susu. Semuanya terjadi

196
Kitab Tauhid Dasar
karena keberkahan Rasulullah SAW dan terutama yang paling

merasakan kebaikan dan keberkahan adalah keluarga Halimah al-

Sa'diyah.

Kemudian Dimasa Rasulullah SAW hidup dalam asuhan Halimah al-

Sa'diyah di perkampungan Bani Sa'ad, terjadilah suatu peristiwa

sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Muslim, yaitu

peristiwa dibelahnya dada Rasulullah SAW oleh malaikat Jibril As,

hati Beliau dikeluarkan dan dicuci (dibersihkan dari pengaruh

Syaithaniyah) dengan air Zamzam menggunakan bejana dari Mas dan

kemudian dikembalikan ke tempatnya semula, peristiwa tersebut

terjadi ketika Beliau telah genap berusia 5 tahun, pendapat lain

mengatakan 4 tahun, dan atas kejadian itu Halimah al-Sa'diyah sangat

khawatir sehingga Beliau SAW segera dipulangkan kepangkuan

Ibunda Beliau Aminah R ha di Kota Makkah.

Menurut Sheikh Sa'id Ramadhan al-Buthi Rah a, hikmah yang ada

dari peristiwa dibelahnya dada Rasulullah SAW tersebut bukan

menunjukkan adanya gumpalan keburukan yang menempel dalam

jasad Rasulullah SAW, karena seandainya keburukan itu bersumber

dari satu gumpalan yang menempel pada Jisim, maka tentunya suatu

keburukan bisa berubah menjadi kebaikan hanya dengan upaya yang

197
Kitab Tauhid Dasar
bersifat lahiriah (operasi organ tubuh). Akan tetapi, hikmah yang

nyata adalah bahwa peristiwa itu merupakan suatu I'lan

(penyampaian) tentang perkara Beliau SAW yang agung serta

mempersiapkannya untuk menerima 'Ishmah dan Wahyu sejak dini

dengan perantaraan benda lahiriah agar lebih mudah bagi manusia

dalam mengimani dan membenarkan risalah Beliau SAW, jadi

peristiwa itu merupakan proses mensucikan Beliau SAW secara

Maknawi tapi dijadikan (diperlihatkan) dalam bentuk Hissi (bisa

diliput panca indera) agar I'lan Ilahiyah tersebut dapat menjangkau

setiap pendengaran dan penglihatan manusia.

Kelahiran dan kewafatan Rasulullah SAW.

Sebagaimana disebutkan dalam Nazhom diatas, Rasulullah SAW

dilahirkan di kota Makkah dan menurut pendapat yang paling unggul

yang dipilih Syeikh Said Ramadhan al-Buthi Rah a terjadi pada

waktu pagi hari Senin 12 Rabiul Awwal bertepatan dengan tanggal

20 April 571 M.

Hari yang penuh berkah tersebut berada pada tahun Gajah, yaitu

tahun dimana telah terjadi peristiwa yang menggemparkan di kota

Makkah, karena Abrahah al-Asyram (gubernur Yaman) dengan


198
Kitab Tauhid Dasar
pasukan besar mengendarai gajah berusaha meruntuhkan Ka'bah,

namun Allah SWT meluluhlantakkan pasukan tersebut dengan

mengirimkan burung Ababil yang membawa kerikil-kerikil (bebatuan

dari tanah yang dibakar di neraka Jahanam) dan melemparkanya pada

pasukan tersebut, sehingga keadaan mereka menjadi seperti dedaunan

dimakan ulat-ulat, peristiwa tersebut diceritakan dalam Al-Qur'an

pada Surat Al-Fiil.

Nazhom diatas juga menyebutkan tentang kewafatan Rasulullah

SAW, yakni terjadi di kota al-Thayyibah (Madinah al-Munawwarah)

pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun 11 H / 8 Juni 633 M.

Menurut Sheikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri Rah a, Beliau

dikebumikan pada malam Rabu dikamar Ummul Mukminin Aisyah

R ha setelah disholatkan secara bertahap, pertama kali oleh keluarga

Beliau, kemudian Kaum Muhajirin, Kaum Anshar, anak-anak dan

terakhir Kaum Wanita (pendapat lain wanita terlebih dahulu baru

anak-anak).

Menurut Sayyid Muhammad bin Ali baathiyah Rah a, orang yang

mengingkari tempat dimana Rasulullah SAW dimakamkan, dapat

dijatuhkan hukum kufur keatasnya.

199
Kitab Tauhid Dasar
Dan menurut Jumhur ulama, kota Makkah lebih utama dari pada kota

Madinah, berbeda dengan pendapat Imam Malik Rah a yang

berpendapat sebaliknya.

Masa Nubuwwah Rasulullah SAW.

Mengutip pendapat Jumhur ulama dari berbagai referensi,

bahwasanya diutusnya Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai

Rasul adalah setelah genap berusia 40 tahun, dan pada saat sebelum

datangnya Wahyu dari Allah, sekitar 6 bulan Qablal Bi'tsah (menurut

sebagian pendapat), Rasulullah SAW suka menyendiri dari kaumnya

untuk berkholwat di Gua Hira yang terletak di Jabal Nur sekitar 2 Mil

dari kota Makkah, Beliau pergi dengan membawa perbekalan untuk

beberapa hari beribadah di Gua tersebut. Dan tidak jarang saat-saat

tersebut, Beliau mangalami mimpi-mimpi yang benar dan terang

sebagai pendahuluan sebelum turunnya Wahyu keatas Beliau SAW.

Maka tatkala telah genap berusia 40 tahun, Jibril As datang kepada

Beliau di Gua Hira membawa Wahyu Nubuwwah, hal itu terjadi pada

hari Senin 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran Beliau, bertepatan

dengan tanggal 6 Agustus 610 M, pada saat usia Beliau mencapai 40

tahun lebih 6 bulan dan 8 hari menurut hitungan Qamariyah.


200
Kitab Tauhid Dasar
Sebagian ulama berpendapat peristiwa tersebut terjadi pada tanggal

21 Ramadhan / 10 Agustus 610 M, pendapat ini diamini oleh Sheikh

Shafiyurrahman al-Mubarakfuri Rah a dalam al-Rahiq al-Makhtum.

Menurut Jumhur ulama Salaf dan Kholaf, yang pertama diturunkan

kepada Rasulullah SAW adalah Surat Al-'Alaq ayat 1-5 dengan

merujuk kepada Hadits yang diriwayatkan Aisyah R ha seperti

disebutkan dalam Shahihain, sedangkan Menurut Jabir bin Abdillah

Ra adalah permulaan Surat Al-Muddatssir, pendapat lain mengatakan

Surat Al-Fatihah (Menurut Sheikh Abu Maysarah al-Hamdani Rah a)

Sheikh Sa'id Ramadhan al-Buthi Rah a dalam kitab Fiqhus Sirah

menyatakan adanya Ijma' para ulama Bahwasanya Rasulullah SAW

wafat pada usia 63 tahun (Hitungan Qamariyah), yakni hidup selama

40 tahun Qablal Bi'tsah, kemudian mengemban Risalah selama 13

tahun di kota Makkah dan 10 tahun meneruskan perjuangannya di

kota Madinah setelah Hijrah hingga kewafatan Beliau, jadi

Rasulullah SAW wafat pada permulaan tahun 11 H.

201
Kitab Tauhid Dasar
BAB XIII
PUTRA PUTRI RASULULLAH SAW

Sheikh Ahmad Marzuqi Rah berkata;

ُُ ‫ـــ‬َٙ ‫ ِس رـُـ ْفــ‬ْٛ ُ ‫ص َ َـالصـَـخٌ ِِـ َٓ اٌـزُّوـ‬ ِ َ‫الَ ُدُٖ ف‬ْٚ َ ‫عــجـْــؼَـــخٌ أ‬
ُُ ‫ــ‬ُٙ ‫ــّـــْٕــ‬ َ َٚ

ُ َّ ‫ُـٍـَـمـ‬٠ ‫ـٓ رَا‬


‫ـت‬ ِ ‫ ْـ‬٠َ‫ــش ِثـز‬ َ َٚ
ٌ ِ٘ ‫هـب‬ ُ ّ١ِ ‫ اٌطَّـ‬ٛ‫ـ‬
‫ت‬ َ ْ٘ َٚ ‫ّٰللا‬ ِ ‫لَب‬
ِ ‫ ػَـ ْج ُذ ه‬َٚ ُْ ‫عـ‬
ْ َّ١‫ـطـ‬
‫ـــخ‬ ِ ‫ـُّـــخُ اٌْـ ِمــ ْج‬٠‫ـبس‬
ِ َِ ُٗ‫فَـؤ ُ ُِّــــ‬ ْ َّ٠‫ــش‬
‫ـــــخ‬ ِ ‫ع‬ َ ‫أَرـَـبُٖ اِ ْث‬
ْ ِِ ُُ ‫ـ‬١ْ ‫ـشا ِ٘ــــ‬
ُ ٓ‫ـ‬
ْ ‫ـ َج‬١ْ ‫ ٌِــ‬َٚ ُْ ٙ‫ـ‬
‫ــخ‬ ِ ‫عـزَّـخٌ ف َ ُخ ْز ِث‬
ِ ُْ ‫ُ٘ـ‬ ْ ‫ـ َج‬٠ْ ‫ َُ ِِ ْٓ َخــ ِذ‬١ْ ‫ـشا ِ٘ـ‬
‫ــخ‬ َ َٚ
َ ْ‫ ُش ِاث‬١ْ ‫غـ‬
ْ ُ٠ ‫غ‬١ْ ‫ ٌِـٍ ْـ َج ِـّــ‬ِّٟ‫اُْ َسثـ‬ٛ‫ـ‬
‫ـزوـ َ ُش‬ َ ‫م‬ْ ‫ِس‬ ‫ـش‬ ْ ُ ‫س رـ‬
ُ َ ‫ـزوـ‬ َ ِِ ‫ أ َ ْسثـَــ ٌغ‬َٚ
ِ ‫ـٓ ِاِلَٔــــب‬
ِ
ْ َ ‫بْ ف‬
ّٟ ٍِ ‫ ُْ َج‬ُٙ ٍُ‫ن‬ ِ ‫ط‬َ ‫غ ْج‬
ّ ِ ٌ‫ا ْثَٕب ُ٘ َّب ا‬َٚ ٟ‫ـ‬ َّ ُ‫بهـ َّـخ‬
َ ْ٘ ‫اٌض‬
ّ ٍِ ‫ـب ػَـ‬َٙ ُ ‫ـشا ُء ثَـ ْؼـٍـ‬ ِ َ‫ف‬
ْ َّ١‫ ٍَ َصوـَــذْ َس ِمــ‬ٛ‫ــ‬
‫ـــخ‬ ْ ُ ‫ أ ُ َُّ وـٍُـْض‬َٚ ْ َّ١‫ ثَــ ْؼــ َذ َ٘ـب ُسلَــ‬َٚ ‫ـــت‬
‫ـــخ‬ َ َ‫ف‬
ٌ َٕ‫ــ‬٠ْ ‫ـض‬

"Putra putri Rasulullah SAW ada tujuh, tiga diantaranya adalah


lelaki..
Yakni Qasim dan Abdullah yang dikenal dengan julukan (Laqab)
al-Thayyib atau Thahir..
Serta Ibrahim yang lahir dari budak wanita, Ibundanya ialah
Mariyah al-Qibthiyah..
(Semua anak Beliau SAW) selain Ibrahim lahir dari Khadijah R
ha, jumlahnya ada enam, kenalilah mereka..
Putri Beliau SAW ada empat, semoga Allah meridhoi mereka
semuanya..

202
Kitab Tauhid Dasar
Yang pertama ialah Fathimah R ha yang bersuamikan Ali Ra,
kedua anak mereka adalah cucu Rasulullah SAW (Hasan dan
Husain R huma), keutamaan mereka adalah nyata..
Yang kedua ialah Zainab R ha, yang ketiga Ruqayyah R ha dan
yang keempat Ummi Kultsum R ha yang suci dan diridhai..

Penjelasan

Beberapa Nazhom diatas mengetengahkan tentang putra putri

Rasulullah SAW serta keutamaan mereka yang mesti diketahui oleh

segenap para mukallaf.

Dalam Nazhom tersebut disebutkan bahwa semua putra dan putri

Beliau SAW berjumlah tujuh orang, yakni tiga orang putra dan empat

orang putri. Dan disebutkan juga bahwa kesemua putra putri Beliau

SAW berasal dari Khadijah R ha, kecuali Ibrahim Ra, Ia berasal dari

Mariyah al-Qibthiyah R ha.

Para sejarawan juga menambahkan, bahwa semua putra putri Beliau

SAW lahir di kota Makkah, kecuali Ibrahim Ra, Ia dilahirkan di kota

Madinah.

Berdasarkan urutan kelahiran mereka, seperti disebutkan dalam kitab

Mujazul Kalam, yang pertama dilahirkan ialah Qasim Ra, kemudian

Zainab R ha, setelah itu Ruqayyah R ha, Fathimah R ha, Ummi

203
Kitab Tauhid Dasar
Kultsum R ha, Abdullah Ra, dan Ibrahim Ra. Namun menurut

pendapat lain, ummi Kultsum R ha dilahirkan lebih dahulu dari

Fathimah R ha sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar al-

Asqalani dalam Fathul Bari.

Berikut ini sekelumit Biografi mereka Radhiyallahu 'anhum:

1. Qasim Ra. Qasim adalah putra Rasulullah SAW yang

pertama dilahirkan dan yang pertama wafat, dan dengan

nama inilah Rasulullah SAW dipanggil dengan nama

Kuniyah (Abul Qosim SAW), para ulama berselisih tentang

kebolehan menggunakan nama Kuniyah seperti Kuniyah

Beliau SAW (karena adanya larangan yang disebutkan dalam

riwayat Imam Bukhari), menurut Imam Nawawi Rah a ada

tiga madzhab, pertama melarang secara mutlak (baik yang

bernama Muhammad ataupun bukan), inilah yang dinuqil

dari Imam Syafi'i Rah a, kedua membolehkan secara mutlak,

menurut pendapat ini larangan dalam hadits tersebut hanya

tertentu dimasa hidup Rasulullah SAW, dan pendapat ketiga

mengatakan tidak boleh bagi orang yang bernama

Muhammad, sedangkan bagi yang bernama selainnya

diperbolehkan. Qasim Ra lahir sebelum Nubuwwah dan

204
Kitab Tauhid Dasar
wafat pada usia 2 tahun menurut satu pendapat, dan 17 tahun

menurut pendapat lain, maka berdasarkan pendapat terakhir

ini Qasim Ra wafat dalam Islam dan terhitung sebagai

Sahabat.

2. Abdullah. Abdullah lahir dan wafat di kota Makkah ketika

masih kanak-kanak, Sheikh Ahmad Marzuq Rah a dalam

Nazhom diatas menyebutkan julukan (Laqab) bagi Abdullah

yaitu al-Thayyib atau al-Thahir adalah sebagai bantahan

Beliau terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Thahir

dan Thayyib adalah dua orang putra Rasulullah SAW lainnya

selain Abdullah.

3. Ibrahim. Beliau lahir pada bulan Dzulhijjah tahun 8 H, pada

hari kelahirannya Baginda Rasulullah SAW menyembelih 2

ekor kambing kibas sebagai Aqiqahnya sekaligus

memberikan nama, mencukur rambutnya dan kemudian

Beliau bersedekah perak seberat timbangan rambut tersebut.

Ibrahim wafat pada tahun 10 H pada usia 16 bulan, pendapat

lain 18 bulan dan ada juga yang mengatakan 1 tahun lebih 10

bulan. Ibrahim Ra dikebumikan di pemakaman Baqi'

Madinah. Dalam Nazhom diatas disebutkan tentang Ibunda

205
Kitab Tauhid Dasar
Ibrahim, yaitu Mariyah al-Qibthiyah R ha, Ia adalah seorang

budak yang dihadiahkan Muqauqis penguasa bangsa Qibthi

(Mesir), Selain Mariyah, Muqauqis juga menghadiahkan

saudari Mariyah bernama Sirin, 1000 Mitsqal Mas, 20

pakaian lembut, Baghal (peranakan kuda dengan keledai)

berwarna kelabu yang diberi nama Dul-dul dan seekor Himar

yang juga berwarna kelabu yang diberi nama Ufair atau

Ya'fur. Rasulullah SAW memberikan Sirin saudari Mariyah

kepada seorang sahabat bernama Hasan bin Tsabit al-Anshari

Ra. Mariyah al-Qibthiyah R ha wafat di masa Khilafah

Amirul Mukminin Umar bin Khatthab Ra pada bulan

Muharram tahun 16 H.

4. Zainab R ha. Sayyidah Zainab R ha lahir ketika ayahnya -

Rasulullah SAW berusia 30 tahun. Setelah dewasa, Zainab

menikah dengan sepupunya bernama Abul 'Ash bin Rabi'

(ibu dari Abul 'Ash bin Rabi' adalah Halah binti Khuwailid,

dan Halah adalah saudari Khadijah binti Khuwailid R ha

Ibunda Zainab R ha). Dari pernikahan mereka lahirlah Ali

bin Abil 'Ash dan Umamah binti Abil 'Ash, namun Ali bin

Abil 'Ash meninggal saat masih kecil, sedangkan Umamah R

206
Kitab Tauhid Dasar
ha dikemudian hari dinikahi oleh Sayyidina Ali bin Abi

Thalib Ra setelah wafatnya Fathimah R ha sesuai wasiat

Sayyidah Fathimah R ha sebelum wafatnya. Dalam beberapa

riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW sangat

menyayangi cucu Beliau Umamah R ha, sehingga pernah

menggendongnya saat Beliau SAW mengimami shalat

berjamaah. Zainab R ha wafat pada tahun ke-8 H.

5. Ruqayyah R ha. Sayyidah Ruqayyah R ha lahir ketika

Rasulullah SAW berusia 33 tahun, setelah dewasa Ia

dinikahkan dengan Sahabat Utsman bin Affan Ra, di awal

permulaan Islam Utsman Ra membawa Sayyidah Ruqayyah

R ha berhijrah ke Negeri Habasyah, dari pernikahan mereka

lahirlah seorang putra bernama Abdullah, namun Abdullah

meninggal pada usia 6 tahun setelah wafat Ibundanya

Ruqayyah R ha yang wafat pada hari terjadinya perang Badar

bulan Ramadhan tahun ke-2 H.

6. Ummu Kultsum R ha. Setelah Sayyidah Ruqayyah R ha

wafat, Utsman Ra menikah dengan saudarinya, yakni Ummi

Kultsum R ha, jadi sahabat Utsman Ra menikah dengan dua

orang putri Rasulullah SAW dan keduanya wafat ketika

207
Kitab Tauhid Dasar
Sayyidina Utsman Ra masih hidup, karenanya beliau

mendapat julukan Dzun Nurain (pemilik dua cahaya). Seperti

disebutkan diatas, terjadi silang pendapat dikalangan Ahli

Sirah apakah Ruqayyah R ha lebih dahulu dilahirkan dari

Fathimah R ha atau sebaliknya. Ummu Kultsum R ha wafat

pada tahun ke-9 H.

7. Fathimah R ha. Sayyidah Fathimah R ha lahir ketika

Rasulullah SAW berusia 41 tahun, pendapat lain mengatakan

beliau lahir pada masa 5 tahun sebelum Nubuwwah.

Kemudian pada usia 15 tahun lebih 5 bulan Sayyidah

Fathimah R ha dinikahi oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra

yang ketika itu Ali Ra berusia 21 tahun lebih 5 bulan. Dari

pernikahan mereka lahirlah 6 orang putra putri, yakni 3 orang

putra yaitu Hasan Ra, Husein Ra dan Muhassin Ra dan 3

orang putri yaitu Zainab, Ummi Kultsum dan Ruqayyah.

Menurut Ahli Sirah, baik Muhassin maupun Ruqayyah

keduanya wafat saat masih kecil, adapun Ummi Kultsum

binti Ali bin Abi Thalib dinikahi oleh Umar bin Khattab R ha

dan mempunyai 2 orang anak yaitu Zaid dan Ruqayyah.

Sedangkan Zainab binti Ali bin Abi Thalib Ra dinikahi oleh

208
Kitab Tauhid Dasar
sepupunya yaitu Abdullah bin Jakfar bin Abi Thalib Ra. Dari

pernikahan mereka lahir putra putri yaitu Ali, Aun al-Akbar,

Abbas, Mahmud dan Ummi Kultsum R hum. Fathimah binti

Rasulillah SAW wafat 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah

SAW, yakni pada tanggal 3 Ramadhan tahun 11 H. Imam Ali

Ra mengebumikan jenazah istri beliau pada malam hari.

Kewajiban mencintai Ahlul Bait Rasulullah SAW.

Termasuk diantara kewajiban bagi setiap mukallaf ialah mencintai

Ahlil Bait Rasulullah Saw, pernyataan ini diisyaratkan oleh Syeikh

Ahmad Marzuq Rah a dalam Syair diatas dengan ungkapan ٍُٙ‫ فن‬ٚ

ٍٝ‫( ج‬keutamaan mereka adalah terang benderang).

Kewajiban mencintai Ahlul Bait Rasulullah Saw tersebut disamping

karena keistimewaan dan keutamaan khusus yang diberikan Allah

kepada mereka seperti disebutkan dalam banyak riwayat dan

dikarenakan adanya hubungan kekerabatan mereka dengan

Rasulullah SAW, namun kewajiban ini juga berdasarkan perintah

Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an;

}ٕٖ :ٜ‫س‬ٛ‫سح اٌؾ‬ٛ‫ {ع‬.. ٝۗ ٰ َ‫ ۡٱٌمُ ۡوث‬ِٟ‫كهح َ ف‬َٛ َّ ٌ‫ ِٗ أ َ ۡعوا ئِ هل ۡٱ‬١ۡ ٍَ‫ػ‬
َ ُ‫ لًُ هلا أ َ ٍْأٌَُ ُى‬...

209
Kitab Tauhid Dasar
"... , Katakanlah : "aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah

pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan" ..

(QS As Syuuraa : 23)

Para Mufassiriin berbeda pandangan tentang makna 'al-Mawaddah

fil Qurbaa' dalam ayat diatas, dari berbagai perbedaan tersebut al-

Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a dalam Fathul Bari menarik

suatu kesimpulan sebagai berikut;

"Wal Hashil, bahwasanya Sheikh Sa'id bin Zubair Rah a dan para

ulama yang sejalan dengan pandangannya seperti Imam Ali bin

Husein Rah a, Imam al-Sudi Rah a, dan Sheikh Amru bin Syu'aib Rah

a seperti yang diriwayatkan Imam al-Thabari Rah a, mereka

memposisikan ayat diatas sebagai perintah atas orang-orang yang

dijadikan sasaran perintah tersebut (umum bagi seluruh orang

Mukallaf) agar mencintai kerabat Rasulullah SAW, sedangkan

Sahabat Ibnu Abbas Ra menafsirkan sebagai perintah yang khusus

bagi orang Quraisy agar mereka mencintai Nabi Muhammad SAW

karena adanya kekerabatan diantara Nabi Muhammad SAW dengan

mereka, yang menguatkan pendapat Ibnu Abbas Ra ialah

bahwasanya surat As-Syuuraa terhitung sebagai Surat Makiyyah"..

(Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari).

210
Kitab Tauhid Dasar
Imam Ibnu Katsir Rah a juga dalam Tafsirnya cenderung

membenarkan penafsiran Ibnu Abbas Ra tersebut, namun beliau tidak

mengingkari adanya wasiat Rasulullah SAW agar memuliakan Ahlul

Bait Beliau SAW, Imam Ibnu Katsir Rah a berkata:

"Pendapat yang Hak tentang Tafsir Ayat tersebut adalah apa yang
dikemukakan oleh Habrul Ummah dan Turjumanul Qur'an yakni
Abdullah bin Abbas Ra seperti diriwayatkan Imam Bukhari Rah a,
namun kita tidak mengingkari adanya wasiat-wasiat Rasulullah
SAW mengenai Ahlil Bait Beliau SAW serta perintah untuk
berbuat baik kepada mereka, menghormati dan memuliakan
mereka, karena mereka adalah keturunan yang suci dari keluarga
yang paling mulia diatas dunia ini baik pamornya, derajatnya
maupun garis nasabnya, terlebih lagi jika mereka senantiasa
mengikuti Sunnah Nabawiyyah yang Benar dan terang benderang
sebagaimana pendahulu mereka seperti Abbas dan anak-anaknya,
Ali Ra serta Ahlil Bait keturunannya". (Tafsir Al-Qur'an al-
'Azhiim).

Selain ayat diatas, dalam Al-Qur'an juga disebutkan tentang

keistimewaan khusus Ahlil Bait Rasulullah SAW, yaitu firman Allah

SWT;

}ٖٖ :‫هح األؽياة‬ٍٛ{ ‫وا‬١ٗ ِٙ ‫ َو ُو ُۡ ر َ ۡط‬ّٙ ِ ‫ط‬ ِ ١ۡ َ‫ٌ أ َ ۡ٘ ًَ ۡٱٌج‬


َ ُ٠َٚ ‫ذ‬ ّ ِ ُُ ‫ػٕ ُى‬
َ ‫ٱٌو ۡع‬ َ ِ٘ ‫ُ ۡن‬١ٌِ ُ‫ٱّٰلل‬
َ ‫ت‬ ‫لُ ه‬٠‫ُ ِو‬٠ ‫ ئِٔه َّب‬...

211
Kitab Tauhid Dasar
".. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa

dari kamu hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-

bersihnya"(QS Al Ahzab : 33).

Tentang ayat diatas, Imam Ibnu Jarir al-Thabari Rah a dalam kitab

tafsirnya mengatakan bahwa melalui ayat tersebut Allah SWT

mengatakan; "sesungguhnya Allah menghendaki untuk

menghilangkan keburukan dan perbuatan keji dari kalian wahai

keluarga Muhammad SAW serta mensucikan kalian dari kotoran

yang disebabkan oleh maksiat kepada Allah dengan sesuci-sucinya”.

Imam al-Thabari juga meriwayatkan satu riwayat dari Imam Qatadah

Rah a bahwa ayat tersebut menceritakan tentang tentang Ahlul Bait

yang Allah sucikan dari keburukan dan dikhususkan dengan Rahmat

dari-Nya.

Menurut Sheikh Ibnu Zaid Rah a, makna 'Rijes' dalam ayat tersebut

adalah Syaithan, sedangkan menurut Sheikh Ibnu Athiyyah Rah a

bermakna sebuah nama bagi suatu dosa atau azab, dan bisa juga

bermakna kotoran atau segala kekurangan, semua itu akan

dihilangkan dari Ahlul Bait, sedangkan Imam Nawawi Rah a dalam

Syarah Shahih Muslim berkata; Rijes bisa dikatakan keragu-raguan,

212
Kitab Tauhid Dasar
ada juga yang mengatakan siksaan, dan ada pula yang mengatakan

sebagai dosa.

Pendapat lain dikemukakan oleh Imam Al-Azhari Rah a, Rijes ialah

suatu penyebutan bagi setiap yang kotor baik berupa amaliyah atau

lainnya.

Lantas, siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam ayat tersebut?

Dalam hal ini Sayyid Muhammad Al-Maliki Rah a mengatakan

dalam kitab Manhaj al-Salaf fi Fahmin Nushush sebagai berikut;

"Para ahli tafsir berselisih pendapat dalam menentukan siapa Ahlil


Bait dalam ayat tersebut, sekelompok ulama berpendapat bahwa
Ahlul Bait adalah Ahlul 'abaa (Ahlul Kisaa) yakni Rasulullah
SAW, Ali Ra, Fathimah R ha, Hasan Ra dan Husein Ra, sebagian
ulama berpendapat ahlul Bait ialah istri-istri Rasulullah SAW yang
suci, sedangkan Jumhur ulama menetapkan bahwa yang dimaksud
dengan Ahlul Bait dalam ayat tersebut mencakup kedua kelompok
tersebut secara bersamaan (Ahlul Kisaa dan seluruh istri
Rasulullah SAW) dengan menghimpunkan seluruh dalil-dalil yang
ada.
Sheikh Ibnu Athiyyah Rah a berkata: "adapun yang tampak bagi
saya, bahwa sesungguhnya para istri Rasulullah SAW tidak
dikeluarkan dari daftar Ahlul Bait, maka Ahlul Bait mencakup
seluruh istri-istri Beliau SAW, anak perempuan Beliau SAW

213
Kitab Tauhid Dasar
(Sayyidah Fathimah R ha), anak-anak Fathimah R ha, dan suami
Fathimah R ha".
Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa Ahlul

Bait adalah Ahlul Kisaa, mereka menyandarkannya pada berbagai

dalil yang salah satu diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim

dalam Shahihnya, yakni;

ٌ‫ ِٗ ِِ ْشه‬١ٍَ‫ػ‬َٚ ‫عٍُّ غذاح‬َٚ ٗ١ٍ‫ هللا ُ ػ‬ٍّٝ‫ ف‬ُّٟ ِ‫ط إٌَّج‬


َ ‫ َخ َش‬: ‫ب لبٌذ‬ٕٙ‫ هللا ػ‬ٟ‫ػٓ ػبئؾخ سم‬

َ ‫ ٍ فَؤ َ ْد َخٍَُٗ ص ُ َُّ جبء اٌْ ُذ‬ّٟ ٍِ ‫ػ‬


ْ‫ ص ُ َُّ َجب َءد‬، َُٗ‫ُٓ فَ َذ َخ ًَ َِؼ‬١ْ ‫غ‬ َ ‫ فَ َجب َء اٌْ َذ‬،َ‫د‬َٛ ‫ع‬
َ ُٓ‫غُٓ ْث‬ ْ َ ‫ؽ ْؼ ِش ا‬
َ ْٓ ِِ ًٌ ‫ُِ َش َّد‬

َ ‫ ص ُ َُّ َجب َء‬، ‫ب‬َٙ ٍَ‫به َّخُ فَؤ َ ْد َخ‬


ً٘‫ز٘ت ػٕىُ اٌشجظ أ‬١ٌ ‫ذ هللا‬٠‫ش‬٠ ‫ {أّب‬:‫ صُ لبي‬.ٍَُٗ‫ فَؤ َ ْد َخ‬ٌٟ ٍِ ‫ػ‬ ِ َ‫ف‬

}‫شا‬١ٙ‫شوُ رط‬ٙ‫ط‬٠ ٚ ‫اٌغٕخ‬

)ٍُ‫اٖ ِغ‬ٚ‫(س‬
Diriwayatkan dari Aisyah R ha ia berkata: "Nabi Muhammad
SAW keluar di suatu pagi mengenakan sebuah mantel yang terbuat
dari bulu domba, tiba-tiba datanglah Hasan bin Ali Ra maka Nabi
SAW memasukkannya kedalam mantelnya, kemudian datanglah
Husein dan masuk bersama Hasan, kemudian datanglah Fathimah
R ha dan Nabi SAW memasukkannya dan kemudian datanglah Ali
Ra dan Beliau pun memasukannya, kemudian Beliau SAW
membaca; "sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari
kamu hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya". (HR Muslim)

214
Kitab Tauhid Dasar
‫)‪Hadits Tsaqalain (dua hal penting wasiat Rasulullah SAW‬‬

‫‪Dalam membahas keutamaan Ahlul Bait Rasulullah SAW serta‬‬

‫‪kewajiban mencintai mereka, para ulama senantiasa menyebutkan‬‬

‫‪satu hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Zaid bin‬‬

‫‪Arqam Ra, Hadits ini dikenal juga dikalangan ulama dengan sebutan‬‬

‫;‪Hadits Tsaqalain, yakni‬‬

‫ػٓ ‪٠‬ض‪٠‬ذ ثٓ د‪١‬بْ لبي‪ :‬أطٍمذ أٔب ‪ ٚ‬دق‪ ٓ١‬ثٓ عجشح ‪ٚ‬ػّش ثٓ ِغٍُ اٌ‪ ٝ‬ص‪٠‬ذ ثٓ أسلُ‪،‬‬

‫فٍّب جٍغٕب اٌ‪ ٗ١‬لبي ٌٗ دق‪ٌ : ٓ١‬مذ ٌم‪١‬ذ ‪٠‬ب ص‪٠‬ذ ! خ‪١‬شا وض‪١‬شا ‪ ،‬سأ‪٠‬ذ سع‪ٛ‬ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬

‫‪ٚ‬عّؼذ دذ‪٠‬ضٗ ‪ٚ‬غض‪ٚ‬د ِؼٗ ‪ ٚ‬فٍ‪١‬ذ خٍفٗ ‪ٌ ،‬مذ ٌم‪١‬ذ ‪٠‬ب ص‪٠‬ذ خ‪١‬شا وض‪١‬شا ‪ ،‬دذصٕب ‪٠‬ب ص‪٠‬ذ !‬

‫ِب عّؼذ ِٓ سع‪ٛ‬ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص‪ .‬لبي ‪٠ :‬ب اثٓ أخ‪ٚ ! ٟ‬هللا ! ٌمذ وجشد عٕ‪ٚ ،ٟ‬لذَ ػ‪ٙ‬ذ‪،ٞ‬‬

‫‪ٔٚ‬غ‪١‬ذ ثؼل اٌز‪ ٞ‬وٕذ أػ‪ ِٓ ٟ‬سع‪ٛ‬ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص‪ ،‬فّب دذصزىُ فبلجٍ‪ٛ‬ا ‪ِٚ ،‬ب ال فال رىٍف‪، ٗ١ٔٛ‬‬

‫صُ لبي ‪ :‬لبَ سع‪ٛ‬ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص ‪ِٛ٠‬ب ف‪ٕ١‬ب خط‪١‬جب ثّبء ‪٠‬ذػ‪ ٝ‬خّب‪ ،‬ث‪ِ ٓ١‬ىخ ‪ٚ‬اٌّذ‪ٕ٠‬خ‪ ،‬فذّذ هللا‬

‫‪ٚ‬أصٕ‪ ٝ‬ػٍ ‪ٚٚ ٗ١‬ػع ‪ٚ‬روش صُ لبي ‪ " :‬أِب ثؼذ‪ ،‬أال أ‪ٙ٠‬ب إٌبط ! فبّٔب أٔب ثؾش ‪ٛ٠‬ؽه أْ ‪٠‬ؤر‪ٟ‬‬

‫سع‪ٛ‬ي سث‪ ٟ‬فؤج‪١‬ت‪ٚ ،‬أٔب ربسن ف‪١‬ىُ صمٍ‪ : ٓ١‬أ‪ٌّٙٚ‬ب وزبة هللا ف‪ ٗ١‬اٌ‪ٙ‬ذ‪ٚ ٜ‬إٌ‪ٛ‬س ‪ ،‬فخز‪ٚ‬ا‬

‫ثىزبة هللا ‪ٚ‬اعزّغى‪ٛ‬ا ثٗ"‪ ,‬فذش ػٍ‪ ٝ‬وزبة هللا ‪ٚ‬سغت ف‪ ،ٗ١‬صُ ڨبي ‪ٚ " :‬أً٘ ث‪١‬ز‪، ٟ‬‬

‫أروشوُ هللا ف‪ ٟ‬أً٘ ث‪ ١‬ز‪ ، ٟ‬أروشوُ هللا ف‪ ٟ‬أً٘ ث‪١‬ز‪ ،ٟ‬أروشوُ هللا ف‪ ٟ‬أً٘ ث‪١‬ز‪ ," ٟ‬فمبي ٌٗ‬

‫دق‪ ِٓٚ :ٓ١‬أً٘ ث‪١‬زٗ ؟ ‪٠‬ب ص‪٠‬ذ ! أٌ‪١‬ظ ٔغبإٖ ِٓ أً٘ ث‪١‬زٗ ؟ لبي ‪ٔ :‬غبإٖ ِٓ أً٘ ث‪١‬زٗ‬

‫‪ٌٚ‬ىٓ أً٘ ث‪١‬زٗ ِٓ دشَ اٌقذلخ ثؼذٖ ‪ ،‬لبي ‪ ُ٘ ِٓٚ‬؟ لبي ُ٘ أي ػٍ‪ٚ ٟ‬أي ػم‪ٚ ً١‬أي جؼفش‬

‫‪ٚ‬أي ػجبط ‪ ،‬لبي‪ :‬وً ٘ئالء دشَ اٌقذلخ؟ لبي ‪ٔ :‬ؼُ ‪( .‬س‪ٚ‬اٖ ِغٍُ)‬

‫‪215‬‬
‫‪Kitab Tauhid Dasar‬‬
Yazid bin Hayyan menceritakan: "aku pergi bersama Hushain
bin Sabrah dan Umar bin Muslim kepada Zaid bin Arqam Ra,
maka ketika kami telah duduk bersamanya, Hushain berkata
kepada Zaid: "wahai Zaid, sungguh kamu telah mendapatkan
kebaikan yang banyak, kamu telah melihat Rasulullah SAW,
kamu mendengar Hadits Beliau SAW, berperang bersamanya
dan Sholat dibelakangnya, sungguh kamu telah memperoleh
kebaikan yang banyak hai Zaid, ceritakan lah kepada kami
wahai Zaid apa-apa yang telah engkau dengar dari Rasulullah
SAW", Zaid berkata: "wahai anak saudaraku, demi Allah, usia
ku telah tua, dan masa kematianku hampir tiba dan aku telah
lupa sebagian yang aku dengar dari Rasulullah SAW, maka yang
akan aku ceritakan ini terimalah, dan apa yang tidak akan aku
ceritakan, janganlah kalian memaksaku", kemudian Zaid
bercerita: " pernah Rasulullah SAW berdiri dan berkhutbah
dihadapan kami di suatu hari di sebuah mata air yang dikenal
dengan nama Khumm yang terletak antara kota Makkah dan
Madinah, Beliau SAW memuji Allah dan menyanjungnya,
kemudian memberi nasehat dan mengingatkan, kemudia Beliau
SAW bersabda: "Amma Ba'du, ingatlah wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa yang hampir saja
datang utusan Tuhanku (Malakul Maut) dan aku akan memenuhi
panggilannya, dan aku tinggalkan untuk kalian dua perkara
penting, yang pertama ialah Kitabullah yang didalamnya terdapat
petunjuk dan cahaya, maka ambillah Kitabullah dan berpegang
teguhlah kepadanya", kemudian Rasulullah SAW memberikan

216
Kitab Tauhid Dasar
anjuran dan motivasi kepada kami dengan Kitabullah, setelah
itu Beliau SAW melanjutkan sabdanya: "dan (perkara yang
kedua) Ahlul Bait ku, aku peringatkan kalian mengenai Ahlul Bait
ku, aku peringatkan kalian mengenai Ahlul Bait ku, aku
peringatkan kalian mengenai Ahlul Bait ku..", Hushain bertanya:
"wahai Zaid, siapa kah Ahlul Bait Beliau SAW?, Bukankah istri-
istri Beliau Ahlul Bait?", Zaid menjawab: "istri-istri Rasulullah
SAW termasuk diantara Ahlul Bait", Hushain bertanya lagi:"
siapa Ahlul Bait Beliau SAW wahai Zaid?, Bukankah istri-istri
Rasulullah SAW Ahlul Bait?", Zaid menjawab: "istri-istri
Rasulullah SAW termasuk Ahlul Bait, namun yang dimaksud
Ahlul Bait disini adalah yang diharamkan menerima Zakat setelah
Beliau SAW", Hushain bertanya: "siapa saja mereka?", Zaid
menjawab: "mereka adalah keluarga Ali Ra, keluarga Uqail Ra,
keluarga Ja'far Ra dan keluarga Abbas Ra", Hushain bertanya:
"mereka semua diharamkan menerima Zakat?", Zaid menjawab:
"benar..".(HR Muslim)

Dalam mengomentari Hadits diatas, Imam Nawawi Rah a

mengatakan dalam Syarah Shahih Muslim: "para ulama mengatakan,

dua perkara yang diwasiatkan Rasulullah SAW tersebut dinamakan

'Tsaqalain' ialah karena agungnya dua perkara tersebut dan

besarnya keutamaan keduanya, ada juga yang mengatakan karena

beratnya mengamalkan dua wasiat tersebut..".

217
Kitab Tauhid Dasar
Imam Nawawi Rah a juga menjelaskan bahwa menurut pendapat

Madzhab Syafi'i, yang diharamkan menerima Zakat adalah Bani

Hasyim dan Bani Mutthalib, berbeda dengan pendapat Imam Malik,

menurut mereka hanya Bani Hasyim saja yang diharamkan menerima

Zakat.

Tentang keutamaan Ahlul Bait Rasulullah SAW, Imam Syafi'i Rah a

mengatakan:

ٗ‫ اٌمـشآْ أٔـضٌـ‬ٟ‫فـشك ِٓ هللا ف‬ ُ‫ي هللا دــجى‬ٛ‫ذ سعـ‬١‫ب ا٘ـً ث‬٠

ٗ‫ىـُ ال فالح ٌـ‬١‫ ػٍـ‬ٍٟ‫ـق‬٠ ‫ِٓ ال‬ ُ‫ُ اٌمـذس أٔـى‬١‫وـفـبوـُ ِٓ ػظـ‬
Wahai Ahlul Bait Rasulullah SAW, mencintai kalian adalah satu
kewajiban dari Allah SWT, seperti telah diwahyukan dalam Al-
Qur'an,
Cukuplah diantara bukti betapa agungnya kedudukan kalian,
bahwasanya orang yang tidak bersholawat atas kalian (dalam
sholatnya), tidak diterima Sholatnya..

Semestinya bagi Ahlul Bait

Karena kemuliaan Ahlul Bait Rasulullah SAW, serta keistimewaan

dan keutamaan mereka yang disebutkan dalam berbagai dalil, maka

para ulama menganjurkan kepada para Ahlul Bait agar menjaga

kemuliaan tersebut dengan menjauhi segala perbuatan yang dapat

mencemari kemuliaan mereka, dan agar tidak terjerumus kedalam

218
Kitab Tauhid Dasar
kebid'ahan yang tercela sebagaimana kaum Rafidhah dan

Mujassimah serta Firqah lainnya yang melenceng dari Aqidah

Ahlussunah wal Jamaah.

Dalam kitab An-Nashaih al-Diniyyah, al-Imam al-Habib Abdullah

bin Alawi Al-Haddad Rah a berkata:

"Diantara penyakit hati adalah menganggap dirinya suci,


menyanjungnya dan berbangga diri dengan nenek moyang dari
kalangan ahli agama dan pemilik keutamaan serta berbangga
dengan nasabnya, hal itu adalah tercela dan sangat buruk, dan
tidak sedikit penyakit ini menimpa keturunan orang pilihan
yang tidak memiliki Bashirah dan tidak mengetahui hakikat
Agama, siapa saja yang membanggakan nasabnya dan nenek
moyangnya, hilang lah keberkahan mereka darinya ..." (An-
Nashaih al-Diniyyah wal Washayaa al-Imaniyyah Bab Dzammul
Kiber).
Imam Al-Haddad Rah a berkata dalam kitab lainnya;

ٟ‫ال رمـٕـــغ ثىـــبْ أثــ‬ٚ ‫ال‬ ‫صــــُ ال رـغــزــش ثبٌٕـغـــــت‬

ٓ‫ اٌغٕــ‬ٌٝ‫ ا‬ٞ‫ـبد‬ٌٙ‫أدـّذ ا‬ ٟ‫ش ٔجـ‬١‫ خ‬ٜ‫ـذ‬ٌٙ‫ ا‬ٟ‫ارجـغ ف‬ٚ

Dan janganlah kamu tertipu dengan nasabmu, jangan.. Dan

janganlah merasa cukup dengan ungkapan 'dialah ayahku'..

219
Kitab Tauhid Dasar
Namun ikutilah petunjuk Sebaik-baik Nabi, Nabi Ahmad SAW

yang menunjukkan kepada jalan-jalan Hidayah ..

Sekelumit Biografi Khulafaa al-Rasyidin

Dalam pembahasan tentang Sayyidah Fathimah R ha telah

dikemukakan sedikit Biografi Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra,

sebagai penjelasan lafazh Nazhom ٍٟ‫ب ػ‬ٍٙ‫( ثؼ‬suami Fathimah R ha

adalah Ali bin Abi Thalib Ra).

Seperti yang telah Masyhur, Imam Ali bin Abi Thalib Ra adalah

Khalifah yang keempat dari Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah

SAW, oleh karenanya, kami (penulis) memandang perlu

mengemukakan sekelumit Biografi Kholifah yang lain, yakni

Sayyidina Abu Bakar Shiddiq Ra, Sayyidina Umar bin Khattab Ra

dan Sayyidina Utsman bin Affan Ra bersamanya.

Menurut para ulama Ahlussunah wal Jamaah, urutan keutamaan

(Afdhaliyah) dari keempat Kholifah tersebut adalah sesuai

berdasarkan urutan mereka dalam menyandang kekhilafahan

(kepemimpinan). Sebagaimana telah diutarakan oleh Imam Ibrahim

al-Laqqani Rah a dalam kitabnya Jauharoh al-Tauhid, yang beliau

ungkapkan dalam Ibarah;

220
Kitab Tauhid Dasar
ْٗ ‫ٌخ َـالفَـ‬ ْ َ‫ اٌْف‬ِٟ‫أ َ ِْ ُش ُ٘ـ ُْ ف‬َٚ
ِ ْ ‫نـ ًِ َوب‬ ْٗ ‫ٌخ َـالفَـ‬
ِ ْ‫ ا‬ٟ‫ـ‬
َ ٌِ َٚ ْٓ َِ ُْ ‫ ُش ُ٘ــ‬١ْ ‫ َخ‬َٚ

Sebaik-baik Sahabat Rasulullah SAW adalah mereka yang

memangku kekhilafahan, sedangkan urutan keutamaan mereka

berdasarkan urutan mereka dalam Khilafah..

Imam Nawawi Rah a menyatakan dalam Syarah Shahih Muslim

sebagai berikut: "Kaum Ahlussunah telah bersepakat bahwa yang

paling Afdhol dari para sahabat Rasulullah SAW adalah Abu

Bakar al-Shiddiq Ra, dan setelahnya adalah Umar bin al-Khatthab

Ra, kemudian Mayoritas ulama Ahlussunah menetapkan

keutamaan bagi Utsman Ra dan Ali Ra, dan sebagian Ahlussunah

dari kalangan ulama Kufah lebih mendahulukan keutamaan Ali

Ra dari pada Utsman Ra, namun yang Shahih dan Masyhur

adalah mendahulukan keutamaan Utsman Ra dari Ali bin Abi

Thalib Ra..

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a juga dalam Syarah Shahih

al-Bukhari menukil riwayat dari Imam Baihaqi Rah a dalam kitab al-

I'tiqad dengan sanad yang bersambung kepada Imam Abi Tsaur Rah

a dari Imam Syafi'i Rah a bahwasanya Beliau (Imam Syafi'i Rah a)

berkata; "para Sahabat dan pengikut mereka (para Tabiin) telah

221
Kitab Tauhid Dasar
menyepakati (ber-Ijma') atas keutamaan Abu Bakar Shiddiq Ra,

kemudian Umar Ra, kemudian Utsman Ra dan kemudian Ali bin

Abi Thalib Ra". (Fathul Bari)

Berikut ini adalah sekelumit Biografi para Khalifah tersebut;

1. Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq Ra. Beliau berasal dari Bani

Taim, beliau juga merupakan mertua Rasulullah SAW.

Adapun silsilah beliau adalah: Abu Bakar (Abdullah) bin

Abu Quhafah (Utsman) bin 'Aamir bin 'Amer bin Ka'ab bin

Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib

bin Fiher al-Taimi al-Qurassyi (lihat Fathul Bari dalam

pembahasan Kitab Fadhail al-Shahabah). Dilihat dari silsilah

tersebut, Nasab Beliau bertemu dengan Rasulullah SAW

pada kakeknya yang bernama Murrah bin Ka'ab. Abu Bakar

al-Shiddiq Ra lahir dua tahun setelah Milad Rasulullah SAW,

beliau telah menjadi Sahabat Rasulullah Qablal Bi'tsah, dan

setelah Rasulullah mendapatkan Risalah, Abu Bakar lah yang

pertama membenarkan dan menerima seruan Dakwah

Rasulullah SAW, karena itulah beliau dikenal dengan Laqab

al-Shiddiq, namun menurut satu pendapat gelar al-Shiddiq

disematkan kepada Abu Bakar pada pagi hari setelah

222
Kitab Tauhid Dasar
terjadinya peristiwa Isra Mi'raj Baginda Nabi Muhammad

SAW. Dan kemudian ketika Allah SWT mengizinkan Rasul-

Nya untuk berhijrah ke Madinah, maka Abu Bakar Ra yang

menemani perjalanan Rasulullah SAW seperti disebutkan

dalam Nash Al-Qur'an. Abu Bakar Ra dibaiat sebagai

Khalifah pada hari wafatnya Rasulullah SAW di Saqifah

(beranda) Bani Sa'idah, wafat pada hari Senin 10 hari

terakhir (Mujazul Kalam) atau 8 hari terakhir (Itmamul

Wafaa fi Siiratil Khulafaa) bulan Jumadil Akhir pada usia 63

tahun lebih beberapa bulan setelah mengemban Khilafah

dengan Amanah selama 2 tahun, 3 bulan dan 10 hari,

sedangkan menurut pendapat lain 3 tahun 20 hari.

2. Sayyidina Umar bin Khattab Ra. Beliau adalah putra al-

Khatthab bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riyah bin Abdillah

bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib

bin Fiher. Jadi beliau berasal dari Bani Adi dan Nasabnya

bertemu dengan Rasulullah SAW pada kakeknya yang

bernama Ka'ab bin Luay. Beliau dikenal juga dengan nama

Kuniyah Abu Hafesh, sedangkan nama Laqabnya ialah Al-

Faruq menurut kesepakatan ulama. Konon Rasulullah SAW

223
Kitab Tauhid Dasar
sendiri yang menggelarinya demikian, sedangkan menurut

riwayat Imam Az Zuhri Rah a Laqab tersebut disebutkan

oleh Ahlul Kitab, sedangkan menurut riwayat Imam Baghawi

berasal dari Jibril As. Umar Ra lahir 13 tahun setelah Milad

Rasulullah SAW, dan dibaiat sebagai Khalifah pada hari

kewafatan Abu Bakar Ra, ketika itu beliau berusia 52 tahun,

dan beliau menjalankan tugas kehilifahan dengan penuh

keadilan selama 10 tahun 6 bulan 4 hari. Umar Ra wafat

dibunuh oleh Abu Lukluah la'anahullah (budak dari

Mughirah bin Syu'bah Ra) pada 4 hari terakhir Dzulhijjah

tahun 23 H pada usia 63 tahun.

3. Sayyidina Utsman bin Affan Ra. Beliau adalah Utsman bin

Affan bin Abil 'Ash bin Umayyah bin Abdi Syames bin Abdi

Manaf. Dalam Silsilah tersebut dapat diketahui bahwa Nasab

Beliau bertemu dengan Rasulullah SAW pada kakeknya yang

bernama Abdi Manaf. Terdapat suatu riwayat dari Imam Az

Zuhri Rah a, Utsman Ra memiliki nama Kuniyah Abu

Abdillah, dengan menggunakan nama putra beliau dari

Sayyidah Ruqayyah binti Rasulullah SAW yang bernama

Abdullah, namun Abdullah meninggal di masa kecilnya.

224
Kitab Tauhid Dasar
Utsman Ra lahir pada tahun-5 setelah Milad Rasulullah SAW

dan dibaiat sebagai Khalifah pada permulaan bulan

Muharram tahun 24 H, tepatnya 3 hari setelah wafatnya

Sayyidina Umar bin Khattab Ra. Dan Beliau Ra wafat

dibunuh oleh Abdurrahman bin Udais al-Mishri pada hari

Jumat 18 Dzulhijjah tahun 35 H pada usia 82 tahun.

4. Ali bin Abi Thalib Ra. Menurut Syeikh Muhammad

Khudhari Bik Rah a dalam Itmamul Wafaa fii Siiratil

Khulafaa, Ali Ra lahir pada tahun ke-32 dari Milad

Rasulullah SAW, dan setelah Rasulullah SAW mendapatkan

Risalah, Ali Ra mendapatkan Hidayah sebelum masa

balighnya. Ali Ra dibaiat sebagai Khalifah pada 5 hari tersisa

dari bulan Dzulhijjah tahun 35 H dan beliau wafat dibunuh

oleh Ibnu Muljam La'anahullah setelah menjalani

kekhilafahan selama 4 tahun 7 bulan beberapa hari.

225
Kitab Tauhid Dasar
BAB XIV
ISTRI-ISTRI RASULULLAH SAW

Sheikh Ahmad Marzuq Rah a berkata;

ٝ‫ اٌْ ُّ ْمز َ ٰف‬َّٟ ‫بخز َ ْش َْ إٌَّ ِج‬


ْ َ ‫ّ ْش َْ ف‬١ِ ‫ُخ‬ ٝ‫ط ٰف‬ ْ ُّ ٌْ‫فَبحُ ا‬َٚ ‫ ٍح‬َٛ ‫غ‬
َ ‫ق‬ ْ ِ‫ػ َْٓ ر‬
ْ ِٔ ‫غ ِغ‬

ْٗ ‫ َس ِْــٍَـ‬َٚ ٌ‫ٔـَـخ‬ٛ‫ـ ُّ ْـ‬١ْ ‫َّــخٌ َِــ‬١‫فـ ِفـ‬


َ ْٖ ‫ َد‬ٛ‫ــ‬
ْ ‫ع‬ َ َٚ ٌ‫قـخ‬
َ ‫ َدـ ْفـ‬َٚ ٌ‫ػَــبئِـؾَــخ‬

ْ َّ١‫ـبدٌ َِ ْش ِمـ‬َٙ ‫ـٓ أ ُ َِّـ‬


‫ـخ‬ ْ ُّ ‫ٌِ ٍْـ‬
َ ١ْ ‫ــئ ِِـِٕـ‬ ْٗ ‫َّــ‬٠‫ــش‬ َ ‫ــت وَــزَا ُج‬
ِ ٠ْ ٛ‫ـ‬ ٌ َٕ‫ـ‬٠ْ ‫ َص‬َٚ ‫ِ٘ـ ْٕــ ٌذ‬

Al-Mushthafa SAW wafat meninggalkan sembilan orang istri,

mereka pernah diberikan pilihan (antara dunia atau hidup

bersama Nabi SAW), maka mereka memilih hidup bersama Nabi

Muhammad SAW Sang Teladan,

Mereka adalah Aisyah R ha, Hafshah R ha, Saudah R ha,

Shafiyah R ha, Maimunah R ha, Ramlah R ha, ..

Dan kemudian Hindun R ha, Zainab R ha, dan Juwariyah R ha,

mereka semua adalah Ummahatul Mukminin Radhiyallahu

'anhunna..

Penjelasan.

Tiga bait Syair diatas menjelaskan tentang istri-istri Baginda Nabi

Muhammad SAW yang mana disebutkan bahwasanya ketika Beliau

226
Kitab Tauhid Dasar
SAW wafat, Beliau SAW meninggalkan 9 orang Istri yang mana

nama-nama mereka tercantum dalam bait-bait syair tersebut.

Adapun istri-istri Rasulullah SAW yang wafat dimasa hidup Beliau

SAW, menurut Sayyid Muhammad bin Ali Baathiyah Rah a ada 3

orang istri, yaitu:

 Sayyidah Khadijah binti Khuwailid R ha. Khadijah R ha

adalah istri yang pertama dinikahi Rasulullah SAW, Beliau

SAW menikahinya di kota Makkah sebelum Nubuwwah,

sebelumnya Khadijah R ha adalah istri dari Abi Halah, dari

Abi Halah lahirlah Hindun bin Abi Halah dan Zainab binti

Abi Halah, dan sebelum menikah dengan Abi Halah,

Khadijah R ha juga pernah menikah dengan Atiq bin 'Aaidz

al-Makhzumi, dari Atiq bin 'aaidz lahirlah Abdullah dan

Jariyah. Ketika Rasulullah SAW menikahi Khadijah R ha,

Beliau SAW tidak menikahi wanita lainnya sampai wafatnya

Khadijah R ha, putra putri Rasulullah SAW selain Ibrahim

adalah berasal dari Sayyidah Khadijah R ha sebagaimana

telah dijelaskan pada pembahasan yang lalu.

 Sayyidah Zainab binti Khuzaimah R ha. Zainab binti

Khuzaimah R ha adalah saudari seibu Maimunah binti Harits

227
Kitab Tauhid Dasar
R ha, karena kedermawanannya dan sifat belas kasihnya

kepada para fakir miskin, Zainab R ha dikenal juga dengan

Laqab Ummul Masaakiin, Zainab binti Khuzaimah R ha

menjalani hidup bersama Nabi Muhammad SAW selama dua

atau tiga bulan sehingga wafat pada usia 30 tahun dan

dikebumikan di pemakaman Baqi' Madinah.

 Sayyidah Raihanah binti Yazid R ha. Raihanah R ha

berasal dari Bani Nadhir, namun sebelum hidup bersama

Rasulullah SAW beliau telah diperistri oleh seseorang yang

berasal dari Yahudi Bani Quraizhah, maka pada saat

terjadinya peristiwa peperangan Bani Quraizhah yang

disebabkan pengkhianatan mereka dalam melanggar

perjanjian antara mereka dengan kaum Muslimin, Bani

Quraizhah mengalami kekalahan, sehingga kaum mereka

beserta para wanita mereka menjadi tawanan, termasuk

Raihanah, dan pada saat menjadi tawanan Raihanah sempat

ditawari untuk memeluk Islam, semula Ia sempat menolak,

namun dikemudian hari Ia pun menerima Islam sebagai

agamanya, setelah itu Raihanah dimerdekakan dan dinikahi

Rasulullah SAW pada bulan Muharram tahun ke-6 H,

228
Kitab Tauhid Dasar
Raihanah R ha adalah wanita yang sangat pencemburu,

karena sifatnya tersebut Rasulullah SAW sempat

mentalaknya dengan Talak satu, atas hal itu Raihanah R ha

sangat bersedih dan sering menangis, akhirnya Rasulullah

SAW merujuknya kembali, Raihanah R ha terus hidup dalam

rumah tangga Nabi SAW sehingga Ia wafat sepulangnya

Rasulullah SAW dari Haji Wada', Ummul Mukminin

Raihanah R ha dikebumikan di pemakaman Baqi' Madinah.

Namun para sejarawan berselisih pendapat apakah Raihanah

R ha dinikahi Rasulullah SAW atau tetap bersetatus sebagai

budak, Wallahu A'lam.

Sayyid Ahmad Marzuq Rah a mengungkapkan perihal sembilan

orang istri Rasulullah SAW yang masih hidup setelah wafatnya

Beliau SAW dengan ungkapan; ٝ‫ اٌّمزف‬ٟ‫شْ فبخزشْ إٌج‬١‫ خ‬, maksudnya

ialah bahwasanya mereka pernah diberikan salah satu dari dua pilihan

oleh Allah SWT, yakni memilih antara dunia dengan segala

perhiasannya yang kemudian akan diceraikan oleh Rasulullah SAW

atau tetap hidup bersama Rasulullah SAW dengan semata-mata

mengharap keridhaan-Nya dan kebahagiaan negeri Akhirat, maka

229
Kitab Tauhid Dasar
atas kedua pilihan tersebut kesembilan istri Rasulullah SAW tersebut

memilih hidup mendampingi Baginda Nabi Muhammad SAW.

Penawaran atas dua pilihan tersebut disebutkan dalam firman Allah

SWT:

ُّ ‫ب ٱٌٕه ِج‬َٙ ُّ٠َ‫َاأ‬٠ٰ


َ ُ ‫أ‬َٚ ٓ‫َٓ أ ُ َِ ِز ّؼۡ ُى ه‬١ۡ ٌَ‫ب فَزَؼَب‬َٙ َ ‫َٕز‬٠‫ ِى‬َٚ ‫َب‬١ُّٔۡ ‫ح َ ٱٌل‬ٰٛ َ١‫ ِع َه ِئْ ُوٕز ُ هٓ ر ُ ِو ۡكَْ ۡٱٌ َؾ‬َٚ ٰ ‫ لًُ ِّأل َ ۡى‬ٟ
ٓ‫ٍ ِ ّو ۡؽ ُى ه‬

ِ َٰٕ َِ ‫ػله ٌِ ٍۡ ُّ ۡؾ‬


ٓ‫ذ ِِٕ ُى ه‬ ‫هاه ۡٱأل ا ِف َوح َ فَاِ هْ ه‬
َ َ ‫ٱّٰللَ أ‬ َ ‫ٱٌل‬َٚ ُ‫ٌَٗۥ‬ٍٛ ‫ ِئْ ُوٕز ُ هٓ ر ُ ِو ۡكَْ ه‬َٚ )ٕ٦( ‫َل‬١ٗ ِّ ‫اؽب َع‬
ُ ‫ َه‬َٚ َ‫ٱّٰلل‬ ٗ ‫ٍ َو‬
َ

َ ‫أ َ ۡعوا‬
}ٕ٣-ٕ٦ : ‫سح األدضاة‬ٛ‫ٕ) {ع‬٣( ‫ّب‬١ٗ ‫ػ ِظ‬

"Hai Nabi, katakanlah pada istri-istri-mu: "jika kamu sekalian

mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah

supaya kuberikan kepadamu mut'ah (pemberian kepada wanita

yang dicerai suaminya) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang

baik (28).

Dan jika kamu sekalian menghendaki (Keridhaan) Allah dan

Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri Akhirat, maka

sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di

antaramu pahala yang besar" (29).(QS Al Ahzab 28-29)

Berikut ini adalah sekelumit Biografi para Ummahatul Mukminin

yang masih hidup setelah wafatnya Rasulullah SAW:

230
Kitab Tauhid Dasar
1. Sayyidah Aisyah R ha. Aisyah R ha adalah putri Abu Bakar

al-Shiddiq Ra, ibunya bernama Ummu Ruman, Ia dilahirkan

di kota Makkah pada masa 8 tahun sebelum Hijrah yang

berarti beliau R ha lahir dalam Islam, beliau R ha dinikahi

Rasulullah SAW pada usia 7 tahun menurut satu pendapat,

namun tinggal bersama Rasulullah SAW pada bulan Syawal

tepatnya 8 bulan setelah Hijrah yang ketika itu beliau R ha

berusia 9 tahun, pada saat Rasulullah SAW wafat, Aisyah R

ha berusia 18 tahun dan masih hidup setelahnya sehingga

hampir 50 tahun, Rasulullah SAW tidak menikahi wanita

yang perawan selain dari Aisyah R ha, Aisyah R ha adalah

wanita yang sangat cerdas, beliau R ha banyak meriwayatkan

hadits Rasulullah SAW, sehingga konon seperempat hukum-

hukum Syariat dinukil dari Sayyidah Aisyah R ha. Beliau R

ha wafat pada tahun ke-58 H di usia hampir 67 tahun pada

masa pemerintahan Muawiyah Ra, jenazah beliau R ha

dishalatkan oleh Sahabat Abu Hurairah Ra dan kemudian

dimakamkan di pemakaman Baqi' Madinah.

2. Sayyidah Hafshah binti Umar R ha. Hafshah R ha lahir

pada 5 tahun sebelum Nubuwwah, pada mulanya beliau R ha

231
Kitab Tauhid Dasar
menikah dengan Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, ketika

Khunais telah wafat Hafshah R ha dinikahi Rasulullah SAW

pada bulan Sya'ban sekitar 30 bulan setelah Hijrah menurut

pendapat yang Masyhur, pernikahan tersebut terjadi setelah

perang Uhud dan ketika itu Hafshah R ha berusia 20 tahun,

Hafshah R ha wafat pada bulan Sya'ban tahun 45 H pada usia

60 tahun, pada saat itu Kota Madinah di bawah pemerintahan

Gubernur Marwan bin Hakam pada masa Khilafah

Muawiyah Ra.

3. Sayyidah Saudah binti Zam'ah R ha. Rasulullah SAW

menikahi Saudah binti Zam'ah R ha pada bulan Ramadhan

tahun ke-10 Nubuwwah setelah kewafatan Sayyidah

Khadijah R ha, semula ia adalah janda dari Sakran bin 'Amru

Ra yang merupakan saudara sepupunya, Sakran Ra termasuk

diantara Sahabat yang Hijrah ke Habasyah dipermulaan

Islam, sepulangnya dari Habasyah Sakran Ra wafat di kota

Makkah, Saudah R ha wafat pada akhir masa kekhilafahan

Sayyidina Umar bin Khattab Ra menurut pendapat yang

Masyhur.

232
Kitab Tauhid Dasar
4. Sayyidah Shafiyah R ha. Shafiyah R ha adalah putri dari

pemuka Bani Nadhir yang bernama Huyyay bin Akhthab

yang merupakan keturunan dari Nabiyyullah Harun bin

Imran As. Pada mulanya Shafiyah R ha adalah istri dari

seorang Yahudi bernama Salam bin Misykam, setelah itu

Shafiyah dinikahi oleh Kinanah bin Abi Huqaiq, Shafiyah R

ha termasuk diantara Kaum Wanita yang tertawan dalam

peristiwa Khaibar, hingga kemudian Rasulullah SAW

membebaskannya dan menikahinya dengan menjadikan

kebebasannya sebagai maharnya, ketika dinikahi Rasulullah

SAW Shafiyah R ha belum mencapai usia 17 tahun. Ummul

Mukminin Shafiyah R ha wafat pada bulan Ramadhan 50

atau 52 H dan dipusarakan di pemakaman Baqi' di masa

pemerintahan Muawiyah Ra.

5. Sayyidah Maimunah R ha. Maimunah R ha adalah putri

dari Al-Harits bin Huzn, beliau R ha bibi dari sahabat

Abdullah bin Abbas Ra disamping juga bibi dari Khalid bin

Walid Ra, dimasa Jahiliah Maimunah R ha adalah istri dari

Mas'ud bin Amru, kemudian Mas'ud menceraikannya, setelah

itu dinikahi oleh Abu Rahm bin Abdul Uzza al-'Amiri,

233
Kitab Tauhid Dasar
namun tidak lama kemudian Abu Rahm meninggal, dan

barulah pada bulan Syawal tahun ke-7 H Maimunah R ha

dinikahi Rasulullah SAW pada saat Umrah al-Qadha

menurut pendapat Jumhur, Ummul Mukminin Maimunah R

ha wafat disuatu tempat yang dekat dengan Tan'im pada

tahun ke -51 H menurut pendapat yang lebih Shahih pada

usia 80 tahun, Maimunah R ha adalah istri Rasulullah SAW

yang paling terakhir dinikahi diantara Ummahatul Mukminin

Radhiyallahu 'Anhunna.

6. Sayyidah Ummu Habibah (Ramlah) R ha. Ummu Habibah

R ha adalah putri dari Abu Sufyan Shakhr bin Harb Ra,

beliau R ha juga Saudari sepupu Utsman bin Affan Ra,

Ummu Habibah R ha bersama suaminya yaitu Ubaidillah bin

Jahsy pernah berhijrah bersama rombongan kedua yang

berhijrah ke negeri Habasyah yang diantara rombongan

tersebut salah satunya ialah Sahabat Utsman bin Affan Ra, di

negeri Habasyah Ummu Habibah R ha melahirkan seorang

putri yang diberi nama Habibah, namun di negeri itu pula

suaminya (Ubaidillah bin Jahsy) menjadi Murtad dengan

memeluk Agama Nashrani hingga wafat disana, sedangkan

234
Kitab Tauhid Dasar
Ummu Habibah R ha tetap teguh dalam keislamannya,

Rasulullah SAW telah mengutus Amru bin Umayyah Ad-

Dhamiri Ra kepada Najasyi agar menikahkan Beliau SAW

dengan Ummu Habibah R ha dengan memberikan maharnya

sebesar 400 Dinar. Ummul Mukminin Ummu Habibah R ha

wafat pada tahun ke-44 Hijriyah.

7. Sayyidah Ummu Salamah (Hindun) binti Abi Umayyah

bin al-Mughirah al-Makhzumi R ha. Sebelum dinikahi

Rasulullah SAW, Ummi Salamah R ha adalah istri dari Abu

Salamah Ra yang merupakan saudara sepupunya, dari Abu

Salamah Ra beliau R ha mendapatkan putra putri yaitu

Salamah, Umar, Durrah dan Zainab, setelah Abu Salamah

meninggal dunia, Rasulullah SAW menikahinya pada akhir

bulan Syawal tahun ke-4 H dan ketika itu beliau R ha telah

berusia 30 tahun, Ummi Salamah R ha termasuk diantara

Sahabat yang pernah berhijrah ke negeri Habasyah dan ke

Madinah al-Munawwarah, Ummu Salamah R ha Wafat pada

tahun ke-60 H (menurut satu pendapat) yakni pada masa

Khilafah Yazid bin Muawiyah, ketika itu Beliau R ha telah

berusia 84 tahun, Jenazah Ummul Mukminin Ummu

235
Kitab Tauhid Dasar
Salamah R ha dishalatkan oleh Sahabat Abu Hurairah Ra

(pendapat lain Sa'id bin Zaid Ra) dan dimakamkan di

pemakaman Baqi' Madinah.

8. Sayyidah Zainab binti Jahsy R ha. Beliau R ha adalah

putri dari bibi Rasulullah SAW yang bernama Umaimah binti

Abdul Mutthalib, Zainab R ha dinikahi Rasulullah SAW

pada tahun ke-5 H (pendapat lain tahun ke-4 H), ketika itu

Zainab R ha telah berusia 35 tahun, sebelum itu Beliau R ha

adalah istri dari anak angkat Rasulullah SAW Zaid bin

Haritsah Ra, setelah Zaid Ra menceraikannya dan telah habis

masa Iddah nya, Allah SWT sendiri melalui firman-Nya

menikahkan Zainab R ha dengan Rasulullah SAW (lihat QS

Al Ahzab: 37), dengan sebab itulah Zainab R ha merasa

bangga dari Istri-Istri Rasulullah SAW yang lain, yakni telah

dinikahkan dengan Rasulullah SAW secara langsung oleh

Allah SWT dalam Al-Qur'an. Zainab R ha adalah istri

Rasulullah SAW yang pertama menyusul Rasulullah SAW

dengan kewafatannya, Beliau R ha wafat pada tahun ke-20 H

pada masa Khilafah Umar bin Khattab Ra pada usia 53

236
Kitab Tauhid Dasar
tahun, Amirul Mukminin Umar bin Khattab Ra menyolatkan

Jenazahnya sebelum dimakamkan di pemakaman Baqi'.

9. Sayyidah Juwairiyyah binti al-Harits R ha. Sebelumnya

Beliau R ha termasuk diantara tawanan Bani Mushthaliq dari

kabilah Khuza'ah, kemudian dalam pembagian Ghanimah

Beliau R ha menjadi bagian bagi seorang sahabat bernama

Tsabit bin Qais al-Anshari Ra, Tsabit Ra menetapkan

kebebasan Juwairiyyah Ra secara Mukatabah sebesar 9

Uqiyah Emas, maka Rasulullah SAW membayarkannya dan

kemudian menikahinya, ketika itu Juwairiyyah R ha berusia

20 tahun, Ummul Mukminin Juwairiyyah R ha Wafat pada

bulan Rabiul Awwal tahun 56 H di Usia 70 tahun (pendapat

lain 65 tahun), Jenazah Beliau R ha di Shalatkan oleh

Marwan bin Hakam Gubernur Madinah.

Khushushiyyah Rasulullah SAW.

Dalam pembahasan mengenai istri-istri Baginda Nabi Muhammad

SAW, sering sekali para ulama menerangkan tentang Khushushiyyah

Rasulullah SAW, karena tidak jarang timbul pertanyaan di kalangan

237
Kitab Tauhid Dasar
orang Awam mengenai perkara yang Musykil bagi mereka dalam

masalah pernikahan Rasulullah SAW.

Diantara perkara yang Musykil tersebut ialah tentang jumlah istri

Rasulullah SAW yang lebih dari empat orang dalam satu masa,

sebagaimana disebutkan dalam Nazhom diatas bahwasanya

Rasulullah SAW meninggalkan sembilan orang istri ketika Wafatnya,

padahal dalam Syariat telah dijelaskan ketetapan bahwa seseorang

hanya diperbolehkan menikahi wanita yang tidak lebih dari empat

orang wanita dalam satu masa.

Maka para ulama telah menjelaskan bahwa bagi Rasulullah SAW

terdapat Khushushiyyah, yakni Jaiz atau diperbolehkan bagi Beliau

SAW untuk menikahi wanita lebih dari empat orang, karena Beliau

SAW adalah seorang yang Aman dan terjaga (Ma'shum) dari berbuat

ketidakadilan.

Menurut Sayyid Muhammad bin Ali Baathiyah Rah a, pada mulanya

setelah Rasulullah SAW menikahi sembilan orang wanita tersebut,

turunlah ayat Al-Qur'an yang mengharamkan Beliau menikahi wanita

lain setelah mereka, namun beberapa masa kemudian turunlah ayat

yang lain yang menghapus (Nasikh) hukum keharaman tersebut,

238
Kitab Tauhid Dasar
namun meskipun telah diperbolehkan bagi Beliau SAW, Beliau SAW

tidak melakukannya lagi.

Menurut para ulama ayat yang mengharamkan Beliau SAW menikah

lagi yang kemudian di Mansukh (dihapus) hukumnya adalah Firman

Allah SWT;

‫ٓ اال ِب ٍِىذ‬ٕٙ‫ أػججه دغ‬ٌٛٚ ‫ط‬ٚ‫ٓ ِٓ أص‬ٙ‫ال أْ رجذي ث‬ٚ ‫ذً ٌه إٌغبء ِٓ ثؼذ‬٠ ‫ال‬
ٍٝ‫ل‬
... ‫ٕه‬١ّ٠

"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah

itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri

(yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali

perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki .."

(QS Al Ahzab : 52)

Dalam menafsirkan ayat diatas Imam Ibnu Katsir Rah a menyebutkan

dalam Tafsirnya yaitu bahwasanya bukan hanya satu orang akan

tetapi banyak ulama seperti Ibnu Abbas Ra, Mujahid Rah a, Dhahhak

Rah a, Qatadah Rah a, Ibnu Zaid Rah a, Ibnu Jarir Rah a dan lain-lain

yang menyatakan bahwa ayat ini diturunkan sebagai balasan bagi

istri-istri Rasulullah SAW dan sebagai Keridhaan Allah kepada

mereka atas kebaikan perilaku mereka karena telah memilih Allah

dan Rasul-Nya serta kesenangan negeri Akhirat tatkala mereka

239
Kitab Tauhid Dasar
diberikan salah satu dari dua pilihan seperti disebutkan dalam ayat

sebelumnya (QS Al Ahzab : 28-29), maka ketika mereka memilih

hidup bersama Rasulullah SAW, Allah membalas kebaikan mereka

dengan membatasi Rasulullah SAW agar selalu bersama mereka, dan

haram bagi Beliau SAW menikahi wanita selain mereka atau

menggantikan posisi mereka dengan wanita lainnya meskipun

kecantikan wanita lain tersebut menarik hati Beliau SAW, lain halnya

jika budak wanita, tidak mengapa bagi Beliau SAW, namun

sesungguhnya Allah SWT telah mengangkat keharaman tersebut dan

menghapus hukum pada ayat tersebut, Allah SWT telah

membolehkan bagi Beliau SAW untuk menikah lagi, namun

meskipun telah diperbolehkan, Rasulullah SAW tidak melakukannya

sebagai penghargaan Rasulullah SAW atas istri-istri Beliau SAW

tersebut (Tafsir Al-Qur'an al-'Azhiim).

Kemudian, jika hukum keharaman menikah lagi bagi Rasulullah

SAW telah di-Mansukh, manakah dalil yang menghapusnya?

Dalam hal ini Imam Qurthubi memberikan komentar dengan

mengutip beberapa pendapat para ulama dalam Tafsirnya, diantara

pendapat tersebut ialah bahwasanya ayat diatas telah di-Mansukh

oleh As-Sunnah, yaitu Hadits Aisyah R ha berikut ini;

240
Kitab Tauhid Dasar
.‫ ٌٗ إٌغبء‬ٌٝ‫ أدً هللا رؼب‬ٝ‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص دز‬ٛ‫ ِب ِبد سع‬: ‫ب‬ٕٙ‫ هللا ػ‬ٟ‫لبٌذ ػبئؾخ سم‬

.‫خ‬١‫لبي دغٓ فذ‬ٚ ٞ‫اٖ اٌزشِز‬ٚ‫س‬

Aisyah R ha berkata: "tidak lah Rasulullah SAW Wafat sehingga

Allah SWT telah menghalalkan bagi Beliau menikahi wanita"

(HR Turmudzi)

Pendapat lainnya mengatakan bahwa ayat tersebut telah

dihapus hukumnya oleh Ayat yang lain sebagaimana disebutkan

dalam riwayat Imam Thahawi Rah a dari Ummi Salamah R ha

sebagai berikut;

‫ط‬ٚ‫زض‬٠ ْ‫ ٌٗ أ‬ٌٝ‫ أدً هللا رؼب‬ٝ‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص دز‬ٛ‫ّذ سع‬٠ ٌُ : ‫ب لبٌذ‬ٕٙ‫ هللا ػ‬ٟ‫ػٓ أَ عٍّخ سم‬

ٞٚ‫رئ‬ٚ ِٕٓٙ ‫ ِٓ رؾبء‬ٟ‫ {رشج‬: ً‫ج‬ٚ ‫ٌٗ ػض‬ٛ‫ر ٌه ل‬ٚ ، َ‫ِٓ إٌغبء ِٓ ؽآء اال راد ِذش‬

} ... ‫ه ِٓ رؾبء‬١ٌ‫ا‬

Dari Ummu Salamah R ha Ia berkata: "Rasulullah SAW tidak

Wafat sehingga Allah SWT telah menghalalkan Beliau untuk

menikahi wanita mana saja yang Beliau kehendaki, kecuali wanita

mahramnya, yang membolehkannya ialah Firman Allah SWT yang

artinya "kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu

kehendaki di antara mereka (istri-istri-mu) dan boleh (pula)

menggauli siapa yang kamu kehendaki ... (QS Al Ahzab: 51).

(HR Imam Thahawi)


241
Kitab Tauhid Dasar
Menurut Imam Qurthubi Rah a, pendapat yang kedua ini (di-

Mansukh dengan Al-Qur'an) adalah sependapat dengan perkataan

Aisyah R ha (di-Mansukh dengan al-Sunnah) dalam hal penghapusan

hukumnya, dan bisa dimungkinkan bahwa yang dimaksudkan oleh

Sayyidah Aisyah R ha dalam perkataannya adalah bahwa hukum

keharaman menikah lagi bagi Rasulullah SAW itu telah dihalalkan

dengan Al-Qur'an. Dan ini juga merupakan pendapat Imam Ali bin

Abi Thalib Ra, Ibnu Abbas Ra, Ali bin Husein Ra, dan Imam

Dhahhak Rah a.

Dan menurut para ulama, Khushushiyyah yang ada bagi Baginda

Rasulullah SAW bukan sebatas kebolehan menikahi wanita lebih dari

empat orang saja, akan tetapi diperbolehkan juga bagi Beliau SAW

menikahi wanita tanpa adanya wali, saksi dan mahar.

Tentang Khushushiyyah Rasulullah SAW para ulama telah

membaginya dalam 4 bagian, yaitu;

 Mubahat / Takhfifat (kebolehan /keringanan), di antara

contohnya adalah puasa Wishal, yakni menyambungkan

puasa di siang hari dengan tetap menahan diri pada

malamnya (Imsak) dari yang membatalkan seperti makan

242
Kitab Tauhid Dasar
minum dan berjima' dengan terus disambungkan pada puasa

hari berikutnya.

 Muharramat (diharamkan), di antara contohnya adalah

memakan harta Zakat, menggubah syair dan sebagainya.

 Wajibat (kewajiban), diantaranya adalah Bahwa bagi Beliau

SAW wajib hukumnya mengerjakan shalat Tahajjud,

bersiwak setiap hendak mengerjakan Shalat, bermusyawarah

dan lain-lain.

 Fadhail wal Ikram (keutamaan dan kemuliaan bagi Beliau

SAW), di antara contohnya ialah bahwasanya pernikahan

bagi Beliau SAW merupakan Ibadah Secara Mutlak, berbeda

dengan umatnya, bagi umatnya pernikahan bukan mutlak

sebagai Ibadah, yakni berbeda-beda hukumnya menurut

keadaan tertentu (bersifat 'Aridhah), kadang diperbolehkan

dan terkadang diharamkan, demikian juga mengenai istri-istri

Beliau SAW, mereka lebih utama dari para wanita lainnya

dari umatnya, karenanya pahala kebaikan yang mereka

kerjakan akan dilipatgandakan sebagaimana juga dosa-dosa

yang mereka lakukan akan dilipatgandakan dari pada dosa-

dosa para wanita lainnya dari umatnya. Khushushiyyah

243
Kitab Tauhid Dasar
Rasulullah SAW yang bersifat Fadhail atau keutamaan telah

kami terangkan dalam pembahasan mengimani para Anbiya

'alaihim al-Shalatu was Salam.

Hikmah dibalik Poligami Rasulullah SAW.

Fakta yang menyebutkan tentang rumah tangga Rasulullah SAW

yang berbeda dengan umatnya sering sekali menjadi bahan cibiran

dari mereka yang antipati terhadap Islam dan ajarannya, terutama

dari kalangan Orientalis yang selalu mencari celah untuk

menjatuhkan Islam, berbagai tuduhan mereka lontarkan, diantara

tuduhan mereka ialah bahwasanya Poligami yang telah dipraktekkan

oleh Rasulullah SAW itu bertentangan dengan ajaran Islam itu

sendiri yang membatasi jumlahnya maksimal hanya empat orang istri

saja seperti dinyatakan dalam Al-Qur'an (QS An-nisa : 3), dan ada

juga yang menuduhkan bahwasanya pernikahan Beliau SAW itu

hanya berdasarkan nafsu birahi, Sehingga tidak sedikit mereka yang

berani menghina Rasulullah SAW dengan sesuatu yang tidak

sepantasnya.

Mereka menyangka bahwa tuduhan itu dapat memadamkan cahaya

(agama) Allah, padahal Allah SWT akan tetap menyempurnakan

cahaya-Nya.
244
Kitab Tauhid Dasar
Terhadap tuduhan tentang banyaknya istri Rasulullah SAW yang

disebut bertentangan dengan ajaran Islam, maka telah dijelaskan

sebelumnya bahwa hal itu merupakan Khushushiyyah bagi Beliau

SAW, dan adapun tuduhan bahwa pernikahan itu berdasarkan nafsu,

maka tuduhan tersebut tidak berdasar, karena kenyataannya

Rasulullah SAW pada masa permulaan berumah tangga hanya

menikah dengan Khadijah R ha yang merupakan seorang janda

berusia 40 tahun, Rasulullah SAW tidak menikahi wanita lain sampai

Khadijah R ha Wafat dan ketika itu Beliau sudah berusia sekitar 50

tahun.

Kemudian jika kita memperhatikan dengan Inshaf setelah wafatnya

Khadijah R ha, Rasulullah SAW menikah lagi dan berpoligami,

kapankah waktu Beliau untuk bersenang-senang?, justru Rasulullah

SAW senantiasa sibuk dengan urusan Agama, dengan berdakwah dan

Jihad melawan musuh-musuh Islam, disamping juga senantiasa

beribadah siang dan malam sehingga diriwayatkan bahwa kaki Beliau

SAW bengkak-bengkak karena banyaknya Ibadah Beliau SAW

kepada Rabb-Nya, jadi banyaknya Istri Beliau SAW tidak

menghalangi Beliau SAW dalam menyampaikan Risalah Nubuwwah,

Ibadah dan Jihad fi Sabilillah. dan menurut para ulama tiadalah

245
Kitab Tauhid Dasar
Rasulullah SAW menikahi dan menghimpun beberapa wanita

melainkan pasti mengandung banyak hikmah yang hanya bisa

difahami oleh orang yang memiliki akal yang sehat dan pikiran yang

jernih.

Menurut para ulama, setidaknya ada beberapa tujuan Agung dan

hikmah dari pernikahan Rasulullah SAW, antara lain;

 Agar tercipta hubungan yang kuat (Shilah Qawiyyah) antara

Beliau SAW dengan beberapa tokoh para sahabat utama

Beliau SAW seperti yang terdapat pada pernikahan Beliau

SAW dengan putri sahabat Abu Bakar al-Shiddiq Ra (Aisyah

R ha) dan putri sahabat Umar bin Khattab Ra (Hafshah R

ha), hal ini menjadi penyebab semakin mudahnya urusan

Beliau SAW dengan kedua orang sahabat terdekatnya

tersebut dalam bahu membahu menyebarkan Islam.

 Seperti telah diketahui bahwasanya seluruh kehidupan

Rasulullah SAW adalah suatu pelajaran dan teladan yang

baik bagi seluruh umat Beliau SAW, maka dalam pernikahan

Beliau SAW terhadap banyak wanita tersebut memiliki

banyak manfaat bagi umat ini, karena dari Istri-Istri Beliau

SAW itulah sampainya riwayat-riwayat tentang kehidupan

246
Kitab Tauhid Dasar
sehari-hari Beliau SAW, hal ini bisa dimaklumi karena orang

Yang paling tahu tentang sifat dan keseharian suaminya

pastilah istrinya, betapa banyak hadits-hadits Rasulullah

SAW yang sampai kepada kita melalui periwayatan mereka

yang berkenaan dengan kehidupan berumahtangga,

Mu'asyarah suami istri, masalah haidh, nifas mandi Janabat

dan lain-lain, disamping istri-istri Beliau SAW juga

merupakan partner Beliau SAW dalam menyampaikan

Risalah Nubuwwah, hikmah ini disebut dengan Hikmah

Ta'limiyah.

 Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Sebagian istri-

istri Beliau adalah janda-janda yang telah beriman kepada

Allah SWT, mereka telah berpisah dengan suami-suami

mereka sebelumnya, dan diantara mereka juga telah memiliki

putra dan putri, maka agar kehidupan mereka tidak terlantar,

Rasulullah SAW mengasuh dan memelihara mereka dengan

menikahinya, hikmah seperti ini disebut dengan Hikmah

Ijtima'iyah (Hikmah Sosial)

 Sejak Rasulullah SAW mengemban Risalah Nubuwwah, satu

demi satu suku-suku yang ada di jazirah Arab menampakkan

247
Kitab Tauhid Dasar
permusuhan, tidak hanya kaum kafir Quraisy, tetapi juga

dengan kaum-kaum Yahudi yang ada di Madinah, Rasulullah

SAW melihat bahwasanya dengan menikahi wanita mereka

akan mengurangi gejolak permusuhan dengan mereka,

karena diantara tradisi orang Arab ialah senantiasa

melindungi siapa saja yang menikahi wanita mereka, dan hal

ini terbukti efektif seperti yang terjadi pada pernikahan

Beliau SAW terhadap Shafiyah R ha putri dari Huyay bin

Akhthab seorang tokoh Yahudi Bani Nadhir, dan pada

pernikahan Beliau SAW dengan Juwairiyyah R ha yang

berasal dari Bani Mushthaliq yang terbukti menjadi

keberkahan bagi kaumnya, sebagaimana yang dikatakan

Aisyah R ha dalam satu riwayat: "kami belum mengetahui

seorang wanita yang paling banyak membawa berkah bagi

kaumnya selain dari Juwairiyyah R ha". Hikmah ini

dinamakan dengan Hikmah Siyasiyyah (tujuan politik).

248
Kitab Tauhid Dasar
BAB XV
PAMAN DAN BIBI RASULULLAH SAW

Sheikh Ahmad Marzuq Rah a berkata;

‫َّخٌ رَادُ ادْ ـزِـزَا‬١‫ف ِفـ‬


َ ُُٗ‫ػ َّّـز‬
َ ‫ـبط وَـزَا‬ َ َٚ ُُّّٗ ‫ـضحُ ػَـ‬
ٌ َّ‫ػج‬ َ ّ‫ـ‬
ْ ‫َد‬

Hamzah Ra dan Abbas Ra adalah paman Rasulullah SAW,

demikian juga Shafiyah R ha yang taat adalah Bibi Rasulullah

SAW.

Penjelasan

Bait Syair diatas menyebutkan sebagian diantara paman dan Bibi

Rasulullah SAW, yakni Sayyidina Hamzah Ra, Sayyid Abbas Ra dan

Sayyidah Shafiyah R ha.

Secara keseluruhan, paman-paman (A'mam) Rasulullah SAW

berjumlah 12 orang, perincian mereka adalah sebagai berikut;

1. Hamzah Ra. Beliau adalah paman sekaligus Saudara

sesusuan Rasulullah SAW, karena keduanya pernah disusui

oleh Tsuwaibah, Ibunda Hamzah Ra bernama Halah binti

Uhaib, Beliau Ra 4 tahun lebih tua dari Rasulullah SAW

(pendapat lain mengatakan 2 tahun), Beliau Ra adalah yang

249
Kitab Tauhid Dasar
mendapat julukan Asadullah wa Asadu Rasulillah (singa

Allah dan Singa Rasul-Nya) karena keberaniannya. Hamzah

Ra telah berjuang bersama Rasulullah SAW dan turut serta

dalam perang Badar dan perang Uhud, dan di medan Uhud

lah Beliau Ra gugur sebagai Syahid ditangan Wahsyi, ketika

itu terdapat sekitar 80 luka tebasan pedang, tusukan tombak

dan hunjaman panah ditubuhnya, karena itulah Beliau Ra

dijuluki Rasulullah SAW sebagai Sayyid al-Syuhadaa

(pemimpin para Syuhada) seperti disebutkan dalam riwayat

Imam Hakim Rah a.

2. Abbas Ra. Ibundanya bernama Qailah binti Hayyan, Beliau

Ra adalah paman Rasulullah SAW yang paling muda,

usianya 2 tahun lebih tua dari Rasulullah SAW, pada

peristiwa perang Badar, Abbas berada di barisan kaum

Musyrikin Quraisy dalam keadaan terpaksa, karena kaum

musyrikin Quraisy mengalami kekalahan dalam peperangan

tersebut, jadilah Beliau termasuk diantara tawanan yang

tertawan, setelah menebus kebebasan dirinya Beliau pun

masuk Islam secara diam-diam sampai terjadi Fathu Makkah

(pembebasan Kota Makkah), Beliau tetap kokoh dalam

250
Kitab Tauhid Dasar
agamanya bahkan tetap bertahan dalam perang Hunain

bersama Rasulullah SAW, Abbas Ra wafat pada tahun ke-32

H pada usia 88 tahun dan jenazahnya di Shalatkan Sahabat

Utsman bin Affan Ra

3. Abu Thalib. Ibunya bernama Fathimah binti Amru bin Abid,

yang juga merupakan Ibu bagi Abdullah ayah Rasulullah

SAW, Rasulullah SAW pernah hidup dalam asuhan Abu

Thalib sejak usia 8 tahun hingga dewasa, dan tidak diragukan

bahwa Abu Thalib sangat menyayangi Rasulullah SAW dan

senantiasa membela Beliau SAW dari ancaman kaum kafir

Quraisy.

4. Abu Lahab. Ibunya bernama Layin binti Hajir, nama aslinya

ialah Abdul Uzza, dipanggil dengan nama Abu Lahab

dikarenakan wajahnya yang indah dan terang laksana bara

yang menyala. Abu Lahab termasuk orang kafir sebagaimana

telah di-Nash-kan dalam Al-Qur'an, Ia sangat memusuhi

Rasulullah SAW dan selalu merintangi dakwahnya, dalam

suatu Khabar yang diriwayatkan Imam Bukhari Rah a, dan

para Ahli Hadits yang lain juga telah menukilnya yang

diantaranya adalah Imam Baihaqi Rah a, Imam Abdur

251
Kitab Tauhid Dasar
Razzaq Rah a, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a, al-

Hafizh Ibnu Katsir Rah a dan lain-lain menceritakan

bahwasanya pada setiap hari Senin, Abu Lahab mendapatkan

keringanan siksa di Neraka, hal itu dikarenakan Abu Lahab

telah memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah

ketika budaknya tersebut memberikan kabar gembira tentang

kelahiran Nabi Muhammad SAW.

5. Al-Harits. Ibunya bernama Tsamrah binti Jundub, Ia adalah

putra Abdul Mutthalib yang tertua, karenanya Abdul

Mutthalib juga dipanggil dengan nama Kuniyah Abul Harits,

Al-Harits tidak mendapatkan Islam karena memang tidak

menjumpai masa Bi'tsah Rasulullah Saw.

6. Zubair. Ibunya ialah Fathimah binti Amru bin Abid yang

juga merupakan Ibu bagi Abdullah ayah Rasulullah SAW,

Zubair juga tidak mendapatkan masa Bi'tsah Rasulullah

SAW.

7. Jahel. Ia saudara seayah dan seibu dengan Hamzah Ra, nama

aslinya ialah Mughirah.

252
Kitab Tauhid Dasar
8. Abdul Ka'bah. Ia saudara seayah seibu dengan Abdullah, Ia

juga tidak mendapatkan masa Bi'tsah dan tidak memiliki

keturunan.

9. Qutsam. Ia saudara seayah dan seibu dengan Al-Harits, dan

Qutsam Wafat saat masih kecil.

10. Dhirar. Ia seayah dan seibu dengan Abbas Ra, dan Ia Wafat

pada permulaan turunnya Wahyu atas Rasulullah SAW

sehingga belum mengenal Islam, Dhirar dikenal sebagai

pemuda Quraisy yang tampan dan dermawan.

11. Ghaidaq. Ghaidaq merupakan nama Laqab, aslinya bernama

Mush'ab (pendapat lain Naufal), diberi Laqab Ghaidaq

karena dikenal memiliki banyak harta dan sangat pemurah.

12. Muqawwim. Ia saudara seayah dan seibu dengan Hamzah

Ra.

Jumlah paman-paman Rasulullah SAW diatas bukanlah hal

yang disepakati para ulama, karena diantara ulama ada yang

berpendapat bahwa jumlah paman-paman Rasulullah SAW tidak

sampai 12 orang, sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa Abdul

Ka'bah dan Muqawwim adalah satu orang yang sama, sebagaimana

Jahel dan Ghaidaq juga dikatakan demikian.

253
Kitab Tauhid Dasar
Dan dapat disimpulkan juga dari keterangan diatas bahwa dari

seluruh paman-paman Rasulullah SAW tersebut, yang merupakan

saudara seayah dan seibu dengan Abdullah ayah Rasulullah SAW

adalah Abu Thalib, Zubair dan Abdul Ka'bah.

Sedangkan bibi-bibi ('aammat) Rasulullah SAW berjumlah 6 orang,

mereka adalah;

1. Shafiyah R ha. Ia merupakan Ibu bagi sahabat Zubair bin

Awwam Ra, ibunya ialah Halah binti Uhaib (ibu dari

Hamzah Ra), Shafiyah R ha telah mendapatkan Hidayah

Islam dan beliau wafat di Madinah pada masa Khilafah Umar

bin Khattab Ra pada tahun ke-20 H, Beliau R ha Wafat pada

usia 73 tahun dan dikebumikan di pemakaman Baqi'.

2. Arwa.

3. Atikah.

4. Ummu Hakim.

5. Barrah.

6. Umaimah.

Menurut satu pendapat, dari semua bibi-bibi Rasulullah SAW diatas

tidak ada yang mendapati masa Bi'tsah Rasulullah SAW dan

memperoleh Islam kecuali Shafiyah R ha, namun pendapat lain

254
Kitab Tauhid Dasar
mengatakan bahwa Arwa dan Atikah juga telah masuk Islam,

sedangkan tiga yang terakhir (Ummu Hakim, Barrah dan Umaimah)

mereka tidak mengenal Islam menurut kesepakatan Ulama.

Dan Bibi-bibi Rasulullah SAW diatas selain Shafiyah R ha

merupakan Saudari seayah dan seibu dengan Abdullah ayah

Rasulullah SAW.

Sebagaimana telah dikemukakan, paman-paman dan Bibi-bibi

Rasulullah SAW diatas merupakan saudara dan saudari Sayyid

Abdullah ayah Rasulullah SAW, selain mereka, Rasulullah SAW

juga memiliki paman dan bibi dari Ibunda Beliau Sayyidah Aminah

(Akhwal dan Khaalaat), Syeikh Nawawi al-Bantani Rah a dalam

Nuruz Zhalam telah menyebutkan dua bait Syair dengan Bahar Rajaz

karya Syeikh Muhammad Fudhali Rah a yang menyebutkan tiga

orang saudara dan dua orang Saudari Sayyidah Aminah R ha, yakni;

َ ُْ ٙ١‫ظ ِف‬
‫ ُش‬١ْ ‫م‬ َ ْٛ ُ ‫َغ‬٠ ‫ػ ْج ُذ‬
َ ١ْ ٌ ‫س‬ َ ‫ش‬١‫ـ‬ ْ َ ‫ ِ أ‬ّٟ ِ ‫خب ُي إٌـجـ‬
ُ َّ ‫ ٌد ػُـ‬ٛ‫عـ‬

‫ا‬ْٛ ُ ‫اٌْ ُى ًُّ لَ ْج ًَ ثَ ْؼضِـ ِٗ لَ ْذ َِبر‬َٚ ُ‫بخـزَـخٌ َخبالَد‬


ِ َ‫نـخٌ ف‬
َ ‫ـ‬٠ْ ‫فَ ِـش‬

Paman Nabi SAW dari ibundanya ialah Aswad, Umair dan Abdu
Yaghuts, mereka semua tiada yang celaka,
Sedangkan bibi Beliau dari ibundanya ialah Faridhah dan
Fakhitah, semua paman dan bibi tersebut telah wafat sebelum
Bi'tsah Rasulullah SAW.

255
Kitab Tauhid Dasar
BAB XVI
ISRA' DAN MI'RAJ RASULULLAH SAW

Sheikh Ahmad Marzuq Rah a berkata;

ٍ ‫ْ ًـال ٌِـمُـذ‬١‫ـٓ َِـىَّـ ٍخ ٌَـ‬


ٜ‫ُـذ َْس‬٠ ‫ْط‬ ْ ِِ ‫ـــشا‬
َ ‫ع‬ ْ ‫ْاِل‬
ِ ِ ٟ‫ـ‬ َ ْ‫لَـ ْجـ ًَ ِ٘ـج‬َٚ
ّ ‫ـش ِح اٌـَّٕـ ِج‬

ُّ ‫ اٌـَّٕـ ِج‬ٰٜ َ ‫ َسأ‬ٝ‫َدـزَّـ‬


‫ َسثًّــب وَـٍَّــ َّــب‬ٟ‫ـ‬ ‫غـ َّـب‬
َّ ‫ط ٌِـٍـ‬
ٌ ْٚ ‫ُـش‬
ُ ‫ـشاءٍ ػ‬
َ ‫ع‬ْ ِ‫ ثَـ ْؼـ َذ ا‬َٚ

ْ ‫ َٓ فَ َش‬١ْ ‫غ‬
‫ك‬ ً ّْ ‫ ِٗ َخ‬١ْ ٍَ‫ػ‬
ِ ّْ ‫غب ثَ ْؼ َذ َخ‬ َ ْ ‫افْز َ َش‬َٚ ‫ق ٍبس‬
‫ك‬ ِ ْ‫ا‬َٚ ‫ف‬
َ ‫ٔذ‬ َ ْٓ ِِ
ٍ ١ْ ‫ ِش َو‬١ْ ‫غ‬

‫اء‬
ِ ‫ـش‬ ْ ‫غـ ٍخ ِث َال‬
َ ‫اِـ ِز‬ ْ ‫ك َخ‬
َ ‫ـّـ‬ ْ َ‫ ف‬َٚ
ِ ‫ــش‬ ‫اء‬
ِ ‫ـــــش‬
َ ‫ع‬ ْ ‫ ثَــٍَّــــ َغ اْأل ُ َِّــــــخَ ِثـب ْ ِِل‬َٚ

ْٗ ‫ أ َ ْ٘ـٍَـ‬ٰٝ َ‫اف‬َٚ ‫ق‬


ُ ‫قـ ْذ‬ ُ ُ‫ثِـبٌْؼ‬َٚ
ّ ِ ٌ‫طِ ا‬ْٚ ‫ـش‬ ْٗ ٌَ ‫ك‬ ٌ ‫ـ‬٠ْ ‫لَـ ْذ فَـب َص ِفـ ِ ّذ‬
ٍ ‫ـ‬٠ْ ‫ك ثِـزَـقْــ ِذ‬

Peristiwa Isra' terjadi sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW (ke


Kota Madinah), bermula dari kota Makkah ke Baitul maqdis pada
malam hari,
Dan setelah itu Rasulullah SAW Mi'raj ke langit sehingga melihat
Tuhan-Nya dan berbicara (kepada-Nya),
(Melihat-Nya) dengan tanpa Kaifiyat dan tanpa berbatas, dan
difardhukan Sholat lima waktu atas Beliau SAW setelah
sebelumnya lima puluh waktu,
Rasulullah SAW menyampaikan peristiwa Isra' (dan mi'raj)
tersebut beserta kewajiban sholat lima waktu kepada umatnya
tanpa ragu,
Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq Ra telah sukses dengan meyakini
peristiwa Isra' dan mi'raj itu dan mengingatkan kelurganya agar
membenarkannya.
256
Kitab Tauhid Dasar
Penjelasan

Peristiwa Isra' wal Mi'raj terhitung diantara perkara yang juga

diwajibkan kepada segenap mukallaf untuk meyakini dan

membenarkannya sebagai karunia dan kemuliaan dari Allah SWT

bagi Hamba-Nya dan utusan-Nya, yakni Baginda Nabi Muhammad

SAW.

Sayyid Muhammad Al-Maliki Rah a dalam kitabnya Dzikriyat wa

Munasabat memaknai Isra' sebagai Rihlah Qudsiyyah Ardhiyyah

(perjalanan suci di muka bumi) yang bermula dari al-Masjid al-

Haram dan berakhir di al-Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis), yang

mana keduanya merupakan dua Masjid yang suci sebagai tempat

turunnya Wahyu dan berkaitan erat dengan Nubuwwah.

Sedangkan Mi'raj merupakan Rihlah Samawiyah (perjalanan ke

langit) yang bermula dari al-Masjid al-Aqsha menuju langit yang

tinggi sehingga mencapai Sidratul Muntaha bahkan ke Mustawa al-

A'la.

Menurut Sayyid Muhammad Al-Maliki Rah a, tempat terakhir yang

yang dilalui Rasulullah SAW tersebut dinamakan dengan Sidratul

Muntaha adalah dikarenakan di sanalah batas terakhir dari alam para

malaikat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra dan tidak

257
Kitab Tauhid Dasar
pernah ada seorang pun yang melewatinya kecuali Rasulullah SAW,

para ulama berbeda pendapat tentang penetapan posisi

keberadaannya, sebagian berpendapat berada di langit ke-6, sebagian

lain berpendapat di langit ke-7, sedangkan Imam Nawawi Rah a

menghimpun pendapat yang ada dan menyimpulkan bahwa dasar dari

Sidratul Muntaha berada di langit ke -6 sedangkan kebanyakan

wilayahnya berada di langit ke-7 (Dzikriyat wa Munasabat).

Dalam riwayat Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah SAW

menjalani Isra' dan Mi'raj dengan mengendarai Buraq, yakni sejenis

hewan yang lebih kecil dari Baghal dan lebih besar dari Himar,

menurut akar katanya (Musytaq), lafazh Buraq berasal dari al-Bariiq

(berkilau) seperti disebutkan dalam riwayat bahwa kendaraan

tersebut berwarna putih, atau berasal dari lafazh al-Barqu (kilat)

karena kecepatannya yang seperti kilat, al-Hafizh Ibnu Hajar al-

Asqalani Rah a mengutip satu pendapat bahwa hikmah yang ada pada

penggunaan kendaraan Buraq padahal Allah SWT berkuasa untuk

melipat jarak yang jauh adalah satu Isyarat bahwasanya hal itu untuk

menentramkan hati Rasulullah SAW dengan suatu adat kebiasaan

dalam kedudukan khariqul 'adat (diluar kebiasaan atau Mukjizat),

karena adat yang biasa terjadi jika seseorang raja mengundang

258
Kitab Tauhid Dasar
seorang yang istimewa maka raja tersebut akan menjemputnya

dengan kendaraan yang akan ditunggangi. Sedangkan hikmah dari

sifat Buraq tersebut yang ukurannya diantara Bighal dan Himar

adalah satu Isyarat bahwasanya perjalanan tersebut adalah perjalanan

yang tentram dan nyaman, bukan perjalanan untuk berperang atau

karena ketakutan atau bisa juga untuk menunjukkan satu Mukjizat

dengan kecepatan yang amat dahsyat melalui kendaraan yang secara

adat bersifat sebaliknya. (Fathul Bari).

Peristiwa yang Ajaib dan digolongkan para ulama sebagai Mukjizat

tersebut terjadi pada malam 27 Rajab setahun sebelum Hijrahnya

Rasulullah SAW ke kota Madinah menurut pendapat yang Masyhur

(lihat Nuruz Zhalam Syarh Manzhumah Aqidah Awam).

Adapun pendapat tentang terjadinya peristiwa Isra' Mi'raj itu pada

setahun sebelum Hijrah merupakan pendapat yang dinukil dari Ibnu

Sa'ad Rah a serta ulama lainnya dan dimantapkan oleh Imam Nawawi

Rah a, bahkan Syeikh Ibnu Hazm Rah a telah menukil adanya Ijma'

mengenai waktu tersebut, namun apa yang diklaim oleh Ibnu Hazm

tersebut ditolak oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a dalam

Fathul Bari yang mengatakan bahwasanya waktu terjadinya peristiwa

259
Kitab Tauhid Dasar
Isra' dan Mi'raj tersebut diperselisihkan para ulama hingga lebih dari

sepuluh pendapat.

Allah SWT berfirman tentang peristiwa agung tersebut dalam Al-

Qur'an:

ٌٗٛ‫ ثـشوٕب د‬ٜ‫ اٌز‬ٝ‫ اٌّغجذ األلق‬ٌٝ‫ال ِٓ اٌّغجذ اٌذشاَ ا‬١ٌ ٖ‫ ثؼجذ‬ٜ‫ أعش‬ٜ‫عجذـٓ اٌز‬

}ٔ : ‫سح اِلعشاء‬ٛ‫ش {ع‬١‫غ اٌجق‬١ّ‫ اٌغ‬ٛ٘ ٗٔ‫ـزٕب ط ا‬٠‫ٗ ِٓ ءا‬٠‫ٌٕش‬

"Maha suci Allah, yang telah memperjalankan Hamba-Nya pada


suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami Perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami,
sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat".
(QS Al Isra' : 1)

Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat silang pendapat diantara para

ulama, bukan saja tentang penentuan tanggal terjadinya peristiwa

Isra' dan Mi'raj tersebut, juga tentang masalah perjalanan Rasulullah

SAW, apakah Beliau SAW mengalami peristiwa tersebut hanya

dengan ruh saja, atau sekaligus jasad dengan ruh.

Imam Baijuri Rah a mengatakan dalam Syarah Jauharoh al-Tauhid:

"pendapat yang Hak ialah bahwasanya Isra' dan Mi'raj terjadi

260
Kitab Tauhid Dasar
secara Yaqzhah (dalam keadaan terjaga bukan mimpi) dengan ruh

dan jasad, sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan Ijma' ulama

pada Kurun ke-2 dan umat setelah mereka, berbeda dengan sebagian

ulama Kurun pertama yang berpendapat bahwa Isra' dan Mi'raj

terjadi di saat Rasulullah SAW tertidur, dan sebagian lagi yang

berpendapat bahwasanya peristiwa tersebut hanya dengan ruh saja

tanpa jasad, namun dalam keadaan terjaga, maka (dalam hal ini)

ada tiga pendapat" (Tuhfatul Murid).

Sementara itu al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a mengatakan

dalam Syarah Shahih al-Bukhari sebagai berikut: "telah terjadi

Ikhtilaf para ulama salaf berdasarkan perbedaan riwayat yang ada,

sebagian mereka berpendapat bahwasanya Isra' dan Mi'raj terjadi

dalam satu malam dalam keadaan terjaga (Yaqzhah) dengan jasad

dan ruh Rasulullah SAW setelah Bi'tsah, pendapat ini dipelopori oleh

Jumhur (Mayoritas) para Muhadditsin, Fuqaha dan Mutakallimin,

banyak Khabar-Khabar yang Shahihah mengenainya, tidak

semestinya berpaling dari pendapat tersebut, karena tidak ada hal

yang mustahil bagi akal untuk mencernanya sampai memerlukan

pentakwilan lagi, memang ada sebagian riwayat yang menyelisihi

sebagian pendapat tersebut.. (Fathul Bari).

261
Kitab Tauhid Dasar
Hukum mengingkari peristiwa Isra' dan Mi'raj.

Hukum mengingkari peristiwa Isra' dan mengingkari peristiwa Mi'raj

dibedakan oleh para ulama (Tafshil).

Disebutkan dalam Kitab Tuhfatul Murid, Imam Baijuri Rah a

berkata: "peristiwa Isra' dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha

merupakan ketetapan yang pasti dalam Al-Qur'an, al-Sunnah dan

Ijma' kaum Muslimin, maka orang yang mengingkarinya dapat

menjadi kafir, sedangkan peristiwa Mi'raj dari al-Masjid al-Aqsha

menuju langit ketujuh merupakan ketetapan yang ada dalam

berbagai hadits yang masyhur, yang darinya Rasulullah SAW juga

sampai ke Surga, al-Mustawa, Arasy atau ujung tepian alam dari

atas Arasy (berdasarkan adanya perselisihan ulama), hal itu

dikuatkan dengan adanya Khabar Ahad, maka orang yang

mengingkari peristiwa Mi'raj tersebut tidak sampai kepada

kekufuran, akan tetapi menyebabkan kefasikan, pendapat yang benar

(al-Tahqiq) ialah bahwasanya Rasulullah SAW tidak sampai kepada

Arasy berdasarkan rentetan kisahnya".

Melihat Allah 'Azza wa Jalla.

262
Kitab Tauhid Dasar
Sheikh Ahmad Marzuq Rah a mengisyaratkan dalam Nazhom diatas

dengan ungkapan ‫ سثب وٍّب‬ٟ‫ إٌج‬ٜ‫ سأ‬ٝ‫ دز‬, ungkapan tersebut

menunjukkan bahwa beliau Rah a cenderung kepada pendapat

mayoritas para ulama yang mengatakan bahwasanya Rasulullah

SAW telah melihat Allah SWT dalam peristiwa Mi'raj dengan kedua

mata Beliau SAW.

Imam Baijuri Rah a mengatakan dalam Syarah Jauharoh al-Tauhid,

bahwa melihat Allah SWT adalah perkara yang Jaiz menurut akal,

baik di dunia maupun di akhirat, karena Allah SWT adalah Dzat yang

bersifat Wujud, sedangkan setiap yang wujud boleh untuk dilihat,

demikian halnya dengan Allah SWT, namun tiada yang

mengalaminya di dunia selain dari Rasulullah SAW, adapun

mengimani terjadinya melihat Allah SWT di akhirat adalah wajib

secara Syariat, sebagaimana telah ditetapkan para ulama Ahlus

Sunnah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur'an, al-Sunnah dan Ijma'

para ulama.

Tentang masalah melihat Allah SWT, kami telah membahasnya

dalam Bab yang menerangkan beriman kepada hari akhir beserta

peristiwa-peristiwa agung yang ada di dalamnya berikut dalil-

dalilnya.

263
Kitab Tauhid Dasar
Adapun melihat Allah SWT dalam mimpi, menurut Imam Qadhi

Iyadh Rah a adalah sesuatu yang tidak ada penentangan tentang

kebolehannya, karena Syeitan tidak dapat menyerupai Allah SWT

sebagaimana juga tidak dapat menyerupai para Nabi alaihim al-

Shalatu was Salaam, namun mengenai masalah penyerupaan ini

terdapat Ikhtilaf para ulama.

Dalam berbagai kitab terdapat hikayat yang masyhur tentang Imam

Ahmad bin Hambal Rah a, bahwasanya beliau telah melihat Allah

SWT dalam mimpinya sebanyak 99 ×, kemudian beliau Rah a

berkata: "demi kemuliaan-Nya, apabila aku melihat-Nya seratus kali,

niscaya aku akan bertanya sesuatu kepada-Nya". Maka tatkala beliau

melihat lagi dalam mimpi yang keseratus kali, beliau Rah a berkata: "

wahai Tuhanku, amal apakah yang paling mendekatkan seseorang

hamba-Mu kepada-Mu?", Allah SWT berfirman: "membaca Kalam-

Ku..", Imam Ahmad Rah a berkata: "dengan memahaminya atau

tanpa memahami?", Allah SWT berfirman: "wahai Ahmad, faham

maupun tidak faham". (Tuhfatul Murid)

Anugerah Shalat lima waktu.

Diantara Hikmah yang ada dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj adalah di-

Syariatkannya Shalat lima waktu dalam sehari semalam bagi


264
Kitab Tauhid Dasar
Rasulullah SAW dan umatnya, hal inilah yang telah diisyaratkan

Sheikh Ahmad Marzuq Rah a dalam Nazhom diatas dengan

ungkapan:

‫ٓ فشك‬١‫ٗ خّغب ثؼذ خّغ‬١ٍ‫ػ‬ ‫افزشك‬ٚ ...

Menurut Sayyid Muhammad Al-Maliki Rah a, antara kefardhuan

Sholat dengan kemukjizatan Isra' dan Mi'raj terdapat keterkaitan yang

halus dan kuat, sehingga Sholat dapat dikatakan sebagai Mi'raj

Ruhiyah, hubungan keduanya ialah jika Mi'raj nya Rasulullah SAW

yang terjadi dengan Jasad dan ruh ke langit disebut sebagai Mukjizat,

maka sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan Sholat lima waktu

sebagai Mi'raj Ruhiyah bagi umat Rasulullah SAW, dengan Ibadah

Sholat tersebut ruh dan hati mereka naik menghadap kepada Rabb

mereka SWT, meninggalkan hawa nafsu mereka dan menyaksikan

Keagungan dan ke Mahakuasaan Allah SWT.

Dalam Ibarah diatas disebutkan bahwa pada mulanya Shalat lima

waktu yang diperintahkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW dan

umatnya adalah sebanyak 50 waktu, namun menurut para ulama,

setelah Rasulullah SAW kembali ke langit ke-6 dan berjumpa dengan

Nabi Musa As, Rasulullah SAW mendapatkan saran dari Nabi Musa

As agar Beliau SAW kembali kepada Allah SWT guna meminta

265
Kitab Tauhid Dasar
keringanan bagi umatnya, akhirnya Rasulullah SAW pun kembali

kepada Allah SWT sebagaimana yang disarankan oleh Nabi Musa

As, bahkan disebutkan dalam Shohihain, bahwa Rasulullah SAW

pulang pergi berulang kali diantara menghadap Allah SWT dan

kembali kepada Nabi Musa As, dan setiap sekali kembali dihapuskan

lima waktu, sampai akhirnya tinggal tersisa lima waktu Rasulullah

SAW merasa malu untuk kembali lagi memohon keringanan dan

Beliau SAW telah merasa Ridho dan pasrah kepada-Nya.

Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rah a dalam Fathul Bari

mengutip pernyataan Imam Qurthubi Rah a mengenai hikmah yang

ada dalam pertemuan Rasulullah SAW dengan Nabi Musa As, yakni:

"hikmah dari pengkhususan Nabi Musa As dengan pulang perginya

Rasulullah SAW dalam menerima perintah Shalat adalah

dikarenakan umat Nabi Musa As pernah diberikan perintah Sholat

yang tidak pernah dibebankan kepada umat-umat yang lain, dan

ternyata perintah tersebut terasa sangat memberatkan bagi mereka,

karena itulah Nabi Musa As merasa kasihan atas umat Nabi

Muhammad SAW dengan perintah tersebut, dari sinilah Nabi Musa

As berkata (kepada Rasulullah SAW); "aku telah mencoba orang-

orang sebelummu dengan perintah itu ..".

266
Kitab Tauhid Dasar
Sedangkan selain Imam Qurthubi Rah a berpendapat bahwa

pengkhususan Nabi Musa As tersebut berkenaan dengan banyaknya

pengikut Nabi Musa As yang tidak di dapat pada pengikut nabi yang

lain dan juga dikarenakan Nabi Musa As memiliki Kitab suci yang

lebih besar dan lebih menghimpun hukum-hukum Allah SWT yang

hampir menyamai apa yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.

Ujian keimanan Umat dalam Peristiwa Isra' dan Mi'raj .

Diantara perkara yang wajib bagi para Mukallaf juga adalah

meyakini (I'tiqad) bahwasanya Rasulullah SAW telah men-

Tablighkan peristiwa yang dialami Beliau SAW dari kejadian Isra'

dan Mi'raj, termasuk kewajiban mendirikan Shalat lima waktu, inilah

yang diisyaratkan Syaikh Ahmad Marzuq Rah a melalui ungkapan

'Ibarah :

‫فشك خّغخ ثال اِزشاء‬ٚ ‫ثٍغ األِخ ثبِلعشاء‬ٚ

Menurut Syeikh Nawawi al-Bantani Rah a dalam Nuruz Zhalam,

Rasulullah SAW menyampaikan pengalamannya tersebut pada pagi

hari dari malam Isra' Mi'raj tersebut, namun permulaan Shalat yang

dapat direalisasikan dalam Islam adalah Shalat Zhuhur, karena Shalat

Zhuhur lah yang pertama diajarkan Malaikat Jibril As kepada


267
Kitab Tauhid Dasar
Rasulullah SAW, mengapa bukan Shalat Shubuh yang Dikerjakan

pertama kali sedangkan perintah Shalat diwajibkan di malam Isra'?

Karena (menurut Syeikh Nawawi al-Bantani Rah a dan Syeikh

Muhammad bin Ali Baathiyah Rah a) kewajiban menjalankan Shalat

tersebut bergantung pada penjelasan bagaimana Kaifiyat

mengerjakannya, sementara Kaifiyat tersebut belum dijelaskan

kepada Rasulullah SAW melainkan ketika waktu Zhuhur.

Apa yang Beliau SAW sampaikan dari peristiwa Ajaib tersebut

tentunya menjadi ujian tersendiri bagi masyarakat kota Makkah,

terutama bagi mereka yang telah beriman dan menjadi pengikut

Beliau SAW, karena disatu sisi Rasulullah SAW adalah orang yang

dikenal dengan kejujurannya dan pada sisi yang lain Khobar yang

Beliau sampaikan tersebut merupakan sesuatu yang mustahil menurut

akal, maka dalam mencerna berita tersebut, mereka yang kuat

keimanannya lah yang akan selamat dari ujian tersebut, karena

dengan kacamata keimanan, perkara yang lebih menakjubkan dari

yang dialami Rasulullah SAW sekalipun tidak akan mustahil jika

dihadapkan dengan Qudrah dan Iradah Allah SWT, terlebih lagi jika

yang mengabarkannya Ialah seorang yang tidak diragukan lagi

kejujurannya.

268
Kitab Tauhid Dasar
Sedangkan bagi mereka yang lemah imannya, mereka tidak dapat

melewati ujian tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang

semula telah beriman dan membenarkan Rasulullah SAW, mereka

kembali Murtad sebab peristiwa tersebut, di dalam Al-Qur'an

disebutkan perihal keadaan mereka tersebut dalam petikan ayat;

}ٙٓ : ‫سح اِلعشاء‬ٛ‫ {ع‬.. ‫ٕـه اال فزٕخ ٌٍٕبط‬٠‫ أس‬ٝ‫ب اٌز‬٠‫ِب جؼٍٕب اٌشإ‬ٚ ‫ ط‬...

".. Dan Kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami

Perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia ... "

(QS Al Isra' : 60).

Dalam menafsirkan makna Ru'yaa dalam ayat diatas, Imam Ibnu

Katsir Rah a menyebutkan riwayat Imam Bukhari Rah a dari Ibnu

Abbas Ra bahwa makna Ru'yaa pada ayat tersebut adalah penglihatan

mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah SAW pada malam Beliau

SAW di-Isra' kan.

Imam Ibnu Katsir Rah a juga menambahkan: " Demikianlah Para

ulama menafsirkan lafazh tersebut dengan malam Isra', yakni Imam

Mujahid, Sa'id bin Zubair, Al-Hasan, Masruq, Ibrahim, Qatadah,

Abdurrahman bin Zaid dan lainnya Rahimahumullah, hadits-hadits

peristiwa Isra' telah disebutkan terdahulu dalam permulaan Surat -

269
Kitab Tauhid Dasar
wa lillah al-Hamdu -, dan telah dijelaskan juga bahwasanya banyak

manusia yang kembali menjadi Murtad setelah sebelumnya berada

dalam kebenaran, yang disebabkan karena hati dan akal mereka

tidak dapat menerima peristiwa tersebut, jadilah mereka

mendustakan apa yang pengetahuan mereka tidak dapat menjangkau

ilmu mengenainya, justru sebaliknya Allah SWT telah menjadikan

keyakinan dan kemantapan Iman bagi yang lain, karena itulah Allah

SWT nyatakan dalam ayat tersebut dengan lafadz "Illa Fitnah" yang

berarti cobaan dan ujian .." (Tafsir Al-Qur'an al-'Azhiim)

Diantara Sahabat Rasulullah SAW yang selamat dari ujian tersebut

adalah Abu Bakar al-Shiddiq Ra, beliau lah orang yang pertama

membenarkan Khabar dari Rasulullah SAW tentang peristiwa Isra'

dan Mi'raj tersebut, karena itulah beliau mendapatkan Laqab atau

julukan al-Shiddiq. Sheikh Ahmad Marzuqi Rah a mengungkapkan

perihal sahabat Abu Bakar al-Shiddiq tersebut dengan Ibarah;

ٍٗ٘‫ أ‬ٝ‫اف‬ٚ ‫ط اٌقذق‬ٚ‫ثبٌؼش‬ٚ ٌٗ ‫ك‬٠‫ك ثزقذ‬٠‫لذ فبص فذ‬

Imam Ibnu Katsir Rah a menukil sebuah riwayat Imam Baihaqi Rah

a dari Aisyah R ha yang menceritakan; "tatkala Rasulullah SAW di-

Isra' kan ke Masjid al-Aqsha, pada pagi harinya Beliau SAW

menceritakan pengalamannya kepada manusia, maka banyak

270
Kitab Tauhid Dasar
diantara manusia yang sebelumnya telah beriman dan membenarkan

Beliau SAW telah menjadi murtad, akhirnya mereka pun pergi

menemui Abu Bakar Ra dan berkata: "apa pendapatmu mengenai

sahabatmu itu, Ia mengaku telah di-Isra'kan semalam ke Bait al-

Maqdis", Abu Bakar Ra berkata: "apakah Beliau SAW mengatakan

demikian?", Mereka berkata: " ya benar", Abu Bakar Ra berkata:

"kalau memang Beliau SAW mengatakan demikian, sungguh Beliau

SAW mengatakan kebenaran", mereka berkata: "apakah kamu

membenarkannya sedangkan Dia mengatakan telah pergi semalam

ke Bait al-Maqdis dan telah kembali (ke Kota Makkah) sebelum

Shubuh?", Abu Bakar Ra berkata: "ya, sesungguhnya aku akan

membenarkannya seandainya Beliau SAW mengatakan yang lebih

jauh dari itu, (dan bahkan) aku akan membenarkannya jika Beliau

SAW membawa berita dari langit dalam masa sepagi atau sepetang".

Karena peristiwa itulah Abu Bakar Ra mendapat gelar al-Shiddiq

Ra. (Tafsir Al-Qur'an al-'Azhiim).

271
Kitab Tauhid Dasar
BAB XVII
KHATIMAH (PENUTUP)

Sheikh Ahmad Marzuqi Rah a berkata;

‫ــش ْح‬
َ ‫غ‬ َّ ‫َـ‬١‫ْـٍَـخٌ ُِـ‬ٙ‫عـ‬ َ َ‫ ٌِـ ٍْـؼ‬َٚ
َ َ‫ ِا‬ٛ‫ـ‬ ‫ـش ْح‬
َ ‫ق‬ ْ ُِ ٌ‫ َذح‬١ْ ‫ َ٘ـ ِز ِٖ ػَـ ِمــ‬َٚ
َ َ ‫ـخـز‬

‫ق‬ ْ َّ ٌْ‫ق ا‬
ِ ُْٚ ‫قذ‬ َّ ٌٍِ ِّٝ َ ‫َْٕز‬٠ ْٓ َِ
ِ ‫قب ِد‬ ٟ‫لِـ‬ْٚ ‫بظ ُُ رِـ ٍْهَ اَدْ ـ َّ ُذ اٌْ َّ ْـش ُص‬
ِ َٔ

َ ‫ ِش َِ ْٓ لَ ْذ‬١ْ ‫ ِ َخ‬ٟ‫ـ‬
‫ػٍَّ َّب‬ ّ ‫ إٌَّ ِج‬ٍَٝ‫ػ‬
َ ‫عٍَّـ َّب‬
َ ٝ‫فـٍه‬
َ َٚ ِٗ ‫ـّـ ُذ ٌٍِهـ‬
ْ ‫اٌْـ َذ‬َٚ

ٞ‫َ ْمـز َ ِذ‬٠ ٍ ٞ‫ ِش َ٘ ْذ‬١ْ ‫وُ ِ ًّ َِ ْٓ ِث َخ‬َٚ ‫ؽ ِذ‬ ِ ْ‫اٌقَّذ‬َٚ ‫اْألٓ ِي‬َٚ
ِ ‫ ُو ِ ًّ ُِ ْش‬َٚ ‫ت‬

ْ ‫ب لَ ِذ ا‬َٙ ‫َٔفْ َغ ُو ِ ًّ َِ ْٓ ِث‬َٚ


ًْ َ‫ؽزَغ‬ َ ‫ َُ اِ ْخ َال‬٠ْ ‫عؤ َ ُي اٌْى َِش‬
ًْ َّ َ‫ؿ اٌْؼ‬ ْ َ ‫أ‬َٚ

ُ ُّٟ ‫ َد‬ٌِٟ ‫ب‬َٙ ‫ـ ُخـ‬٠ْ ‫ر َ ِبس‬


ًِ ‫غ ٍّـش ُجـ َّّـ‬ ٌ ّ١ِ ‫ـب َِـ‬َٙ ‫َـبرُـ‬١‫أ َ ْثـ‬
ًِ ‫ـض ثِـؼَـ ِ ّذ اٌْـ ُجـ َّّـ‬

َ‫ ِٓ ثِبٌز َّ َّ ِب‬٠ْ ‫ اٌ ِ ّذ‬ِٝ‫ت ف‬ ِ َٚ ْٓ ِِ


ٍ ‫اج‬ َ َ‫ َذحَ اٌْـؼ‬١ْ ‫ـب ػَـ ِمــ‬َٙ ‫ـزُـ‬١ْ ‫عـ َّّـ‬
َ‫ ِا‬ٛ‫ــ‬ َ

Lafazh-lafazh Nazhom ini mencakup pelajaran Aqidah yang


ringkas dan mudah difahami oleh orang-orang awam,
Penyusunnya adalah Sayyid Ahmad al-Marzuqi Rah a, seorang
yang bernasab kepada Sang pembawa kebenaran yang dibenarkan
(Rasulullah SAW),
Segala puji bagi Allah SWT dan semoga Shalawat serta Salam
selalu tercurah atas Baginda Nabi SAW, sebaik-baik hamba yang
mengajarkan kebaikan,
Dan juga atas keluarganya, para sahabat dan setiap orang yang
menunjukkan (jalan kebaikan) serta setiap orang yang mengikuti
jalan Beliau SAW,

272
Kitab Tauhid Dasar
Aku memohon kepada Allah SWT yang Maha Mulia agar
diberikan sifat Ikhlas dalam setiap amalan, dan diberikan manfaat
bagi siapa saja yang meluangkan waktunya dengan kitab ini,
Jumlah Bait Syair kitab ini sesuai dengan perhitungan bilangan
lafazh "Mayyiz", dan selesai penulisannya menurut bilangan
huruf-huruf "lii Hayyu Ghurrin" menurut Hitungan Hisab al-
Jumal,
Aku namakan Kitab ini dengan nama Aqidatul Awam, yang
mencakup pelajaran Aqidah yang wajib diyakini dalam Agama
secara sempurna.
Penjelasan.

Dalam menutup pembahasannya, Syeikh Ahmad al-Marzuqi Rah a

mengungkapkan bahwasanya lafazh-lafazh bait Syair yang telah

beliau susun dari permulaan hingga akhir yang mengandung

pelajaran Aqidah yang sangat penting dan wajib diyakini oleh setiap

muslim ini beliau rangkai secara ringkas, lugas, jelas dan mudah

difahami oleh kalangan awam kaum Muslimin, makna-maknanya

mudah diselami, bait Syairnya mudah dihafalkan dan lafazh-

lafazhnya terasa indah dan ringan untuk dilantunkan.

Ungkapan Beliau tersebut merupakan 'Tahadduts bin Ni'mah'

(menceritakan Nikmat Allah SWT) yang dianjurkan dalam Syariat,

dan memang kenyataannya karena kelebihan yang ada didalamnya,

273
Kitab Tauhid Dasar
kitab ini telah terbukti bermanfaat bagi kaum Muslimin dan telah

diterima oleh umat Islam di seluruh alam, kitab Manzhumah Aqidah

al-Awam ini senantiasa diminati, digali dan dipelajari dan tidak

sedikit masyarakat umum maupun para santri yang menghafal bait-

bait Syairnya dari masa ke masa.

Semoga Allah SWT menerima Amal, usaha dan jerih payah serta

pengorbanan Syeikh Ahmad al-Marzuqi Rah a, sehingga menjadikan

Karya yang beliau persembahkan ini sebagai tambahan catatan amal

kebajikan yang akan beliau petik hasilnya dalam kehidupan Akhirat.

Sheikh Ahmad Marzuqi Rah a juga telah menutup Ibarah kitabnya

dengan Hamdalah dan Shalawat atas Rasulullah SAW untuk

mengamalkan Sabda Rasulullah SAW sebagaimana dalam riwayat

Imam Turmudzi Rah a, yakni;

‫ا هللا‬ٚ‫زوش‬٠ ٌُ ‫َ ِمؼذا‬ٛ‫ " ِب لؼذ ل‬:‫ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬ٛ‫ لبي سع‬:‫ هللا ػٕٗ لبي‬ٟ‫شح سم‬٠‫ ٘ش‬ٝ‫ػٓ أث‬

‫لبي‬ٚ ٞ‫بِخ " ~ أخشجٗ اٌزشِز‬١‫َ اٌم‬ٛ٠ ‫ُ دغشح‬ٙ١ٍ‫ ملسو هيلع هللا ىلص اال وبْ ػ‬ٟ‫ إٌج‬ٍٝ‫ا ػ‬ٍٛ‫ق‬٠ ٌُٚ ٗ١‫ف‬

~ٓ‫دغ‬

Dari Abu Hurairah Ra beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda:

"tiadalah suatu kaum duduk dalam satu majlis, mereka tidak

menyebut nama Allah dan bersholawat atas Rasulullah SAW,


274
Kitab Tauhid Dasar
melainkan (majlis itu) akan menjadi penyesalan pada hari

kiamat".

(HR Imam Turmudzi Rah a dan beliau berkata : Hadits Hasan)

Jumlah Bait Syair kitab Manzhumah Aqidatul Awam ini sebanyak 57

Bait, hal ini beliau isyaratkan dengan rangkaian huruf-huruf yang ada

dalam lafazh ‫ض‬١ِ , bilangan huruf yang ada dalam kalimat tersebut

berdasarkan perhitungan Hisab al-Jummal (Nilai Numerik) huruf-

huruf Arab atau dalam tradisi pesantren lebih dikenal dengan istilah

'Rumus ABAJADUN' adalah sebagai berikut:

 Huruf Mim = 40

 Huruf Ya = 10

 Huruf Zay =7

--------------------------------------------------- +

Jumlah keseluruhan = 57

Sheikh Ahmad Marzuqi Rah a juga menjelaskan bahwa selesainya

penulisan kitabnya tersebut pada tahun 1258 H, beliau

mengungkapkannya dengan kalimat ‫ غش‬ٟ‫ د‬ٌٟ , jumlah nilai


275
Kitab Tauhid Dasar
keseluruhan huruf yang ada dalam kalimat tersebut adalah sebagai

berikut:

 Huruf Lam = 30

 Huruf Ya = 10

 Huruf Ha =8

 Huruf Ya = 10

 Huruf Ghin = 1000

 Huruf Ra = 200

_______________________________ +

Jumlah = 1258

276
Kitab Tauhid Dasar
‫ْزا أخش يب ٌسش هللا تعبنى جًعّ يٍ ششح يُظٕيت عقٍذة انعٕاو‪ٔ ،‬هللا أسأل يٍ فضهّ‬

‫انعًٍى‪ ،‬يتٕسال بُبٍّ انكشٌى‪ ،‬أٌ ٌجعهّ خبنصب نٕجّٓ انكشٌى‪ٔ ،‬سببب نهفٕص بجُبث انُعٍى‪،‬‬

‫ٔأٌ ٌُفع بّ كًب َفع بأصهّ انخبص ٔانعب و‪ٌٔ ،‬قبهّ بشدًتّ كًب أَعى ببإلتًبو‪ ،‬فاَّ انجٕاد‬

‫انكشٌى انشؤٔف انشدٍى‪ٔ ،‬انذًذ هلل فً انبذء ٔانختبو يب كشث انذْٕس ٔيشث األعٕاو‪،‬‬

‫انهٓى صم عهى سٍذَب دمحم انفبتخ نًب أغهق‪ٔ ،‬انخبتى نًب سبق‪َ ،‬بصش انذق ببنذق‪ٔ ،‬انٓبدي‬

‫انى صشاطك انًستقٍى‪ٔ ،‬عهى أنّ دق قذسِ ٔيقذاسِ انعظٍى‬

‫سبذبٌ سبك سة انعضة عًب ٌصفٌٕ ٔسالو عهى انًشسهٍٍ ٔانذًذ هلل سة انعبنًٍٍ‪.‬‬

‫كواال‪u~u‬لنكاث‪u~u‬سومطرة‪u‬الشماليت‬

‫الفقير‪u‬الى‪u‬ربه‪u‬القدير‪uuuuuuuuu‬‬

‫جالل‪u‬الدين‪u‬التجاني‪uuuuuuuuuu‬‬

‫غفر‪u‬هللا‪u‬له‪u‬ولوالديه‪u‬وألحبابه‪uuuu‬‬

‫‪Kitab Tauhid Dasar‬‬


‫‪TEKS AQIDATUL AWWAM‬‬

‫بْ‬
‫َ ِ‬‫بٌو ِؽـ‪ِْ ١‬ـُ كَائـِ ُِ اْ ِإلؽْ ـ َ‬
‫ٌوؽْ ـ َّ ِٓ * َ‪ِ ٚ‬ث ه‬ ‫أَثْـلَأ ُ ِثـبٍ ُِْ ِ‬
‫هللا َ‪ٚ‬ا ه‬

‫‪٢‬ف ِـو ْاٌجَـبلـِ ْ‪ِ ٟ‬ثَلَ ر َ َؾ ُّـ‪ِ ٛ‬ي‬


‫هلل ْاٌـمَ ِل‪ ُِْ ٠‬اْأل َ ه‪ِ ٚ‬ي * ا َ ِ‬
‫فَ ْبٌ َؾ ْـّـلُ ِ ِ‬

‫‪َ ٟ‬ف‪ِْ ١‬و َِ ْٓ لَ ْل َ‪ ٚ‬هؽلَا‬‫ػٍَ‪ ٝ‬اٌـٕهـ ِج ِّ‬


‫ـو َِلَا * َ‬
‫ٍ ْ‬‫ََلَ َُ َ‬ ‫ص ُ هُ اٌـ ه‬
‫ظَلَح ُ َ‪ٚ‬اٌ ه‬

‫غ‪َْ ١‬و ُِـجْـز َ ِل ْع‬ ‫ٍـ ِج ْ‪ِ ًَ ١‬ك‪ْ ِْٓ ٠‬اٌ َؾ ّ ِ‬


‫ك َ‬ ‫طـؾْ ِج ِٗ َ‪ْ َِ ٚ‬‬
‫ـٓ رَـ ِج ْ‬
‫ـغ * َ‬ ‫َ‪ٚ‬آ ٌِ ِٗ َ‪َ ٚ‬‬

‫ت ِهللِ ِػ ْش ِـو‪ِ َْٓ٠‬‬


‫طفَ ْٗ‬ ‫ة ْاٌ َّ ْؼ ِوفَـ ْٗ * ِِ ْٓ َ‪ِ ٚ‬‬
‫اعـ ٍ‬ ‫َ‪ٚ‬ثَ ْؼلُ فَب ْػٍَ ُْ ثِ ُ‪ُ ٛ‬ع ْ‪ِ ٛ‬‬
‫ك ثِب ْ ِإل ْ‬
‫ؽَلَ ِ‬
‫ق‬ ‫ف ٌِ ٍْـق َْـٍ ِ‬
‫فَبهللُ َِ ْ‪ُ ٛ‬ع ْـ‪ٛ‬ك ٌ لَـ ِل ْ‪ ٌُ ٠‬ثَبلِـ‪ُِ * ٟ‬قَبٌـِ ٌ‬

‫ػـب ٌِ ٌُ ثِ ُى ًِّ ش َْ‪ٟ‬‬


‫‪ * ٟ‬لَـب ِك ْه ُِ ِـو‪ْ٠‬ـلٌ َ‬ ‫َ‪ٚ‬لَـبئِ ٌُ غَـِٕ ْ‪ِ َٚ َٚ ٟ‬‬
‫اؽـلٌ َ‪َ ٚ‬ؽ ّ‬

‫ٍـ ْجؼَـخٌ رَـ ْٕـز َ ِظ ُُ‬ ‫ظـ‪ُْ ١‬و َ‪ْ ٚ‬اٌ ُّز َ َى ٍِّـ ُُ * ٌَُٗ ِ‬
‫طـفَ ٌ‬
‫بد َ‬ ‫ٍ ِـّـ ْ‪ٌ ١‬غ اٌْجَ ِ‬
‫َ‬

‫ظ ْو * َؽـ‪َ١‬ـبح ٌ ْاٌ ِؼ ٍْـ ُُ َوَلَ ٌَ اٍْـز َ َّ ْو‬


‫فَمُـ ْل َهح ٌ ِئ َهاكَح ٌ ٍـ َ ّْـ ٌغ ثـ َ َ‬

‫ـو ٌن ٌـِ ُى ًِّ ُِ ّْـ ِى ٍ‬


‫ـٓ َو ِف ْؼ ٍِ ِٗ‬ ‫َ‪َ ٚ‬عبئـِ ٌي ِثـفَـؼْـ ٍِ ِٗ َ‪َ ٚ‬‬
‫ػ ْل ٌِ ِٗ * ر َ ْ‬

‫ق َ‪ٚ‬اٌزَـ ْج ٍِـ‪ِْ ١‬غ َ‪ٚ‬اْأل َ َِبَٔ ْٗ‬ ‫ٍـ ًَ أ َ ْٔ ِج‪َ١‬ب مَ ِ‪ ٞٚ‬فَـ َ‬


‫طـبَٔـ ْٗ * ِث ِ ّ‬
‫بٌظـ ْل ِ‬ ‫أ َ ْه َ‬

‫ْف ْاٌ َّ َو ِ‬
‫ع‬ ‫ع * ِثَُ‪ِْ ١‬ـو َٔ ْم ٍ‬
‫ض َوقَـ ِف‪ِ ١‬‬ ‫َ‪َ ٚ‬عـبئِ ٌي فِ‪َ ٟ‬ؽـ ِمّ ِ‪َ ْٓ ِِ ُْ ٙ‬‬
‫ػ َو ِ‬

‫ػٍُ‪ٛ‬ا ْاٌ َّـَلَئِ َىْٗ‬ ‫َبئِ ِو ْاٌ ََّلَئِ َى ْٗ * َ‪ِ ٚ‬‬


‫اعـجَـخٌ َ‪ٚ‬فَب َ‬ ‫ظـ َّـز ُ ُ‪َ ُْ ٙ‬و َ‬
‫ِػ ْ‬

‫ت‬
‫اع ِ‬ ‫ت * فَبؽْ فَ ْ‬
‫ع ٌِق َّْ َِـ‪ِ َْٓ١‬ث ُؾ ْى ٍُ َ‪ِ ٚ‬‬ ‫َ‪ْ ٚ‬اٌ َُّْـز َ ِؾ ْ‪ِ ًُ ١‬‬
‫ػلُّ ُو ًِّ َ‪ِ ٚ‬‬
‫اع ِ‬

‫َ ٍخ َ‪ِ ٚ‬ػ ْش ِـو‪ِ ٌَ َْٓ٠‬ي َْ * ُوـ هً ُِـ َىٍهـفٍ فَ َؾ ِمّ ْك َ‪ٚ‬ا ْغـزَِٕ ُْ‬ ‫ر َ ْف ِ‬
‫ظ ْ‪ ًُ ١‬ف َّْ َ‬

‫طب ٌِـؼْ َ‪ِ ٚ‬ئث َْوا ِ٘ـ‪ْ١‬ـ ُُ ُو ًٌّ ُِـزهجَ ْغ‬


‫ٌْ ُٔ ْ‪ٌ ٛ‬ػ ُ٘ ْـ‪ٛ‬كُ َِ ْغ * َ‬
‫ُ٘ ُْ آكَ ٌَ اِ ْك ِه‪ُ ٠‬‬

‫ـف َ‪ٚ‬أَ‪ُ ُّْٛ ٠‬‬


‫ة اؽْ زَنَ‪ٜ‬‬ ‫ٍ ُ‬ ‫بق َونَا * ‪ْ َ٠‬ؼمُ ُ‬
‫‪ٛ‬ة ‪ُ ُٛ٠‬‬ ‫ٌُ ْ‪ٌ ٛ‬‬
‫ؽ َ‪ٚ‬اٍِْـ َّب ِػ ْ‪ ًُ ١‬اِ ٍْ َؾ ُ‬

‫َ ْغ * مُ‪ْ ٚ‬اٌ ِىـ ْف ًِ كَ ُا‪ٚ‬كُ ُ‬


‫ٍٍَ ْ‪ُ َّ ١‬‬
‫بْ ارهـجَ ْغ‬ ‫ٍ‪ْ َٚ ٝ‬اٌ‪َ َ١‬‬
‫َبه ْ‪َ ْٛ ُِ َٚ ُْ ٚ‬‬
‫ْت ٘ ُ‬ ‫ُ‬
‫شؼَ‪ُ ١‬‬

‫ٌ ىَ َو ِو‪٠‬ـهب ‪َ٠‬ؾْ ‪ِ * َٝ١‬ػ ْ‪ََ ١‬ـ‪َ َٚ ٝ‬‬


‫ؽـَٗ فَبرِ ٌُ كَ ْع غَـ‪١‬هب‬ ‫ْئٌ‪ُ َ١‬‬
‫ـبً ‪ْ ُْٔٛ ُ٠‬‬

‫‪Kitab Tauhid Dasar‬‬


‫ذ اْألَ‪٠‬ـهـب َُ‬
‫َـَلَ َُ * َ‪ٚ‬آ ٌِـ ِ‪ِ ُْ ٙ‬ـَب كَا َِـ ِ‬ ‫ػٍَـ ْ‪ ُُ ِٙ ١‬اٌ ه‬
‫ظـَلَح ُ َ‪ٚ‬اٌ ه‬ ‫َ‬

‫ة َ‪ٚ‬لَ ٔ َْ‪ٌَ ََ ٛ‬ـ ُ‪ُْ ٙ‬‬


‫ـو َ‬
‫ش ْ‬‫ة َ‪ٚ‬أ ُ َْ * لَ أ َ ْو ًَ لَ ُ‬ ‫َ‪ْ ٚ‬اٌ َّـٍَهُ اٌهـ ِن ْ‬
‫‪ِ ٞ‬ثَلَ أ َ ٍ‬

‫ْـوافِ ْ‪ِ ًُ ١‬ػ ْي َها ِئ‪ًُْ١‬‬


‫ػ ْش ٍو ِِ ْٕ ُ‪ِ ُُ ٙ‬عج ِْو ْ‪ِِ * ًُ ٠‬ـ‪ْ١‬ـ َىـب ُي اٍِ َ‬ ‫ر َ ْف ِ‬
‫ـظـ ْ‪َ ًُ ١‬‬

‫اْ اؽْ زَـنَ‪ٜ‬‬


‫‪ٚ‬هػ َْ‪ُ ٛ‬‬ ‫ْت َ‪َ ٚ‬ونَا * َ‬
‫ػزِـ ْ‪١‬لٌ َِب ٌِ ٌه ِ‬ ‫ُِ ْٕـ َى ْو َٔ ِىـ‪ٌْ ١‬و َ‪َ ٚ‬هلِ‪ٌ ١‬‬

‫ٍ‪ِ ٝ‬ث ْبٌ ُ‪ٙ‬لَ‪ ٜ‬رَـ ْٕ ِـي ْ‪َٙ ٍُ٠‬ب‬ ‫ظ ْ‪َٙ ٍُ١‬ب * ر َ ْ‪َ ٛ‬‬
‫اهح ُ ُِ ْ‪َ ٛ‬‬ ‫أ َ ْهثَـؼَـخٌ ِِ ْٓ ُوز ُ ٍ‬
‫ت رَـ ْف ِ‬

‫ػٍَ‪َ ٝ‬ف‪ِْ ١‬و ْاٌ ََّلَ‬ ‫ػٍَ‪ِ * ٝ‬ػ‪ْ١‬ـ ََ‪َٚ ٝ‬فُ ْ‬


‫ـولَ ُ‬
‫بْ َ‬ ‫ىَ ثُ ْـ‪ُ ٛ‬ه كَ ُا‪ٚ‬كَ َ‪ٚ‬اِ ْٔ ِغـ‪ْ١‬ـ ًُ َ‬

‫ـف ْاٌقَـ ٍِ‪ْ َٚ ًِْ ١‬اٌ َى ٍِ‪ * ُِْ ١‬فِ ْ‪َٙ ١‬ـب َوَلَ َُ ْاٌـ َؾـ َى ُِ ْاٌؼَ ٍِـ‪ُِْ ١‬‬
‫ط ُؾ ُ‬
‫َ‪ُ ٚ‬‬

‫اٌـو ٍُ ْـ‪ُ ٛ‬ي * فَ َؾـمُّـُٗ اٌزهَْـ ٍِـ ْ‪ْ َٚ ُُ ١‬اٌمَجُ ْ‪ُ ٛ‬ي‬
‫َ‪ُ ٚ‬وـ ًُّ َِب أَرَ‪ ٝ‬ثِ ِٗ ه‬

‫آف ٍو َ‪َ ٚ‬عتْ * َ‪ُ ٚ‬و ًِّ َِـب َوبَْ ثِـ ِٗ َِِٓ ْاٌؼَ َغتْ‬
‫ئِ‪ْ٠‬ـ َّـبَُٕٔب ثِـ‪ِ َِ ْٛ َ١‬‬

‫ت‬ ‫ػـٍَ‪َ ُِ ٝ‬ىٍهفٍ ِِ ْٓ َ‪ِ ٚ‬‬


‫اع ِ‬ ‫ت * ِِ هّـب َ‬ ‫فَب ِر َّخٌ ِف‪ِ ٟ‬م ْو ِو ثَب ِل‪ْ ٟ‬اٌ َ‪ِ ٛ‬‬
‫اع ِ‬

‫َٔ ِجـ‪ُّ١‬ـَٕب ُِ َؾ هّلٌ لَ ْل أ ُ ْه ٍِــَلَ * ٌِ ٍْـؼَبٌَ ِّـ‪ْ١‬ـَٓ َهؽْ ـ َّخ َ‪ٚ‬فُ ِ ّ‬


‫ؼَل َ‬

‫ػ ْجلُ ََِٕبفٍ ‪ْٕ َ٠‬زََِـتْ‬ ‫ػ ْجلُ ْاٌ ُّ ه‬


‫ط ٍِـتْ * َ‪َ٘ٚ‬ب ِشـ ٌُ َ‬ ‫هللا َ‬ ‫أَثـ ُ ْ‪َ ُٖٛ‬‬
‫ػ ْجلُ ِ‬

‫ــو‪٠‬ـ ه ْٗ * أ َ ْه َ‬
‫ػـؼَزُْٗ َؽ ٍِ ْ‪َّ ١‬ـخُ اٌ ه‬
‫َـ ْؼ ِل‪٠‬ـ ه ْٗ‬ ‫َ‪ٚ‬أ ُ ُِّـُٗ ِآِـَٕخُ ُّ‬
‫اٌـي ْ٘ ِ‬

‫طـ‪ْ١‬ـجَخَ ْاٌـ َّ ِل ْ‪ْٗ َٕ٠‬‬


‫َِ ْ‪ٌٛ‬ـِلُُٖ ِث َّـ هىـخَ اْأل َ ِِ‪ْ١‬ــَٕ ْٗ * َ‪ٚ‬فَبرُـُٗ ِثـ َ‬

‫َـزِ ّ ْ‪َٕ١‬ب‬ ‫ـوُٖ لَ ْل َع َ‬


‫ب‪ٚ‬ىَ اٌ ِ ّ‬ ‫أَرَـ هُ لَـجْـ ًَ ْاٌ َـ‪ٛ‬ؽْ ‪ ِ ٟ‬أ َ ْهثَ ِؼ ْ‪َٕ١‬ب * َ‪ُ ٚ‬‬
‫ػ ْـّ ُ‬

‫ٍـجْـؼَخٌ أ َ ْ‪ٚ‬لَكُُٖ ف َ ِّـ ْٕـ ُ‪ * ُُ ٙ‬صََلصَـخٌ ِِـَٓ اٌنُّوـ ُ ْ‪ِ ٛ‬ه رُـ ْف َ‪ُُ ٙ‬‬
‫َ‪َ ٚ‬‬

‫ْـٓ مَا ‪ُ٠‬ـٍَـمه ُ‬


‫ت‬ ‫ـو ِثنَ‪ِ ٠‬‬ ‫ّت * َ‪َ ٚ‬‬
‫ؽب ِ٘ ٌ‬ ‫ػ ْجلُ هللاِ َ‪ َٛ ْ٘ ٚ‬اٌ ه‬
‫ط ِ‪ُ ١‬‬ ‫لَب ٍِـ ُْ َ‪َ ٚ‬‬

‫ْـطـ‪١‬هـ ْٗ‬ ‫ـو‪٠‬ـ ه ْٗ * فَأ ُ ُِّـُٗ َِ ِ‬


‫به‪٠‬هخُ ْاٌـ ِمـج ِ‬ ‫أَرَبُٖ ئث َْوا ِ٘ـ‪ْ١‬ـ ُُ ِِ ْٓ ُ‬
‫ٍ ِّ‬

‫ْـو ئِث َْوا ِ٘‪ ْٓ ِِ َُْ ١‬فَـ ِل ْ‪َ ٠‬غ ْٗ * ُ٘ ُْ ٍِزَـخٌ فَ ُقـ ْن ثِ ِ‪ٌِ َٚ ُْ ٙ‬ـ ْ‪َ ١‬غ ْٗ‬
‫غ‪ُ ١‬‬‫َ‪َ ٚ‬‬

‫اْ َهثِّ‪َ ٍْ ٌِ ٟ‬غ ِّـ‪ِْ ١‬غ ‪ْ ُ٠‬ن َو ُو‬


‫ْـ‪ُ ٛ‬‬ ‫َ‪ٚ‬أ َ ْهثَ ٌغ ِِـَٓ اْ ِإلَٔب ِ‬
‫س رُـ ْن َو ُ‬
‫ـو * ِهػ َ‬

‫‪Kitab Tauhid Dasar‬‬


‫ؼٍُ ُ‪َ ُُ ٙ‬ع ٍِ ْ‪ٟ‬‬
‫بْ فَ ْ‬
‫ط ِ‬‫َـ ْج َ‬ ‫اٌي ْ٘ َوا ُء ثَ ْؼٍُ َ‪ٙ‬ب َ‬
‫ػ ٍِ ْ‪َٚ * ٟ‬ا ْثَٕب ُ٘ َّب اٌ ِ ّ‬ ‫بؽـ َّـخُ ه‬
‫فَ ِ‬

‫ػ‪١‬ه ْٗ‬ ‫َت َ‪ٚ‬ثَ ْؼـلََ٘ـب ُهلَـ‪١‬ه ْٗ * َ‪ٚ‬أ ُ َُّ ُو ْـٍـض ُ ٍ‬


‫ـ‪ َٛ‬ىَ َو ْ‬
‫ـذ َه ِ‬ ‫فَيَ ‪ْ٠‬ـٕ ٌ‬

‫‪ْ ٟ‬اٌ ُّ ْمزَفَ‪ٝ‬‬ ‫طفَ‪ُ * ٝ‬ف ِ‪ّْ ١‬ـوَْ فَ ْ‬


‫بفز َ ْوَْ إٌهـ ِج ه‬ ‫ْغ َِٔ َْ‪ٛ‬حٍ َ‪ٚ‬فَبح ُ ْاٌ ُّ ْ‬
‫ظ َ‬ ‫ػ ْٓ رَِ ِ‬
‫َ‬
‫طـ ِف‪١‬هـخٌ َِـ‪ْ١‬ـ ُّ ْـ‪َٔٛ‬خٌ َ‪َ ٚ‬ه ٍَِْخُ‬ ‫ظـخٌ َ‪َ ٚ‬‬
‫ٍ ْـ‪ٛ‬كَح ُ * َ‬ ‫ػبئِشَـخٌ َ‪َ ٚ‬ؽ ْف َ‬
‫َ‬

‫ػـ‪١‬ه ْٗ‬ ‫َت َونَا ُع َ‪٠ٛ‬ـْ ِو‪ُّ ٍْ ٌِ * ْٗ َ٠‬ـإْ ِِـ ِٕ‪ َْٓ١‬أ ُ هِـ َ‪ٌ ٙ‬‬
‫بد َِ ْو ِ‬ ‫ِ٘ ْٕلٌ َ‪ ٚ‬ىَ ‪ْ٠‬ـٕ ٌ‬

‫طـ ِف‪١‬هـخٌ مَادُ اؽْ زِنَا‬


‫ػ هّـزُـُٗ َ‬
‫هبً َونَا * َ‬
‫ػـج ٌ‬ ‫َؽ ّْـيَ ح ُ َ‬
‫ػ ُّّـُٗ ‪َ ٚ‬‬

‫‪ ٟ‬اْ ِإلٍ َْوا * ِِ ْ‬


‫ـٓ َِـ هىخَ ٌَ‪َْ١‬ل ٌِمُ ْل ًٍ ‪ْ ُ٠‬ل َه‪ٜ‬‬ ‫ـوحِ إٌهـ ِج ِّ‬
‫َ‪ٚ‬لَجْـ ًَ ِ٘غْ َ‬

‫‪َ ٟ‬هثًّـب َوـٍه َّب‬


‫َـ َّب * َؽزه‪َ ٝ‬هأَ‪ ٜ‬إٌهـجِ ُّ‬
‫ػ ُو ْ‪ٌ ٚ‬ط ٌٍِ ه‬
‫ْـواءٍ ُ‬
‫َ‪ٚ‬ثَ ْؼلَ ئٍِ َ‬

‫ػٍَ ْ‪ ِٗ ١‬ف ََّْب ثَ ْؼلَ ف َّْ َِ‪ َْٓ١‬فَ َو ْ‬


‫ع‬ ‫به َ‪ٚ‬ا ْفـز َ َو ْ‬
‫ع* َ‬ ‫ظ ٍ‬‫غ‪ِْ ١‬و َو‪ْ١‬فٍ َ‪ٚ‬ا ْٔ ِؾ َ‬
‫ِِ ْٓ َ‬

‫َ ٍخ ِثَلَ ْاِ ِز َو ِاء‬


‫َـّـ َ‬
‫عف ْ‬‫ـو ِ‬ ‫َ‪ٚ‬ثَـٍهـ َغ اْأل ُ هِـخَ ِثب ْ ِإلٍ َ‬
‫ْــو ِاء * َ‪ٚ‬فَ ْ‬

‫اٌظـ ْل ُق َ‪ٚ‬افَ‪ ٝ‬أ َ ٍَُْ٘ٗ‬ ‫ْ‬


‫ط ِّ‬‫ك ٌَُٗ * َ‪ِ ٚ‬ثبٌؼُ ُو ْ‪ِ ٚ‬‬ ‫طـ ِلّ‪ٌْ ٠‬ك ِثز َ ْ‬
‫ظـ ِل ْ‪ٍ ٠‬‬ ‫لَ ْل فَبىَ ِ‬

‫َ َو ْٖ‬ ‫ظ َو ْٖ * َ‪ٍْ ٌِ ٚ‬ـؼَ َـ‪ِ ٛ‬اَ َ‬


‫ٍـ ْ‪ٙ‬ـٍَخٌ ُِ‪ َ١‬ه‬ ‫ػ ِم‪ْ١‬ـلَح ٌ ُِ ْقـز َ َ‬
‫َ‪َ٘ٚ‬ـ ِن ِٖ َ‬

‫ق‬ ‫ق ْاٌ َّ ْ‬
‫ظل ُْ‪ِ ٚ‬‬ ‫َبظ ُُ رِ ٍْ َه أَؽْ ـ َّلُ ْاٌ َّ ْو ُى ْ‪ٚ‬لِ ْ‪ْٕ َ٠ ْٓ َِ * ٟ‬ز َ ِّ‪ ٌٍِ ٟ‬ه‬
‫ظـب ِك ِ‬ ‫ٔ ِ‬

‫ػٍهـ َّب‬
‫‪َ ٟ‬ف‪ِْ ١‬و َِ ْٓ لَ ْل َ‬ ‫ٍـٍه َّب * َ‬
‫ػٍَـ‪ ٝ‬إٌه ِج ِّ‬ ‫طـٍه‪َ ٝ‬‬ ‫َ‪ْ ٚ‬اٌ َؾ ّْلُ ِ ِ‬
‫هلل َ‪َ ٚ‬‬

‫ـٓ ِث َق‪ِْ ١‬و َ٘ ْل‪ْ َ٠ ٍ ٞ‬مز َ ِل ْ‬


‫‪ٞ‬‬ ‫ت َ‪ُ ٚ‬و ًِّ ُِ ْو ِش ِل * َ‪ُ ٚ‬و ًِّ َِ ْ‬
‫ظـؾْ ِ‬ ‫َ‪ٚ‬اْ ِ‬
‫‪٢‬ي َ‪ٚ‬اٌ ه‬

‫ص ْاٌؼَ َّ ًْ * ‪ْ َٔٚ‬ف َغ ُو ًِّ َِ ْٓ ِث َ‪ٙ‬ب ل َ ِل ا ْشـزَُ ًَْ‬


‫َ‪ٚ‬أٍَْـأ َ ُي ْاٌ َى ِو‪ِ َُْ ٠‬ئ ْفَلَ َ‬

‫‪ُ ٟ‬‬
‫غ ٍ ّو ) ُع َّ ًِ‬ ‫ْـي ) ِثـؼَ ِلّ ْاٌ ُغ َّ ًِ * ر َ ِ‬
‫به ْ‪ُ ٠‬ق َ‪ٙ‬ب ( ٌِ ْ‪َ ٟ‬ؽ ُّ‬ ‫أ َ ْث‪َ١‬بر ُ َ‪ٙ‬ب ( َِ‪ٌ ١‬‬

‫ت فِ‪ ٟ‬اٌ ِلّ‪ ِْٓ ٠‬ثِبٌز ه َّبَ‬


‫اع ٍ‬ ‫ػـ ِمـ ْ‪١‬لَح َ ْاٌؼَ َ‪ِ ٛ‬اَ * ِِ ْ‬
‫ـٓ َ‪ِ ٚ‬‬ ‫ٍـ هّ‪ْ١‬ـز ُ َ‪ٙ‬ب َ‬
‫َ‬

‫‪Kitab Tauhid Dasar‬‬


BA'DHUL MARAJI' ( SUMBER RUJUKAN )

Al-Qur'an dan terjemahnya (wakaf Khadim al-Haramain)

Tafsir Al-Qur'an al-'Azhim (Imam Abul Fidaa Ismail bin Umar bin
Katsir)

Tuhfatul Murid 'ala Jauharah al-Tauhid (Syeikh Ibrohim al-Bajuri)

al-Taqrirat al-Sadidah fil Masail al-Mufidah (al-Habib Hasan bin


Ahmad al-Kaf)

Jami'ul Bayan fi Tafsir Al-Qur'an (Imam Muhammad bin Jarir al-


Thabari)

al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (Syeikh Abu Abdillah Muhammad al-


Qurthubi)

Hasyiyah al-Shawi 'alal Jalalain (Imam Ahmad al-Shawi)

Hasyiyah ad-Dusuqi 'ala Ummil Barahin (Syeikh Muhammad ad-


Dusuqi)

al-Hawi lil Fatawi (Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi)

Dzikriyat wa Munasabat (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki)

Jalaaul Afham Syarhu Aqidatil Awam (KH Ihya Ulumiddin)

al-Rahiq al-Makhtum (Syeikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri)

Mujazul Kalam Syarhu Aqidatil Awam (Syeikh Muhammad bin Ali


Ba'athiyah al-Dau'ani)

Manhaj al-Salaf fi Fahmin Nushush Bainan Nazhriyyah wat Tathbiq


(Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki)

al-Milal wan Nihal (Abul Fath Muhammad al-Syahrastani)

Kitab Tauhid Dasar


Nuruz Zhalam Syarhun 'ala Manzhumah Aqidatil Awam (Syeikh
Muhammad Nawawi al-Bantani)

Syarhu Shahih Muslim (Imam Yahya An-Nawawi ad-Dimasyqi)

Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari (al-Hafizh Ibnu Hajar al-


Asqalani)

al-Faidhul Kabir Syarh al-Jami' al-Shaghir (Syeikh Abdurrauf al-


Manawi)

Fiqhus Sirah (Syeikh Said Ramadhan al-Buthi)

al-Fauzu wan Najah fil Hijrah ilallah (Sayyid Muhammad al-Sayyid


al-Tijani).

Kitab Tauhid Dasar

Anda mungkin juga menyukai