Anda di halaman 1dari 103

Miftahus

Shudur
KUNCI
PEMBUKA
DADA

JUZ 1
Susunan :
K.H.A. SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN
Terjemahan dari Bahasa Arab :
PROF. DR. K. H. ABOEBAKAR ATJEH

Miftahus Shudur
PRAKATA

Sidang pembaca yang kami hormati,


Manusia hidup senantiasa dalam mencari –kemewahan,
kedudukan, kekuasaan, kepujian-- dan yang paling utama
sekali KETENTRAMAN JIWA.
Sarjana, Doktor, Filosuf, Seniman, Pengarang dan lain-lain
golongan Intelek telah mengemukanan berbagai-bagai teori
untuk mendapatkan KETENTRAMAN JIWA, -tetapi teori-teori
mereka tinggal teori saja, hasilnya belum ada.
Di dalam Islam jalan dan cara untuk mendapatkan
KETENTRAMAN JIWA telah disediakan. Di dalam buku ini ada
dikemukakan kepada pembaca yang mana kalau diikuti
dengan teliti dan diamalkan dengan seksama, Insya Allah
bukan saja akan mendapat KETENTRAMAN JIWA dalam hidup,
tetapi juga KEMENANGAN di akhirat.
Untuk mendapat keterangan yang lebih lanjut dan bimbingan
khusus, silahkan berhubungan dengan :

K.H.A. SHOHIBUL WAFA TADJUL ‘ARIFIN


Alamat :
SURYALAYA = TANJUNGKERTA
PAGERAGEUNG = TASIKMALAYA
INDONESIA

Miftahus Shudur
SEPATAH KATA PENYUSUN

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahi Robbil ‘Alamin.


Washshalaatu wassalaamu ‘alaa Sayyidina Muhammadin wa
’alaa aalihi washohbihi ajma’iin.

Setelah selesai kami menyusun kitab kecil ini, yang


sesungguhnya hanya memindahkan belaka dari kitab-kitab
karangan ‘Ulama-‘ulama besar ahli Sufi dan Thoreqat.
Kemudian kitab kecil ini kami serahkan kepada Bapak Prof.
DR. K. H. Aboebakar Atjeh untuk diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia mengingat pentingnya kitab ini.

Dengan demikian kami menyampaikan ucapan terima kasih


yang sebesar-besarnya atas kemurahan hati beliau, salah
seorang “penganjur” utama daripada Ilmu Tasawwuf dan
Thoreqat, dalam penyambutan dan melaksanakan terjemah-
annya dan semoga Allah SWT membalasnya. Amiin.

Isi dari kitab ini merupakan keterangan asal mulanya


“THOREQAT ISLAM” beserta amalannya dzikrullah yang
berdasarkan : Al Qur’an, hadist, Ijma, dan Qiyas, guna
membina iman manusia, agar teguh daripada segala godaan
syetan dan bujukan nafsu serta tabah dan kuat menghadapi
segala rintangan untuk menghendaki kemajuan Agama,
Bangsa dan Negara, dhohir-bathin. Begitu pula untuk

Miftahus Shudur
menyatakan manusia selaku abdi Allah Yang Maha Esa, baik
yang merupakan langsung (hablum minallah) yang artinya
menyambungkan pengabdian kepada-Nya, maupun yang
merupakan secara tidak langsung melalui hubungan sesama
manusia (kemasyarakatan).

Begitu pula firman Allah SWT yang artinya : “Kepada-Nyalah


tempat kembali dari segala urusan”.

Dengan ini semoga kita bersama dilimpahi taufiq hidayah-Nya


sehingga berkesempatan mempelajari dan mengamalkannya,
untuk mencapai “bahagia sejahtera di dunia dan akhirat”.

Amiin yaa rabbal ‘alamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

1 Muharram 1390

Suryalaya, 8 Maret 1970

Alfaqir

K.H.A. Shohibul Wafa Tadjul ‘Arifin

Miftahus Shudur
Kata Pengantar dari Penterjemah

TASAWWUF SELAYANG PANDANG

Dengan nama Allah, Tuhanku yang menjadi tujuan dan pusat


karunia, ridha yang menjadi harapan.
Saya terjemahkan kitab MIFTAHUS SHUDUR ini yang disusun
oleh K.H.A. Shohibul Wafa Tadjul ‘Arifin, Suryalaya –
Tasikmalaya, yang selesai pada tanggal 10 Rabi’uts Tsani 1388
Hijiriyyah, dari ucapan-ucpan Ulama besar dalam bidang
Tasawwuf dan Thoreqat mengenai “dzikir”. Saya mengaku,
bahwa terjemahan yang saa perbuat ini bukanlah terjemahan
yang sempurna karena banyak kalimat-kalimat syathah dan
istilah Arab yang tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa
kita terutama firman Allah dan sabda Rasul-Nya yang penuh
dengan hikmat wahyu, dangkal tak dapat diajuk, dalam tak
dapat diukur. Kitab kecil ini berat isinya, tidak dapat dipelajari
dengan hanya membaca dan merenungkan, tetapi harus
dengan merasa dan menampung daripada mutiara-mutiara
yang dihamburkan Syeikh atau Mursyid sebagai pengolahan-
nya.
Kitab ini hanya merupakan tonggak sebagai tanda di tengah
lautan. Untuk mencapai tanda itu perlulah ada biduk yang
dikayuh melalui ombak dan riak gelombang latihan yang maha
dahsyat. Rasa hanya dapat disampaikan dengan rasa, tidak
dapat diteruskan dengan huruf gambaran suara atau kata-
kata melalui ujung lidah. Tasawuf adalah lautan besar, dzikir

Miftahus Shudur
terhadap Tuhan adalah tujuan. Ibadat yang tidak dengan
dzikir adalah gerak-gerik yang kosong daripada wara’.
Hasan Al Basri r.a berkata “Seberat biji jagung wara’ yang
sempurna, lebih baik dari pada seribu kali berat biji jagung
puasa dan sembahyang”.
Oleh karena itu Maruf Al-Karkhi r.a. pernah berkata :
“Waliyullah itu dikenal dengan tiga perkara : pertama
pikirannya selalu tentang Allah, kedua berbuat sesuatu hanya
dengan Allah dan ketiga seluruh kebimbangannya hanya
dengan Allah”.
Sulaiman Ad-Darani r.a. pernah berkata : “Terkadang-kadang
Allah membuka rahasianya kepada hambanya yang arif di
atas tempat tidur yang empuk, lalu melimpahkan Nur
kedalam hatinya, apa yang belum tentu dilimpahkan bagi
seseorang yang berdiri dalam sembahyang berhari-hari.
Apabila mata hati orang yang arif ini terjaga, tertutuplah
mata kepalanya, karena orang itu tidak melihat apa-apalagi
selain yang hak”.
Katanya pula : “Apabila hatinya menangis pastilah rohnya
bangkit bergembira”. Tatkala Zun Nun r.a. ditanya tentang
dzikir, ia menjawab : “Bahwa dzikir itu adalah lenyapnya
perasaan orang yang mengucapkannya”. Katanya pula,
“Barangsiapa berdzikir terhadap Tuhan atas dasar hakekat, ia
melupakan apa yang ada di sekelilingnya. Tuhan memelihara
dari segala sesuatu hingga segala sesuatu itu kembali
kepadaNya”.

Miftahus Shudur
Saya merasa berbahagia dapat menterjemahkan risalah yang
kecil tetapi berat isinya dari yang mulia Abah Anom, karena
saya banyak mendapatkan mutiara yang ada di dalamnya,
yang merupakan ajaran dan rahmat bagi diri saya.
Apakah terjemahan ini sesuai dan dapat diterima, saya sudah
melakukan tugas turut beramal dalam bidang gerakan
tasawwuf dan toreqat yang juga menjadi kegemaran dan
sablilul yaqin bagi saya.
Wabillahit taufiq wal hidayah.

Ramadhan 1389
Jakarta, Nopember 1969
Penterjemah,

Prof. DR. K. H. Aboebakar Atjeh

Miftahus Shudur
PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami petunjuk


untuk mengerjakan pekerjaan ini, karena jika kami tidak
mendapat petunjuk dari Allah, tidak akan terbuka hati kami.
Kemudian Shalawat dan Salam kepada Penghulu kita yang
terpilih, kepada keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang
baik-baik seumumnya.
Kemudian daripada itu ketahuilah, wahai semua Saudaraku,
yang hendaknya diilhamkan Tuhan menjadi ahli dzikir
semuanya dan menjadi orang yang tidak dapat dipengaruhi
oleh harta benda dan anak-anaknya, dan tidak terlupa dari
berdzikir atau selalu teringat kepada Tuhan bahwa dzikir itu
adalah pekerjaan yang sangat utama dan amal yang afdol
serta merupkan wasilah yang dapat menghubungkan manusia
dengan Tuhannya.
Allah berfirman :

‫ٱ َو ْذ َو ُر‬
‫َو َو ِذ ْذ ُر ِهَّلل ِذ‬
“Dzikrullah adalah pekerjaan yang agung”
Wahai orang-orang yang beriman, ingat dan berdzikirlah
kamu untuk Allah sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah pagi
dan petang. Ingat kepada Tuhan dalam dirimu secara terang-
terangan atau secara diam-diam, baik pada waktu pagi

Miftahus Shudur
maupun pada waktu sore. Janganlah engkau termasuk orang
yang lupa kepada-Nya.
Adapun mereka yang beriman dan tenang hatinya karena
berdzikir kepada Allah, ketahuilah bahwa sesungguhnya dzikr
kepada Allah itu akan memberi ketenangan.
Wahai orang yang beriman, jagalah jangan sampai harta
benda dan anakmu membuat kamu lupa daripada dzikrullah.
Orang yang demikian, merupakan orang yang rugi, mereka itu
diperbodoh oleh syetan, lalu mereka dibuat lupa kepada
dzikrullah dan akhirnya mereka itu menjadi tentara syetan,
yang akan menderita kerugian.
Ayat Quran dan Hadist mengenai dzikir seperti yang tersebut
di atas, tidak terhingga banyaknya, hanya sebagian yang kami
kumpulkan dari kitab-kitab yang banyak itu, terutama dari
kitab “Sirrul Asrar” yang merupakan petunjuk bagi mereka
yang ingin menempuh jalan mengenal Tuhan dengan sebaik-
baiknya; dari “Jami’un ‘Usul Al-Auliya”, “Qala ‘Idul Jawahir”,
“Fathul Arifin”, “Tanwirul Qulub”, “Fuyudhatur Rabbani”,
“Manhus Sanniyah”. Dan lain-lain kitab yang berisi ucapan-
ucapan ‘Ulama yang mendalami ilmunya. ‘Ulama’ulama yang
shahih lagi arifin, yang mudah-mudahan Allah menjadikan
manfaat pada tiap tempat dan zaman serta dibantu dengan
syafa’at Nabi Muhammad SAW, Penghulu segala manusia dan
jin. Begitu juga dengan keramar Penghulu kita Syeikh ‘Abdul
Qadir Al-Jailani q.s.a yang suci dan bersih niat serta
rahasianya.

Miftahus Shudur
DAFTAR ISI

1. Sepatah Kata Penyusun


2. Kata Pengantar dari Penterjemah
3. Pendahuluan
4. BAB I : Tentang INTI DAN ISBAT
5. BAB II : Tentang DZIKIR JAHAR
6. BAB III : Tentang TALQIN DAN BAI’AT
7. BAB IV : Tentang KEWAJIBAN MENYEBUT SANNAD
THOREQAT

Miftahus Shudur
BAB I
INTI NAFI DAN ISBAT

Dzikir naïf dan isbat, dengan lain perkataan kalimat dzikir yang
tidak mengakui semua tuhan-tuhan dan menetapkan kepada
Tuhan Allah yang satu tunggal, adalah dzikir yang paling besar
manfaatnya dan paling sangat berbekas bagi manusia, yaitu
kalimat : LAA ILAAHA ILLALLAAH, artinya tidak ada Tuhan
melainkan Allah.
Tuhan berkata dalam firmanNya :

‫ُر‬ ‫َو اْذ َو ْذ َو ِهَّلل ُر َو ِذ ٰل َو ِذ ِهَّلل‬


Ketahuilah tentang Tuhan itu, bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allah
Nabi Muhammad SAW bersabda :

‫َو ْذ َو ُر َوم ُر ْذ ُر َو َو َو ِهَّلل ِذ ُّي َوو ِذموْذ َو ْذ ِذى َو ِذ ٰل َو ِذ ِهَّلل‬


Yang paling utama apa yang aku ucapkan dan apa yang
diucapkan Nabi-nabi sebelumku, yaitu :
LAA ILAAHA ILLALLAAH.
Kemudian Nabi berkata pula dalam Hadits :

‫ص َو َو َو ْذ َو ِهَّلل َو‬
ً ‫ص م ْذُرخ ِذ‬
ً ‫ُر َوخ ِذ‬ ‫َوموْذ َو َو َو ِذ ٰل َو ِذ ِهَّلل‬
Barangsiapa yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH
dengan ikhlas, pasti masuk syurga.
Miftahus Shudur
Dalam Hadist lain Junjungan kita itu berkata :

‫َو ْذ َو َوا َوى َو ْذ ِذ َو ِذ ٰل َو ِذ ِهَّلل ُر َو ْذخ َو ٌة ِذ ْذ ُر ُر ْذ ِذ ِذ ْذ َو َو ِذ ْذ‬


‫ُر ُر ْذ ِذ ِذ ْذ‬
Bagi mereka yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH
tidak usah takut akan kejahatan dalam kubur dan kejahatan
pada waktu berkumpul di Padang Makhsyar.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda pula :

ً ‫ُر ُر ْذ‬ ‫ُر ِهَّلل َو َو َو ْذ َو َوا َو ِذ ُر َو ِذ ٰل َو ِذ ِهَّلل ُر ُرب ْذ ِذ ْذ َو ْذ ِذ‬


‫َو َو َو َو ُر َو ُر ٰل ِذ َو‬
Jika ada seseorang yang mengucapkan LAA ILAAHA
ILLALLAAH secara benar, meskipun ia mempunyai dosa
sebesar bumi akan diampuni Tuhan dosanya itu.
Kalimat itu dinamakan “Kalimat Thayyibah” yang dapat
mensucikan orang yang mengucapkannya, dari syirik jali
sebagaimana ia dapat membersihkan jiwa orang itu dari syirik
khafi dan menjadikan orang itu orang yang ikhlas dan murni.
Begitu juga kalimat ini dapat membuka hati manusia dari hijab
yang selalu menghalangi kepada kebenaran serta
membersihkan jiwa orang itu dari segala kotoran dan sifat-
sifat kebinatangan.
Kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH itu mengkaruniai kasyaf bagi
orang yang mengucapkan untuk selama-lamannya, disamping
mengkaruniai sifat sidiq, ikhlas, ilmu ladunni, rahasia-rahasia

Miftahus Shudur
yang aneh dan akan diberi musyahadah bermacam-macam
alamat dari Tuhan.
Karunia yang demikian itu baru diperoleh, jika ucapan kalimat
itu diambil dan diterima dari hati yang taqwa dan suci dari
selain Allah, bukan hanya dipetik dengan didengar saja dari
mulut-mulut orang awam. Kalimar nafi-isbat itu meskipun
sepotong ayat yang pendek, tetapi maknanya sangat luas
meliputi seluruh hati jika diambil dengan butir-butir Tauhid
dari hati yang hidup, butir-butir itu akan tumbuh. Berlainan
dengan butir-butir yang tidak mencapai dan tidak hidup.
Rasulullah SAW bersabda :
‫ُر َو ْذ َوت ِذ ىْذ ٰل‬ ‫ٱ َوت َوع َوى َو ِهَّلل َو َوا َوى ِهَّلل ِذ َوموْذ َو َو َو ٰل َو ِهَّلل‬
‫ِذ‬ ‫ِذ ِهَّلل َو‬
‫ِذ َو َو ْذ َو ُر‬
Bahwasanya Allah ta’ala itu mengharamkan api neraka
menjilat orang yang berkata LAA ILAAHA ILLALLAAH yang
ditujukan hanya kepada Allah semata-mata. (HR. Bukhari-
Muslim).
Dalam Hadist lain :

‫َو ِذ ُر ِذ ِذى ْذ َو ِذ ِذ َوْذو َو ِهَّلل َو َو ِذ ْذ َو ْذ َو ِذا ِذى َو َو ٍط‬


‫ْذ‬
‫َو ِذ ْذ ِذ‬
Orang sedang berdzikir seperti pohon yang rindang di
tengah-tengah pohon kering.
Nabi berkata juga :

Miftahus Shudur
‫ِذ‬ ‫َو ِذ ُر ِذ ِذى ْذ َو ِذ ِذ َوْذو َو ْذ َو ِّي َو َوْذو ْذ َو ْذم َو‬
Orang yang ingat kepada Allah adalah laksana orang yang
hidup di tengah-tengah orang yang mati.
Dalam Al-Qur’an, Tuhan berfirman :
ۡ ‫َو َو َومو َو َو َوح ِهَّللٱُر َو‬
ۚ‫َو ٰلـ ِذ َو ُر َو َوا َو ٰلى ُر ٍ۬ ٍط مِّيو ِهَّلل ِّي ِذۦ‬ ‫ص ۡ َو هُر ۥ ِذ‬
ۡ ‫ِذۡل‬
‫ٱۚ ُر ْذ َو ٰلـ ِذِٕٮ َو ِذى َو َو ٰلـ ٍ۬ ٍط ُّيم ِذ ٍطو‬
‫ِهَّلل ِذ‬ ۡ ۡ ٍ۬
‫َو َو ۡ ٌة ِّي َوب ٰلـ ِذ َو ِذ ُر ُر ُر ُر مِّيو ِذ ِذ‬
Barangsiapa yang dibuka dadanya untuk Islam, maka ia
berada di tengah-tengah Nur Tuhannya. Neraka “wail”
disediakan bagi orang-orang yang hasad (keras) hatinya dan
tidak berdzikir kepada Allah, orang itu berada dalam
kesesatan yang nyata. (QS. Az-Zumar : 22)
Dalam Al Qur’an Tuhan berfirman :

‫ُر َو ِهَّلل ِذى َو ۡ َو َو َو ُر َو ُر ۥ ِذٱ ۡ ُر َو ٰلى َو ِذ ِذو ۡ َو ِّيق ِذ ُۡرظ ِذ َو هُر ۥ‬


‫َوا َوى ِّي ِذو ُر ِّي ِذۦ َو َو ۡ َو ِذ َوه ۡ ُرم ۡ ِذ ُر َوو‬
Dialah Allah yang mengutus RasulNya dengan petunjuk dan
agama yang benar, untuk mengatasi seluruh Agama itu
kepada manusia, meskipun tidak disenangi oleh orang-orang
yang musyrik. (QS. Ash-Shaf : 9)
Firman Allah dalam Al-Qur’an :

Miftahus Shudur
ۡ ‫ٍ۬ ً ِّيم ۡ ُر ۡ َو ۡت ُر ْذ َوا َو ۡ ِذ‬ ‫َو ُر‬ ‫ث ِذى ۡۡل ُر ِّيم ِّۧيـ َوو‬ ‫ِهَّلل ِذى َو َوع َو‬ ‫ُر َو‬
‫َو ۡ ِذ ۡ َوم َو َو إِذو َو ُر ْذ‬ ‫ِذ َوت ٰلـ َو‬ ۡ ‫ِذۦ َو َوُرز ِّي ۡ َو َوُرع ِّي ُرم ُر ُر‬
‫ِذ‬ ‫َوا َو ٰلـ ِذت‬
‫ُّيم ِذ ٍ۬ ٍطو‬ ‫َو َو ٰلـ ٍ۬ ٍط‬ ‫مِذو َو ۡ ُر َو ِذى‬
Dialah Tuhan yang telah mengutus seorang Rasul diantara
kalangan manusia yang tidak dapat membaca dan menulis,
yang maksudnya :
1. Agar menyampaikan keterangan-keterangan tanda-
tanda kebesaran Allah SWT.
2. Membersihkan kotoran-kotoran hati mereka (sifat
Mazmunah), dan
3. Agar pula diajarkan kepada mereka isi Kitab Suci dan
hikmahnya meskipun mereka itu berada dalam
keadaan sesat. (QS. Al-Jum’ah : 2)
Pada tempat yang lain, Allah berfirman kepada Nabi
Muhammad SAW :

‫ٱ َوا َو ٰلى َو صِذ َو ٍط َو َو ٍ۬ َو َوم ِذو‬


ۚ‫ُر ۡ َو ٰلـ ِذ هِذۦ َو ِذ ِذى َو ۡ ُرا ْذ إِذ َوى ِهَّلل ِذ‬
ۖ‫ِهَّللت َو َوع ِذى‬
Katakanlah, bahwa inilah jalanku, serukan mereka kembali
kepada Allah dengan hati yang terang, katakanlah ikuti aku
dan orang-orang yang sepaham dengan aku. (QS. Yusuf :108)
Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku semua, sadarlah
kamu dan bersegeralah kembali minta ampun kepada
Tuhanmu beserta rombongan (Guru-guru) kerohanianmu.
Tidak ada jalan lain yang lebih pendek dan tidak ada teman
Miftahus Shudur
yang dapat menolongmu dalam alam ini, kecuali Tuhan itu.
Tidaklah kita datang ke dunia yang kotor dan hina dina untuk
tinggal selama-lamanya.
Kita datang ke dunia tidak hanya untuk makan dan minum
dan untuk melepaskan hawa nafsu yang cemar, sedang
Nabimu menanti kedatanganmu ke alam baqa dengan
bermuram durja.
Nabi SAW bersabda :

‫َو مِّيىْذ ِذ َو ْذ ِذ ُر ِهَّللمتِذى ِهَّلل ِذ َوْذو ِذى ٰل ِذخ ِذ ِهَّللز َوم ِذو‬
Dukacita karena umatku yang pada akhir zaman akan
terpecah-pecah menjadi 73 golongan.
Dari Abdullah bin Zaid, dari Abdullah bin Umar diterangkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Bani Isra’in akan pecah
dalam 71 golongan, Nasrani akan pecah dalam 72 golongan
dan umatku akan pecah dalam 73 golongan. Semuanya
masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan. Orang
bertanya : “Manakah yang satu golongan itu?” Rasulullah
SAW berkata : “Ialah yang seperjalanan dengan daku dan
sahabatku.
Allah berfirman :
ٍ۬
‫َو ِذمم ِۡهَّللو َوخ َو ۡب َو ُر ِهَّللم ٌة َو ۡ ُر َوو ِذٱ ۡ َو ِّيق َو ِذ ِذۦ َو ۡع ِذ ُر َوو‬
Ada di antara umat yang kami jadikan itu mendapat petunjuk
sepanjang yang hak dan oleh karena itu mereka berbuat adil.
(QS. Al-A’raf : 181)

Miftahus Shudur
Tuhan berfirman pula :

‫َو َوم َوخ َو ۡب ُر ۡ ِذ وِهَّلل َو ۡٱِذ َو إِذ ِهَّلل ِذ َو ۡع ُر ُر ِذو‬


Aku tidak jadikan jin dan manusia itu, kecuali untuk
menyembah daku. (QS. Az-Zurriyat :56)
Maksud ayat ini, manusia dan jin itu dijadikan agar mereka
menyembah Tuhan. Penyembahan ini dinamakan ma’rifat,
dan ia dapat diperoleh hanya dengan terbuka hijab nafsunya
dari cermin hati dengan segala kesuciannya. Maka orang yang
dikaruniai demikian itu melihat keindahan perbendaharaan
yang tersembunyi dalam rahasia lubuk hatinya seperti yang
pernah difirmankan Allah SWT, dalam sebuah Hadits Qudsi :

‫ُر ْذ ُر َو ْذ ًز م ْذُرخ ِذ ً َو َو ْذ َو ْذ ُر َووْذ ُراْذ ِذ ف َو َوخ َو ْذب ُر ْذ َو ْذ َوق ِذ َو ىْذ‬


‫ف َو ِذ ٰل َو َوت َو َوِهَّللو َووِهَّلل ُر َوخ َو َوق ْذ ِذ ْذ َو َوو ِذ َومعْذ ِذ َو ِذت‬
‫َواْذ ِذ َو‬
Aku ini adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin
diketahui. Aku jadikan makhluk supaya Aku diketahui dan
dikenal.
Dari Hadits jelas bahwa Allah menjadikan manusia untuk
kepentingan ma’rifat, yaitu mengenal-Nya dengan sebaik-
baiknya.
Ma’rifat ada 2 (dua) macam :
1. Ma’rifat sifat Allah
2. Ma’rifat zat Allah

Miftahus Shudur
Ma’rifat sifat merupakan keutamaan badan dalam dua
negara, yaitu dunia dan akhirat. Sedangkan ma’rifat zat
merupakan keutamaan roh yang suci di akhirat.
Tuhan berfirman :

‫إِذ َو ٰلى َو ِّي َو َو ظِذ َو ٍ۬ ٌة‬


“Bahwa manusia-manusia itu pada hari kemudian akan
melihat Tuhan.” (QS. Al-Qiyamah : 23)
Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW selalu
memperingatkan (mentalqinkan) Kalimat Thoyyibah kepada
sahabat-sahabatnya guna :
1. Membersihkan hatinya;
2. Membersihkan jiwanya;
3. Menyatakan hubungan dengan Tuhannya
4. Mencapai kebahagiaan yang suci.
Sebuah hadist dari Ali bin Abi Thalib k.w. berbunyi : “Bahwa ia
pernah mendengar Rasulullah SAW menceritakan bahwa Jibril
berkata demikian : Belum pernah aku turun membawa
kalimat yang lebih agung dari kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH,
karena dengan kalimat itulah tegaknya langit dan bumi,
gunung dan tumbuh-tumbuhan, laut dan daratan. Itulah
kalimat ikhlas, kalimat Islam, kalimat kedekatan dengan
Tuhan, kalimat taqwa, kalimat kemenangan, dan kalimat
angkasa-perkasa”.
Dalam hadist yang lain disebut : “Itulah kalimat tauhid, itulah
kalimat ikhlas, itulah kalimat taqwa, itulah kalimat thoyyibah,

Miftahus Shudur
itulah kalimat da’watulhaq, itulah kalimat urwatul wusqa dan
itulah kalimat tsamma ‘ul jannah (harga dan pembeli
syurga)”.
Bersabda pula Nabi Muhammad SAW :

‫ِذ‬ ‫َو ِّي ُر ْذ ِذ ْذ َوم َو ُر ْذ َو ُر ْذ َو َو‬


‫ْذف ُر َو ِّي ُر ِذ ْذ َوم َو َو َو َو ُر ْذ َو‬
‫َو َو ِذ َو ْذ ِذ َو ْذ ِذ َو ِذ ٰل َو ِذ ِهَّلل ُر‬
Perbaharuilah iman kamu. Sahabat bertanya : “Bagaimana
kami memperbaharui iman kami ya Rasulullah?” Jawab Nabi
: Dengan memperbanyak ucapan LAA ILAAHA ILLALLAAH.
Dan Nabi SAW bersabda pula : “Barang siapa memperbanyak
dzikrullah, ia terlepas dari munafiq”.
Dan sabdanya pula : “Dzikrullah itu adalah ciri iman,
kemerdekaan, membebaskan diri dari munafiq, benteng
pertahanan dari serangan syetan dan tameng dari panasnya
api neraka.”
Tuhan berfirman :

‫َو َو َو ٍ۬ ٍط َو ِّي َو ٍط‬ ‫ف َو َو َو ِهَّللٱُر َوم َو ٍ۬لً َو ِذ َوم ٍ۬ ً َو ِّي َو ٍ۬ ً َو‬


‫َو ۡ َو‬ ‫َو َو ۡ َوت َو‬
‫ڪ َو َو ُر ِهَّلل‬ ‫ُر ُر‬ ‫َو ِذ ٍ۬ ٌة َو َو ۡ ُرا َو ِذى ِهَّلل َوم ِذا () ُرت ۡؤتِذى‬ ‫ص ُر َو‬ ۡ ‫َو‬
ۡ ‫ِذ َو َوع ِهَّلل ُر‬ ‫ِذإِذ ۡ ِذو َو ِّي َو ۗ َو َو ۡ ِذ ُر ِهَّللٱُر ۡۡلَو ۡم َو َو ِذ ِهَّلل‬ ‫ِذ ِۭ ِذو‬
‫ڪ ُر َوو‬ ‫َو َوت َو ِهَّلل‬
Tidaklah kamu lihat Allah mengatakan kalimat thoyyibah
seperti menegakkan pohon thoyyibah yang urat akarnya

Miftahus Shudur
teguh dan cabangnya berkembang di langit, diberi
(didatangi) makanan tiap waktu dengan izin Tuhannya.
Demikian contoh yang diberikan Allah kepada manusia agar
mereka ingat. (QS. Ibrahim : 24-25)
Penegakan ini Tuhan karuniakan kedalam hati hamba-hamba
yang dicintaiNya, dengan firman-Nya : “Ditetapkan Allah
mereka yang beriman dengan kata-kata yang tetap dan tegak
dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Allah
menyesatkan orang-orang yang dzalim dan ia berbuat
sekehendaknya.” (QS. Ibrahim :27)
Dengan fitrah ini hendaknya dijelaskan bahwa Allah
menegakkan tauhid yang urat tunggangnya terhujam di bumi
yang ketujuh dan cabang-cabangnya di langit ‘arasy,
kemudian ditaburkan bibit tauhid di atas tanah persemaian
hati agar tumbuh dari dalam pohon tauhid yang urat
tunggangnya di dalam angkasa rahasia dan berbuat tauhid
untuk keridhaan Tuhan, sebagai tujuan amal shaleh, maka
hiduplah hakikat insani yang dinamakan thiflul ma’ani
(pengertian-pengertian yang pelik).
Maka firman Tuhan :

‫ص ٰلـ ِذ ُر َو ۡ َو ُرع ۚ ُر‬


‫ِهَّلل ِّي ُر َو ۡ َوع َوم ُر ِهَّلل‬ ‫ص َوع ُر ۡ َو ِذ ُر‬
ۡ ‫إِذ َو ۡ ِذ َو‬
KepadaNya naik gubahan kata-kata yang indah, yakni LAA
ILAAHA ILLALLAAH, dan kepadaNya terangkat amal yang
shaleh (QS. Al-Fathir : 10)
Dalam firman yang lainnya pula :

Miftahus Shudur
ٍ۬
‫َو َومو َو َوو َو ۡ ُر ْذ ِذ َوب َوا َو ِّي ِذۦ َو ۡ َو ۡع َوم ۡ َوا َوملً َو‬
‫ص ٰلـ ِذ ٍ۬ ً َو َو‬
‫ُر ۡ ِذ ۡ ِذ ِذع َو َو ِذ َو ِّي ِذ ۦۤ َو َو َۢ َو‬
Barang siapa ingin berjumpa dengan Tuhannya hendaklah ia
beramal shaleh dan tidak menyekutukan Tuhannya itu
dengan apapun juga dalam ibadat penyembahannya. (QS.
Al-Kahfi : 110)

Miftahus Shudur
BAB II
DZIKIR JAHAR

Cara melakukan dzikir jahar (dzikir dengan suara yang keras)


ialah bahwa orang yang berdzikir itu memulai dengan ucapan
LAA di bawah pusat dan diangkatnya sampai ke otak dalam
kepala. Sesudah itu diucapkan ILAAHA dari otak dengan
menurunkannya perlahan-lahan bahu kanan. Lalu memulai
lagi mengucapkan ILLALLAAH dari bahu kanan dengan
menurunkan kepala kepada pangkal dada di sebelah kiri dan
berkesudahan pada hati sanubari di bawah tulang rusuk
lambung dengan menghembuskan lafadz nama Allah sekuat
mungkin sehingga terasa geraknya pada seluruh badan
seakan-akan di seluruh bagian badan amal yang rusak itu
terbakar dan memancarkan Nur Tuhan. Getaran itu meliputi
seluruh bidang latifah sehingga dengan demikian tercapai
makna tahlil yang artinya : “tidak ada yang dimaksudkan
melainkan Allah”. Kalimat nafi melenyapkan seluruh wujud
sesuatu yang baru dari pada pandangan fana dari kalimat
isbat ditegakkanlah dengan tegak dalam hati dan kepada dzat
yang Maha Besar, lalu memandang wujud dzat Allah dengan
pandangan yang baqa.
Setelah selesai dzikir dengan bilangan ganjil, dapatlah kita
pada akhirnya membaca :
SAYYIDUNAA MUHAMMADURRASUULLULLAAH.
SHOLLALLOOHU ‘ALAIHI WASALLAAM

Miftahus Shudur
Diantara syarat-syaratnya, yaitu bahwa orang yang berdzikir
itu :
1. Dalam wudhu yang sempurna;
2. Berdzikir dengan pukulan gema yang kuat;
3. Suara keras yang dapat menghasilkan NUR DZIKIR
dalam rongga bathin mereka yang berdzikir, sehingga
hati mereka itu hidup dengan Nur Hidup yang abadi
yang bersifat keakhiratan.
Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an :

ۖ ‫َو َو ُر ُر َوو ِذ َو ۡ َوم ۡ َو إِذ ِهَّلل ۡ َوم ۡ َوت َو ۡۡل ُر َو ٰل‬


‫ى َو َو َو ٰل ُر ۡ َوا َو َو‬
ۡ
‫َو ِذ ِذ‬
Mereka tidak merasakan mati kecuali yang pertama dan
terpelihara dari adzab neraka.” (QS. Ad-Dukhan : 56)
Rasulullah SAW berkata mengenai persoalan ini : “Orang-
orang yang mu’ min itu sebenarnya tidak mati, tetapi mereka
berpindah dari daerah fana kepada kampung yang baqa”.
Dan beliau bersabda pula : “Hendaklah engkau mencapai mati
sebelum mati. Barangsiapa yang ingin melihat mayat berjalan
di atas bumi, hendaklah ia melihat kepada sahabat Abubakar
r.a.”.
Nabi berkata pula : “Orang yang mu’min itu dengan Nurullah
yang ia jadikan daripadanya.”
Sayyidina Umar r.a. berkata : “Hatiku melihat Tuhan dengan
Nur Tuhan.”

Miftahus Shudur
Ru’yatullah atau melihat Tuhan tidak dapat dicapai di dunia,
tetapi yang dapat dicapai ialah melihat sifat Allah dalam kaca
cermin hati.
Hati itu merupakan batu dan jika demikian tidak dapat dicapai
apa-apa seperti firman Tuhan :

‫َو َو ِذ َوى َو ٱ ۡ ِذ َو َو ِذ َو ۡ َو َو ُّي‬ ‫ُر ِهَّلل َو َو ۡ ُر ُر ُر ُر م َِّۢيو َو ۡع ِذ َو ٲ ِذ‬


ًۚ ٍ۬ ‫َو ۡ َو‬
Kemudian maka keraslah hatimu, jadi batu atau lebih keras
dari batu (QS. Al Baqarah : 74)
Oleh karena itu sebagaimana batu tidak dapat dipecahkan
dengan kekuatan luar biasa, maka demikian pula dzikir tidak
akan berbekas pada seluruh kekusutan hati, kecuali dengan
kekuatan yang luar biasa pula, yaitu dengan dzikir jahar.
Pada tempat lain Allah berfirman dalam kitab suci-Nya :

ً ٍ۬ ‫ِهَّلل ِذ َوب ِذ َوۡلَو ۡ َوب ۡ َو ٰلـ ُر ِهَّللم ًا َو َو‬ ‫َو َو ِهَّلل ِذ ۡ َوت َوب ٰلـ ُرم ْذ َوا َوى‬
Kalau sekiranya mereka lurus di atas jalan yang benar,
niscaya Kami turunkan kepada mereka air hujan yang lebat.
(QS. Al-Jin : 16)
Maka berkatalah Syeikhul Kamil Ibrahim Al-Mathuli r.a. :
“Angkatlah suaramu dikala engkau bedzikir sampai mencapai
kumpulnya kekuatan bathin (Jam’iyat), seperti orang-orang
‘Arifin. Jam’iyat itu kumpulnya fikiran dan perasaan
“Tawajjuh” (menghadap Tuhan), selalu cenderung kepadaNya
putus dari segala pikiran dan perasaan lainnya”.

Miftahus Shudur
Ulama-ulama sufi berkata : “Apabila murid-murid melakukan
dzikir ucapan LAA ILAAHA ILLALLAAH dengan memusatkan
perhatiannya yang bukan padaNya, maka cepat terbuka
segala tingkatan ajaran Thoreqat, kadang-kadang terasa
dalam tempo satu jam yang tidak dapat dihasilkan dengan
ucapan kalimat lain dalam tempo satu bulan, atau lebih dari
satu bulan.”
Berkata Syeikh ‘Abdul Mawahib Asy-Syazili r.a. : “Ulama-
ulama berlainan pendapat tentang dzikir, katanya : “Manakah
yang lebih utama, apakah dzikir jahar atau sir?”. Disitu aku
berkata : “Tentang dzikir jahar sangat utama agar
menambahkan bulatnya tekad, teguhnya bathin tauhid
kepada Allah, kuat dari segala pengaruh makhluk untuk
tingkatan manusia yang baru belajar.”.
Begitu pula tentang dzikir sir, memang itupun utama untuk
manusia-manusia yang sudah mencapai tingkatan kuatnya
tauhid kepada Allah SWT dan teguhnya bathin dari segala
godaan syetan dan bujukan nafsu.
Imam Bukhori r.a. berkata dalam kitab shahihnya dalam bab
Dzikir sesudah Shalat Fardhu : “Diceritakan dari Ishak bin
Abdurrahman dari Jura’id dari Amir, bahwa Ma’ud Ibnu Abas
meriwayatkan”. :

‫فُر ِهَّلل ُر م َوِذو ْذ َوم ْذ ُرت ْذ‬ ‫ص ِذ‬ ‫ّذ ْذ ِذ ِذ َوْذو َو ْذ َو‬ ‫ص ْذ ِذ ِذ‬ ‫ِهَّلل‬ ‫ِذوِهَّلل َو ْذ َو‬
‫ُر َوا َو ْذ ِذ َو َو ِهَّلل َو ُر ْذ ُر‬ ‫ص ِهَّللى‬
‫ٱ َو‬ ‫َو ُر ْذ ِذ ِذ‬ ‫َو ِذ َو و َوا َوى َوا ْذ ِذ‬
‫ِذ َو َو ِذمعْذ ُرت ُر‬ ‫ص َو ُر ْذ ِذ ٰل ِذ َو‬
‫ْذ َو‬ ‫َواْذ َو ُر ِذ َو‬

Miftahus Shudur
Bahwa mengangkat suara dalam dzikir dikala manusia
sesudah selesai mengerjakan shalat fardhu, betul-betul
terjadi dalam masa Nabi SAW.
Kemudian Ibnu Abbas r.a. berkata lagi : “Aku betul-betul
mengetahui dan mendengarkan angkatan suara keras dalam
dzikr itu”.
Syekh Ahmad Al-Kosasin r.a. menambahkan : “Keadaan ini
menjadi dalil kelebihan atau keutamaan mengeraskan ucapan
dzikir, sehingga didengar oleh orang lain, yang dinamakan
dzikir jahar.”
Nabi pernah bertanya kepada sahabat-sahabatnya : “Belum
pernahkan kutunjukan kepadamu sesuatu perkara yang
merupakan kebajikan di dunia dan akhirat? Jawab mereka :
“Belum”, Nabi berkata pula :

‫ِّي ْذ ِذ َو ِذ َو َوخ َو ْذ َو َو َو ِّي ْذ ِذ َو َو َو ِذ ِذ ْذ ِذ ِذ‬ ‫َوا َو ْذ َو ِذ َوم َو ِذ ِذ‬


Hadirilah majelis dzikir jika engkau sendiri gerakkan lidahmu
bersuara dengan berdzikrullah.
Tuhan berfirman :

‫ص ِذ ۡ َو ۡ َو َو َوم َو ِهَّلل ِذ َوو َو ۡ ُرا َوو َو ِهَّلل ُر ِذٱ ۡ َو َو ٰل ِذ َو ۡ َوع ِذ ىِّي‬


ۡ ‫َو‬
‫ُر ِذ ُر َوو َو ۡ َو ُر‬
Sabarlah engkau bersama-sama orang yang menyeru
mengingat kepada Tuhannya pagi dan petang dalam keadaan
mereka menghendaki keridhaan Allah (QS. Al-Kahfi : 28).

Miftahus Shudur
Miftahus Shudur
BAB III
TALQIN DAN BAI’AT

Talqin itu peringatan guru kepada murud, sedang bai’at yang


juga dinamakan ‘ahad—adalah sanggup dan setia murid
dihadapan gurunya untuk mengamalkan dan mengerjakan
segala kebajikan dan mengerjakan segala kebajikan yang
diperintahkannya.
Banyak hadist yang menerangkan kejadian Nabi mengambil
‘ahad pada waktu membai’atkan sahabat-sahabatnya :
Diriwayatkan oleh Ahmad r.a. dan Tabrani r.a. bahwa
Rasulullah SAW pernah mentalqinkan sahabat-sahabatnya
secara berombong-an atau perorangan.
Talqin berombongan pernah diceritakan oleh Syaddad bin
‘Aus r.a. : “Pada suatu ketika kami berada dekat Nabi SAW,
Nabi SAW berkata” :

‫َو ْذ ِذ ْذ ُر ْذ َو ِذ ْذ ٌة َو عْذ ِذىْذ ِذموْذ َو ْذ ِذ ْذ ِذ َوت ِذ َوبُر ْذ ُر َو‬


Apakah ada diantaramu orang asing? Maka jawab saya :
“Tidak ada”
Lalu Rasulullah menyuruh menutup pintu dan berkata :
“Angkat tanganmu dan ucapkan LAA ILAAHA UILLALLAAH”,
seterusnya beliau berkata : “Segala puji bagi Allah wahai
Tuhanku. Engkau telah mengutus aku dengan kalimat ini dan
Engkau menjadikan dengan ucapannya kurnia syurga

Miftahus Shudur
kepadaku dan bahwa engkau tidak sekali-kali meyalahi janji”.
Kemudian beliau berkata pula : “Belumkah aku memberikan
kabar gembira kepadamu bahwa Allah telah mengampuni
bagimu semua?”.
Maka bersabda Rasulullah SAW :

‫ُر ْذ َوو َو َوت َوع َوى َو ُر ِذ ْذ ُر ْذ َوو ٰل ِذ َو‬ ‫َوم ِذموْذ َو ْذ ِذ ِذ ْذ َوت َوم ُرع ْذ َو ْذ ُر‬
‫ٍط م َوِذو ِهَّلل َوم ا ُر ْذ ُرم ْذ َوم ْذ ُر ْذ ٌة َو ُر ْذ‬ ‫ِذ ِهَّلل َو ْذ َو ُر ِذ ِهَّلل َو َو ُر ْذ ُرم َو‬
‫ْذ َو ُر ْذ َو َو َو ٍط‬ ‫َو ْذ ُر ِّي َو‬
Tidak ada segolongan manusia pun yang berkumpul dan
melakukan dzikrullah dengan tidak ada niat lain melainkan
untuk Tuhan semata-mata, kecuali nanti akan datang suara
dari langit. Bangkitlah kamu semua, kamu sudah diampuni
dosamu dan sudah ditukar kejahatannya yang lampau
dengan kebajikan.
Oleh karena itu Tuhan berfirman :

‫َوٱ ۡ َوت ۡ ِذ ُر ْذ ِذ َو ۡ ِذع ُر ُر ِهَّلل ِذى َو َو ۡع ُرت ِذ ِۚذۦ َو َو ٲ ِذ َو ُر َو ۡ َو ۡ ُرز‬


‫ۡ َوعظِذ ُر‬
Maka bergembiralah kamu dengan bai’atmu, yang telah kamu
lakukan itu adalah kejayaan yang agung (QS. At-Taubah : 111)

Tentang bai’at perseorangan pernah diceritakan oleh Yusuf


Al-Kurani r.a. dan teman-temannya dengan sannad yang syah:
“Bahwa Sayyidina ‘Ali k.w. bertanya kepada Nabi : “Ya
Rasulullah tunjukilah aku jalan yang sependek-pendeknya

Miftahus Shudur
kepada Allah dan yang semudah-mudahnya dan yang paling
utama dapat ditempuh oleh hambaNya pada sisi Allah?”
Maka bersabdalah Rasulullah : “Hendaknya kamu lakukan
dzikrullah yang kekal (dzikir dawam) dan ucapan yang paling
utama pernah ku lakukan dan dilakukan oleh Nabi-nabi
sebelum aku, yaitu LAA ILAAHA ILLALLAAH. Jika itu ditimbang
tujuh peta langit dan bumi dalam satu daun timbangan, dan
kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH dalam satu timbangan yang
lainnya, maka akan lebih berat kalimat LAA ILAAHA
ILLALLAAH dalam satu daun timbangan yang lain.”.
Kemudian ia berkata : “Wahai ‘Ali, tidak akan datang kiamat
jika di atas muka bumi ini masih ada orang yang
mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH. Sayyidina ‘Ali berkata :
Bagaimana caranya aku berdzikir itu ya Rasulullah?”
Nabi menjawab : “Pejamkan kedua matamu dan dengar aku
mengucapkan tiga kali, kemudian engkau mengucapkan tiga
kali pula, sedangkan aku mendengarkannya. Maka berkatalah
Rasulullah LAA ILAAHA ILLALLAAH tiga kali, sedangkan kedua
matanya dipejamkan, dan suaranya dikeraskan, serta ‘Ali
mendengarkannya. Kemudian ‘Ali mengucapkan LAA ILAAHA
ILLALLAAH tiga kali, dan Nabi mendengarkannya.
Demikian cara talqin dzikir yang disampaikan oleh ‘Ali bin Abi
Thalib k.w. yang kemudian diterangkan, bahwa talqin dzikir
hati yang bersifat bathiniyah, dilakukan dengan isbat tidak
dengan nafi, yaitu lafadz isim zat seperti yang difirmankan
oleh Allah dalam Al-Quran :

Miftahus Shudur
‫ِذ ِذ ۡ َو ۡ َوع ُر َوو‬ ۡ ‫ُر ِذ ِهَّللٱُۖر ُر ِهَّلل َو ۡ ُر ۡ ِذى َوخ‬
Katakanlah “Allah”, kemudian tinggalkan sifat mereka
bermain-main didalam kesesatan (QS. Al-An’aam : 91)
Nabi memperingatkan Sayyidina ‘Ali k.w. : “Wahai Ali
pejamkan kedua matamu, katupkan bibirmu dan lipatkan
lidahmu, lalu sebutkan : “Allah, Allah”.
Inilah cara yang pernah dipelakari dan diambil oleh Sayyidina
Abu Bakar r.a. secara rahasia (mengisi perasaan) daripada
Nabi, dan inilah dzikir yang boleh terhujam teguh sampai
kedalam hati.
Karena inilah Nabi memuji Sayyidina Abu Bakar r.a. bukan
karena banyak puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu yang
terhujam dalam hatinya.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :

‫ِذڪ ِذ ِهَّلل ِذ‬


‫ٱ‬ ‫ِهَّلل ِذ َوو َوا َوم ُر ْذ َو َوت ۡ َوم ِذِٕٮوُّي ُر ُر ُر ُر ِذ ِذ ۡ ِذ ِهَّلل ِذ‬
ۡ ‫ٱۗ َو َو ِذ‬
‫َوت ۡ َوم ِذِٕٮوُّي ۡ بُر ُر ُر‬
Dan mereka yang mempunyai iman yang teguh serta tetap
tenang hatinya dengan dzikrullah, bukankah dzikrullah itu
menenangkan dan menentramkan hati? (QS. Ar-Ra’du : 28)
Jalan atau thoreqat yang kedua macam ini tentang dzikir jahar
dan khofi adalah pokok daripada seluruh thoreqat. Kemudian
tersiarlah dalam perinciannya dengan karunia Tuhan Yang
Maha Murah.

Miftahus Shudur
Sesungguhnya dzikir itu adalah menjadi sebab wusulnya
manusia kepada Allah SWT, dan menjadi sebab pula manusia
dapat mahabbah kepada-Nya.
Oleh karena itu, manusia tidak akan dapat menghindari apa
yang menjadi kesalahan dan apa yang menjadi kekerasan hati
dan begitu pula apa yang menimbulkan segala amarah,
melainkan manusia yang mengharapkan Rahmat Allah dengan
mengamalkan dzikir. Dan apabila telah berhasil mereka akan
kembali menjadi manusia yang baik. Sebagaimana Allah
berfirman dalam Hadist Qudsi :

‫َو َو اِذ ْذ َو ْذ ُرم ْذ َو ِذ َو ِذ ُر ُر ْذ ُر ُر ْذ‬


Aku dekat sekali kepada orang yang hatinya dapat
menyingkirkan kesalahan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa :
1. Kemudian dzikirnya tetap dengan latifah “Qalbi”
(kehalusan jantung), yang tempatnya di bawah susu kiri,
kira-kira dua jari dari susu kiri. Maka setelah terasa dzikir
di dalamnya, keluarlah cahaya yang menyinari ke bawah
bahunya menuju ke atas atau di dalamnya itu terasa
getaran yang kuat.
2. Lalu ditalqinkan oleh gurunya dengan latifah “Ruhi” yang
tempatnya di bawah susu kanan, kira-kira dua jari dari
susu kanan. Dan setelah melakukan dzikir bersama-sama,
dzikir di dalam hati seperti orang melihat kedua jurusan
(kanan-kiri), disatukan pandangan bathinnya menjadi satu

Miftahus Shudur
jurusan. Setelah terasa di dalamnya gerak dan teguhnya
dzikir.
3. Lalu ditalqinkan lagi oleh gurunya dengan latifah “Sirri”,
latifah Sirri ini tempatnya di atas susu kiri kira-kira dua jari.
Dan dzikirnya harus merasa tetap.
4. Kemudian ditalqinkan lagi oleh gurunya dengan latifah
“Khofi” yang tempatnya di atas susu kanan, kira-kira dua
jari.
5. Kemudian ditalqinkan lagi dengan latifah “Akhfa” yang
tempatnya di tengah-tengah dada, dan terus diteguhkan
dzikir seperti di latifah-latifah sebelumnya.
6. Setelah itu ditalqinkan lagi dengan latifah “Nafsi” yang
tempatnya diantara mata dan keningnya. Disini diisi
dengan teguh hatinya penuh dzikir di seluruh latifahnya.
7. Kemudian sampai ke latifah “Jasad” (latifatul Qolab) yang
berarti kehalusan seluruh badan yang penuh dengan
dzikir, setelah menyeluruh dzikirnya di tiap-tiap bahagian
anggotanya, sehingga menembus ke seluruh akar-akar
bulunya iman dengan getaran rasa yang lemas atau
merasa menyelusupkan dzikir nampak di seluruh badan.
Maka dari itu keadaan seperti gerakan dzikir dalam hati itu
dari bawah sampai keatas diberi nama oleh ahli Tasawwuf
“Sultonud dzikir” (rajanya dzikir).
Tuhan telah berfirman :

‫ِذ ْذ َو ُر‬ ‫َو َو ِذ ْذ ُر‬


Dan sesungguhnya dzikir kepada Allah sangat berfaedah.

Miftahus Shudur
Seterusnya Tuhan berfirman pula :

‫َو ۡ ُر ِهَّلل ِهَّلل َو ِذى َو ۡ ِذ َو َوت َو ُّي ٍ۬اً َو ِذخ َو ٍ۬ ً َو ُر َوو ۡ َو ۡ ِذ م َوِذو‬
‫ص ِذ َو َو َوت ُر و م َوِّيو ۡ َو ٰلـ ِذ ِذ َوو‬
‫ۡ َوب ۡ ِذ ِذٱ ۡ ُر ُر ِّي َو ۡۡلَو َو‬
Ingatlah kepada Tuhanmu dengan segala kerendahan diri
dan khofi, tidak dengan suara keras, senantiasa pagi dan
petang dan janganlah kamu menjadi orang yang lupa
kepada Tuhan. (QS. Al-A’raf :205)
Disinilah letaknya keistimewaan Khalifah pertama Abu Bakar
r.a. Nabi SAW bersabda tentang pendidikannya : “Tidak ada
sesuatupun yang dicurahkan Allah kedalam dadaku,
melainkan aku curahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar”.
Dan Nabi SAW berkata seterusnya : “Allah tidak melihat pada
wajahmu tetapi Ia melihat kepada isi bathinmu”.
Dan Nabi berkata selanjutnya : “Tiap-tiap sesuatu ada
wadahnya, dan wadah taqwa itu adalah hati orang ‘Arifin”.
Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa yang mengucapkan LAA
ILAAHA ILLALLAAH tetapi tidak diamalkan sebaimana
diperintahkan, maka Tuhan mengecamnya : “Wahai
hambaku, engkau ini dusta, engkau ucapkan apa yang tidak
engkau kerjakan”.
Jika tidak tahu, tanyakan pada guru, sebagaimana perintah
Allah dalam Al-Qur’an :

‫ِّي ۡ ِذ إِذو ُر ُرت ۡ َو َوت ۡع َو ُرم َوو‬ ‫َو ۡ ـَٔـَو ُر ْذ َو ۡ َو‬

Miftahus Shudur
Tanyakanlah kepada ahli dzikir (ilmu) jika kamu tidak
mengetahuinya (QS. An-Nahl : 43)
Banyak firman-firman Tuhan yang memperingatkan mereka
yang lupa kepada Tuhan itu, antara lain firmanNya :

ً ٍ۬ ‫َو‬ ً ٍ۬ ‫ِذڪ ِذ ى َوإِذوِهَّلل َو ُر ۥ َوم ِذع َو‬ ۡ ‫َو َوم ۡو َو ۡا َو َو َواو‬


‫َو َو ۡ ُر ُر ُره ۥ َو ۡ َو ۡ ِذب َو ٰلـ َوم ِذ َو ۡا َوم ٰلى‬
Barangsiapa yang tidak senang memperhatikan peringatan-
Ku, bagi orang itu akan disebabkan penghidupan yang
sempit, kemudian kami himpunkan dia pada hari kiamat
dengan keadaan buta. (QS. Thaahaa : 124)
Pada firman yang lainnya, Allah SWT berfirman :

‫َو َومو َو َوو ِذى َو ٰلـ ِذ ِذهۦۤ َو ۡا َوم ٰلى َو ُر َو ِذى ۡۡلَو ِذخ َو ِذ َو ۡا َوم ٰلى‬
ً‫َو َو َو ُّي َو ِذ ٍ۬ل‬
Barang siapa di dunia ini sudah buta, maka di akhiratnya
akan lebih buta dan sesat jalannya. (QS. Bani Israil : 72)
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memperingatkan pula :

‫ص ٰلـ ُر َو َو ٰلـ ِذو َوت ۡع َومى ۡ بُر ُر ُر ِهَّللتِذى ِذى‬


‫َوإِذ ِهَّلل َو َو َوت ۡع َومى ۡۡلَو ۡ َو‬
‫ص ُر ِذ‬ ‫ُّي‬
Jika disebut buta, bukanlah buta matanya, tetapi buta
hatinya, yang terletak didalam dada. (QS. Al-Haj : 46)
Maka dari itu marilah kita perhatikan sabda Penghulu kita
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani q.s.a. : “Sebab-sebab yang

Miftahus Shudur
membutakan hati itu adalah diantaranya jahil, atau tidak
sefaham tentang hakikat perintah ketuhanan. Sebab jahil
ialah bahwa jika jiwa sudah dikuasai oleh sifat jiwa dzalim,
seperti : takabur, iri hati, dengki, kikir, melihat diri lebih
utama, suka membuka rahasia orang lain, suka membawa
berita adu domba, bohong, dusta dan semacam dari itu pada
sifat-sifat tercela, yang acap kali menjatuhkan manusia
kedalam lembah kehancuran dan kehinaan.”
Bagaimana membuang sifat-sifat yang buruk ini?
Cara untuk membuang sifat-sifat yang tercela itu adalah
dengan jalan membersihkan cermin hati itu dengan
membersihkan tauhid, ilmu, amal dan mujahadah yang
sungguh-sungguh lahir bathin, sehingga hati yang mati itu
hidup kembali dengan Nur-Tauhid.
Telah bersabda Nabi SAW : “Bagi tiap-tiap sesuatu ada alat
pembersih, dan alat pembersih hati yaitu “DZIKRULLAH”.
Ketahuilah bahwa membersihkan jiwa dan menolak kehendak
hawa nafsu yang keji itu fardhu ‘ain hukumnya,
membutuhkan perjuangan yang besar dan daya usaha yang
amat sangat.”.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an :

‫ِذ ُر ِذ َو ْذ ِذ ْذ‬ ‫َو َو َوإِذ ِهَّلل َوم ُر َو‬ ‫َو َوموْذ َو‬
Barangsiapa yang berjuang atau mujahadah, sebenarnya
berjuang untuk dirinya.
Firman Allah pula dalam Al-Qur’an :

Miftahus Shudur
‫ِهَّلل ۡ َو َوا ِذو ۡ َو َو ٰلى‬ ‫ف َوم َوب َو َو ِّي ِذۦ َو َو َو ى‬ ‫َو َو ِهَّللم َوم ۡو َوخ َو‬
‫َو ٰلى‬ ۡ ‫ِذى ۡ َوم‬ ‫َوإِذوِهَّلل ۡ َو ِهَّلل َو َو‬
Adapun orang yang takut kepada Tuhan dan mencegah
dirinya daripada hawa nafsu yang keji, balasan dan
tempatnya adalah syurga. (QS. An-Nazi’at : 40-41)
Maka firman Tuhan dalam sejarah Nabi Yusuf a.s. : “Tidak
dapat saya melepaskan hawa nafsu saya, karena hawa nafsu
saya itu selalu menyuruh saya berbuat kejahatan, kecuali
disayangi oleh Tuhan akan saya ini.” (QS. Yusuf :53)
Dan berkata pula Rasulullah SAW : “Yang saya takuti daripada
segala ketakutan umat saya, ialah mengikuti hawa nafsu dan
berpanjang-panjang cita dan angan-angan kosong. Adapun
mengikuti hawa nafsu itu akhirnya mencegah manusia
sampai kepada yang hak, sedangkan berpanjang cita dan
angan-angan kosong, akan melupakan dia ke akhirat”.
Rasulullah SAW bersabda pula :

‫ِهَّلل ُر ُر َو ْذ َو ُر َو ُر َو هُر‬ ‫َو ْذ َو ُر َو ْذ ِذ َو ِذ َووْذ ُر َو ِذ َو‬


Jihad yang terutama, ialah jihad seseorang untuk dirinya
dan hawa nafsunya. (HR. Bukhori Muslim)
Pada sabda yang lainnya junjungan kita Nabi SAW
mengingatkan : “Yang dinamakan orang kuat bukanlah orang
yang gagah perkasa dalam menyerang, tetapi orang yang
gagah perkasa itu adalah orang yang dapat menguasai
dirinya dikala ia marah.” (HR. Bukhori-Muslim).

Miftahus Shudur
Sabda Nabi SAW selanjutnya : “Musuhmu yang paling
berbahaya adalah nafsumu yang terletak diantara dua
lambungmu.”.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :

‫َو ۡ َو ۡ َو َو َومو َوز ِهَّلل ٰل َو‬


‫َو َو ۡ َوخ َو َومو َو ِهَّلل ٰل َو‬
Pasti jaya yang membersihkan dirinya, dan pasti celaka
orang yang mensia-siakan dirinya. (QS. Asy-Syamsi : 9-10)
Yang disebut diatas itulah jiwa yang tercela yang selalu
terdapat pada tiap pribadi, pada setiap masa dan zaman.
Semua agama dan aliran sepakat menamakan dia jiwa yang
tercela dan menyatakan cemas untuk membencinya, untuk
menjaga jangan tertipu dan untuk mencegah jangan sampai
pribadi kira condong kepada tipu daya nafsu. Oleh karena itu
pekerjaan ulama-ulama Thoreqat yang pertama dan utama,
ialah untuk mendidik murid untuk dapat menguasai dirinya,
ialah melakukan riyadhah dan latihan-latihan, sanggup
menentang hawa nafsunya, sedia mengubah kebiasaan-
kebiasaan dan syahwatnya.
Guru-guru Thoreqat itu memperingatkan agar murid-murid
meninggalkan sifat-sifat tersebut dan tidak menyukai
membiasakan mereka membuat perhitungan laba-rugi.
Nabi SAW berkata : “Perhitungkanlah dirimu sebelum engkau
menghadapi perhitungan Tuhan.”.

Miftahus Shudur
Ulama-ulama ‘Arifin (Tasawwuf) setengahnya berkata : “Tidak
mengapa mengikuti syahwat kita apabila ternyata dapat
menguatkan ibadat, seperti : tidak mengapa memakai
pakaian yang megah untuk melahirkan nikmat Tuhan. Tidak
mengapa makan dan minum yang sedap-sedap untuk
kepentingan kesehatan anggota badan bersyukur dan
menjadi kuat panca indra, sebagaimana yang pernah
diperkenankan oleh ulama-ulama Sufi dan Thoreqat
Syaziliyyah.”.
Ahli ma’rifat Syekh Syazili r.a. pernah berkata kepada teman-
temannya : “Makan dan minumlah kamu daripada makanan
yang baik-baik, minumlah minuman yang sedap, tidurlah di
atas tempat yang empuk, berpakaianlah dengan pakaian
yang halus, tetapi perbanyaklah dzikir kepada Tuhanmu.”.
Firman Allah :

‫ڪ ۡ َواو‬‫َوو َوا َوم ُر ْذ َو ُرت ۡ ِذ ُر ۡ َو ۡم َو ٲ ُر ُر ۡ َو َو َو ۡ َو ٰلـ ُر ُر‬ ‫ِهَّلل ِذ‬ ‫َو ٰلـ َو ُّي َو‬
‫ٱ َو َومو َو ۡ َوع ۡ َو ٲ ِذ َو َو ُر ْذ َو ٰلـ ِذِٕٮ َو ُر ُر ۡ َوخ ٰلـ ِذ ُر َوو‬
ۚ‫ِهَّلل ِذ‬ ۡ
‫ِذڪ ِذ‬
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah agar pengaruh
harta bendamu dan anak pinakmu tidak merusakkan kamu
daripada dzikrullah, barang siapa berbuat demikian, pasti
mereka akan rugi. (QS. Al-Munafiqun : 9)
Firman Tuhan pula :

‫ٱ َو َو َوت ۡع َو ۡ ْذ ِذى ۡۡلَو ۡ ِذ‬ ‫ڪ ُر ْذ َو ۡ َو ُر ْذ مِذو ِّي ۡز ِذق ِهَّلل ِذ‬


‫ُر‬
‫ُرم ۡ ِذ ِذ َوو‬
Miftahus Shudur
Makan dan minumlah kamu daripada rizki yang dikaruniakan
Allah, dan janganlah kamu berlomba-lomba berbuat
kerusakan di atas bumi ini. (QS. Al-Baqarah : 60)
Apabila hamba Allah merasakan yang demikian itu berkata
“Alhamdulillah”, maka tiap-tiap anggota bandannya bersyukur
pula untuk Allah. Sebaliknya, bilamana manusia yang tidak
demikian, ia hanya mengucapkan syukur, padahal dalam
hatinya tidak, bahkan berani mengingkari takdir Tuhan.
Syeikh Ali al-Qadir r.a. berkata : “Hendaklah berbangga-
bangga di dunia orang Sufi, tidur di atas tikar yang tenang,
Tuhan memasuk-kannya ke dalam syurga yang tinggi.”.
Keterangan di atas ini menjadi dalil, banyak raja-raja dan
pangeran-pangeran ahli dunia yang kebesaran dan
kemewahannya tidak mencegah mereka daripada dzikrullah.
Maka diberi pahala dan ganjaran, dan Tuhan memasukkan
mereka itu dengan rahmat-Nya dalam syurga yang tinggi.
Contoh ini ditiru oleh ulama-ulama Sufi dalam Thoreqat
Naqsyabandiyyah, Syaziliyyah dan Kubrawiyyah.
Dalam kitab “Ar-Rasyikhat” telah berkata Tuan Syekh
Bahaudin Naqsyabandi r.a. : “Tiap macam makanan harus
baik, beribadat pun harus baik pula.”.
Beberapa kalimat ini cukup untuk menunjukkan buat ‘Arif
Budiman, bahwa tidak semua kesenangan di dunia
disingkirkan oleh orang-orang Sufi.

Miftahus Shudur
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani q.s.a. berkata : “Harta bendamu
itu adalah khadammu dan engkau adalah khadam Allah.
Maka hidupmu di dunia ini harus menjadi manusia “tauladan”
dan hidupmu di akhirat kelak menjadi orang yang mulia”.
Nabi SAW berkata : “Bukanlah orang yang baik jika engkau
tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya dan
meninggalkan akhirat untuk dunia, tetapi hendaklah
mencapai kedua-duanya, karena dunia itu jalan ke akhirat
dan jangan kamu bergantung kepada manusia”. (Ibn As-Sakir)
Firman Tuhan dalam Al-Qur’an :

‫َو َو َوت َو َو صِذ َو َو م َوِذو‬ ۖ‫َو ۡ َوت ِذغ ِذ َوم َوا َوت ٰل َو ِهَّللٱُر ِهَّلل َو ۡۡلَو ِذخ َو َو‬
‫َو ۖ َو َو َوت ۡ ِذغ ۡ َو َو َو ِذى‬ ۡ ‫ڪ َوم َو ۡ َو َوو ِهَّللٱُر إِذ َو‬ ‫ُّي ۡ َو ۖ َو َو ۡ ِذ و َو‬
‫ۡ ُرم ۡ ِذ ِذ َوو‬ ‫ٱ َو ُر ِذ ُّي‬ ‫ۡلَو ۡ ِذ ۖ إِذوِهَّلل ِهَّلل َو‬
ۡ
Kejarlah apa yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi
janganlah engkau lupa akan nasibmu di dunia. Berbuat
baiklah sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu,
janganlah bercita-cita berbuat kerusakan di atas muka bumi
ini, karena Allah tidak menyukai mereka yang berbuat
kerusakan. (QS. Al-Qosos : 77)

Miftahus Shudur
BAB IV
KEWAJIBAN MENYEBUT SANNAD THOREQAT

Ketahuilah, bahwa barang siapa yang tidak mengenal ayah


dan nenek moyangnya dalam Thoreqat, ia ditolak, tidak
diakui. Perkataannya merupakan suatu keterangan yang tidak
diterima, bahkan ia dianggap bukan keturunan ayahnya,
sehingga ia termasuk ke dalam sabda Rasulullah SAW :

‫ُر َوم ِذو ْذ َوت َو َو ِذ َوى َو ْذ ِذ َو ِذ ْذ ِذ‬ ‫َو َوع َوو‬


Dilaknat oleh Allah barang siapa yang berketurunan tidak
dari ayahnya.
Berkata Syekh Sya’rani r.a. dalam kitab Al-Anwarul Qudsiyah :
“Telah sepakat Ulama-ulama Thoreqat tentang wajibnya
mengambil seorang manusia menjadi Syekhnya, yang
memberi petunjuk kepadanya mengenai usaha
menghilangkan sifat-sifat yang mencegah dia dekat kepada
Tuhannya dengan hatinya, agar sah sholatnya. Perkara ini
termasuk dalam pokok aturan hukum “Sesuatu yang tidak
sempurna wajib melainkan dengan dia, maka sesuatu itu
wajib hukumnya”. Sesuatu perkara yang tidak ragu-ragu
bahwa mengobati penyakit bathin itu wajib hukumnya,
sebagaimana yang tersebut keterangannya dalam banyak
Hadits dan firman Tuhan, diantaranya seperti tersebut di
bawah ini”.
Firman Allah SWT :
Miftahus Shudur
ۖ ً ٍ۬ ‫ِذى ُر ُر ِذ ِذ ِهَّللم َو ٍ۬ ٌة َو َوز َو ُر ُر ِهَّللٱُر َوم َو‬
Orang-orang yang kafir itu dalam hatinya ada penyakit.
Allah menambah-nambah punya penyakit itu lagi, dan bagi
mereka disediakan azab yang maha pedih karena
kedustaannya (QS. Al-Baqarah : 10)
Dalam firman yang lain Allah SWT berfirman :

‫َو َو ِهَّللم ِهَّلل ِذ َوو ِذى ُر ُر ِذ ِذ ِهَّللم َو ٍ۬ ٌة َو َوز َو ۡت ُر ۡ ِذ ۡ ً إِذ َو ٰلى‬


‫ِذ ۡ ِذ ِذ ۡ َو َوم ُرت ْذ َو ُر ۡ َو‬
‫ڪ ٰلـ ِذ ُر َوو‬
Adapun orang orang yang dalam hatinya ada penyakit (syak
wasangka), maka bertambah kotor di atas kotorannya, serta
mereka meninggal dunia dalam kekafirannya (QS. At-
Taubah : 125)
Pada firman yang lain Allah SWT berfirman :

‫َو َو ُر ْذ َوظ ِذ َو ْذ ِذ ْذ َو َو َو ِذ َو ُر‬


Oleh karena itu hapuslah dosa yang lahir maupun yang
bathin.
Maka ketahuilah olehmu, bahwa tiap-tiap orang yang tidak
mempunyai Syekh (Mursyid) yang memberi petunjuk kepada
jalan keluar dari sifat-sifat tersebut maka dia dianggap ma’siat
bagi Allah dan Rasul-Nya, karena ia tidak dapat petunjuk
mengenai jalan mengobatinya. Meskipun ia mengerjakan
segala perkara yang bersifat taqlief tidaklah bermanfaat

Miftahus Shudur
dengan tidak ada guru atau Syekh, sebagaimana ia tidak
beroleh manfa’at kalau ia menghafal seribu buku.
Orang Salaf yang hidup dalam kurun Nabi, Sahabat dan Tabi’in
semuanya sependapat bahwa orang yang demikian itu tidak
termasuk perhitungan golongannya, tidak boleh memberikan
talqin dzikir dan tidak boleh menerangkan sesuatu tentang
thoreqat karena dalam thoreqat itu ada rahasianya,
hakikatnya yaitu mengikat hati setengah sahabat dengan
sahabat yang lain sampai kepada Rasulullah SAW, sampai
pelajaran itu kepada Allah Jalla Jalallahu.
Barangsiapa yang tidak ada hubungan silsilahnya dengan Nabi
SAW dianggap terputus kelimpahan cahaya dan tidak menjadi
waris dari Rasulullah SAW. Orang yang demikian itu tidak
diambil bai’at dan tidak diberi ijazah : karena thoreqat atau
jalan kepada Tuhan itu dzahir dan bathin. Yang dzahir itu ialah
Syari’at dan yang bathin ialah Hakikat.
Syariat itu terkait dengan hakikat dan hakikat itu terikat
dengan syari’at. Tiap-tiap syari’at yang tidak dikuatkan dengan
hakikat, tidak diterima. Dan tiap-tiap hakikat yang tidak
dibuktikan dengan syari’at pun tidak diterima pula.
Syari’at itu mempersembahkan ibadat kepada Tuhan dan
hakikat itu memperoleh musyahadah daripada-Nya.
Ahli dzahir adalah ahli syari’at dan ahli bathin adalah ahli
hakikat. Jika terpilih kedua-duanya merupakan hakikat yang
sebenar-benarnya.

Miftahus Shudur
Sabda Nabi SAW : “Syari’at itu ucapan, Thoreqat itu
perbuatan, hakikat itu keadaan dan Ma’rifat itu modal
pokok.” (Jami’ul Usul 53)
Maka ketahuilah bahwa Allah SWT menjadikan bagi
hambanya sebab-sebab banyaknya jiwa manusia yang
semuanya itu berhubungan dengan Dia, Tuhan yang bersifat
Rabbaniyyah.
Hubungan itu dapat dicapai dengan talqin dan ta’lim daripada
Syekh yang sudah mempunyai ijazah yang sah yang menjadi
dasar atau sannad sampai kepada yang mempunyai Thoreqat
pertama yaitu Junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Maka oleh karena itu ajaran dzikir tidak akan memberi faedah
yang sempurna melainkan dengan talqin.
Telah berkata penghulu kita Tuan Syekh Abdul Qadir Al-
Jaelani yang telah disucikan Allah sirnya : “Ketahuilah wahai
anak-anakku, mudah-mudahan Tuhan men-taufiq-kan kami
dan engkau dan semua orang Islam. Aku wasiatkan kepada
kamu bahwa engkau tetap menjalankan syari’at dan
memelihara batas-batasnya. Ketahuilah wahai anak-anakku,
bahwa Thareqat kami ini didasarkan atas kitab dan sunnah,
dan bahwa dasar-dasar Thareqat ada lima :
1. Tinggi cita-cita;
2. Memelihara kehormatan;
3. Memperbaiki khidmat;
4. Melaksanakan cita-cita
5. Membesarkan nikmat;

Miftahus Shudur
Barang siapa yang tinggi cita-citanya, menjadi tinggilah
martabatnya.
Barang siapa yang memelihara kehormatan Allah, Allah akan
memelihara kehormatannya.
Barang siapa memperbaiki khidmat, kepadanya wajib
memperoleh rahmat.
Barang siapa yang mengusahakan berusaha mencapai
tujuannya, selalu memperoleh hidayah.
Barang siapa membesarkan nikmat Allah berarti bersyukur
kepadaNya. Barang siapa bersyukur kepadaNya akan
memperoleh tambahan nikmat yang dijanjikan Allah itu.
Maka berkatalah Syekh Sya’rani r.a. . Jauhkanlah dirimu
menyebut “Thareqat” jika engkau tidak menjalankan isi kitab
dan sunnah, karena hal yang demikian itu kufur. Semua
Thoreqat Sufi itu mengenai akhlak Nabi Muhammad SAW dan
perjalannya serta Sunnah Tuhan.
Kemudian ketahuilah pula, bahwa riyadhah dan latihan tidak
akan memberi faedah, bahwa tidak akan mendekatkan dirimu
kepada Allah selama perbuatanmu tidak sesuai dengan
Syari’at dan Sunnah.
Dan dalam pada itu berkatalah Syekh Junaid Al Baghdadi r.a.
yang suci sirnya : “Semua Thoreqat itu tersumber kepada
makhluk, kecuali kepada yang mengikuti jejak Rasulullah
SAW.”.
Nabi pun berkata :

Miftahus Shudur
‫ِذ َو ُر ِهَّلل ِذتىْذ‬ ‫ْذو َووْذ َوت ِذ ُّي ْذ ْذ َو ُر َوم ِذ َوت َو‬
‫َوت َو ْذ ُر ِذ ْذ ُر ْذ َومْذ َو ِذ‬
Aku tinggalkan padamu dua perkara yang merupakan
pedoman agar kamu tidak sesat yaitu : Kitabullah dan
Sunnahku.
Dalam hadist disebutkan : “Ulama itu adalah ahli waris Nabi-
nabi”. Dan Nabi berkata pula : “Hendaknya engkau selalu
beserta Allah dan jika engkau tidak beserta Allah, hendaklah
engkau beserta orang yang beserta Allah agar engkau
disampaikan kepadaNya.”
Maka ujar Nabi pula : “Sahabat-sahabat itu seperti bintang.
Yang manapun engkau ikut, engkau pasti mendapat
petunjuk.”
Pada tempat yang lainnya, Rasulullah SAW bersabda :
“Berbahagialah mereka yang melihat daku dan ingat
kepadaku. Berbahagialah mereka yang melihat orang yang
melihat dan yang percaya kepadaku. Dan berbahagialah
mereka semua hubaya-hubaya, baiklah jalan pulang
baginya.”
Syekh Abdullah As-Salmi r.a. yang sirnya telah berkata :
“Ucapan Rasulullah tentang kebahagiaan orang yang
melihatnya dan melihat orang yang melihatnya itu berarti
berkah dan berarti musyahadah, sebagaimana musyahadah
mereka dengan sahabat.”
Demikian dari zaman ke zaman, pindah berpindah sampai
kepada ahli-ahli hikmat dan wali-wali Allah dalam segala

Miftahus Shudur
zaman, semua memperoleh bekas pandangan yang penuh
hikmah dan penuh musyahadah, semua berasal dari
Junjungan kita Nabi Muhammad SAW sampai kepada
sahabatnya dalam segala perbedaan zaman, semua satu
corak, semua satu hal keadaan, dan dengan demikian
berjalanlah bekas-bekas pandangan ini daripada guru kepada
murid-murid sampai akhir masa. Karena sandaran atau isnad
sama dengan isnad hukum dan silsilah sama dengan
pelaksanaan guru-guru ilmu ketuhanan itu merupakan
pancaran cahaya, merupakan tangga murid-murid, jenjang
orang-orang salik, yang ingin mendaki ke tingkat alam
malaikat, ke alam jabarut, ke dalam alam lahut, ke sambung
menyambung dengan arwah dari Syekh-syekh yang masih
hidup kepada Rasulullah SAW dan kepada ke Hadirat Allah
SWT. Peningkatan silsilah ini menghamburkan berbagai
rahasia tajaliyat dan berkat yang ditunjukkan dengan
tawajjuh kepadaNya, dengan niat yang bulat dan kehendak
yang satu tunggal untuk menyampaikannya.
Maka guru-guru atau Syekh itulah yang merupakan Thoreqat
atau jalan kepada Allah, petunjuk liku-liku daripada jalan itu.
Mereka merupakan pintu terakhir yang akan membawa
murid-muridnya masuk menempuh jalan mencapai Tuhan.
Oleh karena itu, tiap murid memerlukan Syekh. Tiap orang
ingin tidak sesat, memerlukan petunjuk jalan yang benar.
Terkecuali mereka yang sudah memperoleh berita dan berlian
kata-kata, mereka yang dipilih Allah menjadi hamba yang
utama. Kepadanya dianugrahkan pendidikan. Kepadanya

Miftahus Shudur
diberi ilham untuk menghindarkan diri dari syetan dan
pengaruh hawa nafsu, seperti Nabi Ibrahim, Nabi kita
Muhammad SAW, dan Uwais Al Qarni dari golongan Aulia-
aulia, serta Wali Allah yang telah dikaruniai Tuhan dengan
rahmatNya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa Nabi kitalah yang merupakan
puncak kemenangan, puncak kekayaan, puncak keselamatan
dan keindahan.
Semua diambil oleh sahabat, kemudian oleh Tabiin, kemudian
oleh Tabi’it Tabiin, abad demi abad, masa demi masa. Selalu
ada wali-wali Tuhan, Aulia dan Shadiqin serta Abdal. Antara
murud dan gurunya, seperti Hasan Al Basri r.a. dengan
muridnya ‘Utbah Al-Ghulam r.a. sebagaimana tidak lepas
antara Siri As Saqati r.a. dan budaknya dan anak saudaranya
Abul Qasim Al Junaidi Al-Baghdadi r.a. dan lain-lain yang jika
kita bentangkan, tidak akan ada habis-habisnya. Jika kita
rentangkan, tidak akan ada ujungnya.
Semuanya berguru dan salin-menyalin ilmunya. Tidak ada
Nabi melainkan ada baginya Sahabat yang mengambil
daripadanya petunjuk yang menyalin ajarannya dan mengikuti
perjalanannya, serta memperoleh petunjuk daripada
kelimpahan ilmunya.
Pengikut ini kemudian berdiri pada tempat menyambung,
meneruskan butir-butir pendirian yang telah diperoleh
daripada gurunya.

Miftahus Shudur
Demikianlah Tuhan berfirman dengan tempat berputus-putus
dalam Kitab Suci seperti firman Allah :

‫ِهَّلل ِذ َوو ُر ِذب ُرم َوو‬ ‫ْذ‬ ‫َو ُر ُر ُر ۥ َو ِهَّلل ِذ َوو َوا َوم ُر‬ ‫إِذ ِهَّلل َوم َو ِذ ُّي ُر ُر ِهَّللٱُر َو‬
‫ِذ ُرع َوو‬ ‫َو ٲ‬ ۡ ‫َو ُۡرؤ ُرت َوو ِهَّللز َو ٰل َو َو ُر‬ ‫ص َو ٰل َو‬ ‫ِهَّلل‬
‫َوإِذوِهَّلل ِۡذز َو ِهَّلل ِذ‬
‫ٱ‬ ‫ْذ‬ ‫َو ُر َو ُر ۥ َو ِهَّلل ِذ َوو َوا َوم ُر‬ ‫ٱ َو‬ ‫َو َومو َو َوت َو ِهَّلل ِهَّلل َو‬
‫ُر ُر ۡ َو ٰلـ ِذ ُر َوو‬
Adapun walimu ialah Allah dan RasulNya dan orang-orang
yang beriman yang mendirikan sholat dan membayar zakat,
yang ruku’ dan sujud. Barang siapa berwali kepada Allah
dan rasulNya dan kepada orang yang beriman, ketahuilah
bahwa tentang Allah itu adalah tentang yang selalu
menang. (QS. Al-Maidah : 55-56)
Selanjutnya firman Allah dalam Al-Qur’an : “Bukanlah harta
bendamu dan bukan pula anak pinakmu yang akan
mendekatkan engkau dengan Aku, tetapi mereka yang
beriman, mereka yang beramal saleh. Merekalah yang
beroleh ganjaran berlipat ganda daripada amalannya.
Merekalah sesungguhnya beriman dan percaya. (QS. As-Saba
: 37).
Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “Tuhan kami heran melihat ada segolongan yang
dihalaukan ke syurga dengan berantai-rantai (silsilah).”
Maka berkatalah Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani q.s.a. :
“Pertama wajib atas manusia berusaha menghidupkan hati

Miftahus Shudur
untuk akhirat dari ahli talqin di dunia, sebelum habis waktu
karena dunia itu kebun akhirat. Barang siapa tidak menanam
dalam kebun itu, ia tidak akan mengetam hasilnya nanti di
akhirat.”
Nabi SAW berkata pula : “Pulanglah kamu kepada
keluargamu, berikanlah kepada mereka pelajaran.”
Ketahuilah bahwa talqin itu bagi setengah ahli dunia harus
mengambil dari orang-orang yang berilmu, yang mulia dan
berusaha, sesuai dengan kehidupan salaf dan mujtahid-
mujtahid dalam dunia Thoreqat yang berjalan secara suluk
dan pendidikan, sebelum meninggalkan dunia mereka
menempuh Thoreqat secara mengambil berkah.
Orang menamakan talqin dzikir bagi setengah orang-orang
kaya, orang-orang yang berusaha, karyawan, orang laut
(nelayan), saudagar-saudagar, gembala-gembala dan yang
sejenis dengan yang itu, semuanya mengambil Thareqat
secara tabarruk, untuk mengharapkan terlepas daripada bala
kuat dan daya dari segala gangguan kejahatan dan dendam
kesumat, sehingga demikian mereka insaf dan kembali
khusyu’ dan kembali pulang ke kampung yang abadi,
meninggalkan daerah yang penuh dengan dosa.
Mereka meningkat setingkat kepada taubat
Syekh-syekh berusaha untuk menghilangkan kepada mereka
jiwa yang jahat (yang dapat memutuskan mereka daripada
kebajikan dan dari harapan-harapan baik) dan menghilangkan

Miftahus Shudur
segala kesalahan yang menjadi dosa, agar dapat kembali
kepada amal perbuatan yang baik.
Syekh-syekh itu berusaha dengan segala siasat kecerdikannya
dan menasehatkan kepada murid-muridnya dengan
kebijaksanaan.
Seumpama ada guru yang berkata kepada murid-muridnya,
pertama-tama mendahulukan perintah kepadaNya. Tinggal-
kan dan jauhilah olehmu tindakan-tindakan dari segala
sesuatu yang membawa kedzaliman. Betulkan olehmu dan
segeralah bertaubat dengan sebaik-baiknya. Apabila tidak
demikian maka aku tidak akan memberika talqin dzikir
terhadap dirimu dan tidak akan memberikan petunjuk
kepadamu. Kemungkinan murid itu akan lari meninggalkannya
dan kadang-kadang putus harapan.
Ini semua adalah kebijaksanaan petunjuk-petunjuk yang
diwarisi daripada perbuatan Rasulullah SAW, yang pernah
dilakukan terhadap bangsawan-bangsawan, orang-orang
besar dan raja-raja.
Berkatalah Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani q.s.a. : “Apabila
datang kepadamu seorang fakir, maka jangan kamu mulai
dengan dia pembicaraan ilmu pengetahuan, tetapi harus
mendahulukan kesayangan kepadanya, karena ilmu pengeta-
huan itu akan membuat dia takut dan sikapmu yang lunak
dan lembut akan membuat dia jinak bergaul denganmu.”.
Maka firman Allah SWT :

Miftahus Shudur
‫ۡ َوب ۡ ِذ‬ ‫ظ َو ِذ َوظ‬ ‫ٱ ِذ َو َو ُر ۡ ۖ َو َو ۡ ُر َو َو ًّذ‬ ‫ِهَّلل ِذ‬ ‫َو ِذ َوم َو ۡ َوم ٍ۬ ٍط م َوِّيو‬
ۡ ‫ِذ ۡ ُر‬ ‫ٱافُر َوا ۡ ُر ۡ َو ۡ َوت ۡ ِذ ۡ َو ُر ۡ َو َو‬ ۡ ‫ِذ َو ۖ َو‬ ۡ ‫َلَو َو ُّي ْذ م ِۡذو َو‬
‫ِذ ُّي‬ ‫ٱ ُر‬ ‫ٱ إِذوِهَّلل ِهَّلل َو‬ ۚ‫َوا َوز ۡم َو َو َوت َو ِهَّلل ۡ َوا َوى ِهَّلل ِذ‬ ‫ِذى ۡۡلَو ۡم ِذ ۖ َوإِذ َو‬
‫ۡ ُرم َوت َو ِّي ِذ َوو‬
Maka dengan rahmat Allah menjadi lunaklah hatimu terhadap
mereka, wahai Muhammad. Jika sekiranya engkau, seseorang
yang jahat budi pekerti, berhati kasar, niscaya larilah mereka itu
bercerai-berao daripadamu. Oleh sebab itu, maafkanlah dosa
mereka mengenai segala urusan, maka apabila engkau telah
mempunyai cita-cita yang tetap, berserah dirilah engkau kepada
Allah. Allah mengasihi orang-orang yang menyerahkan diri
kepadaNya. (QS. Ali Imran : 159)

Akhirnya kami panjatkan bagi Allah segala puji dan tiada


limpahan taufiq melainkan daripadaNya Allah SWT.
Kitab yang bernama “MIFTAHUS SHUDUR” ini yang artinya
“Kunci Pembuka Dada”, dalam menyatakan uraian DZIKIR
kepada Allah yang bersifat rahman dan pengampun, yang
dikumpulkan dari ucapan-ucapan ulama-ulama besar ahli
Tasawwuf dan Thareqat.
Semoga Allah mengampuni kepadanya dan semoga Allah
member manfa’at kepada kita bersama dengan berkatNya,
rahasiaNya dan ilmu-ilmuNya.
Amiin.
Wabillahit taufiq wal hidayah.

Miftahus Shudur
Miftahus
Shudur
KUNCI
PEMBUKA
DADA

JUZ 2
Susunan :

K.H.A. SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN

Terjemahan dari Bahasa Arab :

PROF. DR. K. H. ABOEBAKAR ATJEH

Miftahus Shudur
Dalam kitab ini, penuh dengan keterangan Ulama-ulama ahli
tasawwuf, yang menerangkan “atsarnya Dzikrullah” (hasilnya
orang-orang yang mengamalkan dzikir kepada Allah), yang
untuk diamalkan oleh segenap kaum muslimin, guna meneliti
bathin pribadi masing-masing dan menyatakan amal-laku
yang sempurna (amal sholeh) yang mana dalam bathin itu
akan terkikis dari tipu daya iblis, tersingkirkan segala godaan
syetan dan membendung bujukan hawa nafsu.
Menurut sabda Nabi Muhammad SAW : “Dzikir kepada Allah
itu obat untuk menyembuhkan segala penyakit hati.”.
Demikian pula dzikir itu untuk menentramkan hati manusia,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an : “Ketahuilah
bahwa dzikir kepada Allah itu jalan untuk menentramkan hati
manusia.”. Juga untuk menguatkan imannya hamba Allah.
Sabda Rasulullah SAW : “Dzikrullah tandanya kuat iman
hingga sabar dan tabah menghadapi segala musibah.”.
Begitupun rasa syukur menyatakan terima kasih atas
anugrahNya, yang akhirnya jadi hamba yang taqwa kepada
Allah SWT (setia menghambakan dirinya, mematuhi perinta
Allah khususnya dan setia pula berbakti kepada kepentingan
masyarakat umumnya), oleh karena itu Allah SWT
memerintahkan :
“Wahai orang-orang iman, taqwa kepada Allah yang
sesungguh-sungguhnya dan janganlah sekali-kali kamu mati
kecuali beragama Islam.” (QS. Ali Imran : 102)

Miftahus Shudur
Para pembaca yang budiman
Marilah kita yakinkan hati seyakin-yakinnya bahwasanya
ajaran Agama Islam benar-benar meliputi pelajaran dhahir
dan bathin yang menunjukkan ke arah bahagia dan sejahtera
di dunia dan akhirat.
Akhirnya, semoga Kitab ini bermanfaat untuk Penyusun
khususnya dan untuk kaum Muslimin umumnya.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Suryalaya, 2 September 1975


Sesepuh Pesantren Suryalaya.

(KHA. SHOHIBUL WAFA TADJUL ‘ARIFIN)

Miftahus Shudur
MUQADIMAH

“Segala puji bagi Allah seru sekalian alam. Allah yang


menyetujui akan barang siapa dari hambaNya untuk
mengikuti tarikat yang lurus. Saya memuji Allah yang Maha
Suci dan saya bersyukur atas segala kelimpahan nikmatNya.
Saya mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah
sendiri, tidak ada sekutu bagiNya. Dan saya mengakui bahwa
Muhammad itu hambaNya dan pesuruhNya, yang berda’wah
untuk segala kebajikan dan melarang daripada segala
kejahatan.
“Tuhanku”, karuniakanlah rahmat dan kesejahteraan atas
hambaMu dan rasulMu Muhammad dan kepada keluarganya
dan sahabat-sahabatnya.”

Terjemahan dari bahasa Arab :


PROF. DR. K.H. ABOEBAKAR ATJEH

Miftahus Shudur
Kemudian daripada itu telah meminta kepada saya Asy-Syeikh
Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin di Suryalaya – Tasikmalaya
(Pimpinan Pesantren Suryalaya), agar saya menulis suatu
pendahuluan yang baik untuk risalahnya yang bersifat
mursydiyah, bernama “MIFTAHUS SHUDUR” Juz yang ke II
dengan bahasa Arab, sedangkan saya tidaklah ahli dalam
bahasa Arab, kecuali dengan pertolongan Tuhan dan berkah
Tuan Syeikh.
Apabila saya melihat risalahnya ini, saya dapatilah dia
merupakan salah satu dari kitab terbaik mengenai tasawwuf,
terutama bagian yang menyatakan Thareqat dan Dzikir, untuk
orang yang Mubtadi, Salik dan Ahli Hakikat. Kita bersyukur
kepada Allah atas terbitnya amal yang saleh ini dan mudah-
mudahan dilimpahkan pahala oleh Allah, sebaik-baiknya
pahala di dunia dan akhirat.
Memang pelajaran tasawwuf itu sangat penting, terutama
dalam masa kerusakan akhlak bagi generasi besar dan
generasi muda, yang tidak ada lain jalannya kecuali kita
kembalikan mereka semuanya kepada cinta Tuhan dan cinta
peri kemanusiaan. Pepatah Arab mengatakan : “Dalam
mengobati manusia yang pokoknya ialah rohnya dan hatinya
serta cara berfikir manusia itu”. “Jika obat lahir, termasuk
siksaan hokum tidak mempan lagi, obat yang penghabisan
adalah tasawwuf”. (Akhirud Jawa At-Tasawwuf).
Seorang ‘Alim besar di Mesir, Syekh Sayyid Sabiq, dalam
Kitabnya yang terkenal “Annasiril Quwwah Fil Islam” (Pokok-
pokok kekuatan dalam Islam) tentang pelajaran Tasawwuf :

Miftahus Shudur
“Adapun tasawwuf itu adalah suatu ilmu yang terpenting
daripada pengetahuan-pengetahuan Islam, yaitu pada
hakikatnya adalah jiwa Islam dan mutiaranya … Dan
pengembalian kepada bersih dan sucinya, tidak usah banyak
kita mengurbankan pikiran, apabila kita kembali kepada
Qur’an dan Sunnah, dan kembali kepada kehidupan Imam-
imam Tasawwuf, yang diikuti orang dan diambil Ilmunya … .”
Dan telah pernah mengumumkan Yang Mulia Prof. Besar
Syeikh Universitas Al Ashar suatu penetapan untuk menyusun
suatu panitia guna membangkitkan thareqat-thareqat Sufi
sedang saya (yaitu Sayyid Sabiq) adalah termasuk pendiri bagi
Panitia ini (hal 91-92).
Telah berkata Syeikh Abdul Wahid Yahya : “Bahwa thareqat
itu ialah jalur-jalur yang bertolak dari banyak daerah kepada
markasnya. Dan tiap-tiap titik yang bertolak dari daerah itu
ialah permulaan jalur itu. Garis-garis jalur itu tidak dapat
dihitung banyaknya, tetapi ia berkesudahan semuanya
kepada markas. Yang dimaksudkan markas itu ialah Al-
Qur’annul Karim dan Sunnatus Syahibah”.
Ia berkata pula, “Tariqat dan hakikat itu jika berkumpul
keduanya dinamakan “Tasawwuf”. Tasawwuf itu bukan
mahzab tertentu, karena ia itu hakikat yang mutlak. Thariqat
itu bukan pelajaran yang berlainan coraknya, tetapi ia hanya
“Thuruq” (artinya jalan yang akan membawa semuanya amal
kepada hakikat yang mutlak yakni “At Tauhid Wahid”.

Miftahus Shudur
Bagaimanapun juga membagi-bagi yang haq itu dalam
masalah-masalahnya ialah pokok pangkalnya tasawwuf.
Sunnah memberikan kecerdasan secara jelas tidak samar-
samar, kecuali bahwa syari’at itu dan hakikat kedua-duanya
menurut terdekat daripada segala pelajaran Rasulullah SAW.
Yang sebenarnya terjadi bahwa tiap thareqat itu sahih,
menyambung kepada “Silsilah”, berhubungan kembali kepada
Rasul. Dan yang sebenarnya bahwa tasawwuf itu (bukan dari
Yunani atau Hindu) tetapi dari Islam Arab. Sebagaimana
bahwasanya Qur’an itu yang melanjutkan tasawwuf usulnya
itu adalah Sunnah itu yang berpilin dengan Islam di tanah
Arab. Apabila tasawwuf itu memegang kepada rasulNya
daripada Qur’an maka dengan sendirinya tidak didapati
sesuatu sebelumnya melainkan dengan memahami Al-Qur’an
dan memahami Tafsir dan Tadbir. Qur’an itu ditafsirkan pada
permulaannya secara bahasa, kemudian secara manthiq dan
kemudian secara Ilmu Kalam atau Filsafat. Tetapi tafsirnya
yang bersifat Sufi menghendaki masa yang lama untuk
menggali dari lembahnya yang dalam dan istimbatnya yang
pelik. Dan apabila Qur’an itu sumber syarian dan hakikat
bersama-sama, maka tidaklah mungkin akan didapati diantara
keduanya sesuatu kekurangan atau perbedaan faham.
Bagaimana akan didapati perbedaah faham, sedang sumber
keduanya satu? Dan bagaimana didapati perbedaan faham,
sedang hakekat itu tidak berdiri kecuali atas syari’at pada
dasarnya dan pada sanadnya?

Miftahus Shudur
Tidak dapat tidak, dalam tasawwuf itu ada syarat yang pelik,
yaitu bekas rasa dalam roh, atau dengan istilah yang dalam
yaitu : “Al-Barkah”, yaitu tidak akan dapat dicapai Ilmu
Tasawwuf itu kecuali dengan perantaraan “Syeikh”.
Dan disinilah timbulnya perkataan “Thuruq” atau “Thareqat”,
dan dari sini pula lahirnya silsilah. Silsilah itu tidak lain
daripada berkah, yang berpindah-pindah daripada Syeik
kepada murid yang diharapkan menjadi syeikh pula, maka
memberikan pula bekasnya menurut gilirannya kepada murid-
murid.
Untuk tidak memanjangkan Mukaddimah ini, kita ringkaskan
bahwa kalimat tasawwuf itu adalah kalimat yang sangat pelik
yang bersangkut paut dengan tabiat tasawwuf itu sendiri,
yaitu bahwa tasawwuf itu bukanlah amal Ilmu, bukanlah
pembahasan ilmiah atau filsafat, tetapi sesuatu yang tidak
dapat melihat dengan sendirinya tulisan-tulisan mengenai
tasawwuf itu, sebagaimana yang ditulis oleh Ulama-ulama Sufi
yang besar-besar. Tentang apa yang kembali kepada Islam dan
Muslimin segala kebajikannya, baik secara ilmu pengetahuan,
secara amal, secara masyarakat, pada tiap cara dan pada tiap
warna.
Kita ambilkan Hulasah daripada Mukaddimah-mukaddimah
saya yang tidak sederhana panjangnya tending faedah
manusia terhadap yang dinamakan “At Tsawwufal Wa’I”, yang
artinya menuntut kesempurnaan. Tiap-tiap sesuatu yang
dapat dirasakan atau direnungkan, bersifar materiil atau
kerohanian, khusus atau umum, secara pribadi atau beramai-

Miftahus Shudur
ramai dengan bacaan kita. Dan amal daripada risalah ini, yang
bersifat Mursyidiyah (memberi petunjuk dan pimpinan adalah
dari tangan Tuan Syeikh kita dari Suryalaya.
Kita pohonkan kepada Allah akan memajukan ikhwan-ikhwan
kita itu dibawah nama “Kamal”, inilah bagi kami tujuan yang
wajib dan haluan yang tidak bias ditinggalkan.
Dan dimulailah yang demikian itu dengan meperbaiki
hubungan dengan Allah, dan belajar mempersuci diri berlajar
beribadat yang baik, menyeru umat manusia kepada jalan ini.
Dan inilah tabiat yang mewajibkan amal yang harus difikirkan,
tidak dapat memahaninya kecuali orang yang ahli dalam
menggunakan faham dan perasaan yang halus.
Tuhanku, bagaimana aku memohon kepadaMu setitik tetesan
untuk aku ikut bersama mereka.
Tuhanku, bagaimana kami berhubungan dengan Engkau,
untuk menceritakan nasib kami sedangkan keadaan kami itu
tidak tersembunyi kepadaMu. Bagaimana kami mengukirkan
harapan-harapan kami, sedangkan harapan dan kata-kata itu
berasal dariMu dan kembali kepadaMu.
Tuhanku, alangkah lemah lembut dan belas kasihan Engkau
kepada kami, sedangkan kebodohan kami berlimpah-limpah.
Alangkah Engkau belas kasihan kepada kami dengan
perbuatan-perbuatan kami yang tidak layak. Tuhanku,
alangkah dekat Engkau dengan kami, alangkah jauhnya kami
daripadaMu.

Miftahus Shudur
Tuhanku, Engkau yang kami tujui dan keridhaanMu yang kami
harapkan.

Jakarta, 25 Juli 1975


Wassalam,

Prof. K. H. Aboebakar Atjeh

Miftahus Shudur
FASAL YANG KE LIMA
MENERANGKAN TENTANG DZIKIR DAN ATSARNYA
DI DALAM PENDIDIKAN ROHANI

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang.
Ketahuilah olehmu bahwa thoreqat Guru kita r.a. adalah
thoreqat dzikir saja, dan bukan thareqat lain.
Thoreqat dzikir itu sendiri dari dzikir dengan lidah dan dzikir
dengan hati.
Dengan dzikir itu, tercapai kemenangan, tercapai
permohonan dan tercapai segala apa yang dikehendaki.
Dzikir itu daripada Allah dan kembali kepada Allah dan
bersama dengan Allah segala sesuatu yang dihadapi.
Apabila ada kemauan tentang urusan kami ke sesuatu yang
lain, membawa lupa kepada Allah SWT, tinggalkan hal itu dan
cepat kembali berdzikir, karena disitu terdapat asma yang
menjulang sampai ke langit.
Hatimu bersih beserta Tuhanmu dan Tuhanmu beserta
engkau, tidak jauh daripadamu, Ia mendekati engkau dan
mengenal engkau.
Barang siapa mengenal Allah ia akan mengenal Hikmah, Allah
berfirman di dalam Al-Qur’an :

Miftahus Shudur
ً‫إِذ ِهَّلل َو ُر ِذ ُر َو ۡ َو َوم ۡو َو ۡ َو َوو َوا َومل‬
“Kami ini tidaklah mengilangkan pahala orang yang berbuat
baik suatu amal.”
Tuan Syeikh melihat, bahwa wirid dan hijab baru dibuka
kepada seseorang, daripada pancaran bekas dzikir mereka
terhadap Allah.
Terlebih utama hendaklah murid-murid itu melakukan suluk
kepada Allah melalui dzikirnya yang khusus, karena akarnya
kukuh di bumi dan cabangnya di langit.
Kemudian, sampailah dzikir itu yang diatur secara
perseorangan dengan kaifiat dan bilangan-bilangan yang
sudah ditentukan dalam Thareqat Sufi. Di sana ada juga dzikir
jama’ah (bersama-sama) pada waktu-waktu yang tertentu dan
dzikir semacam ini lebih kuat berbekas, lebih kuat bekasnya
dalam menyingkap hijab dari hati yang gilaukan oleh sendiri-
sendiri.
Dalam dzikir jama’ah, tiap-tiap orang yang berdzikir, dzikirnya
itu kembali untuk dirinya , serta orang yang mendengarkan
dzikirnya itupun mendapat pahala. Bukankah Allah SWT telah
memerintahkan hambaNya dengan bertolong menolong atas
kebajikan dan taqwa?
Dzikir jamaah termasuk dalam lingkaran ini, yang
dimaksudkan bahwa dzikir kepada Allah Ta’ala dan
mengingatnya sehingga seorang mukmin dapat menjauhkan
dirinya daripada ghoflah (kealpaan) daripada Allah Ta’ala,

Miftahus Shudur
karena ghoflah itu dapat membawa manusia kepada maksiat,
dan dengan dzikir itu dapat memberikan bantuan untuk
meninggalkan maksiat itu.
Adapun arti Tasawwuf, akan membawa manusia-manusia
untuk membersihkan hatinya daripada sifat-sifat kerendahan
dan mengisinya dengan segala keutamaan. Dan tatakala itu
beryakinlah hatinya dengan Nur Allah yang suci, sehingga
orang itu tunduk kepada Allah. Maka kemudian ia
mengutamakan INGAT pada ALLAH daripada mengikuti hawa
nafsunya dan dari segala sesuatu selain Allah, karena
bahwasanya Allah Ta’ala Yang Maha Agung dan Perkasa
adalah sesuatu sesembahan yang dicari, digemari dan dicintai.
daripadaNyalah kita terjadi dan kepadaNya lah kita kembali
pulang sebagai kesudahan kita.
Allah SWT menjanjikan dunia ini sebagai tempat pengamalan
segala perintah dan menjauhi segala larangan, sedangkan Ia
menjadikan akhirat, tempat hasil bekas amalnya yang
mencapai kemuliaan dan keagungan.
Tidak sekali-kali diberatkan hidup kita di dunia ini melainkan
kita harus menyatakan seseorang diri dengan penuh tanggung
jawab, berani mengendalikan (mujahadah) dhohir dan bathin
agar dapat membedakan di dunia ini (dengan adanya
mujahadah itu) apa yang keji karipada apa yang baik.
Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman : (QS. Az Zalzalah : 7-8)

‫َو َومو َو ۡع َوم ۡ ِذم ۡ َوب َو َو ِهَّلل ٍط َوخ ۡ ٍ۬ ً َو َو هُر ۥ‬

Miftahus Shudur
‫َو َومو َو ۡع َوم ۡ ِذم ۡ َوب َو َو ِهَّلل ٍ۬ ٍط َو ٍ۬ ًّذ َو َو هُر ۥ‬
“Barang siapa beramal sebesar biji sawi sesuatu kebajikan,
akan dilihat dan ditimbang, dan barang siapa beramal
sebesar biji sawi akan sesuatu kejahatan, ia pasti akan
melihat balasannya.”
Adapun Tuhan SWT, maka Ia tidak memerlukan bantuan dari
yang lain. Tidak kembali bagiNya manfaat dari orang yang
berbuat ta’at dan tidak pula menjadi madarat bagiNya dari
orang yang berbuat maksiat. Manfa’at dan mudarat itu
kembali kepada hamba sekalianNya.
Dan diadakan percobaan untuk menguji orang yang mukmin,
bahwa baginya ada nafsu-ammarah bissu’ (nafsu yang
membawa jahat) uang dapat menggerakkan syahwat yang ada
pada tabi’atnya yang sangat menawan dia, tetapi Allah
menyuruhnya menahan diri daripadanya dan takut berbuat
yang tidak baik itu.
Maka dalam perjalanannya ia berada dalam perjalanan yang
sulit. Apabila ia menyukai mengikuti syahwat nafsunya maka
ia membuat amarah Tuhannya dan apabila ia menyukai
perintah Tuhannya, niscaya ia membuat benci kepada
nafsunya. Tidak ada pilihan yang ketiga baginya daripada ini
untuk bisa memilih selainnya.
Selama illat-illat (penyakit hati) itu tidak kelihatan dengan
mata tetapi dapat ditangkap dengan hati –tidak dapat tidak-
harus ada Nur yang tersembunyi daripada penglihatan mata
dan dapat ditangkap dengan hati, untuk menandingi illat-illat

Miftahus Shudur
tersebut, maka keluarlah mereka yang berbuat dan menuruti
syahwat dari gelap-gulita kepada Nur yang terang benderang
dengan izin Tuhannya.
Dan sudah ditunjukkan latihan-latihan amaliyah yang sudah
diamalkan oleh tuan-tuan Syeikh Arifin, bahwa dzikrullah itu
dapat menghasilkan cahaya Nur dan keistimewaan-
keistimewaan dan rahasia-rahasia yang dapat menyembuhkan
penyakit hati kaum mu’min.
Hal ini adalah berdasarkan atas firman Allah Ta’ala (QS. Al-
Baqarah : 152) :

ۡ ‫َوٱ ۡ ُر ُر ِذى َو ۡ ُر ۡ ُر‬


“Sebutlah akan daku, niscaya aku menyebut pula dirimu.
Apabila engkau mengingat dan menyebut Tuhan, terbukalah
padamu tutup kealpaan, maka engkau lalu menjadi orang
yang berdzikir sesungguhnya, dan yang bersyukur
sesungguhnya.”
Dalam Al-Qur’an Tuhan memperitngatkan :

‫ُر ُر ْذ ِذى َو َو َوت ۡ ُر ُر ِذو‬ ۡ ‫َو‬


“Bersyukurlah kamu kepadaKu dan janganlah engkau kufur
kepadaKu.”
Dan dengan demikian, engkau beroleh rahmat yang
berlimpah-limpah dan penuh keberkahan, terhauhkan engkau
daripada kejahatan, dan bertambah-tambah banyaklah pahala

Miftahus Shudur
yang dianugrahkan Tuhan kepadamu seperti firmanNya.” (QS.
Al Ahzab : 35)

ً ٍ۬ ‫ڪ َو ٲ ِذ َو َوا ِهَّلل ِهَّللٱُر َو ُر ِهَّللم ۡ ِذ َو‬ ‫ٱ َو ِذ ٍ۬ ً َو ِهَّلل ٲ ِذ‬ ‫َو ِهَّلل ٲ ِذ‬
‫ڪ ِذ َوو ِهَّلل َو‬
‫َو َو ۡ ً َواظِذ ٍ۬ ًم‬
“Adapun orang laki-laki yang banyak dzikir kepada Allah
begitu juga orang-orang wanita, disediakan Allah baginya
ampunan dan pahala yang besar.”
Jangan kamu lupa bahwa Allah itu memberi ta’arif (definisi)
terhadap mereka yang mempunyai hati, Ia memberikan
kepada mereka yang hatinya mengingat Allah sambil berdiri,
sambil duduk, sambil berbaring dan sebagainya.
Ulama-ulama yang ‘arif berkata bahwa riski Tuhan yang
dhohir yang dikaruniakan buat manusia ialah bahwa manusia
itu harus menggerakkan badan jasmaninya, tetapi rizki yang
bathin ialah dengan menggerakkan hatinya manusia itu. Al-
Qur’an menyatakan : “Bahwasanya dzikir itu adalah obat
untuk mengobati hati dan jalan untuk menenangkang hati.”
Maka Allah Ta’ala berfirman : (QS. Ar Ra’du : 28)

‫ِذڪ ِذ ِهَّلل ِذ‬


‫ٱ‬ ‫ِهَّلل ِذ َوو َوا َوم ُر ْذ َو َوت ۡ َوم ِذِٕٮوُّي ُر ُر ُر ُر ِذ ِذ ۡ ِذ ِهَّلل ِذ‬
ۡ ‫ٱۗ َو َو ِذ‬
‫َوت ۡ َوم ِذِٕٮوُّي ۡ بُر ُر ُر‬
“Bahwa mereka yang beriman dan tenang hatinya adalah
dengan mengingat Allah. Bukankah dengan mengingat
Allah Ta’ala itu dapat menenangkan hati?”

Miftahus Shudur
Karena sesungguhnya maksud daripada dzikir itu ialah kekal
hadir hati dengan Allah Ta’ala, maka lalu ia mengadakan
sholat dan sholatnya itupun berisi dzikir, mengeluarkan
zakatpun dzikir, berpuasa dzikir, haji dzikir, belajar ilmu fiqih
untuk agama dzikir, memberi fatwa dalam hukum Tuhan
dzikir, membaca Qur’an itupun dzikir dan amar ma’ruf nahi
munkar tidak lain daripada dzikir dan sebagainya.
Adapun amal ibadat itu bermacam-macam, tetapi yang
diingat di dalamnya adalah satu : Allah SWT tidak ada yang
diperintahkan Allah segala amal ibadat dan ta’at, kecuali
untuk berdzikir kepadaNya.
Adapun kita ini apabila kita katakana bahwa segala tuan-tuan
Syeikh yang arif dan mengenal Tuhan, mendidik murid-
muridnya dengan thoreqat-dzikir, sesekali tidaklah kita
maksudkan bahwa tuan-tuan Syeikh itu melarang untuk
mengajarkan ibadat-ibadat lain selain dzikir, tetapi yang kita
maksud, bahwasanya tuan-tuan Syeikh itu membersihkan ruh
pada sisi Allah secara Sufi, dalam berdzikir secara berjamaah
dan secara sendiri-sediri. Dan yang demikian itu terjadi di
samping ibadat yang diperintahkan Tuhan secara fardhu dan
secara sunat dan secara mandut-mandut, karena yang
demikian itu asa yang kuat dapat memupuk segala
kesempurnaan pendidikan rohani.
Dan tidaklah syak wasangka lagi bahwa orang yang berdzikir
terhadap Allah, ia menempuh jalan sufi ini, seperti
ditunjukkan oleh latihan amaliyah yang sahih, ia merasakan
daripada kemanisan ibadat dan ta’at, apa yang tidak dirasakan

Miftahus Shudur
oleh seseorang yang acapkali lupa kepada Allah pada
kebanyakan waktunya. Sebagaimana bahwa orang yang
berdzikir itu merasakan makna-makna Qur’an yang mulia dan
Sunnah yang suci yang tidak pernah juga dirasakan oleh
orang-orang lainnya.
Adapun ulama-ulama Sufi yang terkemuka membiasakan
murid-muridnya pertama-tama dengan berdzikir dengan lidah
yang meningkat secara teratur daripada dzikir hati, dengan
cara disengajakan kemudian membawa kepada dzikir hati,
secara kebiasaan, kemudian kepada dzikir Sirri. Dan tanda-
tanda dzikir Sirri itu adalah bahwa apabila kamu meninggalkan
ucapan dzikir, maka dzikir Sirri itu tidak akan
meninggalkanmu, bahwa dzikir Sirri itu sendiri menyampaikan
kamu dari ghoibah kepada leluhur.
Dan berkatalah tuan hamba Syekh Ibn Athoilah As Sukandari
r.a. : “Setengan daripada alamatnya bahwa tidak padam
apinya dan tentu tidak hilang Nurnya.”
Adapun Syekh yang arif membantu muridnya yang sedang
dalam keadaan salik untuk menundukkan hawanya dan
mengalahkan nafsunya, di antara lain bahwa nafsu itu pada
awal martabatnya, adalah ia nafsu yang sedang mendorong
pada kejahatan, kebanyakan perintah nafsu itu kepada
kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya.
Maka dzikir itu menerangi nafsu amarah yang lebih terang
sebagaimana sebuah pelita menerangi sebuah kamar yang

Miftahus Shudur
gelap kemudian meningkatkan dari pada jihad jahat kepada
jiwa yang lunak.
Maka pada waktu itu menyesallah seseorang dalam
melakukan dosa dan berkehendak memperbaiki tingkahnya
dalam hubungan beribadat kepada Tuhannya. Ia tidak rela
untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan, ia
bertobat dan minta ampun dan mendekati petunjuk
Tuhannya.
Apabila orang itu bersungguh-sungguh dalam melakukan
Suluknya dan mengikuti petunjuk-petunjuk yang bijaksana
daripada Syeikhnya, sedang mereka selalu dalam dzikir
kepada Tuhannya, lenyaplah dari hatinya itu dengan kekuatan
dzikir, kegelapan yang melupakan dan kemaksiatan, sedikit
demi sedikit. Nafsu terlepas daripada segala sifat kerendahan
dan terisi dengan segala sifat-sifat keutamaan, lalu dapatlah ia
mencapai “Anwarul Haq”, Nur yang penuh dengan kebenaran
tetap kepada Tuhan. Lalu tenanglah ia sujud kepada Tuhannya
dan tetap pada Tuhannya. Ia cinta kepada Tuhan dan Tuhan
cinta kepadanya.
Maka nyatalah bagi kita daripada apa yang sudah disebutkan
terdahulu, bahwa dzikrullah itu dapat mengangkat seorang
hamba yang mu’min dari bumi syahwat ke langit ma’rifat.
Inilah pula apa yang pernah diucapkan oleh Tuanku Syeikh
yang arif mengenal Tuhan kepada murid-muridnya. Dalam
suatu ucapan yang indah : “Dalam ‘asma yang tertinggi,
orang dapat meningkat ke langit (mencapai martabat yang
tinggi).”

Miftahus Shudur
Kemudian Syeikh r.a. berkata setelah itu : “Hatimu sekarang
bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau tidak jauh
dari engkau, ia mendekatkan engkau kepadaNya, dan
mengenalkan engkau denganNya.”
Adapun yang disebut dengan dzikir, artinya apa yang pernah
diterangkan dalam sebuah hadist yang shahih, yang
diriwayatkan oleh Bukhari, dengan sanadnya daripada Nabi
SAW
Yang disangka oleh hambaKu dengan Daku dan Aku bersama
dia apanila ia ingat kepadaKu, apabila ia ingat kepadaku
dalam dirinya, Aku pun ingat untuknya dalam diriKu, dan
apabila ia ingan kepada Ku dalam ruang yang luas, Aku pun
ingat untuknya dalam ruang yang lebih baik daripadanya.”

‫َو َو اِذ ْذ َو َوظوِّي َوا ْذ ِذ ِذىْذ َو َو َو َوم َوع ُر ِذ َو َو َو َو ِذىْذ ِذ ْذ َو ْذ ِذ ِذ‬


‫َو َو ْذ ُرت ُر ِذ ْذ َو ْذ ِذ ْذ َو ِذوْذ َو َو ْذ ِذ ْذ ِذ ْذ َوم َو ٍط َو َو ْذ ُرت ُر ِذ ْذ َوم َو ٍط‬
‫َوخ ْذ ٍط ِذم ْذ ُر‬
Adapun kejauhan seorang hamba dari Tuhannya dan
kedekatannya, bukanlah berarti kejauhan jangka dan jarak,
tetapi sesungguhnya kejauhan itu semata-mata karena lupa
hati terhadap Allah dan kedekatan itu adalah sebab hadirnya
hati bersama Allah.
Kejauhan itu adalah hijab (tertutup) dan
Kedekatan itu yaitu terbuka hijabnya (kasyaf)
Hijab itu gelap dan kasyaf itu Nur

Miftahus Shudur
Gelap itu jahil dan Nur itu ma’rifat
Dan ukuran ma’rifat orang mu’min tidak lain daripada
berhubungan dengan Tuhan. Tidaklah perhubungan itu
dimaksudkan perhubungan zat dengan zat Allah Maha Tinggi
Allah daripada kedekatan yang demikian.
Adapun hubungan itu, dengan hubungan iman dengan Allah
dan yakin di dalamnya, cinta bagiNya, memegang sungguh-
sungguh padaNya dan tunduk padaNya, hadir hati
bersamaNya dan menuntut keridhaan serta kemurahan yang
selain daripada selain Tuhan Yang Maha Suci, tidak ada Tuhan
melainkan Dialah yang hidup dan menciptakan.
Maka berkatalah Tuanku Abu Sa’id Al Harraz r.a. : “Apabila
Allah Ta’ala akan mengangkat seorang hambaNya menjadi
wali daripada hamba-hamba yang lain, Ia membuka
kepadanya pintu dzikir, maka apabila ia merasa lezat
berdzikir, dibuka kepadanya “Babul Qurb”, kemudian
diangkatkan ke “Majlisul Uns” (tenang bathin). Kemudian
ditempatkan dia di atas Kursi tauhid, kemudian diangkat
daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke
dalam “darul fardaniyyah” dan dibukakanlah kepadanya
“hijabul jalali wal ‘uzmati”.
Apabila jatuh pandangannya kepada jalal dan uzmah, kekal-
lah ia berpandangan dengan tidak ada lagi, hanya Huwa (dia)
Allah, maka tatkala itu pandangan seseorang hamba berada
dalam masa fana. Maka kuatlah dalam pemeliharaannya dan
selamatlah ia daripada ajakan nafsunya.

Miftahus Shudur
Aku sebutkan akan pandangan yang tertulis dalam Kitab dan
Sunnah, Ia melihat bahwa keduanya garis pokok daripada
harus adanya Dzikir, bahwa dzikir yang banyak itu dengan
lisan dan dengan hati.
Dzikir lisan akan menyampaikan dan menolongnya kepada
dzikir hati.
Dan berkatalah Tuanku Abulhasan Asy-Syazili r.a. : Biji sawi
dan amal hati sama besarnya, laksana gunung daripada amal
anggota.
Hendaklah murid-murid itu merasa takut daripada gerakan
syaitan, karena ia menutup manusia daripada berdzikir,
membikin was-was hingga mendidih dalam hatinya, bahwa
kamu berdzikir dengan lidahmu tetapi tidak ada hudur dalam
bathinmu.
Apakah faedahnya dzikir semacam ini?
Dzikir semacam ini meskipun diucapkan seperti tidak ada apa-
apa, tidak ada berfaedah, tidak ada buah dan akibatnya,
jauhkan darimu daripadanya (was-was tersebut).
Hendaklah murid-murid mengerti bahwa ghoflah dengan
meninggalkan dzikir itu lebih jelek daripada ghoflah di dalam
berdzikir.
Dan apabila ia berkehendak mengusahakan hudur hendaklah
ia duduk bersama Syeikh-nya, dan ikhwannya yang sungguh-
sungguh, yang telah memperoleh uns (tenteram bathin)
dalam menempuh jalan kepada Allah.

Miftahus Shudur
Sesungguhnya roh itu mempengaruhi setengahnya kepada
setengah yang lain, sebagaimana saya dengar yang demikian
itu daripada Tuanku Syeikh sendiri, dan telah kudapati
kebenarannya keterangan Tuan Syeikh itu dengan latihan
amal yang menunjukkan bahwa kelupaan selalu ada pada
orang yang pelupa, dan hudur selalu ada pada orang yang ahli
hudur.
Adapun dzikir kepada Allah yang khusus, dikehendaki dengan
dzikir kepada Tuhan itu dengan dzikir lidah dan hati secara
ramai-ramai (berjhama’ah) dan secara perorangan, yakni
dzikir keras (jahar) dan dzikir khofi.
Yang demikian itu adalah keutamaan amal dan hasilnya dekat
sekali sebagaimana telah dibuktikan oleh latihan amaliyah.
Adapun yang meneliti akan tajribah amaliyah ialah orang sufi
masa dan selalu silih berganti, supaya kebiasaan latihan itu
dapat diusahakan oleh semua mu’min menumbuhkan cinta
kepada Allah akan cinta yang murni. Firman Allah dalam Al-
Qur’an Surat Al-Baqarah : 165 :

‫َو ِهَّلل ِذ َوو َوا َوم ُر ْذ َو َو ُّي ُر ٍ۬ ًّذ ِّي ِهَّلل ِذ‬
ۗ‫ٱ‬
“Dan mereka yang beriman itu sangatlah cinta kepada
Allah.”
Cinta kepada Allah, memberi bekas kepadanya lebih dari
cintanya kepada yang selain Alah, sebagaimana bekas yang
pernah didapati oleh sahabat-sahabat Rasulullah SAW.

Miftahus Shudur
Segera Allah memberi bekas kepada mereka itu dalam
barmacam-macam anugrah, diantaranya seperti firman Allah
Ta’ala (QS. An-Nur : 36) :

‫ۡ ُرم ُر ۥ ُر َو ِّي ُر‬ ‫ڪ َو ِذ َو‬ ‫ٍط َو َوِذو ِهَّللٱُر َوو ُرت ۡ َو َو َو ُر ۡ َو‬ ‫ِذى ُر ُر‬
‫َو ُر ۥ ِذ َو ِذٱ ۡ ُر ُر ِّي َو ۡۡلَو َو‬
‫ص ِذ‬
“Dalam rumah-rumah yang diizinkan Allah untuk
dipergunakan dalam menyebutkan akan namaNya,
mempersucikan nama Tuhan dalam rumah suci, baik pagi
maupun sore.”
Dalam kitab “Al-Fathur Rabbani” karangan Penghulu kita Tuan
Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani q.s.a. ia berkata : “Wahai
kaumku, jauhkanlah syaitan mu itu dengan ikhlas dengan
mengucapkan : “LAA ILAAHA ILLALLAAH”. Tidak hanya dengan
dilisankan saja”.
Kemudian sabda Nabi SAW :

‫ِذ‬ ‫ُر ُرم َو ِهَّللم ٌة َو ُر ْذ ُر‬ ‫َو َو ِذ َو ُر ْذ ِذ َوب ْذ ِذ َو َو َو ِذ ِهَّلل‬ ‫َو ْذ ُر ْذ‬
Jauhkanlah Syaitanmu itu dengan ucapan LAA ILAAHA
ILLALLAAH, MUHAMMADUR RASULULLAH. Karena syaitan itu
kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana unta
salah seorang kamu sebab banyaknya penunggang dan
banjirnya muatan di atasnya.
Dan sabda Nabi SAW dalam sebuah hadist yang masyhur :

Miftahus Shudur
‫َو ْذ َو َو َو ُر ْذ َو‬ ‫وٌة َو ُر ْذ َو َو‬ ‫َو ُر َو ْذ َو‬ ‫ِذ ِهَّلل َو‬ ‫َوم ِذم ْذ ُر ْذ ِذموْذ َو َو ٍط‬
‫َووِهَّلل َو َوت َو َو َو‬ ‫َو َو َو َو ِذ ِهَّلل‬ ‫ِذ َو َو ِهَّلل َو‬ ‫ُر َوا َو ْذ‬ ‫ص ِهَّللى‬
‫ِذ َو َو َو‬
‫َو ُر‬ ‫ْذ َوا َو ْذ ِذ َو َو ْذ‬ ‫َو َوا َو ِذ‬ ‫َوى َو ْذ‬ ‫َو َوت َوع‬
“Tidak ada sesorangpun yang sunyi berdampingan dengan
syaitan.” Kata sahabat : “Engkaupun tidak diiringi oleh
syaitan ya Rasulullah?” Sabda Rasulullah : “Aku pun tidak
sunyi dengan keadaan demikian, kecuali bahwa Allah Ta’ala
Yang Maha Tinggi dan Agung menolong aku daripada
keadaan sekarang, maka selamatkanlah aku”
Dan berkata pula Nabi SAW :

‫ِهَّلل َو ِذ َوْذو َو ُر ْذ ُرم ْذ َوو َوا َوى ُر ُر ْذ ِذ َو ِذ ْذ َو َو َو َو َوظ ُر ْذ‬ ‫َو ْذ َو وِهَّلل‬
‫ِذ َوى َوم َو ُر ْذ ِذ ِهَّللم َو ِذ َو ْذ َو ْذ ِذ‬
“Jikalau tidak bahwa syaitan-syaitan itu menutupi hati anak
Adam, sungguh orang-orang yang mu’min itu melihat
kepada langit malakut dan buminya.”
Demikianlah sehingga disebutkan bahwa iblis itu adalah
makhluk yang dilaknat oleh Allah.
Disebut-sebut dalam Al-Qur’an yang Maha Agung, yang mana
Iblis berkata (QS. Al-Arof :16-17)

‫َوۡلَو ۡ ُرع َو وِهَّلل َو ُر ۡ صِذ َو ٲ َو َو ۡ ُرم ۡ َوت ِذب َو‬


‫ُر ِهَّلل َوۡلَو ِذت َو ِهَّلل ُر م َِّۢيو َو ۡ ِذو َو ۡ ِذ ِذ ۡ َو م ِۡذو َوخ ۡ ِذ ِذ ۡ َو َوا ۡو َو ۡ َوم ٰلـ ِذ ِذ ۡ َو َواو‬
‫َو َوم ِذِٕٮ ِذ ِذ ۡ ۖ َو َو َوت ِذ ُر َو ۡ َو َو ُر ۡ َو ٰلـ ِذ ِذ َوو‬
Miftahus Shudur
“Akan kududuki (kuhalang-halangi) jalanMu yang lurus bagi
mereka, kemudian akan kudatangi mereka dari depan dan
dari belakangnya dan dari sebelah kanannya dan dari
kirinya (untuk menggoda mereka) dan tidaklah akan kau
jumpai kebanyakan orang mukmin itu menjadi orang-orang
yang syukur kepadaMu.”
Dan firman Allah Ta’ala :

‫ِهَّلل ْذ ٰل َوم ِذو ُر َوب ِّي ْذ َو ُرۥ َو ْذ ٰل َو ً َو ُر َو َو ُرۥ‬ ‫َو َومو َو عْذ شُر َواو ِذ ْذ ِذ‬
‫َو ِذ وٌة‬
“Dan barangsiapa menjauh daripada dzikrul-rohman, akan
dipengaruhi syaitan, yang ia menjadi temannya.” (QS. Az-
Zukharuf : 36)
Dan firman Allah :

ً ٍ۬ ‫َو َو ٰلـ َۢلَو َو ِذع‬ ۡ ‫ِهَّلل ۡ َو ٰلـوُر َوو ُر ِذ ِهَّلل ُر‬ ‫َو ُر ِذ ُر‬
“Dan syaitan-syaitan itu berkehendak tidak akan
menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-
jauhnya.” (QS. An-Nissa’ 60)
Demikianlah pula firmanNya :

ً ٍ۬ ‫ٱ ِذ ۡ ٍ۬ ً َو ِذ‬
‫ْذ ِهَّلل َو‬ ‫ِهَّلل ِذ َوو َوا َوم ُر ْذ ۡ ُر ُر‬ ‫َو ٰلـ َو ُّي َو‬
ً‫َو َوصِذ ل‬ ً ٍ۬ ‫َو َو ِّي ُر هُر ُر ۡ َو‬

Miftahus Shudur
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kamu akan
Allah, akan dzikir yang banyak dan mengucapkan tasbih
kepadaNya, pagi dan sore.” (QS. Al-Ahzab :41)
Dan sesungguhnya telah ada petunjuk-petunjuk tentang
dzikir-dzikir mereka orang-orang ahli tasawwuf, baik yang
dengan cara-cara tertentu dan dengan bilangan yang
dipastikan dalam Thoreqat. Sufi, dimana mereka berkata
bahwa mengucapkan kalimat “LAA” dimulai pada tengah
badan, dari bawah pusat diangkat ke dalam otak dalam
kepala.
Dan kalimat “ILAAHA” ke bawah kanan, kemudian perkataan
“ILLALLAAH” memukulkan bahu sebelah kiri.
Begitulah cara penjagaanmu daripada godaan syaitan
menurut sabda Nabi SAW :

‫ِهَّلل ْذ َو ِذو‬ ‫ِذ ِذ صْذ وٌة م َوِذو‬ ‫ِذ ْذ ُر‬


“Dzikir kepada Allah SWT, jadi benteng daripada godaan
syaitan”
Seutama-utama pertolongan untuk memerangi syaitan dan
menolaknya, ialah Kalimatul Ikhlas (LAA ILLALLAAH) dan dzikir
seseorang kepada Tuhannya yang Perkasa dan Agung.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, menceritakan daripada
Tuhannya Yang perkasa dan Maha Agung, bahwa, ia berkata :
(Hadits Qudsi)

Miftahus Shudur
‫َو َو َوَوخ َو ِذ صْذ ِذ ْذ َو َوموْذ َوَوخ َو‬ ‫َو ِذ َو ِذ ِهَّلل ُر ِذ صْذ ِذ ْذ َو َوموْذ َو‬
)‫ى‬ ( ‫ِذ ْذ‬ ‫ِذ صْذ ِذ ْذ ُرم َوِذو ِذموْذ َوا َو‬
“LAA ILAAHA ILLAALLAAH bentengKu. Barang siapa
mengucapkan-nya, masuklah ia ke dalam bentengKu itu. Dan
barangsiapa masuk ke dalam bentengKu, maka amanlah ia
daripada azabKu”
Dalam pada itu Allah berfirman :

‫ِهَّلل ۡ َو ٰلـ ِذو َوت َو ِهَّلل‬


‫ڪ ُر ْذ‬ ٍ۬ ‫إوِهَّلل ِهَّلل ِذ َوو ِهَّللت َوب ۡ ْذ إ َو َوم ِهَّلل ُر ۡ َو ٰلـ ِٕٮ‬
‫فٌة م َوِّيو‬ ‫ِذ‬ ‫ِذ‬ ‫ِذ‬
‫َوإِذ َو ُر ُّيم ۡ صِذ ُر َوو‬
“Bahwa sesungguhnya mereka, yang taqwa, apabila hendak
digoda oleh segolongan daripada syaitan, lalu ia berdzikir,
maka tatkala itu lalu sadar memperhatikan”
Allah Yang Maha Perkasa dan Kuasa juga memberi kabar :
“Bahwa hati yang terang benderang itu tidak dapat dicapai
kecuali dengan dzikir kepada Allah”.
Karena dengan demikian hilanglah daripada hati itu tabir
penutup kegelapan dan royn (kebimbangan) dan ghoflah, dan
dengan dzikir itu hilanglah segala gundah gulana.
Adapun dzikir itu tidak lain daripada kunci taqwa dan wara’.
Taqwa itu pintu akhirat, sebagaimana hawa nafsu itu tidak
lain daripada pintu dunia.
Berfirman pula Allah Ta’ala :

‫َو ۡ ُر ُر ْذ َوم ِذ ِذ َو َوع ِهَّلل ُر ۡ َوت ِهَّللتبُر َوو‬


Miftahus Shudur
“Berdzikirlah kamu sebagaimana yang diterangkan, mudah-
mudahan kamu masuk orang-orang yang taqwa”
Allah yang Maha Berkah dan Maha Tinggi juga memberi kabar
: “Bahwasanya insan itu akan menjadi taqwa dengan dzikir”
Adapun perjuangan melawan syaitan itu adalah bathin, yaitu
dengan hati dan jantung iman. Maka apabila kamu serang dia,
maka penolongnya ialah yang Rahman, dan tempat kamu
berpegang pun ialah Allah yang menunjukkan agama dan
harapanmu ialah memandang dengan lezat menghadap
Tuhan yang penuh Karunia.
Peperangan kamu terhadap orang kafir adalah peperangan
zahir dengan pedang dan tombak, dan pembantumu ialah
pimpinan seorang raja dan pembantu-pembantunya.
Harapanmu dengan perjuangan itu ialah masuk syurga. Maka
apabila kamu terbunuh dalam perjuangan zahir ini, balasanmu
ialah abadi dalam “Darul Haq”.
Apabila kamu terbunuh di dalam perjuangan memerangi
syaitan dan menentang mereka hingga datangnya ajalmu,
adalah balasanmu melihat wajah Tuhan seru sekalian alam
tatkala bertemu di hari kemudian.
Jika kamu terbunuh oleh kafir maka kamu syahid hukumya.
Dan apabila kamu nanti terboyong oleh syaitan sebab kamu
ikuti dia dan ikuti perbuatannya, maka tertolak dari Si Raja
yang Kuasa dan Gagah (Allah SWT).

Miftahus Shudur
Maka perjuangan menyerang secara zahir itu ada
kesudahannya. Sedangkan menyerang syaitan dan hawa nafsu
tidak ada habis-habisnya dan tidak ada kesudahannya.
Nabi SAW bersabda :

‫ِهَّلل ُر ُر َو ْذ َو ُر َو َو َو هُر‬ ‫َو ْذ َو ُر ْذ ِذ َو ِذ َووْذ ُر َو َو َو‬

Firman Allah Ta’ala (QS. Al-Hijr : 99)

‫َو ۡا ُر ۡ َو ِهَّلل َو َو ِهَّللت ٰلى َو ۡ ِذت َو َو ۡ َو ِذب وُر‬


“Sembahlah Tuhanmu sehingga engkau yakin benar-benar”
Yakin sampai mati dan bertemu dengan Tuhan.
Sabda Nabi SAW, tatkala kembali dari perang-sabil di Tabuk :
“Kami kembali daripada jihad kecil kepada jihad besar”
Rasulullah SAW menghendaki dengan demikian itu
menyerang syaitan dan hawa karena kekalnya dan sukar
penjagaannya, dan ditakuti daripada Su’ul Khatimah.
Penjelasan daripada penghulu kita Syeikh Abdul Qadir Al
Jaelani q.s.a. sbb : “Wahai Saudara-saudaraku, adapun tauhid
itu membakar syaitan-syaitan yang bersifat manusia dan jin,
karena tauhid itu api bagi syaitan dan Nur bagi ahli Tauhid.
Tetapi bagaimana engkau mengucapkan LAA ILAAHA
ILLALLAAH, sedang dalam hatimu ada beberapa banyak yang
dipertahankan? Tiap-tiap sesuatu kamu berpegang

Miftahus Shudur
kepadanya dan berpegang kepada selain Allah, maka yang
demikian itu sesungguhnya berhalamu.”
“Tidak akan memberi manfaat kepada kamu dengan tauhid
lisan serta hati syirik. Tidak bermanfaat bagimu
membersihkan badan sedang hati itu penuh dengan najis.”
“Ahli tauhid menyerang syaitannya, sedang ahli musyrik
terserang oleh syaitannya.”
“Adapun ikhlas itu inti ucapan dan perbuatan, karena apabila
kosong adalah ia merupakan kulit dengan tidak ada isi. Kulit
ada faedahnya melainkan untuk api. Dengarlah ucapannya
dan amalkanlah, karena ikhlas dapat menghapuskan api
dalam nafasmu dan menghacurkan anak dari syahwatmu.”
“Janganlah kamu hadir pada suatu tempat yang menambah
menyala api tabi’atmu yang dapat menghancurkan rumah
agamamu dan imanmu dengan nyalaan tabi’at, hawa dan
syaitan yang akhirnya hilanglah agamamu, imanmu dan
taqwamu”.
“Janganlah kamu mendengar ucapan mereka daripada
golongan munafik, itulah golongan yang suka membuat-buat,
mengukir-ukir keindahan karena tabiatmu bergantung kepada
ucapan semata-mata seperti orang memasak roti tanpa
garam, tentusaja perutmu tidak menerima apabila engkau
memakannya. Inilah pengertian menghancurkan rumah
(Agamamu)”.
Ilmu itu harus diambil dari mulut-mulut Rijal, tidak hanya dari
kitab-kitab. Rijal itu laki-laki, ialah ahli bijak, yang tawa, yang

Miftahus Shudur
mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, yang
mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, yang
menjadi pewaris Nabi yang arif, yang amal dan ikhlas.
Yang lain itu, bukan taqwa, hanya tipuan dan kebathilan.
Martabat kewalian itu dianugrahkan kepada orang-orang yang
taqwa, baik di dunia maupun di akhirat, sedang asas tujuan
serta pelaksanaan pembangunannya pun bagi mereka adalah
demikian pula untuk bahagia di dunia dan untuk bahagia di
akhirat.
Adapun hakikat taubat, yaitu seorang yang bertaqwa, yang
melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya
dalam segala gerak ahwalnya.
Dan di antara mereka itu ada yang mengucapkan : “Bahwa
kebajikan itu seluruhnya terletak dalam dua kalimat”.
Pertama: Mengagungkan dan mengamalkan perintah Allah
SWT.
Kedua : Bersikap lemah-lembut dan kasih sayang kepada
hamba Allah.
Dan tiap-tiap orang yang tidak mengagungkan dan
mengamalkan perintah Allah SWT dan tidak kasih sayang
terhadap sesama manusia, ia pasti jauh daripada Allah SWT.
Begitu firman Allah (QS. Ali Imran 112)

‫ُر ِذ َو ۡ َوا َو ۡ ِذ ُر ِّي ِهَّلل ُر َو ۡ َوو َوم ُر ِذب ُر ْذ إِذ ِهَّلل ِذ َو ۡ ٍ۬ ٍط م َوِّيو ِهَّلل ِذ‬
‫ٱ َو َو ۡ ٍ۬ ٍط‬
‫م َوِّيو ِهَّلل ِذ‬
Miftahus Shudur
Telah dilimpahkan malapetaka kehinaan, kecuali bagi orang
yang menghubungkan diri kepada Allah SWT khususnya dan
menghubungkan diri dengan sesama manusia pada
umumnya.
Bahwasanya Allah mencintai seseorang hamba ialah : yang
taqwa, yang berbuat kebaikan dan sabar. Andaikata ada
padamu khatir (lintasan hati) yang shahih (benar) /
persangkaan baik niscaya kamu akan mengenal mereka,
mencintainya dan bersahabat dengannya. Adapun khatir yang
shahih ialah apabila hatimu terang benderang dengan
ma’rifatullah yang Maha Perkasa dan Maha Agung.
Jangan hanya kamu terlalu cenderung kepada khatirmu itu
sehingga ma’rifat itu shahih (benar) dan tampak jelas bagimu
kebajikan dan kebenaran.
Tutupilah penglihatanmu daripada segala yang haram, tahan
dirimu dari pada ajakan syahwat, biasakan tubuhmu
memakan yang halal, peliharalah bathinmu dengan
muraqabah bagi Allah dan peliharalah zahirmu dengan
mengikuti Sunnah Nabi, maka jadilah khatirmu yang sahih
(benar), shahihlah pula bagimu ma’rifat terhadap Allah.
Bahwasanya yang kudidik adalah akal dan hati. Adapun nafsu,
tabi’at dan adat, semua itu tidak, sebab tak ada kemuliaan
baginya, bilamana akal dan hati tidak terdidik akan ma’rifat
yang sebenarnya, yaitu LAA ILAAHA ILLALLAAH.
Adapun orang yang tawajuh menghadap dengan hatinya
selain kepada Allah, terhijablah daripada Allah dan tiap-tiap

Miftahus Shudur
orang yang dzikir sedang hatinya kepada yang lain daripada
apa yang harus diingatkan, tertutuplah ia dengan hijab seribu
lapis.
Karena dzikir adalah amal dalam segala keadaan hati, dan rasa
yang dapat mendekatkan kepada maqam yakin, musahadah
syuhud, martabat terbuka segala yang ghaib yaitu benteng
Allah Yang Maha Agung. Barangsiapa yang masuk ke
dalamnya menjadi amanlah ia daripada segala dosa zahir dan
bathin. (Hadist Qudsi)
Adapun asal dzikir itu ialah merasakan lezat dan manis, maka
apabila ia sudah meresap kepadamu tidak ada lain akibatnya
melainkan khusyu’ dan dumu (bercucuran air mata),
membakar segala kecelaan dalam hati dan rasa, dan
tenggelam (dalam kenikmatan itu).
Yang demikian itu adalah alamat kemenangan.
Dzikir itu dilakukan oleh orang yang berdzikir demikian
asyiknya, sehingga ia dapat melihat segala yang ajaib dan yang
aneh-aneh dan segala rahasia yang besar dan kaifiat yang
agung.
Berkatalah Rasulullah SAW :

‫ِذ ِذ َو ٌة َو ِهَّللتى َوت َوخ ِهَّلل َو‬ ‫ُر َو ْذ َو َو َو ُر ْذ َوو‬ ‫َو ِذ ِهَّلل‬ ‫ِذ ْذ ُر َو‬
‫ٱ‬
‫ِذ ِذ‬
“Dzikir Laa Illaaha Illallaah tidak ada balasan baginya
kecuali dibuka Tuhan hijab hingga dimerdekakan Tuhan
kepadanya”
Miftahus Shudur
Berfirman Allah Ta’ala (QS. Al-An’am : 91)

‫ِذ ِذ ۡ َو ۡ َوع ُر َوو‬ ۡ ‫ُر ِذ ِهَّللٱُۖر ُر ِهَّلل َو ۡ ُر ۡ ِذى َوخ‬


“Katakanlah Allah (Ingatlah kepada Allah) kemudian
biarkanlah apa mereka beramai-ramai sambil bermain-main
dalam kesesatan”
Lalu khusyu’ tidak disertai menggerakkan lidahnya dengan
dzikir sampai kekal fikirannya, dan itulah “Magammul Akbar”
dan disitulah isinya ‘Kalam’.
Ketahuilah bahwa inilah tawajjuh yang dengan cepat
memperoleh kemenangan dan memperbanyak ibadat dan
riyadhah, dan berkekalan dengan segala macam tawajjuh
tetap kepada Allah hingga ia terbakar hatinya dari selain Allah
oleh dzikirnya, sehingga sampai pada batasnya (wukuf).
Maka apabila ia disertai riadhah semua itu niscaya ia akan
mencapai tempat yang amat sempurna lagi tinggi dengan
segera, dengan tidak syak wasangka lagi.
Dan sabda Nabi SAW :

‫ُر‬ ‫ص ِذ ْذ َو ْذ ِذ ِذ ِهَّلل ُر ِذت َو ْذ َو ْذ َو‬


ً ‫َوم َو َو َو َو ٌة َو َو َو ِذ ِهَّلل ُر م ْذُرخ ِذ‬
‫ِهَّلل َوم ِذا َو ِهَّللتى ُر ْذب ِذ َو ِذ َوى ْذ َوع ْذ ِذ‬
‫ش‬
Tidak ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallaah
secara ikhlas dalam hatinya, kecuali Tuhan membukakan
pintu langit sehingga ia bias meninjau ‘Arasy”

Miftahus Shudur
Imam Gazali r.a. mengambil alasan tentang syahnya Thoreqat
yang Sufi yang secara terjadi (waqi’i) kemudian alasan kepada
syahnya secara naqli, maka disebutkannya : “Bahwa ini
Thoreqat yang dijalankan oleh Sahabat dan Tabi’in dan segala
sesuatu yang dikerjakan menunjukkan kepada kehidupan
Sahabat, Wali-wali, orang-orang Sufi dan seterusnya”.
Cerita ini tidak akan bermanfaat bagi orang yang tidak
percaya selama ia tidak melihat dan mengamalkannya sendiri
akan yang demikian itu.
Thoreqat Sufi itu mendahulukan mujahadah dan
membersihkan sifat-sifat yang tercela dan memutuskan
pengaruh ikatan hati dari selain Allah dan mengarahkan
segala cintanya kepada Allah.
Maka apabila telah berhasil semua itu, maka Allah-lah yang
menguasai hati hambaNya dan yang memelihara dengan
pemberian cahaya ilmu.
Begitu pun terpelihara akan hati seseorang, berlimpahlah
kepadanya curahan rahmat dan bersinarlah segala hakikat
pekerjaan ke Tuhanan yang dianugrahkan.
Maka tidak ada bagi hambaNya kecuali bersiap untuk
menerima kebersihan yang istimewa dan memberikan
himmah serta kemauan yang benar dan keinginan
memperoleh mawam yang tinggi dan tetap dengan hati yang
tenang menanti apa yang akan dibukakan Allah Ta’ala
daripada rahmatNya kepadanya.

Miftahus Shudur
Adapun Nabi-nabi, Wali-wali dan orang-orang suci seperti
keduanya terbukalah bagi mereka perintah Tuhan dan
melimpahkan dalam dadanya Nur, tidak hanya dengan belajar
atau menyelidik atau melihat kepada kitab-kitab terutama
Kitab-kitab Sufi dalam mencari Ilham, tetapi dengan zuhud
dan melepaskan diri dari segala pengaruh ikatan duniawi,
mengosongkan hati dari kebimbangannya dan mengerahkan
segala cintanya kepada Tuhan.
Maka barangsiapa Tuhan itu baginya, iapun bagi Tuhan.
Demikian ucapan Hujjatul Islam Al-Ghazali r.a.
Lebih lanjut ia berkata : “Dan sesungguhnya keistimewaan
Thoreqat Sufi ini tidak mungkin akan sampai kepada Tuhan
dengan belajar semata-mata tetapi dengan zauq (rasa), hal
menggantikan sifat dari yang tercela kepada yang terpuji.
Sesungguhnya orang-orang Sudi itu merasa yakin bahwa jalan
Sufi mereka itu benar. Ia memiliki jalan Allah yang khusus, dan
bahwa perjalanan mereka adalah sebaik-baik perjalanan,
sedang Thoreqat mereka mereka adalah sebenar-benar
Thoreqat. Akhlak mereka sebersih-bersih akhlak”.
Bahkan jika dikumpulkan semua ahli fikir, semua hikmah ahli
tasawwuf, dan ilmu yang memuncak dari semua ulama, untuk
mengubah sesuatu daripada perjalanan mereka, akhlak
mereka dan akan digantikannya keadaan dengan yang lebih
baik daripada itu, niscara tidaklah seorangpun akan
mendapati jalan sebaik jalan sufi ini.

Miftahus Shudur
Adapun segala gerak-geriknya dan diamnya pada zahirnya dan
pada bathinnya, semua terpetik dari “Misykatun Nubuwwah
Nur” dan tidak ada lagi dibelakannya “Nurun Nubuwwah” dia
atas muka bumi ini, yaitu Nur yang memberikan sinar gilang-
gemilang untuk seluruh alam.
Secara ringkas apakah yang selalu diucapkan orang-orang
Thoreqat membersihkan diri? Yaitu pertama-tama syaratnya :
membersihkan hati seluruhnya daripada selain Allah. Dan
itulah kuncinya. Hal ini berjalan seperti berjalan seperti
berjalannya tahrim dalam sembahyang, yang seluruh hati
tenggelam dalam dzikir kepada Allah.
Dan yang penghabisan, adalah fana seluruhnya dalam Allah
(hancur seakan-akan tidak melihat dirinya lagi) adalah seperti
tersebut dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rahman 26-27) :

‫ُر ُّي َوم ۡو َوا َو ۡ َو َو ٍ۬ ٍطو‬


ۡ ۡ ‫َو َو ۡ َوب ٰلى َو ۡ ُر َو ِّي َو ُر ۡ َو َو ٰلـ ِذ َو‬
‫ٱ َو ِذ‬‫ِذ‬
“Semua yang ada akan fana binasa, yang kekal adalah Tuhan
Sendiri yang Maha Besar dan Maha Mulia”
(Tiap-tiap sesuatu akan hancur lebur, kecuali Allah yang ada
semata-mata).
Maka berkatalah pula Al-Bazari r.a. : “Bahwasanya hati itu ada
padanya sifat “Al-Latifah, Ar-Rabbaniyyah, Ar-Rohaniyya”
(lemah lembut, ke-Tuhan-an, dan bersifat jiwa dan roh), yang
bersangkutan dengan tubuh manusia. Itulah hakikat insan dan

Miftahus Shudur
itulah yang dapat mencapai arif tempat Nur yang disuruh
Tuhan padanya.
Maka dengan demikian, seseorang lalu mencapai kasyafat
(terbuka) dari pada segala macam hakikat”.
Orang-orang materialistis memandang bahwa jalan ma’rifat
ialah panca indera yang lima, diantaranya akal.
Adapun pendapat Imam Gazali, bahwa ma’rifat itu di atas
semua jalan dan wasilah yang paling penting dan besar. Yang
demikian tiu ialah wasilah “al-kasyafful al-batini” atau wasilah
“ilham ar-ruhi”, yang membawa manusia itu mempunyai sifat-
sifat baik pada dirinya, dan membersihkan hati dan
menjauhkan diri daripada cara berpikir orang-orang
materialistis.
Dan dimaksudkan dengan ini bahwa ma’rifat itu tidak dapat
dicapai melainkan dengan jalan hati yang sempurnya, yang
bersih yang tidak terpengaruh perhubungan dengan
kesibukan duniawi.
Dan demikian, adalah yang memiliki hati-hati yang suci itu
adalah mereka yang tetap, yang berdzikir, yang
membersihkan diri dan menyelam kedalam lautan ma’rifat
yang hakikat sebagaimana yang diberikan faham oleh Hujjatul
Islam (Imam Gazali r.a.).
Adapun hati itu tidak lain daripada kunci yang akan
menyampaikan kepada ma’rifat yang bersifat agama yang
terdiri dari bahwa manusia itu apabila menyelam ke dalam
dirinya dan terus kembali kepada hatinya, terpancarlah

Miftahus Shudur
baginya mata air ilmu yang dinamakan “Ilmu-Laduniyyah” dan
“Al-Ma’rifatul Qudsiyyah”.
Daripada Nabi SAW diriwayatkan berkata :

‫ِذ‬ ‫ِذوِهَّلل ْذبُر ُر ْذ َو َو َوتصْذ َو ُر َو َوم َوتصْذ َو ُر ِذ ِذ ْذ َو ِذ ْذ ُر َو َو َول ُر َو ِذ ْذ ُر‬


“Bahwasanya hati itu kotor seperti besi berkarat dan
pembersihnya adalah Dzikrullah”
Dan berkatalah Tuan Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani q.s.a.
Adapun hati itu tempat Ilmu Hakikat karena “Latifattur
Robbaniyyah” yang mengatur bagi sekalian anggota badan.
Yaitu alat penembus kepada hakikat yang telah dimaklumi,
seperti halnya dalam kaca ada bentuk rupa yang bermacam-
macam. Itulah gambaran yang terisi dalam kaca, yang serupa
dengan bentuknya.
Demikian pula setiap yang dimaklumi tentang hakikat, itupun
bentuk yang mengisi dalam hati, sedang hati itu kotor (banyak
kesalahan), maka apabila seseorang mendapati apa yang
ditunjukkan oleh Nabi SAW, maka ia berhasil mendapat
hakikat itu. Dan jika tidak, ia berpindah kepada sifat yang
hitam, yang akan membawa manusia terjauh daripada terang
benderang Nur.
Hitam karena cinta dunia dan yang berlainan daripada itu,
ialah karena tidak ada wara’, karena barang siapa teguh dalam
hatinya hanya cinta dunia, hilanglah wara’nya, maka
bercampur aduklah keadaan dari halal dan haram, hilang

Miftahus Shudur
perbedaan seluruhnya, hilang malunya daripada Tuhannya
dan hilang pula muraqabahnya.
Wahai teman-temanku, terimalah apa yang disampaikan
Nabimu dan terangilah ke dalam hatimu dengan obat yang
telah ditunjukkan oleh Nabi kepadamu.
Jikalau ada seseorang sakit dan sudah diberikan obat oleh
dokter kepadanya, akan selamatlah hidupnya hingga sehat
kembali.
Ber-muraqabah-lah kamu dengan Tuhanmu yang Maha
Perkasa dan Maha Tinggi, baik dalam khalwat-mu maupun di
luar khalwat-mu (keramaian), dan jadikanlah pandangan
matamu hingga kamu seakan-akan melihat-Nya, maka apabila
kamu tidak melihat, maka Ia lah yang akan melihat kamu.
Barang siapa yang berdzikir kepada Allah dengan hatinya,
maka ia dinamakan ahli dzikir. Tetapi barang siapa yang tidak
mengucapkan dzikir dengan hatinya, maka ia tidak termasuk
orang yang berdzikir.
Lisan itu alat hati dan yang mengikuti dan tetap hati itu
tempat memperhatikan nasihat-nasihat. Bahwasanya, hati itu
apabila terjauh (tidak memperhatikan) nasihat, butalah mata
hatinya.
Berkata Nabi SAW :

‫ص ُر َو ْذ َو َو ُر‬
‫ص ُر َو ْذ َو‬ ‫َو‬ ‫ْذو َو َو َو ُرم ْذ َو ً ِذ َو‬
‫ِذوِهَّلل ِذ ْذ َو َو ِذ ِذ‬
‫ُر ُّي ُر َو َو َو ِذ َو َوب ْذ ُر‬ ‫ُر ُّي ُر َو ِذ َو َو َو َو ْذ َو َو َو ْذ َو َو ُر‬

Miftahus Shudur
“Bahwa dalam badan anak Adam itu ada segumpal darah.
Apabila darah itu baik, maka baiklah seluruh badan anak
Adam itu semuanya. Apabila gumpalan darah itu rusak,
maka rusak seluruh badan anak Adam itu. Perhatikan,
bahwa yang dimaksudkan itu adalah hati.”
Dan berkata pula Nabi SAW :

‫ِذ ِذ ُر ْذ‬ ‫ص َو ِذ ُر ْذ َو ْذ َو وْذ ُر‬


‫ظ ُر ِذ َوى‬ ‫َو َو َو ْذ ُر‬
‫ظ ُر ِذ َوى ُر‬ ‫ِذوِهَّلل‬
“Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, tetapi
melihat kepadabathinmu.”
Allah pun berfirman (QS. Az-Zumar : 17-18)

‫ٱ َو ُر ُر‬‫َو َوو َو ۡع ُر ُر َو َو َو َو ُر ْذ إِذ َوى ِهَّلل ِذ‬ ‫ِهَّلل ٰلـ ُر‬ ‫َو ِهَّلل ِذ َوو ۡ َوت َو ُر ْذ‬
‫ى َو َو ِّي ۡ اِذ َو ِذ‬ ۚ ‫َو ٰل‬ ۡ ‫ۡ ُر‬
‫َو َو َو ِهَّللت ِذ ُرع َوو َو ۡ َو َو ُر ۥۤۚ ُر ْذ َو ٰلـ ِذِٕٮ َو ِهَّلل ِذ َوو‬ ۡ ‫ِهَّلل ِذ َوو َو ۡ َوت ِذم ُرع َوو ۡ َوب‬
‫ُر ْذ َو ٰلـ ِذِٕٮ َو ُر ۡ ُر ْذ ُر ْذ ۡۡلَو ۡ َو ٰلـ ِذ‬ ‫ٱُر َو‬ ۖ ‫َو َو ٰل ُر ُر ِهَّلل‬
“Adapun mereka yang menjauhkan dirinya daripada godaan
Iblis untuk disembahyangkan, kemudian mereka kembali
kepada Allah (dzikrullah), bagi mereka bergembira, maka
berikanlah berita yang menggembirakan itu kepada
hambaKu”
Yang mendengar dan mengikuti ucapan-ucapan yang baik.
Mereka inilah yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka
inilah orang yang mempunyai hati (memperhatikan bathin).

Miftahus Shudur
Dan adalah junjungan kita Nabi Muhammad SAW
mengajarkan “kalimat Thoyyibah” (mengucapkan Dzikir LAA
ILAAHA ILLALLAAH) kepada sahabat-sahabatnya r.a. . untuk
membersihkan hatinya dan mensucikan dirinya dan
mendekatkan mereka kepada hadirat Allah dan mendapat
kebahagiaan yang suci.
Setengah orang bertanya tentang Tasawwuf. Maka
dijawabnya : “Membersihkan dan menjauhkan diri dari pada
tabi’at yang jelek dan menggemari sifat-sifat
perikemanusiaan, menjauhkan perselisihan-perselisihan yang
dipengaruhi hawa nafsu, kemudian menempatkan sifat-
sifatnya kepada sifat-sifat rohaniyah, tunduk kepada Ilmu
HakikatNya kemudian mengikuti seluruh syari’at Rasulullah
SAW”.
Ujar Imam Al-Gazali r.a. : “Di antara syi’ar-syi’ar orang Sufi
adalah : Barangsiapa mengambil syari’at saja tetapi tidak
mau tahu tentang hakikatnyam orang itu fasik”.
“Dan barang siapa mengambil hakikat saja, tetapi tidak
melakukan syari’at, maka dia itulah merupakan kafir zindiq.”
Sedangkan yang melakukan syari’at dan mengamalkan
tasawwuf, inilah orang yang dinamakan ahli hakikat yang
sebenarnya.
Sudah kita sebut terdahulu, bahwa martabat WUSUL (sampai
kepada Allah) adalah TIGA perjalanan :
Pertama : ISLAM

Miftahus Shudur
Kedua : IMAN
Ketiga : IKHSAN
Adapun seseorang hamba Allah, jika ia kekal sibuk dalam
ibadah dalam maqam ISLAM atau maqam SYARI’AT.
Apabila amal itu berpindah kepada hati dengan kebersihan
dan sunyi daripada kejahatan, berisi dengan kebajikan
sempurnya Ikhlas, maka orang itu berada dalam maqam IMAN
atau maqam THOREQAT.
Apabila manusia itu sampai kepada martabat Ibadat untuk
Allah semata-mata, seakan-akan Allah melihatnya, maka ia
berada dalam maqam IKHSAN atau maqam HAKIKAT.
Oleh karena itu diungkapkan orang : “Adapun SYARI’AT itu
ialah bahwa kamu menyembah Allah”.
THOREQAT itu ialah bahwa kamu menuju kepada Allah, dan
HAKIKAT itu ialah bahwa kamu bermusyahadah benar-benar
menyaksikan Allah yang Maha Pencipta.”
Berkata pula Tuan Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani q.s.a. “Tidak
lain tujuan ahli tasawwuf melainkan hanya untuk
membersihkan bathinnya manusia dengan NUR TAUHID dan
MA’RIFAT”.
Adapun orang Sufi yang benar dalam Tasawwufnya,
membersihkan hatinya daripada sesuatu selain Allah dan
cintanya kepada Allah. Melaksanakan bersungguh-sungguh
dan menjalankan perintah Allah yang dapat mengikat dirinya
dengan dzikrullah Yang Maha Kuasa dan Agung.

Miftahus Shudur
Sabda Nabi SAW :

‫ِذ‬ ‫ِذ ْذ ِذ‬ ‫ِذ ُر ْذ‬ ‫ِذ َو َوا َول َوم ُر ُر ْذ ِذ‬ ‫َوا َول َوم ُر ُر ُّي ِذ ْذ ِذ‬
“ Alamat mencintai Allah iyalah mencintai dzikrullah sedang
alamat kemarahan Allah adalah enggan kepad dziktullah”
Seorang hamba yang mencintai Allah, tidak terasa memiliki
sesuatu, ia serahkan segala apa yang ada kepada yang
dicintainya, yaitu Allah.
Kemudian begitu pula Tuan Yeikh Abdul Qadir Al-Jaelany q.s.a.
menasehatkan : “Adapun yang wajib atas manusia ialah
mencari kehidupan hati untuk dia akhirat; di dunia ini dari ahli
Talqin sebelum berakhir wqktu hidupnya; karena firman Allah
Ta’ala (QS. An-Nahl : 43)

‫ِّي ۡ ِذ إِذو ُر ُرت ۡ َو َوت ۡع َو ُرم َوو‬ ‫َو ۡ ـَٔـَو ُر ْذ َو ۡ َو‬


Bertanyalah kamu kepada ahli dzikir (bai’at), jika kamu
tidak mengetahuinya.
Mengambil bai’at dari Tuan Syeik Arif Billah, adalah perkara
penting dalam Tasawwuf untuk mengusahakan yakin.
Dalam sebuah Hadist Yang Mulia, diriwayatkan : “Pelajarilah
olehmu akan pembawaan yakin” artinya : perbanyaklah
duduk bersama ahli yakin.
Bai’at yang terdapat sesudah wafat Nabi, ialah meneruskan
bai’at yang dilaksanakan oleh Nabi SAW sendiri, dan Ulama-
ulama yang Arif Billah adalah penerus Nabi kita dalam

Miftahus Shudur
mengajarkan kepada manusia adab-adab agama yang zahir
dan yang bathin.
Adapun adab bathin, lebih sukar untuk kita karena untuk
mengamankan adab yang zahir, Dan juga oleh sebab ia
menghendaki peperangan “khofi” (halus) antara seorang
manusia dengan hawa nafsu dan syaitannya dan godaan
dunia yang menipu dan penyakit-penyakit hati seperti : hasad,
ujub, ria, munafiq, dan lain-lain.
Barang siapa mengikuti Thareqat Tasawwuf dengan tidak
mengikuti imamnya yang Arif Billah (Bai’at), ia tersesat pada
permulaan melangkah, padahal cukup mulia untuk kita
bersama bagi Thoreqat ahli Tasawwuf yang Nurani.
Diceritakan bahwa Nabi Musa a.s. yaitu daripada Rasul-rasul
yang termasuk “Ulul Azmi” pernah menanyakan tentang ilmu
hakikat kepada Nabi Khidir a.s. lalu berkata :

‫َو َو َو ُر ۥ ُرم َو ٰلى َو ۡ َو ِهَّللت ِذ ُرع َو َوا َو ٰلى َوو ُرت َوع ِّي َوم ِذو ِذم ِهَّللم ُرا ِّي ۡم َو‬
ً ٍ۬ ۡ ‫ُر‬
“Berkatalah Musa kepadanya, apakah boleh aku mengikuti
engkau supaya engkau mengajar akan daku ilmu
pengetahuian yang telah diajarkan kepada engkau sebagai
petunjuk”.
Dengan adanya ini adalah dalil yang kuat atas kewajiban
mengikuti Tasawwuf, yaitu Ilmu Adab Hati daripada yang ahli.
Dan untuk ini dibayangkan yang demikian itu oleh Guruku Arif
Billah, Tuanku Syeikh Ali Aqal r.a. dengan ucapannya :
Miftahus Shudur
Apabila tak ada guru rohani,
Yang memberi petunjuk itu dan ini,
Putuslah jalan wahai insani,
Jalan mencapai Tuhan Rabanni,
Tidak melihat laut yang luas,
Tidaklah pandai tidaklah puas,
Dungu di dalam laut yang luas,
Bertumpuk garam mata tak awas,
Jika tidak kontak listrik,
Pada pangkalnya ia terdidik,
Salah tujuan salahlah selidik,
Yang tampak ombak bukan nur pelik,
Akhirnya Tuhan Allah yang dapat menolong pada tiap waktu
yang tepat waktu bantuan LAA ILAAHA ILLALLAAH, Raja yang
haq dan nyata.
Tuhanku, jadikanlah kami ini dari pada orang yang mu’min
dan yang yakin.
Kami pohonkan kepadaMu, akan engkau jadikan ilmu kami ini
bermanfaat, dosa kami ini terampuni dari mula sampai
terakhir dengan syafa’at Rasulullah SAW, Penghulu segala
Nabi dan Rasul serta dengan karamah Wali-wali, terutama
Tuanku Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani q.s.a. Raja dari segala
‘Arifin dan pokok pikiran dari semua orang yang asyik kepada

Miftahus Shudur
Tuhan dan Guru-guru daripada ahli Hakikat, begitu juga
dengan berkah orang orang Islam dan orang-orang yang
mu’min sekaliannya tidak ada kecuali.
Segala puji bagi Allah seru sekalian alam, perkenankanlah
wahai Tuhan yang menampung segala do’a mereka yang
mengharapkan limpahan karunia-Mu.

Pesantren Suryalaya, Juli 1975

Miftahus Shudur
Miftahus Shudur

Anda mungkin juga menyukai