Anda di halaman 1dari 33

ṢALAT SEBAGAI TONGGAK PEMBINAAN KEPRIBADIAN

MUSLĪM DALAM AL-QURĀN

MAKALAH

disusun sebagai salah satu tugas kelompok


pada mata kuliah Tafsīr al-Qurān 3 (Nazār Tarbawī)

Disajikan dalam seminar mata kuliah Tafsir Al-Qurān 3 (Nazār Tarbawī)


pada hari Kamis, tanggal 1 Oktober 2011

Dosen Pembimbing :
Drs. H. Aam Abdussalam, M. Pd.
Saepul Anwar, S. Pd. I., M. Ag.

Oleh :

Hilma Ridla Nadhifa 1001812


Ilva Fadila Tisna 1000632
Nira Inayah Rahmani 1000079

ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2011
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan
salam semoga tercurah limpahkan kepada junjunan kita semua, Rasulullah SAW.,
keluarga, para sahabat, tabiut tabiin dan seluruh ummatnya sampai akhir zaman
yang patuh dan taat kepada ajarannya.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Tafsīr Al-Qurān 3 (Nazār Tarbawī) yang membahas tentang “ṣalat sebagai
tonggak kepribadian muslim yang sesuai dalam Al-Quran”.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Drs. H. Aam Abdussalam, M. Pd.


dan Saepul Anwar, S. Pd. I., M. Ag., atas bimbingannya, serta kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini


terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun sebagai bahan
masukan untuk dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat,
dan menambah khazanah keilmuan kita semua. Amiin.

Bandung, November 2011

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagai ummat muslim sudah pasti diharuskan untuk berkepribadian yang


baik, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Memang, manusia tidaklah
memiliki kesempuranaan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allāh SWT., akan
tetapi kita sebagai ummat-Nya yang selalu ingin mengharapkan keridhoan-Nya
dalam setiap langkah, maka tidak ada salahnya bagi kita semua untuk belajar dan
berusaha menjadi pribadi yang baik dihadapan Sang Khaliq.

Untuk mencapai kata sempurna dalam taraf sempurna dimata manusia,


untuk memiliki kepribadian yang baik selalu melihat contoh dari yang baik pula.
Dan tidak sedikit yang disandarkan pula kepada sifat Sang Maha Pencipta
maupun kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW,, dengan maksud agar kita
tidak menjadi ummat-Nya yang sombong dimuka bumi ini.

Dan salah satu penyokong kepribadian ummat muslim adalah melalui


ṣalat. Karena melalui ṣalat, sudah terlihat kepribadian seorang muslim itu seperti
apa. Berbagai cara mengenai ṣalat yang dilakukan oleh beberapa orang, benar
tidaknya atau khusyuk tidaknya seseorang, hal itu secara tidak langsung
menunjukkan bagaimana kepribadiannya.

Selanjutnya, mungkin dalam makalah ini kami akan paparkan sedikit


mengenai bagaimana ṣalat itu menjadi tonggak pembinaan kepribadian muslim
yang sesuai dengan Al-Quran.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa arti dari ibadah?


2. Apa definisi ṣalat?
3. Ada berapa kata ṣalat yang terdapat dalam Al-Quran dalam berbagai bentuk
kata?
4. Bagaimana konsep ṣalat dalam Al-Quran?
5. Bagaimana implikasi pendidikan konsep ṣalat dalam Al-Quran?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui makna ibadah.


2. Untuk mengetahui definisi ṣalat.
3. Untuk mengetahui ada berapa jumlah kata ṣalat dalam Al-Quran dengan
berbagai bentuk kata.
4. Untuk mengetahui bagaimana konsep ṣalat dalam Al-Quran.
5. Untuk mengetahui apa implikasi pendidikan konsep ṣalat dalam Al-Quran.

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan makalah yang kami buat adalah sebagai


berikut:

BAB I, Pendahuluan. Dalam bab ini membahas tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, dan
sistematika penulisan makalah.

BAB II, Konsep ṣalat dalam Al-Quran. Dalam bab ini membahas tentang
makna ibadah, definisi ṣalat, kata ṣalat dalam Al-Quran,
dan konsep ṣalat dalam Al-Quran.

BAB III, Implikasi Pendidikan Konsep ṣalat dalam Al-Quran. Dalam bab ini
membahas tentang apa saja yang menjadi implikasi
pendidikan dari konsep ṣalat ṣalat itu sendiri.

BAB IV, Penutup. Dalam bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran.
BAB II

KONSEP ṢALAT DALAM AL-QURAN

2.1 Makna Ibadah

Manusia diciptakan sebagai makhluk ibadah. Ibadah adalah segala


aktifitas kehidupan yang orientasinya ditujukan kepada Allāh, Tuhan Semesta
Alam. Dan dalam pelaksanaannya, bisa dengan bentuk apa saja selama
berorientasi untuk memperoleh ridha Allāh, maka itu bisa disebut ibadah.
(Mustofa, hal. 64)
Ibadah tidak hanya dilakukan dalam bentuk ṣalat saja ataupun yang
termasuk ke dalam rukun Islam saja. Namun ibadah dapat dilakukan dengan
bebagai cara yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allāh swt., seperti
menolong orang yang sedang membutuhkan bantuan kita, mencari nafkah bagi
seorang suami, menuntut ilmu sebagai seorang pelajar, dan bahkan sampai tidur
pun dapat dikatakan ibadah dalam hal-hal tertentu. Selama hal-hal yang kita
lakukan itu berkaitan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allāh dan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.

    


   
     
    
  
 
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.
Sesungguhnya Allāh dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Ażżāriyat[51]: 56-58)

Ibadah adalah kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Allāh. Ayat diatas


justru memberi penjelasan sebaliknya, bahwa ibadah itu bukan dimaksudkan agar
Allāh memperoleh rezeki dari manusia. Melainkan, agar manusia memperoleh
rezeki dari Allāh, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Kaya, Pemberi Rezeki dan
Maha Pemurah. Sehingga, Allāh mengajarkan kepada kita agar dalam setiap ṣalat
membaca Al-Faatihah, yang di dalamnya ada do’a yang menegaskan bahwa kita
hanya beribadah dan minta pertolongan kepada Allāh saja. (Mustofa, hal. 65)
Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa ibadah itu adalah suatu tuntutan
yang harus dilaksanakan oleh kita tanpa mengetahui kehebatan dari ibadah itu
sendiri. Padahal ibadah adalah sebuah aktifitas yang menghasilkan kebahagiaan
bagi yang menjalaninya. Orang yang beribadah akan memperoleh rasa tentram,
damai dan bahagia. Jauh dari rasa khawatir, takut dan gelisah.
Menurut Agus Mustofa dalam bukunya Tahajud Siang Hari, Dhuhur
Malam Hari (t.t; 89) mengatakan bahwa substansi ibadah adalah sebuah upaya
untuk mendekatkan diri kepada Allāh. Tujuannya, untuk kebahagiaan manusia itu
sendiri, bukan untuk kepentingan Allāh. Justru Allāh ingin memberikan
kemudahan dan kebahagiaan hidup kepada kita, bukan mempersulit apalagi
menyengsarakan kehidupan kita.
Ibadah terdapat dua macam, yaitu ibadah wajib dan ibadah sunnah. Masih
dalam buku dan pengarang yang sama, secara umum para ahli fiqih
memformulasikan bahwa ibadah wajib adalah ibadah yang harus dijalankan oleh
seorang muslim tanpa boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan, sengaja maupun
tidak, harus diganti pada kesempatan berikutnya. Jika tidak mengganti, ia akan
dikenai dosa berupa ‘kemarahan’ Allāh yang akan berefek di dunia maupun di
akhirat, dan akhirnya akan menyebabkan seseorang masuk neraka.
Sedangkan ibadah sunnah, adalah ibadah yang tidak di wajibkan untuk
dikerjakan. Tingkatannya ‘cuma’ dianjurkan. Kalau kita mengerjakan ibadah
tersebut, kita akan memperoleh pahala dan ridha Allāh, karena Allāh senang kalau
kita menjalankan ibadah tersebut. Dan kalau kita tidak mengerjakannya, tidak
apa-apa, tidak akan dikenai dosa dan tidak akan masuk neraka karenanya.

2.2 Definisi ṣalat

Menurut A. Hasan (1999), Bigha (1984), Muhammad bin Qasim Asy-


Syafai (1982) dan Rasjid (1976), ṣalat menurut bahasa Arab berarti berdo’a.
Ditambahkan oleh Ash-Shiddieqy (1983) bahwa perkataan ṣalat dalam bahasa
Arab berarti do’a memohon kebajikan dan pujian; sedangkan secara hakekat
mengandung pengertian “berhadap hati (jiwa) kepada Allāh dan mendatangkan
takut kepadanya-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan,
kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”. (Haryanto, 2003, hal. 59)

Sedangkan menurut Abu Sahla Ardiansyah mengenai definisi ṣalat yang


tersedia di http://abusahlaandriansyah.wordpress.com, secara etimologi ṣalat
berarti do’a dan secara terminologi atau istilah, para ahli fiqih mengartikan secara
lahir dan hakiki. Secara lahiriah ṣalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah
kepada Allāh swt. menurut syarat-syarat yang telah ditentukan. Adapun secara
hakikinya ialah berhadapan hati (jiwa) kepada Allāh Ta’ala yang mendatangkan
takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesaran dan
kesempurnaan kekuasaan-Nya.

Dalam pengertian lain, ṣalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan
amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun
yang telah ditentukan syara’.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ṣalat adalah


merupakan ibadah kepada Allāh, berupa perkataan dan perbuatan yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara’. ṣalat juga merupakan penyerahan diri baik secara lahir maupun
bathin kepada Allāh dalam rangka ibadah dan memohon ridha-Nya.

2.3 Kata ṣalat dalam Al-Quran

Dalam Al-Quran, kata shalawat disebut lima kali, sama dengan jumlah
ṣalat wajib sehari semalam: Ṣubuh, Zuhur, Aṣar, Maghrib dan Isya, yang terdapat
dalam ayat-ayat berikut (An-Najdiy, 1990, hal. 88):
1. Al-Baqarah ayat 157 dan 238

   


   
  
Artinya: “Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat
dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. Al-Baqarah[2]: 157)
  
...  
Artinya: “Peliharalah semua ṣalat(mu), dan (peliharalah) ṣalat wusthaa...” (QS.
Al-Baqarah[2]: 238)
2. At-Taubah ayat 99

    


...    
Artinya: “...dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allāh) itu,
sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allāh dan sebagai jalan
dan shalawat Rasul...” (QS. At-Taubah[9]: 99)
3. Al-Hajj ayat 40

   


  
  
   
...   
Artinya: “...dan sekiranya Allāh tiada menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-
masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allāh...” (QS. Al-
Hajj[22]: 40)
4. Al-Mukminuun ayat 9

   


 
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.” (QS. Al-
Mukminūn[23]: 9)
Masih dalam buku yang sama, kata ṣalat berikut turunan katanya, disertai
dengan kata qiyam berikut turunan katanya, dalam Al-Quran disebut 51 kali.
Jumlah ini sebanding dengan jumlah rakaat ṣalat, yaitu 17 rakaat ṣalat wajib yang
lima, ditambah dengan 34 rakaat ṣalat sunnat –jika ṣalat sunnat fajar (Ṣubuh)
dipandang dua rakaat-, 8 sunnat rakaat ṣalat Aṣar, 4 rakaat ṣalat Maghrib, dan
sunnat Isya dipandang 1 rakaat dari dua rakaat dengan satu duduk, ditambah
dengan 11 rakaat sunnat malam, sehingga jumlahnya lengkap 34 rakaat. Dengan
demikian, maka jumlah keseluruhan ṣalat tersebut dengan ditambah 17 rakaat
ṣalat wajib menjadi 51 rakaat. Kata-kata tersebut terdapat dalam ayat-ayat berikut:

1. Al-Baqarah ayat 3, 43, 83, 110, 125, 177, dan 277


2. Ali Imrān ayat 39
3. An-Nisā’ ayat 77, 102, 103, 103, 142, dan 162
4. Al-Māidah ayat 6, 12, dan 55
5. Al-An’ām ayat 72
6. Al-A’rāf ayat 170
7. Al-Anfāl ayat 3
8. At-Taubah ayat 5, 11, 18, 71, 78, dan 84
9. Yūnus ayat 87
10. Hūd ayat 114
11. Ar-Ra’d ayat 22
12. Ibrāhīm ayat 31, 37, dan 40
13. Al-Isrā’ ayat 78
14. Thāhā ayat 14
15. Al-Anbiyā’ ayat 73
16. Al-Hajj ayat 35 dan 41
17. An-Nūr ayat 37 dan 56
18. Asy-Syurā’ ayat 38
19. An-Naml ayat 3
20. Al-Ankabūt ayat 45
21. Ar-Rūm ayat 31
22. Luqmān ayat 4 dan 18
23. Al-Ahzāb ayat 33
24. Fāṭir ayat 18 dan 29
25. Al-Mujādilah ayat 13
26. Al-Muzammil ayat 20
27. Al-Bayyinah ayat 5

Kemudian dengan menggunakan kata kerja perintah (fi’l amr) “aqim” atau
“aqimu” (dirikanlah) yang diikuti dengan kata “ṣalat” disebut sebanyak 17 kali,
sama dengan jumlah rakaat ṣalat fardhu (17 rakaat). Yang mendukung hal
demikian, adalah juga disebutkannya kata “fardh” dengan berbagai turunan
katanya yang disebut sebanyak 17 kali rakaat ṣalat wajib dalam sehari semalam,
yang juga sama dengan jumlah rakaat ṣalat fardhu. Ayat-ayat yang memuat kata
ṣalat yang dugabungkan dengan kata kerja perintah “aqim” atau “aqimu” tersebut
adalah sebagai berikut (An-Najdiy, 1990, hal. 93-94):

1. Al-Baqarah ayat 43 dan 110


2. An-Nisā’ ayat 77 dan 103
3. Ali Imrān ayat 83
4. Al-An’ām ayat 72
5. Yūnus ayat 78 dan 87
6. Al-Isrā’ ayat 78
7. Thāhā ayat 14
8. Al-Hajj ayat 78
9. An-Nūr ayat 56
10. Al-Ankabūt ayat 45
11. Ar-Rūm ayat 30
12. Luqmān ayat 18
13. Al-Mujādilah ayat 13
14. Al-Muzammil ayat 20

2.4 Konsep ṣalat dalam Al-Quran


1. ṣalat merupakan suatu kewajiban yang waktunya telah ditentukan.

  


  
   
  
   
  
  
Artinya: “Maka apabila kamu Telah menyelesaikan ṣalat(mu), ingatlah Allāh di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah ṣalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya ṣalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-
Nisā’[4]: 103)
Arti mufradat perkata:

No. Arti Arab


1. Lalu apabila 
2. Kalian telah menyelesaikan 

3. ṣalat 
4. Maka ingatlah dan sebutlah 

Allāh/berdzikirlah kalian
5. (dalam keadaan berdiri) 
6. Dan (keadaan duduk) 
7. Dan (dalam keadaan) 
8. Berbaring 
9. Lalu apabila 
10. Kalian telah tenang (merasa aman) 
11. Maka kalian laksanakanlah 
12. ṣalat (sesuai tata cara aslinya) 
13. Sesungguhnya 
14. ṣalat 
15. Ia adalah 
16. Atas 
17. Orang-orang yang beriman 
18. (suatu) kewajiban/fardhu 
19. (yang) ditentukan waktunya 
Sumber: Tafsir Qur’an Perkata oleh Ahmad Hatta (2009, 95)

Mengenai asbabun nuzul Quran surat An-Nisā’ ayat 103 ini, dalam buku
Tafsir Qur’an perkata (2009; 95) yang dikarang oleh Ahmad Hatta, ia
menghubungkan dengan ayat 102, yaitu Abu Hurairah ra. menjelaskan bahwa
suatu saat, kaum mukmin mendirikan ṣalat Ẓuhur bersama Rasulullah saw. di
Asfan. Saat bersamaan, kaum musyrik,di bawah pimpinan Khalid bin Walid,
menyerbu secara tiba-tiba dari arah Kiblat. Kaum musyrik berkata, “Mereka
dalam keadaan lengah. Sebentar lagi akan datang waktu Aṣar yang lebih mereka
cintai daripada nenek moyang mereka sendiri.” Lalu Jibril datang antara waktu
setelah ṣalat Ẓuhur dan sebelum ṣalat Aṣar untuk menyampaikan ayat ini.

Adapun dalam buku Asbabun Nuzul karangan Q. Shaleh, A. Dahlan, dkk.


(2009; 166), mengatakan bahwa asbabun nuzul Quran surat An-Nisā’ ayat 103 ini
adalah sebagai berikut,

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Bani Najjar bertanya


kepada Rasulullah saw.: “Kami sering bepergian berniaga, bagaimanakah ṣalat
kami?” Maka Allāh menurunkan sebagian ayat ini (An-Nisā’: 101) yang
membolehkan ṣalat diqAṣar. Wahyu tentang ayat ini kemudian terputus sampai,
...minash shalaah.... Di dalam suatu peperangan yang terjadi setelah turunnya ayat
di atas (An-Nisā’: 101), Rasulullah saw. mendirikan ṣalat Ẓuhur. Di saat itulah
kaum musyrikin berkata: “Muhammad dan teman-temannya memberi kesempatan
kepada kita untuk menggempur dari belakang. Tidakkah sebaiknya kita perhebat
serbuan terhadap mereka sekarang ini?” Maka berkatalah yang lainnya:
“Sebaiknya kita ambil kesempatan lain, karena nanti pun mereka akan melakukan
hal serupa di tempat yang sama. Maka Allāh menurunkan wahyu di antara kedua
waktu ṣalat itu (Ẓuhur dan Aṣar) sebagai lanjutan An-Nisā’ ayat 101 ini”.
Penafsiran Al-Quran surat An-Nisā’ ayat 103 menurut Tafsir An-Nuur
karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (2000) adalah sebagai
berikut,

“Apabila kamu telah menyelesaikan ṣalat, maka hendaklah kamu menyebut nama
Allāh, sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring.”
Jika kamu telah menunaikan ṣalat khauf, hendaklah menyebut nama Allāh
dalam hatimu dengan mengenang nikmat-Nya atau dengan lisanmu, seperti
memuji dan membesarkan Allāh dalam semua keadaan; sambil berdiri, duduk,
atau berbaring.

“Apabila kamu telah berada dalam kondisi tenang dan aman, maka dirikanlah
ṣalat.”
Jika suasana telah tenang kembali, musuh telah menjauh, atau perang telah
selesai, hendaklah kamu menjalankan ṣalat dengan sempurna, seperti menjalankan
ṣalat biasa, sempurna rukun, syarat, dan sempurna tata caranya.

“Sesungguhnya ṣalat itu wajib bagi para mukmin, yang ditetapkan waktu-
waktunya.”
Sembahyang itu menurut hukum Allāh adalah wajib (fardhu), yang sangat
dikuatkan dalam waktu-waktu yang sudah ditentukan. Maksudnya, karena wajib,
maka ṣalat haruslah dilaksanakan pada masing-masing waktu yang telah
ditentukan. Menunaikan dengan qaṣar pada kondisi-kondisi tertentu lebih baik
daripada mengakhirkannya. Firman Tuhan ini menjelaskan alasan, mengapa ṣalat
tetap harus dijalankan, meskipun dalam kondisi berbahaya dan menakutkan, yaitu
masih menghadapi musuh dalam medan pertempuran. Tuhan tidak menegaskan
waktu-waktu yang kongkret bagi sembahyang, mengingat perbedaan letak pulau
dan benua yang satu dengan yang lain, yang mengakibatkan perbedaan penentuan
waktu pelaksanaannya. Ada bagian dari dunia yang waktu siangnya berlangsung
lebih lama dari waktu malam atau sebaliknya.

Penafsiran yang dipaparkan oleh Teungku Muhammad Ash-Shiddieqy ini


sesuai dengan yang ditafsirkan oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam
bukunya Tafsir Al-Quran Al-Aisar. Adapun pendapatnya yang berbeda, bahwa
sesungguhnya Allāh Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin untuk
mengingat-Nya setiap saat, terlebih lagi di saat menjumpai musuh, karena pada
saat itu terdapat kekuatan rohani yang dapat mengalahkan dan menundukkan
kekuatan materi. Maka tidaklah cukup bagi orang-orang berjihad mengingat Allāh
di saat ṣalat saja, bahkan ketika sudah selesai ṣalat pun mereka tidak boleh
meninggalkan dzikir kepada Allāh dalam segala kondisi.

Kemudian menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al-Mishbah


(2002) yang menjelaskan tafsiran Al-Quran surat An-Nisā’ ayat 103 secara
keseluruhan, mengatakan bahwa setelah penjelasan dari ayat sebelumnya yaitu
ayat 102 yang menjelaskan mengenai ṣalat dalam keadaan gawat, dilanjutkannya
penjelasan tentang keharusan berzikir. Di sisi lain, berzikir setelah ṣalat
dianjurkan, zikir setelah ṣalat dalam keadaan normal dilakukan dengan duduk,
maka disini diberinya petunjuk bahwa; Maka apabila kamu telah menyelesaikan
ṣalat kamu yang dilakukan dalam kedaan gawat itu, berzikir dan ingatlah Allāh
betapapun keadaan yang memungkinkan, bahkan setiap saat di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. Selanjutnya, apabila kamu telah merasa
aman, dari kegawatan yang kamu alami dan yang mengakibatkan kamu shlaat
dengan cara yang disebut di atas, atau pertempuran telah selesai dan kamu
kembali ke tempat asalmu, maka laksankanlah ṣalat itu dengan khusyu’
sebagaimana yang biasa dilakukan dalam keadaan normal, sesuai rukun dan
syaratnya serta memnuhi sunnah dan waktu-waktunya yang tepat karena
sesungguhnya ṣalat itu sejak dahulu hingga kini dan akan datang adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman, sehingga
tidak dapat diabaikan, tidak juga dilakukan setelah masanya berlaku.

Masih penjelasan dari M. Quraish Shihab dalam buku yang sama, beliau
menjelaskan bahwa kata (‫ )موقوتا‬mauquutan terambil dari kata (‫ )وقت‬waqt/waktu.
Dari segi bahasa kata ini digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau
peluang untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Setiap ṣalat mempunyai waktu
dalam arti ada masa di mana seseorang harus menyelesaikannya. Apabila masa itu
berlalu, maka pada dasarnya berlalu juga waktu shlaat itu. Ada juga yang
memahami kata ini dalam arti kewajiban yang bersinambung dan tidak berubah,
sehingga firman-Nya melukiskan ṣalat sebagai (‫ )كتابا موقوتا‬kitaaban mauquutan
berarti ṣalat adalah kewajiban yang tidak berubah, selalu harus dilaksanakan, dan
tidak pernah gugur apa pun sebabnya. Pendapat ini dikukuhkan oleh penganutnya
dengan berkata bahwa tidak alasan dalam konteks pembicaraan di sini untuk
meyebut bahwa shlaat mempunyai waktu-waktu tertentu. Penutup ayat ini –
menurut penganut pendapat ini- adalah sebagai alasan mengapa perintah ṣalat
setelah mengalami keadaan gawat perlu dilakukan.

Demikianlah Al-Quran mengarahkan mereka untuk berhubungan dengan


Allāh dalam semua situasi dan di semua tempat, disamping menunaikan ṣalat. Ini
adalah persiapan terbesar dan ini pulalah senjata yang tidak pernah rusak.

Adapun ketika suasana sudah tenang, “maka dirikanlah ṣalat itu


(sebagaimana biasa)...” Dirikanlah ṣalat dengan lengkap dan sempurna tanpa di
qAṣar, karena ṣalat adalah suatu kewajiban yang sudah ditentukan batas-batas
waktu penunaiannya. Apabila sudah hilang sebab-sebab rukhshah mengenai cara-
caranya, kembalilah ia sebagaimana cara semula yang wajib diberlakukan
selamanya (kalau kondisinya normal). (Quthb, 2002, hal. 68)

Selanjutnya masih sesuai dengan tafsiran Sayyid Quthb dalam bukunya


Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (2002), berdasarkan firman Allāh, “Sesungguhnya ṣalat
itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”,
golongan Zhahiriyah berpendapat tentang tidak adanya qadha ṣalat yang terluput,
karena qadha ini tidak mencukupi dan tidak sah, sebab ṣalat itu tidak sah
dilakukan kecuali pada waktu-waktunya yang telah ditentukan. Apabila waktunya
telah habis, tidak ada jalan untuk menunaikan ṣalat tersebut. Akan tetapi, jumhur
ulama berpendapat sahnya mengqadha ṣalat yang terluput, dan mereka
menganggap baik menyegerakan ṣalat pada awal waktu dan tidak suka
mengakhirkannya.

Maka, kesimpulan dalam ayat ini adalah Tuhan menjelaskan hukum-


hukum sembahyang dalam keadaan bepergian (perjalanan) untuk jihad di jalan
Allāh (takut ada serangan musuh). Tuhan menjelaskan kebolehan memendekkan
(qAṣar) ṣalat, dan mengerjakannya secara bergantian. (ash-Shiddieqy, 2000, hal.
943)

Dalam penjelasan global, Allāh menginformasikan bahwa ṣalat memang


adalah kewajiban yang ditentukan waktunya. Allāh ingin mengajarkan kepada kita
agar ṣalat yang kita jalankan itu menjadi pengingat waktu dalam aktifitas kita
sehari-hari. Seorag mukmin adalah seseorang yang sangat sadar tentang
pentingnya waktu. Bahwa waktu harus terus bergerak dan tidak pernah bisa
kembali. (Mustofa, hal. 139)
Allāh mengajarkan kepada kita agar ṣalat mengikuti pergerakan matahari,
karena pergerakan matahari adalah salah satu penanda waktu yang diciptakan oleh
Allāh di alam semesta dan hal ini dilakukan ketika pada zaman Rasulullah karena
ketika itu tidak ada penanda waktu seperti sekarang yaitu menggunakan jam.
Melalui ṣalat, Allāh memberitahukan bahwa ia adalah sebagai pengingat
waktu ketika melakukan berbagai aktifitas. Karena seorang muslim yang baik, ia
akan sangat menghargai waktu, sebab waktu itu hanya datang sekali dan tidak
akan bisa terulang lagi. Maka, ia akan menggunakan waktu itu sebaik mungkin
dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi dirnya sendirinya, orang lain,
bahkan akan selalu digunakan untuk beribadah semata-mata karena Allāh swt..
2. ṣalat bukanlah hal untuk dipamerkan.

  


   
   
   
    
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allāh, dan Allāh akan
membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk ṣalat
mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan ṣalat) di
hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allāh kecuali sedikit
sekali.” (QS. An-Nisā’ [4]: 142)
Arti mufrodat perkata.

No. Arti Ayat


1. Sesungguhnya 
2. Orang-orang munafik 
3. Mereka menipu Allāh (dengan 
menampakkan keimanan)
4. Dan padahal Dia 
5. Yang menipu mereka (dengan tidak 
menyiksa di dunia)
6. Dan apabila 
7. Mereka berdiri 
8. Untuk 
9. ṣalat 
10. Mereka berdiri 
11. (dengan) malas (berat) 
12. Mereka riya’ (ingin dipuji) 
13. Manusia (orang lain) 
14. Dan tidak 
15. Mereka mengingat 
16. Allāh 
17. Kecuali 
18. Sedikit sekali 
Sumber: Tafsir Qur’an Perkata oleh Ahmad Hatta (2009, 101)
Dalam Tafsir Al-Aisar karangan Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi (2007;
531-532), disebutkan bahwa makna umum dari QS. An-Nisā’ ayat 142 dan 143
adalah bahwa Allāh Ta’ala memberitahukan bahwa orang-orang munafik dalam
perilaku khusus mereka selalu menipu Allāh Ta’ala dengan menampakkan
keimanan kepada-Nya dan Rasul-Nya sedang mereka itu tidaklah beriman. Allāh
juga memberitakan tentang mereka, yaitu apabila mereka berdiri untuk melakukan
ṣalat mereka melakukannya dengan malas dan lambat, karena mereka tidak
percaya pada pahala ukhrawi, karena itulah mereka memperlihatkan berbagai
amal shaleh dengan riya’ kepada orang-orang mukmin agar mereka tidak
menuduhnya sebagai orang-orang kafir.

Sedangkan menurut Ash-Shiddieqy dalam Tafsir An-Nuur (2000), surat


An-Nisā’ ayat 142 ini mempunyai makna bahwa karena kejahatan dan ketidak
tahuannya (kekurangan ilmu) para munafik melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh para penipu, yaitu di depan para mukmin mengaku dirinya
mukmin, sedangkan dalam hatinya kufur. Dikatakan mereka menipu Allāh, karena
mereka menipu Rasul, yang dinilai sama dengan menipu Allāh. Dan apabila
mereka berdiri melakukan sembahyang, maka mereka lakukan dengan rasa berat
dan malas, bukan dengan semangat yang disertai keikhlasan dan kemauan yang
teguh disertai hati yang tulus.

Senada dengan Tafsir Al-Aisar dan An-Nuur, dalam Tafsir Al-Mishbah


karangan M. Quraish Shihab (2002; 627-628) pun menerangkan bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu antara lain dengan memihak kepada siapa
pun yang memperoleh kemenangan, pada hakikatnya berusaha menipu Allāh,
yakni berlaku seperti kelakuan orang yang menipu dan Dia (Allāh) pun membalas
tipuan mereka, dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan
mereka, serta menduga memperoleh apa yang mereka harapkan, padahal itu tidak
pernah dapat mereka raih. Dan ketika melaksanakan ṣalat mereka berdiri dengan
malas, yakni tidak semangat, tidak senang dan tidak peduli. Ini karena mereka
tidak merasakan nikmatnya ṣalat, tidak pula merasa dekat dan butuh kepada
Allāh. Kalaupun mereka ṣalat, mereka melakukannya dengan bermaksud riya’
dihadapan manusia, yakni pamrih ingin dilihat dan dipuji.

Hampir sama dengan tafsiran yang telah dipaparkan di atas, dalam buku
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an karangan Sayyid Quthb (2000) pun menyebutkan bahwa,
kita semua diperintahkan ṣalat, namun bukan sekedar melaksanakan ṣalat, tapi
mendirikan ṣalat menurut Ibnu Abbas iqamu ṣalat itu menyempurnakan ruku’,
sujud, tilawah, kekhusyuan, dan tetap dalam keadaan seperti itu. Adapun menurut
Dhahak iqamu ṣalat itu menjaga waktu-waktu ṣalat, wudhu, ruku’dan sujudnya
dan menurut Asy-Syaukany iqamu ṣalat itu bermakna al-mudawamah
(berkesinambungan) dalam melaksanakan ṣalat. Ayat ini adalah sentuhan lain dari
sentuhan-sentuhan manhaj qur’ani terhadap hati orang yang beriman. Karena hati
yang beriman ini pasti benci kepada kaum yang menipu Allah dan mengerti Allah
yang Maha Suci dan Maha Tinggi itu tidak mungkin dapat ditipu. Dan mereka
orang-orang yang munafik akan dibiarkan dalam kesesatan. Mereka pun tidak
berdiri untuk menunaikan shalat karena rindu bertemu Allah, ingin berdiri
dihadapan-Nya berhubungan dengan-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya.
Tetapi, mereka shalat karena ingin dilihat dan dipuji orang lain, karena itulah
mereka mengerjakannya dengan rasa malas.

Dari tafsiran para mufassir di atas, kita dapat menyimpulkan makna


globalnya, yakni bahwa mereka orang yang munafik tidak akan pernah bisa
menipu Allah SWT., karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Orang-orang
yang mendirikan shalat karena hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain
adalah mereka orang-orang munafik yang hanya mengakui beriman kepada Allah
swt. melalui lisannya saja, sedangkan hati mereka tidak mengakui keimanannya
kepada Allah swt.. Mereka pun tidak menghayati shalatnya dan tidak
melakukannya karena Allah, melainkan mereka ingin dipuji oleh manusia, dan
mereka benar-benar berada dalam kerugian yang sangat besar.

3. Shalat sebagai pencegah dari kemunkaran.

   


  
   
     
 
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah ṣalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allāh).” (QS.
Luqmān[31]: 17)
Arti mufrodat perkata.

No. Arti Ayat

1. Wahai anakku 


2. Dirikanlah 
3. ṣalat 
4. Dan perintahkanlah (manusia) 
5. Dengan kebaikan (taat kepada 
Allāh)
6. Dan cegahlah (mereka) 
7. Dari 
8. Kemunkaran/kemaksiatan 
9. Dan bersabarlah 
10. Atas 
11. Apa yang 
12. Menimpamu (ketika memerintah 
dan mencegah)
13. Sesungguhnya 
14. Itu 
15. Termasuk  
16. Perkara yang ditekankan dan 
penting
Sumber: Tafsir Qur’an Perkata oleh Ahmad Hatta (2009, 412)

Quran surat Luqmān ayat 17 ini mengandung perintah terhadap


anaknya untuk mendirikan ṣalat, memerintahkan kepada yang baik, dan
bersabar dalam menghadapi gangguan. Allāh mengabarkan tentang dia dalam
firman-Nya, "Hai anakku, dirikanlah ṣalat..." , yaitu kerjakanlah ṣalat wajib dan
sunnah sesuai dengan syarat, rukun-rukun, dan sunnah-sunnahnya. "Dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik...", yakni melakukan ketaatan kepada
Allāh Ta'ala yaitu apa yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya. Sesuatu yang
diharamkan Allāh terhadap hamba-hamba-Nya berupa keyakinan, perkataan atau
perbuatan. "Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa katnu..." yaitu dari
gangguan orang-orang yang telah kamu perintahkan berbuat baik dan yang kamu
larang berbuat munkar. Kemudian firman Allāh, "Sesungguhnya yang demikian
itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allāh)". Maksudnya, sesungguhnya
mendirikan ṣalat, memerintahkan kebaikan, mencegah kemunkaran, dan bersabar
dari segala gangguan adalah sesuatu yang diwajibkan Allāh yang harus dilakukan
dengan kesungguhan hati. (Aisar, 2007, hal. 717)

Selanjutnya Allāh Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu memalingkan


mukamu dari manusia (karena sombong)... ", ini adalah nasehat Luqmān kepada
anaknya, dia melarang anaknya untuk melakukan beberapa sifat tercela di
antaranya adalah sombong kepada manusia. Dia mengajak orang lain berbicara
tetapi dia memalingkan muka, mendongakkan wajahnya ketika berjalan dan
sombong, angkuh dan merasa besar, bangga terhadap nikmat tetapi tidak
mensyukuri-Nya. Dan firman-Nya, "Sesungguhnya Allāh tidak menyukai orang-
orang yang sombong Lagi membanggakan diri", ini juga merupakan nasehat
Luqman kepada anaknya ketika melarangnya dari berlaku sombong, angkuh dan
berbangga diri. Dia memberitahukannya bahwa Allāh Ta'ala tidak menyukai
orang seperti ini, hingga anak yang dinasehatinya itu menjauhi sifat-sifat yang
tidak baik tersebut.

Firman-Nya, “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan...”, yakni


berjalanlah dengan tenang, tidak tergesa-gesa. Karena kata al iqtishad (sederhana)
adalah lawannya berlebihan. Firman-Nya "Dan lunakkanlah suaramu...", Luqmān
juga menasehati anaknya untuk melunakkan suaranya dan tidak mengeraskannya
kecuali terpaksa. Seperti orang yang sederhana dia tidak mengeluarkan uangnya
kecuali ada kebutuhan. Dan firman-Nya, “Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai.", dia menyebutkan gambaran seperti ini agar anaknya
menghindarkan diri dari suara yang keras kecuali terpaksa. Karena sejelek-jelek
suara adalah suara keledai, sebab jika keledai meringkik ia bersuara sangat keras.
Ini adalah akhir dari kisah Luqmān yang shalih, yang Allāh ceritakan melalui
firman-Nya. (Aisar, 2007, hal. 719)

Dalam Tafsir An-Nuur karangan Ash-Shieddiqy (2000; 3209-3210), ia


menafsirkan Quran surat Luqmān ayat 17 ini sebagai berikut.

“Wahai anakku, sesungguhnya kesalahan itu, walaupun seberat biji sawi (sangat
ringan), terletak di dalam sebuah batu atau terletak di langit atau terletak di
dalam bumi, pastilah Allāh mendatangkannya.”

Segala macam perbuatan, baik ataupun buruk, walaupun hanya seberat biji
sawi, terletak di suatu tempat yang sangat tersembunyi, misalnya di tengah-tengah
batu, di tempat yang paling tinggi, di langit atau di tempat yang paling bawah
seperti di dalam perut bumi, atau bertempat di sudut dunia mana pun, pasti
menghadirkannya pada hari kiamat, yaitu ketika Allāh menegakkan amal yang
dilakukan dengan adil. Pada hari itu, Allāh memberikan balasan sesuai dengan
nilai perbuatan.

“Sesungguhnya Allāh itu Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.”

Allāh itu Maha Lembut, ilmunya tembus kepada semua hal yang
tersembunyi. Mengetahui semua permasalahan yang nyata (terlihat) dan yang
tersembunyi.

“Wahai anakku, dirikanlah sembahyang.”

Tunaikanlah sembahyang dengan cara yang bisa mendapatkan ridha Allāh,


sembahyang yang diridhai oleh Allāh akan mampu mencegah kita melakukan
perbuatan keji dan munkar.

“Suruhlah melakukan yang makruf.”

Suruhlah orang-orang untuk mengerjakan perbuatan yang makruf sesuai


dengan kesanggupan dan kemampuan masing-masing.

“Dan cegahlah dari (berbuat) yang munkar.”

Cegahlah manusia dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang haram


lainnya,yang bisa membinasakan orang-orang yang mengerjakannya dan
menyebabkan mereka dilemparkan ke dalam azab neraka.

“Serta bersabarlah terhadap bencana yang nenimpa kamu.”

Jika kamu ditimpa oleh suatu musibah dalam usaha menyuruh yang
makruf dan mencegah yang munkar, maka hendaklah bersabar atau tidak mudah
berputus sebaliknya, tetap selalu bersikap optimistis.

“Sesungguhnya yang demikian itu benar seteguh-teguh pekerjaan.”


Sesungguhnya apa yang Aku perintahkan kepadamu untuk kamu
kerjakan,tegas Allāh selanjutnya, adalah permasalahan yang diwajibkan oleh
Allāh kepada hambaNya karena faedahnya yang amat besar dan manfaatnya tidak
saja diperoleh didunia, tapi juga akan dipetik di akhirat.

Ada juga yang mengartikan firman Allāh ini sebagai berikut: Bersabarlah
atas bencana yang menimpamu. Sebab, bersabar itu adalah sebaik-baik perangai
dan tanda keteguhan hati yang harus dimiliki oleh semua orang yang mencari
jalan kelepasan sesudah Luqman menyuruh anaknya untuk mengerjakan beberapa
hal, maka dia melarang anaknya melakukan beberapa hal pula. (An-Nuur, 2000,
hal. 3210)

Dari uraian beberapa tafsiran di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai


makna globalnya bahwasanya Al-Quran surat Luqman ayat 17 ini memerintahkan
kepada anaknya supaya hendaklah mendirikan shalat sesuai dengan ketentuan-
ketentuan syara’. Seperti yang sudah kita ketahui bahwasanya anak yang sudah
berusia 7 tahun harus sudah dibiasakan untuk mendirikan shalat, karena di mana
nanti ia sudah beranjak remaja, ia telah mengetahui apa yang hasrus ia lakukan.

Kemudian, kita diajarkan juga untuk melakukan pekerjaan apapun yang


baik-baik, karena Allah sangat mencintai kebaikan. Kita dilarang untuk
melakukan hal-hal yang tidak baik, apalagi sampai berbuat maksiat kepada-Nya.

4. Shalat adalah yang paling utama dari jual beli.

  


    
  
    
    
 
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan ṣalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allāh dan
tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’aħ[62]: 9)
Arti mufrodat perkata.
No. Arti Ayat
1. Wahai 
2. Orang-orang yang 
3. Mereka beriman 
4. Apabila 
5. Telah diserukan/dikumandangkan adzan 
6. Untuk (melaksanakan ṣalat) 
7. Pada 
8. Hari 
9. Jum’at 
10. Maka bersegeralah kalian 
11. Kepada 
12. Zikir (mengingat) 
13. Allāh 
14. Dan kalian tinggalkanlah 
15. Transaksi/jual-beli 
16. (sikap) yang demikian itu 
17. (adalah) lebih baik 
18. Bagi kalian 
19. Jika 
20. Kalian telah 
21. Kalian mengetahui 
Sumber: Tafsir Qur’an Perkata oleh Ahmad Hatta (2009, 554)

Setelah Allāh mencela orang-orang Yahudi karena mereka lari dari


kematian untuk mencintai dunia dan menyukai kenikmatannya, di sini Allāh
menyebutkan bahwa orang-orang mukmin tidak dilarang untuk memetik buah
dunia dan kebaikannya, sambil mengusahakan apa yang bermanfaat baginya
diakhirat, seperti salat pada hari Jum'at di masjid dengan cara berjamaah.Orang
mukmin harus bekerja keras untuk dunia dan akhirat. Dunia hanyalah kebun bagi
akhirat, sebagaimana terdapat dalam atsar: “Bekerjalah untuk duniamu, seakan
engkau hidup untuk selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan
engkau akan mati besok pagi.” Kemudian Allāh mencela kaum muslimin di masa
Rasulullah saw. karena lalai mendengar nasehat-nasehat beliau ketika beliau
berkhutbah di atas mimbar, sebab mereka sibuk dengan urusan-urusan dunia
seperti jual beli, memukul rebana, menyanyi dengan seruling, dan lain
sebagainya. Dan Allāh menjelaskan kepada mereka bahwa pahala dan nikmat
yang ada di sisi Allāh itu lebih baik bagi mereka dari pada kebaikan-kebaikan
dunia dan kesenangan nikmatannya yang sementara. (Al-Maraghi, 1993, hal. 164)
Masih dalam buku tafsiran yang sama seperti pada paragraf di atas, apabila
mu'azin azan di hadapan Imam, sedangkan imam duduk di atas mimbar pada hari
Jum'at untuk ṣalat, maka tinggalkanlah jual beli dan berjalanlah untuk
mendengarkan nasehat imam di dalam khutbahnya. Dan hendaklah kamu berjalan
dengan tenang, perlahan dan tenteram, sehingga kamu sampai ke masjid.
Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa
Nabi saw. mengatakan, “Apabila ṣalat diqamati, maka janganlah kamu
mendatangi dengan tergesa-gesa, tetapi datangilah ṣalat itu sedang kamu
berjalan dengan tenang dan tenteram. ṣalatlah apa yang kamu dapati dari ṣalat
itu. Dan sempurnakanlah apa yang kamu ketinggalan dari ṣalat itu.”. Dari Abu
Qatadah, ia berkata, “ketika kami ṣalat bersama Nabi saw., tiba-tiba terdengar
kegaduhan beberapa orang lelaki, ketika beliau selesai ṣalat, beliau menanyakan,
"Ada apa kamu ?", mereka menjawab, "kami bergegas-gegas untuk ṣalat." Beliau
mengatakan, "Jangan kamu lakukan itu. Apabila kamu mendatangi ṣalat, maka
berjalanlah kamu dengan tenang. Kerjakanlah ṣalat yang kamu dapati dan
sempurnakanlah ṣalat yang kamu ketinggalan."” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
(Al-Maraghi, 1993, hal. 165).

Berjalanlah untuk ṣalat itu, yakni meninggalkan jual beli lebih baik
bagimu dari pada sibuk dengan jual beli dan mencari manfaat duniawi, sebab
kemanfaatan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal, karena ia memiliki
kemanfaatan abadi. Sedang kemanfaatan dunia adalah lenyap (fana). Dan apa
yang di sisi Allāh itu lebih baik bagimu jika kamu termasuk orang-orang yang
mempunyai pengetahuan yang benar tentang apa yang berbahaya dan apa yang
bermanfaat. (Al-Maraghi, 1993, hal. 165)

Dalam Tafirs Al-Mishbah karangan M. Qiraish Shihab (2001; 58),


mengatakan bahwa surat Al-Jumu’aħ ayat 9 ini mengajak orang-orang agar
beriman untuk bersegera memenuhi panggilan Illahi. Di sisi lain, bahkan orang-
orang Yahudi mengabaikan hari Sabtu yang ditetapkan Allāh untuk tidak
melakukan aktivitas mengail. Sikap mereka itu dikecam. Karena itu, kaum
muslimin harus mengindahkan perintah Allāh, tinggalkan aneka aktivitas untuk
beberapa saat pada hari Jum'at karena, tidak, mereka akan mengalami kecaman
dan nasib seperti orang-orang yahudi itu.

Menurut Thahir Ibn 'Asyur, kelompok ayat sebelumnya di nilainya sebagai


pengantar untuk tujuan tersebut. Ayat di atas menyatakan: Hai orang-orang yang
beriman, apabila diseru, yakni dikumandangkan adzan oleh siapa pun, untuk ṣalat
pada Ẓuhur hari Jum'at, maka bersegeralah kuatkan tekad dan langkah, jangan
bermalas-malasan apalagi mengabaikannya, untuk menuju dzikrullah menghadiri
ṣalat khutbah Jum'at, dan tinggalkanlah jual beli, yakni segala macam interaksi
dalam bentuk dan kepentingan apa pun bahkan semua yang dapat mengurangi
perhatian terhadap upacara Jum'at. Demikian itulah, yakni menghadiri acara
jum'at, yang baik buat kamu jika kamu mengetahui kebaikannya pastilah kamu
mengindahkan perintah ini. (Al-Misbah, 2001, hal. 58)

Selanjutnya disebutkan bahwa untuk menghilangkan kesan bahwa perintah


ini adalah sehari penuh, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang
Yahudi pada hari Sabtu, ayat diatas melanjutkan dengan menegaskan: Lalu,
apabila telah ditunaikan ṣalat, maka jika kamu mau, bertebaranlah di muka bumi
untuk tujuan apa pun yang dibenarkan Allāh dan carilah dengan bersungguh-
sungguh sebagian dari karunia Allāh karena karunia Allāh sangat banyak dan
tidak mungkin kamu dapat mengambil seluruhnya, dan ingatlah Allāh banyak-
banyak jangan sampai kesungguhan kamu mencari karunia-Nya itu melengahkan
kamu. Berzikirlah dari saat ke saat dan di setiap tempat dengan hati atau bersama
lidah kamu supaya kamu beruntung memperoleh apa yang kamu dambakan.

Seruan untuk ṣalat yang dimaksud di atas dan yang mengharuskan


dihentikannya segala kegiatan adalah adzan yang dikumandangkan saat khatib
naik ke mimbar. Ini karena, pada masa Nabi saw., hanya dikenal sekali adzan.
Nanti pada masa Sayyidina Utsman, ketika semakin tersebar kaum muslimin di
penjuru kota, beliau memerintahkan melakukan dua kali adzan. Adzan pertama
berfungsi mengingatkan khususnya yang berada di tempat yang jauh bahwa
sebentar lagi upacara ṣalat Jum'at akan dimulai dan agar mereka bersiap-siap
menghentikan aktivitas mereka. Memang, ketika Sayyidina Ali memerintah dan
berada di Kufah, beliau tidak melakukan adzan dua kali, tetapi hanya sekali sesuai
tradisi Nabi saw., Sayyidina Abu Bakar, dan Umar ra. Tetapi, pada masa
pemerintahan Hisyam Ibn Abdul Malik, adzan dilakukan dua kali kembali
sebagaimana pada masa Utsman ra. (Al-Misbah, 2001)

Kata dzikr Allāh yang dimaksud adalah ṣalat dan khutbah karena itulah
agaknya sehingga ayat di atas menggunakan kata dzikr Allāh. Kata fas'au terambil
dari kata sa'd yang pada mulanya berarti berjalan cepat tapi bukan berlari. Tentu
saja, bukan itu yang dimaksud di sini, apalagi ada perintah Nabi saw. agar menuju
ke masjid, berjalan dengan penuh wibawa. Beliau bersabda: "Apabila ṣalat telah
segera akan dilaksanakan (Qamat), janganlah menuju ke sana dengan berjalan
cepat (sa'i) tetapi hadirilah dengan sakinah (ketenangan dan penuh wibawa).
Bagian ṣalat yang kamu dapati, lakukanlah dan yang tertinggal
sempurnakanlah." (HR. Bukhari, Muslim, dan Iain-lain melalui Abu Hurairah.)
Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti berjalan kaki dan itu menurut
mereka adalah anjuran bukan syarat. ṣalat Jum'at dinilai sebagai pengganti ṣalat
Ẓuhur. Karena itu, tidak lagi wajib atau dianjurkan kepada yang telah ṣalat Jum'at
untuk melakukan ṣalat Ẓuhur. (Al-Misbah, 2001, hal. 59)

Dapat disimpulkan bahwa makna global dari Al-Quran surat Al-Jumu’ah


ayat 9 ini menyeru kita untuk bersegera dalam melaksanakan shalat Jum’at,
bersegera di sini bukan berarti dengan terburu-buru menuju masjid dengan
penampilan yang seadanya. Akan tetapi, kita dianjurkan untuk menggunakan
pakaian yang paling baik dan rapih serta memakai wangi-wangian. Dan setelah
melaksanakan shalat Jum’at, kita dianjurkan untuk bertebaran di muka bumi ini.
Maksud dari bertebaran disini adalah untuk mencari rezeki.
BAB III

IMPLIKASI PENDIDIKAN KONSEP SHALAT DALAM AL-QURAN

Menurut Musthafa Masyhur dalam bukunya Berjumpa Allah Lewat Shalat


(2002), menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam Al-Qur’an adalah beribadah
kepada Allah dalam pengertian yang luas, meliputi masalah-maslah ritual dan
sosial, dengan maksud untuk melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu
memakmurkan bumi persada di atas hukum-hukum Allah. Rumusan ini
berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran Surat Adz-Dzdzaariyat ayat 56 dan Al-
Baqarah ayat 30.

Masih dalam buku yang sama seperti dalam paragraf sebelumnya, shalat
yang khusyu mewujudkan ‘ubudiah yang benar-benar karena Allah, ikhlas,
pasrah, rendah diri terhadap Dzat yang Maha Suci. Shalat pada hakikatnya
merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbaharui semangat dan
sekaligus sebagai penyucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri shalat merupakan tali
penguat yang dapat mengendalikan diri, ia adalah pelipur lara dan pengaman dari
rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan dan senjata bagi yang merasa
terasing. Dengan shalat kita dapat memohon pertolongan atas ujian zaman,
tekanan-tekanan orang lain dan kekejaman para durjana.

Adapun berkaitan disiplin terhadap imam, yaitu tidak mendahuluinya,


menunjukkan adanya ketaatan mutlak dan komitmen atau loyal, serta meniadakan
penolakan-penolakan tehadap perintah-perintahnya. Kemudian berkaitan dengan
imam yang lalai , diharuskan bagi makmum untuk mengingatkannya, ini
menunjukan keharusan rakyat atau makmum menegur atau mengingatkan
pemimpinnya jika lalai atau melakukan kesalahan. (Masyhur, 2002, hal. 26)

Demikian juga pada shalat berjama’ah, agar diperhatikan dalam pengisian


shaf, yaitu agar tidak di dasarkan atas status sosial jama’ah, juga tidak
memandang kekayaan atau pangkat walaupun dalam shaf terdepan sekalipun.
Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak (al-musaawah) tanpa
mempedulikan tingginya kedudukan maupun tuanya umur. Shalat pun
memberikan kesan kesehatan yang terwujud dalam gerkan-gerakan pada setiap
raka’atnya, yaitu pada shalat fardhu lima kali sehari secara seimbang. Hal ini
menunjukkan suatu olahraga fisik pada waktu yang teratur, dengan cara yang
sederhana dan mudah gerakan-gerakannya. (Masyhur, 2002, hal. 27)

Tambahan mengenai gerakan2


shalat................................................................................

Adapun implikasi pendidikan shalat yang disebutkan dalam buku


Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Bermoral Melalui Shalat yang
Benar karangan Jefry Noer (2006) diantaranya adalah:

1. Pendidikan penegakkan disiplin


2. Keberanian mengingatkan dan amar ma’ruf nahi munkar
3. Optimisme serta istiqomah dalam prinsip
4. Ketaatan pada pemimpin atau guru
5. Orientasi kerja
6. Bekerja dan belajar secara sistematik, simbiotik dan sinergik
7. Kerendahan hati dan kesopanan
8. Komitmen pada religiositas
9. Motivasi terciptanya kerja kelompok
10. Kerjasama dan harmonitas
11. Sopan santun dalam berpendapat
BAB IV

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai ṣalat ini, dapat diketahui bahwa ṣalat itu
berhubungan dengan ibadah. Adapun makna dari ibadah adalah melaksankan atau
melakukan apa-apa yang diperintah Allāh swt. yang tiada lain agar kita
mendapatkan keridhaan-Nya, bukan untuk mendapatkan pujian dari manusia.

Kemudian, ṣalat itu jika diartikan menurut bahasa adalah do’a. Sedangkan
jika diartikan menurut istilah, ṣalat adalah suatu perbuatan yang di awali dengan
takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam. ṣalat merupakan suatu kewajiban
yang harus kita jalankan sesuai dengan perintah-Nya, yaitu ṣalat fardhu yang
berjumlah 5 waktu, Ṣubuh, Ẓuhur, Aṣar, Maghrib, dan Isya.

Adapun implikasi pendidikan yang dapat kita ambil dari ṣalat yang
terdapat dalamAl-Quran surat An-Nisā’ ayat 103 dan 142, Luqmān ayat 17, dan
Al-Jumu’aħ ayat 9 adalah: ........................................

1.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazairi, S. A. (2007). Tafsir Al-Qur'an Al-Aisar (Vol. 2). (M. A. Hatim, & A.
Mukti, Trans.) Jakarta.

Al-Maraghi, T. t. (1993). Ahmad Mustofa Al-Maraghi. Semarang: PT. Karya


Putra Semarang.

An-Najdiy, A. Z. (1990). Al-Quran dan Rahasia Angka-angka. (A. Effendi,


Trans.) Bandung: Pustaka Hidayah.

Ardiansyah, A. S. (2010, Juli 25). Definisi ṣalat. Retrieved November 25, 2011,
from http://abusahlaandriansyah.wordpress.com

ash-Shiddieqy, T. M. (2000). Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nuur (Vol. 1).


Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra Semarang.

Haryanto, S. (2003). Psikologi ṣalat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Mustofa, A. Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari. Surabaya: PADMA Press.

Quthb, S. (2002). Tafsir Fi Zhilalil Qur'an. Jakarta: Gema Insani.

Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah (Vol. 2). Jakarta: Penerbit Lentera Hati.

Anda mungkin juga menyukai