MAKALAH
Dosen Pembimbing :
Drs. H. Aam Abdussalam, M. Pd.
Saepul Anwar, S. Pd. I., M. Ag.
Oleh :
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan
salam semoga tercurah limpahkan kepada junjunan kita semua, Rasulullah SAW.,
keluarga, para sahabat, tabiut tabiin dan seluruh ummatnya sampai akhir zaman
yang patuh dan taat kepada ajarannya.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Tafsīr Al-Qurān 3 (Nazār Tarbawī) yang membahas tentang “ṣalat sebagai
tonggak kepribadian muslim yang sesuai dalam Al-Quran”.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I, Pendahuluan. Dalam bab ini membahas tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, dan
sistematika penulisan makalah.
BAB II, Konsep ṣalat dalam Al-Quran. Dalam bab ini membahas tentang
makna ibadah, definisi ṣalat, kata ṣalat dalam Al-Quran,
dan konsep ṣalat dalam Al-Quran.
BAB III, Implikasi Pendidikan Konsep ṣalat dalam Al-Quran. Dalam bab ini
membahas tentang apa saja yang menjadi implikasi
pendidikan dari konsep ṣalat ṣalat itu sendiri.
BAB IV, Penutup. Dalam bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran.
BAB II
Dalam pengertian lain, ṣalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan
amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun
yang telah ditentukan syara’.
Dalam Al-Quran, kata shalawat disebut lima kali, sama dengan jumlah
ṣalat wajib sehari semalam: Ṣubuh, Zuhur, Aṣar, Maghrib dan Isya, yang terdapat
dalam ayat-ayat berikut (An-Najdiy, 1990, hal. 88):
1. Al-Baqarah ayat 157 dan 238
Kemudian dengan menggunakan kata kerja perintah (fi’l amr) “aqim” atau
“aqimu” (dirikanlah) yang diikuti dengan kata “ṣalat” disebut sebanyak 17 kali,
sama dengan jumlah rakaat ṣalat fardhu (17 rakaat). Yang mendukung hal
demikian, adalah juga disebutkannya kata “fardh” dengan berbagai turunan
katanya yang disebut sebanyak 17 kali rakaat ṣalat wajib dalam sehari semalam,
yang juga sama dengan jumlah rakaat ṣalat fardhu. Ayat-ayat yang memuat kata
ṣalat yang dugabungkan dengan kata kerja perintah “aqim” atau “aqimu” tersebut
adalah sebagai berikut (An-Najdiy, 1990, hal. 93-94):
3. ṣalat
4. Maka ingatlah dan sebutlah
Allāh/berdzikirlah kalian
5. (dalam keadaan berdiri)
6. Dan (keadaan duduk)
7. Dan (dalam keadaan)
8. Berbaring
9. Lalu apabila
10. Kalian telah tenang (merasa aman)
11. Maka kalian laksanakanlah
12. ṣalat (sesuai tata cara aslinya)
13. Sesungguhnya
14. ṣalat
15. Ia adalah
16. Atas
17. Orang-orang yang beriman
18. (suatu) kewajiban/fardhu
19. (yang) ditentukan waktunya
Sumber: Tafsir Qur’an Perkata oleh Ahmad Hatta (2009, 95)
Mengenai asbabun nuzul Quran surat An-Nisā’ ayat 103 ini, dalam buku
Tafsir Qur’an perkata (2009; 95) yang dikarang oleh Ahmad Hatta, ia
menghubungkan dengan ayat 102, yaitu Abu Hurairah ra. menjelaskan bahwa
suatu saat, kaum mukmin mendirikan ṣalat Ẓuhur bersama Rasulullah saw. di
Asfan. Saat bersamaan, kaum musyrik,di bawah pimpinan Khalid bin Walid,
menyerbu secara tiba-tiba dari arah Kiblat. Kaum musyrik berkata, “Mereka
dalam keadaan lengah. Sebentar lagi akan datang waktu Aṣar yang lebih mereka
cintai daripada nenek moyang mereka sendiri.” Lalu Jibril datang antara waktu
setelah ṣalat Ẓuhur dan sebelum ṣalat Aṣar untuk menyampaikan ayat ini.
“Apabila kamu telah menyelesaikan ṣalat, maka hendaklah kamu menyebut nama
Allāh, sambil berdiri, duduk, dan sambil berbaring.”
Jika kamu telah menunaikan ṣalat khauf, hendaklah menyebut nama Allāh
dalam hatimu dengan mengenang nikmat-Nya atau dengan lisanmu, seperti
memuji dan membesarkan Allāh dalam semua keadaan; sambil berdiri, duduk,
atau berbaring.
“Apabila kamu telah berada dalam kondisi tenang dan aman, maka dirikanlah
ṣalat.”
Jika suasana telah tenang kembali, musuh telah menjauh, atau perang telah
selesai, hendaklah kamu menjalankan ṣalat dengan sempurna, seperti menjalankan
ṣalat biasa, sempurna rukun, syarat, dan sempurna tata caranya.
“Sesungguhnya ṣalat itu wajib bagi para mukmin, yang ditetapkan waktu-
waktunya.”
Sembahyang itu menurut hukum Allāh adalah wajib (fardhu), yang sangat
dikuatkan dalam waktu-waktu yang sudah ditentukan. Maksudnya, karena wajib,
maka ṣalat haruslah dilaksanakan pada masing-masing waktu yang telah
ditentukan. Menunaikan dengan qaṣar pada kondisi-kondisi tertentu lebih baik
daripada mengakhirkannya. Firman Tuhan ini menjelaskan alasan, mengapa ṣalat
tetap harus dijalankan, meskipun dalam kondisi berbahaya dan menakutkan, yaitu
masih menghadapi musuh dalam medan pertempuran. Tuhan tidak menegaskan
waktu-waktu yang kongkret bagi sembahyang, mengingat perbedaan letak pulau
dan benua yang satu dengan yang lain, yang mengakibatkan perbedaan penentuan
waktu pelaksanaannya. Ada bagian dari dunia yang waktu siangnya berlangsung
lebih lama dari waktu malam atau sebaliknya.
Masih penjelasan dari M. Quraish Shihab dalam buku yang sama, beliau
menjelaskan bahwa kata ( )موقوتاmauquutan terambil dari kata ( )وقتwaqt/waktu.
Dari segi bahasa kata ini digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau
peluang untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Setiap ṣalat mempunyai waktu
dalam arti ada masa di mana seseorang harus menyelesaikannya. Apabila masa itu
berlalu, maka pada dasarnya berlalu juga waktu shlaat itu. Ada juga yang
memahami kata ini dalam arti kewajiban yang bersinambung dan tidak berubah,
sehingga firman-Nya melukiskan ṣalat sebagai ( )كتابا موقوتاkitaaban mauquutan
berarti ṣalat adalah kewajiban yang tidak berubah, selalu harus dilaksanakan, dan
tidak pernah gugur apa pun sebabnya. Pendapat ini dikukuhkan oleh penganutnya
dengan berkata bahwa tidak alasan dalam konteks pembicaraan di sini untuk
meyebut bahwa shlaat mempunyai waktu-waktu tertentu. Penutup ayat ini –
menurut penganut pendapat ini- adalah sebagai alasan mengapa perintah ṣalat
setelah mengalami keadaan gawat perlu dilakukan.
Hampir sama dengan tafsiran yang telah dipaparkan di atas, dalam buku
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an karangan Sayyid Quthb (2000) pun menyebutkan bahwa,
kita semua diperintahkan ṣalat, namun bukan sekedar melaksanakan ṣalat, tapi
mendirikan ṣalat menurut Ibnu Abbas iqamu ṣalat itu menyempurnakan ruku’,
sujud, tilawah, kekhusyuan, dan tetap dalam keadaan seperti itu. Adapun menurut
Dhahak iqamu ṣalat itu menjaga waktu-waktu ṣalat, wudhu, ruku’dan sujudnya
dan menurut Asy-Syaukany iqamu ṣalat itu bermakna al-mudawamah
(berkesinambungan) dalam melaksanakan ṣalat. Ayat ini adalah sentuhan lain dari
sentuhan-sentuhan manhaj qur’ani terhadap hati orang yang beriman. Karena hati
yang beriman ini pasti benci kepada kaum yang menipu Allah dan mengerti Allah
yang Maha Suci dan Maha Tinggi itu tidak mungkin dapat ditipu. Dan mereka
orang-orang yang munafik akan dibiarkan dalam kesesatan. Mereka pun tidak
berdiri untuk menunaikan shalat karena rindu bertemu Allah, ingin berdiri
dihadapan-Nya berhubungan dengan-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya.
Tetapi, mereka shalat karena ingin dilihat dan dipuji orang lain, karena itulah
mereka mengerjakannya dengan rasa malas.
“Wahai anakku, sesungguhnya kesalahan itu, walaupun seberat biji sawi (sangat
ringan), terletak di dalam sebuah batu atau terletak di langit atau terletak di
dalam bumi, pastilah Allāh mendatangkannya.”
Segala macam perbuatan, baik ataupun buruk, walaupun hanya seberat biji
sawi, terletak di suatu tempat yang sangat tersembunyi, misalnya di tengah-tengah
batu, di tempat yang paling tinggi, di langit atau di tempat yang paling bawah
seperti di dalam perut bumi, atau bertempat di sudut dunia mana pun, pasti
menghadirkannya pada hari kiamat, yaitu ketika Allāh menegakkan amal yang
dilakukan dengan adil. Pada hari itu, Allāh memberikan balasan sesuai dengan
nilai perbuatan.
Allāh itu Maha Lembut, ilmunya tembus kepada semua hal yang
tersembunyi. Mengetahui semua permasalahan yang nyata (terlihat) dan yang
tersembunyi.
Jika kamu ditimpa oleh suatu musibah dalam usaha menyuruh yang
makruf dan mencegah yang munkar, maka hendaklah bersabar atau tidak mudah
berputus sebaliknya, tetap selalu bersikap optimistis.
Ada juga yang mengartikan firman Allāh ini sebagai berikut: Bersabarlah
atas bencana yang menimpamu. Sebab, bersabar itu adalah sebaik-baik perangai
dan tanda keteguhan hati yang harus dimiliki oleh semua orang yang mencari
jalan kelepasan sesudah Luqman menyuruh anaknya untuk mengerjakan beberapa
hal, maka dia melarang anaknya melakukan beberapa hal pula. (An-Nuur, 2000,
hal. 3210)
Berjalanlah untuk ṣalat itu, yakni meninggalkan jual beli lebih baik
bagimu dari pada sibuk dengan jual beli dan mencari manfaat duniawi, sebab
kemanfaatan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal, karena ia memiliki
kemanfaatan abadi. Sedang kemanfaatan dunia adalah lenyap (fana). Dan apa
yang di sisi Allāh itu lebih baik bagimu jika kamu termasuk orang-orang yang
mempunyai pengetahuan yang benar tentang apa yang berbahaya dan apa yang
bermanfaat. (Al-Maraghi, 1993, hal. 165)
Kata dzikr Allāh yang dimaksud adalah ṣalat dan khutbah karena itulah
agaknya sehingga ayat di atas menggunakan kata dzikr Allāh. Kata fas'au terambil
dari kata sa'd yang pada mulanya berarti berjalan cepat tapi bukan berlari. Tentu
saja, bukan itu yang dimaksud di sini, apalagi ada perintah Nabi saw. agar menuju
ke masjid, berjalan dengan penuh wibawa. Beliau bersabda: "Apabila ṣalat telah
segera akan dilaksanakan (Qamat), janganlah menuju ke sana dengan berjalan
cepat (sa'i) tetapi hadirilah dengan sakinah (ketenangan dan penuh wibawa).
Bagian ṣalat yang kamu dapati, lakukanlah dan yang tertinggal
sempurnakanlah." (HR. Bukhari, Muslim, dan Iain-lain melalui Abu Hurairah.)
Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti berjalan kaki dan itu menurut
mereka adalah anjuran bukan syarat. ṣalat Jum'at dinilai sebagai pengganti ṣalat
Ẓuhur. Karena itu, tidak lagi wajib atau dianjurkan kepada yang telah ṣalat Jum'at
untuk melakukan ṣalat Ẓuhur. (Al-Misbah, 2001, hal. 59)
Masih dalam buku yang sama seperti dalam paragraf sebelumnya, shalat
yang khusyu mewujudkan ‘ubudiah yang benar-benar karena Allah, ikhlas,
pasrah, rendah diri terhadap Dzat yang Maha Suci. Shalat pada hakikatnya
merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbaharui semangat dan
sekaligus sebagai penyucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri shalat merupakan tali
penguat yang dapat mengendalikan diri, ia adalah pelipur lara dan pengaman dari
rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan dan senjata bagi yang merasa
terasing. Dengan shalat kita dapat memohon pertolongan atas ujian zaman,
tekanan-tekanan orang lain dan kekejaman para durjana.
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai ṣalat ini, dapat diketahui bahwa ṣalat itu
berhubungan dengan ibadah. Adapun makna dari ibadah adalah melaksankan atau
melakukan apa-apa yang diperintah Allāh swt. yang tiada lain agar kita
mendapatkan keridhaan-Nya, bukan untuk mendapatkan pujian dari manusia.
Kemudian, ṣalat itu jika diartikan menurut bahasa adalah do’a. Sedangkan
jika diartikan menurut istilah, ṣalat adalah suatu perbuatan yang di awali dengan
takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam. ṣalat merupakan suatu kewajiban
yang harus kita jalankan sesuai dengan perintah-Nya, yaitu ṣalat fardhu yang
berjumlah 5 waktu, Ṣubuh, Ẓuhur, Aṣar, Maghrib, dan Isya.
Adapun implikasi pendidikan yang dapat kita ambil dari ṣalat yang
terdapat dalamAl-Quran surat An-Nisā’ ayat 103 dan 142, Luqmān ayat 17, dan
Al-Jumu’aħ ayat 9 adalah: ........................................
1.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazairi, S. A. (2007). Tafsir Al-Qur'an Al-Aisar (Vol. 2). (M. A. Hatim, & A.
Mukti, Trans.) Jakarta.
Ardiansyah, A. S. (2010, Juli 25). Definisi ṣalat. Retrieved November 25, 2011,
from http://abusahlaandriansyah.wordpress.com
Mustofa, A. Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari. Surabaya: PADMA Press.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah (Vol. 2). Jakarta: Penerbit Lentera Hati.