Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MATA KULIAH AL ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN

FILOSOFIS IBADAH SHALAT

Oleh :

Nur Alamah G2A218095

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim

Alhamdulillah penulis panjatkan syukur kehadirat Allah SWT. karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Filosofis
Ibadah Shalat ” ini. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada bapak Rohmat Suprapto,
S.Ag, MSI selaku dosen mata kuliah Al Islam dan kemuhammadiyahan, atas bimbingan
beliau sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Kami menyadari makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang paling banyak
menganut agama Islam. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari
237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam. Jumlah populasi warga muslim
terbanyak di dunia adalah di Indonesia. Salah satu kewajiban warga muslim adalah
melakukan ibadah sholat 5 kali dalam sehari. Akan tetapi, masih banyak sekali yang belum
mengerti hakikat sholat yang sebenarnya. Sholat hanya dilakukan sebatas rutinitas tanpa ada
makna apa-apa. Sholat hanya dilakukan sebagai penggugur kewajiban karena takut berdosa.
Oleh karena itu, penulis akan membahas filosofi ibadah sholat agar kita semua mengerti
makna dari sholat tersebut. Sehingga sholat tidak hanya dilakukan sebagai rutinitas tetapi
benar-benar mendirikan solat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka rumusan masalah dari penulisan
ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah hakekat Shalat?
2. Mengapa Alloh mewajibkan Shalat?
3. Apakah Tujuan dan fungsi Shalat?
4. Bagaimanakah Akhlak dalam Shalat?
5. Apakah Hikmah Shalat?
6. Apakah Ancaman bagi yang meninggalkan Shalat?
7. Apakah Makna spiritual Shalat dalam konteks kehidupan sosial?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah


1. Mengetahui Hakekat Shalat
2. Mengetahui Mengapa Alloh mewajibkan Shalat
3. Mengetahui Tujuan dan fungsi Shalat
4. Mengetahui Akhlak dalam Shalat
5. Mengetahui Hikmah Shalat
6. Mengetahui Ancaman bagi yang meninggalkan Shalat
7. Mengetahui Makna spiritual Shalat dalam konteks kehidupan sosial

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Shalat
Pengertian Shalat secara bahasa berarti do’a memohon kebaikan dan pujian.
Sedangkan Shalat dalam perspektif Fiqih adalah beberapa ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, dan menurut syarat-syarat yang telah
ditentukan. Kata As-shalah dalam bahasa Arab itu mempunyai dua makna (dua akar kata)
yaitu shalla dan washala. Shalla artinya berdo’a, jadi kita memohon atau menyeru kepada
Allah. Washala artinya sama dengan shilah, yaitu menyambungkan. Jadi Shalat itu
mempunyai makna adanya ketersambungan kita sebagai hamba dengan Allah. Dalam
pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya
sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa
perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta
sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’. Shalat dalam pandangan
Islam adalah merupakan bentuk komunikasi manusia dengan Tuhannya dan sekaligus
sebagai cermin keimanan bagi seorang mukmin.
Dalam kajian tasawuf, secara umum ada dua makna sufistik Shalat. Pertama, Shalat
itu adalah mi’raj artinya mendaki, taraqqi menuju Allah. Dan setiap kali hamba Tuhan
akan mendaki (mi’raj) pada saat itu Tuhan akan turun. Misalnya bagi orang yang Shalat,
tetapi Shalat itu tidak pernah mengangkatnya maka Shalatnya itu diragukan. Karena
merasa tidak dekat dengan Allah. Artinya orang itu baru Shalat secara lahiriyah dan secara
sufistik belum menimbulkan perubahan yang ada dalam dirinya. Karena tujuan dari pada
Shalat bukan sekedar gerakan-gerakan badan, tetapi adanya keterkaitan hati dengan Allah.
Di dalam sejarah, Shalatnya Nabi saw. dan para sufi, badannya gemetar, mukanya pucat,
bibirnya kadang bergetar saat membaca ayat-ayat Allah. Kalau ingin memperoleh Shalat
yang seperti itu, maka Shalatlah seperti orang yang akan meninggal besok. Shalli Shalatan
Shalata muwatti’, Shalatlah seperti orang yang akan melepaskan atau meninggalkan dunia.
Kalau kita mengetahui besok akan mati, pasti akan menyiapkan segala sesuatunya, salah
satunya dengan melakukan Shalat dengan sebaik-baiknya.
Seperti kata Rasul, kalau ingin memperoleh Shalat yang bisa menjadi mi’raj atau
Shalat yang bisa menjadi kendaraan, maka syarat utamanya adalah berupaya menjadikan
Shalatnya sebagai yang terakhir. Sehingga orang yang Shalatnya demikian, tidak akan
pernah merasakan capek. Justru dengan Shalat, akan memperoleh kenikmatan dan
ketenganan di dalam batinnya. Kedua, Shalat yang bisa menjadi kekuatan spiritual. Dalam
konteks inilah bisa dimengerti bahwa fungsi Shalat dalam persepsi al-Qur’an diklaim
mampu mencegah kemungkar (QS. Al-Ankabut [29]: 45). Shalat juga sebagai sumber
segala kekuatan dan penolong (QS. Al-Baqarah [2]: 45), Jadikanlah sabar dan Shalat
sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu’, Kesabaran merupakan bekal yang harus dimiliki di dalam
menghadapi setiap kesulitan dan penderitaan. Kesabaran dalam arti yang positif. Sabar
dalam ketahanan diri, berarti tidak boleh panik. Sabar dalam ketahanan jiwa agar tetap
tegar dan mantap. Sehingga mampu menenangkan diri dan menepis kepanikan apalagi
frustasi. Ketika mengalami kesulitan dalam hidup, kebingungan, keraguan, keresahan dan
mengalami kegoncangan jiwa maka kerjakanlah Shalat, sebagaimana sabda Nabi yang
Shalat merupakan aktifitas jiwa (soul), sebuah proses perjalanan spiritual yang penuh
makna yang dilakukan oleh seorang hamba untuk bertemu dengan Sang Khaliq. Shalat
diibaratkan sebagai suatu perjalanan ruhani, karena semua gerak-gerik di dalamnya
diiringi dengan niat.
Dengan mendirikan Shalat, manusia telah menempuh setengah perjalanan menuju
Allah, ditambah dengan puasa, maka telah sampai ke pintu-Nya dan dilengkapi dengan
sedekah, maka telah memasuki rumahNya. Kita tidak menyadari untuk memanfaatkan
Shalat sebagai alat penolong, sumber hidup, penerang jiwa dan tempat di mana manusia
harus bertanya dan berdialog tentang persoalan yang dihadapi atau bahkan persoalan yang
sulit dipecahkan sekalipun. Oleh karena itu, Shalat harus dipahami tidak hanya sebagai
rutinitas kewajiban, tetapi sudah menjadi taraf kebutuhan
Sering kita mendengar seseorang ketika diajak Shalat mengatakan: “Ah nanti saja
Shalatnya kalau pikiranku sudah tenang”. Hal ini menunjukkan bahwa Shalat merupakan
bagian rutinitas yang sangat membebani. Shalat bukan lagi bagian dari kebutuhan ruhani.
Padahal Shalat ibarat sumber mata air yang mengalir yang tiada habisnya pada saat terik
panas matahari, sedangkan perbekalan sudah mulai habis. Justru dengan Shalat mereka
akan mendapatkan tempat beristirahat dan sekaligus menghilangkan rasa dahaga yang
dirasakan oleh rohaninya. Shalat bukan sekedar membungkuk, bersujud dan komat-kamit
bahkan tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Kalau Shalatnya benar-benar mengingat
Allah, maka akan merasakan kadamaian dan ketenangan. Shalat adalah pekerjaan jiwa,
jika Shalat dilakukan dengan baik, maka akan menghasilkaan etos kerja yang profesional
dan penuh tanggung jawab.

B. Mengapa Allah mewajibkan Shalat


Shalat merupakan media komunikasi vertikal transendetal. Komunikasi
transendental ini dapat dilakukan melalui berbagai macam media yang biasa dikenal
dengan ritual ibadah, baik itu ibadah wajib maupun sunnah. Salah satu media komunikasi
transendental yang terjalin untuk berkomunikasi dengan Allah adalah Shalat. Hasilnya
adalah bahwa Shalat sebagai tiang agama. Shalat merupakan ibadah rutinitas harian yang
akan merugi jika ibadah yang telah rutin dilakukan tapi esensinya terlupakan, yaitu
terjalinnya komunikasi yang harmonis antara seorang hamba dan Sang Khalik. Langkah
yang paling tepat agar komunikasi transendental melalui Shalat ini berhasil adalah dengan
Shalat secara khusyuk. Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan
diri kita sebagai manusia di hadapan keagungan Rububiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk
ini timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kita kepada Zat Yang Maha
Kasih dan Maha Dahsyat ini. Sebagai implikasinya, orang yang memiliki sikap seperti ini
akan berupaya memusatkan seluruh pikiran kepada Kehadiran- Nya dan membersihkannya
dari apa saja yang selain Allah.

C. Tujuan dan Fungsi Shalat


Tujuan utama Shalat adalah agar manusia selalu mengingat Allah, dengan
mengingatAllah maka akan selalu berbuat ma’ruf dan takut atas perbuataan yang munkar
dan Shalat juga akan memperoleh ketenangan jiwa. Shalat di didahulukan oleh thaharah
berarti membersihkan badan yang menjadi syarat Shalat, seperti wudhu atau tayamum. Di
dalam Al-Quran disebutkan berbagai macam fungsi sholat yaitu
1. Shalat adalah pencegah dari berpuatan keji dan mungkar. Firman Allah “sesungguhnya
Shalat mencegah dari perbuatan keju dan mungkar ( QS Al Ankabut : 45). Perbuatan
keji adalah semua perbuatan yang mengotorikehormatan dan kesucian dir, sementara
mungkaradalah sema yang ditolak oleh syariat.
2. Shalat adalah sumber petunjuk. Rosulullah bersabda “ Shalat adalah cahaya”. Barang
siapa yang memeliharanya dia akan mendapatkan cahaya dan petunjuk.
3. Shalat adalah sarana kita meminta pertolongan dari Allah. “mintalah pertolongan
dengansabar dan Shalat” (QS Al Baqarah : 45)
4. Shalat adalah pelipur jiwa. Allah berfirman “ ...dirikanlah Shalat untuk mengingat_Ku (
QS Thaha 13-14). “ Dan bukankah dengan mengingatKu hati menjadi tentram? (QS Al-
Rad : 28).
5. Shalat yang dilakukan secara teratur akan dapat melahirkan kreatifitas. Seorang
psikolog mutahir telah menunjukan besarnya pengaruh ketenangan terhadap kreativitas.
Mihaly csikzentmihalyi, ahli psikologi memperkenalkan suatu keadaan dalam diri
manusia yang disebut sebagai flow. Bukan saja flow adalah sumber kebahagiaan tapi
juga sebagai sember kreativitas.
6. Sebagai terapi kesehatan.

D. Akhlak dalam Shalat


1. Gerakan berdiri

Berdiri ketika melaksanakan Shalat adalah lambang masa kejayaan, masa yang
sangat membahagiakan karena bisa berkarir dan memiliki segalanya seperti; uang,
jabatan, harta benda yang melimpah dan lain-lain. Atas anugerah nikmat inilah maka
sudah sewajarnya manusia harus memiliki sifat syukur kepada Allah SWT, mensyukuri
nikmat dapat dilakukan dengan hati, mulut, atau anggota badan lainnya. Dengan
demikian gerakan berdiri ketika Shalat diharapkan dapat memberi pengajaran kepada
umat Islam agar menghindari diri dari sifat tidak bersyukur.

2. Gerakan Takbir

Mengangkat tangan adalah cara untuk menghilangkan sifat-sifat agung untuk


selain Allah SWT, sedangkan takbir adalah menegaskan keagungan Allah SWT.
(Syafi’I Jalal Muhamad, 2006, h.69). Bacaan takbir disertai dengan gerakan
mengangkat kedua tangan ketika Shalat merupakan salah satu tanda penghormatan
kepada Allah SWT, ketika Shalat seseorang harus ikhlas mengangkat kedua belah
tangan ini menandakan bahwa seseorang itu harus menunjukkan sikap hormat yang
lebih pada sang pencipta. Gerakan takbir memberikan pengajaran bahwa sikap saling
menghormati antar sesama.

3. Gerakan bersedekap/meletakkan tangan didada.

Para ulama mengatakan meletakkan kedua tangan didada adalah salah satu cara
mendapatkan kekhusukan (ketenangan) ketika Shalat. Shalat merupakan cara untuk
menjadikan hati tenang dan ketentraman seabagimana firman Allah : Artinya : orang-
orang yang bermain dan mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah SWT hati menjadi tentram (Q.S.Ar. Ra’d : 28)

4. Gerakan Ruku’

Posisi ruku adalah posisi tengah-tengah antara berdiri tegak dengan sujud. Bila
posisi tegak melambangkan kejayaan (dewasa), maka posisi ruku’ melambangkan
masa-masa umur setengah baya, sedangkan sujud mengandung makna umur telah uzur
(tua renta), semua sikap dan gerakan Shalat seakan-akan menggambarkan perjalanan
hidup dan masa dewasa disusul dengan usia setegah baya kemudian memasuki usia
senja dan diakhir dengan salam berarti meninggalkan dunia. Keseimbangan posisi
tubuh dalam gerakan ruku’ dihadapkan dapat memberikan pengajaran kepada umat
Islam agar selalu istiqomah, sabar dan tidak mudah putus asa menghadapi berbagai
cobaan yang diberikan oleh Allah SWT

5. Gerakan I’tidal

Sikap I’tidal artinya adalah berperilaku sedang artinya tidak berlebihan baik
dalam makan, minum, berpakaian dan berbelanja. Sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya : Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syetan dan syetan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (Q.S.Al.Isra:27). Dengan demikian gerakan
i’tidal mengajarkan kepada kita agar terhindar dari sifat berlebihan dalam sesuatu
karena sifat berlebihan itu akan banyak memberikan mudharat.

6. Gerakan Sujud

Gerakan sujud ini melambangkan ketidakmampuan manusia dihadapan


Tuhannya. Karena wajah yang dikagumi setiap bercermin sebagai simbol kemuliaan
harus pasrah. Gerakan sujud dapat menghilangkan egoisme, dan kesombongan
meningkatkan kesabaran dan kepercayaan kepada Allah SWT. Menaikkan kestabilan
rohani dan menghasilkan energi batin yang tinggi diseluruh tubuh. Faktor ini
menunjukkan ketundukan dan kerendahan hati yang tinggi. (Haryanto, h.70).

7. Gerakan Duduk Diantara Dua Sujud

Gerakan duduk diantara dua sujud merupakan salah satu bentuk ketaatan dan
bukti rasa cinta kepada Allah SWT karena seseorang mengaku akan kelemahannya
yaitu duduk bersimpuh tidak berdaya dihadapan Allah SWT.

8. Gerakan Duduk Tasyahud Awal dan Tasyahud Akhir

Posisi ini memberikan pengajaran kepada kita bahwa anggota tubuh bagian kanan
lebih sesuai untuk melakukan perbuatan yang baik. Apabila seseorang memberikan
sesuatu atau menolong orang lain dengan tangan kiri menurut pandangan tidak
mempunyai tatacara atau etika, walaupun secara hukum tidak ada dalil yang
mengharamkan memberi atau menolong menggunakan tangan kiri.

9. Gerakan Salam

Di dalam sholat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri
mengandung arti seolah-olah seseorang berjanji dihadapan Allah SWT bahwa bersedia
untuk selalu melakukan sesuatu yang membuat keselamatan, kedamaian, dan
ketenteraman terhadap orang lain dan lingkungan termpat dimanapun berada. (Sayuti,
h.99). Gerakan salam yang dilakukan menoleh ke kanan dan ke kiri, pada saat
mengakhiri sholat memberikan pengajaran kepada umat Islam untuk senantiasa
menumbuhkan rasa saling peduli terhadap orang yang membutuhkan bantuan dan bisa
membuat keselamatan.

E. Hikmah Shalat
Sebagian hikmah disyariatkannya Shalat adalah bahwa Shalat itu dapat
membersihkan jiwa, dapat menyucikannya, dan menjadikan seorang hamba layak
bermunajat kepada Allah SWT di dunia dan berada dekat dengan-Nya di surga. Bahkan
Shalat juga dapat mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Allah SWT
berfirman: “...Dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar...” (Al-Ankabut: 45).
Shalat merupakan benteng hidup kita agar jangan sampai terjerumus ke dalam
perbuatan keji dan munkar. Hal ini tampak jelas dalam firman Allah SWT :
"Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar" (QS. Al
Ankabut 45). Shalat yang khusu’ mewujudkan suatu Ibadah yang benar-benar ikhlas,
pasrah terhadap Zat Yang Maha Suci dan Maha Mulia. Di dalam Shalat tersebut kita
meminta segala sesuatu dari-Nya, memohon petunjuk untuk mendapatkan jalan yang
lurus, mendapat limpahan rahmat, rizki, barokah dan pahala dari-Nya.
Disamping itu Shalat juga membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang buruk, khususnya
cara-cara hidup yang materialis yang menjadikan urusan duniawi lebih penting dari
segala-galanya termasuk Ibadah kepada Allah SWT. Kebersihan dan kesucian jiwa ini
digambarkan dalam sebuah hadits : "Jikalau di pintu seseorang diantara kamu ada sebuah
sungai dimana ia mandi lima kali, maka apakah akan tinggal lagi kotorannya (yang
melekat pada tubuhnya) ? Rasulullah SAW bersabda : ‘‘Yang demikian itu serupa dengan
Shalat lima waktu yang (mana) Allah SWT dengannya (Shalat itu) dihapuskan semua
kesalahan’." (HR. Abu Daud)
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan, maka ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir kecuali
orang-orang yang mengerjakan Shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan Shalatnya"
(QS. Al Ma’aarij). Apabila kita mendapat suatu musibah maupun kesulitan, maka kita
harus memohon pertolongan kepada Allah SWT dengan mengerjakan Shalat dan bersabar
serta tawakal. "Jadikanlah sabar dan Shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu’." (QS. Al Baqarah 45).
"Hai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan Shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al Baqarah 153) Di dalam
salah satu firman-Nya Allah SWT juga menegaskan nilai positif dari Shalat : "(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram"(QS. Ar Ra’d 28).
Disamping hal-hal diatas, Shalat juga membina rasa persatuan dan persaudaraan
antara sesama umat Islam. Hal ini dapat kita lihat antara lain, apabila seseorang Shalat
tidak dalam keadaan yang khusus pasti selalu menghadap kiblat yaitu Ka’bah di Masjidil
Haram Mekah. Umat Islam di seluruh dunia mempunyai satu pusat titik konsentrasi dalam
beribadah dan menyembah kepada Khaliq-nya yaitu Ka’bah, hal ini akan membawa
dampak secara psikologis yaitu persatuan, kesatuan, dan kebersamaan umat.
Contoh lain adalah pada Shalat berjamaah, Shalat berjamaah juga mengandung
hikmah kebersamaan, persatuan, persaudaraan dan kepemimpinan dimana pada setiap
gerakan Shalat ma’mum mempunyai kewajiban mengikuti gerakan imam, sedangkan
imam melakukan kesalahan, maka ma’mum wajib mengingatkan. Sehingga pada Shalat
berjamaah keabsahan maupun kebenaran dalam Shalat lebih terjamin, dan diantara
jama’ah akan timbul rasa kebersamaan dan persatuan untuk menyelamatkan jama’ah
mereka.
Ibarat orang berkendaraan, penumpang akan selalu ikut menjaga keamanan dan
keselamatan kendaraan yang ditumpanginya. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika
Shalat berjamaah mendapatkan tempat yang lebih dibandingkan dengan Shalat sendiri. Hal
ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw : "Shalat berjamaah lebih utama (pahalanya) dua
puluh derajat" (HR. Bukhary & Muslim dari Ibnu Umar)
F. Ancaman Bagi Orang yang Meninggalkan Shalat
Meninggalkan shalat adalah perkara yang teramat bahaya. Di dalam berbagai dalil
disebutkan berbagai ancaman yang sudah sepatutnya membuat seseorang khawatir jika
sampai lalai memperhatikan rukun Islam yang mulia ini.

Dalil Pertama

Firman Allah Ta’ala,

‫أنفنننججنعمل اجلمم ج‬
(35) ‫سلممميِنن نكاَجلممججمرمميِنن‬

“Maka apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang
berdosa (orang kafir) ?” (Q.S. Al Qalam [68] : 35)

hingga ayat,

‫شينعةة أنجب ن‬
َ‫صياَمرمهجم تنجرنهقممه جم مذلل ةة نونقيجد نك اَمنوُا مييجدنعجوُنن إملن ى‬ ‫س مجوُمد فننل ين ج‬
‫( نخاَ م‬42) ‫س تنمطيِمعوُنن‬ ‫ق نويمجدنعجوُنن إمنلىَ ال س‬
‫ساَ ق‬
‫ف نعجن ن‬ ‫ينجوُنم يمجك ن‬
‫ش م‬
(43) ‫ساَلممموُنن‬
‫سمجوُمد نومهجم ن‬
‫ال س‬

“Pada hari betis disingkapkandan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak
kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi
kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka
dalam keadaan sejahtera.” (Q.S. Al Qalam [68] : 43)

Dari ayat di atas, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak menjadikan orang muslim
seperti orang mujrim (orang yang berbuat dosa). Tidaklah pantas menyamakan orang muslim
dan orang mujrim dilihat dari hikmah Allah dan hukum-Nya.

Kemudian Allah menyebutkan keadaan orang-orang mujrim yang merupakan lawan dari
orang muslim. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada hari betis disingkapkan”. Yaitu
mereka (orang-orang mujrim) diajak untuk bersujud kepada Rabb mereka, namun antara
mereka dan Allah terdapat penghalang. Mereka tidak mampu bersujud sebagaimana orang-
orang muslim sebagai hukuman karena mereka tidak mau bersujud kepada-Nya bersama
orang-orang yang shalat di dunia.

Maka hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang meninggalkan shalat akan bersama
dengan orang kafir dan munafik. Seandainya mereka adalah muslim, tentu mereka akan
diizinkan untuk sujud sebagaimana kaum muslimin diizinkan untuk sujud.

Dalil Kedua

Firman Allah Ta’ala,


‫( نميياَ ن‬41) ‫( نعمن اجلممججمرمميِيينن‬40) ‫ساَنءملوُنن‬
ِ‫سييلننكمكجم فمييي‬ ‫( مفيِ نجلناَ ق‬39) ‫ب اجليِنمميِمن‬
‫ت ينتن ن‬ ‫( إملل أن ج‬38) ‫سبنجت نرمهيِننةة‬
‫صنحاَ ن‬ ‫مكسل ننجف ق‬
‫س بمنماَ نك ن‬
‫( نومكلناَ نمنكلذ م‬45) ‫ضيِنن‬
‫ب بميِنجوُمم‬ ‫ض نمنع اجلنخاَئم م‬ ‫( نولنجم ننمك نمجطمعمم اجلمم ج‬43) ‫صلليِنن‬
‫( نومكلناَ ننمخوُ م‬44) ‫سمكيِنن‬ ‫( نقاَملوُا لنجم ننمك ممنن اجلمم ن‬42) ‫سقننر‬
‫ن‬
(47) ‫( نحلتىَ أننتاَنناَ اجليِنمقيِمن‬46) ‫اللديمن‬

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan
kanan, berada di dalam surga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang
berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab:
“Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula)
memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan
orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan,
hingga datang kepada kami kematian”.” (QS. Al Mudatstsir [74] : 38-47)

Setiap orang yang memiliki sifat di atas atau seluruhnya berhak masuk dalam neraka saqor
dan mereka termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa). Pendalilan hal ini cukup jelas. Jika
memang terkumpul seluruh sifat di atas, tentu kekafiran dan hukumannya lebih keras. Dan
jika hanya memiliki satu sifat saja tetap juga mendapatkan hukuman.

Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa tidaklah disiksa dalam saqor kecuali orang
yang memiliki seluruh sifat di atas. Akan tetapi yang tepat adalah setiap sifat di atas patut
termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa). Dan Allah Ta’ala telah menjadikan orang-orang
mujrim sebagai lawan dari orang beriman. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang mujrim yang berhak masuk ke neraka saqor. Allah Ta’ala berfirman,

(48) ‫سقننر‬ ‫سنحمبوُنن مفيِ اللناَمر نعنلىَ مومجوُمهمهجم مذومقوُا نم ل‬


‫س ن‬ ‫إملن اجلممججمرمميِنن مفيِ ن‬
‫ضنلقل نو م‬
‫( ينجوُنم يم ج‬47) ‫سمعقر‬

“Sesungguhnya orang-orang yang mujrim (bedosa) berada dalam kesesatan (di dunia) dan
dalam neraka. (Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan
kepada mereka): “Rasakanlah sentuhan api neraka!”.” (QS. Al Qomar [54] : 47-48)

‫إملن اللمذينن أنججنرمموُا نكاَمنوُا ممنن اللمذينن آننممنوُا ين ج‬


(29) ‫ضنحمكوُنن‬

“Sesungguhnya orang-orang yang mujrim (berdosa), adalah mereka yang menertawakan


orang-orang yang beriman.” (QS. Al Muthaffifin [83] : 29). Dalam ayat ini, Allah
menjadikan orang mujrim sebagai lawan orang mukmin.

Dalil Ketiga

Firman Allah Ta’ala,


‫صنلةن نوآنمتوُا اللزنكاَةن نوأنمطيِمعوُا اللر م‬
‫سوُنل لننعللمكجم تمجرنحمموُنن‬ ‫نوأنمقيِمموُا ال ل‬

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta’atlah kepada rasul, supaya kamu diberi
rahmat.” (QS. An Nur [24] : 56)

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala mengaitkan adanya rahmat bagi mereka dengan mengerjakan
perkara-perkara pada ayat tersebut. Seandainya orang yang meninggalkan shalat tidak
dikatakan kafir dan tidak kekal dalam neraka, tentu mereka akan mendapatkan rahmat tanpa
mengerjakan shalat. Namun, dalam ayat ini Allah menjadikan mereka bisa mendapatkan
rahmat jika mereka mengerjakan shalat.

Dalil Keempat

Allah Ta’ala berfirman,

‫صنلتممهجم ن‬
(5) ‫ساَمهوُنن‬ ‫فننوُجيةل لمجلمم ن‬
‫( اللمذينن مهجم نعجن ن‬4) ‫صلليِنن‬

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5)

Sa’ad bin Abi Waqash, Masyruq bin Al Ajda’, dan selainnya mengatakan, ”Orang tersebut
adalah orang yang meninggalkannya sampai keluar waktunya.”

Ancaman ‘wa’il’ dalam Al Qur’an terkadang ditujukan pada orang kafir seperti pada ayat,

‫نونوجيةل لمجلمم ج‬
(7) ‫( اللمذينن نل يمجؤمتوُنن اللزنكاَةن نومهجم مباَجلنمخنرمة مهجم نكاَفممرونن‬6) ‫شمرمكيِنن‬

“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-


orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.”
(QS. Fushshilat [41] : 6-7)

‫( نوإمنذا نعلم نم مميجن‬8) ‫ب أنمليِيقم‬


‫ش جرهم بمنع نذا ق‬ ‫ستنجكبمةرا نكأ نجن نليجم ين ج‬
‫س نمجعنهاَ فنبن ل‬ ‫ام تمجتنلىَ نعلنجيِمه ثملم يم م‬
‫صسر مم ج‬ ‫( ين ج‬7) ‫نوجيةل لممكلل أنلفاَقك أنمثيِقم‬
‫سنممع آننياَ م‬
‫ت ل‬

‫شجيِةئاَ اتلنخنذنهاَ مهمزةوا مأولنئمنك لنمهجم نعنذا ة‬


(9) ‫ب مممهيِةن‬ ‫آننياَتمنناَ ن‬

“Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia
mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri
seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri khabar gembiralah dia dengan azab yang
pedih. Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat
itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Al
Jatsiyah [45] : 7-9)
(2) ‫شمديقد‬ ‫نونوجيةل لمجلنكاَفممرينن ممجن نعنذا ق‬
‫ب ن‬

“Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih.” (QS.
Ibrahim [14] : 2)

Terkadang pula ditujukan pada orang fasik (tidak kafir), seperti pada ayat,

‫نوجيةل لمجلمم ن‬
(1) ‫طفلمفيِنن‬

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.” (QS. Al Muthaffifin : 1)

(1) ‫نوجيةل لممكلل مهنمنزقة لمنمنزقة‬

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al Humazah [104] : 1)

Lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat (dengan sengaja)? Apakah ancaman
‘wa’il’ tersebut adalah kekafiran ataukah kefasikan?

Jawabannya : bahwa lebih tepat jika ancaman ‘wail’ tersebut adalah untuk orang kafir.
Kenapa demikian?

Hal ini dapat dilihat dari dua sisi :

1) Terdapat riwayat yang shohih, Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan tentang tafsiran ayat
ini (surat Al Ma’uun ayat 4-5), ”Seandainya kalian meninggalkan shalat maka tentu saja
kalian kafir. Akan tetapi yang dimaksudkan ayat ini adalah menyia-nyiakan waktu shalat.”

2) Juga ditunjukkan oleh dalil-dalil yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan
shalat, sebagaimana yang akan disebutkan.

Dalil Kelima

Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

‫ب نوآننمنن نونعممنل ن‬
َ‫صاَلمةحا‬ ‫( إملل نمجن نتاَ ن‬59) َ‫ف ينجلقنجوُنن نغ يةيِا‬ ‫ت فن ن‬
‫سجوُ ن‬ ‫صنلةن نواتلبنمعوُا ال ل‬
‫شنهنوُا م‬ ‫ف أن ن‬
‫ضاَمعوُا ال ل‬ ‫فننخلن ن‬
‫ف ممجن بنجعمدمهجم نخجل ة‬

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah
sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam.
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu bagian neraka yang paling dasar- sebagai
tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya
orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan
berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini
(ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim,
namun tempat orang-orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,”kecuali orang yang bertaubat, beriman
dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia
tidak dimintai taubat untuk beriman.

Dalil Keenam

Firman Allah Ta’ala,

‫فنإ مجن نتاَمبوُا نوأننقاَمموُا ال ل‬


‫صنلةن نوآنتنموُا اللزنكاَةن فنإ مجخنوُانممكجم مفيِ اللديمن‬

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat.
Jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Mereka bukanlah mu’min
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

‫إمنلنماَ اجلممجؤمممنوُنن إمجخنوُةة‬

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)

G. Makna spiritual Shalat dalam konteks kehidupan sosial


Salah satu warisan anatomis dahsyat yang membuat orang merasa perlu membentuk
kelompok adalah neokorteks. Laposan paling atas pada otak, yakni bagian yang
memberikann kita kemampuan berpikir. Di dalam dunia hewan hanya mamalia yang
memiliki neokorteks. Rasio neokorteks terhadap volume otak keseluruhan meningkat dengan
berbanding sejajar berdasarkan ukuran kelompok tipical species bersangkutan. Neokorteks
akan semakin membesar sebanding dengan besarnya kelompok yang mampu dibentuk. Maka
baik shalat jamaah di rumah atau di masjid, shalat jumat, salat idul adha/ idul fitri sampai
shalat berjamaah dalam melaksanakn ibadah haji semua akan membentuk kecerdasan sosial
manusia, melalui peningkatan neokorteks yang memberi dan menngkatkan kemampuan
berpikir serta mampu bersosial dan bersinergi. Suatu perintah untuk meningkatkan neokortek
langsung dari Allah 1400 tahun yang lalu melalui perintah shalat berjamaah.
Tiap orang diantara kita hanya memiliki sebagian informasi atau keahlian yang kita butuhkan
untuk menyelesaikan masalah. Globalisasi adalah bukti nyata akan kebutuhan manusia untuk
berinteraksi dan bersinergi dengan kelompok lainnya. Tidak perlu diragukan lagi bahwa
pikiran kelompok dan sinergi akan menghasilkan suatu pemikiran yang jauh lebih cerdas
serta hasil yang lebih semppurna. Shalat jamaah adalah sebuah contoh pelatihan sekaligus
simbol dari kondisi tersebut.

Pertemuan Shalat berjamaah dalam skala lokal (rumah/keluarga), regional (Shalat Jumat),
Nasional (Iedul Adha, Iedul Fitri), sampai Internasional (Haji) itu semua melambangkan arti
penting suatu sinergi dan kolaborasi sosial dari berbagai tingkatan dan skala kolaborasi.
Falsafah-falsafah dalam sinergi dan kolaborasi sosial semua terdapat di dalam sholat Jamaah,
seperti kesamaan tujuan dan visi (kiblat), saling mengisi (mengisi shof yang kosong),
keteraturan organisasi (imam dan makmum), kesamaan persepsi dan prinsip (isi bacaan
sholat), saling mendukung (sholawat), saling mengingatkan prinsip (dakwah dari para
khatib), pertemuan rutin (waktu sholat) dan demokrasi (tata cara memberi tahu imam yang
salah).

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Shalat itu mempunyai makna adanya ketersambungan kita sebagai hamba dengan Allah.
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan
Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari
beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam,
serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’. Shalat dalam pandangan
Islam adalah merupakan bentuk komunikasi manusia dengan Tuhannya dan sekaligus sebagai
cermin keimanan bagi seorang mukmin
shalat jamaah di rumah atau di masjid, shalat jumat, salat idul adha/ idul fitri sampai shalat
berjamaah dalam melaksanakn ibadah haji semua akan membentuk kecerdasan sosial
manusia, melalui peningkatan neokorteks yang memberi dan meningkatkan kemampuan
berpikir serta mampu bersosial dan bersinergi.
Falsafah-falsafah dalam sinergi dan kolaborasi sosial semua terdapat di dalam sholat Jamaah,
seperti kesamaan tujuan dan visi (kiblat), saling mengisi (mengisi shof yang kosong),
keteraturan organisasi (imam dan makmum), kesamaan persepsi dan prinsip (isi bacaan
sholat), saling mendukung (sholawat), saling mengingatkan prinsip (dakwah dari para
khatib), pertemuan rutin (waktu sholat) dan demokrasi (tata cara memberi tahu imam yang
salah).

Sumber :
Ari Ginanjar Agustian. 2004. ESQ. Penerbit Arga : Jakarta
Edi Bachtiar dalam http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/konseling/article/view/1056
H BAQIR.2006. BUAT APA SHOLAT?. MIZAN PUSTAKA : BANDUNG
Istianah, 2015, IAIN kudus dalam file:///C:/Users/Pentium/Downloads/943-3431-1-PB.pdf
https://rumaysho.com/4902-bahaya-meninggalkan-shalat-1-dalil-al-quran.html

Anda mungkin juga menyukai