Di susun oleh :
NAMA NIM
NURFAUZIYAH 1162070052
RIZQY SAFFANA JINANI 1162070059
WINDI WIDIA ASTUTI 1162070075
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga makalah ini bisa kami selesaikan dengan baik. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah
membukakan cahaya pengetahuan dan kebaikan kepada seluruh umat manusia di
mukabumi.
Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah. Dalam menyusun makalah ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi,
namun kami sadari bahwa kelancaran dalam menyusun makalah ini tidak lain
karena kerja sama dari kelompok kami, sehingga segala sesuatu hambatan bisa
teratasi, dan deengan mengucapkan syukur alhamdulillah penyusunan makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Penyusunan makalah ini tentu saja masih terdapat kekurangan-kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan masukan untuk makalah ini sangat kami harapkan
sebagai upaya memperbaiki kesalahan dalam penulisan makalah kami. Mudah-
mudahan makalah kami dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak.
Amin yaa rabbal ‘alamin
Bandung, 10 September
2016
Tim penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sangat sempurna, selain
diberi hak istimewa oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini, manusia
juga diberi keistimewaan lainnya yaitu berupa akal dan hawa nafsu, bahkan
Oleh karena itu hakikat manusia adalah beribadah kepada sang pencipta yaitu
Allah SWT, sebagai wujud rasa syukur kita kepada-Nya. Lalu bagaimana kita
bisa beribadah jika tidak dilandaskan dengan agama? Agama sebagai tiang
penyangga daya untuk hati kita juga sebagai tempat dan jembatan kita menuju
kemaksiatan. Agama lah yang menjadi benteng dalam diri manusia. Di muka
bumi ini banyak sekali agama yang sudah menyebarluas, dan agama yang
kami tentang konsep dasar ajaran agama Islam, yang meliputi Iman, Islam,
hari.
B Rumusan Masalah
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
a. Apa yang dimaksud dengan Islam?
b. Apa saja konsep dasar Iman, Islam, dan Ihsan?
c. Bagaimana hakikat agama bagi manusia?
d. Apa peranan Islam sebagai agama Tauhid?
C Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
a. Untuk mengetahui Islam
b. Untuk mengetahui konsep dasar Iman, Islam, dan Ihsan
c. Untuk mengetahui hakikat agama bagi manusia
d. Untuk mnengetahui peranan Islam sebagai agama Tauhid
BAB II
PEMBAHASAN
A Pengertian Akhlak Tasawuf dan Unsur-Unsur yang Mempengaruhi
Tasawuf
Dari sudut kebiasaan akhlah berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar
(bentuk infinitive) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang memiliki arti ath-
thabi’ah (kekuatan, tabi’at, watak dasar), al-‘adat (kibiasaan, kelaziman), al-
maru’ah (peradaban yang baik, dan al-din (agama). Dengan demikian, kata
akhlak atau khuluk secara Bahasa beararti budi pekerti, adat kebiasan, perangai
, maru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at.
Untuk pengertian akhlak menurut istilah ini dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar dibidang ini, Ibnu Miskawaih yang selanjutnya
dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara
singkat mengatakan, bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan”.
Sementara itu Imam Al-Ghazali yang selanjutnya dikenal sebagai
Hijjatul Islam (pembela islam), karena kepiawannya dalam membela islam dari
berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibnu
Miskawaih mengatakan bahwa, akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah,
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Adapun pengertian tasawuf menurut Harun Nasution terdapat lima istilah
yang berkenaan dengan tasawuf yaitu as-suffah (ahl al-suffah) (orang yang ikut
pindah dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci),
Sophos (hikmat) dan suf (kain wol). Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja
dihubungkan dengan tasawuf. Kata ahl al-suffah (orang-orang yang ikut pindah
dengan nabi dari Makkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan
orang yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain sebagainya
hanya untuk allah. Mereka ini rela meninggalkan kampong halamannya, rumah,
kekayaan, dan harta bendanya lainnya di mekkah untuk hijrah bersama nabi ke
Madinah. Tanpa ada unsur iman dan kecintaan pada allah, tak mungkin mereka
melakukan hal yang demikian. Selanjutnya dengan kata saf juga
menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan
maksiat, dan kata suf (kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana
dan tidak mementingkan dunia. Dan kata Sophos (Bahasa yunani)
menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dari segi lingustik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa
tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah,
hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat
bergantung kepada sudut pandang yang digunakan masing-masing. Selama ini
ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan
tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia
sebagai yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang sebagai upaya mensucikan diri dengan cara
menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya
kepada Allah SWT.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai
makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat di definisikan sebagai upaya
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan jika sudut pandang yang
digunakan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat di
definisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan
jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan.
Jika definisi tasawuf tersebut diatas satu dan lainya dihubungkan, maka
segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan
dunia, sehingga tercemin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT.
Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan
pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau
hakikat tasawuf.
Adapun di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat
yang menyatakan bahwa sumber atau unsur yang membentuk tasawuf itu ada
lima, yaitu Unsur Islam, Unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Yunani, Unsur
Hindu/Budha dan Unsur Persia. Kelima unsur ini secara ringkas dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1 Unsur Islam
Secara umum ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah
atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang
bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini
mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan
Al-Sunnah serta praktik kehidupan nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara
lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling
mencintai (Mahabbah) yang terkandung dalam Q.S Al-Maidah 5:54, perintah
agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri memohon ampunan
kepada Allah terkandung dalam Q.S Tahrim 66:8, petunjuk bahwa manusia
akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada yang
terkandung dalam Q.S Al-Baqarah 2:110, Tuhan dapat memberikan cahaya
kepada orang yang dikehendakinya yang terkandung dalam Q.S Al-Nur 24:35,
selanjutnya Al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia agar dalam hidupnya
tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda yang terkandung dalam
Q.S Al-Hadid, Al-Fatir 35:5 dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani
pendekatan diri kepada Allah SWT yang terkandung dalam Q.S Al-Imran 3.
Sejalan dengan apa yang dibicarakan Al-Qur’an diatas, Al-sunnah pun
banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat beberapa
teks hadist yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan
makhluk agar mereka mengenal-Ku”
Hadist tersebut memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita ini
adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal
dirinya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian, dalam alam raya ini
terdapat potensi ketuhanan yang dapat didaya gunakan untuk mengenal-Nya.
Dan apa yang ada di alam raya ini pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan.
Dengan adanya hadist yang menyatakan: “Senantiasalah seorang hamba
itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku
mencintainya. Maka apabila mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya
yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan
tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk
berusaha, maka dengan-Kulah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir,
meninju dan berjalan”.
Hadist tersebut diatas memberi petunjuk bahwa antara manusia dan
Tuhan bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya
dikenal dengan istilah al-fanah’, yaitu fanahnya makhluk sebagai yang
mencintai kepada diri Tuhan sebagai yang dicintai.
Selanjutnya didalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat
petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad
SAW telah melakukan pengasingan diri ke gua Hira’ menjelang datangnya
wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang arab
terbenam didalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang menggunakan
segala cara yang menghalalkan.
Selama di gua hira’ yang Ia kerjakan hanyalah tafakur, beribadah dan
hidup sebagai seorang yang jahid. Beliau hidup sederhana, terkadang
mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum
minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada
Allah SWT. Sehingga Siti Aisyah istri Beliau bertanya: “mengapa engkau
berbuat begini ya Rasulallah, sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosa-
Mu” Nabi menjawab: “apakah Engkau tidak ingin agar Aku menjadi hamba
yang bersyukur kepada Allah”.
Dikalangan para sahabat pun ada pula orang yang mengikuti praktik
bertasawuf sebagimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu
Bakar As Shidiq misalnya berkata: “aku mendapatkan kemuliaan dalam
ketakwaan, kefanaan, dalam keagungan dan rendah hati. Demikian pula
khalifah Umar bin Khotob pada suatu ketika pernah berkhutbah dihadapan
jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana.
Selanjtnya khalifah Usman bin’Afan banyak menghabiskan waktunya untuk
beribadah dan membaca Al-Qur’an, baginya Al-Qur’an ibarat surat dari
kekasih yang selalu dibawa dan dibaca kemanapun Ia pergi. Demikian pula
sahabat-sahabat lainnya seperti Abu Djar Al-Gifari, Tamin Darmy dan
HuzaifahAl-Yamani”.
a) Unsur Masehi
Orang arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal
latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika von kromyer
berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang
terdapat pada zaman jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang
mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari
agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar
yang kelak digunakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan
Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama
Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari
agama Nasrani.
Unsur-Unsur tasawuf yang diduga mempengaruhi tasawuf islam adalah
sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang
yang fakir, dan injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata :
“Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah.
Beruntunglah kamu orang orang miskin, karena bagi kamulah kenyang”.
Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat
pada, peranan syaikh yang menyerupai pendeta bedanya pendeta dapat
menghapus dosa; selebasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena dianggap
dapat mengalihkan perhatian diri dari khalik, dan penyaksian, dimana sufi
dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah’’.
b) Unsur Yunani
Kebudayaan yunani yaitu filsafat telah masuk pada dunia dimana
perkembanganya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada
Daulah Abbasiyah, metode berfikir sebagian orang islam yang ingin
berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan
tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani
ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf
filsafat. Hal ini dapat di lihat dari pikiran al-Farabi’, al-Kindi, Ibn Sina terutama
dalam uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi
dan lain sebagainya.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala
sesuatu diukur menurut akal pikiran. Tetapi dengan munculnya filsafat aliran
Neo Platonis menggambarkan, bahwa hakikat yang tertinggu hanya dapat
dicapai lewat letakkan Allah pada hati setiap hamba setelah seseorang itu
membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis: Kenallah
dirimu dengan dirimu’’ diambil oleh para sufi dan di antara sufi berkata : Siapa
yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya’’. Hal ini semua
mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud, dan Wihdah al-
wujud. Tidak sah lagi bagi kelompok Neo Shopi (Sufi berketuhanan dan
filosof) seperti Ibn Arabi, Ibn al-farabi, al-Hallaj, ditemukan pengaruh nyata
filsafat dalam cara berpikir mereka.
c) Unsur Hindu/Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama hindu dapat dilihat
adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy, Al-Birawi mencatat bahwa ada
persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu kemudian
pula paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain),
cara kelepasan dari dunia versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan
jalan mengingat Allah.
Salah satu maqomat sufiah al-fana tampaknya ada persamaan dengan
ajaran tentang nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada
hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin
Adham tokoh sufi.
Menurut Qomar kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali
karena kalua tidak diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha
berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu
ke mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
d) Unsur Persia
Sebenarnya hubungan antara Arab dan Persia sudah ada hubungannya
semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran,
kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi sebelum ditemukan dalil yang kuat
yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab.
Yang jelas adalah kehidupan kerohanian arab masuk ke Persia itu terjadi
melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun seringkali ada persamaan antara
istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu dan Mazdaq dan
hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan Kebaikan) dalam
agama Zarathustra.
Dari semua uraian ini dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf
itu bersumber dari ajaran islam itu sendiri mengingat yang dipraktikan Nabi
dan para Sahabat. Hal ini dapat dilihat dari asas-asasnya semuanya
berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tidak dipungkiri
bahwa setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran dia mendapat
pengaruh dari filsafat yunani, hindu, Persia, dan lain sebagainya. Dan hali ini
tidak hanya terjadi dalam bidang tasawuf saja melainkan juga dalam bidang
lainnya.
Sumber-sumber yang menggambarkan bahwa tasawuf islam seolah-
olah berasal bukan dari ajaran islam, biasanya berasal dari barat. Di dalam
berbagai literature yang ditulis para orientalis Barat kita menjumpai uraian
seperti itu. Hal ini disebabkan karena mereka mengidentikan ajaran islam
sebagaimana ajaran non islam, yaitu ajaran yang dibangun dari hasil pemikiran
logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial. Namun perlu dicatat, bahwa
mengidentikan Islam dengan non islam tidak sepenuhnya benar. Ajaran islam
sebagai diketahui bersumber pada wahyu Al-Qur’an dan Sunnah al-Rasul.
Kedua sumber ini jelas bukan produk pemikiran manusia. Namun, bersamaan
dengan itu, Al-Qur’an dan Al-Sunnah terkadang tampil dalam format yang
“belum siap pakai”, atau belum bisa digunakan begitu saja dalam aplikasinya,
sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan dikembangkan oprasionalisasinya oleh
akal pikiran. Dalam hubungan inilah kedalam ajaran islam masuk unsuk
pemikiran yang pada hakikatnya bukan wahyu. Dengan demikian, bagian dari
ajaran islam ada yang bersifat ajaran normative, yaitu yang bersumber pada al-
Qur’an dan al-Sunnah yang tidak akan mengalami perubahan; dan ada yang
bersifat non normative, yaitu yang bersumber pada akal pikiran yang dapat
dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.
Oleh karena itu perlu juga dicatat bahwa pemikiran yang dihasilkan
dari pemahaman terjadi al-Qur’an dan Al-sunnah itupun sifatnya jauh berbeda
dengan pemikiran bebas yang yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-
Sunnah. Pemikiran jenis pertama tidak bebas sebebas-bebasnya melainkan
masih terikat pada kedua sumber ajaran islam tersebut. Pemikiran yang sifatnya
demikian tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang bersifat bebas,
liberal dan tidak terikat pada ajaran apapun.
Jika dalam pemikiran tersebut digunakan untuk melihat ajaran taswuf,
maka dapat dikatakan bahwa ajaran tasawuf itu sama kedudukannya dengan
ajaran lainnya dalam Islam, seperti teologi, fikih, dan lain sebagainya. Ajaran
tasawuf bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang menggarapannya
memerlukan bantuan pemikiran yang sehat, lurus dan tidak keluar dari
semangat ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri, yaitu pemikirang yang
tidak sampai mengingkari adanya Tuhan dan ke-Rasulan Muhammas SAW,
tidak sampai menentang rukun iman dan rukun islam dan seterusnya. Jika
dijumpai pemikiran tasawuf yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan al-
Sunnah itu, maka segera diperbaiki, dan hal ini telah dilakukan oleh para
ulama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu
menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya. Bahkan jika boleh dikatakan
bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti agama islam, dengan berbagai
pertimbangan sebagai berikut. Pertama bahwa kehidupan yang kekal adalah
kehidupan diakhirat nanti yang kebahagiaannya amat bergantung kepada
selamatnya rohani manusia dari perbuatan dosa dan pelanggaran.
Allah berfirman yang artinya “pada hari (itu) tidak bermanfaat harta
dan anak kecuali mereka yang datang menghadap Allah dengan jiwa yang
sehat” (Q.S Al-Syu’ara [26]:89)
Untuk mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan dalam
ayat tersebut termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama. Kedua, bahwa
kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada
adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan
kepada Tuhan. Banyaknya harta benda, pangkat, kedudukan dan lain sebaginya
sering membawa seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan terperosok
kelembah maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa tasawuf. Sebaliknya banyak
orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya biasa-biasa
saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai orang dan seterusnya
yang disebabkan karena yang bersangkutan menunjukkan jiwa dan sikap yang
mulia yang dihasilkan dari ketundukan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai pada
batas-batas dimana harta benda, seperti tempat tinggal yang serba mewah,
pakaian serba lux, kendaraan mengkilat, dan lain sebagainya tidak diperlukan
lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya
fisik, kurang berfungsinya pencernaan makanan, kurang berfungsinya panca
indra, dan kirangnya selera terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini
manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri kepada
Allah, tempat ia harus mempertanggung jawabkan amalnya.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh
berbagai paham sekuler seperti materialisme (memuja materi), hedonism
(memuja kepuasan nafsu), vitalisme (memuja keperkasaan), dan sebagainya,
sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh persaingan, rakus,
boros, saling menerkam, dan lainsebagainya. Keadaan tersebut semakin
diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang negative mulai
dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan yang melupakan diri, pakaian
yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran dan sebagainya. Hal
tersebut kemudian memberi pengaruh negative terhadap generasi muda. Untuk
mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan pemikiran, biaya, tenaga,
waktu, dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian tasawuf dapat menjadi
salah satu alternative untuk mengatasi masalah tersebut secara ekonomis, tetapi
hasilnya cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh
tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai
bagian integral dari ajaran islam, bahkan ia harus diletakkan pada barisan yang
paling depan dalam menyelamatkan kehidupan manuisa dari bahaya
kehancuran dan kesengsaraan didunia dan akhirat.
B Saran
Berdasarkan uraian pada bab kajian teoritis,maka kelompok kami
memberikan beberapa saran untuk pembaca. Ada pun saran yang kami
sampaikan adalah bahwa kita sebagai umat islam harus memahami konsep
dasar ajaran islam dengan baik. Salah satunya dengan mempelajari dan
mengetahui ilmu ketuhanan yang nantinya akan lebih mendekatkan diri kita
kepada Sang Pencipta.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Prof. Dr. H. M.A, Akhlak Tasawuf dan karakter mulia (Bandung:
Raja grafindo,2013)
Elkahalkhanin.blogspot.co.id
Anwar Rosihon,dkk. Ilmu Tasawuf. (Bandung: R