Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KONSEP DASAR AJARAN ISLAM

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah

Di susun oleh :

NAMA NIM
NURFAUZIYAH 1162070052
RIZQY SAFFANA JINANI 1162070059
WINDI WIDIA ASTUTI 1162070075

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga makalah ini bisa kami selesaikan dengan baik. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah
membukakan cahaya pengetahuan dan kebaikan kepada seluruh umat manusia di
mukabumi.
Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah. Dalam menyusun makalah ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi,
namun kami sadari bahwa kelancaran dalam menyusun makalah ini tidak lain
karena kerja sama dari kelompok kami, sehingga segala sesuatu hambatan bisa
teratasi, dan deengan mengucapkan syukur alhamdulillah penyusunan makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Penyusunan makalah ini tentu saja masih terdapat kekurangan-kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan masukan untuk makalah ini sangat kami harapkan
sebagai upaya memperbaiki kesalahan dalam penulisan makalah kami. Mudah-
mudahan makalah kami dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak.
Amin yaa rabbal ‘alamin
Bandung, 10 September

2016

Tim penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sangat sempurna, selain

diberi hak istimewa oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini, manusia

juga diberi keistimewaan lainnya yaitu berupa akal dan hawa nafsu, bahkan

derajat kesempurnaan manusia lebih tinggi dibandingkan dengan malaikat.

Oleh karena itu hakikat manusia adalah beribadah kepada sang pencipta yaitu

Allah SWT, sebagai wujud rasa syukur kita kepada-Nya. Lalu bagaimana kita

bisa beribadah jika tidak dilandaskan dengan agama? Agama sebagai tiang

penyangga daya untuk hati kita juga sebagai tempat dan jembatan kita menuju

sang pencipta. Manusia dapat terbentengi dari hal-hal kemaksiatan karena

agamanya. Apabila ia betul-betul yakin dengan kebenaran ajaran agamanya,

maka manusia tersebut tidak akan pernah terjerumus ke dalam lembah

kemaksiatan. Agama lah yang menjadi benteng dalam diri manusia. Di muka

bumi ini banyak sekali agama yang sudah menyebarluas, dan agama yang

paling sempurna adalah agama Islam.

Dengan menyusun makalah ini maka kami akan memperluas pengetahuan

kami tentang konsep dasar ajaran agama Islam, yang meliputi Iman, Islam,

dan Ihsan. Sehingga kami bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-

hari.

B Rumusan Masalah
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
a. Apa yang dimaksud dengan Islam?
b. Apa saja konsep dasar Iman, Islam, dan Ihsan?
c. Bagaimana hakikat agama bagi manusia?
d. Apa peranan Islam sebagai agama Tauhid?

C Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
a. Untuk mengetahui Islam
b. Untuk mengetahui konsep dasar Iman, Islam, dan Ihsan
c. Untuk mengetahui hakikat agama bagi manusia
d. Untuk mnengetahui peranan Islam sebagai agama Tauhid

BAB II
PEMBAHASAN
A Pengertian Akhlak Tasawuf dan Unsur-Unsur yang Mempengaruhi
Tasawuf
Dari sudut kebiasaan akhlah berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar
(bentuk infinitive) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang memiliki arti ath-
thabi’ah (kekuatan, tabi’at, watak dasar), al-‘adat (kibiasaan, kelaziman), al-
maru’ah (peradaban yang baik, dan al-din (agama). Dengan demikian, kata
akhlak atau khuluk secara Bahasa beararti budi pekerti, adat kebiasan, perangai
, maru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at.
Untuk pengertian akhlak menurut istilah ini dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar dibidang ini, Ibnu Miskawaih yang selanjutnya
dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara
singkat mengatakan, bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan”.
Sementara itu Imam Al-Ghazali yang selanjutnya dikenal sebagai
Hijjatul Islam (pembela islam), karena kepiawannya dalam membela islam dari
berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibnu
Miskawaih mengatakan bahwa, akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah,
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Adapun pengertian tasawuf menurut Harun Nasution terdapat lima istilah
yang berkenaan dengan tasawuf yaitu as-suffah (ahl al-suffah) (orang yang ikut
pindah dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci),
Sophos (hikmat) dan suf (kain wol). Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja
dihubungkan dengan tasawuf. Kata ahl al-suffah (orang-orang yang ikut pindah
dengan nabi dari Makkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan
orang yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain sebagainya
hanya untuk allah. Mereka ini rela meninggalkan kampong halamannya, rumah,
kekayaan, dan harta bendanya lainnya di mekkah untuk hijrah bersama nabi ke
Madinah. Tanpa ada unsur iman dan kecintaan pada allah, tak mungkin mereka
melakukan hal yang demikian. Selanjutnya dengan kata saf juga
menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan
maksiat, dan kata suf (kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana
dan tidak mementingkan dunia. Dan kata Sophos (Bahasa yunani)
menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dari segi lingustik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa
tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah,
hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat
bergantung kepada sudut pandang yang digunakan masing-masing. Selama ini
ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan
tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia
sebagai yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang sebagai upaya mensucikan diri dengan cara
menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya
kepada Allah SWT.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai
makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat di definisikan sebagai upaya
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan jika sudut pandang yang
digunakan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat di
definisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan
jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan.
Jika definisi tasawuf tersebut diatas satu dan lainya dihubungkan, maka
segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan
dunia, sehingga tercemin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT.
Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan
pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau
hakikat tasawuf.
Adapun di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat
yang menyatakan bahwa sumber atau unsur yang membentuk tasawuf itu ada
lima, yaitu Unsur Islam, Unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Yunani, Unsur
Hindu/Budha dan Unsur Persia. Kelima unsur ini secara ringkas dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1 Unsur Islam
Secara umum ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah
atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang
bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini
mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan
Al-Sunnah serta praktik kehidupan nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara
lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling
mencintai (Mahabbah) yang terkandung dalam Q.S Al-Maidah 5:54, perintah
agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri memohon ampunan
kepada Allah terkandung dalam Q.S Tahrim 66:8, petunjuk bahwa manusia
akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada yang
terkandung dalam Q.S Al-Baqarah 2:110, Tuhan dapat memberikan cahaya
kepada orang yang dikehendakinya yang terkandung dalam Q.S Al-Nur 24:35,
selanjutnya Al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia agar dalam hidupnya
tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda yang terkandung dalam
Q.S Al-Hadid, Al-Fatir 35:5 dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani
pendekatan diri kepada Allah SWT yang terkandung dalam Q.S Al-Imran 3.
Sejalan dengan apa yang dibicarakan Al-Qur’an diatas, Al-sunnah pun
banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat beberapa
teks hadist yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan
makhluk agar mereka mengenal-Ku”
Hadist tersebut memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita ini
adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal
dirinya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian, dalam alam raya ini
terdapat potensi ketuhanan yang dapat didaya gunakan untuk mengenal-Nya.
Dan apa yang ada di alam raya ini pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan.
Dengan adanya hadist yang menyatakan: “Senantiasalah seorang hamba
itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku
mencintainya. Maka apabila mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya
yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan
tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk
berusaha, maka dengan-Kulah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir,
meninju dan berjalan”.
Hadist tersebut diatas memberi petunjuk bahwa antara manusia dan
Tuhan bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya
dikenal dengan istilah al-fanah’, yaitu fanahnya makhluk sebagai yang
mencintai kepada diri Tuhan sebagai yang dicintai.
Selanjutnya didalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat
petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad
SAW telah melakukan pengasingan diri ke gua Hira’ menjelang datangnya
wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang arab
terbenam didalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang menggunakan
segala cara yang menghalalkan.
Selama di gua hira’ yang Ia kerjakan hanyalah tafakur, beribadah dan
hidup sebagai seorang yang jahid. Beliau hidup sederhana, terkadang
mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum
minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada
Allah SWT. Sehingga Siti Aisyah istri Beliau bertanya: “mengapa engkau
berbuat begini ya Rasulallah, sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosa-
Mu” Nabi menjawab: “apakah Engkau tidak ingin agar Aku menjadi hamba
yang bersyukur kepada Allah”.
Dikalangan para sahabat pun ada pula orang yang mengikuti praktik
bertasawuf sebagimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu
Bakar As Shidiq misalnya berkata: “aku mendapatkan kemuliaan dalam
ketakwaan, kefanaan, dalam keagungan dan rendah hati. Demikian pula
khalifah Umar bin Khotob pada suatu ketika pernah berkhutbah dihadapan
jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana.
Selanjtnya khalifah Usman bin’Afan banyak menghabiskan waktunya untuk
beribadah dan membaca Al-Qur’an, baginya Al-Qur’an ibarat surat dari
kekasih yang selalu dibawa dan dibaca kemanapun Ia pergi. Demikian pula
sahabat-sahabat lainnya seperti Abu Djar Al-Gifari, Tamin Darmy dan
HuzaifahAl-Yamani”.

Gambar 1 Tentang Perasaan yang Terpendam


Selain sumber-sumber tersebut diatas, situasi masyarakat pada massa
itupun ikut serta mempersubur lahirnya tasawuf. Setelah islam tersebar
kesegala penjuru dan makin kokoh pemerintahan islam serta semakin
makmurnya masyarakat, maka mulai timbul pola hidup yang bermewah-
mewahan dan berfoya-foya. Dalam keadaan demikian timbullah sekelompok
masyarakat yang melakukan protes dengan cara hidup juhud, seperti yang
diperlihatkan Hasan Al-Basri. Tokoh ini dengan gigih dan gayanya yang retorik
telah mampu mengembalikan kaum muslimin kepada garis agama dan
muncullah kehidupan sufistik. Sikap protes ini kemudian mendapat simpatik
dari masyarakat dan timbullah pola hidup tasawuf.
Bersamaan dengan itu pada masa ini timbul pula aliran-aliran
keagamaan, seperti lahirnya alirah khawarij, mukhtajilah dan lain-lain. Aliran
keagamaan ini dikenal banyak mempergunakan rasio dalam mendukung ide-
idenya. Untuk membendung aliran ini, maka timbulah kelompok yang tidak
mau terlibat dalam penggunaan akal untuk membahas soal-soal tasawuf.
Kelompok yang terakhir ini berusaha mengasingkan diri dan memusatkan diri
untuk beribadah kepada Allah.
Dari informasi tersebut terlihat bahwa munculnya taswuf dikalangan
umat islam bersumber pada dorongan ajaran islam dan factor situasi islam dan
sejarah kehidupan masyarakat pada umumnya.

2 Unsur Luar Islam


Dalam berbagai literature yang ditulis para orientalis barat sering
dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf islam dipengaruhi oleh
adanya unsur agama masehi, unsur yunani, unsur hindu/budha dan unsur
Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu
kehati-hatian. Para orientalis barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar
islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara hitoris agama-
agama tersebut telah ada sebelum islam, bahkan banyak dikenal oleh
masyarakat arab yang kemudia masuk islam. Akan tetapi, kita dapat
mengatakan bahwa boleh saja orang arab terpengaruh oleh agama-agama
tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf,
karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu
bukan berasal dari mereka itu. Dengan demikian, adanya unsur luar islam yang
mempengaruhi tasawuf islam itu merupakan masalah akademik bukan masalah
akidah islamiah. Karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat kritis dan
sangat objektif. Kita mengakuia bahwa islam sebagai agama universal yang
dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan sosial. Dengan sangat selektif
islam bisa beresonansi dengan berbagai unsur ajaran sufistik yang terdapat
dalam berbagai ajaran tersebut. Dalam hubungan ini maka islam termasuk
ajaran tasawufnya dapat bersentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran
tasawuf yang berasal dari luar islam itu.
Unsur-unsur luar islam yang diduga mempengaruhi tasawuf islam itu
selnjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Unsur Masehi
Orang arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal
latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika von kromyer
berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang
terdapat pada zaman jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang
mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari
agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar
yang kelak digunakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan
Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama
Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari
agama Nasrani.
Unsur-Unsur tasawuf yang diduga mempengaruhi tasawuf islam adalah
sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang
yang fakir, dan injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata :
“Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah.
Beruntunglah kamu orang orang miskin, karena bagi kamulah kenyang”.
Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat
pada, peranan syaikh yang menyerupai pendeta bedanya pendeta dapat
menghapus dosa; selebasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena dianggap
dapat mengalihkan perhatian diri dari khalik, dan penyaksian, dimana sufi
dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah’’.

b) Unsur Yunani
Kebudayaan yunani yaitu filsafat telah masuk pada dunia dimana
perkembanganya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada
Daulah Abbasiyah, metode berfikir sebagian orang islam yang ingin
berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan
tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani
ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf
filsafat. Hal ini dapat di lihat dari pikiran al-Farabi’, al-Kindi, Ibn Sina terutama
dalam uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi
dan lain sebagainya.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala
sesuatu diukur menurut akal pikiran. Tetapi dengan munculnya filsafat aliran
Neo Platonis menggambarkan, bahwa hakikat yang tertinggu hanya dapat
dicapai lewat letakkan Allah pada hati setiap hamba setelah seseorang itu
membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis: Kenallah
dirimu dengan dirimu’’ diambil oleh para sufi dan di antara sufi berkata : Siapa
yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya’’. Hal ini semua
mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud, dan Wihdah al-
wujud. Tidak sah lagi bagi kelompok Neo Shopi (Sufi berketuhanan dan
filosof) seperti Ibn Arabi, Ibn al-farabi, al-Hallaj, ditemukan pengaruh nyata
filsafat dalam cara berpikir mereka.

c) Unsur Hindu/Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama hindu dapat dilihat
adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy, Al-Birawi mencatat bahwa ada
persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu kemudian
pula paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain),
cara kelepasan dari dunia versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan
jalan mengingat Allah.
Salah satu maqomat sufiah al-fana tampaknya ada persamaan dengan
ajaran tentang nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada
hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin
Adham tokoh sufi.
Menurut Qomar kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali
karena kalua tidak diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha
berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu
ke mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.

d) Unsur Persia
Sebenarnya hubungan antara Arab dan Persia sudah ada hubungannya
semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran,
kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi sebelum ditemukan dalil yang kuat
yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab.
Yang jelas adalah kehidupan kerohanian arab masuk ke Persia itu terjadi
melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun seringkali ada persamaan antara
istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu dan Mazdaq dan
hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan Kebaikan) dalam
agama Zarathustra.
Dari semua uraian ini dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf
itu bersumber dari ajaran islam itu sendiri mengingat yang dipraktikan Nabi
dan para Sahabat. Hal ini dapat dilihat dari asas-asasnya semuanya
berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tidak dipungkiri
bahwa setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran dia mendapat
pengaruh dari filsafat yunani, hindu, Persia, dan lain sebagainya. Dan hali ini
tidak hanya terjadi dalam bidang tasawuf saja melainkan juga dalam bidang
lainnya.
Sumber-sumber yang menggambarkan bahwa tasawuf islam seolah-
olah berasal bukan dari ajaran islam, biasanya berasal dari barat. Di dalam
berbagai literature yang ditulis para orientalis Barat kita menjumpai uraian
seperti itu. Hal ini disebabkan karena mereka mengidentikan ajaran islam
sebagaimana ajaran non islam, yaitu ajaran yang dibangun dari hasil pemikiran
logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial. Namun perlu dicatat, bahwa
mengidentikan Islam dengan non islam tidak sepenuhnya benar. Ajaran islam
sebagai diketahui bersumber pada wahyu Al-Qur’an dan Sunnah al-Rasul.
Kedua sumber ini jelas bukan produk pemikiran manusia. Namun, bersamaan
dengan itu, Al-Qur’an dan Al-Sunnah terkadang tampil dalam format yang
“belum siap pakai”, atau belum bisa digunakan begitu saja dalam aplikasinya,
sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan dikembangkan oprasionalisasinya oleh
akal pikiran. Dalam hubungan inilah kedalam ajaran islam masuk unsuk
pemikiran yang pada hakikatnya bukan wahyu. Dengan demikian, bagian dari
ajaran islam ada yang bersifat ajaran normative, yaitu yang bersumber pada al-
Qur’an dan al-Sunnah yang tidak akan mengalami perubahan; dan ada yang
bersifat non normative, yaitu yang bersumber pada akal pikiran yang dapat
dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.
Oleh karena itu perlu juga dicatat bahwa pemikiran yang dihasilkan
dari pemahaman terjadi al-Qur’an dan Al-sunnah itupun sifatnya jauh berbeda
dengan pemikiran bebas yang yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-
Sunnah. Pemikiran jenis pertama tidak bebas sebebas-bebasnya melainkan
masih terikat pada kedua sumber ajaran islam tersebut. Pemikiran yang sifatnya
demikian tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang bersifat bebas,
liberal dan tidak terikat pada ajaran apapun.
Jika dalam pemikiran tersebut digunakan untuk melihat ajaran taswuf,
maka dapat dikatakan bahwa ajaran tasawuf itu sama kedudukannya dengan
ajaran lainnya dalam Islam, seperti teologi, fikih, dan lain sebagainya. Ajaran
tasawuf bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang menggarapannya
memerlukan bantuan pemikiran yang sehat, lurus dan tidak keluar dari
semangat ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri, yaitu pemikirang yang
tidak sampai mengingkari adanya Tuhan dan ke-Rasulan Muhammas SAW,
tidak sampai menentang rukun iman dan rukun islam dan seterusnya. Jika
dijumpai pemikiran tasawuf yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan al-
Sunnah itu, maka segera diperbaiki, dan hal ini telah dilakukan oleh para
ulama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu
menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya. Bahkan jika boleh dikatakan
bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti agama islam, dengan berbagai
pertimbangan sebagai berikut. Pertama bahwa kehidupan yang kekal adalah
kehidupan diakhirat nanti yang kebahagiaannya amat bergantung kepada
selamatnya rohani manusia dari perbuatan dosa dan pelanggaran.
Allah berfirman yang artinya “pada hari (itu) tidak bermanfaat harta
dan anak kecuali mereka yang datang menghadap Allah dengan jiwa yang
sehat” (Q.S Al-Syu’ara [26]:89)
Untuk mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan dalam
ayat tersebut termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama. Kedua, bahwa
kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada
adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan
kepada Tuhan. Banyaknya harta benda, pangkat, kedudukan dan lain sebaginya
sering membawa seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan terperosok
kelembah maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa tasawuf. Sebaliknya banyak
orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya biasa-biasa
saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai orang dan seterusnya
yang disebabkan karena yang bersangkutan menunjukkan jiwa dan sikap yang
mulia yang dihasilkan dari ketundukan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai pada
batas-batas dimana harta benda, seperti tempat tinggal yang serba mewah,
pakaian serba lux, kendaraan mengkilat, dan lain sebagainya tidak diperlukan
lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya
fisik, kurang berfungsinya pencernaan makanan, kurang berfungsinya panca
indra, dan kirangnya selera terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini
manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri kepada
Allah, tempat ia harus mempertanggung jawabkan amalnya.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh
berbagai paham sekuler seperti materialisme (memuja materi), hedonism
(memuja kepuasan nafsu), vitalisme (memuja keperkasaan), dan sebagainya,
sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh persaingan, rakus,
boros, saling menerkam, dan lainsebagainya. Keadaan tersebut semakin
diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang negative mulai
dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan yang melupakan diri, pakaian
yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran dan sebagainya. Hal
tersebut kemudian memberi pengaruh negative terhadap generasi muda. Untuk
mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan pemikiran, biaya, tenaga,
waktu, dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian tasawuf dapat menjadi
salah satu alternative untuk mengatasi masalah tersebut secara ekonomis, tetapi
hasilnya cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh
tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai
bagian integral dari ajaran islam, bahkan ia harus diletakkan pada barisan yang
paling depan dalam menyelamatkan kehidupan manuisa dari bahaya
kehancuran dan kesengsaraan didunia dan akhirat.

B Sejarah Perkembangan Akhlak Tasawuf dan Tarikat

1 Periode I masa rasulullah saw. (13 Sebelum Hijriah – 11 H)


Kalau kita perhatikan pertumbuhan tasawuf pada mulanya, dapatlah kita
pandang bahwa tahannuts Rasul di Goa Hira’, merupakan awal tasawuf pada diri
Nabi saw. tetapi karena tahannuts itu terjadi sebelum Al-Qur’an itu diturunkan,
maka tahannuts itu tidak dapat dijadikan awal tasawuf islam. Hanya kehidupan
Rasul setelah turun Al-Qur’an lah yang kita pandang awal tasawuf islam.
Tahannuts Rasul saw. di Goa Hira’ memang untuk mensucikan rohani,
tetapi karena hal itu bukan dari ajaran Allah yang diturunkan setelah datangnya
syari’at islam, maka tahannuts Rasul di Goa Hira’ itu tidak dapat kita masukkan
menjadi sumber tasawuf islam.
Ciri khas tasawuf pada di masa Rasul saw. ini ialah berpegang teguhnya
kaum muslimin dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabinya.
2 Peride II Masa sahabat (11 H – 40 H)
Demikian pulalah kehidupan para sahabat yang mencontoh langsung cara
hidup Rasul. Mereka adalah manusia-manusia yang berakhlak mulia dan
membaktikan hidupnya untuk kepentingan agama.
Abu Bakar termasyhur dengan kedermawanannya, ketaatan, tawadlu’, wara’ dan
mempunyai pribadi yang mulia. Sehingga ia mendapat tempat yang utama di hati
Rasulullah.
Umar Bin Khattab adalah seorang sahabat yang berbudi tinggi, dia
menyediakan malamnya untuk beribadat dan siangnya untuk urusan negara.
Meskipun ia seorang pemimpin negara, namun pakaiannya biasa-biasa saja,
rendah hati, wara’, dan berbudi luhur.
Usman Bin Affan adalah seorang hartawan yang dermawan. Beliau telah
memberikan sebagian dari hartanya untuk kepentingan agama. Bila dia berada
dirumah, tak pernah lepas Al-Qur’an dari tangannya. Beliau kerap kali
mentilawahkan Al-Qur’an dan memahami kandungannya sampai larut malam.
Ali Bin Abi Thalib termasyhur dengan tawadlu’nya, beliau tidak malu
memakai pakaian yang bertambal-tambal, bahkan ia sendiri pulalah yang
menambalnya. Sekali pernah beliau menjinjing daging dari pasar. Lantas orang
bertanya : “Apakah tuan tidak malu membawa daging itu ya Amirul Mukminin?”
beliau menjawab : “Yang kubawa ini adalah barang halal, apa yang kumalukan
terhadapanya!”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sahabat tetap
berpegang teguh terhadapa ajaran Al-Qur’an dan meneladani Rasul yang baru saja
menghilang di tengah-tengah mereka.
Orang yang paling banyak mengajarkan soal kerohanian di periode ini
antara lain Ali Bin Abi Thalib, Huzaifah Bin Al-Yaman, Abu Hurairah, Abu zar
dan lain-lain. Dapatlah kita katakan bahwa ciri-ciri tasawuf dimasa sahabat ini
adalah :
1. Memegang teguh ajaran kerohanian yang dipetik dari Al-Qur’an.
2. Meneladani perilaku Rasulullah saw. sepenuhnhya.
3 Periode III Masa Tabi’in (41 H – 100 H)
Setelah masa sahabat berlalu datanglah masa tabi’in. Para tabi’in yang
dekat dengan sahabat-sahabat Nabi, terutama dengan shabat-sahabat besar dan
Huzaifah Bin Al-Yaman, telah mendapatkan ajaran tasawuf secara langsung dari
beliau-beliau itu dan dapat meneladani perilaku sahabat-sahabat Rasul tadi.
Di masa tabi’in ini muncullah Hasan Al-Basri murid terdekat dari Huzaifah dan
dibesarkan dibawah asuhan Ali Bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 21
H (632 M) di Madinah dan pernah menyusu pada istri Nabi saw. yaitu Ummu
Salamah r.a.
Beliau adalah orang pertama yang merintis ilmu tasawuf dan mengajarkan
ilmu ini di Masjid Basrah. Ajaran-ajaran tasawuf beliau senantiasa berjalan diatas
Al-Qur’an dan Hadis, karena memang beliau seorang ahli
Hadis dan ahli Fiqih yang mempunyai madzhab sendiri. Beliau pernah bertemu
dengan 70 orang sahabat yang ikut perang Badar dan 300 orang sahabat lainnya.
Pandangan yang amat teguh dipegangnya ialah zuhud, raja’, dan khauf.
Al-Hasan tidak terpengaruh oleh gangguan mata benda dunia yang telah mulai
menulari sebagian kaum muslimin dewasa itu. Beliau tidak suka menjadi seorang
pejabat, takut terganggu urusan agamanya.
Di samping sufi-sufi pria terdapat juga seorang ahli tasawuf dari kalangan
wanita yaitu Rabi’ah Al-adawiyah. Beliau juga hidup di penghujung masa tabi’in.
Corak tasawuf Rabi’ah ini masih mirip dengan tasawuf di periode awal dari
periode tabi’in, hanya saja perasaanya sudah mulai menguasai pribadinya.
Tasawuf di masa tabi’in ini masih menurut jiwa Al-Qur’an dan menurut
praktek hidup Raulullah saw. yang ditiru dan diteladani oleh sahabat-sahabat
beliau. Dari sahabat inilah tabi’in meneladani cara hidup Rasul. Di masa tabi’in
ini pelajaran tasawuf sudah mulai diajarkan dalam bentuk disiplin ilmu.

4 Periode IV Meluasnya Tasawuf (100 H – 450 H)


Pada periode IV ini ajaran tasawuf mempunyai corak tersendiri. Di dalam
mengabdikan diri kepada Tuhan, orang sudah banyak dipengaruhi oleh
perasaanya sendiri, sehingga mereka kadang-kadang sudah berlebih-lebihan
dalam beribadat, dunia sudah ditinggalkan sama sekali. Kalau di periode-periode
sebelumnya orang bukan benci kepada dunia tetapi tidak mau terpengaruh
dengannya. Tetapi pada periode IV ini orang sudah mulai membenci dunia.
Di masa ini muncul nama-nama sufi seperti Sirri As-Suqty, Ma’ruf Al-Karakhi,
Harts Al-Muhasiby, Sulaiman Ad-Darani dan lain-lain.
Dalam periode IV ini sampailah tasawuf di puncak ketinggiannya dengan
datangnya Husain Bin Mansur Al-Hallaj dengan teori-teorinya yaitu :
1. Al-Hulul yaitu menjelmanya Tuhan dalam manusia tertentu.
2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah atau Nur Muhammad yaitu pandangan bahwa
alam semesta ini berasal dari Nur Muhammad.
3. Wahdatul Adyan yaitu pandangan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah
satu, perbedaan antara satu dengan yang lainnya hanyalah pada nama.
Selain dari pandangan diatas dia juga memfatwakan :
1. Ibadah shalat dapat diganti dengan mengerjakan shalat mulai dari tenggelam
matahari sampai siang terus-menerus. Dengan ini terhapuslah kewajiban shalat
seumur hidup.

2. Zakat dapat diganti dengan sodaqoh.


3. Puasa Ramadhan boleh diganti dengan mengerjakan puasa tiga hari tiga malam
terus-menerus di luar Ramadhan.
4. Orang yang ingin mengerjakan haji boleh saja ia kerjakan di sembarang tempat
di luar Makkah, dan thawafnya cukup dengan mengelilingi sesuatu yang
berbentuk segi empat di bulan haji, ditambah dengam memberi makan 30 orang
anak yatim.
Ajaran di atas sangat menggemparkan para fuqaha yang berpegang teguh
dengan sunah. Karena adanya ajaran ini, Ibnu Daud berfatwa bahwa ajaran Al-
Hallaj menyesatkan. Fatwa ini akhirnya menjadi fatwa resmi, sehinggga
mengakibatkan Al-Hallaj dibawa ketiang gantungan.
Tasawuf di periode IV ini sudah mulai mengembangkan sayapnya ke luar
tanah Arab, seperti ke Iran, India, Afrika, dan lain-lain. Tasawuf dikurun ini
ditandai dengan :
1. Tumbuhnya tarekat-tarekat yaitu menentukan Dzikir-dzikir untuk diamalkan di
dalam zawiyah-zawiyah. Tarekat-tarekat yang timbul pada periode ini antara
lain : Tarekat As-Suqtiyah, Tarekat Khazzariyah, Tarekat Nuriyah, dan Tarekat
Mulamatiyah.
2. Mulai masuknya ajaran filsafat ke dalam tasawuf islam.
3. Masuknya pengaruh Syi’ah atas jiwa tasawuf, sehingga timbullah ajaran-ajaran
tentang wali.

5 Periode V Masa Pencerahan (450 H – 550 H)


Kedatangan Al-Ghazaly (450 – 505 H = 1057 – 1111 M) keatas panggung
sejarah tasawuf islam, membawa perhatian umum ummat islam kembali kepada
tasawuf. Tasawuf yang selama ini dipertentangkan dengan fiqh dan ilmu kalam,
atas usaha orang besar ini dapatlah dipertautkan kembali.
Usaha Al-Ghazaly yang terbesar ialah mengadakan pencerahan kembali
ilmu tasawuf dan mengembalikannya ke medan-medan ilmu keislaman, setelah
sekian lama tenggelam akibat kerusakan-kerusakan berat yang ditimbulkan oleh
ahli-ahli tasawuf yang sebelumnya kurang mengerti seluk beluk ajaran islam.
Dalam hal ini, jalan usaha Al-Ghazaly yang pertama ialah menyatukan
antara fiqh tasawuf dan ilmu kalam, sehingga hilang jurang pemisah antara
ketiganya, antara satu dengan yang lain saling membutuhkan seperti tali berpilin
tiga. Usaha ini terlihat dengan jelas di dalam Ihya Ulumuddin. Dalam usaha besar
ini Al-Ghazaly tidak bosan-bosannya menuangkan buah pikirannya dalam buku-
buku, baik besar maupun kecil.

6 Periode VI Masa jayanya Tasawuf Falsafi (550 H – 700 H)


Al-Ghazaly telah memulihkan pandangan umum yang selama ini sinis
kepada tasawuf. Atas usaha Al-Ghazaly ini tumbuhlah kembali tasawuf itu
dengan suburnya bersama-sama dengan fiqh dan ilmu kalam.
Tetpai disamping usaha Al-Ghazaly ini, tasawuf Al-hallaj yang sudah mendarah
daging dalam pribadi pengikut-pengikutnya, secara diam-diam tumbuh juga,
bahkan mengambil bentuk yang lebih ekstrim dari pendahulunya.
Usaha Al-Ghazaly memadukan antara ilmu-ilmu keislaman yang sudah
mulai cerah dan berhasil itu, mulai mundur kembali karena semakin besarnya
pengaruh tasawuf ala Al-Hallaj yakni perpaduan tasawuf dengan filsafat. Atas
perpaduan antara tasawuf dan filsafat ini timbullah filosofi-filosofi sufi yang buah
fikirannya tidak jauh berbeda dengan Al-hallaj, mereka itu antara lain :
Syuhrawardi, Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, Ibnu Sabi’in, Abu Sa’id, Al- Anshari,
Majdudin Sina’i, Fariduddin Al-Athar, dan Jalaludin Rumi.

7 Periode VII masa Pemurnian (700 H – .....)


Dalam periode VII inilah munculnya para pemurni Tasawuf Islam yang
menghapuskan ajaran-ajaran tasawuf yang berbau syirik, bid’ah, dan khurafat.
Bahkan bukan hanya dibidang tasawuf saja, tetapi dibidang ilmu-ilmu lainpun
mereka mengoreksi dan menghapuskan segala hal yang dipandnag bukan dari
ajaran Al-Qur’an dan As-Sunah.
Semenjak meninggalnya Al-Ghazaly, tasawuf telah bercampur-baur dengan
filsafat-filsafat Yunani, Hindu, Persia dan filsafat-filsafat lain. Dan disamping itu
masuk pula perasaan-perasaan yang mendorong manusia untuk memperkuat
ibadat dan perasaanya sendiri tanpa menurut ajaran yang telah dibentangkan di
dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Di kala itu muncullah Ulama’ul-ishlah yang membersihkan dan
memurnikan ajaran tasawuf itu kembali dari noda-noda yng mengotorinya.
Mereka itu antara lain : Ibnu Taimiyah Al-Harrani, Ibnu Qoyyim Al-jauziyyah,
As-Sanusi, Jamaluddin Al-Afghani dan lain-lain.

C PERKEMBANGAN TASAWUF DI NUSANTARA


Perkembangan ilmu tasawuf di nusantara, dibagi dalam tiga peiode :
1. Periode I Masa Pertumbuhan
2. Periode II Masa Perkembangan
3. Periode III Masa Pemurnian
Untuk lebih jelasnya diterangkan sebagai berikut :
1. Periode I Masa Pertumbuhan Tasawuf
Penyebaran islam di Indonesia tidak terlepas dari dakwah yang dilakukan
oleh Wali Songo khususnya di pulau jawa dan juga syekh Siti Jenar. Agama islam
masuk ke Indonesia sekitar abad keempat dan kelima Hijriah, maka paham-paham
sufi dan tasawuf yang sedang tersiar luas dan mendapat perhatian umum dalam
negara-negara islam ketika itu, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari materi
dakwah yang disampaikan di Indonesia. Dari sinilah mulai tumbuhnya tasawuf di
Indonesia. Berarti tasawuf itu tumbuh sejak islam masuk ke Indonesia yang di
bawa oleh para pedagang atau orang yang memang khusus datang untuk
menyiarkan agama islam seperti para Wali songo dan orang-orang yang telah
mempelajari tasawuf negerinya.
Di antara ulama yang muncul pada waktu ini adalah:
a. Hamzah Al-fansuri
Hamzah Al-Fansuri ini menganut faham wujudiyah, seperti faham Ibnu
Arabi, Ibnu Sabi’in dan lainnya. Selain itu ia juga menganut tarekat Qadariyah
yang di bangsakan kepada Abdul Qadir Al-Jailani. Selain sebagai sufi termasyhur,
beliau juga sebagai sastrawan, seperti buku-bukunya syair Burung Pingai, Syair
Dagang dan lain-lain.
b. Abdur Rauf Al-fanshuri
Beliau adalah pembawa tarekat Syaththariyah di Aceh yang dipelajarinya
dari Syekh Ahmad Al-Qasyasy di Madinah. Selain mempunyai murid yang
banyak, beliau juga giat menulis buku-buku. Di antara buku-bukunya ialah
Umdatul Muhtajin, ta’birul Bayan, Mir’atuth Thulab dan lain-lain.
c. Nuruddin Ar-Raniri
Beliau adalah seorang sufi yang tidak termakan ajaran Ibnu Arabi.
Tauhidnya itu tidak bergeser sedikitpun oleh tipuan khayal falsafi. Dialah yang
menjadi penentang Hamzah Al-fansuri. Beliau juga mempunyai karya yang
banyak diantaranya Tajus Salathin.
d. Syekh Burhanuddin Ulakan
Beliau berasal dari Ulakan Pariman Propinsi Sumatera Barat. Beliau
belajar dengan Syekh Abdur-Rauf Fansuri di Barus selama 13 tahun. Kemudian
menyebarkan ilmunya di Minangkabau.
2. Periode II Masa Perkembangan
Sepeninggal ulama-ulama yang kita sebut di atas berkembanglah tasawuf
di Nusantara ini, terutama dalam bentuk tarekat-tarekat. Sedangkan ajaran-ajaran
tentang wahdatul wujud mulai mengabur dari bumi Nusantara. Dalam periode ini
muncullah ulama-ulama antara lain :
Syekh Abdush-Shamad Al-Falimbani
Beliau adalah anak dari Syekh Abdul jalil yang berasal dari Yaman. Beliau
dilahirkan di Palembang dan belajar ilmu di makkah dan Madinah.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Beliau lahir pada tanggal 13 Shafar tahun 1122 H di Banjarmasin. Beliau


adalah seorang sufi yang luas pengetahuannya dalam masalah fiqh syafi’i.
Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
Beliau adalah satu-satunya sufi yang menganut faham wujudiyah di
periode II ini, dengan bukunya Ad-Durrun Nafis.
3. Periode III Masa Pemurnian
Di periode ini muncullah ulama’-ulama’ seperti Syekh Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi, Syekh Muhammad jamil Jambek, Dr. Syekh Abdullah Ahmad
dan lain-lain yang kritis dalam mempertahankan ajaran murni agama islam.
Merka tidak segan-segan menentang lawannya, membersihkan masyarakat dari
syirik, bid’ah, dan khurafat.
Kita akui meskipun usaha pemurnian tasawuf belum sepenuhnya berhasil,
namun kita telah dapat melihat faktanya dewasa ini, pengaruh faham-faham
wujudiyah, ittihad dan hulul sudah dapt dihilangkan dan tarekat-tarekat sudah
mulai menciut, meskipun ada pembela-pembelanya.
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat
lembaga tidak terlepas dari perkembangandan perluasan tasawuf itu sendiri.
Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang yang berhasrat
mempelajarinya. Mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang luas dalam pengamalan tadawuf yang dapat menuntun mereka.
Belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan
pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat partikal adalah suatu keharusan bagi
mereka. Seorang guru tasawuf biasanya memang memformulasikan suatu sistem
pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah
yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari
tarekat yang lain.
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula
timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namum, Harun
Nasution mengatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang
sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia islam, tetapi
perkembangannya melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-
sufi besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya.
Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat (disebut juga
zawiyah, hangkah, atau pekir). Ini merupakan tempat para murid berkumpul
melestarikan ajaran tasawufnya, ajaran tasawuf walinya, dan ajaran tasawuf
syaikhnya.
Organisasi serupa mulai timbul pada abad XII M, tetapi belum baru
tampak perkembangannya pada abad-abad berikutnya. Disamping untuk pria, ada
juga tarekat untuk wanita, tetapi tidak berkembang dengan baik seperti tarekat
untuk pria.
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu
Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa,
diantaranya :
1. Tarekat Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad Al-Yasavi (wafat 562
H/1169M) dan disusul oleh tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh
Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani (wafat 617 H/1220M). Kedua tarekat ini
menganut paham tasawuf Abu Yazid Al-Bustami (wafat 425 H/1034M)
dan dilanjutkan oleh Abu Al-Farmadhi (wafat 477 H/1084 M) dan Yusuf
bin Ayyub Al-Hamadani (wafat 535 H/1140 M). Tarekat Yasaviyah
berkembang ke berbagai daerah, antara lain ke Turki. Disana, tarekat ini
berganti nama dengan Tarekat Bektashiya yang diidentikan kepada
pendirinya Muhammad 'Ata' bin Ibrahim Hajji Bektasy (wafat 1335 M).
Tarekat ini sangat populer dan pernah memegang peranan penting di Turki
yang dikenal dengan Korp Jenissari yang diorganisasikan oleh Murad I
pada masa Turki Utsmani.
2. Tarekat Naqsabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-
Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari ( wafat 1389 M) di Turkistan. Dalam
perkembangannya, tarekat ini menyebar ke Anatolia ( Turki ) kemudian
meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang
disesuaikan dengan pendirinya di daerah tersebut, seperti tarekat
Khalidiyah, Muradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.
3. Tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar Al-Khalwati ( wafat 1397
M ). Tarekat Khalwatiyah adalah salah satu tarekat yang terkenal
berkembang di berbagai negeri, seperti Turki, Siria, Mesir, Hijaz, dan
Yaman. Di Mesir tarekat khalwatiyah didirikan oleh Ibrahim Ghulsheini (
wafat 940 H/1534 M ) yang kemudian terbagi pada beberapa cabang,
antara lain tarekat sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad bin Abd
Al-Karim As-Samani (1718-1775). Tarekat ini dikenal jugadengan nama
tarekat hafniyah.
Tarekat Khalwatiyah pertama kali muncul di Turki dan didirikan oleh
Amir Suktan (wafat1439 M). Dari rumpun Mesopotamia yang berpusat di
Irak, paham tarekatnya bersumber dari Abu Al-Qasim Al-Junaidi (wafat
298 H/910 M) yang melahirkan berbagai tarekat dari berbagai garis
silsilah. Akan tetapi, yang terkenal adalah tarekat suhrawardiyah yang
didirikan oleh Abu Hafs As-Suhrawardi (632 H/123 M), tarekat
kubrawiyah yang didirikan oleh Najmuddin Kubra (618 H/1221 M), dan
tarekat maulawiyah yang didirikan oleh Jalaluddin Ar-Rumi (1207-1273
M). Tiap-tiap tarekat ini kemudian menumbuhkan berpuluh-puluh cabang
dengan berbagai nama baru sesuai dengan nama pendirinya yang tumbuh
dan tersebar ke seluruh dunia islam. Akan tetapi, tarekat Kubrawiyah
sangat berkembang di India, sedangkan Mulawiyah tumbuh subur di
kawasan Turki.
4. Tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Safiyuddin Al-Ardabili (wafat
1334 M).
5. Tarekat Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (wafat 1430 M).
Didaerah Mesopotamia masih banyak tarekat yang muncul dalam
periode ini dan cukup terkenal, tetapi tidak termasuk rumpun Al-Junaid.
Tarekat-Tarekat ini antara lain adalah :
Tarekat Qadiriyah yang Tarekat yang tergolong dalam kelompok
Qadiriyahini cukup banyak dan tersebar keseluruh negeri Islam. Tarekat
Faridiyah di Mesir yang dinisbatkan kepada Umar bin Al-Farid (1234 m) yang
mengilhami tarekat Sanusiyah (Muhammad bin Ali Al-Sanusi, 1787-1859 M)
melalui tarekat Idrisiyah (Ahmad bin Idris) di Afrika Utara, merupakan
kelompok Qadiriyah yang masuk ke Indi melalui Muhammad Al-Ghawth
(1517 M) yang kemudian dikenal dengan tarekat Al-Ghawtiyah atau Al-
Mi’rajiyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi (1041 H/1631
M).
1. didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir Al-Jailani (471 H/1078 M).
2. Tarekat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-
Syadzili (593-656 H/1196-1258 M).
3. Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmadbin Ali Ar-Rifa’i(1106-1182
M).
Karena banyaknya cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat
induk, sulitbagi kita untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu secara
sistematis dan konsepsional. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan penjelasan
Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni
suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka
perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi
meninggalkan ribat gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan
cara ini, dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang, dari ribat cabang
tumbuh ribat ranting, dan seterusnya sampai tarekat itu berkembang ke
berbagai dunia Islam. Namun, ribat-ribat tersebut tetap mempunyai ikatan
kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syaikhnya yang
pertama.
D Syariah, Tarikat, Hakikat, dan Makrifat
Secara etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Allah
perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan
seluruh kebajikan. Kata syariat berasal dari kata syar’a al-syai’r yang berarti
menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Atau berasal dari kata syir’ah dan
syariah yang berarti suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air
secara langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan
alat lain. Syariat dalam istilah syar’i hukum-hukum Allah yang disyariatkan
kepada hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah
nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan. Syariat dalam penjelasan
Qardhawi adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
Al-Qur’an dan sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti
ijma’ dan qiyas. Syariat Islam dalam istilah adalah apa-apa yang disyariatkan
Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak,
muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih
keselamatan di dunia dan akhirat.
Dari segi Bahasa tarikat berasal dari Bahasa arab thariqat yang artinya
jalan, keadaan, dan aliran dalam garis sesuatu. Jamil Shaliba mengatakan,
bahwa secara harfiah tarikat berarti jalan yang tenang, dan lurus yang
memungkinkan pada tujuan dengan selamat. Selanjutnya pengertian tarikat
berbeda menurut pemikiran masing-masing. Dikalangan muhadisin tarikat
digambarkan dalam dua arti yang asasi. Pertama menggambarkan sesuatu yang
tidak dibatasi terlebih dahulu (lancer), kedua didasarkan pada sistem yang jelas
yang dibatasi sebelumnya. Selain itu tarikat juga diartikan sebagai sekumpulan
cara-cara yang bersifat renungan, dan usaha indrawi yang mengantarkan pada
hakikat atau sesuatu yang benar.
Selanjutnya istilah tarikat lebih banyak digunakan oleh para ahli
tasawuf. Mustafa Zahri dalam hubungan ini menyatakan tarikat adalah jalan
atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat-
Nya, tabi’in dan tabi’at yang turun temurun hingga sampai pada guru-guru
secara berantai sampai pada masa kini.
Lebih khusus lagi tarikat dikalangan sufiyah berarti sistem dalam
rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela
dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak dzikir
dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dan bersatu
secara ruhiyah dengan Allah SWT.
Harun Nasution menyatakan bahwa tarikat adalah jalan yang harus
ditempuh seorang sufi dengan tujuan agar berada sedekat mungkin dengan
Tuhan. Hamka menyatakan bahwa diantara makhluk dengan Kholiq itu ada
perjalanan hidup yang harus ditempuh. Inilah yang dikatakan tarikat. Dan
karena tarikat itu merupakan jalan yang yang harus dilalui untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT, maka orang yang menjalankan tarikat itu harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak
langkah guru, melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan
yang hakiki.
4. Berbuat dan mengisi waktu seefesien mungkin dengan segala wirid dan
do’a guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat (statiun)
yang lebih tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai
amal.
Dari sejian banyak aliran tarikat yang ada terdapat sekurang-kurangnya
tujuh aliran tarikat yang berkembang diindonesia, yaitu tarikat Qadariyah,
Rifaiyah, Naqsabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Al-Hadad dan tarikat
Khalidiyah. Adapun tata cara pelaksanaan tarikat antara lain:
a) Zikir, yaitu menngat terus menerus kepada Allah dalam dati dan
menyebutkannya dalam lisan.
b) Ratib, yaitu mengucap lafal laa illaha illa Allah dengan gaya, gerak dan
irama tertentu.
c) Muzik, yaitu membaca wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan
bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rabana.
d) Menari, yaitu gerak yang dilakukan untuk mengiringi wirid-wirid dan
bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
e) Bernafas, yaitu mengatur cara berdafas dalam melakukan berzikir yang
tertentu.
Hakikat artinya i`tikad atau kepercayaan sejati (mengenai Tuhan),
maka hakikat ini pekerjaan hati. Sehingga tidak ada yang dilihat didengar
selain Allah, atau gerak dan diam itu diyakini dalam hati pada hakikatnya
adalah kekuasaan Allah. (Abdurrahman Siddik Al Banjari ,1857 kitab Amal
Ma`rifat).
Hakikat; adalah kebenaran, kenyataan (Poerwadarminta,1984) hakekat
menyaring dan memusatkan aspek-aspek yang lebih rumit menjadi keterangan
yang gamblang dan ringkas, hakikat mengandung pengertian-pengertian
kedalam aspek yang penting dan instrinsik dari benda yang dianalisa (Konsep
Dasain Interior II, Olih Solihat Karso).
Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu, haqiqotan yang berarti
kebenaran sedangkan dalam kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah:
Yang sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya (Partanto, pius A,
M. Dahlan al barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994, Arkola, Surabaya).
Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti
kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran.
Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi
menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya,
tiada yang lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya. Hakekat
ini akan di akan dicapai seseorang setelah mencapai makrifat yang sebenar-
benarnya dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan Allah
artinya sinyal kita benar nyambung kepada Allah, sehingga ada diantara kita
yang memiliki indra ke 6.
Dapat di ibaratkan buah , jadi yaitu biji benih (syariat) pada tingkatan
tharikat menjadi batang yang becabang, berdaun jika pada tingkatan ini kita
amalkan buah dari tharekat, akhlak, bisa menahan nafsu, sabar, tawaduk kita
akan memperoleh buah (maqam mahmudah) jadi dengan Allah tiada hijab atau
tabir atau penghalang lagi.
Kemudian ma’rifat berasal dari Bahasa arab yaitu kat arafa, yu’rifu,
Irfan, ma’rifatan yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan dapat pula
bebarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi
daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umunya. Ma’rifah
adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir,
tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal
ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui
hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud dari yang satu.

Selain itu ma’rifat digunakan untuk menunjekkan suatu tingkatan


dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan
mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan
jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu yaitu Tuhan.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifat adalah
menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dalam hati
sanubari.
Selanjutnya dari literature yang diberikan tentang mar’rifat sebagai
dikatakan Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifat berarti mengetahui
Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu
orang-orang sufi mengatakan:
a) Kalua mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata
kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah
SWT.
b) Ma’rifat adalah cermin kalua seorang arif melihat kecermin itu yang akan
dilihatnya hanyalah Allah.
c) Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun
hanyalah Allah.
d) Sekiranya ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat
padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya.
Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang
gilang-gemilang.
BAB III
PENUTUP
A Simpulan
Akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya
untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan”.
Adapun pengertian tasawuf menurut Harun Nasution terdapat lima
istilah yang berkenaan dengan tasawuf yaitu as-suffah (ahl al-suffah)
(orang yang ikut pindah dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah), saf
(barisan), sufi (suci), Sophos (hikmat) dan suf (kain wol).
Nasawuf dapat di definisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan)
yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang
dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang
menyatakan bahwa sumber atau unsur yang membentuk tasawuf itu ada
lima, yaitu Unsur Islam, Unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Yunani,
Unsur Hindu/Budha dan Unsur Persia.
Sejarah Tasawuf
A. Periode I masa rasulullah saw. (13 Sebelum Hijriah – 11 H)
B. Peride II Masa sahabat (11 H – 40 H)
C. Periode III Masa Tabi’in (41 H – 100 H)
D. Periode IV Meluasnya Tasawuf (100 H – 450 H)
E. Periode V Masa Pencerahan (450 H – 550 H)
F. Periode VI Masa jayanya Tasawuf Falsafi (550 H – 700 H)
G. Periode VII masa Pemurnian (700 H – .....)
Kata syariat berasal dari kata syar’a al-syai’r yang berarti
menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Jamil Shaliba mengatakan,
bahwa secara harfiah tarikat berarti jalan yang tenang, dan lurus
yang memungkinkan pada tujuan dengan selamat. Hakikat yang
berarti kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi
menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini
seyakin-yakinya, tiada yang lebih indah kecuali mencitai Allah swt
dan mentaatinya. Kemudian ma’rifat berasal dari Bahasa arab yaitu
kat arafa, yu’rifu, Irfan, ma’rifatan yang artinya pengetahuan atau
pengalaman.

B Saran
Berdasarkan uraian pada bab kajian teoritis,maka kelompok kami
memberikan beberapa saran untuk pembaca. Ada pun saran yang kami
sampaikan adalah bahwa kita sebagai umat islam harus memahami konsep
dasar ajaran islam dengan baik. Salah satunya dengan mempelajari dan
mengetahui ilmu ketuhanan yang nantinya akan lebih mendekatkan diri kita
kepada Sang Pencipta.
DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. Prof. Dr. H. M.A, Akhlak Tasawuf dan karakter mulia (Bandung:
Raja grafindo,2013)
Elkahalkhanin.blogspot.co.id
Anwar Rosihon,dkk. Ilmu Tasawuf. (Bandung: R

Anda mungkin juga menyukai