Anda di halaman 1dari 8

PRINSIP DASAR TASAWUF LAA MAUJUD DAN LAA MAQSUD

Disusun dalam rangka memenuhi tugas

Mata kuliah : Akhlak Tasawuf

Dosen pengampu : Dr. Widiastuti, M.Ag.

Disusun oleh :

Ilham Agus Kurniawan (1607026003)

Nabila Rochsa Nur Safitri (1707026048)

Fita Nur Laila (1707026050)

PRODI GIZI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat Illahi Rabbi, yang telah melimpahkan rahmat nikmat
islam dan kesehatan. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “
Prinsip Dasar Tsawuf Laa maujud dan Laa maqsud “. Penyusun makalah ini didasarkan atas
pemenuhan tanggung jawab dan ditujukan sebagai sarana informasi. Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Harapan kami, semoga ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa atau mahasiswi UIN
Walisongo Semarang, serta masyarakat luas. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kata sempurna. Maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam
pembuatan makalah ini.

Semarang, 17 Oktober 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sudah menjadi keyakinan kita bahwa Islam mempunyai ajaran yang istimewa
dibandingkan dengan agama yang lain. Diantaranya adalah tasawuf yang mana sifat –
sifat seorang ahli tasawuf sudah ada pada pribadi Rasulullah SAW. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tasawuf merupakan produk ijtihad tentang ajaran Islam yang
menekankan pada aspek esetorik (batin).
Bila ditinjau dari segi histori Ibnu Khaldun mengatakan bahwa tasawuf merupakan
ajaran Islam yang baru dan bermula dari generasi salaf. Secara metodeologis tasawuf
merupakan jalan kebenaran dan hidayah Allah SWT. Berawal dari sikap pemusatan diri
dalam beribadah, berpaling dari hiasan dan pesona dunia, menjauhkan diri dari kelezatan
harta dan pangkat yang dikejar oleh mayoritas manusia, mengisolasikan diri dari khalayak
manusia untuk bertapa, dan hidup dalam ibadah. Tradisi dan praktik kerohanian ini
merupakan fenomena yang umum pada abad Hijriah dan sesudahnya. Ketika
penghidupan duniawi makin marak maka orang – orang lebih berkonsentrasi pada ibadah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf?
2. Apa yang dimaksud dengan laa maujud?
3. Apa yang dimaksud dengan laa maqsud?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf.
2. Untuk mengetahui maksud dari laa maujud.
3. Untuk mengetahui maksud dari laa maqsud.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tasawuf

Dari segi bahasa, para ahli memberikan berbagai pengertian tentang tasawuf, namun
dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan, bahwa tasawuf adalah sikap mental yang
selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan
dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa tersebut pada dsarnya adalah akhlak yang mulia.

Sedangkan pengertian tasawuf dari segi istilah atau menurut pendapat para ahli
tasawuf sangat tergantung kepada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pakar.
Jika memandang mausia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat
didefinisikan sebagai "upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran
agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt."

Para ahli megemukakan berbagai perbedaan pendat mengenai pengertian tasawuf


diantaranya:

1. Syekh Muhammad Al-Kurdi

Mengatakan bahwa Tasaawwuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahuai
hal ihwal( perbuatan) kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihakannya dari( sifat-sifat
yang buruk) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara Melakukan suluk, melangkah
menuju keridhaan allah dan meningglkan larangannya menuju larangannya.

2. Imam Ghazali

Imam alghazali megemukakan pendapat abu bakar yang mengatakan bahwa


Tasawwuf adalah budi pekerti barang siapa yang memberikan budi pekerti atasmu, berarti ia
memberikan bekal atas dirimu dalam bertasawwuf, maka hamba yang jiwanya menerima
(perintah) untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan suluk
dengan nur (petunjuk) islam dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (Perintah) untuk
melakukan beberapa akhlq (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk nur dengan nur
(petunjuk) imannya.
3. Mahmud amin An-Nawawi

Mengemukakan pendapat Al-Junaid al-Baqhdadi yang mengemukakan bahwa


Tassawwuf adalah memelihara ( menggunakan) waktu.

Dengan beberapa pengertian menurut ahli diatas , maka dapat dikatakan bahwa
tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam
juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai
kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup
menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu
seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.

2.2 Laa Maujuda Illallah ( tidak ada yang maujud kecuali atas izin dan takdir Allah )

Tiada yang maujud, tidak ada yang dapat ditemui, tidak ada yang ADA secara hakiki,
kecuali Allah. Yang wujud (ada) selain Allah itu hanyalah semu. Semua yang ada di dunia
mulai dari kemunculannya kelak akan menghilang. Sedangkan Allah tidak akan pernah
hilang, selamanya “ada”, “ada” yang hakiki.

Pengertian singkatnya adalah bahwa setiap kejadian, baik yang disengaja oleh
manusia ataupun tidak, baik yang sesuai dengan keinginan manusia ataupun tidak, yang
bersifat biasa ataupun luar biasa, yang manis dan yang pahit, yang baik maupun yang buruk,
itu semua adalah atas kudrat dan iradat Allah, atas kuasa dan kehendak Allah.

Posisi makhluk termasuk manusia, tidak ada peran sama sekali yang berpengaruh di
dalan mewujudkan sesuatu, ia hanyalah saluran dan sambungan saja. Daya ikhtiar dan akal
manusia, bagaimanapun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu, tanpa izin dan
kuasa Allah. Ikhtiar dan akal manusia hanya berfungsi sebagai sarana dan penyambung dari
kuasa dan kehendak Allah yang Maha Mutlak. Karena itu, manusia harus menyadari akan
kelemahan dan kekerdilannya di hadapan Allah Rabbul Izzati. Segala hidup dan kehidupan,
bergantung mutlak kepada kuasa dan kehendak Allah, manusia tidak memiliki daya dan
kuasa sedikit pun, kecuali atas kehendak dan kuasa Allah. Inilah yang dikatakan wahdatul
maujud.
2.3 Laa Maqsuda Illallah (tidak ada yang dituju atau dimaksud kecuali keridhaan Allah)

Tiada yang berhak dituju dan berhak dimintai ridhanya selain Allah. Bukan untuk
mengejar urusan dunia, ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan, mengharapkan wibawa
dan penghormatan, bukan pula ingin mendapatkan harta dan wanita. Akan tetapi, itu semua
hanya dilakukan rangka ibadah semata, bekerja dengan ikhlas karena Allah, dan ingin
diridhai oleh-Nya.

Ketika mengucapkan la maqshuda illallah, diikrarkan dalam hatinya, ‘’aku melakukan


perbuatan ini karena mengharap ridha Allah’’. Artinya, aku mengerjakan perbuatan ini,
ibadah ini, dan perintah-Mu yang ini, tiada yang dimaksud dan tiada yang diharapkan kecuali
keridhaan-Mu. Tidak ada yang aku harapkan selain ridha-Mu, sebab takdir apapun yang
menimpaku, pastilah ia kehendak-Mu dan kasih sayang dari-Mu. Meskipun berupa cobaan
atau siksaan, asalkan semuanya berada dalam bingkai ridha-Mu.

Jika segala sesuatu dijalani dalam bingkai keridhaan Allah, tidak ada yang terasa
pahit, sakit, atau pusing. Karena Allah itu Maha baik kepada hamba-Nya, Maha Pengasih,
dan Maha Pemurah. Allah itu Rahman dan Rahim.

Setelah kita berada di jalan Allah, dengan melaksanakan sistem islam dalam seluruh
aspek kehidupan sehari-hari, jangan sampai kita menyimpang dari arah dan tujuan hakiki
yaitu keridhaan Allah. Jauhkan diri kita dari sifat riya, takabbur ambisi dan tujuan-tujuan
duniawi lainnya, yang dapat menghapuskan nilai amal kita. Jadi, kita melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, merealisasikan sistem islam dan menjauhi sistem taghut,
itu tujuannya semata-mata ikhlas mencari keridhaan Allah, bukan yang lainnya. Inilah
wahdatul maqsud (satu tujuan hanya untuk Allah).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia
(sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di
atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin,
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif
sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila
memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada
pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.
Tiada yang maujud, tidak ada yang dapat ditemui, tidak ada yang ADA secara
hakiki, kecuali Allah. Yang wujud (ada) selain Allah itu hanyalah semu. Semua yang
ada di dunia mulai dari kemunculannya kelak akan menghilang. Sedangkan Allah
tidak akan pernah hilang, selamanya “ada”, “ada” yang hakiki.
Tiada yang berhak dituju dan berhak dimintai ridhanya selain Allah. Bukan
untuk mengejar urusan dunia, ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan,
mengharapkan wibawa dan penghormatan, bukan pula ingin mendapatkan harta dan
wanita. Akan tetapi, itu semua hanya dilakukan rangka ibadah semata, bekerja dengan
ikhlas karena Allah, dan ingin diridhai oleh-Nya.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan
kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan dari
segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan
kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang
bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihondan Mukhtar Solihin. 2000. IlmuTasawuf.CV.PustakaSetia :


Bandung

Wahidudin, Khan. 1986. Kritik Terhadap Ilmu Fiqih, Tasawuf, dan Ilmu Kalam.
Gema Insani Press :Jakarta

Abdussalam, Ustadz Abu HudzaifahSuroso. 2000. NII


DalamTimbanganAqidah. Pustaka Al-Kautsar : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai