Konseling Islam
Oleh:
Dosen Pengampu:
MEDAN
2020
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Sesungguhnya segala puji adalah milik Allah SWT. Kita memuji, memohon pertolongan,
serta ampunan-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, penuntun jalan kebenaran, teladan bagi umat Islam, dan rahmat bagi seluruh
alam.
Makalah ini disusun sebagai tugas dari dosen pembimbing pada mata kuliah Konseling
Populasi Khusus dengan judul makalah “Struktur Kepribadian : Nafs Nabatiyyah”. Penulis
berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun penulis menyadari bahwa
makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penyusunan maupun segi
penulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang
hati demi perbaikan tugas selanjutnya.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………………………ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..............................................................................................................................2
A. Pengertian Nafs...................................................................................................................2
BAB III...........................................................................................................................................9
PENUTUP......................................................................................................................................9
A. Kesimpulan..........................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Puncak kelebihannya
bisa lebih mulia dari malaikat, dan titik terendah kekurangannya lebih hina dari binatang.
Tetapi dibalik kelebihan dan kekurangannya itu, manusia adalah makhluk yang penuh
misteri. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul begitu banyak kajian, penelitian
ataupun pemikiran tentang manusia dalam segala aspeknya. Salah satunya adalah tentang
jiwa.
Perbincangan tentang jiwa (al-nafs) dalam dunia Islam sudah di mulai sejak munculnya
pemikir-pemikir Islam di panggung sejarah. Diawali dengan runtuhnya peradaban Yunani
Romawi dan adanya gerakan penerjemahan, komentar serta karya orisinil yang dilakukan
oleh para pemikir Islam terutama pada masa Daulah Abbasiyah, esensi dari pemikiran
Yunani diangkat dan diperkaya. Di sisi lain, para filsuf muslim juga terpengaruh oleh
pemikiran Yunani dalam membahas nafs (jiwa), sehingga kubu filsafat Islam diwakili oleh
Ibnu Rusyd terlibat perdebatan akademik berkepanjangan dengan al-Ghazali. Dalam kurun
waktu lebih dari tujuh abad, nafs (jiwa) dibahas di dunia Islam dalam kajian yang bersifat
sufistik dan falsafi.
B. Rumusan Masalah
1. Jelasakan pengertian nafs ?
2. Jelaskan pengertian nafs nabatiyyah ?
3. Sebutkan dan jelaskan macam-macam nafs nabatiyyah ?
4. Jelaskan daya-daya nafs nabatiyyah ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang pengertian nafs.
2. Menjelaskan tentang nafs nabatiyyah.
3. Menjelaskan macam-macam nafs nabatiyyah.
4. Menjelaskan daya-daya nafs nabatiyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafs
Nafs (jiwa) ditinjau dari segi bahasa, berasal dari bahasa Arab, Nafsun (kata mufrad)
jama’nya, anfus atau Nufusun dapat diartikkan sebagai ruh, nyawa, tubuh dari seseorang,
darah, niat, orang dan kehendak.2 Dalam bahasa Inggris Psycho diartikan jiwa atau mental
jiwa. Menurut bahasa Indonesia jiwa adalah: roh manusia yang ada di tubuh dan
menyebabkan hidup, atau seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan,
pikiran angan-angan dan sebagainya.
Secara istilah, kata jiwa dapat merujuk pada beberapa pandangan ulama dan filosf muslim.
Para filosof muslim-terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina umumnya sepakat
mendefiniskan bahwa jiwa adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah,
mekanistik dan memiliki kehidupan yang energik.”5 Secara lebih rinci, yang dimaksudkan
‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah’ adalah bahwa manusia dikatakan
menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan
kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik material. Kemudian makna
‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu
anggota tubuhnya yang bermacam-macam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan yang
energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk
menerima jiwa.1
1
Mahmud Qasim, Fi an-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-‘Ighriq wa al-Islam, cet. IV (Kairo:
Maktabah al-Injilu al-Mishriyah, 1969), 73-74.
2
menjadi pegangan bagi manusia agar mereka terbimbing dengan petunjuk-Nya ke jalan yang
benar, serta membacanya bernilai ibadah, semua firman itu telah terhimpun di dalam mushaf
yang diawali dengan surat al-Fatihah dan di tutup dengan surat al-Nas, diriwayatkan secara
mutawatir dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tulisan dan lisan serta senantiasa
terpelihara keorisinalannya dari segala bentuk perubahan dan penukaran atau penggantian.
1. Sebagai agama yang memberikan dan melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya, Islam
datang sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk semesta alam. Serta mampu
membimbing umat Islam di manapun dan kapanpun. Namun kenyataannya
mendapatkan rahmat al-Qur’an bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan segala upaya
intelektual dan metodologi penafsiran yang cocok. sertametodologi yang sesuai
penafsiran, al-Qur’an baru dapat diajak berdialog dalam suasana bagaimanapun dan
dimanapun. Pada dasarnya metodologi penafsiran telah dibentuk oleh ulama-ulama salaf
sebagai upaya mereka mendialogkan al-Qur’an dengan konteks mereka. Ketika
metodologi itu dibawa ke konteks yang berbeda, maka tidak mampu mendialogkan al-
Qur’an sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Jadi untuk menjadikan al-Qur’an
terus berbicara maka membutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi
perkembangan zaman sehingga al-Qur’an menjadi elastis dan fleksibel.
2. Secara normatif dalam ayat-ayat al-Qur’an telah mengklaim dirinyasebagai kitab
petunjuk. Oleh karena itu al-Qur’an juga bernama al-Huda, tetapi secara historis justru
sebenarnya manusialah yang membutuhkan al- Qur’an jika menginginkan kehidupannya
berada pada jalan yang lurus. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan
manusia dipenuhi dengan permasalahan. Dari masa-kemasa, permasalahan selalu
menyesuaikan tempat dan waktunya, hubungannya dengan yang lain dan seterusnya
3. Latar belakang ataupun cakrawala sejarah dari penulis atau penafsir sebuah teks menjadi
salah satu faktor yang banyak diperhitungkan. Tidak bisa dipungkiri memang setiap
makhluk di dunia ini dipaksa beradaptasi dengan lingkungan dan sebaliknya, kondisi
sekitar baik alam maupun makhluk hidup lain kental membentuk karakter dan
mewarnaipola pikir makhluk tersebut. Begitu juga apa yang terjadi terhadap Imam Al-
Mahalli dan Imam Al-Suyuti, ia tentu membawa gagasan-gagasan yang diwarnai sejarah
personal, sosial dan ideologinya pada masanya, Riwayat hidup Imam Al-Mahalli tak
terdokumentasi secara rinci. Hal ini disebabkan ia hidup pada masa kemunduran dunia
3
Islam. Ia tak memiliki banyak murid, sehingga segala aktivitasnya tidak terekam dengan
jelas. Walau begitu, Imam Al-Mahalli dikenal sebagai orang yang berkepribadian mulia
dan hidup sangat pas-pasan, untuk tidak dikatakan miskin. Guna memenuhi kebutuhan
sehari-hari, ia bekerja sebagai pedagang. Meski demikian kondisi tersebut tidak
mengendurkan tekadnya untuk terus mengais ilmu. Tak mengherankan jika ia
mempunyai banyak karangan yang salah satunya adalah Tafsir al-Qur’an al-’Adzim
yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Jalalain tetapi belum sempurna.2
Sedangkan Imam Al-Suyuti yang menyempurnakan “proyek” gurunnya. Pada mulanya
beliau tidak berminat menulis tafsir ini, tetapi demi memelihara diri dari apa yang telah
disebutkan oleh firman-Nya :
Artinya : “Dan barang siapa yang buta hatinya didunia ini, niscaya diakhirat nanti ia
akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”. (Q.S al-Isra’ : 72)
Maka dia menulis kitab ini, kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad, tanggal 10 Syawal
870 Hijriah, Penulisannya di mulai pada hari rabu, awal ramadhan dalam tahun yang
sama, kemudian konsep jadinya diselesaikan pada hari Rabu 8 Safar 871 Hijriah. Imam
Al-Mahalli dan Imam Al-Suyuti mempunyai konsep yang brilian tentang konsep an-
nafs al-Muthmainnah dalam tafsirnya Jalalain. Diantaranya beliau menguaraikan al-
Qur’an surat (Q.S al-Dzuriyat ayat : 21)
Allah berfirman:
Artinya: “ Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan”
(Q.S al-Dzuriyat ayat: 21)
Ayat diatas bisa dipahami sebagai seruan Allah yang mengisyaratkan bahwa betapa
pentingnya menganalisis diri pribadi (anfus) manusia. Di dalam al-Qur’an telah cukup
banyak diterangkan tentang konsep manusia. Salah satu yang diterangkan dalam al-
Qur’an adalah tentang rahasia-rahasia yang ada dalam diri manusia (anfus),
sebagaimana firman Allah dalam (Q.S Fushilat ayat : 53).
2
Nusruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yokyakarta : Pustaka pelajar, 2005. hlm.16-17
4
C. Macam-Macam Nafs Nabatiyyah
Kata “nafsu” berasal dari bahasa Arab, nafsun (kata mufrad) jama'nya, anfus atau nufusun
dapat diartikan ruh, nyawa, tubuh dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak atau
keinginan (kecenderungan, kerja) hati yang kuat. Secara istilah nafsu, adalah la? Hifah /
sesuatu yang lembut pada diri seseorang yang menimbulkan keinginan seseorang atau
berkerja-kerja hati yang kuat untuk memuaskan kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
jasmani maupun. Misalnya keinginan makan, minum, disanjung, dll. Karena itu sering
disebut dengan hawa nafsu. Ketika menelaah ayat-ayat Alquran, kita temukan ayat-ayat
tersebut menunjukkan berbagai keadaan jiwa manusia dan menamainya dengan nama-nama
yang berbeda mencerminkan tingkat kondisi jiwa / nafsu.
Adapun tiga macam nafsu tersebut sebagai berikut :
A. Nafsu Ammarah
Diambil dari ayat Alquran surah Yusuf: 53
"Dan aku tidak membebaskan (dari kesalahan), karena sebenarnya nafsu itu selalu
memerintahkan kejahatan pada diriku, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang " (QS. Yusuf: 53).
Nafsu ini memerintahkan seseorang kepada keburukan. Apabila ia ajakan kepada pesan,
sesungguhnya di neraka, menyimpan maksud yang buruk, maka hasil akhirnya juga
buruk. Maka setiap keinginan nafsu harus dicurigai, tidak boleh begitu saja menerima.
B. Nafsu Lawwamah
Berdasarkan ayat Alquran surah al-Qiyamah 2:
"Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri) " (QS. Al-
Qiyamah: 2).
Yang dimaksud dengan an-nafs al-lawwamah adalah jiwa orang Mukmin yang
mencelanya di dunia atas kemaksiatan, memandang berat ketaatan, dan keuntungan
manfaat pada Hari Kiamat. Ketika seseorang menyatakan nafsu ini dan bersaing dengan
nafsu ini ikut dengan suatu yang benar menurut syariat, maka seorang pun takkan mampu
mengalahkan nafsu ini. Kemudian nafsu ini akan kembali ke pemiliknya dengan dicela-
cela dirinya.
5
C. Nafsu Mutmainnah
Diambil dari ayat Alquran surah Al-Fajr 27-28.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya ” (QS. Al-Fajr: 27-28).
An-Nafs al-muthmainnah Adalah Yang Senang ditunjukan kepada Tuhannya Dan ridha
Terhadap APA Yang diridai-Nya. Disifatinya jiwa itu dengan r? D? Iyah (rida), karena
ketenangannya kepada Tuhannya mendatangkan keridaannya atas apa yang telah
menjadi takdir dan qadha . Dengan demikian, bencana tidak marah dan kemaksiatan
tidak berpaling. Apabila hamba rida kepada Tuhannya maka Tuhan pun rida datang.
Oleh karena itu, firman-Nya: ra? Hiyah (rida) diikuti dengan firman-Nya: mar? Hiyyah
(diridai).
6
makanan saat ini semakin hari semakin tidak sehat. Selain itu, pelajaran yang berkaitan
dengan makanan tentu saja persoalan adab-adabnya. Mengenai tidak pantasnya orang
untuk mengumbar nafsu perut, selalu membicarakan makanan, hobi makan makanan
mahal, mencela makanan yang tidak dirasa enak, dan sebagainya.
3
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Reproduksi diakses pada tanggal 28 Desember 2020, pukul 22:57
7
reproduksi yang sehat karena memang anak zaman sekarang banyak yang tidak
mengetahui kesehatan reproduksi.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nafs (jiwa) ditinjau dari segi bahasa, berasal dari bahasa Arab, Nafsun (kata mufrad)
jama’nya, anfus atau Nufusun dapat diartikkan sebagai ruh, nyawa, tubuh dari seseorang,
darah, niat, orang dan kehendak.2 Dalam bahasa Inggris Psycho diartikan jiwa atau mental
jiwa. Menurut bahasa Indonesia jiwa adalah: roh manusia yang ada di tubuh dan
menyebabkan hidup, atau seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan,
pikiran angan-angan dan sebagainya.
Secara istilah, kata jiwa dapat merujuk pada beberapa pandangan ulama dan filosf muslim.
Para filosof muslim-terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina umumnya sepakat
mendefiniskan bahwa jiwa adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah,
mekanistik dan memiliki kehidupan yang energik.”5 Secara lebih rinci, yang dimaksudkan
‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah’ adalah bahwa manusia dikatakan
menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan
kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik material. Kemudian makna
‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu
anggota tubuhnya yang bermacam-macam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan yang
energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk
menerima jiwa
9
DAFTAR PUSTAKA
10