Anda di halaman 1dari 78

Sifat Shalat Nabi (1): Berangkat Menuju Masjid

Berikut adalah keterangan mengenai sifat shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang
asalnya pembahasan ini berasal dari pembahasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi lalu
dikembangkan dengan menambahkan dari berbagai sumber lainnya.

Pembahasan ini dimulai dari adab menuju ke masjid.

1- Disunnahkan ketika menuju shalat dengan keadaan tenang dan tidak tergesa-gesa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika kalian mendegar iqomah, maka berjalanlah menuju shalat. Namun tetaplah tenang dan
khusyu menuju shalat, jangan tergesa-gesa. Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka
ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah. (HR. Bukhari no. 636 dan
Muslim no. 602).

Jadi dilarang tergesa-gesa ketika hendak pergi ke masjid. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam juga melarang melakukan tasybik yaitu menjalinkan jari jemari. Dari Kaab bin Ujroh,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu memperbagus wudhunya, kemudian keluar
menuju masjid dengan sengaja, maka janganlah ia menjalin jari-jemarinya karena ia sudah
berada dalam shalat. (HR. Tirmidzi no. 386, Ibnu Majah no. 967, Abu Daud no. 562. Al Hafizh
Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Menjalin jari-jemari (tasybik)

2- Ketika masuk masjid meminta rahmat pada Allah dengan membaca dzikir dan doa,

Bismillah wassalaamu ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwaaba


rohmatik (Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-
dosaku dan bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu). (HR. Ibnu Majah no. 771 dan Tirmidzi no.
314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketika keluar masjid meminta karunia Allah dengan membaca dzikir dan doa,

Bismillah wassalaamu ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwabaa fadhlik
(Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku
dan bukakanlah padaku pintu karunia-Mu). (HR. Ibnu Majah no. 771 dan Tirmidzi no. 314.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
3- Mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan mendahulukan kaki kiri ketika keluarnya.

Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat menyukai mendahulukan yang kanan ketika
memakai sendal, ketika menyisir rambut dan ketika bersuci, juga dalam setiap perkara (yang
baik-baik). (HR. Bukhari no. 186 dan Muslim no. 268). Yang dimaksud tarojjul dalam hadits -
kata Ibnu Hajar- adalah menyisir dan meminyaki rambut, sebagaimana disebut dalam Al Fath, 1:
270.

Kaedah dalam masalah mendahulukan yang kanan telah disebutkan oleh Imam Nawawi. Beliau
rahimahullah mengatakan, Mendahulukan yang kanan adalah ketika melakukan sesuatu yang
mulia (pekerjaan yang baik), yaitu saat menggunakan pakaian, celana, sepatu, masuk masjid,
bersiwak, bercelak, memotong kuku, memendekkan kumis, menyisir rambut, mencabut bulu
ketiak, mencukur rambut, memberi salam dalam shalat, mencuci anggota wudhu, keluar kamar
mandi, makan, minum, bersalaman, mengusap hajar Aswad, atau perkara baik semisal itu, maka
disunnahkan mendahulukan yang kanan.

Sedangkan kebalikan dari hal tadi seperti masuk kamar mandi, keluar dari masjid, membuang
ingus, istinja (cebok), melepas baju, celana dan sepatu, dan semisal itu disunnahkan
mendahulukan yang kiri. (Syarh Shahih Muslim, 3: 143).

Masih berlanjut, moga Allah mudahkan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi,
terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.

Ibhajul Muminin bi Syarh Manhajis Salikin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Abdillah
Al Jibrin, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1432 H.

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni
Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Sumber : https://rumaysho.com/6934-sifat-shalat-nabi-1.html
Sifat Shalat Nabi (2): Posisi Tangan Ketika Sedekap

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 17, 2014 Shalat 14 Comments 14,101 Views

Contohlah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat. Saat ini kita akan lihat
kembali sifat shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mulai dari takbiratul ihram hingga
perkara sedekap saat shalat.

4- Jika telah berdiri melaksanakan shalat, lakukanlah takbiratul ihram dengan mengucapkan,
Allahu akbar (artinya: Allah Maha Besar).

Dari Abu Said Al Khudri, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah
ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam. (HR. Tirmidzi no. 238
dan Ibnu Majah no. 276. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).

5- Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak atau ujung telinga (cuping telinga).
Mengangkat tangan seperti ini dilakukan pada empat keadaan yaitu saat:

a- Takbiratul ihram

b- Ruku

c- Bangkit dari ruku

d- Berdiri dari tasyahud awwal

Di antara dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, turun ruku dan
bangkit dari ruku adalah hadits dari Abdullah bin Umar, ia berkata,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar


pundaknya ketika memulai (membuka shalat), ketika bertakbir untuk ruku, ketika mengangkat
kepalanya bangkit dari ruku juga mengangkat tangan, dan saat itu beliau mengucapkan
samiallahu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu. Beliau tidak mengangkat tangannya
ketika turun sujud. (HR. Bukhari no. 735 dan Muslim no. 390).

Juga diterangkan dalam hadits Abu Humaid As Saidi mengenai mengangkat tangan saat bangkit
dari tasyahud awwal, ia berkata,

Kemudian Rasul shallallahu alaihi wa sallam bangkit, kemudian ia melakukan rakaat kedua
seperti rakaat pertama. Sampai beliau selesai melakukan dua rakaat, beliau bertakbir dan
mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan pundaknya sebagaimana yang beliau
lakukan saat takbiratul ihram (ketika memulai shalat). (HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud
no. 963. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Hadits di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa mengangkat tangan itu sejajar dengan pundak.
Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh mengangkat tangan hingga ujung telinga yaitu hadits,


- -

. .

Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika
bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar kedua telinganya. Jika ruku, beliau
mengangkat kedua tangannya juga sejajar kedua telinganya. Jika bangkit dari ruku, beliau
mengucapkan samiallahu liman hamidah, beliau melakukan semisal itu pula. (HR. Muslim
no. 391).

6- Lalu sedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.

Dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata bahwa,




- -

Ia melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai
shalat dan beliau bertakbir (Hammam menyebutkan beliau mengangkatnya sejajar telinga), lalu
beliau memasukkan kedua tangannya di bajunya, kemudian beliau meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri. (HR. Muslim no. 401).

Meletakkan tangan kanan di sini bisa pada telapak tangan, pergelangan atau lengan tangan kiri.
Dalam hadits Wail bin Hujr juga disebutkan,

Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan
tangan, atau di lengan tangan kiri. (HR. Ahmad 4: 318. Syaikh Syuaib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Bisa juga tangan kanan menggenggam tangan kiri (yang dimaksud pergelengan tangan kiri)
sebagaimana disebutkan dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,

Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam
shalat, tangan kanan beliau menggenggam tangan kirinya. (HR. An Nasai no. 8878 dan Ahmad
4: 316. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

7- Saat sedekap, tangan diletakkan di pusar, bawah pusar atau di dada.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa meletakkan tangan ketika sedekap tidak pada tempat
tertentu. Jadi sah-sah saja meletakkan tangan di dada, di pusar, di perut atau di bawah itu. Karena
yang dimaksud mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa sallam di sini adalah meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri. Sedangkan yang lebih dari itu dengan menentukan posisi tangan
sedekap tersebut butuh pada dalil. Meletakkan tangan di dada maupun di bawah pusar sama-
sama berasal dari hadits yang dhoif. (Lihat penjelasan guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath
Athorifi dalam karya beliau Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, hal. 87-90).

Semoga berkelanjutan lagi pada serial berikutnya. Moga Allah mudahkan.


Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi,
terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.

Ibhajul Muminin bi Syarh Manhajis Salikin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Abdillah
Al Jibrin, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1432 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,
terbitan Maktabah Al Maarif, cetakan ketiga, tahun 1424 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thorifi,
terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.

Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Darus Salam, cetakan
keenam, tahun 1424 H.

Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syariyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul Barokat
Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.

Sumber : https://rumaysho.com/6943-sifat-shalat-nabi-2.html
Sifat Shalat Nabi (3): Membaca Iftitah dan Taawudz

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 19, 2014 Shalat 17 Comments 38,504 Views

Saat ini Rumaysho.Com akan melanjutkan kembali tentang sifat shalat nabi. Yang kita bahas kali
ini adalah mengenai membaca doa istiftah dan taawudz.

8- Membaca doa istiftah.

Di antara doa istiftah yang bisa dibaca adalah,

Subhaanakallahumma wa bi hamdika wa tabaarokasmuka wa taala jadduka wa laa ilaha


ghoiruk (artinya: Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha
tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar
selain Engkau. (HR. Muslim no. 399, Abu Daud no. 775, Tirmidzi no. 242, Ibnu Majah no.
804).

Ibnu Taimiyah menyatakan, Disunnahkan membaca doa istiftah tersebut dalam shalat wajib.
Sedangkan doa istiftah yang lain dianjurkan oleh sebagian ulama untuk dibaca pada shalat
nafilah (shalat sunnah). (Kitab Shifatish Shalah min Syarhil Umdah karya Ibnu Taimiyah, hal.
86).

Doa istiftah lain yang bisa diamalkan,

Allahumma baaid baynii wa bayna khothoyaaya kamaa baaadta baynal masyriqi wal
maghrib. Allahumma naqqinii min khothoyaaya kamaa yunaqqots tsaubul abyadhu minad danas.
Allahummagh-silnii min khothoyaaya bil maa-i wats tsalji wal barod (artinya: Ya Allah,
jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara
timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih
dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan
embun). (HR. Bukhari no. 744, Muslim no. 598, An Nasai no. 896, lafaznya adalah dari An
Nasai)

Ibnu Taimiyah berkata, Jika ada yang lupa membaca doa istiftah pada tempatnya, maka ia tidak
perlu mengganti di rakaat kedua. (Kitab Shifatish Shalah, hal. 97).

9- Membaca taawudz.

Bacaan taawudz yang bisa dibaca,





Audzu billahis samiiil aliim, minasy syaithoonir rojiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih
(artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari
gangguan syaitan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang
tercela). (HR. Abu Daud no. 775 dan Tirmidzi no. 242. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan
sanad hadits ini hasan. Pengertian min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih, lihat Kitab Shifatish
Shalah min Syarhil Umdah, hal. 104).

Bisa pula mencukupkan taawudz dengan membaca,

Audzu billahi minasy syaithooni minasy syaithonir rojiim (artinya: aku berlindung kepada
Allah dari setan yang terkutuk). Hal ini berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan
membaca taawudz baik di dalam maupun di luar shalat ketika memulai membaca Al Quran,

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
syaitan yang terkutuk. (QS. An Nahl: 98). (Lihat Kitab Shifatish Shalah, hal. 101).

Taawudz dibaca pada rakaat pertama sebelum memulai membaca surat setelah membaca doa
istiftah. Ibnu Taimiyah berkata, Jika seseorang meninggalkan membaca taawudz di rakaat
pertama, maka hendaklah ia membacanya di rakaat kedua. (Kitab Shifatish Shalah, hal. 97).

Semoga bermanfaat bagi pengunjung setia Rumaysho.Com

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi,
terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.

Ibhajul Muminin bi Syarh Manhajis Salikin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Abdillah
Al Jibrin, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1432 H.

Kitab Shifatish Shalah min Syarhil Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul
Ashimah, cetakan pertama, tahun 1429 H.

Sumber : https://rumaysho.com/6994-sifat-shalat-nabi-3.html
Sifat Shalat Nabi (4): Membaca Al Fatihah

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 20, 2014 Shalat 15 Comments 3,114 Views

Sifat shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kali ini membahas tentang hukum menjaherkan
(mengeraskan) basmalah dan hukum membaca surat Al Fatihah.

10- Setelah membaca taawudz, dilanjutkan membaca basmalah, yaitu bismillahir rahmanir
rahiim (artinya: dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang).

Basmalah tidak dikeraskan, cukup bacaan untuk diri sendiri (lirih). Dari Aisyah, ia berkata,

)
( - -

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan takbir lalu
membaca alhamdulillahi robbil alamin. (HR. Muslim no. 498).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi ketika menjelaskan hadits di atas dalam Umdatul
Ahkam, beliau berkata, Ini adalah dalil bahwa bacaan basmalah tidaklah dijahrkan
(dikeraskan). (Syarh Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sadi, hal. 161).

Juga dalil lainnya adalah hadits Anas, di mana ia berkata,

)
(
- -

Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, juga bersama Abu Bakr,
Umar dan Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca
bismillahir rahmanir rahiim. (HR. Muslim no. 399). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
Yang sesuai sunnah, basmalah dibaca sebelum surat Al Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan
(tidak dikeraskan). (Kitab Shifatish Shalah min Syarhil Umdah karya Ibnu Taimiyah, hal. 105).

11- Membaca surat Al Fatihah.

Membaca Al Fatihah diwajibkan berdasarkan hadits dari Ubadah bin Ash Shoomit radhiyallahu
anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah. (HR. Bukhari no. 756 dan
Muslim no. 394).

Membaca Al Fatihah di sini berlaku bagi imam dan orang yang shalat dan sendirian. Sedangkan
makmum dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) tidak membaca Al Fatihah, ia cukup
mendengarkan, inilah pendapat yang lebih kuat. Karena Allah Taala memerintahkan,

Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al Araf: 204).

Abu Hurairah berkata,

. .

- -



.

Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa
itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: Apakah salah seorang dari kalian ada yang
membaca surat (di belakangku)? Seorang laki-laki menjawab, Saya. Beliau lalu bersabda:
Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an? (HR. Abu Daud no. 826 dan Tirmidzi no.
312. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Masud berkata,

Diamlah saat imam membaca Al Quran karena dalam shalat itu begitu sibuk. Cukup bagimu
apa yang dibaca oleh imam. (HR. Ath Thobroni 9: 264)

Ibnu Umar berkata,

Hendaklah diam ketika imam mengeraskan bacaannya dalam shalat. Dan janganlah baca
bersamanya. (HR. Abdur Rozaq, 2: 139).

Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi berkata, Inilah yang diamalkan oleh mayoritas
sahabat Nabi yaitu diamalkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Ibnu Umar, Abu Hurairah dan
Aisyah. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini di antara para sahabat dengan
perkataan yang shahih dan tegas. Hampir-hampir saja ini jadi ijma sahabat. Ada perkataan dari
Umar yang menyelisihi namun tidak tegas. (Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
hal. 98).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam,
kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan
tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah
membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat. Inilah pendapat Imam Ahmad dan
selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun
tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad.
Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan
atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai
maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam.
(Majmu Al Fatawa, 23: 268-269)

Setelah membaca Al Fatihah diperintahkan membaca aamiin secara jaher (dikeraskan).

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,






Jika imam membaca ghoiril maghdhubi alaihim wa laaddhoolliin, maka ucapkanlah aamiin
karena malaikat akan mengucapkan pula aamiin tatkala imam mengucapkan aamiin. Siapa saja
yang ucapan aamiin-nya berbarengan dengan ucapan aamiin malaikat, maka akan diampuni
dosanya yang telah lalu. (HR. An Nasai no. 928 dan Ibnu Majah no. 852. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi,
terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.

Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syariyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul Barokat
Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.

Kitab Shifatish Shalah min Syarhil Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul
Ashimah, cetakan pertama, tahun 1429 H.

Majmuatul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa dan Dar Ibnu Hazm,
cetakan keempat, tahun 1432 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thorifi,
terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.

Syarh Umdatil Ahkam, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi, terbitan Darut Tauhid,
cetakan pertama, tahun 1431 H.

Sumber : https://rumaysho.com/7005-sifat-shalat-nabi-4.html
Sifat Shalat Nabi (5): Mengeraskan Bacaan dalam Shalat

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 21, 2014 Shalat 18 Comments 4,417 Views

Saat ini kita akan mengulang bacaan surat setelah Al Fatihah dan hukum mengeraskan bacaan
dalam shalat.

12- Membaca setelah Al Fatihah, surat lainnya di dua rakaat pertama dari shalat tiga dan empat
rakaat. Surat yang dituntunkan untuk dibaca:

a- Shalat Shubuh dengan surat thiwalil mufasshol.

b- Shalat Maghrib dengan surat qishoril mufasshol.

c- Shalat wajib lainnya dengan surat awsathil mufasshol.

Surat thiwalil mufasshol adalah mulai dari surat Qaaf hingga surat Al Mursalaat. Surat qishoril
mufasshol adalah mulai dari surat Adh Dhuha hingga akhir Al Quran. Sedangkan surat awsathil
mufasshol adalah mulai dari surat An Naba hingga surat Al Lail.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin berkata, Surat yang dibaca setelah Al Fatihah
adalah bisa satu surat utuh atau sebagiannya saja dari awal, pertengahan atau akhir, itu pun sah.
(Ibhajul Muminin, 1: 143).

Ibnul Qayyim berkata, Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam selesai dari membaca Al
Fatihah, beliau membaca surat lainnya. Kadang beliau baca bacaan yang panjang. Kadang beliau
memperingannya karena maksud safar atau hajat lainnya. Kadang pula beliau membaca bacaan
yang pertengahan (tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek). Yang terakhir inilah yang
umumnya beliau lakukan. (Zaadul Maad, 1: 202)

Namun boleh menambah beberapa ayat pada rakaat setelah dua rakaat pertama. Dari Abu
Qotadah, ia berkata,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat Zhuhur pada dua rakaat
pertama yaitu surat Al Fatihah dan dua surat. Sedangkan dalam dua rakaat terakhir, beliau
membaca Al Fatihah dan beliau juga memperdengarkan pada kami ayat lainnya. Beliau biasa
memperlama rakaat pertama dibanding rakaat kedua. Demikian pula dilakukan dalam shalat
Ashar dan shalat Shubuh. (HR. Bukhari no. 776).

Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa menjaherkan bacaan dalam shalat Shubuh, dua rakaat
pertama dari shalat Maghrib dan Isya. Sedangkan shalat Zhuhur dan Ashar, begitu pula pada
rakaat ketiga shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir shalat Isya disirrkan (dilirihkan). Ada klaim
ijma (kesepakatan ulama) kata Syaikh Al Albani mengenai hal ini. Lihat Shifat Shalat Nabi, hal.
93.

Adapun dalil membaca surat yang panjang dan pendek seperti yang disebutkan tadi,


. - -






.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Aku pernah shalat di belakang seseorang yang shalatnya mirip
dengan shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam daripada yang lainnya. Kami shalat di
belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat pertama dari shalat Zhuhur dan memperingan
dua rakaat terakhirnya. Sedangkan shalat Ashar lebih diperingan dari shalat Zhuhur. Adapun
shalat Maghrib dibacakan surat qishorul mufasshol. Pada shalat Isya dibacakan surat Asy
Syams dan yang semisal dengannya. Adapun shalat Shubuh dibacakan dua surat yang panjang.
(HR. An Nasai no. 983. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

13- Bacaan surat untuk shalat yang dikerjakan di malam hari dijaherkan (dikeraskan).

14- Adapun shalat yang dikerjakan di siang hari disirrkan (dilirihkan) kecuali dijaherkan
(dikeraskan) untuk shalat Jumat dan shalat ied, begitu pula shalat gerhana (shalat kusuf) dan
shalat minta hujan (shalat istisqo).

Syaikh Abdullah Al Jibrin menjelaskan, Sebab di malam hari dijaherkan karena saat itu banyak
aktivitas telah selesai atau berbagai kesibukan telah usai. Saat itu ada hajat untuk mendengar Al
Quran. Sedangkan di siang hari, hati begitu sibuk dengan berbagai pekerjaan, sehingga
diperintahkan membaca untuk diri sendiri.

Adapun shalat Jumat, shalat ied, shalat gerhana dan shalat minta hujan yang dilakukan di siang
hari tetap dengan dijaherkan bacaan karena saat itu banyak kaum muslimin yang berkumpul dan
mereka butuh untuk mendengar lantunan bacaan saat itu. Terkadang sebagian mereka hanya bisa
mendengar lantunan Al Quran pada waktu tersebut. (Ibhajul Muminin, hal. 144).

Sumber : https://rumaysho.com/7017-sifat-shalat-nabi-5.html
Sifat Shalat Nabi (6): Cara Ruku

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 25, 2014 Shalat 6 Comments 32,725 Views

Saat ini kita akan melihat kembali sifat shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yaitu tentang
cara ruku dan bacaannya.

16- Saat ruku, kedua tangan diletakkan di lutut.

Dalam hadits Uqbah bin Amr Al Anshori disebutkan,

Ketika ruku, ia meletakkan kedua tangannya pada lututnya. (HR. Abu Daud no. 863 dan An
Nasai no. 1037. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Abu Humaid As Saidiy berkata mengenai cara shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
beliau berkata,

Jika ruku, beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari-jemarinya.
(HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

Kemudian beliau ruku dan meletakkan kedua tangannya di lututnya seakan-akan beliau
menggenggam kedua lututnya tersebut. (HR. Abu Daud no. 734, Tirmidzi no. 260 dan Ibnu
Majah no. 863. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

17- Saat ruku, kepala dijadikan sejajar dengan punggung.

Abu Humaid As Saidiy berbicara mengenai cara ruku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,



Ketika ruku Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu menunduk
dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung), yang beliau lakukan
adalah pertengahan. (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Wabishoh bin Mabad, ia berkata,






- -

Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku,
punggungnya rata sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan tetap
diam.(HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Kabir dan Ash
Shoghir, begitu pula oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Al Musnad).

18- Kemudian saat ruku membaca subhana robbiyal azhim, dibaca berulang kali.

Ketika ruku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca,

Subhanaa robbiyal azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung). (HR. Muslim no.
772).

Sedangkan anjuran tiga kali disebutkan dalam hadits Ibnu Masud,

Jika salah seorang di antara kalian ruku, maka ia mengucapkan ketika rukunya Subhanaa
robbiyal azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung), dibaca sebanyak tiga kali.
(HR. Tirmidzi no. 261, Abu Daud no. 886 dan Ibnu Majah no. 890. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif).

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits dengan penyebutan membaca tiga kali seperti ini
diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat. Namun boleh-boleh saja membaca dzikir tersebut lebih
dari tiga kali. (Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 115)

Begitu pula boleh membaca dengan subhana robbiyal azhimi wa bihamdih. Dalam hadits
Uqbah bin Amir disebutkan mengenai bacaan Rasululah shallallahu alaihi wa sallam saat
ruku,

Subhanaa robbiyal azhimi wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung dan
pujian untuk-Nya). Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa hadits ini shahih, begitu pula Syaikh Al Albani dalam Shifat Shalat Nabi, hal.
115. Kata Syaikh Al Albani hadits ini diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthni, Ahmad, Ath
Thobroni, dan Al Baihaqi).

19- Saat ruku dan sujud bisa pula membaca bacaan lainnya, Subhanakallahumma robbanaa wa
bihamdika, allahummaghfir-lii.

Dari Aisyah, ia berkata,





Nabi shallallahu alaihi wa sallam memperbanyak membaca ketika ruku dan sujud bacaan,
Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci Engkau
Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku). Beliau menerangkan maksud dari ayat
Al Quran dengan bacaan tersebut. (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484).

Yang dimaksud dengan ayat Al Quran dalam hadits di atas diterangkan dalam hadits Uqbah bin
Amir,

. - -
( )
(

)

Ketika turun ayat fasabbih bismirobbikal azhim, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
berkata, Jadikan bacaan tersebut pada ruku kalian. Lalu ketika turun ayat sabbihisma
robbikal alaa, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam katakan, Jadikanlah pada sujud
kalian. (HR. Abu Daud no. 869 dan Ibnu Majah no. 887. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih).

Bacaan ruku dan sujud lainnya yang bisa dibaca,

Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya
para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-). (HR. Muslim no. 487).

Semoga bermanfaat. Semoga Allah terus menganugerahkan ilmu yang bermanfaat.

Referensi:

Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syariyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul Barokat
Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi,
terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,
terbitan Maktabah Al Maarif, cetakan ketiga, tahun 1424 H.

Sumber : https://rumaysho.com/7045-sifat-shalat-nabi-6.html
Sifat Shalat Nabi (7): Bangkit dari Ruku

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 30, 2014 Shalat 19 Comments 25,313 Views

Saat ini yang dibahas oleh Rumaysho.Com adalah bacaan yang ada saat bangkit dari ruku
(itidal).

20- Kemudian mengangkat kepala, bangkit dari ruku sembari mengangkat kedua tangan.

21- Ketika bangkit sambil mengucapkan samiallahu liman hamidah. Ini berlaku bagi imam
dan orang yang shalat sendirian.

Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik disebutkan,

Jika imam bangkit dari ruku, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan samiallahu liman
hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) , ucapkanlah
robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji). (HR. Bukhari no.
689 dan Muslim no. 411)

22- Setiap orang mengucapkan robbana wa lakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban
mubarokan fiih, mil-assamaa-i, wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syita min syai-in badu.

Ucapan robbana wa lakal hamdu, bisa dipilih dari empat bacaan:

a- Allahumma robbanaa lakal hamdu. (HR. Muslim no. 404)

b- Allahumma robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 795)

c- Robbanaa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 722 dan Muslim no. 477)

d- Robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411).
Bacaan yang lebih lengkap ketika itidal (bangkit dari ruku),

Allahumma robbanaa lakal hamdu mil-assamawaati wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syita min
syai-in badu, ahlats tsanaa-i wal majdi, laa maania limaa athoita, wa laa muthiya lima
manata, wa laa yanfau dzal jaddi minkal jaddu (artinya: Ya Allah, Rabb kami, bagi-Mu segala
puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu. Wahai
Tuhan yang layak dipuji dan diagungkan. Tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau
berikan dan tidak ada pula yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, tidak bermanfaat
kekayaan bagi orang yang memiliinya, hanyalah dari-Mu kekayaan itu) (HR. Muslim no. 471).

Keutamaan membaca robbana wa lakal hamdu disebutkan dalam hadits Abu Hurairah,

. .

Jika imam mengucapkan samiallahu liman hamidah, maka hendaklah kalian mengucapkan
robbana wa lakal hamdu. Karena siapa saja yang ucapannya tadi berbarengan dengan ucapan
malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan dihapus. (HR. Bukhari no. 796 dan Muslim no.
409).

Begitu pula bagi yang mengucapkan,

Robbana walakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih (artinya: wahai Rabb
kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh
dengan berkah). Disebutkan dalam hadits Rifaah bin Rofi, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
mengatakan bagi orang yang mengucapkan semacam itu,

Aku melihat ada 30-an malaikat, berlomba-lomba siapakah di antara mereka yang lebih duluan
mencatat amalannya. (HR. Bukhari no. 799)

Masih ada bahasan yang berkaitan dengan postingan kali ini yang mesti diangkat yaitu di
manakah posisi tangan saat itidal, apakah sedekap ataukah tangan diluruskan. Lalu juga akan
dibahas posisi turun sujud, apakah tangan duluan atau lutut. Semoga Allah mudahkan.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi,
terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thorifi,
terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H

Sumber : https://rumaysho.com/7078-sifat-shalat-nabi-7.html
Sifat Shalat Nabi (8): Posisi Tangan Setelah Ruku

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 31, 2014 Shalat 20 Comments 12,655 Views

Bagaimanakah posisi tangan setelah ruku (itidal), apakah sedekap atau posisi tangan dilepas di
samping? Inilah yang akan dikaji oleh Rumaysho.Com dalam lanjutan sifat shalat nabi kali ini.

Yang lebih baik bagi imam dan makmum bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri sebagaimana sedekap yang dilakukan sebelum ruku yaitu saat membaca surat. Hal
ini berdasarkan hadits Wail bin Hujr,

Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, beliau
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. (HR. An Nasai no. 888 dan Ahmad 4: 316.
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta)
berkata, Ada istilah qobd fish sholah yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
(keadaan bersedekap). Ada juga istilah sadl fish sholah yaitu menurunkan atau melepaskan
tangan di samping (tanpa sedekap). Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dengan
menggenggam ini ada petunjuk dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat berdiri membaca
surat atau saat berdiri bangkit dari ruku (itidal). Hadits yang mendukungnya adalah hadits dari
Wail bin Hujar radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim,




:
.

Wail bin Hujr pernah melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya
ketika ia masuk dalam shalat dan beliau bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar). Hammam
mengatakan bahwa beliau mengangkat tangannya sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian
beliau menutupi tangannya dengan pakaiannya, kemudian beliau meletakkan tangan kanan di
atas tangan kirinya. Ketika ingin ruku, kedua tangannya dikeluarkan dari pakaian, kemudian
beliau mengangkat kedua tangannya. Beliau bertakbir lalu ruku. Ketika mengucapkan
samiallahu liman hamidah, beliau mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, beliau sujud di
antara kedua tangannya.

Dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud disebutkan,

Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan
tangan, atau di lengan tangan kirinya. (HR. Ahmad 4: 318 dan Abu Daud no. 727. Syaikh
Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sebagaimana pula diriwayatkan oleh Abu Hazim dari Sahl bin Saad As Saidiy, ia berkata,

Orang-orang saat itu diperintahkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya saat
shalat. Abu Hazim berkata, Hadits ini disandarkan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Hadits terakhir ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari.

Dan tidak ada satu pun hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa
beliau melakukan sadl yaitu tangannya diletakan di samping saat berdiri dalam shalat. (Fatwa
Al Lajnah Ad Daimah, 6: 365-366).

Juga bisa berdalil dengan hadits musii sholatuhu (orang yang jelek shalatnya), di mana Nabi
shallallahu alaihi wa sallam berkata padanya,

Kemudian ruku lalu kedua tangan di letakkan di lututnya sampai setiap anggota tubuh
mengambil posisinya. Kemudia bangkit dari ruku dan setiap anggota tubuh mengambil
posisinya. (HR. Ahmad 3: 407. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih).

Makna hadits sampai anggota tubuh mengambil posisinya diterangkan dalam riwayat,

Jika engkau bangkit dengan mengangkat kepalamu, maka luruskanlah tulang punggungmu
hingga setiap tulang kembali pada posisinya. (HR. Ahmad 4: 340. Syaikh Syuaib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dengan hadits ini adalah posisi tangan
ketika itu bersedekap seperti dilakukan sebelum ruku yaitu pada saat berdiri saat membaca
surat.

Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi berkata, Terdapat pula indikasi yang menunjukkan
tangan itu bersedekap setelah ruku. Yaitu Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika mengangkat
kepalanya dari ruku, beliau berdiri sampai-sampai orang-orang mengira bahwa beliau lupa
untuk sujud (karena saking lamanya berdiri kala itu, -pen). Demikian dikatakan oleh Anas bin
Malik sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bangkit dari ruku, tangannya dalam keadaan sedekap karena keadaan beliau
begitu lama saat itu. Hal ini lebih disangka sedekap daripada beliau melepas tangannya ke
bawah. Sampai-sampai dikira pula beliau berada dalam rakaat yang baru. Kalau tangan dalam
keadaan sadl, yaitu dilepas ke bawah tentu tidak disangka demikian.

Juga Syaikh Ath Thorifi berkata, Orang yang shalat jika sedang duduk keadaan tangannya
adalah di atas pahanya. Posisi tangan di sini sama seperti ketika duduk antara dua sujud. Itu
berarti keadaan duduk dalam shalat adalah satu karena tidak ada dalil yang membedakan. Maka
demikian pula keadaan berdiri dalam shalat juga satu yaitu tangan dalam keadaan bersedekap.
(Lihat Sifat Shalat Nabi, hal. 86).

Intinya untuk masalah ini telah dikatakan oleh Imam Ahmad,

Jika seseorang bangkit dari ruku, maka jika ia mau, ia bisa melepaskan tanggannya (tidak
sedekap). Jika mau, ia pun bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya (sedekap). (Al
Inshaf, 2: 412, Asy Syamilah).

Imam Ahmad mengatakan demikian karena tidak ada dalil tegas yang membicarakan masalah
sedekap setelah ruku. Sehingga Imam Ahmad pun mengatakan,

Aku harap, jangan terlalu mempermasalahkan hal tersebut. (Lihat Sifat Shalat Nabi karya
Syaikh Ath Thorifi, hal. 86).

Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Shalatul Mumin, Syaikh Dr. Said bin Abi Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Malik Fahd,
cetakan ketiga, tahun 1431 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,
terbitan Maktabah Al Maarif, cetakan ketiga, tahun 1424 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thorifi,
terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.

Syarh Kitab Shifat Shalat Nabi, Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, terbitan Maktabah Al
Maarif, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Sumber : https://rumaysho.com/7091-sifat-shalat-nabi-8-posisi-tangan-setelah-ruku.html
Sifat Shalat Nabi (9): Tangan Dulu ataukah Lutut Saat Turun Sujud?

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc April 1, 2014 Shalat 17 Comments 12,614 Views

Manakah yang lebih didahululan, lutut ataukah tangan saat turun sujud?

Pertama, yang mesti dipahami adalah kedua cara tersebut dibolehkan berdasarkan kesepakatan
para ulama. Namun para ulama berselisih pendapat manakah yang lebih afdhol di antara
keduanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan kesepakatan ulama,
kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau mau maka
meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutur, dan shalatnya sah pada kedua keadaan
tersebut dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang yang
afdhal. (Majmu Al Fatawa, 22: 449).

Kedua, yang paling afdhol adalah dilihat dari kondisi orang masing-masing, tidak katakan yang
paling afdhol adalah tangan dulu ataukah lutut dahulu. Karena hadits yang membicarakannya
hanyalah mengatakan,



Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika
hendak menderum. (HR. Abu Daud no. 840 dan An Nasai no. 1092. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Namun ada tambahan,

Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.

Versi lain mengatakan,

Hendaknya dia letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.

Para ulama berselisih pendapat manakah riwayat tambahan ini yang shahih.

Pendapat yang tepat, kedua versi tambahan tersebut adalah riwayat yang goncang, tidak ada satu
pun yang sahih. Keduanya idhtirob (goncang) [baca: lemah]. Sehingga riwayat yang valid
hanyalah bagian awal hadits yang berbunyi, Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud
sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum.

Sehingga zhahir hadits menunjukkan bahwa orang yang sedang mengerjakan shalat dilarang
turun sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika mau menderum. Turunnya unta untuk
menderum itu memiliki bentuk yang khas, bentuk khas ini bisa terjadi baik kita turun dengan
mendahulukan tangan dari pada lutut ataupun kita mendahulukan lutut dari pada tangan.
Sehingga makna sabda Nabi, janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk
turunnya unta ketika hendak menderum adalah ketika hendak sujud hendaknya kepala tidak
dibuat merunduk sampai ke lantai semisal unta ketika hendak turun sedangkan punggung masih
dalam posisi di atas. Inilah bentuk turunnya unta untuk menderum dan bentuk semacam ini
berdampak negatif bagi orang yang mengerjakan shalat

Ringkasnya, terdapat diskusi yang panjang tentang perselisihan ini di kalangan ulama. Pendapat
yang paling baik, manakah yang mesti didahulukan apakah tangan ataukah lutut, ini menimbang
pada kondisi masing-masing orang. Mana yang lebih mudah baginya, itulah yang ia lakukan.
Ada orang yang berat badannya, ada orang yang ringan. Intinya, tidak ada hadits shahih yang
marfu -sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam- yang membicarakan hal tadi. (Lihat
Shifat Shalat Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi, hal. 129).

Semoga bermanfaat, wa billahit taufiq.

Sumber : https://rumaysho.com/7099-sifat-shalat-nabi-9-tangan-dulu-ataukah-lutut-saat-turun-
sujud.html
Sifat Shalat Nabi (10): Cara Sujud

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc April 3, 2014 Shalat 24 Comments 22,140 Views

Kali ini Rumaysho.Com akan mengkaji tata cara sujud sesuai dengan petunjuk Rasul shallallahu
alaihi wa sallam.

23- Lalu turun sujud dan bertakbir tanpa mengangkat tangan. Sujud yang dilakukan adalah
bersujud pada tujuh anggota tubuh.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga
hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5)
lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim
no. 490)

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota tubuh. Untuk
lima anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh tersebut.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh lantai,
shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib bukan berarti telapak kaki dan lutut
harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu
pendapat ulama Syafiiyah sebagaimana dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib
terbuka untuk dahi dan kedua telapak tangan. (Syarh Shahih Muslim, 4: 185)

24- Kemudian ketika sujud membaca subhana robbiyal alaa.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Hudzaifah, ia berkata bahwa


.
- -
>

Ia pernah shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lantas beliau mengucapkan ketika
ruku subhanaa robbiyal azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung) dan ketika
sujud, beliau mengucapkan subhanaa robbiyal alaa (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha
Tinggi).(HR. Muslim no. 772 dan Abu Daud no. 871).

Begitu pula boleh mengucapkan,

Subhana robbiyal alaa wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi dan
pujian untuk-Nya). Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870, shahih)

Begitu juga ketika sujud bisa memperbanyak membaca,

Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci Engkau


Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku). (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no.
484).

Bacaan sujud lainnya yang bisa dibaca,

Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya
para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-). (HR. Muslim no. 487)

25- Setelah itu bertakbir bangkit dari sujud tanpa mengangkat tangan.

Sebagaimana dalam hadits Muthorrif bin Abdullah, ia berkata,

Aku dan Imron bin Hushain pernah shalat di belakang Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu.
Jika turun sujud, beliau bertakbir. Ketika bangkit dari sujud, beliau pun bertakbir. Jika bangkit
setelah dua rakaat, beliau bertakbir. Ketika selesai shalat, Imron bin Hushain memegang
tanganku lantas berkata, Cara shalat Ali ini mengingatkanku dengan tata cara shalat
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Atau ia mengatakan, Sungguh Ali telah shalat
bersama kita dengan shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 786 dan
Muslim no. 393). Hadits ini menunjukkan bahwa takbir intiqol (berpindah rukun) itu dikeraskan.
Dan itu juga jadi dalil adanya takbir setelah bangkit dari sujud.

Dalam hadits Abu Hurairah juga disebutkan,



Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud. Lalu beliau
bertakbir ketika bangkit dari sujud. (HR. Bukhari no. 789 dan Muslim no. 392).

Adapun tanpa mengangkat ketika turun sujud atau bangkit dari sujud adalah berdasarkan hadits,

Jika beliau ingin ruku dan bangkit dari ruku (beliau mengangkat tangan). Namun beliau tidak
mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya saat duduk. (HR. Abu Daud no. 761, Ibnu
Majah no. 864 dan Tirmidzi no. 3423. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
hasan).

Sumber : https://rumaysho.com/7125-sifat-shalat-nabi-10-cara-sujud.html

Sifat Shalat Nabi (11): Tentang Duduk Antara Dua Sujud

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc April 20, 2014 Shalat 11 Comments 27,389 Views

Setelah Rumaysho.Com membahas tentang perihal tata cara sujud, kali ini akan diulas mengenai
tata cara duduk antara dua sujud.

26- Setelah sujud pertama kemudian duduk antara dua sujud. Bentuk duduknya adalah iftirosy,
yaitu kaki kiri diduduki dan kaki kanan ditegakkan.

Dalam hadits Abu Humaid As Saidiy disebutkan,

Kemudian kaki kiri dibengkokkan dan diduduki. Kemudian kembali lurus hingga setiap anggota
tubuh kembali pada tempatnya. Lalu turun sujud.(HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud no. 963,
730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Duduk saat shalat adalah duduk iftirosy kecuali pada tasyahud akhir, duduknya adalah duduk
tawarruk, yaitu dengan duduk di lantai, lantas kaki kiri dikeluarkan dari sisi kaki kanan.

Juga hal ini disebutkan dalam hadits Abu Humaid As Saidiy,








Ketika beliau shallallahu alaihi wa sallam duduk setelah melakukan dua rakaat, kaki kiri saat
itu diduduki dan kaki kanan ditegakkan. Adapun saat duduk di rakaat terakhir (tasyahud akhir),
kaki kiri dikeluarkan, kaki kanan ditegakkan, lalu duduk di lantai. (HR. Bukhari no. 828).

Dalam kitab sunan disebutkan hadits Abu Humaid As Saidiy,

Jika telah pada dua rakaat yang merupakan rakaat terakhir (terdapat salam), Nabi shallallahu
alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk di lantai secara tawarruk,
kemudian beliau salam. (HR. An Nasai no. 1262. Shahih menurut Syaikh Al Albani).

27- Yang beliau baca saat duduk antara dua sujud adalah Robbighfirlii warhamnii, wajburnii,
warfanii, warzuqnii, wahdinii.

Dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan doa duduk antara dua sujud yang dibaca oleh Nabi
shallallahu alaihi wa sallam,

Robbighfirlii warahmnii, wajburnii, warfanii, warzuqnii, wahdinii (artinya: Ya Allah


ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki dan
petunjuk untukku). (HR. Ahmad 1: 371. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa
haditsnya hasan).

Ada beberapa lafazh lainnya yang belum penulis sebutkan kali ini mengenai doa ketika sujud
yang bisa diamalkan.

Semoga bermanfaat yang singkat ini. Hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber : https://rumaysho.com/7289-sifat-shalat-nabi-11-tentang-duduk-antara-dua-sujud.html
Sifat Shalat Nabi (12): Sunnah Duduk Istirahat

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc May 19, 2014 Shalat 2 Comments 6,719 Views

Salah satu yang disunnahkan ketika bangkit ke rakaat berikut adalah melakukan duduk istirahat.
Inilah kelanjutan pembahasan kita mengenai tata cara shalat yang sesuai tuntunan.

28- Kemudian sujud kembali seperti sujud yang pertama.

Perintah untuk melakukan sujud kedua ini adalah berdasarkan berbagai hadits yang shahih dan
juga adanya ijma (kesepakatan para ulama). (Al Majmu, 3: 290)

29- Kemudian bangkit dari sujud kedua sambil bertakbir.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, Ketika bangkit ke rakaat kedua dilakukan bertumpu pada
tangan, begitu pula ketika bangkit dari tasyahud awwal. Hal ini dilakukan oleh orang yang
kondisinya kuat maupun lemah, begitu pula bagi laki-laki maupun perempuan. Demikian
pendapat dari Imam Syafii. Hal ini disepakati oleh ulama Syafiiyah berdasarkan hadits dari
Malik bin Al Huwairits dan tidak ada dalil dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
menyelisihinya. Jika tangan jadi tumpuan, maka bagian dalam telapak tangan dan jari jemarinya
yang berada di lantai. (Al Majmu, 3: 292).

30- Mengerjakan rakaat kedua sama dengan rakaat pertama.

Apakah disunnahkan duduk istirahat ketika bangkit ke rakaat kedua?


Dalil tentang disyariatkannya duduk istirahat ketika bangkit ke rakaat kedua adalah hadits dari
Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al Jarmi Al Bashri, ia berkata, Malik bin Al Huwairits pernah
mendatangi kami di masjid kami. Ia pun berkata, Sesungguhnya aku ingin mengerjakan shalat
sebagai contoh untuk kalian meskipun aku tidak ingin mengerjakan shalat. Aku akan
mengerjakan shalat sebagaimana shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang pernah aku
lihat. Ayub kemudian bertanya kepada Abu Qilabah, Bagaimana Malik bin Al Huwairits
mengerjakan shalat? Abu Qilabah menjawab,

Seperti shalat syaikh kami ini. Beliau duduk ketika mengangkat kepalanya setelah sujud
sebelum beliau bangkit dari rakaat pertama. (HR. Bukhari no. 677).

Di sini para ulama memiliki silang pendapat apakah duduk istirahat disunnahkan bagi setiap
orang ataukah tidak. Bahkan dalam madzhab Syafii Syafii sendiri terdapat beda pendapat
karena pemahaman terhadap dalil yang berbeda.

Pendapat pertama, jika yang shalat dalam keadaan lemah karena sakit, sudah tua atau sebab
lainnya, maka disunnahkan untuk melakukan duduk istirahat. Jika tidak demikian, maka tidak
dituntunkan. Inilah pendapat dari Abu Ishaq Al Maruzi.

Pendapat kedua, disunnahkan bagi setiap orang untuk melakukan duduk istirahat. Inilah
pendapat dari Imam Al Haromain dan Imam Al Ghozali. Al Ghozali berkata bahwa ulama
madzhab Syafii sepakat pada pendapat ini.

Pendapat yang terkuat dalam hal ini, duduk istirahat tetap disyariatkan. Alasannya karena Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melakukannya. Perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menunjukkan bahwa hal itu disunnahkan.

Duduk istirahat adalah duduk yang ringan (bukan lama) ketika bangkit ke rakaat berikut, bukan
bangkit dari tasyahud. (Lihat Al Majmu, 3: 291).

Cara duduk istirahat adalah duduk iftirosy atau seperti duduk saat duduk antara dua sujud. (Syarh
Umdatul Ahkam karya guru kami, Syaikh Saad Asy Syatsri, 1: 209).

Imam Nawawi berkata, Duduk istirahat tidak ada pada sujud tilawah, tanpa ada khilaf di antara
para ulama. (Al Majmu, 3: 292).

Imam Nawawi juga berkata, Jika imam tidak melakukan duduk istirahat, sedangkan makmum
melakukannya, itu dibolehkan karena duduknya hanyalah sesaat dan ketertinggalan yang ada
cumalah sebentar. (Idem).

Imam Nawawi menasehatkan tentang masalah duduk istirahat ini, Sudah sepantasnya duduk
istirahat ini dilakukan oleh setiap orang karena hadits yang membicarakan hal itu adalah hadits
yang shahih dan tidak ada bertentangan dengan hadits shahih yang lain. Tak usahlah peduli
dengan orang yang mudah-mudahan dalam meninggalkannya. Allah Taala berfirman,

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. (QS. Ali Imran: 31).

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7).
Referensi:

1. Al Majmu Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq:
Muhammad Najib Al Muthii, terbitan Dar Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
2. Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sadi, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
3. Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath
Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
4. Syarh Umdatul Ahkam, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi, terbitan Darut Tauhid,
cetakan pertama, tahun 1431 H.
5. Syarh Umdatul Ahkam, Syaikh Saad bin Nashir Asy Syatsri, terbitan Kunuz Isbiliya,
cetakan pertama, tahun 1429 H.

Sumber : https://rumaysho.com/7652-sifat-shalat-nabi-12-sunnah-duduk-istirahat.html

Sifat Shalat Nabi (13): Cara Duduk Tasyahud Awwal dan Akhir

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc May 20, 2014 Shalat 16 Comments 14,002 Views

Kali ini kita akan melanjutkan bahasan mengenai sifat shalat Nabi. Yang dibahas adalah
mengenai tasyahud awwal dan bagaimanakah bentuk duduknya. Juga dibahas mengenai bentuk
duduknya dibanding dengan tasyahud akhir.

31- Setelah itu melakukan rakaat kedua seperti rakaat pertama hingga sampai pada tasyahud
awwal.

Bagaimanakah duduk pada tasyahud awwal dan tasyahud akhir?

Imam Nawawi menjelaskan bahwa duduk pada tasyahud awwal yaitu dengan duduk iftirosy.
Sedangkan duduk pada tasyahud akhir adalah dengan duduk tawarruk. Termasuk pula duduk
pada shalat yang hanya dua rakaat (seperti pada shalat Shubuh, -pen), duduk tasyahud akhirnya
adalah dengan tawarruk. (Al Majmu, 3: 298)

Ulama Syafiiyah mengemukakan alasan kenapa duduknya seperti itu berdasarkan hadits dari
Abu Humaid ketika menjelaskan tata cara shalat kepada sepuluh sahabat Nabi shallallahu alaihi
wa sallam,






Jika duduk di rakaat kedua, beliau duduk di kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya
(baca: duduk iftirosy). Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kiri dan
menegakkan kaki kanannya, duduk di lantai saat itu (baca: duduk tawarruk). (HR. Bukhari no.
828). Dalam hadits ini untuk duduk rakaat terakhir, tidak dijelaskan apakah untuk shalat yang
hanya dua, tiga atau empat rakaat. Pokoknya, di rakaat terakhir, duduknya adalah tawarruk.

Hikmahnya seperti apa? Kenapa sampai tasyahud awwal dengan iftirosy sedangkan tasyahud
akhir dengan tawarruk?

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi bahwa ulama Syafiiyah berpendapat, duduk
iftirosy pada tasyahud awwal dan duduk tawarruk pada tasyahud akhir agar tidak ada kerancuan
mengenai jumlah rakaat. Yang termasuk sunnah adalah memperingan tasyahud awwal dan
duduknya adalah dengan iftirosy karena setelah itu lebih mudah untuk berdiri ke rakaat
berikutnya. Sedangkan untuk tasyahud kedua (tasyahud akhir) yang disunnahkan adalah
diperlama. Sehingga duduknya ketika itu tawarruk. Duduk tawarruk lebih memungkinkan untuk
duduk lama, juga bisa memperbanyak doa kala itu. Makmum masbuk pun akan tahu jika
melihat saat itu berada di tasyahud awwal ataukah akhir. (Al Majmu, 3: 299).

Bagaimana jika ada makmum masbuk dan mendapatkan imam berada pada rakaat terakhir,
apakah ia duduk tawarruk ataukah iftirosy?

Sebagaimana tertera dalam Al Umm dari pendapat Imam Syafii, juga jadi pendapat yang dianut
Imam Al Ghozali dan mayoritas ulama Syafiiyah, makmum masbuk yang telat tersebut
melakukan duduk iftirosy karena ia bukan berada di akhir shalat. Sedangkan ulama Syafiiyah
lainnya berpendapat, ia mengikuti duduknya imam yaitu tawarruk.

Begitu pula jika ada makmum masbuk dari shalat Maghrib yang melakukan tasyahud hingga
empat kali, maka di tiga tasyahud pertama, ia lakukan duduk iftirosy. Sedangkan tasyahud akhir
(yang keempatnya), ia melakukan duduk tawarruk. Demikian pendapat dari ulama Syafiiyah.
(Idem)

Bagaimana bisa lakukan tasyahud sampai empat kali?

Ini bisa terjadi jika makmum mendapati shalat imam setelah ruku pada rakaat kedua. Maka ia
tasyahud pertama kali ketika imam tasyahud awwal di rakaat kedua. Lalu ia tasyahud kedua
kalinya ketika imam tasyahud akhir. Kemudian ia melakukan lagi tasyahud ketiga ketika berada
pada rakaat kedua baginya. Lalu ia melakukan tasyahud keempat ketika rakaat terakhir (rakaat
ketiga) baginya.

Lihat dalil-dalil yang mendukung pembahasan ini dalam tulisan Rumaysho.Com: Cara
Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Majmu Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq:
Muhammad Najib Al Muthii, terbitan Dar Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
Sumber : https://rumaysho.com/7661-sifat-shalat-nabi-13-cara-duduk-tasyahud-awwal-dan-
akhir.html

Sifat Shalat Nabi (14): Cara Menggenggam


Jari Tangan Ketika Tasyahud
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 13, 2014 Shalat Leave a comment 2,599 Views

Bagaimana cara menggenggam jari tangan ketika tasyahud?

Bahasan kami kali ini berusaha mendekatkan pada madzhab Syafii yang kami banyak nukil dari
Al Majmu Syarh Muhadzdzab.

Imam Asy Syairozi berkata, Disunnahkan membentangkan jari tangan kiri di paha kiri.
Sedangkan untuk tangan kanan ada tiga pendapat. Salah satunya, meletakkan tangan kanan di
paha kanan di mana seluruh jari digenggam kecuali jari telunjuk. Hal ini yang masyhur
sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam ketika duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya di lutut kiri. Beliau
meletakkan tangan kanan di lutut kanan, lalu beliau menggenggam tiga jari dan berisyarat
dengan jari telunjuk, sedangkan jari jempol berada di samping jari telunjuk. (Al Majmu, 3: 300)

Diterangkan oleh Imam Nawawi, yang dimaksud meletakkan jari di situ adalah diletakkan di
ujung lutut. Lihat Al Majmu, 3: 301.

Adapun maksud Imam Asy Syairozi adalah hadits Ibnu Umar berikut.

- -








Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, tangan
kiri diletakkan di lutut kiri, sedangkan tangan kanan diletakkan di lutut kanan. Lalu ia berisyarat
dengan menggenggam simbol lima puluh tiga dan berisyarat dengan jari telunjuk (maksudnya:
jari kelingking, jari manis dan jari tengah digenggam, lalu jari telunjuk memberi isyarat,
sedangkan jari jempol berada di samping jari telunjuk). (HR. Muslim no. 580).

Tiga pendapat mengenai cara isyarat jari tangan ketika tasyahud disampaikan oleh Imam
Nawawi:

1- Jari tengah, jari manis dan jari kelingking digenggam, sedangkan jari telunjuk dan jempol
tidak digenggam (dilepas begitu saja).

2- Jari jempol dan jari tengah membentuk lingkaran, yaitu kedua ujung jari tersebut membentuk
lingkaran atau ujung jari tengah membentuk lingkaran dengan bagian ruas jari dari jari jempol.
Cara Tasyahud: Ujung jari jempol dan tengah membentuk
lingkaran

3- Jari jempol dan jari tengah kedua-duanya digenggam. (Al Majmu, 3: 301)

Imam Nawawi menerangkan cara isyarat jari tangan ketika tasyahud:

Pertama, isyarat tersebut dituju pada arah kiblat. Al Baihaqi berargumen dengan hadits dari Ibnu
Umar dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Kedua, diniatkan untuk isyarat yaitu ketika menandakan ikhlas dan tauhid. Al Muzani
menyebutkan hal itu dalam mukhtashornya dan juga disebutkan oleh ulama Syafiiyah lainnya.
Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari seseorang yang majhul dari seorang sahabat radhiyallahu
anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berisyarat ketika menyebut kalimat tauhid. Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, yaitu saat berisyarat ikhlas.

Ketiga, dimakruhkan berisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan karena yang dianjurkan,
tangan kiri tetap dalam keadaan terbuka.

Keempat, seandainya tangan kanan terpotong, maka sunnah berisyarat dengan jari jadi gugur dan
tidak perlu berisyarat dengan jari lainnya.

Kelima, pandangan tidak melebihi isyarat jari. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari Abdullah
bin Zubair bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya dan berisyarat
dengan jarinya dan pandangannya tidak melebihi isyarat tersebut. Dalam hadits disebutkan,



Janganlah pandangannya melebihi isyarat jarinya. (HR. Abu Daud no. 990. Al Hafizh Abu
Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan) (Al Majmu, 3: 302).

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Majmu Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq: Muhammad
Najib Al Muthii, terbitan Dar Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.

Sumber : https://rumaysho.com/8493-sifat-shalat-nabi-14-cara-menggenggam-jari-tangan-ketika-
tasyahud.html
Sifat Shalat Nabi (15): Kapan Mulai
Berisyarat dengan Jari Telunjuk Ketika
Tasyahud?
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 13, 2014 Shalat 10 Comments 2,378 Views

Kapan mulai berisyarat dengan jari telunjuk ketika tasyahud, baik tasyahud awal maupun akhir?

Yang membicarakan isyarat jari telunjuk ketika tasyahud di antaranya adalah hadits dari Ibnu
Umar radhiyallahu anhuma di mana ia berkata,








Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat (duduk tasyahud), beliau
meletakkan telapak tangannya yang kanan di pahanya yang kanan. Beliau menggenggam
seluruh jarinya dan berisyarat dengan jari telunjuk yang berada di samping jari jempol. Beliau
meletakkan telapak tangan kiri di paha kirinya. (HR. Muslim no. 580).

Imam Syafii menegaskan bahwa berisyarat dengan jari telunjuk dihukumi sunnah sebagaimana
didukung dari berbagai hadits. (Al Majmu, 3: 301).

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5: 73-74), Berisyarat dengan jari telunjuk dimulai
dari ucapan illallah dari ucapan syahadat. Berisyarat dengan jari tangan kanan, bukan yang
lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk berisyarat,
tidak dengan jari tangan kanan atau pun jari tangan kiri. Disunnahkan pandangan tidak lewat dari
isyarat jari tadi karena ada hadits shahih disebutkan dalam sunan Abi Daud yang menerangkan
hal ini. Isyarat tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat tersebut sebagai pertanda tauhid dan
ikhlas.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam kalimat tasyahud,
yaitu pada kata laa. Ketika sampai pada kalimat penetapan (itsbat) yaitu Allah, maka jari
tersebut diletakkan kembali.

Ulama Malikiyah berisyarat kanan dan kiri dari awal hingga akhir shalat.

Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah Allah. (Lihat Shifat Shalat Nabi
karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi, hal. 141).

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al Majmu Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq: Muhammad
Najib Al Muthii, terbitan Dar Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thorifi,
terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.

Sumber : https://rumaysho.com/8500-sifat-shalat-nabi-15-kapan-mulai-berisyarat-dengan-jari-telunjuk-
ketika-tasyahud.html

Sifat Shalat Nabi (16): Menggerakkan Jari


Telunjuk Saat Tasyahud
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 13, 2014 Shalat 8 Comments 18,151 Views

Bagaimana hukum menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud? Apakah disunnahkan?


Berikut tinjauan kami berdasarkan pendapat dalam madzhab Syafii.

Imam Nawawi berkata, Apakah jari telunjuk digerak-gerakkan ketika berisyarat?

Dalam madzhab Syafii ada beberapa pendapat.

Inilah pendapat terkuat dalam madzhab Syafii dan tidak terjadi perselisihan kuat dalam
madzhab itu sendiri, pendapat ini pun menjadi pendapat mayoritas ulama, isyarat jari tersebut
tidak digerak-gerakkan. Seandainya digerakkan, hukumnya makruh, namun tidak membatalkan
shalat karena gerakannya sedikit.

Pendapat kedua dalam madzhab Syafii lainnya, menggerakkan jari itu diharamkan. Jika
digerakkan shalatnya tidak batal karena gerakannya sedikit.

Sedangkan ada pendapat lainnya yang menyatakan bahwa haram digerak-gerakkan, akibatnya
membuat shalat batal. Namun pendapat terakhir ini adalah pendapat yang syadz (nyleneh) dan
lemah.
Pendapat ketiga dalam madzhab Syafii yang dikemukakan oleh Abu Hamid dan Al Bandanijiy,
juga Al Qodhi Abu Thoyyib, menggerakkan jari itu dihukumi sunnah. Mereka berdalil dengan
hadits Wail bin Hujr di mana ia menceritakan mengenai tata cara (sifat) shalat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, beliau meletakkan kedua tangannya ketika tasyahud, lalu Wail
berkata,


Beliau mengangkat jarinya. Aku lihat beliau menggerak-gerakkan jarinya dan berdoa
dengannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad shahih.

Imam Al Baihaqi berkata,



Boleh jadi yang dimaksud dengan yuharrikuha (menggerak-gerakkan jari) adalah hanya
berisyarat dengannya, bukan yang dimaksud adalah menggerak-gerakkan jari berulang kali.
Sehingga jika dimaknai seperti ini maka jadi sinkronlah dengan riwayat Ibnu Az Zubair.

Disebutkan pula dengan sanad yang shahih dari Ibnuz Zubair radhiyallahu anhuma bahwasanya
Nabi shallallahu alaihi wa salam berisyarat dengan jarinya ketika berdoa namun beliau tidak
menggerakkan jarinya. Riwayat tersebut disebutkan dalam sunan Abi Daud dengan sanad shahih.

Adapun hadits dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa
menggerak-gerakkan jari dapat mengusir setan, hadits tersebut tidaklah shahih. Al Baihaqi
menyatakan bahwa Al Waqidi bersendirian dan ia adalah perawi yang dhaif (lemah). (Al
Majmu, 3: 301-302).

Masalah menggerakkan jari tersebut ada beda pendapat. Baca selengkapnya dengan disertai
penjelasan dalil Hukum Menggerakkan Jari Telunjuk Saat Tasyahud.

Semoga manfaat.

Referensi:

Al Majmu Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq: Muhammad
Najib Al Muthii, terbitan Dar Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.

Sumber : https://rumaysho.com/8504-sifat-shalat-nabi-16-menggerakkan-jari-telunjuk-saat-
tasyahud.html
Sifat Shalat Nabi (17): Apakah Saat
Tasyahud Awal Membaca Shalawat?
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 14, 2014 Shalat 9 Comments 5,197 Views

Apakah saat tasyahud awal diperintahkan membaca shalawat pada Nabi?

Ada dua pendapat dalam madzhab Syafii dalam hal ini:

Pendapat pertama, pendapat Imam Syafii al qodim (pendapat Imam Syafii di Irak), tidak
membaca shalawat pada tasyahud awal karena seandainya disyariatkan, tentu akan disyariatkan
pula membaca shalawat pada keluarga Muhammad seperti pada tasyahud akhir.

Pendapat kedua, sebagaimana disebutkan dalam Al Umm bahwa shalawat tetap dibaca pada
tasyahud awal karena ketika itu ada duduk untuk membaca tasyahud, maka tetap membaca
shalawat ketika itu sebagaimana pada tasyahud akhir.

Dua pendapat di atas disebutkan oleh Asy Syairozi, lihat Al Majmu, 3: 306.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa membaca shalawat menurut pendapat al qodim
tidak disyariatkan. Ini juga yang menjadi pendapat Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Ishaq. Begitu
pula pendapat ini diceritakan dari Atho, Asy Syabiy, dan Ats Tsauri.

Sedangkan menurut pendapat al jadid (pendapat Imam Syafii di Mesir), membaca shalawat
ketika tasyahud awal tetap disyariatkan. Inilah pendapat di kalangan ulama Syafiiyah yang lebih
kuat, namun perselisihannya tidaklah kuat. (Idem)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, Shalawat atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah
fardhu pada tasyahud akhir. Sedangkan di tasyahud awal termasuk sunnah shalat, demikian
pendapat terkuat dalam madzhab Syafii dan perselisihan untuk masalah ini amat kuat. Menurut
pendapat terkuat pula (perselisihannya tidak terlalu kuat dalam madzhab), tidak disunnahkan
shalawat pada keluarga nabi pada tasyahud awal. (Minhajut Tholibin, hal. 179-180).

Syaikh Musthofa Al Bugho memasukkan shaawat pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam
setelah tasyahud awal pada sunnah abadh, artinya bila ditinggalkan mesti ada sujud sahwi. Lihat
Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 146.

Akan berlanjut pada bacaan Tasyahud Awal secara lengkap insya Allah.

Semoga bermanfaat.

Sumber : https://rumaysho.com/8512-sifat-shalat-nabi-17-apakah-saat-tasyahud-awal-membaca-
shalawat.html

Sifat Shalat Nabi (18): Imam Tasyahud


Akhir, Makmum Masbuk Duduk Iftirosy
atau Tawarruk?
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 16, 2014 Shalat 14 Comments 9,476 Views

Bagaimanakah yang dilakukan oleh makmum masbuk (makmum yang telat) jika imam sedang
tasyahud akhir, makmum melakukan duduk iftirosy ataukah tawarruk?

Bagaimanakah bentuk duduk iftirosy dan duduk tawarruk. Kita dapat melihat dalam hadits Abu
Humaid berikut.







Jika duduk di rakaat kedua, beliau duduk di kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya
(baca: duduk iftirosy). Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kiri dan
menegakkan kaki kanannya, duduk di lantai saat itu (baca: duduk tawarruk). (HR. Bukhari no.
828).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, Jika makmum masbuk duduk di akhir shalatnya
imam (imam berada pada tasyahud akhir). Ada tiga pendapat ulama Syafiiyah dalam hal ini.
Pendapat yang lebih tepat -dalam hal ini perselisihannya tidak terlalu kuat-, mayoritas ulama
Syafiiyah berpendapat bahwa duduknya makmum adalah duduk iftirosy.

Pendapat kedua -merupakan pendapat lainnya-, duduknya adalah tawarruk. Pendapat ketiga dari
ulama Syafiiyah, ketika makmum masbuk berada pada rakaat yang ada tasyahud (rakaat kedua),
maka makmum melakukan duduk iftirosy. Jika ia berada dalam duduk yang lain, ia melakukan
duduk tawarruk karena mengikuti imam. (Roudhotuth Tholibin, 1: 185).

Pendapat lebih kuat, duduknya makmum masbuk ketika imam tasyahud akhir adalah duduk
iftirosy. Inilah pendapat yang dianut mayoritas ulama Syafiiyah.

Adapun pemahaman dari hadits berikut,







Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam
ruku, maka rukulah. Jika imam sujud, maka sujudlah. Jika imam shalat sambil berdiri, maka
shalatlah demikian pula. (Muttafaqun alaih).

Yang dimaksud hadits di atas adalah dalam gerakan umum, bukan gerakan secara detail. Kalau
gerakan yang lebih mendalam, tidaklah mengapa makmum berbeda dengan imam seperti ketika
imam tasyahud akhir, imam melakukan duduk tawarruk dan makmum masbuk tetap duduk
iftirosy.

Untuk memahami secara utuh artikel di atas, alangkah baiknya membaca pula:

1- Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?

2- Sifat Shalat Nabi (11): Cara Duduk antara Dua Sujud.

3- Sifat Shalat Nabi (13): Cara Duduk Tasyahud Awwal dan Akhir.

Semoga bermanfaat.

Sumber : https://rumaysho.com/8520-sifat-shalat-nabi-18-imam-tasyahud-akhir-makmum-masbuk-
duduk-iftirosy-atau-tawarruk.html
Sifat Shalat Nabi (19): Bacaan Tasyahud,
Perlukah Diganti Assalamu alan Nabi?
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 20, 2014 Shalat 1 Comment 2,579 Views
Bacaan tasyahud di dalamnya disebutkan assalamu alaika ayyuhan nabi, artinya salam untukmu
wahai Nabi. Ini menggunakan lafazh orang kedua, seperti orang yang diajak bicara. Sedangkan
dalam beberapa riwayat disebutkan lafazh tersebut hendaknya diganti dengan kata ganti orang
ketiga menjadi assalamu alan nabi, artinya salam bagi nabi. Apakah perlu mengganti dengan
lafazh orang ketiga ataukah tetap seperti yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam ajarkan?

Perlu dipahami bahwa hadits-hadits yang membicarakan bacaan tasyahud, yang lebih sempurna
adalah bacaan dari Ibnu Abbas. Demikian pandangan dari ulama Syafiiyah.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, Bacaan tasyahud yang paling sempurna menurut kami
adalah bacaan tasyahud dari Ibnu Abbas, lalu bacaan dari Ibnu Masud, lalu bacaan dari Ibnu
Umar. (Al Majmu, 3: 304). Hal yang sama juga dikatakan oleh Imam Nawawi dalam
Roudhotuth Tholibin, 1: 186.

Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata,










.
.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam mengajariku tasyahud -dan telapak tanganku berada
di dalam genggaman kedua telapak tangan beliau sebagaimana beliau mengajariku surat dalam
Al Quran: At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat, assalaamualaika ayyuhan-
nabiyyu warahmatullaahi wa barakaatuh, as-salaamu alainaa wa alaa ibaadillaahish-shaalihiin.
Asyhadu al-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuuluh (artinya:
Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya.
Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah
yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). Bacaan itu kami
ucapkan ketika beliau masih ada di antara kami. Adapun setelah beliau meninggal, kami
mengucapkan as salaamu alan Nabiy (shallallaahu alaihi wa sallam) (HR. Bukhari no.
6265).

Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi hafizhahullah menuturkan bahwa amalan tersebut
hanyalah amalan sahabat Nabi. Namun tidak mengapa mengamalkan semuanya. Para sahabat
ketika bersafar saja masih mengucapkan assalamualaika ayyuhan nabi dalam tasyahud, tidak
beralih mengganti menjadi assalamu alan nabi. Jadi, lafazh tasyahud tetap sebagaimana yang
Nabi shallallahu alaihi wa sallam ajarkan. Oleh karenanya Ibnu Masud mengatakan,
Demikianlah yang diajarkan kepada kami dan demikian yang kami ajarkan. Maksudnya adalah
kami mengajarkan kepada yang lainnya seperti yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam ajarkan
tanpa ada penambahan ataukah pengurangan. Siapa yang mengamalkan seperti yang Ibnu
Masud amalkan, maka tidaklah masalah, itulah asalnya. Siapa yang mengamalkan seperti yang
diamalkan oleh Ibnu Abbas dan juga yang diceritakan oleh Atho dari beberapa sahabat,
tidaklah masalah. (Lihat Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Ath Thorifi, hal. 143).

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, Dalam tasyahud apakah
seseorang membaca bacaan assalamu alaika ayyuhan nabi atau bacaan assalamu alan nabi?
Abdullah bin Masud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu
alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan assalamu alaika ayyuhan nabi. Namun setelah
beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan assalamu alan nabi.
Jawab para ulama yang berada di komisi fatwa tersebut, Yang lebih tepat, seseorang ketika
tasyahud dalam shalat mengucapkan assalamu alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa
barokatuh. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun
riwayat Ibnu Masud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu
alaihi wa sallam wafat jika memang itu benar riwayat yang shahih-, itu hanyalah hasil ijtihad
dari Ibnu Masud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada
perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat dan setelah
beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya
pada para sahabat.

(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no. 8571, pertanyaan pertama. Yang menandatangani fatwa ini
adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh Abdur Rozaq Afifi selaku wakil
ketua, Syaikh Abdullah bin Quud dan Abdullah bin Ghodyan selaku anggota)

Semoga bermanfaat.

Sumber : https://rumaysho.com/8545-sifat-shalat-nabi-19-bacaan-tasyahud-perlukah-diganti-assalamu-
alan-nabi.html
Sifat Shalat Nabi (20): Bacaan Tasyahud
Awal
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 20, 2014 Shalat 16 Comments 39,482 Views

Ada dua bacaan tasyahud awal dari beberapa bacaan tasyahud yang kami utarakan kali ini.

Bacaan Tasyahud Awal

Pertama, bacaan tasyahud Ibnu Abbas.










At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu alaika ayyuhan
nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu alainaa wa alaa ibaadillahish sholihiin.
Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rosuuluh (artinya:
Segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya.
Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah
yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya) (HR. Muslim no.
403).

Kedua, bacaan tasyahud Ibnu Masud.









At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Assalaamualaika ayyuhan nabiyyu
warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu alainaa wa alaa ibaadillaahish shoolihiin.
Asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rosuuluh (artinya:
Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya.
Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah
yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). (HR. Bukhari no.
6265).

Ditambah Bacaan Shalawat pada Tasyahud Awal

Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud awal di atas,










Allahumma sholli ala Muhammad wa ala aali Muhammad kamaa shollaita ala Ibroohim wa
ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ala Muhammad wa ala aali
Muhammad kamaa baarokta ala Ibrohim wa ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya:
Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
lagi Maha Mulia). (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Kaab bin Ujroh).

Minimal bacaan shalawat adalah,




Allahumma sholli ala Muhammad (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah pada
Muhammad). (Roudhotuth Tholibin, 1: 187).

Semoga bermanfaat.

Sumber : https://rumaysho.com/8548-sifat-shalat-nabi-20-bacaan-tasyahud-awal.html
Sifat Shalat Nabi (21): Cara Bangkit ke
Rakaat Ketiga Setelah Tasyahud Awal
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 22, 2014 Shalat 2 Comments 5,024 Views

Bagaimanakah cara bangkit ke rakaat ketiga setelah tasyahud awal?

32- Bangkit ke rakaat ketiga dengan bertumpu pada tangan sambil bertakbir Allahu Akbar.

Menurut madzhab Syafii, berdiri ke rakaat ketiga adalah dengan bertumpu pada tangan di tanah.
(Al Majmu, 3: 307). Sebagaimana hal ini diterangkan sebelumnya pada point 29 ketika
membahas cara bangkit ke rakaat kedua.

33- Bangkit ke rakaat ketiga setelah tasyahud awal dengan mengangkat tangan.

Menurut ulama Syafiiyah, disunnahkan mengangkat tangan ketika bangkit ke rakaat ketiga.
(Idem).

Dalam hadits Abu Humaid As Saidi mengenai mengangkat tangan saat bangkit dari tasyahud
awwal, ia berkata,





Kemudian Rasul shallallahu alaihi wa sallam bangkit, kemudian ia melakukan rakaat kedua
seperti rakaat pertama. Sampai beliau selesai melakukan dua rakaat, beliau bertakbir dan
mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan pundaknya sebagaimana yang beliau
lakukan saat takbiratul ihram (ketika memulai shalat). (HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud no.
963. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

34- Membaca surat Al Fatihah dengan lirih di rakaat ketiga dan keempat.

Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa ulama Syafiiyah berpendapat, rakaat ketiga
dilakukan sama dengan rakaat kedua, yang berbeda hanyalah bacaan yang tidak dijaherkan (tidak
dikeraskan).

Abu Bakr Al Hishniy berkata, Tidak dianjurkan untuk membaca surat lain selain Al Fatihah
pada rakaat ketiga dan keempat menurut pendapat yang lebih kuat. Kecuali jika sebagai
makmum masbuk, maka surat selain Al Fatihah masih dibaca pada rakaat ketiga atau keempat.
Demikian pendapat dari Imam Syafii. (Kifayatul Akhyar, hal. 160).
Namun sebenarnya sesekali membaca surat lain setelah Al Fatihah pada rakaat ketiga dan
keempat itu dibolehkan. Berdasarkan hadits berikut,

- -






Dari Abu Said Al Khudri, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca surat
di shalat Zhuhur pada rakaat pertama dan kedua pada setiap rakaat sekitar membaca 30 ayat.
Pada rakaat ketiga dan keempat membaca 15 ayat. Sedangkan waktu Ashar membaca separuh
dari waktu Zhuhur, yaitu rakaat pertama dan kedua membaca 15 ayat di masing-masing rakaat.
Kemudian di rakaat ketiga dan keempat membaca separuh dari itu. (HR. Muslim no. 452).

Padahal surat Al Fatihah berjumlah 7 ayat. Berarti di rakaat ketiga dan keempat bisa dibaca lebih
dari surat Al Fatihah.

Semoga bermanfaat.

Sumber : https://rumaysho.com/8564-sifat-shalat-nabi-21-cara-bangkit-ke-rakaat-ketiga-setelah-
tasyahud-awal.html
Sifat Shalat Nabi (22): Keadaan Tangan
Ketika Sujud
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc September 3, 2014 Shalat 2 Comments 9,975 Views

Bagaimanakah keadaan tangan ketika sujud?

Ini satu bahasan yang terlewatkan ketika Rumaysho.Com membahas cara sujud. Bagaimanakah
posisi tangan saat itu. Kita akan melihat dalam hadits-hadits berikut ini.

Dari Ibnu Buhainah, ia berkata,





Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika shalat, beliau merenggangkan lengan tangannya
(ketika sujud) hingga nampak putih ketiak beliau. (HR. Bukhari no. 390 dan Muslim no. 495).

Dari Al Bara bin Azib, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,




Jika engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu. (HR.
Muslim no. 494).

Dari Wail bin Hujr, ia berkata,






Ketika sujud, Nabi shallallahu alaihi wa sallam merapatkan jari jemarinya. (HR. Hakim
dalam Mustadroknya 1: 350. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat
Muslim dan disetujui pula oleh Imam Adz Dzahabi)
Ada empat tuntunan yang diajarkan dalam hadits-hadits di atas:

1- Meletakkan kedua telapak tangan di lantai, bahkan telapak tangan tersebut merupakan anggota
sujud yang mesti diletakkan sebagaimana telah diterangkan dalam Sifat Shalat Nabi (10): Cara
Sujud.

2- Saat sujud, jari-jemari tangan dirapatkan.

3- Disunnahkan menjauhkan dua lengan dari samping tubuh ketika sujud.

Namun perihal di atas dikecualikan jika berada dalam shalat jamaah. Perlu dipahami bahwa
membentangkan lengan seperti itu dihukumi sunnah. Ketika cara sujud seperti itu dilakukan saat
shalat jamaah berarti mengganggu yang berada di kanan dan kiri. Syaikh Muhammad bin Shalih
bin Shalih Al Utsaimin membawakan suatu kaedah dalam masalah ini,



Meninggalkan perkara yang hukumnya sunnah untuk menghindarkan diri dari mengganggu
orang lain lebih utama dari mengerjakan hal yang sunnah namun mengganggu orang lain.
(Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 264).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dua adab awal ketika sujud ini dengan mengatakan,
Hendaknya yang sujud meletakkan kedua telapak tangannya ke lantai dan mengangkat sikunya
dari lantai. Hendaklah lengannya dijauhkan dari sisi tubuhnya sehingga nampak bagian dalam
ketiaknya ketika ia tidak berpakaian tertutup (seperti memakai kain selendang saja ketika
berihram saat haji atau umrah, -pen). Inilah cara sujud yang disepakati oleh para ulama. Jika ada
yang tidak melakukannya, maka dapat dihukumi shalatnya itu jelek, namun shalatnya itu sah.
Wallahu alam. (Syarh Shahih Muslim, 4: 187).

4- Lengan mesti diangkat, tidak menempel pada lantai. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mengangkatnya dan tidak menempelkan lengan atau siku ke lantai saat
sujud. Dalam hadits disebutkan pula,






Bersikaplah pertengahan ketiak sujud. Janganlah salah seorang di antara kalian menempelkan
lengannya di lantai seperti anjing yang membentangkan lengannya saat duduk. (HR. Bukhari
no. 822 dan Muslim no. 493).

Cara Sujud yang Keliru dengan Menempelkan


Lengan di Lantai

Apa hikmah mengangkat siku atau lengan tangan ketika sujud? Imam Nawawi rahimahullah
berkata, Hikmah melakukan cara seperti itu adalah untuk mendekatkan pada sifat tawadhu.
Cara seperti itu pula akan membuat anggota sujud yang mesti menempel benar-benar menempel
ke lantai yaitu dahi dan hidung. Cara sujud seperti itu pula akan menjauhkan dari sifat malas.
Perlu diketahui bahwa cara sujud dengan lengan menempel ke tanah menyerupai anjing yang
membentangkan lengannya. Keadaan lengan seperti itu pula pertanda orang tersebut
meremehkan shalat dan kurang perhatian terhadap shalatnya. Wallahu alam. (Syarh Shahih
Muslim, 4: 187)

Cara sujud yang diajarkan di sini berlaku untuk laki-laki dan perempuan, tidak dibedakan karena
kalau membedakan mesti dengan dalil khusus. Wallahu alam.

Semoga sajian singkat Rumaysho.Com di sore ini bermanfaat. Hanya Allah yang memberi
taufik.

Referensi:

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu
Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1428 H.

Minhatul Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan, terbitan Dar
Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H.

Sumber : https://rumaysho.com/8637-sifat-shalat-nabi-22-keadaan-tangan-ketika-sujud.html

Sifat Shalat Nabi (23): Bacaan Tasyahud


Akhir
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc September 7, 2014 Shalat 21 Comments 100,930 Views

Bagaimanakah cara melakukan tasyahud akhir? Bagaimana bacaan di dalamnya?

35- Setelah itu melakukan gerakan shalat sama seperti rakaat sebelumnya hingga duduk tasyahud
akhir. Cara duduk tasyahud adalah dengan duduk tawarruk, baik shalat tersebut terdapat dua kali
tasyahud, atau shalat tersebut dua rakaat atau lebih. Hal ini sudah diterangkan sebelumnya pada
Sifat Shalat Nabi (13): Cara Tasyahud Awal dan Akhir.

Bacaan ketika tasyahud akhir sama dengan tasyahud awwal [Lihat: Sifat Shalat Nabi (20):
Bacaan Tasyahud Awal].










At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu alaika ayyuhan
nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu alainaa wa alaa ibaadillahish sholihiin.
Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rosuuluh.









Allahumma sholli ala Muhammad wa ala aali Muhammad kamaa shollaita ala Ibroohim wa
ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ala Muhammad wa ala aali
Muhammad kamaa baarokta ala Ibrohim wa ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.

Lalu ditambah dengan doa meminta perlindungan dari empat perkara.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,







Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah
perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam, (2) siksa kubur, (3)
penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih Ad Dajjal. (HR. Muslim no. 588).

Doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam disebutkan dalam riwayat lain,







Allahumma inni audzu bika min adzabil qobri, wa adzabin naar, wa fitnatil mahyaa wal
mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari
siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad
Dajjal]. (HR. Muslim no. 588)

Setelah itu berdoa dengan doa apa saja yang diinginkan. Dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,






Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka mintalah perlindungan pada Allah dari
empat perkara yaitu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari
kejelekan Al Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa
apa saja yang ia inginkan. (HR. An Nasai no. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih).

Dengan catatan, hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik adalah dengan doa yang
berasal dari Al Quran dan hadits. Doa yang berasal dari Al Quran dan hadits begitu banyak yang
bisa diamalkan.

Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama Syafiiyah,
Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah,



.




.


Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa matsur. Adapun doa yang tidak matsur
(tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut
dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan
sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofii dari Imam Syafii sebagai penegasan dari yang pertama.
Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu
dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal. (Mughnil Muhtaj, 1: 273).

Semoga bermanfaat. Insya Allah masih berlanjut pada permasalahan Sifat Shalat Nabi
selanjutnya. Moga Allah mudahkan.

Sumber : https://rumaysho.com/8684-sifat-shalat-nabi-23-bacaan-tasyahud-akhir.html

Sifat Shalat Nabi (24): Di Tasyahud Akhir,


Nabi Meminta Perlindungan dari Banyak
Utang
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc September 8, 2014 Shalat 4 Comments 7,729 Views
Setelah tasyahud akhir, lalu meminta perlindungan dari 4 hal, kemudian diperkanankan meminta
doa semau kita. Di antara doa yang diajarkan setelah tasyahud akhir atau dalam shalat adalah
meminta perlindungan dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.

Dari Aisyah -istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam-, Aisyah mengabarkan bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam biasa berdoa di dalam shalatnya,





Allahumma inni audzu bika min adzabil qobri, wa audzu bika min fitnatil masiihid dajjal, wa
audzu bika min fitnatil mahyaa wa fitnatil mamaat. Allahumma inni audzu bika minal matsami
wal maghrom (artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku
meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al Masih Ad Dajjal, aku meminta perlindungan
pada-Mu dari musibah ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu
dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang). (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589).

Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab Doa Sebelum Salam. Namun yang lebih
tepat, doa di atas bukan dibaca khusus ketika tasyahud akhir, namun bisa ketika sujud pula, yang
penting di dalam shalat. Demikian penegasan dari Ibnu Hajar dalam Al Fath, 2: 318.

Dari Urwah, dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

.





Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa berdoa di dalam shalat: Allahumma inni audzu bika
minal matsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan
banyak hutang). Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam, Kenapa
engkau sering meminta perlindungan dari hutang? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
lantas bersabda, Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji,
dia akan mengingkari. (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).

Maksud doa di atas adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam meminta perlindung pada Allah
dari dosa dan utang. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 5: 79.

Doa tersebut berisi kandungan bahwa kita meminta perlindungan dari utang yang sebenarnya
tidak ada sebab untuk kita berutang dan yang ada sebabnya, lalu kita tidak mampu melunasi
utang tersebut. Namun yang dimaksud bisa jadi lebih umum dari itu. Bisa juga yang dimaksud
adalah meminta perlindungan dari terlilitnya utang. Demikian kata Ibnu Hajar Al Asqolani
dalam Fathul Bari, 2: 319. Beliau katakan juga bahwa hadits tersebut menunjukkan bahayanya
berutang dan nasib jeleknya di akhirat kelak.

Ibnu Hajar Al Asqolani menerangkan pula, Yang dimaksud dengan meminta perlindungan dari
utang yaitu jangan sampai hidup sulit gara-gara terlilit utang. Atau maksudnya pula, meminta
perlindungan pada Allah dari keadaan tidak mampu melunasi utang.

Kata Ibnu Hajar pula, dalam Hasyiyah Ibnul Munir disebutkan bahwa hadits meminta
perlindungan dari utang tidaklah bertolak belakang dengan hadits yang membicarakan tentang
bolehnya berutang. Sedangkan yang dimaksud dengan meminta perlindungan adalah dari
kesusahan saat berutang. Namun jika yang berutang itu mudah melunasinya, maka ia berarti
telah dilindungi oleh Allah dari kesulitan dan ia pun melakukan sesuatu yang sifatnya boleh
(mubah). Lihat Fathul Bari, 5: 61.

Al Muhallab mengatakan, Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala
perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah doa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat
mengantarkan pada dusta. (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 12: 37).

Jadi, jangan lupa dalam tasyahud akhir kita atau dalam shalat kita untuk menambahkan doa ini,



Allahumma inni audzu bika minal matsami wal maghrom (artinya: Ya Allah, aku meminta
pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber : https://rumaysho.com/8723-sifat-shalat-nabi-24-di-tasyahud-akhir-nabi-meminta-
perlindungan-dari-banyak-utang.html
Sifat Shalat Nabi (25): Di Tasyahud Akhir,
Nabi Berdoa Memohon Ampunan
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc September 9, 2014 Shalat 5 Comments 1,431 Views

Salah satu doa lagi yang diajarkan setelah tasyahud akhir adalah doa memohon ampunan. Doa
ini yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya.

.

.





Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu anhu, ia berkata pada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, Ajarkanlah padaku suatu doa yang aku baca dalam shalatku. Beliau menjawab,
ucapkanlah, Allahumma inni zholamtu nafsii zhulman katsiroo wa laa yaghfirudz dzunuuba illa
anta. Faghfir lii maghfiratan min indik, warhamnii innaka antal ghofurur rohiim (artinya: Ya
Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang besar. Tiada
yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu.
Kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). (HR.
Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705)

Maksud dari maghfiratan min indik, yaitu ampunan dari sisi-Mu adalah permintaan ampunan
yang besar dari Allah. Ibnu Hajar mengatakan seperti ini dalam Fathul Bari, 2: 320.

Sedangkan sifat yang disebutkan di akhir doa al ghofur ar rohim yaitu dua sifat yang
senantiasa bergandengan. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, al ghofur berarti
Allah mengampuni maksiat yang telah dilakukan dan disesalkan. Sedangkan ar rohim berarti
Allah mengasihi hamba ketika ia lalai dari melakukan kewajiban dan ketaatan. Ini yang
disebutkan oleh beliau dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 277.

Adapun ampunan Allah (maghfirah) ada dua makna, yaitu Allah menutup dosa dan tidak
memberikan hukuman. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 271.

Doa di atas juga dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Bab Doa Sebelum Salam. Kalau
dikatakan sebelumnya, doa semacam itu bukan khusus berada di akhir shalat sebelum salam
setelah tasyahud akhir, namun boleh juga di tempat lainnya di dalam shalat.

Imam Nawawi rahimahullah menegaskan bahwa maksud Abu Bakr yang meminta pada Rasul
mengenai doa yang ia baca dalam shalatnya, maka maksudnya adalah pada berbagai tempat
dalam shalat. Namun bisa jadi yang dimaksud adalah pada tasyahud akhir.

Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan bahwa Abu Bakr itu bertanya mengenai tasyahud, lalu
beliau diajarkan tentang hal itu dan dikatakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelahnya,
Kemudian pilihlah doa yang disukai. Dari sini, dapat kita tahu alasan kenapa Imam Bukhari
mengatakan bahwa doa di atas terletak sebelum salam, maksudnya setelah tasyahud akhir.
(Fathul Bari, 2: 320).

Semoga bermanfaat.
Sumber : https://rumaysho.com/8729-sifat-shalat-nabi-25-di-tasyahud-akhir-nabi-berdoa-memohon-
ampunan.html

Sifat Shalat Nabi (26): Di Tasyahud Akhir,


Nabi Berdoa Agar Semangat dalam Ibadah
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc October 16, 2014 Shalat Leave a comment 866 Views

Di tasyahud akhir, di antara doa yang dipanjatkan Nabi adalah doa agar terus semangat dalam
ibadah, maksudnya dijauhkan dari sifat juben.

Saad bin Abi Waqqash biasa mengajarkan anaknya beberapa kalimat doa berikut. Ia
mengajarkan doa tersebut sebagaimana para pengajar mengajarkan menulis. Ia mengatakan
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca doa ini di dubur shalat (akhir
tasyahud sebelum salam),






Allahumma inni audzu bika minal jubni, wa audzu bika an arudda ilaa ardzalil umur, wa
audzu bika min fitnatid dunyaa, wa audzu bika min adzabil qodbri (artinya: Ya Allah, aku
meminta perlindungan pada-Mu dari lemah melakukan ibadah yang mulia, aku meminta
perlindungan pada-Mu dari keadaan tua yang jelek, aku meminta perlindungan pada-Mu dari
tergoda syahwat dunia (sehingga lalai dari kewajiban), aku meminta perlindungan pada-Mu
dari siksa kubur). (HR. Bukhari no. 2822).

Perhatian kita pada meminta perlindungan dari juben. Apa yang dimaksud dengan sifat juben
tersebut? Kenapa sampai Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri di akhir tasyahud
memanjatkan doa itu?

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6: 35) dan As Suyuthi dalam Hasyiyah Sunan An Nasai (7: 143)
berkata bahwa juben adalah antonim dari kata syajaah yang berarti berani. Berarti juben adalah
pengecut atau tidak berani.

Al Muhallab sebagaimana dinukil dalam Syarh Bukhari karya Ibnu Batthol menyatakan bahwa
juben adalah sifat pengecut dengan lari dari medan pertempuran. (Syarh Bukhari, 9: 45)

Dalam Aunul Mabud (4: 316, penjelasan hadits no. 1539) disebutkan bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam meminta perlindungan dari sifat juben karena sifat tersebut dapat membuat
seseorang tidak bisa memenuhi panggilan jihad yang wajib, tidak berani mengemukakan
kebenaran, tidak bisa mengingkari kemungkaran, juga akan luput dari kewajiban lainnya.

Syaikh Abdullah Al Fauzan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lemahnya hati sehingga
menghalangi dari melakukan amalan-amalan yang mulia seperti jihad, berkata yang benar, sulit
melakukan amar maruf nahi mungkar, juga dalam hal lainnya yang merupakan hal-hal mulia
dalam Islam. (Minhatul Allam, hal. 186).
Intinya, sifat juben ini menghalangi dari melakukan kewajiban dan amalan yang mulia. Dalam
tasyahud akhir sebelum akhir, hendaklah kita bisa mengamalkan doa ini sehingga kita bisa terus
dimudahkan oleh Allah dalam ibadah.

Semoga doa ini bisa dihafalkan dan dipraktekkan oleh para pembaca Rumaysho.Com. Moga
bermanfaat. Ingatlah, hanya dengan taufik dan pertolongan Allah-lah kita bisa mudah dan
semangat dalam ibadah. Jangan bosan untuk berdoa agar terus semangat dalam ketaatan.

Referensi:

Aunul Mabud Syarh Sunan Abi Daud, terbitan Darul Faiha, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani, terbitan Dar Thiybah, cetakan
keempat, tahun 1432 H.

Minhatul Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan, terbitan Dar
Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H.

Syarh Bukhari, Ibnu Batthol, Asy Syamilah.

Syarh Sunan An Nasai, Catatan kaki dari As Sindiy dan As Suyuthi, Asy Syamilah.

Sumber : https://rumaysho.com/9114-sifat-shalat-nabi-26-tasyahud-akhir-berdoa-semangat-
ibadah.html
Sifat Shalat Nabi (27): Di Tasyahud Akhir,
Berdoa Agar Rajin Berdzikir dan Bersyukur
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc November 9, 2014 Shalat 7 Comments 4,536 Views

Di tasyahud akhir, ada doa yang dituntunkan yang bisa kita baca dan semestinya dihafalkan,
yaitu doa meminta pada Allah untuk rajin berdzikir, bersyukur dan bagus dalam ibadah.

Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
memegang tangannya lalu berkata,




Wahai Muadz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selanjutnya bersabda,






Aku memberikanmu nasehat, wahai muadz. Janganlah engkau tinggalkan saat di penghujung
shalat (di akhir shalat setelah sama) bacaan doa: Allahumma ainni ala dzikrika wa syukrika wa
husni ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur dan beribadah yang baik
pada-Mu).

Disebutkan di akhir hadits,

.



Muadz mewasiatkan seperti itu pada Ash Sunabihi. Lalu Ash Shunabihi mewasiatkannya lagi
pada Abu Abdirrahman. (HR. Abu Daud no. 1522 dan An Nasai no. 1304. Al Hafizh Abu
Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Ada tiga permintaan yang diminta dalam doa ini.

Pertama, meminta pada Allah agar dimudahkan berdzikir. Di sini bisa berupa membaca Al
Quran, memuji Allah, menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat, dan semacam itu. Lantas
kenapa dzikir didahulukan dari syukur? Karena jika seseorang tidak berdzikir berarti ia tidak
bersyukur pada Allah. Allah Taala berfirman,



Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al Baqarah: 152).

Kedua, meminta pada Allah untuk rajin bersyukur. Syukur adalah menampakkan bekas nikmat
Allah pada lisan hamba-Nya sebagai bentuk pujian, juga ada bentuk pengakuan dalam hati dan
diwujudkan dengan ketundukkan pada anggota badan. Disebut syukur tentu saja dengan
memanfaatkan nikmat tersebut untuk ketaatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah, serta
menjauhkan diri dari maksiat pada-Nya.

Ketiga, meminta pada Allah supaya bisa beribadah dengan baik. Yang dimaksud ibadah yang
baik adalah ibadah yang ikhlas dan ibadah yang sesuai tuntunan.

Dalam hadits disebutkan bahwa doa tersebut dibaca di dubur shalat. Dubur shalat itu bisa berarti
sebelum salam, bisa pula sesudah salam. Namun yang lebih tepat di sini adalah sebelum salam
karena dua alasan:

Dubur shalat itu adalah ujungnya sesuatu dan masih merupakan bagian dari sesuatu
tersebut, sehingga lebih tepat dimaknakan dubur shalat di sini adalah di akhir shalat
sebelum salam.
Sebelum salam itu adalah tempatnya doa. Namun kalau lupa dilakukan sebelum salam,
maka bisa memilih sesudah salam karena sama-sama disebut dubur shalat.

Semoga bermanfaat, moga doanya bisa dihafalkan dan dipraktekkan. Moga Allah memberikan
kita kemudahan dalam berdzikir, bersyukur dan beribadah.

Referensi:

Minhatul Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan, terbitan Dar
Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 3: 194-196

Sumber : https://rumaysho.com/9455-sifat-shalat-nabi-27-di-tasyahud-akhir-berdoa-agar-rajin-
berdzikir-dan-bersyukur.html
Sifat Shalat Nabi (28): Kapan Menurunkan
Jari Telunjuk Saat Tasyahud?
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc January 8, 2015 Shalat 24 Comments 18,413 Views

Kapan menurunkan jari telunjuk yang digunakan untuk berisyarat saat tasyahud?

Dalam kitab sunan disebutkan riwayat dari Ibnu Umar, ia berkata,



- -




Ketika duduk dalam shalat, Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di
paha kanannya, lalu beliau mengangkat jari di samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan
kanan) dan beliau berdoa dengannya. Sedangkan tangan kiri dibentangkan di paha kirinya. (HR.
Tirmidzi no. 294).

Imam Syafii menegaskan bahwa berisyarat dengan jari telunjuk dihukumi sunnah sebagaimana
didukung dari berbagai hadits. (Lihat Al Majmu, 3: 301).

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5: 73-74), Berisyarat dengan jari telunjuk dimulai
dari ucapan illallah dari ucapan syahadat. Berisyarat dilakukan dengan jari tangan kanan,
bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk
berisyarat, tidak dengan jari tangan kanan yang lain, tidak pula dengan jari tangan kiri.
Disunnahkan agar pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih yang
disebutkan dalam Sunan Abi Daud yang menerangkan hal tersebut. Isyarat tersebut dengan
mengarah kiblat. Isyarat tersebut untuk menunjukkan tauhid dan ikhlas.

Dalam Al Majmu (3: 301), Imam Nawawi rahimahullah berkata, Dari semua ucapan dan sisi
pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa disunnahkan mengisyaratkan jari telunjuk tangan
kanan, lalu mengangkatnya ketika sampai huruf hamzah dari ucapannya (laa ilaaha illalllahu)

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam kalimat tasyahud,
yaitu pada kata laa. Ketika sampai pada kalimat penetapan (itsbat) yaitu Allah, maka jari
tersebut diletakkan kembali.

Ulama Malikiyah berisyarat dari awal hingga akhir tasyahud.

Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah Allah. (Lihat Shifat Shalat Nabi
karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi, hal. 141).

Pada hadits Ibnu Umar di atas pada lafazh hadits lalu beliau mengangkat jari di samping jari
jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya, berdasarkan hal itu
mengangkat telunjuk dimulai ketika berdoa dalam tasyahud. Adapun lafazh doa dimulai dari
dua kalimat syahadat. Karena di dalamnya terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan
Allah. Hal itu penyebab suatu doa lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mengucapkan inti
doanya allahumma shalli ala Muhammad hingga akhir tasyahuddan sampai akhir salam.
Adapun awal tasyahud attahiyyatulillah sampai ucapan wa ala ibadillahish shalihin
bukanlah termasuk doa, namun itu adalah bentuk memuji Allah dan doa keselamatan bagi
hamba-Nya.

Adapun masalah kapan selesainya berisyarat dengan telunjuk, para sahabat yang meriwayatkan
mengangkat jari telunjuk, tidaklah menyebutkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menurunkannya di bagian tertentu sebelum selesainya salam, sehingga disimpulkan bahwa
mengangkat jari telunjuk itu terus sampai selesai salam, terlebih lagi akhir tasyahud semuanya
adalah doa .

Imam Ar Ramli Asy Syafii rahimahullah berkata, Jari telunjuk diangkat saat ucapan illallah,
yaitu mulai mengangkatnya ketika pengucapan hamzah untuk mengikuti riwayat Imam Muslim
dalam masalah tersebut. Hal itu nampak jelas menunjukkan bahwa jari telunjuk tetap diangkat
sampai sesaat sebelum berdiri ke rakaat ketiga, pada tasyahud awal atau sampai salam pada
tasyahud akhir. Adapun yang dibahas sekolompok orang zaman sekarang tentang
mengembalikannya, maka ini menyelisihi riwayat yang ada. (Lihat Nihayatul Muhtaj, 1: 522).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengangkat jari saat tasyahud dimulai sejak syahadatain
(pada kalimat illallah) lalu diturunkan ketika akan bagkit ke rakaat ketiga untuk tasyahud awal
atau sampai salam untuk tasyahud akhir.

Semoga bermanfaat dan moga bisa diamalkan.

Referensi:

Al Majmu Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq: Muhammad
Najib Al Muthii, terbitan Dar Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.

Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thorifi,
terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Sumber : https://rumaysho.com/10026-sifat-shalat-nabi-28-kapan-menurunkan-jari-telunjuk-saat-
tasyahud.html

Sifat Shalat Nabi (29): Mengakhiri Shalat


dengan Salam
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc January 20, 2015 Shalat Leave a comment 8,724 Views

Bagaimanakah cara salam untuk mengakhiri shalat?

Salam adalah penutup shalat. Dari Abu Said Al Khudri, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,




Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah
ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam. (HR. Tirmidzi no. 238
dan Ibnu Majah no. 276. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Cara salam adalah dengan memalingkan wajah ke kanan sampai orang di belakang melihat pipi,
begitu pula salam ke kiri sampai orang di belakang melihat pipi. Disebutkan dalam hadits,



- -







Dari Amir bin Saad dari bapaknya, ia berkata, Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri hingga aku melihat pipinya yang
putih. (HR. Muslim no. 582).

Dari Abdullah bin Masud, ia berkata,



- -




Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri sampai
terlihat pipinya yang putih, lalu beliau mengucapkan, Assalamu alaikum wa rahmatullah,
assalamu alaikum wa rahmatullah (HR. Abu Daud no. 996 dan Tirmidzi no. 295. Al Hafizh
Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Salam yang termasuk bagian dari rukun adalah salam pertama, sedangkan salam kedua tidaklah
wajib.

Adapun ucapan salam adalah tanpa kalimat wa baraakatuh. Tambahan tersebut tak ada
dasarnya. Riwayat yang menyebutkan tambahan tersebut adalah riwayat yang syadz, yaitu
menyelisihi riwayat yang lebih kuat. Jadi yang lebih tepat ucapan salam adalah assalamu
alaikum wa rahmatullah.

Adapun jika hanya mengucapkan assalamu alaikum saja tanpa menyebut wa rahmatullah,
seperti itu sudah dianggap sah. Namun yang lebih sempurna adalah assalamu alaikum wa
rahmatullah.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

1. Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syariyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul
Barokat Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan
kedua, tahun 1431 H.
2. Minhatul Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan,
terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H.
3. Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath
Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.

Sumber : https://rumaysho.com/10074-sifat-shalat-nabi-29-mengakhiri-shalat-dengan-salam.html
Sifat Shalat Nabi (30): Rukun Shalat
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc February 22, 2015 Shalat 2 Comments 5,570 Views

Rukun shalat adalah bagian penting dari shalat. Jika rukun shalat tidak ada, shalat tidaklah sah
dan tak bisa tergantikan dengan sujud sahwi.
Setelah kita mempelajari sifat shalat nabi sampai serial ke-29, saat ini dan serial berikutnya akan
diulas mengenai shalat dari tinjauan fikih. Kita akan pelajari rukun shalat terlebih dahulu.

Yang termasuk dalam rukun shalat:

1- Niat di dalam hati. Tidak dipersyaratkan niat tersebut dilafazhkan. Dalam hadits disebutkan,



Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya. (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no.
1907, dari Umar bin Al Khottob)

2- Berdiri bagi yang mampu (untuk shalat wajib). Sedangkan shalat sunnah boleh dikerjakan
dalam keadaan duduk meskipun mampu.

Untuk shalat sunnah disunnahkan untuk berdiri, tidak wajib. Namun keadaan berdiri lebih utama
daripada duduk saat itu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,







Siapa yang mengerjakan shalat sambil berdiri, maka itu lebih afdhal. Siapa yang shalat sambil
duduk akan mendapatkan pahala separuh dari shalat sambil berdiri. Siapa yang shalat sambil
berbaring akan mendapat pahala separuh dari shalat sambil duduk. (HR. Bukhari no. 1065)

3- Takbiratul ihram (ucapan Allahu Akbar di awal shalat).

4- Membaca Al Fatihah (bagi imam dan orang yang shalat sendirian).

5- Ruku dan thumaninah (tidak tergesa-gesa).

Dalil yang menunjukkan perintah untuk thumaninah dapat dilihat pada hadits musii sholatuhu
(orang yang jelek shalatnya).





. .
.




Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah
seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, Ulangilah
shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat. Lalu ia pun shalat dan datang lalu
memberi salam pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti
sebelumnya, Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat. Sampai
diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, Demi yang mengutusmu
membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, Jika engkau hendak
shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Quran yang mudah bagimu. Lalu
rukulah dan sertai thumaninah ketika ruku. Lalu bangkitlah dan beritidallah sambil berdiri.
Kemudian sujudlah sertai thumaninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua
sujud sambil thumaninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thumaninah ketika sujud.
Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu. (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).

6- Itidal dan thumaninah.

7- Sujud dua kali dalam satu rakaat, disertai thumaninah.

8- Duduk di antara dua sujud, disertai thumaninah.

9- Duduk tahiyat akhir.

10- Membaca bacaan tasyahud di tahiyat akhir.

11- Membaca bacaan shalawat setelah bacaan tasyahud akhir.

12- Salam pertama, minimalnya Assalamu alaikum, lengkapnya Assalamu alaikum wa


rahmatullah.

13- Berurutan dalam mengerjakan rukun yang tadi disebutkan.

Diharuskan berurutan dalam mengerjakan rukun karena dalam hadits musii sholatuhu terdapat
kata tsumma ketika menjelaskan urutan rukun. Tsumma sendiri berarti kemudian yang
menunjukkan makna berurutan. Perhatikan haditsnya,









Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Quran yang mudah
bagimu. Lalu rukulah dan sertai thumaninah ketika ruku. Lalu bangkitlah dan beritidallah
sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thumaninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan
duduk antara dua sujud sambil thumaninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai
thumaninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu. (HR. Bukhari no. 793
dan Muslim no. 397).

Semoga bermanfaat.

Referensi Utama:

Al Fiqhu Al Manhaji ala Madzhabil Imam Asy Syafii, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al
Bugho, terbitan Darul Qalam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.

Sumber : https://rumaysho.com/10348-sifat-shalat-nabi-30-rukun-shalat.html
Sifat Shalat Nabi (31): Sunnah Abadh
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc February 23, 2015 Shalat 2 Comments 1,126 Views

Dalam madzhab Syafii, ada dua macam perkara sunnah dalam shalat yaitu sunnah abadh dan
sunnah hayah.

Sekarang yang kita kaji lebih dahulu adalah sunnah abadh. Sunnah abadh adalah perkara yang
dianggap sunnah dalam shalat.

Jika sunnah abadh ditinggalkan, maka bisa diganti dengan sujud sahwi.

Apa saja yang masuk sunnah abadh?

Ada tiga sunnah abadh yang bisa kami sebutkan setelah penjabaran sifat shalat Nabi secara
lengkap.

1- Duduk tasyahud awal.

2- Membaca tasyahud awal.

Dalil bahwa tasyahud awal termasuk sunnah adalah hadits dari Abdullah bin Buhainah, ia
berkata,










Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Zhuhur. Lalu ketika rakaat kedua, beliau berdiri dan
tidak duduk tasyahud awal. Para jamaah pun turut mengikuti beliau. Ketika di akhir shalat,
saat jamaah menunggu beliau salam, ternyata beliau bertakbir dalam keadaan duduk dan
melakukan dua kali sujud sahwi. Sujud sahwi tersebut dilakukan sebelum salam. Kemudian
beliau salam. (HR. Bukhari no. 829 dan Muslim no. 570).

3- Shalawat pada Nabi setelah tasyahud awal.

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Syafii berpendapat dalam Al Umm
bahwa shalawat pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap ada dalam tasyahud awal. Inilah
pendapat yang masyhur dalam madzhab SyafiI dan pendapat terbaru dari Imam Syafii. Namun
hukumnya adalah sunnah, bukanlah wajib. Dalam pendapat terdahulu, Imam Syafii berkata,
Setelah tasyahud tidak wajib menambahkan shalawat. Inilah yang diriwayatkan oleh Al
Muzani, juga menjadi pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Malik.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan alasan kenapa pembacaan shalawat pada Nabi tetap
ada pada tasyahud awal, di mana beliau berkata, Allah Taala telah memerintahkan pada orang
beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa
sallam. Ini menunjukkan bahwa ketika ada salam untuk beliau, maka di situ juga terdapat
shalawat padanya. Oleh karena itu ketika para sahabat bertanya mengenai cara bershalawat pada
beliau, mereka berkata, Kami sudah mengetahui bagaimanakah cara mengucapkan salam
kepadamu wahai Rasulullah-, lantas bagaimanakah kami menyampaikan shalawat
kepadamu? Ini menunjukkan bahwa shalawat pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu
bergandengan dengan salam pada beliau. Oleh karena itu setiap yang mau bershalawat pada Nabi
maka ia juga menyampaikan salam pada beliau. (Jalaul Afham, hal. 321).

Alasan lainnya disampaikan oleh Ibnul Qayyim bahwa shalawat digandengkan dengan salam
ketika menyebut nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menunjukkan sesuatu yang lebih
sempurna. (Jalaul Afham, hal. 322).

Semoga bermanfaat.

Referensi Utama:

Al Fiqhu Al Manhaji ala Madzhabil Imam Asy Syafii, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al
Bugho, terbitan Darul Qalam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.

Jalaa-ul Afham fii Fadhli Ash Shalah was Salaam ala Muhammad Khoiril Anam, Ibnu Qayyim
Al Jauziyah, terbitan Dar Ibni Katsir, cetakan kedua, tahun 1432 H.

Sumber : https://rumaysho.com/10353-sifat-shalat-nabi-31-sunnah-abadh.html
Sifat Shalat Nabi (32): Sunnah Hayah
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 16, 2015 Shalat 12 Comments 5,312 Views

Sunnah yang lain selain sunnah abadh adalah sunnah hayah. Sunnah hayah adalah perkara
yang dianggap sunnah dalam shalat, jika ditinggalkan, tak perlu kembali melakukannya dan tidak
ada sujud sahwi.

Apa saja yang masuk sunnah hayah?

Berikut kami sebutkan berdasarkan penjelasan dari ulama Syafiiyah.

1- Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ketika turun ruku, ketika bangkit dari
ruku, juga ketika bangkit dari tasyahud awal.

2- Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri ketika berdiri dalam shalat.

3- Melihat ke tempat sujud.

4- Membaca doa istiftah setelah takbiratul ihram.

5- Membaca taawudz setelah doa istiftah.

6- Menjahrkan (mengeraskan bacaan) pada shalat jahriyyah (Magrib, Shubuh, Isya) dan
mensirrkan bacaan (memelankan) pada shalat sirriyyah (Zhuhur dan Ashar).

7- Mengucapkan aamiin di akhir membaca Al Fatihah.

8- Membaca salah satu surat dalam Al Quran setelah Al Fatihah.

9- Takbir intiqol, yaitu setiap kali berpindah gerakan diperintahkan mengucapkan takbir Allahu
Akbar selain ketika bangkit dari ruku yaitu yang dibaca adalah samiallahu liman hamidah
rabbanaa lakal hamdu.

10- Bertasbih ketika ruku dan sujud. Saat ruku membaca subhana robbiyal azhim (3 kali),
sedangkan ketika sujud membaca subhana robbiyal alaa (3 kali).

11- Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk saat tasyahud awal dan tasyahud akhir.
Tangan kiri dibentangkan, sedangkan tangan kanan dalam keadaan seluruh jari digenggam
kecuali jari telunjuk memberikan isyarat.
12- Duduk dengan cara duduk tawarruk pada duduk tasyahud akhir dan duduk selainnya dengan
duduk iftirosy.

13- Membaca shalawat Ibrahimiyyah, lalu berdoa ketika tasyahud akhir.

14- Salam kedua, sedangkan salam pertama masuk rukun shalat.

15- Khusyu dalam seluruh gerakan shalat. Yang dimaksud khusyu adalah hati merenung apa
yang diucapkan oleh lisan, baik bacaan surat, dzikir atau doa yang dibaca. Semuanya
direnungkan dengan memahami artinya dan ketika itu merasa sedang bermunajat dengan Allah
Taala.

Harus ada khusyu dalam bagian shalat. Jika tidak ada khusyu sama sekali sejak awal hingga
akhir, maka shalatnya batal.

Penjelasan masing-masing point di atas telah diterangkan dahulu saat penjelasan sifat shalat nabi
dan gerakan-gerakannya.

Referensi Utama:

Al Fiqhu Al Manhaji ala Madzhabil Imam Asy Syafii, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa Al
Bugho, terbitan Darul Qalam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.
Sumber : https://rumaysho.com/10549-sifat-shalat-nabi-32-sunnah-hayah.html
Sifat Shalat Nabi (33): Sunnah Sesudah
Shalat
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc March 30, 2015 Shalat 1 Comment 4,101 Views

Ada lagi perkara sunnah yang dilakukan sesudah shalat yang bisa diamalkan.

1- Membaca istighfar dan dzikir lainnya sesudah shalat.

Baca artikel: Dzikir Setelah Shalat.

2- Berpindah tempat ketika melaksanakan shalat sunnah atau melaksanakan shalat sunnah di
rumah. Di antara tujuannya adalah untuk memperbanyak tempat yang jadi saksi yang
mendukung pada hari kiamat kelak.

Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,





Shalatlah kalian wahai manusia di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat kalian adalah
shalat di rumahnya kecuali shalat wajib. (HR. Bukhari no. 731).

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,







Jika salah seorang di antara kalian menunaikan shalat di masjid, jadikanlah shalatnya (shalat
sunnah) pula sebagiannya di rumah. Karena Allah akan menjadikan shalat tersebut kebaikan
bagi rumah tersebut. (HR. Muslim no. 778)

Disunnahkan berpindah tempat tersebut berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa
Muawiyyah radhiyallahu anhu pernah berkata kepadanya, Apabila engkau telah shalat Jumat,
janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat
shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam perintahkan pada kami.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau
pindah dari tempat shalat. (HR. Muslim no. 883).

Baca artikel: Memisah Shalat Rawatib dan Shalat Wajib, juga Isilah Rumah Kita dengan Shalat
Sunnah.

3- Jika shalat dilakukan di masjid dan di belakang terdapat jamaah wanita, disunnahkan jamaah
pria untuk tetap diam di tempatnya sampai jamaah wanita keluar lebih dahulu. Karena ikhtilath
(campur baur antara pria dan wanita) dapat menimbulkan kerusakan.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu anha, ia berkata,





.



Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika salam dari shalat, para jamaah wanita kala itu
berdiri. Beliau tetap duduk di tempat beliau barang sebentar sebelum beranjak. Kami melihat
wallahu alam- hal itu dilakukan supaya wanita bubar lebih dahulu sebelum berpapasan dengan
para pria. (HR. Bukhari no. 870)

Semoga bermanfaat.

Referensi Utama:

Al Fiqhu Al Manhajiy ala Madzhab Al Imam Asy Syafii, Dr. Musthofa Al Khin, Dr. Musthofa
Al Bugho, Ali Asy Syarbajiy, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, tahun 1430 H.

Sumber : https://rumaysho.com/10646-sifat-shalat-nabi-33-sunnah-sesudah-shalat.html
Sifat Shalat Nabi (34): Aturan Berisyarat
dengan Jari Ketika Tasyahud
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc July 18, 2015 Shalat Leave a comment 2,308 Views

Ada beberapa aturan berisyarat dengan jari ketika tasyahud (tahiyat) yang diajarkan oleh Imam
Nawawi rahimahullah berarti aturan ini berdasarkan madzhab Syafii dengan dukungan dalil.
Penjelasannya sebagai berikut.

1- Isyarat jari tersebut diarahkan ke arah kiblat. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Al-Baihaqi
dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma.

2- Diniatkan dengan isyarat tersebut untuk menunjukkan ikhlas dan tauhid. Hal ini disebutkan
oleh Al-Muzani dalam Mukhtashar Al-Muzani, juga pendapat ulama Syafiiyah lainnya. Al-
Baihaqi beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang majhul dari kalangan
sahabat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berisyarat dengan jari untuk menunjukkan
tauhid (ikhlas). Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia menyatakan bahwa hal itu untuk
menunjukkan keikhlasan.

3- Dimakruhkan beisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan. Karena yang disunnahkan
tangan kiri dibentangkan (tidak berisyarat).

4- Seandainya tangan kanan terpotong, sunnah berisyarat dengan jari menjadi gugur. Sunnah
tersebut tidak bisa tergantikan dengan tangan lain karena nantinya hal sunnah pada lainnya akan
ditinggalkan. Sama halnya dengan thawaf, tiga putaran pertama disunnahkan untuk melakukan
raml (berjalan dengan langkah cepat, pen.). Jika putaran ketiga tidak bisa melakukan raml, maka
tidak perlu hal tadi dilakukan di putaran keempat karena sunnah meninggalkan raml di putaran
keempat jadi tidak dilakukan.

5- Pandangan orang yang bertasyahud adalah memandang pada isyarat jarinya. Hal ini
berdasarkan riwayat Al-Baihaqi dan selainnya dari hadits Abdullah bin Az-Zubair bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan kanan dan berisyarat dengan jarinya, lantas
pandangannya pada isyarat jari tersebut. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang
shahih. Wallahu alam.

Demikian keterangan Imam Nawawi dalam Al-Majmu, 3: 302. Semoga bermanfaat, wallahu
waliyyut taufiq.

Referensi:

Al-Majmu Syarh Al-Muhadzzab li Asy-Syairazi. Cetakan kedua, tahun 1427 H. Al-Imam Abu
Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Alamil Kutub.

Sumber : https://rumaysho.com/11457-sifat-shalat-nabi-34-aturan-berisyarat-dengan-jari-ketika-
tasyahud.html

Sifat Shalat Nabi (35): Menempelkan Hidung


Saat Sujud, Wajibkah?
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc July 19, 2015 Shalat 7 Comments 8,486 Views

Apakah wajib menempelkan hidung bersama dahi saat sujud?

Apa yang mesti ditempelkan ketika sujud dijelaskan dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,





Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga
hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5)
lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim
no. 490)

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa termasuk tuntunan melakukan sujud adalah
dengan menempelkan hidung bersama dengan dahi (jidat). Al-Bandanijiy dan lainnya
mengatakan bahwa disunnahkan meletakkan dahi dan hidung berbarengan, tidak mendahulukan
yang satu dari lainnya. Jika hidung saja yang menempel sedangkan bagian dahi tidak ada yang
menempel, maka tidaklah cukup (tidak sah). Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama
Syafiiyah. Namun jika dahi saja yang menempel, dianggap cukup. Imam Syafii dalam Al-Umm
mengatakan, Aku tidak menyukai hal itu, namun menganggap cukup. Inilah pendapat yang
masyhur dalam madzhab Syafii dan menjadi pendapat jumhur (mayoritas ulama).

Sedangkan penulis Al-Bayan, dari Syaikh Abu Zaid Al-Maruzi menyatakan ada satu pendapat
dari Imam Syafii yang menyebutkan bahwa wajib sujud dengan dahi dan hidung berbarengan.
Ini pendapat yang asing di kalangan madzhab Syafii, namun terasa kuat dari sisi dalil. (Al-
Majmu, 3: 277)

Imam Nawawi juga menyatakan bahwa ulama Syafiiyah berdalil akan wajibnya menempelkan
dahi pada tanah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan Abu Humaid serta hadits yang
lainnya, juga dari hadits Khabab yang dimaksudkan dalam kitab ini. Karena maksud sujud
adalah tadzallul dan khudu, yaitu tunduk dan menghinakan diri. Tentu hidung tidak bisa
menggantikan dahi untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak ada juga hadits tegas dilihat dari
perbuatan dan perkataan (Nabi shallallahu alaihi wa sallam) yang mencukupkan hidung saja
tanpa dahi.

Ulama Syafiiyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. Mereka berdalil
dengan tidak disebutkannya hidung, yang ada adalah penyebutan dahi secara mutlak. Namun
argumen seperti ini lemah. Karena riwayat yang menyebutkan hidung adalah ziyadah tsiqah atau
tambahan dari perawi yang shahih. Adapun ulama Syafiiyah menanggapi hal itu dengan
menyatakan bahwa hadits yang menambahkan hidung dibawakan ke makna sunnah (bukan
wajib). (Al-Majmu, 3: 277-278)

Amannya memang menempelkan dahi bersama dengan hidung. Sudah disinggung oleh Imam
Nawawi bahwa pendapat tersebut lebih kuat dari sisi dalil. Adapun dikatakan penyebutan hidung
adalah tambahan, tetap bisa diterima karena termasuk dalam ziyadah tsiqah, yaitu tambahan dari
perawi yang kredibel.

Semoga bermanfaat bagi yang membaca, hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Al-Majmu Syarh Al-Muhadzzab li Asy-Syairazi. Cetakan kedua, tahun 1427 H. Al-Imam Abu
Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Alamil Kutub.

Sumber : https://rumaysho.com/11460-sifat-shalat-nabi-35-menempelkan-hidung-saat-sujud-
wajibkah.html
Sifat Shalat Nabi (36): Apakah Makmum
Ikut Mengucapkan Samiallahu Liman
Hamidah?
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc July 19, 2015 Shalat 14 Comments 11,420 Views

Apakah makmum ikut mengucapkan samiallahu liman hamidah ketika bangkit dari ruku dalam
shalat? Ataukah cukup makmum mengucapkan rabbana lakal hamdu?

Hadits yang membicarakan masalah ini adalah dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik,
disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

.

Jika imam bangkit dari ruku, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan samiallahu liman
hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) , ucapkanlah
robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji). (HR. Bukhari no.
689, 734 dan Muslim no. 411)

Berikut adalah perkataan Imam Nawawi dalam masalah ini.

Menurut madzhab Syafii, ketika bangkit dari ruku hendaklah mengucapkan samiallahu liman
hamidah. Jika berdirinya sudah lurus sempurna, hendaklah mengucapkan rabbana lakal hamdu
hingga selesai. [Kedua bacaan tadi berlaku bagi imam, makmum dan munfarid, orang yang
shalat sendirian].

Menurut Atha, Abu Burdah, Muhammad bin Sirin, Ishaq dan Daud, bacaan samiallahu liman
hamidah dan rabbana lakal hamdu berlaku untuk imam, makmum dan munfarid (orang yang
shalat sendirian).

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan samiallahu liman hamidah berlaku untuk imam
dan orang yang shalat sendirian, sedangkan bagi makmum cukup membaca rabbana lakal
hamdu. Demikian pula pendapat Ibnul Mundzir dari Ibnu Masud dan Abu Hurairah, Asy-
Syabi, Malik dan Ahmad. Imam Ahmad menyatakan bahwa demikian aku berpendapat.

Ats-Tsauri, Al-Auzai, Abu Yusuf, Muhammad dan Ahmad menyatakan, Imam


menggabungkan bacaan samiallahu liman hamidah dan rabbana lakal hamdu. Sedangkan
makmum cuma mencukupkan dengan rabbana lakal hamdu.

Disebutkan oleh Imam Nawawi, ulama Syafiiyah memaknakan hadits di atas, ucapkanlah
rabbana lakal hamdu di mana kalian sudah tahu bahwa tetap mengucapkan samiallahu
liman hamidah. Yang disebut dalam hadits hanyalah rabbana lakal hamdu (bagi makmum)
karena bacaan samiallahu liman hamidah dijaherkan (dikeraskan) sehingga makmum
mendengar. Sedangkan bacaan rabbanaa lakal hamdu tidak dikeraskan atau dibaca sirr (lirih).
Mereka pun sudah tahu akan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, shalatlah sebagaimana
kalian melihatku shalat. Kaedah asalnya, perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam boleh
diikuti.
Intinya, para makmum diperintah tetap mengucapkan samiallahu liman hamidah, tak perlu ada
perintah khusus akan hal itu (karena sudah maklum atau dipahami). Sedangkan bacaan rabbana
lakal hamdu (karena dilirihkan, pen.), diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam
untuk membacanya. Wallahu alam. (Lihat Al-Majmu, 3: 273)

Kesimpulannya, bacaaan samiallahu liman hamidah dibaca oleh imam, makmum dan orang
yang shalat sendirian.

Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga bermanfaat.

Baca tulisan Rumaysho.Com, tentang bangkit dari ruku.

Referensi:

Al-Majmu Syarh Al-Muhadzzab li Asy-Syairazi. Cetakan kedua, tahun 1427 H. Al-Imam Abu
Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Alamil Kutub

Sumber : https://rumaysho.com/11465-sifat-shalat-nabi-36-apakah-makmum-ikut-mengucapkan-
samiallahu-liman-hamidah.html

Anda mungkin juga menyukai