PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia di dunia ini pasti membutuhkan aturan atau hukum dalam menjalani
kehidupan di dunia dan akhirat. Hukum yang dibutuhkan manusia sudah berada dalam
nash (Al-qur’an). Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 286.
Pada dasarnya hukum pidana tidak lain membahas tentang hukum sebab akibat, yang
memiliki efek jera bagi para pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik,
karena dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara
pidana ini tanpa bantuan negara/pengadilan. Apabila diselesaikan secara pribadi, termasuk
kepada kategori main hakim sendiri. Umat Islam dunia selayaknya menggunakan hukum
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, karena keduanya merupakan pedoman hidup,
dan semua aspek hukum sudah terkandung di dalamnya.
Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh
akan pentingnya hukuman itu sendiri. Sanksi bisa diaplikasikan kepada para pelaku
kejahatan apabila terpenuhi syaratnya, yaitu legalitas. Karena legalitas bermaksud
membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Begitu juga dalam hukum Islam, berlaku asas
legalitas dalam penerapan hukumnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas
tentang asas legalitas dalam hukum pidana Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari asas legalitas dalam hukum pidana Islam?
2. Apa landasan kaidah asas legalitas dalam pidana Islam?
3. Apa saja kaidah dari asas legalitas?
4. Bagaimana penerapan asas legalitas?
5. Apa saja macam-macam dari asas legalitas dalam pidana Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian dari asas legalitas dalam hukum pidana Islam.
1
2. Memahami dan mengetahui dari landasan kaidah asas legalitas dalam
pidana Islam.
3. Menerangkan dan menjelaskan dari kaidah asas legalitas.
4. Memamahami dan mengetahui dari penerapan asas legalitas.
5. Menerangkan dan menjelaskan macam-macam dari asas legalitas dalam
pidana Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2
A. Pengertian Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan
kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang,
atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dengan demikian legalitas adalah "Keabsahan sesuatu menurut undang-undang". 1 Dalam
kaitannya dengan hukum pidana Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan
hukuman atas melampaui batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber
dari al-Qur’an dan al-Hadist.
Adapun istilah legalitas dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian,
bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan
hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti
secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas.2
Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum
Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada
ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan
individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini
melindungi dari penyalah gunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin
keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus
diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumanya.
Jadi berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum
oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama
perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang
yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Begitu
1 Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: pradnya Paramita, 1969), h. 63.
2 Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, Juz I, (Beirut: Daral-
Kitab al-‘Araby,t.t.), h. 118.
3
pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini, berdasarkan hukum yang sudah
tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
ث فإععيِٓ أفلمكهعاً كرفسُعوُلٗاً كيتۡلف وُااَ كعكليَۡإهعمِۡ كءاَيكٰتإكنعاًۚ كوكمعاً فكلنعاً فمهۡلإإكعيِ ٱۡلفقعكرىَٰ ٓ إإلل
ك ٱۡلقفكرىَٰ كحلتىَّٰ كيبَۡكع ك كوكماً ككاًكن كرلِب ك
ك فمهۡلإ ك
٥٩ ظٰلإفموُكن كوكأهۡلفكهاً ك
Artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka;
dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam
keadaan melakukan kezaliman”.(QS. AL-Qashash: 59)5
Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu: QS.al-Nisa:
16, QS al-‘An’am: 19, QS al-Baqarah: 286, dan QS al-Anfal: 38. Semua ayat al-Qur’an ini
3 Ibid. H. 117.
لكفحاككمِ ك
لفكعاًإل اَلفعقلكإء قكابَكل فوفراوإد اَلنل ل
ص
Artinya: “Perbuatan orang yang sudah baligh tidak dapat dijerat hukum sebelum
disebutkannya nash”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan manusia yang sudah ditaklif, tidak mungkin
digolongkan kepada perbuatan melanggar hukum atau haram sebelum ada nash yang
membatasinya/mengharamkannya.
Pengertian dari kaidah tersebut identik dengan kaidah lain yang berbunyi:
Artinya: “Asal dari segala sesuatu dan perbuatan adalah mubah, sehungga ada dalil
yang menunjukkan keharamannya”.
Dalam pembahasan hukum pidana Islam ini, asal dari segala sesuatu dan perbuatan itu
adalah murni mubah atau boleh untuk dilakukan, sebelum adanya illat atau aturan yang
melarangnya. Kedua kaidah ini menunjukkan tentang asas legalitas bahwa sebelum adanya
aturan (dalam Islam adalah nash yang mengatur, karena sumber hukum berasal dari Allah
SWT. langsung, bukan hasil pemikiran manusia) yang mengaturnya, maka tidak ada
tanggungan yang berlaku di sana, karena nash belum mengatur. Apabila nash sudah
mengaturnya, maka terjadi pertanggungan bagi orang yang mengerjakannya.
Artinya: “Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan
pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf
dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.
Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku
dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang
diperintahkan. Adapun syarat untuk para mukallaf ada dua macam:
1. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi.
2. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan diberi
hukuman.
Sedangkan untuk syarat perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam :
1. Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
2. Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan
kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya.
3. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.7
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat
keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi
kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat
melaluikatagorisasi kejahatan dan sanksinya. Kemudian jika berpegang pada asas legalitas
seperti yang dikemukakan pada pembahasan di atas, maka perbuatan tersebut tidak bisa
dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nash-nash dalam
syari'at Islam belum berlaku sebelum diundangkan dan diketahui oleh orang banyak.
Ketentuan ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya
nash yang mengundangkan.
7 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Media Grafika, 2006), cet. 2,
hlm. 29-31.
6
Dalam penerapannya, kaidah ini melahirkan furu’ yaitu:8
1. Asas Legalits pada Jarimah Hudud.
a) Untuk jarimah zina.
٣٨ ِٞق كوٱللساًإرقكةَف فكٱۡقطكفعوُٓااَ كأيۡإديكهفكماً كجكزآَكءۢ بإكماً كككسكبَاً نك ك ٰكٗلاً لمكن ٱللٰإ كوٱللف كعإزيزز كحإكيَم
كوٱللساًإر ف
٨٥ كوكمن كيبَۡتكإغ كغيَۡكر ٱۡلإإسُۡلٰكإمِ إدينٗاً فككلن فيقۡبَككل إمنۡهف كوهفكوُ إفيِ ٱۡلٓأَإخُكرإةَ إمكن ٱۡلكخٰإسإريكن
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-
kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”. (QS.Al Imran:85)13
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.
(QS. Al Hujurat: 9)14
16 Hadist Muslim.
9
يةَ لِمكسللكمةَز مؤُإمسناً كخُ ك
ٖ طسئاً فككتحۡإريفر كرقك ك
ٞ بَةَ لِمؤُۡإمكنةَٖ كوإد ك كوكماً ككاًكن لإفمؤُۡإملن كأن ك ۡيقتفكل فمؤُۡإمسناً إإلل كخُ ك
ۡ طئاًۚ كوإمان قكتككل ف
ۡ ِ فككتحۡإريفر كرقككبَةَٖ لٞمؤُإمن
مؤُإمكنةَٖۦ كوإإن ككاًكن إمن ۡ صلدفقوُااَۚ فكإإن ككاًكن إمن كقوُۡلمْ كعفد ل ٖو للفكمِۡ كوهفكوُ ف إإكلىَّٰ ٓ كأهۡلإ إۦٓه إإللٓ كأن يك ل
صكيَاًفمْ كشهۡكريۡإن ۡ ِ لِمكسللكمةَز إإكلىَّٰ ٓ كأهۡلإ إۦه كوكتحۡإريفر كرقككبَةَٖ لَٞق فكإدكية
مؤُإمكنةَٖۦ فككمن للمِۡ يكإجدۡ فك إ ٞ ٰكقوُۡإمْۢ كبيَۡنكفكمِۡ كوكبيَۡنكفهمِ لميَثك
18 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet. 3, hlm. 61-67.
10
Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam
jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga
bagian:
Dengan berpegang kepada asas legalitas seperti yang dikemukakan di atas serta
kaidah “tidak ada hukuman bagi mukallaf sebelum adanya ketentuan nash”, maka
perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung-jawaban pidana. Ketentuan
ini memberi pengertian bahwa hukum Islam baru berlaku setelah adanya nash yang
mengundangkannya. Dengan kata lain, bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku surut
(atsarun raj’iyyun).
20 Ibid, hlm. 43
21 Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 197.
25 Sebaliknya dalam kaitan ibadah khusus, seperti shalat atau puasa, semua perbuatan dilarang, kecuali
yang diperintahkan.
12
Hadits nabi menyatakan secara jelas menyatakan: “Hindarkan hudud dalam
keadaan ragu lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah menghukum”.
Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan
keyakinan, tanpa adanya keraguan.26
Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan hudud dan
qishas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan-kejahatan ta'zir. Akan
tetapi, sebagian sarjana memegang pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak
dikecualikan, atas dasar bahwa, tidak ada sesuatu pun dalam jiwa syari'at menghalagi
keberlakuannya. Menurut mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin
keadilan dan melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had,
qishas dan ta'zir.
2. Asas Material
Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala
yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak
melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir).
Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam:
hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas
berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadits.
Sementara ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak
jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi:
27 Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa, Ahmad Syuedi, (Yogyakarta: LKIS,
2001), h. 200.
M. Salim al-Awa, The Basis of Islamic Penal Legalism, dalam M. Cherif Bassioni, The Islamic criminal
Justice System ( London: Oceana Publications, Inc. 1982), h. 143-147.
13
Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas pemaafan dan
taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota
badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang
bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambilbentuk pembayaran denda yang
disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT.28
ٰ ۡف ٱللف كنفَۡسساً إإلل فوسُۡكعكهاًۚ لككهاً كماً كككسكبَتۡ كوكعكليَۡكهاً كماً ٱۡكتككسكبَت
كل يفككلل ف
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.
(QS. Al-Baqarah: 286).29
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Asas Legalitas adalah Dalam kaitannya dengan hukum pidana
Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas melampaui
batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadist.
2. Landasan Kaidah Asas Legalitas adalah dalam hukum Islam bukan
berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah SWT. Sedangkan asas
legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat
yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah SWT, tidak akan menjatuhkan
hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggung jawaban manusia
sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Dasar hukumnya
seperti dalam Alqur’an surat al-Isra ayat 15, surah al-Qashash ayat 59, surat al-
An’an ayat 19, surat al-Baqarah ayat 286.
3. Kaidah Asas Legalitas adalah Dalam pembahasan hukum pidana Islam ini,
asal dari segala sesuatu dan perbuatan itu adalah murni mubah atau boleh untuk
dilakukan, sebelum adanya illat atau aturan yang melarangnya. Kaidah ini
menunjukkan tentang asas legalitas bahwa sebelum adanya aturan (dalam Islam
adalah nash yang mengatur, karena sumber hukum berasal dari Allah SWT
langsung, (bukan hasil pemikiran manusia) yang mengaturnya, maka tidak ada
tanggungan yang berlaku di sana, karena nash belum mengatur. Apabila nash sudah
mengaturnya, maka terjadi pertanggungan bagi orang yang mengerjakannya.
4. Dalam penerapannya dalam Asas Legalitas, kaidah ini melahirkan furu’
yaitu:
a. Asas Legalits pada Jarimah Hudud.
b. Asas Legalits pada Qiyas-Diyat.
c. Asas Legalitas pada Jarimah Ta’zir.
5. Macam-macam dari Asas Legalitas antara lain:
a. Asas Praduga Tak Bersalah.
b. Asas Material.
c. Asas Moralitas.
DAFTAR PUSTAKA
15
Ali, Daud Mohammad. 2014. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hanafi, Ahmad. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Muslich, Wardi Ahmad. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Media
Grafika.
Sugiarto, Said Umar. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
http://taufiqaliromdloni.blogspot.co.id/2016/04/azas-azas-fiqh-jinayah-azas-legalitas.html , diakses
pukul 17.14 tanggal 9 September 2016.
http://digilib.uinsby.ac.id/1011/5/Bab%202.pdf
16