Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia di dunia ini pasti membutuhkan aturan atau hukum dalam menjalani
kehidupan di dunia dan akhirat. Hukum yang dibutuhkan manusia sudah berada dalam
nash (Al-qur’an). Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 286.

ًۚ‫ف ٱللف كنفَۡسساً إإلل فوسُۡكعكها‬


‫كل يفككلل ف‬

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya”.

Pada dasarnya hukum pidana tidak lain membahas tentang hukum sebab akibat, yang
memiliki efek jera bagi para pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik,
karena dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara
pidana ini tanpa bantuan negara/pengadilan. Apabila diselesaikan secara pribadi, termasuk
kepada kategori main hakim sendiri. Umat Islam dunia selayaknya menggunakan hukum
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, karena keduanya merupakan pedoman hidup,
dan semua aspek hukum sudah terkandung di dalamnya.

Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh
akan pentingnya hukuman itu sendiri. Sanksi bisa diaplikasikan kepada para pelaku
kejahatan apabila terpenuhi syaratnya, yaitu legalitas. Karena legalitas bermaksud
membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Begitu juga dalam hukum Islam, berlaku asas
legalitas dalam penerapan hukumnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas
tentang asas legalitas dalam hukum pidana Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari asas legalitas dalam hukum pidana Islam?
2. Apa landasan kaidah asas legalitas dalam pidana Islam?
3. Apa saja kaidah dari asas legalitas?
4. Bagaimana penerapan asas legalitas?
5. Apa saja macam-macam dari asas legalitas dalam pidana Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian dari asas legalitas dalam hukum pidana Islam.
1
2. Memahami dan mengetahui dari landasan kaidah asas legalitas dalam
pidana Islam.
3. Menerangkan dan menjelaskan dari kaidah asas legalitas.
4. Memamahami dan mengetahui dari penerapan asas legalitas.
5. Menerangkan dan menjelaskan macam-macam dari asas legalitas dalam
pidana Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Pengertian Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan
kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang,
atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dengan demikian legalitas adalah "Keabsahan sesuatu menurut undang-undang". 1 Dalam
kaitannya dengan hukum pidana Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan
hukuman atas melampaui batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber
dari al-Qur’an dan al-Hadist.

Dengan demikian arti legalitas adalah “Keabsahan sesuatu menurut undang-undang”.


Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselmvan Voirbacht dan
penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali
berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana”.

Adapun istilah legalitas dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian,
bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan
hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti
secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas.2

Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum
Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada
ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan
individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini
melindungi dari penyalah gunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin
keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus
diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumanya.

Jadi berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum
oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama
perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang
yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Begitu

1 Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: pradnya Paramita, 1969), h. 63.

2 Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, Juz I, (Beirut: Daral-
Kitab al-‘Araby,t.t.), h. 118.
3
pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini, berdasarkan hukum yang sudah
tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadist.

B. Landasan Kaidah Asas Legalitas Dalam Pidana Islam.


Asas legalitas dalam hukum Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari
ketentuan Allah SWT. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam,
terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah SWT, tidak
akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggung jawaban
manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya.3 Demikian juga
kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, yaitu taklifi yang sanggup dikerjakan. Dasar hukum asas
legalitas dalam Islam antara lain:

Al-Qur’an surat Al-Isra’: 15.

‫رةَ إوزۡكر فأخُۡكرىَٰ ٰ كوكمععاً فكنلععاً فمكعععلذإبيَكن‬ ‫ضلل فكإ إنلكماً يك إ‬


ٞ ‫ضلِل كعكليَۡكهاًۚ كوكل تكإزفر كواَإز ك‬ ‫لمإن ٱۡهتككدىَٰ فكإ إنلكماً كيهۡتكإديِ لإ ك ۡنفَإسإهۦۦ كوكمن ك‬
‫كحلتىَّٰ كنبَۡكع ك‬
١٥ ً‫ث كرفسُوُلٗا‬
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum
Kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Isra’: 15)4

Al-Qur’an surat Al-Qashash: 59.

‫ث فإععيِٓ أفلمكهعاً كرفسُعوُلٗاً كيتۡلف وُااَ كعكليَۡإهعمِۡ كءاَيكٰتإكنعاًۚ كوكمعاً فكلنعاً فمهۡلإإكعيِ ٱۡلفقعكرىَٰ ٓ إإلل‬
‫ك ٱۡلقفكرىَٰ كحلتىَّٰ كيبَۡكع ك‬ ‫كوكماً ككاًكن كرلِب ك‬
‫ك فمهۡلإ ك‬
٥٩ ‫ظٰلإفموُكن‬ ‫كوكأهۡلفكهاً ك‬
Artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka;
dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam
keadaan melakukan kezaliman”.(QS. AL-Qashash: 59)5

Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu: QS.al-Nisa:
16, QS al-‘An’am: 19, QS al-Baqarah: 286, dan QS al-Anfal: 38. Semua ayat al-Qur’an ini

3 Ibid. H. 117.

4 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia, (QS. Al-Isra’: 15).

5 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia ( QS. Al-Qashash: 59)


4
berbicara tentang asas legalitas. Kekuatan lafadz-lafadz ini termasuk lafadz yang qath’i,
yang berarti wajib untuk diamalkan. Serta yang mengandung arti bahwa tidak ada pidana
sebelum ada bayan yang disampaikan Allah SWT melalui Rasul-Nya.6 Selain itu, manusia
juga ditanggungi sesuai dengan kekuatannya, yang berarti disini berlaku hukum rukhsah
(keringanan) bagi mereka yang berada di bawah kemampuannya.

C. Kaidah Asas Legalitas


Dalam nyatanya, menurut penulis terdapat beberapa asas legalitas dalam penerapan
hukum pidana Islam, yaitu sebagai berikut:

‫لكفحاككمِ ك‬
‫لفكعاًإل اَلفعقلكإء قكابَكل فوفراوإد اَلنل ل‬
‫ص‬
Artinya: “Perbuatan orang yang sudah baligh tidak dapat dijerat hukum sebelum
disebutkannya nash”.

Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan manusia yang sudah ditaklif, tidak mungkin
digolongkan kepada perbuatan melanggar hukum atau haram sebelum ada nash yang
membatasinya/mengharamkannya.

Pengertian dari kaidah tersebut identik dengan kaidah lain yang berbunyi:

ِ‫صفل فإايِ اَلكاشكيَاًء اَلكباًكحةَ كحلتىَّ يكقفاوُمْ اَللدلإايَفل كعكلىَّ اَلتلاحإرايفم‬


‫الك ا‬

Artinya: “Asal dari segala sesuatu dan perbuatan adalah mubah, sehungga ada dalil
yang menunjukkan keharamannya”.

Dalam pembahasan hukum pidana Islam ini, asal dari segala sesuatu dan perbuatan itu
adalah murni mubah atau boleh untuk dilakukan, sebelum adanya illat atau aturan yang
melarangnya. Kedua kaidah ini menunjukkan tentang asas legalitas bahwa sebelum adanya
aturan (dalam Islam adalah nash yang mengatur, karena sumber hukum berasal dari Allah
SWT. langsung, bukan hasil pemikiran manusia) yang mengaturnya, maka tidak ada
tanggungan yang berlaku di sana, karena nash belum mengatur. Apabila nash sudah
mengaturnya, maka terjadi pertanggungan bagi orang yang mengerjakannya.

Disamping kaidah-kaidah tersebut masih ada kaidah lain yang berbunyi:

6 https://id.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam, diakses 07:58 05 September


2016.
5
‫ف كشارعساً إلل بإفَكاعلل فمامإكن فمقككدور لإالفمككللف كماعلفاوُمْ لكهف إعالسماً يكاحإملفهف كعكلىَّ اَكامتككثاًلفهف‬
‫ولك يفككلل ف‬

Artinya: “Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan
pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf
dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.

Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku
dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang
diperintahkan. Adapun syarat untuk para mukallaf ada dua macam:
1. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi.
2. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan diberi
hukuman.
 Sedangkan untuk syarat perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam :
1. Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
2. Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan
kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya.
3. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.7

D. Penerapan Asas Legalitas


Kaidah umum sebelumnya sudah menjelaskan bahwa (Tidak ada pidana tanpa ada
nash). Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud.
Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga
diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakanya prosedur khusus dan
sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua
katagori diatas.

Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat
keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi
kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat
melaluikatagorisasi kejahatan dan sanksinya. Kemudian jika berpegang pada asas legalitas
seperti yang dikemukakan pada pembahasan di atas, maka perbuatan tersebut tidak bisa
dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nash-nash dalam
syari'at Islam belum berlaku sebelum diundangkan dan diketahui oleh orang banyak.

Ketentuan ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya
nash yang mengundangkan.

7 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Media Grafika, 2006), cet. 2,
hlm. 29-31.
6
Dalam penerapannya, kaidah ini melahirkan furu’ yaitu:8
1. Asas Legalits pada Jarimah Hudud.
a) Untuk jarimah zina.

٣٢ ً‫كوكل كتقۡكرفبوُااَ ٱللزكنىَّٰۦ ٓ إإنلهفۥ ككاًكن فكٰإحكشةَٗ كوكسُآًكء كسُإبَيَلٗا‬


Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Isra’: 32)9

b) Untuk jarimah al-qodzaf (melempar dengan batu).

‫جلإفدوفهمِۡ ثككمٰإنيَكن كجلۡععكدةَٗ كوكل ك ۡتقبَكلفععوُااَ لكهفععمِۡ كشععهٰككدةَس‬


ۡ ‫ت ثفلمِ كلمِۡ كيأَۡفتوُااَ بإكأَرۡبككعإةَ فشهككدآَكء فكٱ‬ ‫كوٱللإذيكن كيرۡفموُكن ٱۡلفمحۡ ك‬
‫صنكٰ إ‬
‫أككبدٗۚاَ كوأفاولٰك ٓئإ ك‬
٤ ‫ك هففمِ ٱۡلفَٰكإسفقوُكن‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”.

c) Untuk jarimah asy-syurbu (meminum khamr).

‫ععن كعكمععإل ٱللشععيَۡ ك‬


ۡ ‫طٰإن فكععٱ‬
‫جتكنإفبَوُهف‬ ٞ ‫ب كوٱۡلكأَزۡلكٰععفمِ إرجۡعع‬
ۡ ‫س لم‬ ‫نوُااَ إإنلكماً ٱۡلكخمۡفر كوٱۡلكميَۡإسفر كوٱۡلكأَن ك‬
‫صاً ف‬ ٓ ‫يكٰ ٓأَ كلِيكهاً ٱللإذيكن كءاَكم ف‬
٩٠ ‫لككعللفكمِۡ فتفَۡلإفحوُكن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah: 90).10

d) Untuk jarimah as-sirqah (pencurian).

٣٨ ِٞ‫ق كوٱللساًإرقكةَف فكٱۡقطكفعوُٓااَ كأيۡإديكهفكماً كجكزآَكءۢ بإكماً كككسكبَاً نك ك ٰكٗلاً لمكن ٱللٰإ كوٱللف كعإزيزز كحإكيَم‬
‫كوٱللساًإر ف‬

8 http://taufiqaliromdloni.blogspot.co.id/2016/04/azas-azas-fiqh-jinayah-azas-legalitas.html , diakses pukul


17.14 tanggal 9 September 2016.

9 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. Al Isra: 32).

10 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia ( QS. Al-Maidah: 90).


7
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(QS. Al-Maidah: 38).11

e) Untuk jarimah al-hirabah (perampokan).

‫صللفبَوُٓااَ كأوۡ تفقكطلكع‬


‫ض فككساًسداَ كأن يفقكتلفلوُٓااَ كأوۡ يف ك‬
‫إإنلكماً كجكزٰ ٓفؤااَ ٱللإذيكن يفكحاًإرفبوُكن ٱللك كوكرفسُوُلكهفۥ كوكيسۡكعوُۡكن إفيِ ٱۡلكأَرۡ إ‬
‫ب‬‫يِ إفيِ ٱللِدنۡكيَاًۦ كولكفهعمِۡ إفعيِ ٱۡلٓأَإخُعكرإةَ كع كذاَ ز‬
ٞ ۡ‫ك لكفهمِۡ إخُز‬ ‫ف كأوۡ فينكفَوُۡااَ إمكن ٱۡلكأَرۡ إ‬
‫ضۚ كذٰلإ ك‬ ‫كأيۡإديإهمِۡ كوكأرۡفجلففهمِ لمنۡ إخُلٰك ل‬
٣٣ ِ‫كعإظيَزم‬

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang


memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat
mereka beroleh siksaan yang besar”. (QS. Al-Maidah: 33).12

f) Untuk jarimah ar-riddah (murtad).

٨٥ ‫كوكمن كيبَۡتكإغ كغيَۡكر ٱۡلإإسُۡلٰكإمِ إدينٗاً فككلن فيقۡبَككل إمنۡهف كوهفكوُ إفيِ ٱۡلٓأَإخُكرإةَ إمكن ٱۡلكخٰإسإريكن‬
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-
kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”. (QS.Al Imran:85)13

g) Untuk jarimah al-baghyu (pemberontakan).

11 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. Al-Maidah: 38).

12 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. Al Maidah: 33).

13 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. Al-Imran: 85).


8
ِ‫طآًئإفَككتاًإن إمكن ٱۡلفمؤُۡإمإنيَكن ٱۡقتكتكفلوُااَ فككأَصۡلإفحوُااَ كبيَۡنكهفكماًۦ فكإإنۢ بككغتۡ إإحۡكدىَٰهفكماً كعكلىَّ ٱۡلفأَخُۡكرىَٰ فكقٰكتإلفععوُااَ ٱللتإععي‬‫كوإإن ك‬
‫ب‬ِ‫طوُٓااَۦ إإلن ٱللكعع يفإحع ل‬ ‫ءتَ فكأَ كصععۡلإفحوُااَ كبيَۡنكهفكمععاً بإٱۡلكعععدۡإل كوكأقۡإسعع ف‬
ۡ ‫كتبَۡإغيِ كحلتعىَّٰ تكإفَيِٓععكء إإكلعىَّٰ ٓ كأمۡعإر ٱللإععۚ فكععإإن فكععآً ك‬
٩ ‫ٱۡلفمقۡإسإطيَكن‬

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.
(QS. Al Hujurat: 9)14

2. Asas Legalits pada Qiyas-Diyat


a. Untuk jarimah al-qatl a-’amd (pembunuhan disengaja).

‫كوكل كتقۡتففلوُااَ ٱللنفَۡ ك‬


‫س ٱللإتيِ كحلركمْ ٱللف إإلل بإٱۡلكح ل‬
ِ‫قٰ كوكمن قفتإكل كمظۡفلوُمٗاً فككقدۡ كجكعلۡكناً لإععكوُلإيَل إۦه فسُععلۡطٰكٗناً فككل يفسععۡإرف‬
٣٣ َ‫صوُرا‬ٗ ‫لفيِ ٱۡلكقتۡإلۦ إإنلهفۥ ككاًكن كمن ف‬
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
(QS. Al-Isra: 33)15

b. Untuk jarimah al-qatl syibh al-‘amd (pembunuhan menyerupai disengaja).

‫ كوهفكماً قكاتفل اَلسكيَاًط كواَالكع إ‬،(‫طأَ ف اَلفمتككعإمفد )شبَه عمد‬


ُ‫ هفكو‬،َ‫صيِ كواَلإحكجاًكرة‬ ‫ كواَالقكاتفل اَلكخ ك‬،‫ تكذإكفر‬:‫قاًل رسُوُل‬
‫كواَإحإد كماًئةَ إمكن اَإلبل‬
Artinya: Rasulullah berkata: “Ingatlah, pada pembunuhan keliru-sengaja
(semi-sengaja), yaitu pembunuhan dari pecut, tongkat, dan batu, ialah seratus
unta. (Hadits Muslim).16

c. Untuk jarimah al-qatl al-khata’ (pembunuhan tidak disengaja).

14 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. Al-Hujurat: 9)

15 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. Al Isra: 33).

16 Hadist Muslim.
9
‫يةَ لِمكسللكمةَز‬ ‫مؤُإمسناً كخُ ك‬
ٖ ‫طسئاً فككتحۡإريفر كرقك ك‬
ٞ ‫بَةَ لِمؤُۡإمكنةَٖ كوإد ك‬ ‫كوكماً ككاًكن لإفمؤُۡإملن كأن ك ۡيقتفكل فمؤُۡإمسناً إإلل كخُ ك‬
ۡ ‫طئاًۚ كوإمان قكتككل ف‬
ۡ ِ‫ فككتحۡإريفر كرقككبَةَٖ ل‬ٞ‫مؤُإمن‬
‫مؤُإمكنةَٖۦ كوإإن ككاًكن إمن‬ ۡ ‫صلدفقوُااَۚ فكإإن ككاًكن إمن كقوُۡلمْ كعفد ل ٖو للفكمِۡ كوهفكوُ ف‬ ‫إإكلىَّٰ ٓ كأهۡلإ إۦٓه إإللٓ كأن يك ل‬
‫صكيَاًفمْ كشهۡكريۡإن‬ ۡ ِ‫ لِمكسللكمةَز إإكلىَّٰ ٓ كأهۡلإ إۦه كوكتحۡإريفر كرقككبَةَٖ ل‬َٞ‫ق فكإدكية‬
‫مؤُإمكنةَٖۦ فككمن للمِۡ يكإجدۡ فك إ‬ ٞ ٰ‫كقوُۡإمْۢ كبيَۡنكفكمِۡ كوكبيَۡنكفهمِ لميَثك‬

٩٢ ً‫بةَ لمكن ٱللٰإ كوككاًكن ٱللف كعإليَسماً كحإكيَمٗا‬


ٗ ‫فمتككتاًبإكعيَۡإن كتوُۡ ك‬
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.17

d. Untuk jarimah al-jarh al-khata’ (penganiayaan dengan tanpa sengaja).


Dalam jarimah ini Rasulullah menentukan batas-batas hukum diyat, dengan
dasar perhitungan apabila pada badan hanya terdapat satu macam anggota badan,
seperti hidung, lidah, alat kelamin, maka dikenakan satu diyat lengkap seratus unta.
Apabila yang dirusakkan adalah anggota badan yang rangkap seperti mata dan
telinga, maka untuk masing-masingnya dikenakan setengah diyat, yaitu lima puluh
unta. Menghilangkan satu gigi dikenakan lima unta.
Rasulullah juga mewajibkan diyat pada penganiayaan yang menghilangkan
indera-indera, seperti pendengaran, penglihatan, dan perasaan (fikiran).

e. Untuk jarimah al-jarh al-‘amd (penganiayaan dengan sengaja).


Untuk tiap-tiap perusakan atau pelukaan yang tidak ditentukan diyat nya yang
lengkap atau sebagian, maka hal itu diserahkan pada hakim, dengan mengambil
pertimbangan orang-orang ahli. Aturan tersebut sudah menjadi kesepakatan.
(Ijma’).18

3. Asas Legalitas pada Jarimah Ta’zir (memberi pelajaran/pendidikan).

17 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. An- Nisa: 92).

18 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet. 3, hlm. 61-67.
10
Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam
jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga
bagian:

a. Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.


Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan
maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat
tersebut menyinggung hak Allah maupun hak manusia.19

b. Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.


Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at Islam,
hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang
karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai penyimpangan dari aturan pokok
tersebut.20
c. Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Ta’zir karena Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan perbuatan yang
diharamkan dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Jika meninggalkan
kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan merupakan maksiat.21 Untuk
menjatuhkan ta’zir atas perbuatan mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman. Jadi, sebenarnya penjatuhan itu bukan
karena perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-ulang, sehingga
perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.22

Dengan berpegang kepada asas legalitas seperti yang dikemukakan di atas serta
kaidah “tidak ada hukuman bagi mukallaf sebelum adanya ketentuan nash”, maka
perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung-jawaban pidana. Ketentuan
ini memberi pengertian bahwa hukum Islam baru berlaku setelah adanya nash yang
mengundangkannya. Dengan kata lain, bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku surut
(atsarun raj’iyyun).

19 Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hlm. 41.

20 Ibid, hlm. 43

21 Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 197.

22 Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hlm. 45


11
Sebagai gambaran riil mengenai penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan
tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun), misalnya: sebelum Islam, riba merupakan
perbuatan yang biasa dikerjakan.
Kemudian dilarang oleh Islam, dengan firman Allah:

ۡ ‫ف كوكأمۡفرهۥٓف إإكلعىَّ ٱللإععۦ كو ك‬


‫معن كع اًكد‬ ۡ ‫كوأككحلل ٱللف ٱۡلكبَيَۡكع كوكحلركمْ ٱللركبوُٰااَۚ فككمن كجآًكءهۥف ك‬
‫موُإع ك‬
‫ لمن لربلإهۦ فكٱنتككهىَّٰ فكلكهفۥ كماً كسُلك ك‬َٞ‫ظة‬
٢٧٥ ‫ب ٱللناًإرۦ فهمِۡ إفيَكهاً كخُٰلإفدوكن‬ ‫ك كأصۡكحٰ ف‬ ‫فكأَ فاولكٰ ٓئإ ك‬
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di
dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 275).23
Dengan adanya larangan tersebut maka riba merupakan perbuatan jarimah, tetapi juga
merupakan peristiwa perdata. Nash-nash tersebut berisi dua ketentuan juga, yaitu aturan
pidana dan aturan perdata. Menurut aturan pidana, riba yang terjadi sebelum diturunkannya
ayat tersebut tidak dikenakan hukuman dan hukuman hanya dikenakan terhadap riba yang
terjadi sesudahnya. Menurut aturan perdata, kreditur hanya mempunyai tagihan atas uang
pokok saja, tanpa bunga.24

E. Macam-Macam Dari Asas Legalitas


1. Asas Praduga Tak Bersalah.
Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga
tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence). Menurut asas ini semua
perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum.25
Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali
dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpaada keraguan. Jika di suatu keraguan
yang beralasan muncul, seorang tertuduhharus dibebaskan. Konsep tersebut telah
dilembagakan dalam hukum Islam jauh mengenalnya sebelum hukum-hukum pidana
positif. Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman karena
adanya keraguan (doubt).

23 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. Al-Baqarah: 275)

24 Ahmad Hanafi, Op. Cit., hlm. 82-83

25 Sebaliknya dalam kaitan ibadah khusus, seperti shalat atau puasa, semua perbuatan dilarang, kecuali
yang diperintahkan.
12
Hadits nabi menyatakan secara jelas menyatakan: “Hindarkan hudud dalam
keadaan ragu lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah menghukum”.

Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan
keyakinan, tanpa adanya keraguan.26

Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan membawa pembebasan terdakwa dan


pembatalan hukuman had. Akan tetapi, ketika pembatalan hukuman had ini, hakim (jika
diperlukan) masih memiliki otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa.27

Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan hudud dan
qishas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan-kejahatan ta'zir. Akan
tetapi, sebagian sarjana memegang pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak
dikecualikan, atas dasar bahwa, tidak ada sesuatu pun dalam jiwa syari'at menghalagi
keberlakuannya. Menurut mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin
keadilan dan melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had,
qishas dan ta'zir.

2. Asas Material
Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala
yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak
melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir).

Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam:
hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas
berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadits.

Sementara ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak
jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi:

Artinya: “Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau syubhat”.


26 Subhat ialah ma yusbihu sabit walaisa bisabit, berarti bertentangan antara unsur formil dan materiilnya
atau segala hal yang tetap dianggap tidak tetap. Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri’al-Jinaih. 254.

27 Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa, Ahmad Syuedi, (Yogyakarta: LKIS,
2001), h. 200.

M. Salim al-Awa, The Basis of Islamic Penal Legalism, dalam M. Cherif Bassioni, The Islamic criminal
Justice System ( London: Oceana Publications, Inc. 1982), h. 143-147.
13
Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas pemaafan dan
taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota
badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang
bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambilbentuk pembayaran denda yang
disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT.28

 Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :


a. Asas Adamul Udzri: yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima
pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum.
b. Asas Raf’ul Qalam: yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak
pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di
bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila.
c. Asas Al-Khatha’ Wa Nis-yan: yang secara harfiah berarti kesalahan dan
kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggung
jawaban atas tindakan pidananya, jika ia dalam melakukan tindakannya itu
karena kesalahan atau karena kelupaan.

Asas ini didasarkan atas Surat al-Baqarah: 286.

ٰ ۡ‫ف ٱللف كنفَۡسساً إإلل فوسُۡكعكهاًۚ لككهاً كماً كككسكبَتۡ كوكعكليَۡكهاً كماً ٱۡكتككسكبَت‬
‫كل يفككلل ف‬
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.
(QS. Al-Baqarah: 286).29

d. Asas Suquth al-Uqubah: yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman.


Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal:
 Pertama: karena pelaku dalam melaksanakan tindakannya melaksanakan
tugas.
 Kedua: karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti:
petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan operasi atau
pembedahan dan sebagainya. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan
sanksi hukum seperti: membunuh orang dengan alasan membela diri dan
sebagainya.

28 https://id.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam, diakses jam 19.53 tanggal 9


September 2016

29 Alquran Terjemahan Arab-Indonesia (QS. Al-Baqarah: 286)


14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian Asas Legalitas adalah Dalam kaitannya dengan hukum pidana
Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas melampaui
batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadist.
2. Landasan Kaidah Asas Legalitas adalah dalam hukum Islam bukan
berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah SWT. Sedangkan asas
legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat
yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah SWT, tidak akan menjatuhkan
hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggung jawaban manusia
sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Dasar hukumnya
seperti dalam Alqur’an surat al-Isra ayat 15, surah al-Qashash ayat 59, surat al-
An’an ayat 19, surat al-Baqarah ayat 286.
3. Kaidah Asas Legalitas adalah Dalam pembahasan hukum pidana Islam ini,
asal dari segala sesuatu dan perbuatan itu adalah murni mubah atau boleh untuk
dilakukan, sebelum adanya illat atau aturan yang melarangnya. Kaidah ini
menunjukkan tentang asas legalitas bahwa sebelum adanya aturan (dalam Islam
adalah nash yang mengatur, karena sumber hukum berasal dari Allah SWT
langsung, (bukan hasil pemikiran manusia) yang mengaturnya, maka tidak ada
tanggungan yang berlaku di sana, karena nash belum mengatur. Apabila nash sudah
mengaturnya, maka terjadi pertanggungan bagi orang yang mengerjakannya.
4. Dalam penerapannya dalam Asas Legalitas, kaidah ini melahirkan furu’
yaitu:
a. Asas Legalits pada Jarimah Hudud.
b. Asas Legalits pada Qiyas-Diyat.
c. Asas Legalitas pada Jarimah Ta’zir.
5. Macam-macam dari Asas Legalitas antara lain:
a. Asas Praduga Tak Bersalah.
b. Asas Material.
c. Asas Moralitas.

DAFTAR PUSTAKA

15
Ali, Daud Mohammad. 2014. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hanafi, Ahmad. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras.

Muslich, Wardi Ahmad. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Media
Grafika.

Rokhmadi. 2015. Hukum Pidana Islam. Semarang: Karya Abadi Jaya.

Sugiarto, Said Umar. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Zainuddin, Ali. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Alquran Terjemahan Arab-Indonesia.

http://taufiqaliromdloni.blogspot.co.id/2016/04/azas-azas-fiqh-jinayah-azas-legalitas.html , diakses
pukul 17.14 tanggal 9 September 2016.

https://id.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam , diakses 07:58 05


September 2016.

http://digilib.uinsby.ac.id/1011/5/Bab%202.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai