Husni, Irwan
Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Nahdlatul Ulama Aceh
Email: husnikasem@gmail.com, irwan@gmail.com
Abstract
In the implementation of prayer, for example, it is often found that there are
many differences, both in terms of the procedure and the determination of the
pillars and circumcision. For example, such as the implementation of the dawn
prayer, there are groups who say qunut is circumcision, some do not
recommend it on the grounds that it is categorized as permissible work. The
purpose of this paper is to find out what causes these differences and what is
the basis or the evidence for each opinion. This study says that qunut in the
morning prayer according to the Shafi'i school in the dawn prayer after bowing
from the second raka'at is circumcision. Meanwhile, Sayid Sabiq concluded that
qunut is something permissible. Read sholawat on the prophet. After the final
tasyahhud, according to Sayyid Sabiq, he thought this was circumcision.
Meanwhile, according to Zainuddin al-Malibary, he is of the opinion that it is
mandatory. The only thing they have in common here is the matter of praying
to the Prophet's family.
Abstrak
Dalam pelaksanaan shalat misalnya, sering kali didapati banyak perbedaan,
baik dari segi tata caranya maupun penentuan rukun dan sunatnya. Contohnya
saja seperti pelaksanaan shalat shubuh, ada golongan yang mengatakan qunut
itu sunat, ada pula yang tidak menganjurkannya dengan alasan dikatagorikan
sebagai pekerjaan mubah. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui apa yang
menyebabkan perbedaan ini dan apa yang mendasari atau yang menjadi hujjah
bagi masing-masing pendapat. Kajian ini mengatakan bahwa qunut dalam
shalat subuh menurut mazhab syafi’i dalam shalat subuh sesudah rukuk dari
raka’at kedua itu adalah sunat. Sementara Sayid Sabiq berkesimpulan qunut itu
merupakan sesuatu hal yang mubah. Membaca shalawat atas nabi saw.
sesudah tasyahhud akhir menurut Sayyid sabiq beliau berpendapat tentang ini
adalah sunat. Sementara menurut Zainuddin al-Malibary beliau berpendapat
wajib. Hanya sanya memiliki persamaan keduanya disini dalam masalah
mendo’akan kepada keluarga Nabi saw.
121
A. Pendahuluan
Harus dipahami secara seksama apabila terejadi khilaf pendapat dalam
masalah furu’ merupakan rahmat, dan orang yang terlibat di dalam perbedaan
ini termasuk al rahmat. Demikian ditegaskan syekh Yusuf al-Qardhawi. Sebuah
hadis yang cukup terkenal yang dijumpai dalam Kitab al-Jami’ ash-Shaghir karya
as-Suyuthi menyatakan, “ Ikhtilaf umatku adalah merupakan sebuah rahmat”( HR
Baihaqi). Syekh Yusuf al-Qardhawi mengomentari hadis ini dengan mengatakan
bahwa hadis ini cukup masyhur di tengah-tengah masyarakat, namun tidak
memiliki sanad yang jelas, akan tetapi dari segi matan beliau mensahihkannya.1
Menurut hemat penulis, maksud atau terjemah hadis tersebut perlu
disisipkan dengan kata ‘seharusnya’ sehingga berbunyi, “Perbedaan pendapat
di kalangan umatku (seharusnya menjadi) rahmat.” Mengapa demikian, karena
dalam kenyataan tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan pendapat tak
selamanya atau tidak selalu mendatangkan rahmat. Perbedaan pendapat juga
sering menjadi laknat, adzab, perpecahan dan permusuhan, lebih-lebih
perbedaan pendapat di bidang politik. Jadi semestinya yang perlu disadari dan
dipahamai adalah, perbedaan semestinya mendatangkan rahmat, bukan
mendatangkan azab atau laknat. Na’udzu billah !
Dalam pelaksanaan shalat misalnya, sering kali didapati banyak
perbedaan, baik dari segi tata caranya maupun penentuan rukun dan sunatnya.
Contohnya saja seperti pelaksanaan shalat shubuh, ada golongan yang
mengatakan qunut itu sunat, ada pula yang tidak menganjurkannya dengan
alasan dikatagorikan sebagai pekerjaan mubah. Dari karena ini, Ketika kita
melaksanakan shalat berjamaah terkadang kita mendengar ada imam yang
membaca qunut, namun terkadang kita tidak mendengarnya pada imam yang
lain. Sebenarnya apa yang menyebabkan perbedaan ini? Apa yang mendasari
atau yang menjadi hujjah bagi masing-masing pendapat?
B. Pembahasan
1. Qunut Dalam Shalat Subuh
Qunut dalam shalat subuh itu tidak di syari’atkan kecuali apabila terjadi
bahaya. Dan kalau terjadi bahaya itu, maka bukan dalam shalat subuh saja di
sunatkan berqunut tetapi juga dalam semua shalat fardhu. Diriwayatkan oleh
Ahmad Nasa’i dan Turmuzi yang menganggabnya sebagai hadits shahih dari
Abu Malik Al-Asyja’i, katanya:
122
َّ صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوُه َو ابْ ُن ِس ِ ِ
، َوعُ َمَر، َوأَِب بَ ْك ٍر،ًت َع ْشَرةَ َسنَة َ ف َر ُسول هللا َ صلَّى َخ ْلَ " َكا َن أَِب قَ ْد
َن ُُْم َدث ََّ َُي ب َ َ أَ َكانُوا يَ ْقنُتُو َن؟ ق: ُت لَه
ْ ََل أ:ال ُ فَ ُق ْل،" َوعُثْ َما َن
“Ayahku bershalat dibelakang Rasulullah saw. ketika berusia 16 tahun, juga di
belakang abu Bakar, Umar dan Usman. Saya bertanya:Apakah beliau-beliau itu
berkunut? Ayahku menjawab: “Tidak, wahai anakku. Itu hanya suatu yang di ada-
adakan.” (HR. Ahmad)
Juga dari Ibnu Hibban, Al-Khatib dan Ibnu khuzaimah dan di anggabnya
sebagai hadits hasan, dari Anas:
»ت يف صالة الصبح إََِّل إِ َذا َد َعا لَِق ْوٍم أ َْو َد َعا َعلَى قَ ْوٍم ِ
ُ ُصلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن «ََل يَ ْقن َّ أ
َّ َِن الن
َ َِّب
“Nabi saw.itu tidak pernah berqunut dalam shalat subuh kecuali bila untuk
medndo’akan kebaikan atau kebinasaan sesuatu kaum.”(HR. Ibnu Khuzaimah).
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas,
Ibnu Zubair dan Khalifah-khalifah yang tiga ( Abu Bakar, Umar dan Utsman)
bahwa beliau-beliau semua tidak ada yang berqunut dalam shalat subuh.
Demikianlah mazhab golongan Hanafi, Hanbali, Ibnu Mubarak, Tsauri dan
Ishak.
Adapun menurut mazhab Syafi’i, maka berqunut dalam shalat subuh
sesudah rukuk dari raka’at kedua itu adalah sunat.Ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Jama’ah selain Turmudzi dari Ibnu Sirin, bahwa:
123
qunut nazilah (karena ada bahaya) dan hal ini sudah jelas sunatnya dalam
riwayat Bukhari dan Muslim.
Tentang hadits kedua yang menyatakan bahwa Nabi saw. berqunut
selama hayatnya, maka di dalam sanat hadits itu ada seorang yang bernama
Ja’far ar-Razi. Ia bukan seorang yang kuat dan haditsnya tidak dapat
digunakan sebagai hujjah, sebab tidak masuk dalam akal kita bahwa selama
hidupnya Rasulullah saw. Berqunut dalam shalat subuh, tetapi ditinggalkan
begitu saja oleh para khalifah sesudahnya. Bahkan ada keterangan bahwa Anas
sendiri juga tidak berqunut dalam shalat subuh.2
Lebih dari itu Sayid Sabiq juga menambahkan bahwa seandainyapun
hadits di atas itu di anggab sah, maka yang dimaksudkan bahwa Nabi saw.
selalu memperpanjang berdiri sehabis rukuk untuk berdo’a atau mengucapkan
puji-pujian sampai beliau saw.meninggal dunia, sebab perbuatan semacam
inipun termasuk pula dalam arti qunut. Menurut Sayid Sabiq Inilah sepertinya
pendapat yang lebih sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Akan tetapi
bagaimanapun perselisihan ulama dalam hal ini,maka qunut itu merupakan
sesuatu hal yang mubah, boleh dilakukan dan di tinggalkan. Hanya saja yang
sebaik-baiknya adalah yang berasal dari petunjuk Nabi Muhammad saw.
Dari kesimpulan diatas dapat disimpulkan bahwa Sayid Sabiq
berkesimpulan qunut itu merupakan sesuatu hal yang mubah. Dari karena ini
penulis merasa tidak berlebihan seandainya juga memiliki pandangan
tersendiri terhadap qunut ini yang sehingga pada akhirnya berkesimpulan
qunut adalah merupakan suatu perbuatan yang di katagorikan sunat shalat.
Karena dari penulis lihat Sayid Sabiq tidak membantah dengan qunut yang
pernah Rasulullah lakukan diketika dalam keadan tertentu untuk mendo’akan
kebaikan atau keburukan suatu kaum. Kalau dalil ini sudah terakui berarti
penulis dapat mengkaitkan keadaan pada sa’at itu dengan keadaan yang terjadi
pada masa sekarang. Keadaan sekarang bisa dikatakan umat Islam sedang
berada di ambang kehancuran. Dimana-mana umat Islam dibantai misalnya
seperti Palestina, Rohingya dan lain sebagainya. Sementara pada masa sahabat
pada kondisi sa’at itu dimana-mana setiap daerah dikuasai oleh orang Islam.
Sekalipun di dalamnya ada orang kafir, namun mereka tetap tunduk terhadap
peraturan-peraturan yang di batasi oleh orang Islam.
Jadi, dari problema diatas maka penulis berkesimpulan bahwasanya
apabila Rasulullah saw. membaca qunut pada masanya dikarnakan mendoakan
kebaikan berarti untuk masa sekarang jauh lebih dibutuhkan lagi karena
mengingat umat Islam sekarang sedang berada dalam keadaan bahaya
2 Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH, Penj. Mahyuddin Syaf, (Bandung: Alma’arif, 1973),
Cet.I,Vol.2, hlm. 53
124
melebihi pada masa Rasulullah saw. Lagi pula kalau ditinjau dari do’a qunut
didalamnya mengandung makna meminta perlindungan yang berhubungan
dengan masalah spiritual, jauh dari masalah material.3 Untuk lebih mendetil di
sini penulis mencantumkan sebuah hadits dari Hasan bin Ali ra. tentang lafazh
bacaan do’a qunut:
ٍ علَّم َِن رسو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َكلِم:عن احلسن ا بن علي رضي هللا عنهما أنه قال
ات أَقُ ْوُُلُ َّن يف َ ُْ َ ْ َ َ
ت َوقَِِن ِ ِ
َ ت َوََبرْك ِِل ف
َ يما أ َْعطَْي َ يم ْن تَ َولَّْي
ِ َّ
َ ت َوتَ َول َِن ف
ِ ِ
َ ت َو َعاف َِن ف
َ يم ْن َعافَ ْي
ِ ِِ
َ قنوت الوتر اللَّ ُه َّم ْاهدِن ف
َ ْيم ْن َه َدي
ِ ِ ِ َ َشَّر ما قَضيت إِن
ت َربَّنَا
َ ت تَبَ َارْك
َ ْت َوََل يَعُّز َم ْن َع َادي َ ك َوإِنَّهُ ََل يَذ ُّل َم ْن َوالَْيَ ضى َعلَْي َ َّك تَ ْقضي َوََل يُ ْق َْ َ
رواه اخلمسة،ت
َ َوتَ َعالَْي
Dari Hasan bin Ali ra.Ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengarjariku doa yang aku ucapkan pada witir yaitu: “Wahai Allah, berilah
petunjuk padaku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah
kesehatan kepadaku sebagaimana Engkau berikan kesehatan (kepada selainku), berlah
aku kekuasaan sebagaimana orang-orang yang telah Engkauberikan kekuasaan
(selainku), berilah berkah kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari
kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau menakdirkan dan tidak ada yang
menentukan takdir bagimu, dan sesungguhnya orang yang Engkau jadikan mulia tidak
akan terhinakan dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Mahaberkah
Engkau Tuhan kami dan Maha tinggi.”( HR. Imam lima / Bulughul Maram 329 )4
ِ ْ َص َالتَهُ َس َج َد َس ْج َدت ِ ِ ول هللاِ صلَّى هللا علَي ِه وسلَّم قَام ِيف
ْ َ َّ فَلَ َّما أ َََت،ص َالة الظُّ ْه ِر َو َعلَْيه ُجلُوس
َ َ َ ََ َْ ُ َ َّ «أ
َ َن َر ُس
ْ َم َكا َن َما نَ ِس َي ِم َن،َُّاس َم َعه
ِ ُاْلُل ِ ِ ٍ ِ ِ
رواه.،،وس ُ َو َس َج َد ُُهَا الن، قَ ْب َل أَ ْن يُ َسلِ َم،يُ َك ِّبُ يف ُك ِِل َس ْج َدة َوُه َو َجالس
.اْلما عة
Artinya:
“Bahwa Nabi Saw. berdiri pada waktu shalat Dhuhur, padahal sebetulnya ia
harus duduk. Maka tatkala itu selesai ia pun sujud dua kali dengan membaca
Mustafa Khalili, Berjumpa Allah Dalam Shaat, Penj. M. J. Bafaqih, ( Jakarta: Madani
3
125
takbir pada tiap kali sujud sementara duduk, ssebelum memberi salam, dan
orang-orang pun ikut sujud bersamanya. Maka sujud itu adalah sebagai
imbalan duduk yang terlupa.” ( H.R.Jama’ah)
Dalam buku subulus salam terdapat: “Hadits itu menunjukkan bahwa
ketinggalan tasyahud pertama karena lupa, dapat diganti oleh sujud sahwi.
Dan sabda Nabi saw.: Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat’,
menjadi bukti bahwa tasyahud pertama itu wajib. Akan tetapi dengan
digantinya disini sewaktu ketinggalan,menunjukkan pula bahwa walaupun ia
wajib, tapi dapat diganti oleh sujud sahwi . Dan mempergunakannya sebagai
alasan atas tidak wajibnya, tidak mungkin, sebelum ada dalil yang menyatakan
setiap yang wajib tak dapat diimbali dengan sujud sahwi, jika ketinggalan
karena lupa.”
Dan berkata Hafidh dalam Al-Fat-h: “Menurut Ibnu Batthal, alasan
bahwa sujud sahwi itu tak dapat mengganti yang wajib, ialah karena lupa
membaca takbiratul ihram, maka tak dapat diganti. Berbeda halnya dengan
tasyahud, pula tasyahud itu merupakan zikir yang tak pernah dibaca secara
jahar, hingga dengan demikian ia tidaklah wajib, seperti halnya do’a iftitah.
“Pihak lain mengambil alasan pada taqrir atau persetujuan Nabi saw. terhadap
dikerjakannya tasyahud itu oleh orang , setelah diketahuinya bahwa mereka
bermaksud hendak meninggalkannya. Dan ini memerlukan peninjauan. Dan
diantara orang – orang yang mengatatakannya wajib adalah Laits bin Sa’ad,
Ishak, dan menurut riwayat yang masyhur juga Ahmad.5
1. Posisi Duduk
apabila seseorang duduk tasyahhud awal, maka hendaklah ia
membentangkan kaki kirinya lalu mendudukinya dan menegakkan
posisi telapak kaki kanannya dengan menghadap kearah kiblat, hal
seperti ini dinamakan duduk iftirasy. Berbeda halnya apabila seseorang
duduk tasyahhud akhir, maka disini dianjurkan untuk meletakkan
telapak kaki yang sebelah kiri dibawah betis kaki kanannya sambil
duduk diatas pantat yang dinamai dengan duduk tawaruk.
2. Posisi Tangan
Mengenai posisi tangan, diletakkan seperti yang dilakukan pada saat
duduk antara dua sujud. Hanya saja khusus untuk tangan yang kanan
5 Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH, Penj. Mahyuddin Syaf, (Bandung: Alma’arif, 1973),
Cet.I,Vol. 1, hlm. 418
126
digenggam semua jari-jari, kecuali jari telunjuk. Digunakan jari yang
satu ini untuk memberikan isyarat menuding kedepan dan jangan ikut
digenggam.6
َوالْيُ ْم ََن َعلَى،ض َع يَ َدهُ الْيُ ْسَرى َعلَى ُرْكبَتِ ِه الْيُ ْسَرى ِ هللا صلَّى هللا علَي ِه وسلَّم َكا َن إِ َذا قَعد لِلت
ِ ول َّ أ
َ َّش ُّهد َو
َ ََ َ ََ َْ ُ َ َ َن َر ُس
َش َار الَِِّت تَلِيَ َصابِ َعهُ ُكلَّ َها َوأَضأ
ٍ ِ َّ َشار ِِبَصبعِ ِه
َ َ َوقَب: َوِيف ِرَوايَة.السبَّابَة ُ ْ َ َ َوأ،ْ
ِ
َ َو َع َق َد ثََالثَةً َوَخَْس،الْيُ ْم ََن
)(رواه مسلم.اْلبْ َه َام ِْ
Artinya:
“Bila Nabi saw.duduk untuk membaca tasyahud, di letakkannya tangannya yang kiri
diatas lututnya yang kiri,dan tangan yang kanan diatas lututnya yang kanan., dan di
buatnya ikatan 53,serta menunjuk dengan jari telunjuknya.”Dan menurut riwayat
lain:”Dan digenggamnya semua jarinya dan menunjuk dengan anak jari yang di
samping ibu jari.” (HR.Muslim)
2. Dari Wail bin Hajar
َو َج َع َل َح َّد ِم ْرفَِق ِه ْاْ ََْْ ِن َعلَى،ض َع َكفَّهُ الْيُ ْسَرى َعلَى فَ ِخ ِذ ِه َوُرْكبَتِ ِه الْيُ ْسَرى ِ
َ صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َو َ َِّب َّ أ
َّ َِن الن
َّ ُُث،لسبَّابَِة ِْ َحلَّ َق َِبلْو ْسطَى و: وِيف ِروايٍَة.َصابِعِ ِه فَ َحلَّ َق َح ْل َق ًة
َ اْلبْ َه ِام َوأ
َّ َش َار َِب ِِ ِ
َ ُ َ َ َْأ َ ْ َض ب
َ َ ُُثَّ قَب،فَخذه الْيُ ْم ََن
)( رواه امحد. ك َها يَ ْدعُ ْوِِبَا ُُصبُ َعهُ فَ َرأَيْتُهُ ُُيَِِر
ْ َرفَ َع أ
Artinya:
“Bahwa Nabi saw.menaruh telapak tangannya yang kiri diatas paha dan lutut kirinya,
dan telapak tangan kanan ditaruh diatas pahanya yang kanan, kemudian digemgamnya
jari-jarinya hingga merupakan lingkaran.” Dan menurut suatu riwayat:
“Digenggamnya jari tengah dan ibu jari, serta menunjuk dengan tulunjuk, kemudian
di angkatnya sebuah jarinya, maka digerakkannya dan digunakannya untuk berdo’a.”
127
Kemungkinan maksud dari menggerakkan di dalam hadits ini
menunjuk dalam makna gerak yang bukan menggerakkannya secara berulang-
ulang. Hal ini sebagaiman yang di ungkapkan oleh Boihaqi yang terkutib di
dalam fikih sunnah, supaya sesuai maksudnya dengan riwayat Ibnu Zubeir:
َوََل ُُيَِِرُك َها»رواه ابو داود ِبسناد صحيح،ُصبُعِ ِه إِذَا َد َعا ِ ِ
ْ صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن يُش ُري ِِب َّ «أ
َّ َِن الن
َ َِّب
Artinya:
“Bahwa Nabi saw. Bila berdo’a memberi isyarat dengan jarinya dan tidak menggerak-
gerakkannya.”(Hr. Abu daud dengan isnad yang sah, dan disebutkan oleh
Nawawi )
ِِ ِ ِ ول هللاِ صلَّى هللا علَي ِه وسلَّم إِ َذا جلَس ِيف الت
ُ َويَ َده،ض َع يَ َدهُ الْيُ ْم ََن َعلَى فَخذه الْيُ ْم ََن
َ َو،َّش ُّهد َ َ َ َ ََ َْ ُ َ ُ َكا َن َر ُس
.ُص ُرهُ إِ َش َارتَه ِ َّ َشار َِب ِِ ِ
َ َ َوََلْ ُُيَا ِوْز ب،لسبَّابَة َ َ َوأ،الْيُ ْسَرى َعلَى فَخذه الْيُ ْسَرى
Artinya:
“Bila Rasulullah saw. duduk membaca tasyahud, diletakkannya tangannya yang kanan
di atas paha yang kanan, dan tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri, serta
memberi isyarat dengan tulunjuk. Sedang pandangan matanya tidak melampaui
telunjuknya itu.” ( H.R. Ahmad, Muslim dan Nasa’i )
Maka di dalam hadits ini menurut Sayid Sabiq ada keterangan bahwa
cukup menaruh tangan kanan di atas paha tanpa di genggam, dan memberi
isyarat ialah dengan tulunjuk kanan. Juga diterangkan bahwa termasuk sunnah
bila pandangan orang yang shalat itu tidak melampaui isyaratnya.
Artinya:
128
“Saya lihat Rasulullah saw. yang ketika itu sedang duduk shalat, meletakkan
tangannya yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari
telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit waktu berdo’a itu.” ( H.R. Ahmad,
Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad-sanad
yang cukup baik)
ِ ٍ ِ ِ ُ مَّر رس
َح ْد ََي َس ْع ُد (رواه أمحد وابوداود
ِ " أ:ال
َ فَ َق،ْ ْ صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم بِ َس ْعد َوُه َو يَ ْدعُو ِِب
ِ ْ ُصبُ َع َ ول هللا َُ َ
)والنسائ واحلاكم
Artinya:
“Rasulullah saw. lewat pada Sa’ad yang ketikaa itu sedang berdo’a dengan
menggunakan dua jari, maka sabdanya: pakailah satu jari, hai Sa’a!!” (H.R. Ahmad,
Abu Daud, Nasa’i dan Hakim).
c. Agar duduk iftirasy pada tasyahud pertama, dan duduk tawaruk pada
tasyahud akhir. Dalam hadits Abu Hamid melukiskan shalat Rasulullah
saw., tersebut:
ِ ِ َّ وإِ َذا جلَس ِيف، ونَصب اليمَن،ْ جلَس علَى ِرجلِ ِه اليسرى ِ َّ فَِإ َذا َجلَس ِيف
َ الرْك َعة اآلخَرِة قَد
َُّم ِر ْجلَه َ َ َ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َالرْك َعت َ
) ( رواه البخارى. ُخَرى َوقَ َع َد َعلَى َم ْق َع َدتِِه
ْ ْب ا
َصَ َ َون،اليُ ْسَرى
Artinya:
“Maka bila ia duduk pada raka’at kedua, didudukinya kakinya yang kiri dan
ditegakkannya kakinya yang kanan. Kemudian bila ia duduk pada raka’at yang akhir,
dimajukannya kakinya yang kiri dan ditegakkannya yang kanan serta ia duduk di atas
panggulnya.” ( H.R. Bukhari )
129
1. Tasyahhud Ibnu Mas’ud رضي هللا عنه
الس َال ُم َعلَْي نَا َو َعلَى َِّ ُالس َالم علَيك أَيُّها النَِِّب ور ْمحة
َّ ،ُاَّلل َوبََرَكاتُه ِ ِ الصلَوات الطَّيِب ِ
َ َ َ ُّ َ َ ْ َ ُ َّ .ات ََّّلل ُ َِ ُ َ َّ ات ُ ات الْ ُمبَ َارَك
ُ َّالتَّحي
َّ ْ أَ ْش َه ُد أَ ْن ََل إِلَ َه إََِّل
َّ اَّللُ َوأَ ْش َه ُد أ
َن ُُمَ َّم ًدا َعْب ُدهُ َوَر ُسولَه ِِ َّ ِاَّلل َّ ِعبَ ِاد
َ الصاحل
130
disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya”. (HR. Malik, Baihaqi dengan sanad shahih ).
4. Tasyahhud Abu Musa al-Asy’ari رضي هللا عنه
131
Dari hadits diatas menurut sayid Sabiq berdasarkan perkataan
pengarang Al-Muntaqa:”Dalam hadits itu terdapat alasan bagi orang yang
mengatakan bahwa shalawat itu tidak wajib, karena Nabi saw. tiada
menitahkan mengulang kepada orang yang meninggalkannya. Hal itu
dikuatkan pula oleh sabdanya kepada Hibir bin Mas’ud setelah menyebut soal
tasyahud: ‘Kemudian hendaklah ia memilih mcam-macam permohonan yang
disukainya’.”9
Apabila merujuk kepada kitab Fathu al-Mu’in yang dikarang oleh Syaikh
Zainuddin al-Malibari disana dijelaskan bahwasanya hukum membaca
shalawat kepada Nabi saw. setelah tasyahud akhir adalah wajib. Hanya sanya
yang bekedudukan sunat adalah shalawat kepada keluwarga Nabi saw saja.
Berarti, tinjauan dari kitab ini yang mempunyai kesamaan pendapat kepada
hukum sunat hanya dalam masalah mendo’akan kepada keluarga Nabi saw.
Sekalipun di dalam kitab ini dijelaskan ada juga sebagian ulama berpendapat
wajib, namun pendapat kuat mengatakan sunat.10
5. Berdo’a Sesudah Tasyahhud Akhir
Mengenai do’a setelah tasyahhud, ada banyak versi yang penulis dapatkan.
Dari sejumlah versi yang terdapat, di sini hanya beberapa contoh yang penulis
cantumkan yaitu:
1. Rasulullah Saw pernah mengajari Abubakar ra. Do’a ini
ِِ ِ
َ ْ أَن.ت أ َْعلَ ُم بِه م َِِن
ت َ ْت َوَما أَن
ُ ْت َوَما أَسْرَف ُ ت َوَما أَسْرَ ْر
ُ ت َوَما أ َْعلَْن ُ َخ ْر
َّ ت َوَما أ ُ َّمْ اللَّ ُه َّم ا ْْف ْر لِي َما قَد
ِ ِ
َ ْت الْ ُم َؤ ِخ ُر َآل إِلَهَ إََِّل أَن
ت َ ْالْ ُم َق ِد ُم َو أَن
“Yaa Allâh, ampunilah dosaku yang telah aku lakukan, yang belum aku
lakukan, yang aku rahasiakan dan yang aku lakukan dengan terang-terangan,
serta (segala hal) yang aku telah melakukan dengan berlebihan dan segala dosa
132
yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Engkau adalah al Muqaddim
dan Engkau adalah al Muakhkhir. Tidak ada yang berhak di sembah kecuali
Engkau. “ (HR. Muslim dan Abu Awanah).11
Untuk di ketahui salam kedua itu hukumnya sunat dapat dipahami dari
perbuatan Rasulullah saw. di ketika beliau melakukan shalat. Menurut dalam
satu riwayat Nabi saw. di dalam mengerjakan shalat kebiasaanya sering
mengucapkan salam dua kali. Sementara di dalam riwayat yang lain pula juga
terkadang beliau hanya mengucapkan dengan satu kali salam saja. Dari dua
riwayat tersebut adalah:12
،ِاَّلل َّ :ِصلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن يُ َسلِِ ُم َع ْن َِْينِ ِه َو َع ْن يَ َسا ِره
َّ ُالس َال ُم َعلَْي ُك ْم َوَر ْمحَة ِ َّ ٍ
َ َِّب ِ
ِِ َع ْن ابْن َم ْسعُ ْود أَن الن
اض َخ ِِد ِه َِّ ُالس َالم علَي ُكم ور ْمحة
ُ َ َح ََّّت يَُرى بَي،اَّلل َ َ َ ْ ْ َ ُ َّ
“Dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Nabi saw biasa mengucapkan ke sebelah kanan dan ke
sebelah kirinya “ASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATULLAHI, WASSALAMU
‘ALAIKUM WARAHMATULLAHI” hingga terlihat putih pipinya. (Shahih: Shahih
Abu Daud )
C. Kesimpulan
Dalam melaksanakan shalat banyak diperdapatkan perbedan (khilaf)
pendapat, baik mengenai tata cara pelaksanaan sampai dengan apa saja yang di
anggap wajib, sunat, lebih penting dan tidaknya dalam shalat. Sementara Di
‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, AL-WAJIZ, Penj. Ma’ruf Abdul Jalil, ( Jakarta:
12
133
dalam makalah ini penulis hanya mendapatkan dua perbedaan perdapat yang
masih ada celah untuk diperbincangkan:
a. Qunut dalam shalat subuh menurut mazhab syafi’i dalam shalat subuh
sesudah rukuk dari raka’at kedua itu adalah sunat. Sementara Sayid Sabiq
berkesimpulan qunut itu merupakan sesuatu hal yang mubah.
b. Membaca shalawat atas nabi saw. sesudah tasyahhud akhir menurut Sayyid
sabiq beliau berpendapat tentang ini adalah sunat. Sementara menurut
Zainuddin al-Malibary beliau berpendapat wajib. Hanya sanya memiliki
persamaan keduanya disini dalam masalah mendo’akan kepada keluarga
Nabi sdaw.
134
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penj. Mahyuddin Syaf, (Bandung: Alma’arif, 1973)
Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Qur’an Dan Hadits, Penj.
Achmad Sunarto, (Jakarta: Widya Cahaya, 2009)
‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, AL-WAJIZ, Penj. Ma’ruf Abdul Jalil, (
Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
135