Anda di halaman 1dari 13

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

‫أدب تالوة القرأن الكريم واستماعه‬


”)1ADAB MEMBACA AL-QUR’AN DAN ISTIMA“
Oleh: Faqih Aulia (14.3887)
MUQADDIMAH:
Apabila kamu (Saudara Muslim) ingin membaca Al-Qur’an secara tartil dan ingin pula membaca Al-Qur’an
dengan sebenar-benarnya bacaan, maka perhatikanlah adab-adab membaca Al-Qur’an yang sudah diterangkan,
dijelaskan dan juga dipaparkan di dalam Qur’an-Hadits. Dan adab-adab ini umum mencakup bagi qari
(Pembaca Al-Qur’an), mustami (Pendengar Al-Qur’an), mu’alim (Pengajar Al-Qur’an) dan muta’allim
(Pembelajar Al-Qur’an), dan mungkin di sini akan dibahas oleh penulis secara global:
PERTAMA: TADABBUR2) DAN KHUSYU’3)
Berikut adalah ayat-ayat yang mendorong kita untuk tadabbur Al-Qur’an.
Ayat Pertama:
‫اختِاَل فًا َكثِ ًريا‬ ِِ ِ ِِ ِ
ْ ‫َأفَاَل َيتَ َدبَُّرو َن الْ ُق ْرآ َن ۚ َولَ ْو َكا َن م ْن عْند َغرْيِ اللَّه لََو َج ُدوا فيه‬
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S. An-Nisaa’: 82)
Ayat Kedua:
ِ ‫ك مبار ٌك لِي َّدبَّروا" آياتِِه ولِيتَ َذ َّكر ُأولُو اَأْللْب‬ ‫ِإ‬ ِ
‫اب‬َ َ َ َ َ ُ َ َ َُ َ ‫اب َأْنَزلْنَاهُ لَْي‬ ٌ َ‫كت‬
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S. Shad: 29)

1
Berbeda dengan mendengar yang diterjemahkan dengan kata As-Sam'u (‫)الس مع‬, maka mendengar dengan macam terjemah Al-
Istima' (‫ )االستماع‬memiliki peranan yang lebih tinggi satu tingkat di atas As-Sam'u (‫)السمع‬. Di mana, jika As-Sam'u (‫ )السمع‬memiliki
hakikat prosesi mendengarkan saja, maka Al-Istima' (‫ )االستماع‬memiliki prosesi mendengarkan dengan dibarengi memperhatikan,
seperti: mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru tentang suatu ilmu di hadapan kelas. Mendengar dengan model Al-
Istima' (‫ )االستماع‬ini menggambarkan seorang siswa mendengarkan penjelasan guru dan juga memperhatikan apa yang disampaikan
oleh guru tersebut. Terkait Al-Istima' (‫)االستماع‬, di samping seseorang mendengarkan, ia juga memahami, menganalisa, menafsirkan,
merealisasikan, mengkritik, dan juga mengevaluasi dari apa yang ia dengar.
2
Secara bahasa, tadabur berarti melihat dan memperhatikan kesudahan segala urusan dan bagaimana akhirnya. Al-Alusi dalam
tafsirnya Ruh al-Ma'ani menjelaskan, pada dasarnya tadabur berarti memikirkan secara mendalam kesudahan sesuatu urusan dan
akibat-akibat yang ditimbulkannya.
 Al-Qur’an itu direnungkan. Kita istilahkan dengan tadabbur, dalam KBBI disebut dengan tadabur. Tadabbur ini penting karena
dengan tadabbur, kita akan bisa mengambil pelajaran-pelajaran penting hingga Al-Qur’an bisa diamalkan isinya. Ini keadaannya
berbeda sekali jika kita hanya membaca Al-Qur’an atau menghafalkannya, tanpa memahami arti, memahami tafsirannya,
hingga tadabbur.
3
Menghadirkan hati saat membaca ayat-ayat Allah SWT dinamakan dengan KHUSYU’ atau KHUSYUK.
Kata Khusyu’ ini berasal dari bahasa arab namun sudah diserap sempurna oleh bahasa Indonesia. Dalam tata bahasa kita, penulisan
kata khusyu’ yang sesuai dengan kaidah yang berlaku adalah KHUSYUK. KBBI sendiri mengkategorikan kata ini ke dalam kelompok
kata sifat.
Lebih lanjut, menurut KBBI arti dari kata khusyuk adalah kondisi penuh dengan penyerahan atau kondisi kebulatan hati atau
kesungguhan dengan penuh kerendahan hati manusia. Khusyuk ini intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT
yang penting untuk dilakukan saat kita sedang beribadah.
Ketika kita khusyu’ berarti kita sudah menghadirkan hati saat membaca ayat ayat suci Al Qur'an. Khusyu’ adalah suatu kefokusan kita
terhadap sesuatu hal yang ingin kita lakukan. Ketika kita khusyu’ dalam membaca ayat - ayat suci Al Qur'an maka kita akan
mendapatkan pahala yang berlipat - lipat ganda juga kita akan bisa mendekatkan diri kepada Allah.
1
Ayat Ketiga:
ٍ ُ‫َأفَاَل يتَ َدبَّرو َن الْ ُقرآ َن َْأم َعلَ ٰى ُقل‬
‫وب َأْق َفاهُلَا‬ ْ ُ َ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad: 24)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Memahami Al-Qur’an dan merenungkannya akan membuahkan iman.
Adapun jika Al-Qur’an cuma sekadar dibaca tanpa ada pemahaman dan perenungan (tadabbur), itu bisa pula
dilakukan oleh orang fajir (ahli maksiat) dan munafik, di samping dilakukan oleh pelaku kebaikan dan orang
beriman.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:327)
Maka diantara hak Al-Qur’an yang ada padamu wahai para muslim adalah kamu membaca Al-Qur’an dengan
tunduk/merendah diri dan tenang serta tentram, dan kamu bisa membuka hatimu supaya kamu bisa
mentaddaburi ma’nanya, dan inilah yang dimaksud juga dituntut dari membaca Al-Qur’an yang sesungguhnya,
maka dengan hal itu hati kita bisa lapang dan juga bisa tersinari dengan cahaya Al-Qur’an, sebagaimana
dianjurkan menangis dan juga khusyu’ ketika membacanya, dan kondisi seperti ini merupakan kondisi orang
soleh di saat membaca Al-Qur’an.
Imam as-Suyuthi berkata, “Dianjurkan menangis ketika membaca al-Qur’an dan berupaya untuk menangis bagi
yang tidak mampu (melakukan yang pertama), merasa sedih dan khusyu’.” (Al-Itqan, Jld.I, hal.302)
)109( ‫وعا‬ ِ َ‫وخَيِ ُّرو َن لِأل ْذق‬ 
ُ ‫ان َيْب ُكو َن َويَِز‬
ً ‫يد ُه ْم ُخ ُش‬ َ
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk'.” (Q.S. Al-Isra’:
109)
:‫ فقلت‬،»‫علي الق""رآ َن‬ َّ ‫ «اق""رأ‬:-‫صلى اهلل عليه وس""لم‬- ‫ قال يل النيب‬:‫ قال‬-‫رضي اهلل عنه‬- ‫عن ابن مسعود‬
ُ " ‫ «إين أحب أن أمسعه من غ ""ريي» فق‬:‫ وعلي ""ك ُأن ""زل؟! ق ""ال‬،‫ أق ""رأ علي ""ك‬،‫ي ""ا رس ""ول اهلل‬
‫"رأت علي ""ه س ""ور َة‬
}‫"ك َعلَى َه" ُؤ الَِء َش" ِه ًيدا‬ ِ ٍ
َ "ِ‫"ل َُّأم ٍة بِ َش" ِهيد َوجْئ نَ""ا ب‬
ِ
ِّ "‫"ف ِإذَا جْئ نَ""ا ِم ْن ُك‬
َ "‫ {فَ َكْي‬:‫ت إىل ه""ذه اآلي""ة‬
ِ ِ
ُ ‫ حىت جْئ‬،‫النس""اء‬
.‫ان‬ِ َ‫ فإذا عينَاه تَ ْذ ِرف‬،‫فالتفت إليه‬ "»‫ك اآل َن‬َ ُ‫«ح ْسب‬
ُ َْ ُّ َ :‫قال‬
Dari Ibnu Mas’ūd -raḍiyallāhu- 'anhu- ia berkata, Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- berkata kepadaku,
"Bacakanlah Al-Qur`ān kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah! Apakah saya bacakan
Al-Qur`ān kepada Anda sementara Al-Qur`ān itu diturunkan kepada Anda?!" Beliau menjawab,
“Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun membacakan kepada
beliau surah An-Nisā`, hingga ketika aku telah sampai pada ayat ini, “Lalu bagaimanakah ketika Kami
datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka,” maka beliau bersabda,
“Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau bercucuran
air mata. Muttafaq Alaih
Keterangan:
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- meminta kepada Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu- 'anhu- agar membacakan kepada
beliau Al-Qur`ān, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana aku membacakannya untukmu padahal
kepadamu Al-Qur`ān itu diturunkan? Engkau lebih mengetahui tentang Al-Qur`ān daripada aku." Lantas beliau
-ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sesungguhnya aku senang mendengarnya dari selainku." Maka ia
membacakan kepada beliau surah An-Nisā`." Tatkala sampai ayat agung ini: “Lalu bagaimanakah ketika Kami
datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” Yakni, apa jadinya
keadaanmu?! Dan apa pula jadinya keadaan mereka?! Lantas Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,
"Cukup bagimu sekarang." Yakni berhentilah membacanya. Ibnu Mas’ūd berkata, "Lalu aku menoleh kepada
beliau dan ternyata kedua mata beliau sedang bercucuran air mata karena kasih sayang beliau kepada umatnya."

2
Sungguh Allah swt. telah menjelaskan mengenai kedudukan/posisi Al-Qur’anul Karim, dalilnya:
‫ِّعا ِم ْن َخ ْشيَ ِة اللَّ ِه‬
ً ‫صد‬
ِ
َ َ‫لَ ْو َأنزلْنَا َه َذا الْ ُق ْرآ َن َعلَى َجبَ ٍل لََر َْأيتَهُ َخاش ًعا ُمت‬
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk
terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. (Q.S. Al-Hasyr: 21)
Dan Allah pun menjelaskan mengenai kepekaan orang-orang mu’min yang soleh serta kekhusyu’an mereka
ketika membaca Al-Qur’anul Karim, dalilnya:
‫ت َعلَْي ِه ْم آيَاتُهُ َز َاد ْت ُه ْم ِإميَانًا‬ ِ ِ ِ ِ َّ‫ِإمَّنَا الْم ِمنو َ"ن ال‬
ْ َ‫ت ُقلُوبُ ُه ْم َوِإذَا تُلي‬
ْ َ‫ين ِإذَا ذُكَر اللَّهُ َوجل‬
َ ‫ذ‬ ُ ‫ُ ْؤ‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka  (karenanya). (Q.S.
Al-Anfal: 2)
ِ ِ َّ " ُ‫يث كِتاب " ""ا متش" "اهِب ا مث " "ايِن َت ْقش" "عُِّر ِمْن ""ه جل‬ ِ
‫"ود ُه ْم‬
ُ " "ُ‫ني ُجل‬
ُ ‫ين خَي ْ َش" " ْو َن َربَّ ُه ْم مُثَّ تَل‬
َ ‫"ود الذ‬
ُ ُ ُ َ َ َ َ ً َ َُ ً َ ِ ‫َأح َس" " َن احْلَ ""د‬ ْ ‫"زل‬ َ " ‫اللَّهُ ن‬
‫َو ُقلُوبُ ُه ْم ِإىَل ِذ ْك ِر اللَّ ِه‬
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-
ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (Q.S. Az-Zumar: 23)
‫ات الرَّمْح َ ِن َخُّروا ُس َّج ًدا َوبُ ِكيًّا‬
ُ َ‫ِإذَا ُتْتلَى َعلَْي ِه ْم آي‬
Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan
bersujud dan menangis. (Q.S. Maryam: 58)
Begitulah keadaan orang-orang mu’min yang soleh ketika membaca Al-Qur’an, dirinya tentram, gemetar
kulitnya, hatinya takut dan air matanya mengalir. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk (senatiasa)
takut kepada Allah di dalam hatinya, mengalirkan air matanya dan khusyu’ ketika membaca Al-Qur’an.
Imam Al-Ghazali berkata: “Menangis itu disunnahkan pada waktu membaca Al-Qur’an. Cara dapat menangis
adalah menghadirkan kesedihan di dalam hati dengan merenungkan peringatan dan ancaman keras serta janji-
janji yang terdapat di dalamnya, kemudian merenungi dosa-dosa yang terlanjur diperbuat. Jika tidak bisa
menimbulkan kesedihan dan tangisan sebagaimana dialami oleh orang-orang terpilih, maka hendaklah dia
menangis atas kegagalan itu karena hal itu termasuk musibah yang besar.”
Dan tidak ragu lagi bahwa penyebab seseorang khusyu dalam membaca Al-Qur’an adalah dengan cara
memikirkan ma’nanya, lambat, tidak terburu-buru dalam membacanya dan mengosongkan pikiran dari
kesibukan serta sesuatu yang dapat menyebabkan dirinya galau.
Diriwayatkan oleh imam Muslim yang bersumber dari sahabat Hudzaifah -semoga Allah swt. meridoi
kepadanya- ia berkata:
"ِ‫ت" َي" ْ"ر" َك" ُع" ِع" ْن " َد" ا"لْ" ِم" ا"َئ ة‬ "ُ "‫ت" ل"َ ْ""ي لَ " ٍة" فَ "ا" ْ"ف تَ"تَ" َح" ا"لْ" َ""ب َق" َر" َة" َف" ُق" ْل‬
"َ "‫ص " ل"َّى" ا"ل"ل"َّهُ" َع" لَ" ْي" ِه" َ"و" َ"س " ل"َّ َم" َذ" ا‬
َ "ِّ ‫ت" َم" َع" ا"ل"ن"َّيِب‬ "ُ "‫ص" ل"َّ ْي‬
َ
َّ ‫ت" َي" ْ"ر" َ"ك " ُع" هِب َ" " ا" مُثَّ ا" ْ"ف تَ"تَ" َح" ا"ل"نِّ" َس" " ا"ءَ" َف" َق" َ"ر" َأ َ"ه " ا" مُث‬ "ُ "‫ض" " ى" َف" ُق" ْل‬ ٍ ‫هِب‬
َ "‫ص" " لِّ"ي" َ" " ا" يِف َ"ر" ْك" َع " ة" فَ" َم‬ َ "ُ‫ت" ي‬ "ُ "‫ض" " ى" َف" ُق" ْل‬ َ "‫مُثَّ َم‬
"‫ا" ْ"ف تَ"تَ" َح" آ" َ"ل" ِع" ْم" َر" ا" َن" َف" َق" َ"ر" َأ َه" ا" َي" ْق" َ"ر" ُأ ُم" َ""ت َ"ر" ِّس" اًل ِإ َذ" ا" َم" َّر" بِ"آ"يَ" ٍة" فِ"ي" َه" ا" تَ" ْس" بِ"ي" ٌح" َس" ب"َّ َح" َ"و" ِإ َذ" ا" َم" َّر" بِ" ُس" َؤ ا" ٍ"ل" َ"س " َأ َ"ل‬
"َ‫َ"و" ِإ َذ" ا" َم" َّر" ب"ِ َ""ت َع" ُّو" ٍذ" َت" َع" َّو" ذ‬

3
 Pada suatu malam, saya shalat (Qiyamul Lail) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau
mulai membaca surat Al Baqarah. Kemudian saya pun berkata (dalam hati bahwa beliau) akan ruku' pada ayat
yang ke seratus. Kemudian (seratus ayat pun) berlalu, lalu saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan shalat
dengan (surat itu) dalam satu raka'at. Namun (surat Al Baqarah pun) berlalu, maka saya berkata (dalam hati
bahwa) beliau akan segera sujud. Ternyata beliau melanjutkan dengan mulai membaca surat An Nisa` hingga
selesai membacanya. Kemudian beliau melanjutkan ke surat Ali Imran hingga selesai hingga beliau selesai
membacanya. Bila beliau membaca ayat tasbih, beliau bertasbih dan bila beliau membaca ayat yang
memerintahkan untuk memohon, beliau memohon, dan bila beliau membaca ayat ta'awwudz (ayat yang
memerintahkan untuk memohon perlindungan) beliau memohon perlindungan. (Shahih Muslim)
Begitulah bacaan Al-Qur’an Rasulullah saw., dia membaca secara mutarassilan. Dan ma’na tarassul adalah
bagus huruf-hurufnya (Fasih) dan terpenuhi hak-haknya, walaupun Rasulullah saw. membaca dalam satu rakaat
lebih dari 5 juz dari Al-Qur’anul Karim, akan tetapi beliau tidak terburu-buru dalam bacaannya, hanya saja
bacaannya dengan tadabbur dan khusyu’.
Begitulah keadaan di zaman sahabat Nabi saw. yang mulia dan salafus solih, mereka senantiasa membaca Al-
Qur’an dengan khusyu dan juga tadabbur, dan mereka itu (senantiasa) merintih, mengerang, menangis tersedu-
sedu serta menangis yang benar-benar nangis (ketika sedang membaca Al-Qur’an). Salah seorang diantara
mereka ketika membaca ayat Al-Qur’an yang di dalamnya menerangkan Surga, maka mereka rindu (ingin
masuk kedalamnya). Dan ketika mereka membaca ayat Al-Qur’an yang di dalamnya menerangkan Neraka,
maka mereka berteriak dengan suara yang keras seolah-olah hembusan Neraka Jahannam antara kedua
telinganya.
Keadaan mereka (Para Sahabat Nabi saw. dan Salafus Solih) sering mengulang-ngulangi ayat untuk ditadabburi
(isinya), dan mereka terus menerus melakukan hal tersebut dalam jangka waktu yang lama, serta mereka
khusyu’ dan menangis (ketika membacanya). Perhatikanlah riwayat yang diterangkan oleh Imam An-Nawawi
pada pembahasan kali ini:
ٍ ِ َ " َ‫َع ْن َأيِب ْ ذَ ٍّر َر ِض " َي اهللُ َت َع "اىَل َعْن""هُ ق‬
ْ ‫ بِآيَ ""ة يَُر ِّد ُد َه""ا َحىَّت َأ‬:‫ص "لَّى اهللُ َعلَْي ""ه َو َس "لَّ َم‬
‫ص "بَ َح َواآْل يَ "ةُ ِإ ْن‬ َ ُّ ‫"ال قَ " َ"ام النَّيِب‬
ِ
‫اد َك اآليَة‬ ُ َ‫ُت َع ِّذ ْب ُه ْم فَِإنَّ ُه ْم عب‬
Dari Abu Dzar RA, beliau berkata: Suatu ketika Nabi SAW shalat dengan membaca satu ayat yang diulang-
ulanginya hingga masuk waktu subuh. Ayat tersebut adalah:
ِ
ُ َ‫ِإ ْن ُت َع ِّذ ْب ُه ْم فَِإنَّ ُه ْم عب‬
‫اد َك‬
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau”, dst. (H.R. An-
Nasai dan Ibnu Majah)
‫ (أم حس ""ب ال ""ذين اج ""رتحوا‬:‫ أن ""ه ك ""رر ه ""ذه اآلي ""ة ح ""ىت أص ""بح‬-‫رض ""ي اهلل تع ""اىل عن ""ه‬- ‫وعن متيم ال ""داري‬ 
.)‫السيئات أن جنعلهم كالذين آمنوا وعملوا الصاحلات سوآء حمياهم ومماهتم" ساء ما حيكمون‬
Dari Tamim Ad-Dari -semoga Allah swt. meridoi kepadanya- bahwasanya ia senantiasa mengulang-ngulangi
ayat sampai Subuh: Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara
kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.

َ ‫ فَ َم َّن اللَّهُ َعلَْينَ" ""ا َو َوقَانَ" ""ا َع " " َذ‬: ‫عن عب" ""ادة بن محزة ق" ""ال دخلت على أمساء رض" ""ي اهلل عنه" ""ا وهي تق" ""رأ‬
‫اب‬
‫وم‬"ِ ‫الس ُم‬
َّ
4
‫ف ""وقفت عن ""دها فجعلت تعي ""دها وت ""دعو فط ""ال علي ذل ""ك ف ""ذهبت إىل الس ""وق فقض ""يت ح ""اجيت مث رجعت‬
.‫وهي تعيدها وتدعو‬
‘Dari ‘Ubadah bin Hamzah, dia berkata, “Aku menungunjuni Asma’ Rodhiyallahu ‘anha dan dia sedang
membaca firman Allah Ta’ala:
"ِ ‫الس ُم‬
‫وم‬ َ ‫فَ َم َّن اللَّهُ َعلَْينَا َو َوقَانَا َع َذ‬
َّ ‫اب‬
“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka”. (Q.S. Ath Thuur
[45]: 21)
Dia berhenti pada ayat itu, mengulang-ulangnya dan berdo’a. Hal itu berlangsung sangat lama lantas akupun
menuju pasar untuk menunaikan keperluanku. Lalu aku kembali ingin menemuinya sedangkan dia masih
mengulang-ulang ayat itu dan berdo’a. 
‫ رددها إىل السحر‬. ‫ هَلُ ْم ِم ْن َف ْوقِ ِه ْم ظُلَ ٌل ِم َن النَّا ِر َو ِم ْن حَتْتِ ِه ْم ظُلَ ٌل‬: ‫وكان الضحاك" إذا تال قوله تعاىل‬
“Adh Dhohak biasanya ketika membaca firman Allah Ta’ala:
‫هَلُ ْم ِم ْن َف ْوقِ ِه ْم ظُلَ ٌل ِم َن النَّا ِر َو ِم ْن حَتْتِ ِه ْم ظُلَ ٌل‬
Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api)”.
(QS. Az Zumar [39]: 16). Beliau mengulang-ulangnya hingga tiba waktu sahur (sepertiga malam akhir
menjelang subuh)”.
KEDUA: MEMPERBAGUS BACAAN KETIKA MEMBACA AL-QUR’AN
Suara yang bagus akan berdampak pada diri dan bertambah khusyuk serta tadabbur, oleh karena itu dipandang
baik bagi para pembaca Al-Qur’an untuk memperbagus bacaannya ketika membaca Al-Qur’an serta
membacanya dengan irama/lagu yang menunjukkan khusyu’ dan berbekas pada diri.
‫ م""ا أذ َن اهلل لش""يء م""ا َِأذ َن لن""يب‬:‫ ق""ال‬-‫ص""لى اهلل علي""ه وس""لم‬- ‫ عن الن""يب‬-‫رض""ي اهلل عن""ه‬- ‫عن أيب هري""رة‬
.‫حسن الصوت َيَتغَىَّن بالقرآن جيهر به‬
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tidaklah Allah
mendengarkan sesuatu sebagaimana Allah mendengarkan suara indah Nabi-Nya yang melagukan bacaan Al-
Qur'ān dan mengeraskan suaranya."  
Keterangan:
Hadis ini mengandung anjuran memperindah suara ketika membaca Al-Qur'ān dalam salat dan lainnya, yakni
seseorang mesti memperbagus suaranya ketika membaca Al-Qur'ān sembari mengeraskannya dengan
melagukan bacaannya seperti sedang bersedih, merasa cukup dengan Al-Qur'ān tanpa membutuhkan berita-
berita yang lain, mencari kekayaan jiwa dengannya dan mengharapkan rezeki melalui (berkah) Al-Qur'ān.
Maksud melagukan dalam hadis ini adalah memperindah suara, bukan menjadikannya seperti irama musik.  
‫ُأوتيت‬
َ "‫ «لق"د‬:‫ ق""ال ل""ه‬-‫ص""لى اهلل علي""ه وس""لم‬- ‫ أن رس""ول اهلل‬:-‫رض""ي اهلل عن""ه‬- ‫عن أيب موس""ى األش""عري‬
‫ «ل""و َرأيتَيِن‬:‫ ق""ال ل"ه‬-‫ص"لى اهلل علي"ه وس""لم‬- ‫ أ ّن رسول اهلل‬:‫ ويف رواية ملسلم‬.»‫ِم ْز َماراً من مزامري آل داود‬
.»‫وأنا أستمع لقراءتك البارحة‬
Dari Abu Musa al-Asy'arī -raḍiyallāhu 'anhu- bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda
padanya, "Sungguh engkau telah diberi satu seruling (suara indah) dari seruling-serulilng (suara indah)

5
keluarga Dawud." Dalam salah satu riwayat Muslim, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-
bersabda padanya, "Sekiranya engkau melihatku saat aku mendengarkan bacaanmu tadi malam."

 
Keterangan:
Dari Abu Musa al-Asy'arī -raḍiyallāhu 'anhu- bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda padanya
ketika beliau mendengarkan bacaannya yang indah dan bertartil, "Sungguh engkau telah diberi satu seruling
(suara indah) dari seruling-seruling (suara-suara indah) keluarga Dawud." Sabda beliau, "laqad ūtīta" artinya
sungguh engkau telah diberi, "satu seruling (suara indah) dari seruling-seruling (suara-suara indah) keluarga
Dawud", maksudnya Nabi Dawud sendiri. Beliau memang memiliki suara yang sangat merdu, indah dan tinggi,
sehingga Allah -Ta'ālā- berfirman, "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang
bersama Dawud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya." (QS. Saba` :10). Kata "ālu fulān" (keluarga
seseorang) terkadang diungkapkan dengan maksud orang itu sendiri (bukan seluruh keluarganya), sebab tak
seorangpun dari mereka (keluarga Dawud) yang diberi suara merdu seperti yang dianugerahkan pada Nabi
Dawud.  
‫«ز ِّينُ ""وا الق ""رآ َن‬
َ :-‫ص ""لى اهلل علي ""ه وس ""لم‬- ‫ ق ""ال رس ""ول اهلل‬:‫ ق ""ال‬-‫رض ""ي اهلل عن ""ه‬- ‫عن ال ""رباء" بن ع ""ازب‬
.»‫بأصواتِكم‬
Dari Al-Barā` bin 'Āzib -raḍiyallāhu 'anhu- ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,
"Perindahlah Al-Qur`ān dengan suara kalian."  
Keterangan:
Maksudnya adalah: perindahlah Al-Qur`ān dengan memperbagus suara kalian tatkala membacanya, karena
perkataan yang baik akan bertambah bagus dan indah dengan suara yang indah. Hikmahnya adalah agar kita
berusaha untuk mentadaburi Al-Qur`ān semaksimal mungkin dan memahami apa yang terkandung dalam ayat-
ayat berupa perintah, larangan, janji, dan ancaman, karena secara alami jiwa ini condong kepada keindahaan
suara, dan mungkin saja dengan indahnya suara ia bisa lebih fokus dan jauh dari hal-hal yang tidak penting,
sehingga pada saat itu pikiran menjadi lebih konsentrasi. Jika pikiran telah konsentrasi maka akan tercapai
kekhusyuan dan ketenangan. Yang dimaksud dengan memperindah suara -dalam hadis ini- ialah keindahan
yang membawa kekhusyuan, bukan suara-suara seperti nada nyanyian dan lagu-lagu yang keluar dari batasan
(kaidah) bacaan.  
‫غن‬
َّ َ‫«من مَل َيت‬
َ :‫ ق""ال‬-‫ص""لى اهلل علي""ه وس""لم‬- ‫ أن الن""يب‬:-‫رض""ي اهلل عن""ه‬- ‫عن أيب لباب""ة بش""ري بن عب""د املن""ذر‬
.»‫ليس ِمنَّا‬ ِ ِ
َ َ‫بال ُقرآن ف‬
Dari Abu Lubābah Basyīr bin 'Abdil-Munżir -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-
bersabda, “Siapa yang tidak memperindah suaranya membaca Al-Qur`ān, maka bukan termasuk golongan
kami."  
Keterangan:
Dalam hadis ini Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menganjurkan kita untuk memperindah suara ketika
membaca Al-Qur`ān. Kata ini (at-Tagannī) memiliki dua makna, yang pertama: siapa yang tidak memperindah
suaranya dengan Al-Qur`ān (saat membacanya) maka ia bukan termasuk orang yang menapaki petunjuk dan
jalan kami. Makna yang kedua, yakni: siapa yang tidak mencukupkan diri dengannya (Al-Qur`ān), di mana ia
mencari petunjuk dari selain Al-Qur`ān maka ia bukan golongan kami. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa
siapa yang mencari petunjuk dari selain Al-Qur`ān maka Allah akan menyesatkannya -wal 'iyāżu billāh (kita

6
berlindung kepada Allah)-. Hadis ini menunjukkan bahwa seharusnya setiap insan memperindah suaranya saat
membaca Al-Qur`ān dan mencukupkan diri dengannya.  
Dan sungguh salafus solih -semoga Allah swt. merahmati mereka semua- mereka itu sangat antusias untuk
memperbagus bacaan ketika membaca Al-Qur’an supaya (bacaan yang dibaca) bisa menambah kekhusyu’an
dan lebih berbekas pada diri.
Diantaranya contohnya adalah Al-Imam Muqri (Yahya bin Watsab) yang wafat pada tahun 103 Hijriyyah. Al-
A’masy berkata: “Yahya bin Watsab termasuk orang yang paling indah bacaan Qurannya, sehingga saya ingin
mengecup dahinya (sebagai penghormatan) karena saking bagusnya bacaannya. Kalau beliau sedang membaca
Al-Quran engkau tidak akan mendapatkan satupun gerakan di masjid seakan-akan di masjid sedang tidak ada
orang.” (khusyuk mendengarkan)
Begitu juga imam Hamzah bin Ali yang wafat pada tahun 206 Hijriyyah. Ibnu Najjar berkata: “Aku banyak
bergaul dengannya dan aku pun lama bersamanya, beliau (Hamzah bin Ali) adalah orang yang baik pelafadzan
hurufnya (fasih) dan baik pula lagunya (dalam membaca Al-Qur’an), orang-orang ingin sekali diimami oleh
beliau di dalam salat Tarawih, aku tidak pernah melihat seorang pun dari pembaca Al-Qur’an yang paling
nikmat lagunya, yang paling baik tajwidnya padahal beliau sudah tua dan sudah ompong gigi serinya.”
Imam an-Nawawi, sebagaimana dikutip dari At-Tibyan fi Ulum Al-Quran, berkata, "Kaum salaf dan khalaf dari
kalangan sahabat, tabi'in, dan para ulama setelah mereka dari berbagai negeri yang termasuk para imam kaum
Muslimin telah sepakat atas disunnahkannya memperindah suara dalam membaca Alquran." 
Dianjurkan membaguskan suara ketika membaca Alquran selama tidak keluar dari kaidah qiraah yang benar.
Seperti berlebih-lebihan dalam melagukannya sehingga menambah satu huruf, atau menguranginya, maka hal
itu haram dilakukan.
Dari keterangan di atas, hal ini menguatkan bahwa lagu/irama yang dituntut adalah yang lafadz Al-Qur’annya
tidak keluar dari bentuk aslinya, dengan bertambah harakat di dalamnya, memendekkan yang harusnya dibaca
panjang, memanjangkan yang harusnya dibaca pendek atau berlebih-lebihan dalam melagukannya sehingga
dapat menimbulkan kecacatan pada lafadz dan kerancuan pada ma’na.
Begitu pula kami memberikan peringatan (melarang) kepada orang-orang yang membaca Al-Qur’an dengan
lagu/irama orang-orang fasik dari lagu/irama yang dikenal. Maka dianjurkan dan disunnahkan untuk
memperbagus suara, melirihkannya dan melembutkannya supaya bertambah kekhusyu’an dan berdampak pada
diri, bukan bermaksud untuk menyanyi dan melagu.
KETIGA: THAHARAH4) DAN NADZHAFAH5)
Disyariatkan bagi para pembaca Al-Qur’an untuk suci dari hadas akbar, maka tidak boleh bagi orang yg junub,
haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an atau memegang mushaf.

4
Secara bahasa thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun yang tak berwujud. Kemudian secara
istilah, thaharah artinya menghilangkan hadas, najis, dan kotoran (dari tubuh, yang menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya)
menggunakan air atau tanah yang bersih. Sedangkan menurut hukum Syara', thaharah artinya suci dari hadas dan najis.
5
Nadzhafah artinya menghilangkan sesuatu yang dianggap kotor secara estetika.
7
Imam An-Nawawi berkata: “SEMENTARA ORANG YANG JUNUB DAN WANITA YANG HAID 6),
MAKA HARAM ATAS KEDUANYA MEMBACA AL-QUR’AN, sama saja satu ayat atau kurang dari satu
ayat. Bagi keduanya diharuskan membaca Al-Qur’an di dalam hati tanpa mengucapkannya dan boleh
memandang ke dalam mushaf.”
Ijmak muslim mengharuskan bagi yang berjunub dan yang haid mengucapkan tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan
membaca shalawat atas Nabi s.a.w serta dzikir-dzikir lainnya.
Para sahabat kami berkata, jika orang yang berjunub dan perempuan yang haid berkata: “Khudzil kitaaba
biquwwatin” sedang tujuannya adalah selain Al-Qur’an, maka hukumnya boleh.

6
HUKUM WANITA HAID, NIFAS & YANG JUNUB MEMBACA AL-QURAN
Masalah ini tidak kalah menjamur dan masyhurnya di kalangan masyarakat awam. Sampai saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang
masih meyakini wanita haid atau nifas tidak boleh sama sekali membaca Al-quran. Padahal Membaca Al-quran pada dasarnya siapa
pun boleh kecuali jika ada dalil yang melarangnya.
Ternyata bagi wanita yang sedang haid atau nifas ada beberapa hadis yang melarang mereka untuk membaca Al-quran. Namun,
hadis-hadis tersebut tidak luput dari kedaifan. Sedangkan hadits dhaif tidak boleh dijadikan dalil untuk menetapkan hukum. Agar
lebih jelas, marilah kita perhatikan hadis-hadis tersebut berikut keterangan mengenai kedaifannya.
‫ رواه الترمذي‬.‫ال تقرإ الحائض وال الجنب شيئا من القرآن‬: ‫ م‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن ابن عمر قال‬-1
Dari Ibnu Umar ra. ia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah wanita haid dan yang sedang junub membaca sesuatu
pun dari Alquran’”. H.r. At-Tirmidzi
‫ رواه الدارقطني‬.‫ال يقرأ الحائض وال الجنب و النفساء القرآن‬: ‫ عن جابر قال‬-2
Dari Jabir ra. ia mengatakan, “Tidaklah (janganlah) wanita haid, yang junub, dan yang sedang nifas membaca Alquran”. H.r. Ad-
Daraquthni
Hadis pertama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam Kitabut Thaharah juz I:236. Dan hadis yang semakna dengannya
diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah masih dalam Kitabut Thaharah juz I:331.
Kedua hadis ini melalui rawi yang bernama Ismail bin ‘Ayyasy bin Sulaem. Dia adalah orang Syam tepatnya di Himsha. Ismail bin
Ayyasy pada asalnya rawi tsiqat dan hadisnya sahih bila ia menerima hadis dari rawi yang senegeri dengannya. Tetapi bila ia
menerima hadis dari rawi lain yang tidak satu negeri dengannya maka hadisnya daif tidak bisa dijadikan hujah.
Kebetulan pada hadis di atas Ismail bin Ayyasy menerima hadis dari Musa bin Uqbah. Dia adalah orang Madinah. Berarti ia
menerima hadis dari rawi yang tidak satu negeri denganya. Imam Al-Bukhari mengatakan, “Bila Ismail bin Ayyasy menerima hadis
bukan dari rawi yang senegeri dengannya maka fiihi nazhar (hadisnya ditinggalkan). Sedangan menurut Yahya bin Ma’in, bila Ismail
bin Ayyasy menerima hadis bukan dari rawi yang senegeri dengannya (yaitu negeri Syam) maka dia ikhtilath (pikun). (Lihat Tahdzibul
Kamal, III:177, Al-Kamil fi dhu’afair rijal, I:294 dan Al-Majruhin, I:125)
Selain itu, ada juga hadis yang sanadnya tidak melalui rawi Ismail bin Ayyasy tetapi melalui Abu Ma’syar dari Musa bin Uqbah yang
diriwayatkan oleh Ad-daraqutni dalam Sunannya juz I:118. Akan tetapi pada hadis riwayat Ad-Daraquthni ini terdapat rawi yang
majhul (tidak diketahui identitasnya). Oleh karena itu, hadisnya pun tetap ditolak.
Hadis kedua diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam sunannya juz, I:121. Hadis ini tidak bisa dipakai hujah, karena selain mauquf
(sanadnya sampai sahabat) juga pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Yahya. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Abu
Anisah. An-Nasai dan Ad-daraquthni mengatakan, “Dia matrukul hadis” (hadisnya ditinggalkan). Abu Hatim, Abu Zur’ah, Yahya bin
Ma’in mereka mengatakan, “Dia dhaiful hadis (hadisnya daif) Sedangkan Ali bin Al-Madini mengatakan, “La yuktabu haditsuhu (tidak
dicatat hadisnya)”. (Tahdzibul Kamal, XXXI:226-227)
Dengan keterangan-keterangan di atas, cukup jelas bagi kita untuk tidak menjadikan hujah apalagi mengamalkan hadis-hadis
tersebut.
Kesimpulan: Membaca Al-quran sangat dianjurkan bagi siapapun tanpa terkecuali.
Orang yang Junub Membaca Al-Quran
Kalangan ahli ilmu telah berbeda pendapat tentang orang yang junub membaca Al-quran. Ada yang membolehkan ada yang tidak.
Mereka yang melarang orang junub membaca Al-quran di antaranya berdasarkan hadis-hadis di bawah ini:
‫ رواه الترمذي‬.‫ القرآن على كل حال مالم يكن جنبا‬‰‫ م يقرئنا‬.‫ كان رسول هللا ص‬:‫ عن علي قال‬-1
Dari Ali ra. ia mengatakan, “Rasulullah biasa membacakan Alquran kepada kami di setiap keadaan selama tidak dalam keadaan
junub”. H.r. At-Tirmidzi
‫ رواه الدارقطني‬. ‫ م اليقرأ الجنب شيئا من القرآن‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫ عن ابن عمر قال‬-2
Dari Ibnu Umar ra. ia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak boleh /jangan membaca sesuatu dari Alquran orang yang
sedang junub’”. H.r. Ad-Dfraquthni, I:117)
8
Demikian pula hukumnya upaya yang serupa dengan itu. Keduanya boleh mengucapkan: “Innaa lillahi wa
innaa ilahi raaji’uun”. Ketika mendapat musibah, jika tidak bermaksud membaca Al-Qur’an. Para sahabat
kami dari Khurasan berkata, ketika menaiki kendaraan, keduanya boleh mengucapkan:
ِ ِ
َ ‫ُسْب َحا َن الَّذي َس َّخَر لَنَا َه َذا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرن‬
‫ني‬
“Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini bagi kami dan tidaklah kami mampu menguasainya
sebelum ini.” (Q.S Az-Zukhruf {43}:13)
Adapun disyariatkannya berwudhu’, maka menurut pendapat yang paling sohih “TIDAK BOLEH
MENYENTUH MUSHAF KECUALI DALAM KEADAAN BERWUDHU 7).” Sebagaimana firman Allah
ta’ala:

‫ رواه الدارقطني‬...‫ وأكره لك ما أكره لنفسي ال تقرأ القرآن وأنت جنب‬,‫ يا علي إني أرضى لك ما أرضى لنفسي‬:‫ م‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫ عن أبي موسى قال‬-3
Dari Abu Musa ra. ia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Hai Ali! Sesungguhnya aku meridhai kamu (seperti) aku meridhai
sesuatu untuk diriku sendiri, dan aku tidak menyukai (sesuatu) untukmu seperti aku tidak menyukai sesuatu untuk diriku! Janganlah
kamu membaca Alquran dalam keadaan junub…!’”. H.r. Ad-Daraquthni, I:119
‫ رواه الدارقطني‬.‫ م نهى أن يقرأ أحدنا القرآن وهوجنب‬.‫أن رسول هللا ص‬:‫ عن عبد هللا بن رواحة قال‬- 4
Dari Abdullah bin Rawahah ra. ia mengatakan, “Bahwasanya Rasulullah saw. melarang salah seorang di antara kami untuk
membaca Alquran dalam keadaan junub”. Hr. Ad-Daraquthni
Hadis pertama diriwayatkan oleh At-Tirmidzi juz, I:275. Dan hadis yang semakna dengannya diriwayatkan oleh An-Nasai I:155-156,
Abu Daud I:52 dan Ibnu Majah I:331. Semua sanad hadis ini melalui rawi yang bernama Abdullah bin Salimah (Salamah). Dia itu
rawi yang dikenal akan tetapi diingkari. Ia juga sering berbuat salah dalam meriwayatkan hadis. Selain itu, Imam Al-Bukhari
mengatakan, “la yubtaba’u ‘ala haditsihi” (tidak ada mutaba’ah/penolong untuk hadisnya). (Lihat Tahdzibul Kamal, XV:51-52,
Tahdzibut Tahdzib, V:241, Lisanul Mizan, II:431, Al-Kamil fi dhu’afair Rijal, IV:169 dan Adh-Dhu’afa wal Matrukin hal 154)
Hadis kedua juga daif karena pada sanadnya ada rawi yang bernama Abdul Malik bin Maslamah Al-Umwi. Ibnu Yunus mengatakan,
“Dia Munkarul hadis”. Ibnu Hibban mengatakan ia banyak meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari orang-orang Madinah”. (Lisanul
Mizan, IV:68 dan Al-Mughni Fidh-Dhu’afa, II:409).
Hadis ketiga sanadnya melalui rawi Abu Malik, yang nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Al-Husain (Husain) An-Nakhai. Dia
dinyatakan daif oleh Abu Hatim, Abu Zur’ah dan oleh Ad-Daraqutni sendiri. Imam Al-Bukhari mengatakan, “ Laisa bil qowi (dia tidak
kuat). Sedangkan Al-Azdiy dan An-Nasai mengatakan, “Dia matrukul hadis” (hadisnya ditinggalkan) (Lihat Mizanul I’tidal, II:653, Al-
Jarhu wat Ta’dil, V:347, Al-Kamil, V:303, dan Adh-Dhu’afa wal Matrukin hal 166)
Hadis keempat pun daif karena pada sanadnya ada rawi yang bernama Salamah bin Wahram. Ahmad bin Hanbal berkata, “Zam’ah
bin Salih meriwayatkan hadis-hadis mungkar darinya, dan aku khawatir keberadaan hadisnya itu daif”. Selain itu ia juga dinyatakan
daif oleh Abu Daud. Ibnu Addiy mengatakan, “Hadisnya tidak teranggap”. Sedangkan Ibnu Hibban mengomentari, “Boleh hadisnya
dijadikan I’tibar (perbandingan) jika diriwayatkan melalui rawi selain Zam’ah bin Salih”. (Lihat Tahdzibul Kamal, XI:328, Mizanul
I’tidal II:193, Tahdzibut Tahdzib IV:161, Al-Kamil, III:338, al-Kasyif, II387 dan Al-Mughni I:276)
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas tidak ada satu pun dalil yang sahih yang melarang orang junub membaca Alquran.
Selain itu, ada keterangan Ali bin Abu thalib riwayat Abu Ya’la Al-Mushili, I:300 dan Ahmad bin Hanbal, beliau menyatakan bahwa
yang junub tidak boleh membaca Alquran walaupun satu ayat. Pernyataan Ali bin Abu Thalib ini hanya merupakan ijtihad beliau
saja bukan ijma’ sahabat, karena sahabat lain-pun seperti Ibnu Abbas berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi orang yang
junub membaca Alquran (Lihat Fathul Bari, I:541).
Kesimpulan: Tidak dilarang orang junub membaca Alquran

7
Menyentuh Al-quran dalam keadaan Hadas
Entah sejak kapan munculnya akidah atau keyakinan bahwa menyentuh Al-quran itu tidak boleh kecuali harus dalam keadaan suci
(bersih dari hadis kecil dan besar). Keyakinan seperti ini sudah menjamur di kalangan masyarakat hingga sekarang. Mereka
berkeyakinan seperti itu tentu memiliki dasar, baik dari Alquran atau hadis, karena ini masalah ibadah. Bila keterangan-keterangan
itu memang ada dan dapat diterima secara ilmu, tentu semua umat Islam wajib menaatinya. Akan tetapi bila keterangan-
keterangan itu tidak dapat diterima secara ilmu atau salah dalam memahami maknanya maka wajib ditolak.
Ternyata keyakinan mengenai menyentuh Alquran harus dalam keadaan suci berdasarkan hadis-hadis di bawah ini:
.‫ الَ يَ َمسُّ ْالقُرْ آنَ ِإالَّ َعلَى طُه ٍْر‬:‫ م ِل َع ْم ِرو ب ِْن َح ْز ٍم‬.‫هللا ص‬ ِ ‫ُول‬
ِ ‫ب َرس‬ ِ ‫ َكانَ ِفى ِكتَا‬:‫ال‬ َ َ‫هللا ب ِْن َأ ِبي بَ ْك ٍر ع َْن َأ ِبي ِه ق‬
ِ ‫ ع َْن َع ْب ِد‬-1
Dari Abdullah bin Abu Bakar dari Ayahnya (Abu Bakar) ia berkata,”Dalam surat Rasulullah saw. untuk Amr bin Hazm (kakek Abu
Bakar) tercantum padanya, ‘Tidak (boleh) menyentuh Alquran kecuali dalam keadaan suci”.
.‫ م الَ يَ َمسُّ ْالقُرْ آنَ ِإالَّ طَا ِهرً ا‬.‫هللا ص‬
ِ ‫ال َرسُو ُل‬ َ َ‫ق‬:‫ال‬
َ َ‫ ع َِن اب ِْن ُع َم َر ق‬-2
9
)79( ‫) اَل مَيَ ُّسهُ ِإال الْ ُمطَ َّه ُرو َ"ن‬78( ‫ون‬ ٍ ِ
ٍ ُ‫اب م ْكن‬ ‫ِإ‬
َ َ‫) يِف كت‬77( ٌ‫نَّهُ لَ ُق ْرآ ٌن َك ِرمي‬
sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara  (Lauh
Mahfuz), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (Q.S. Al-Waqi’ah: 77-79)
Selain ayat di atas, para ulama juga menggunakan dalil sabda Rasulullah SAW: 
ِ َ‫ال مَي س الْ ُقرآ َن ِإاَّل ط‬
‫اهٌر‬ ْ َّ َ
"Tidaklah memegang Al Quran kecuali orang yang suci." (H.R. Malik, Ibnu Hibban dan Hakim)
Maka dengan keterangan ini, bagi orang yang ingin/hendak membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf tidak
disyariatkan berwudhu kecuali hanya sekedar anjuran saja.

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata,”Rasulullah saw. bersabda,’Tidak (boleh) menyentuh Alquran kecuali dalam keadaan suci’”.
.‫ الَ تَ َمسُّ ْالقُرْ آنَ ِإالَّ َوَأ ْنتَ َعلَى طُه ٍْر‬:ُ‫ال لَه‬
َ َ‫ م ق‬.‫ َأنَّ النَّ ِب َّي ص‬,‫َّان ب ِْن ِبالَ ٍل ع َْن َح ِك ِيم ب ِْن ِح ِز ٍام‬
ِ ‫عن َحس‬ ْ -3
Dari Hassan bin Bilal dari Hukaim bin Hizam, (ia berkata),”Bahwa Nabi saw. berkata kepadanya (Hakim),’Tidak (boleh) kamu
menyentuh Alquran kecuali kamu dalam keadaan suci’”.
Dari utsman bin Al-Ash, Nabi pernah bersabda kepadaku:
.‫ َوالَ تَ َمسُّ ْالقُرْ آنَ ِإالَّ َوَأ ْنتَ طَا ِه ٌر‬,‫ قَ ْد َأ َّمرْ تُكَ َعلَى َأصْ َحابِكَ َوَأ ْنتَ َأصْ َغ ُرهُ ْم‬-4
Sungguh aku telah mengangkatmu sebagai pemimpim (ketua dalam suatu perjalanan) atas sahabat-sahabatnu padahal kamu yang
paling muda di antara mereka, dan janganlah kamu menyentuh Alquran kecuali kamu dalam keadan suci”.
‫ أخرجه علي بن عبد العزيز‬.‫ َوع َْن ثَوْ بَانَ َرفَ َعهُ الَ يَ َمسُّ ْالقُرْ آنَ ِإالَّ طَا ِه ٌر‬-5
Dari Tsauban, ia memarfu’kannya, (Nabi saw. bersabda),”Tidak (boleh) menyentuh Alquran kecuali orang yang suci”.
Takhrij Hadis
Hadis nomor satu sampai empat diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam Sunannya I:121. Pada hadis pertama diriwayatkan juga
oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, I:88 dan Syu’abul Iman, II:380, Imam Malik dalam Al-Muwaththa, I:203, Ad-Darimi dalam
Kitabut Talaq, II:161 dan Adu Daud dalam kitab Marasil, hal:121-122. Hadis kedua diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Kabir wal Ausath (CD), Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, I:88 dan tercantum dalam kitab Majma’uz Zawaid tulisan Al-
Haitsami, I:282. Hadis ketiga diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir wal Ausath (CD), dan Al-Hakim dalam Al-
Mustadrak. Hadis keempat diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul kabir dan tercantum dalam Majma’uz Zawaid,
I:282. Sedangkan hadis kelima diriwayatkan oleh Ali bin Abdul Aziz dalam kitab Muntakhabul Musnad (CD)
Semua hadis di atas tidak bisa dijadikan hujah untuk menetapkan hukum karena terdapat kedaifan-kedaifan. Agar lebih jelas,
perhatikanlah keterangan-keterangan berikut ini:
Hadis pertama walaupun rawi-rawi tsiqat tetapi hadis tersebut mursal tabi’I, karena Abu Bakar tidak bertemu dengan Amr bin Hazm
(kakeknya). Dalam ilmu Mushtalah hadis, hadis yang mursal tabi’I itu dikatagorikan hadis daif.
Hadis kedua dinyatakan oleh Al-Haitsami, bahwa rawi-rawinya tsiqat (rijaluhu muwatstsaqun), padahal terdapat rawi yang
bernama Sulaiman bin Musa (sulaiman bin arqam) Al-Asydaq Al-Qurasi Al-Umwi. An-Nasai berkata, “Sulaiman itu laisa bil qawwi
(tidak kuat dalam meriwayatkan hadis). Sedangkan Al-Bukhari berkata, “Padanya terdapat hadis-hadis munkar”.(Lihat Hasiyah Ad-
Daraquthni, I:121, Tahdzibul Kamal, XII:97, Al-Kamil, III:263 dan Adh-Dhu’afa wal Matrukin, hal 122)
Hadis ketiga daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Suwaid Abu Hatim, yang nama lengkapnya Suwaid bin Ibrahim Al-Jahdari
Al-Bashri. Dia dinyatakan daif oleh Yahya bin Ma’in. Abu Daud dan An-Nasai berkata, “Ia daif”. Sedang Abu Zur’ah berkata, “ laisa bil
Qawwi”. (Tahdzibul kamal, XII:243-244 dan Majma’uz Zawaid, I:282)
Hadis keempat daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Ismail bin Rafi bin Uwaimir Abu Ubaid. An-Nasai berkata, “Matrukul
hadis (hadisnya ditinggalkan)”. Hanbal dan Abu Hatim berkata, “Munkarul hadis”. Dan pada kesempatan lain An-Nasai berkata,
“Ismail bin Rafi itu rawi yang daif dan tidak tsiqat”. (Tahdzibul Kamal, III:87-88 dan Al-Kamil, I:280).
Hadis kelima daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Hashib bin Jahdar. Dia Matruk, daif karena sering berdusta
meriwayatkan hadis dari Abu Shalih. (Aunul Ma’bud, dan Nailul Authar I:247)
Pertanyaan: Walaupun hadis-hadis di atas daif, bukankah makna hadis-hadis tersebut sesuai dengan firman Allah swt. dalam alquran
surat Al-Waqi’ah ayat 79 yang berbunyi?
َ‫الَ يَ َم ُّسهُ ِإالَّ ْال ُمطَهَّرُون‬
Tidak menyentuhnya (Alquran) kecuali mereka yang disucikan
Jawaban: Ayat tersebut sama sekali tidak ada kaitan dengan hadis-hadis di atas, sebab yang dimaksud dengan muthahharun
(mereka yang disucikan) menurut para ahli ilmu adalah para malaikat, sebab Al-quran yang dimaksud dalam ayat itu adalah
kitabullah yang berada di langit, yakni di lauhum mahfuzh. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Anas, Said bin Jubair dan Ikrimah, yang
mereka ini para ahli tafsir di zamannya. Adapun maksud ayat ini untuk membantah perkataan orang-orang kafir yang menuduh,
bahwa Alquran yang turun kepada Nabi saw. bukan dari Allah swt. melainkan dari syetan. (At-tafsirul Munir, 27:275 dan 280, Ad-
10
Imam An-Nawawi berkata: “Dianjurkan bagi orang yang ingin membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci, maka
apabila ia membaca Al-Qur’an dalam keadaan hadats -yang dimaksud tidak memiliki wudhu’- maka hal
tersebut boleh menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Sebagaimana dianjurkan ketika membaca Al-Qur’an di tempat yang bersih, pembaca membersihkan mulutnya
dengan cara menggosok gigi, dan sungguh keadaaan Rasulullah saw. itu apabila bangun malam hendak
melaksanakan solat tahajud beliau membersihkan mulutnya dengan siwak, yang dimaksud adalah menggosok
dan membersihkan giginya.

KEEMPAT: ISTIMA’ DAN INSHOT (MENYIMAK DAN DIAM)8


Allah swt. telah memerintahkan kepada kami untuk senantiasa diam ketika dibacakan Al-Qur’an, hal ini sebagai
bentuk pengagungan dan penghormatan terhadapnya. Dalilnya:
ِ ْ‫وِإ َذا قُ ِرَئ الْ ُقرآ ُن فَاستَ ِمعوا لَه وَأن‬
)204( ‫صتُوا لَ َعلَّ ُك ْم ُتْرمَحُو َن‬ َُ ُ ْ ْ َ
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar
kalian mendapat rahmat. (Q.S. Al-A’raf: 204)
ِ ْ‫ وَأن‬adalah diam, mendengarkan, memperhatikan dan menyimak.
‫صتُوا‬
Makna
َ
Dan sungguh keadaan orang-orang musyrik mereka sengaja mengeraskan suara-suara mereka dengan obrolan,
ocehan dan celotehan, yang bertujuan untuk menghalangi orang-orang (yang ingin masuk Islam) dari
mendengar Al-Qur’an, karena mereka (orang-orang kafir) menyangka dapat mencegah mereka (orang-orang
yang akan masuk Islam) dari pengaruh Al-Qur’an dimulai dari pengaruh ayat-ayatnya, keindahan bahasanya
dan keinginan mereka untuk beriman terhadapnya. Hal ini dikhabarkan sendiri oleh Allah swt.:
ِ ‫ال الَّ ِذين َك َفروا اَل تَسمعوا هِل َذا الْ ُقر‬
)26( ‫آن َوالْغَ ْوا فِ ِيه لَ َعلَّ ُك ْم َت ْغلِبُو َن‬ ْ َ َُْ ُ َ َ َ‫َوق‬
Dan orang-orang kafir berkata, "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini
dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Q.S. Fushshilat: 26)
Adapun orang yang beriman yang soleh, maka sesungguhnya mereka akan senantiasa khusyu’ ketika Al-Qur’an
dibacakan dan senantiasa diam karena mereka mentadabburi isinya dan sangat berpengaruh pada dirinya.
Dalilnya:

durrul Mansur, IIX:26, Ibnu Katsir, IV:296 dan Ath-Thabari, 27:205).


Dengan demikian, keliru bila ayat ini dijadikan dalil tidak boleh menyentuh Alquran kecuali dalam keadaan suci, sebab menurut tidak
ada satu pun riwayat sahih dari Nabi saw. yang menerangkan, bahwa yang dimaksud muthahharun itu adalah orang yang bersih dari
hadas. Wallahu A’lam Bish shawab.
8
Perbedaan antara mendengarkan dan memperhatikan dengan tenang. ‘Al-Inshot’ adalah sisi penampilan dengan tidak berbicara
atau meninggalkan kesibukan yang dapat mengganggu dari mendengarkan. Sementara ‘Al-Istima’ adalah memasang telinga dan
menghadirkan hati untuk mentadaburi dari apa yang didengarkan. Karena kelaziman dari dua hal ini, ketika Kitabullah dibaca, maka
dia akan mendapatkan banyak kebaikan dan ilmu nan luas, terus memperbaharui keimanan, petunjuk yang terus bertambah
pengetahuan agamanya.

11
‫َّم ِ"ع مِم َّا َعَرفُ""وا" ِم َن احْلَ" ِّ"ق َي ُقولُ""و َن َربَّنَ""ا َآمنَّا فَا ْكتُْبنَ""ا‬ ِ ‫ول َت""رى َْأعيَنهم تَِف‬
ْ ‫يض م َن ال""د‬
ُ ْ ُ ُ َ ‫الر ُس‬
ِ َّ ‫وِإ َذا مَسِ عوا ما ُأنْ ِز َل ِإىَل‬
َ ُ َ
)83( ‫ين‬ ِِ
َ ‫َم َع الشَّاهد‬
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu lihat mata mereka mencucurkan
air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang
menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur'an dan kenabian Muhammad Saw.). (Q.S. Al-Maidah: 83)
Maka satu ayat dari Al-Qur’an ketika disimak dan didengar baik-baik, akan berpengaruh pada diri serta dapat
membangkitkan ketenangan dan juga ketentraman.
Oleh karena itu, diantara adab terhadap Al-Qur’anul Karim adalah istima’ (menyimak), inshot (diam) ketika Al-
Qur’an dibacakan dan juga tidak sibuk dengan kegiatan apapun yang dapat memalingkan hati serta anggota
tubuh dari tadabbur ayat-ayatnya.
Maka sepatutnya dan juga selayaknya ketika kita membaca Al-Qur’an menjauhi suara yang keras ketika
membacanya di lingkungan yang gaduh/bising dan tempat-tempat yang di dalamnya penuh dengan kesibukan
manusia serta berdagang. Karena hal itu akan menyulitkan dan juga memberatkan dirinya untuk istima’ Al-
Qur’an. Oleh karena itu selayaknya dan sepatutnya (bagi dirinya) untuk memperhatikan tempat dan waktu yang
cocok dalam membaca atau mendengarkan Al-Qur’an, supaya Al-Qur’an yang dibaca dan didengar dapat
diterima dan berpengaruh serta jiwa siap untuk mendengar dan juga memperhatikan Al-Qur’an tersebut.

KELIMA: ISTIADZAH DAN BASMALAH


Sangat dianjurkan bagi pembaca Al-Qur’an untuk beristiadzah pada awal bacaan. Dalilnya:
)98( ‫الر ِجي ِم‬ ِ َ‫فَِإذَا َقرْأت الْ ُقرآ َن فَاستَعِ ْذ بِاللَّ ِه ِمن الشَّيط‬
َّ ‫ان‬ ْ َ ْ ْ َ َ
Apabila kalian membaca Al-Qur’an, hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang
terkutuk. (Q.S. An-Nahl: 98)
Karena yang namanya setan sangat antusias dalam memalingkan umat muslim dari ibadah kepada tuhan-Nya
dan setan menyibukkan pikiran mereka dengan berbagai macam cara yang dapat menghalangi mereka dari
tadabbur ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Imam Ar-Razi berkata: “Sesungguhnya rahasia istiadzah adalah melindungkan diri kepada dzat yang Maha
Mampu menolak berbagai macam bahaya, kemudian urusan yang paling mulia dan terhormat yang setan
berusaha untuk senantiasa menggodanya adalah (kegiatan) membaca Al-Qur’an, karena dengan membaca Al-
Qur’an serta diniatkan untuk semata-mata ibadah karena Allah swt., ingat kepada janji-janji Allah swt. baik itu
janii baik ataupun janji buruk, dan ingat terhadap ayat-ayatnya juga penjelasan-penjelasannya, maka akan
bertambah ketaatannya dan bertambah pula ketakutannya terhadap sesuatu yang haram. Maka disebabkan hal
ini, jadilah membaca Al-Qur’an itu termasuk seagung-agungnya ketaatan. Maka sudah dipastikan, usaha setan
untuk menghalangi seseorang dalam (kegiatan) membaca Al-Qur’an akan lebih berusaha lagi (tidak akan
pernah berhenti), begitu juga kebutuhan seorang hamba kepada dzat yang menjaga dirinya dari kejahatan setan
akan lebih ditingkatkan lagi. Oleh karena itu, itulah kekhususan membaca Al-Qur’an dengan (dimulai)
istiadzah.”
Sebagaimana dianjurkan membaca istiadzah ketika memulai membaca Al-Qur’an, maka dianjurkan pula
membaca basmalah terutama di awal/permulaan surat.
Imam An-Nawawi bependapat: “Hendaklah orang yang membaca Al-Qur’an selalu membaca Bismillahir
Rahmaanir Rahiim pada awal setiap surah selain surah Bara’ah karena sebagian besar ulama mengatakan, ia
adalah ayat, sebab ditulis di dalam Mushaf. Basmalah ditulis di awal setiap surah, kecuali Bara’ah. Jika tidak
membaca basmalah, maka dia meninggalkan sebagian Al-Qur’an menurut sebagian besar ulama.”
Mungkin hikmah dalam menggabungkan antara istiadzah dan basmalah ketika membaca Al-Qur’an adalah
bahwa istiadzah meminta dijauhkan dari keburukan dan basmalah meminta untuk mendapatkan kebaikan. Maka

12
sepatutnya dan selayaknya bagi seorang muslim ketika memulai bacaan Al-Qur’an membutuhkan kepada kedua
hal tersebut. Yang pertama, butuh kepada sesuatu yang dapat menolak keterkaitan hati terhadap selain Allah
swt. dan penguasaan setan kepadanya. Dan yang kedua, butuh kepada sesuatu yang dapat berpengaruh pada
jiwa dan berpengaruh pula saat tadabbur ayatnya (ketika membaca dan dibacakan Al-Qur’an) hal tersebut
disebabkan meminta bantuan dan juga pertolongan kepada Allah swt. oleh karena itu, digabungkan antara
istiadzah dan basmalah ketika membaca Al-Qur’an.

13

Anda mungkin juga menyukai