Anda di halaman 1dari 20

Jum’at, 15 November 2019

Di Mushalla Al-Ikhlas, Caraka


Safar adalah “keluar dari tempat tinggal yang jelas dan
nyata bentuknya, untuk menempuh suatu jarak tertentu.”
Dan ini adalah hal yang disepakati ulama.

Para ulama juga bersepakat bahwa seorang Muslim yang


berada di daerahnya sendiri atau di tempat ia bertempat
tinggal di sana, ia bukanlah musafir.

Para ulama bersepakat bahwa seorang Muslim yang


berada di perjalanan safar, baik jauh ataupun dekat, atau
berapapun jaraknya (selama masih termasuk jarak safar),
maka ia musafir.
Jama’ “Melaksanakan dua shalat wajib dalam
satu waktu, seperti: shalat Dhuhur
dengan shalat Ashar & shalat Maghrib
dengan shalat Isya’.”

Shalat Safar

“Meringkas shalat yang empat rakaat


menjadi dua rakaat. Seperti shalat
Qashar
Zhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan
shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak
bisa diqashar.”
 Hukum shalat Qashar
Dibolehkan dan ruhsah (keringanan) bagi musafir. Karena safar
itu umumnya menyulitkan. Allah Ta’ala berfirman:

ْ‫الصاَل ة ْن خ ْف ُت ْم َأ ن‬ ُ ‫اح َأ ْن َت ْق‬


َّ ‫ص ُروا م َن‬ ٌ ‫س َع َل ْي ُك ْم ُج َن‬
َ ْ‫ض َر ْب ُت ْم في اَأْل ْ ض َف َلي‬
َ ‫ا‬
َ َ
‫ذ‬
ِ ‫ِ ِإ‬ ِ ِ ‫ِ ر‬ ‫وِإ‬ 

َ َ َّ ُ ُ َ ْ َ
‫ين ك َف ُروا‬ ‫يف ِتنكم ال ِذ‬

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah


mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir.” (QS. An Nisa’: 101).

Dalam ayat, qashar shalat dikaitkan dengan rasa takut, karena


namanya safar umumnya seperti itu.
Dari Ya’la bin Umayyah, dia menanyakan ayat ini pada ‘Umar bin al-
Khaththab. Dia berkata:

َ ‫ِإنْ ِخ ْف ُت ْم َأن َي ْف ِت َن ُك ُم الَّ ِذ‬


‫ين َك َفرُوا‬

“jika kamu takut diserang orang-orang kafir”

Padahal orang-orang sudah dalam keadaan aman. ‘Umar berkata,


“Dulu, aku juga bingung dengan masalah ini sebagaimana kamu. Lalu
aku menanyakannya pada Rasulullah saw. Lantas beliau bersabda:

‫صدَ َق َت ُه‬ َ ‫صدَ َق ٌة َت‬.


َ ‫ َفا ْق َبلُ ْوا‬،‫ص َّد َق هللاُ ِب َها َع َل ْي ُك ْم‬ َ
“Itu adalah shadaqah dari Allah untuk kalian. Maka, terimalah
shadaqah-Nya.”
‫)‪Nabi tidak pernah menyempurnakan shalatnya (4 rakaat‬‬
‫‪dalam semua perjalananya.‬‬

‫‪Ibnul Qoyim berkata:‬‬

‫ابن القيم ‪-‬رحمه هللا‪ -‬أنّ ال ّرسول ‪-‬عليه الصّالة والسّالم‪ -‬كان إذا خرج من‬
‫المدينة المنوّ رة مُسافراً صلّى الصّالة الرُباعيّة ركعتين ح ّتى يعود إلى دياره‪،‬‬
‫ولم يثبت أ ّنه ‪-‬عليه الصّالة والسّالم‪ -‬أت ّم الصّالة وصالها أربعا ً‬
a). Orang yang sedang safar dan perjalananya bukan ma’siat
(terlarang). Sebagaimana dalam hadits Tsumamah bin
syarahbil:

‫ا‬6‫الة المغرب ثالث‬6‫بين اال ص‬6‫ن ركع‬6‫ ركعتي‬:‫افر؟ فقال‬6‫الة المس‬6‫ا ص‬6‫ م‬:‫ت‬6‫ر فقل‬6‫ن عم‬6‫ى اب‬6‫ت إل‬6‫خرج‬

“Saya pernah pergi ke tempat Ibnu Umar, saya bertanya


kepadanya: bagaimanakah shalatnya musafir? Jawabnya:
“Dua rakaat-dua rakaat kecuali shalat maghrib, tiga rakaat”
(HR. Ahmad).
b). Perjalanannya jarak jauh

Jarak perjalanannya 16 farsakh (1 farsakh = 3 mil) atau sama


dengan 80,540 km
Malikiyah: 65,764 km, sesuai hadits Ibnu Abbas r.a.
“Janganlah mengqasar shalat pada perjalanan yang kurang
dari 4 barid, yaitu seperti dari Makkah ke Usfan”.
Hanafiyah: 85 km
Syeikh Wahbah : 90 km
c). Telah meninggalkan tempat mukim dan keluar dari daerah
tempat tinggal (balad)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa, disyari’atkan


mengqashar shalat ketika telah meninggalkan tempat mukim
dan keluar dari daerah tempat tinggal. Maka tidaklah
disempurnakan shalat (4 raka’at) sampai memasuki rumah
pertama (di dalam tempat tinggalnya).

Ibnul Mundzir berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa Nabi


Saw melakukan qashar dalam beberapa safarnya kecuali
beliau telah keluar dari Madinah.

Anas berkata, “Aku shalat Dzuhur empat raka’at bersama


Nabi Saw di Madinah. Sedangkan di Dzul Hulaifah dua
raka’at.”
c). Tidak berniat untuk mukim lebih dari 3 hari, tanpa dihitung 2
hari datang dan pergi.
Kecuali Hanafiyah, boleh mengqashar sampai batas waktu 15
hari. Jika seseorang sudah berniat mukim di tempat tujuan
lebih dari waktu itu, maka sempurnakanlah shalat.
Namun, jika belum berniat mukim, atau seseorang yang tidak
tahun kapan hajatnya selesai. Maka kondisi ini boleh
mengqashar walaupun sampai 2 tahun. Hal itu sesuai hadits
dari Jabir r.a. “Rasulullah tinggal di Tabuk selama 20 hari dan
beliau mengqashar shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Jika seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk
menunaikan suatu kepentingan, namun tidak berniat mukim,
maka dia melakukan qashar hingga meninggalkan daerah
tersebut.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Saw tinggal


di Tabuk selama dua puluh hari sambil tetap mengqashar
shalat.”

Ibnul Qayyim berkata, “Beliau Saw tidak pernah mengatakan


pada umat, ‘Janganlah seseorang mengqashar shalat jika
tinggal lebih lama dari itu.’ Hanya kebetulan saja lama tinggal
beliau bertepatan dengan masa tersebut.
Jika seseorang berniat mukim, maka dia shalat secara
lengkap setelah sembilan belas hari. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas ra:

“Bahwa Nabi saw tinggal selama sembilan belas hari sambil


melakukan qashar. Jika kami melakukan safar selama
sembilan belas hari, maka kami melakukan qashar. Dan
jika lebih dari itu, maka kami menyempurnakan shalat.”
Pada prinsipnya, pelaksanaan shalat qashar sama dengan
shalat biasa hanya saja berbeda pada niat rakaatnya
dijadikan 2 rakaat dan tidak ada tahiyat awal. Jadi setelah
dua rakaat maka lakukanlah tahiyat akhir dan salam.
Shalat musafir di belakang orang mukim adalah sah
dan musafir harus menyempurnakan shalat seperti
shalatnya imam.

Sama saja apakah dia ikut semua shalat atau hanya satu
rakaat atau kurang. Bahkan kalau ia masuk ikut shalat
ketika imam dalam posisi tasyahud akhir, dia harus
tetap itmam.
Dari Musa bin Salamah, beliau mengatakan:

‫صلَّ ْي َنا َأرْ َبعا ً َوِإ َذا َر َجعْ َنا ِإ َلى ِر َحالِ َنا‬ ُ ‫َّاس ِب َم َّك َة َفقُ ْل‬
َ ‫ ِإ َّنا ِإ َذا ُك َّنا َم َع ُك ْم‬:‫ت‬ ٍ ‫ْن َعب‬ ِ ‫ُك َّنا َم َع اب‬ 

-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫س َّن ُة َأ ِبى ا ْل َقاسِ ِم‬ ُ ‫ ِت ْل َك‬:‫ َقا َل‬,‫ْن‬ ِ ‫صلَّ ْي َنا َر ْك َع َتي‬
َ

“Kami pernah bersama Ibnu ‘Abbas di Makkah. Kemudian


Musa mengatakan, “Mengapa jika kami (musafir) shalat di
belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan
shalat empat raka’at (tanpa diqashar). Namun ketika kami
berada di kendaraan (di perjalanan), kami melaksanakan shalat
dua raka’at (dengan diqashar)?” Ibnu ‘Abbas pun menjawab,
“Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim.” (HR. Ahmad, Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini  hasan).

Hadits ini menunjukkan bahwa musafir tetap kerjakan shalat


empat raka’at ketika berada di belakang imam mukim.

Imam Ibnu Abdil Bar menyebutkan bahwa Jumhur Ulama
fikih sepakat jika seorang musafir bergabung dalam shalat
orang-orang yang mukim walau hanya satu rakaat. Maka ia
harus shalat empat rakaat. (At-Tamhid, 16/311,312)

Beliau berkata:

“Mayoritas mereka mengatakan jika


seorang musafir masuk takbiratul ihram di belakang orang
yang mukim sebelum salam, maka ia harus shalat
sebagaimana orang yang mukim, ia harus itmam.” (At-
Tamhid, 16/315)
Di antara dalil bahwa shalat musafir harus itmam jika
shalat di belakang orang yang mukim adalah kemumuman
sabda Rasulullah saw:
‫ ِإ َّن َما جُ ِع َل اِإْل َما ُم لِيُْؤ َت َّم ِب ِه َفِإ َذا َكب ََّر َف َك ِّبرُوا‬

“Hanyasanya imam itu diangkat agar dijadikan panutan


(janganlah kalian menyelisihinya). Jika ia bertakbir, maka
bertakbirlah.” (HR. Bukhari Muslim)

Kesimpulan:

 Shalat musafir di belakang orang mukim adalah sah.


 Musafir yang menjadi makmum harus menyempurnakan
shalat sebagaimana shalatnya imam.
Para ulama sepakat bahwa orang yang mukim boleh bermakmum kepada
musafir yang mengqashar shalatnya.
Dan makmum mukim tetap mengerjakannya secara itmam
(menyempurnakan). Dari Imran bin Hushain, ia berkata:

‫ان ْال َف ْت ِح‬


َ ‫يرجع وأنه أقام ِب َم َّك َة َز َم‬ َ ‫ما سافر رسو ُل هَّللا صلى هَّللا عليه وآله وسلم سفرً ا إال صلى ركعتين حتى‬
‫صلُّوا ركعتين‬ َ ‫ يا أهل َ َم َّك َة قُ ْو ُم ْوا َف‬:‫بالناس ركعتين ركعتين إال المغرب ثم يقول‬
ِ ‫ليلة يصلي‬ً ‫َث َمان َِي َع ْش َر َة‬
َ ‫ُأ ْخ َر َي ْي ِن َفِإ َّنا َق ْو ٌم‬
‫س ْف ٌر‬

“Rasulullah saw tidak pernah melakukan perjalanan, kecuali beliau


melakukan shalat dua rakaat-dua rakaat (yakni diqashar) hingga kembali.
Pernah suatu ketika beliau menginap di Makkah selama delapan belas
malam pada saat penaklukkan Mekkah, selama itu beliau shalat mengimami
orang-orang dua rakaat-dua rakaat kecuali Maghrib. Kemudian beliau
bersabda, “Wahai penduduk Makkah, berdirilah kalian dan shalat lagi dua
rakaat, karena kami ini orang-orang musafir’” (HR. Ahmad).
Berkaitan dengan hadits diatas, Imam Asy-Syaukani berkata:

.6‫ عليه‬6‫لمسافر وهو مجمع‬66‫ا‬666‫ ب‬6‫لمقيم‬66‫ ا‬6‫ئتمام‬6‫واز ا‬6‫دلعلىج‬66‫لحديثي‬66‫وا‬

“Hadits ini menunjukkan bolehnya yang mukim


bermakmum kepada musafir, dan itu sudah menjadi ijma’
(kesepakatan para ulama).” [Nailul Authar 1, hal. 733].

Catatan:
 Para ulama sepakat bahwa orang yang mukim boleh

bermakmum kepada musafir.


 Jika musafir mengimami orang yang mukim, musafir boleh

meringkas shalatnya, sedang mukim menyempurnakan


shalatnya.

Anda mungkin juga menyukai