ِ ض َرسُو ُل هَّللَا
َ – َف َر:ض َي هَّللَا ُ َع ْن ُه َما َقا َل
ِ َّاس َر
ٍ ْن َعب
ِ َو َع ِن ِاب
ُ ;– صلى هللا عليه وسلم – َز َكا َة اَ ْل ِف ْطر
طه َْر ًة لِلصَّاِئ ِم ِم َن ِ
َّ َف َمنْ َأ َّدا َها َق ْب َل اَل,ين
صاَل ِة َف ِه َي ُ َو,ث
ِ طعْ َم ًة لِ ْل َم َسا ِك ِ َوالرَّ َف,اَللَّ ْغ ِو
صدَ َق ٌة ِم َن َّ َو َمنْ َأ َّدا َها َبعْ دَ اَل,َز َكاةٌ َم ْقبُو َل ٌة
َ صاَل ِة َف ِه َي
صحَّ َح ُه اَ ْل َحا ِكم َ َوابْنُ َم, َ – َر َواهُ َأبُو دَ اوُ د.ت
َ َو, ْاجه ِ اَلصَّدَ َقا
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan
orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan kata-kata kotor,
juga untuk memberi makan pada orang miskin. Barangsiapa yang
menunaikannya sebelum shalat (‘ied), zakat tersebut diterima.
Barangsiapa menunaikannya sesudah shalat, itu hanyalah dicatat
sebagai sedekah biasa.” Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan
dishahihkan oleh Al Hakim.
2- Waktu penunaian zakat fithri adalah sebelum shalat ‘ied. Siapa yang
mengeluarkannya sebelum shalat ‘ied, maka itu dicatat sebagai pahala
yang sempurna. Namun siapa yang menunaikannya setelah shalat ‘ied,
maka itu bukanlah zakat fithri lagi, hanya dicatat sebagai sedekah biasa.
Lalu dengan apa kita berzakat Fitri ? Apakah boleh dengan uang..?
Tidak ragu lagi bagi setiap muslim yang diberi pengetahuan bahwa rukun
Islam yang paling penting dari agama yang hanif (lurus) ini adalah syahadat
‘Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah’. Konsekuensi dari
syahadat laa ilaha illallah ini adalah seseorang harus menyembah Allah
semata. Konsekuensi dari syahadat ‘Muhammad adalah Rasul-Nya’ yaitu
seseorang hendaklah menyembah Allah hanya dengan menggunakan
syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Telah kita
ketahui bersama) bahwa zakat fithri adalah ibadah berdasarkan ijma’
(kesepakatan) kaum muslimin. Dan hukum asal ibadah adalah tauqifi (harus
berlandaskan dalil). Oleh karena itu, setiap orang hanya dibolehkan
melaksanakan suatu ibadah dengan menggunakan syari’at Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dalam riwayat lain dari Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985 disebutkan,
Jadi sebagai muslim yang baik kita harus mengikuti aturan dari Allah ta'ala
dan rosulnya sholallahu 'alayhi wassalam…
KHUTBAH KEDUA
ُ لِ ُي ْظ ِه َره،س ْو َل ُه ِبا ْل ُهدَ ى َو ِد ْي ِن ا ْل َح ِّقُ سل َ َر َ ِي َأ ْر ْ َا ْل َح ْم ُد هلل ا َّلذ
,ُش َه ُد َأنْ الَ ِإ َل َه ِإالَّ هللاْ َأ،ش ِه ْيدًا َ هللِ َع َلى الدِّ ْي ِن ُك ِّل ِه َو َك َفى ِبا
َ صل ِّ َع َلى
س ِّي ِد َنا ُم َح َّم ٍد َ اَل َّل ُه َّم,ِس ْول ُ هللا ُ ش َه ُد َأنَّ ُم َح َّمدًا َر ْ َوَأ
َأ َّما َب ْع ُد, َص ْح ِب ِه اَ ْج َم ِع ْين
َ َو َع َلى آلِ ِه َو
Hadirin sidang Jum'at rohimakumullah..
Kali ini kita akan menyoroti golongan ketiga yaitu Amil Zakat, Sering
dipahami oleh kaum muslimin bahwa yang dimaksud dengan amil zakat
adalah pengurus zakat atau panitia zakat yang ada saat ini di
masjid-masjid atau yang berupa badan usaha. Pemahaman semacam
ini sebenarnya perlu diluruskan. Karena amil zakat sebenarnya tidak
seperti itu.
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan
ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat
adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil
zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu
menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan
kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang
kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat
untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat.
Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun
disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka
dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang
yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan
maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta
upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat
berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari
zakat.”
( ini adalah keterangan beliau rohimahullah di kitab Majalis Syahri
Ramadhan, cet Darul Hadits Kairo, hal 163-164. )