Anda di halaman 1dari 12

Panduan Zakat Fithri

Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan),
menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.

Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata
fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama
yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi
mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”[2]. Istilah
ini digunakan oleh para pakar fikih.

Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu
ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]

Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri

Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih sayang dengan orang miskin, yaitu
mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari ‘ied, (2) memberikan rasa suka cita
kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan (3) membersihkan
kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang sia-sia dan kata-kata yang kotor yang
dilakukan selama berpuasa sebulan.[4]

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

ٌ‫صالَ ِة َف ِه َى َز َكاة‬ َّ ‫ِين َمنْ َأدَّا َها َق ْب َل ال‬ ُ ‫ث َو‬


ِ ‫طعْ َم ًة ل ِْل َم َساك‬ ِ ‫َّاِئم م َِن اللَّ ْغ ِو َوالرَّ َف‬ ُ ْ ْ ‫هَّللا‬
ِ ‫ َز َكا َة الفِط ِر طه َْر ًة لِلص‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ض َرسُو ُل‬
َ ‫َف َر‬
ِ ‫ص َد َقا‬
‫ت‬ ٌ
َّ ‫ص َد َقة م َِن ال‬ َ ‫صالَ ِة َف ِه َى‬ ‫َأ‬ ٌ
َّ ‫ َم ْقبُولَة َو َمنْ دَّا َها َبعْ َد ال‬.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa
dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang
menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah
shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[5]

Hukum Zakat Fithri

Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak
berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat fithri
seperti ada ijma’ (kesepakatan ulama) di dalamnya[6]. Bukti dalil dari wajibnya zakat fithri adalah hadits
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

، ‫الذ َك ِر َواُأل ْن َثى‬


َّ ‫ َو‬، ِّ‫ِير َعلَى ْال َع ْب ِد َو ْالحُر‬ َ ‫ َأ ْو‬، ‫صاعًا مِنْ َت ْم ٍر‬
ٍ ‫صاعًا مِنْ َشع‬ َ ‫ض َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َز َكا َة ْالف ِْط ِر‬
َ ‫َف َر‬
َّ ‫اس ِإلَى ال‬ ‫َأ‬ ‫صغِير َو ْال َك ِبير م َِن ْالمُسْ لِم َ َأ‬
‫صالَ ِة‬ ِ ‫ِين َو َم َر ِب َها نْ ُتَؤ دَّى َق ْب َل ُخر‬
ِ ‫ُوج ال َّن‬ ِ ِ َّ ‫َوال‬
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’
gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil
maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk
melaksanakan shalat ‘ied.”[7]

Perlu dipehatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena
ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya.
Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (kebiasaan
yangg ada). [8]

Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri

Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan puasa yang
diisi dengan perkara sia-sia dan kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri.

Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya
dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini
berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini yang disebut ghoni
(berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ون َل ُه شِ َب ُع َي ْو ٍم َولَ ْيلَ ٍة َأ ْو لَ ْيلَ ٍة َو َي ْو ٍم‬


َ ‫ار » َف َقالُوا َيا َرسُو َل هَّللا ِ َو َما ي ُْغنِي ِه َقا َل « َأنْ َي ُك‬ ‫َأ‬
ِ ‫َمنْ َس َل َوعِ ْندَ هُ َما ي ُْغنِي ِه َفِإ َّن َما َيسْ َت ْك ِث ُر م َِن ال َّن‬

“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya
dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi
tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seukuran makanan yang mengenyangkan
untuk sehari-semalam. [9]”[10]

Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia
tanggung nafkahnya.[11] Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami
bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami.[12]

Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?

Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia bertemu terbenamnya matahari di
malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat
fithri. Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[13] Alasannya, karena zakat fithri berkaitan
dengan hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan
pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.[14]

Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari
raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit
setelah terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fithri. Begitu juga apabila
ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya,
tetapi dianjurkan sebagaimana terdapat perbuatan dari Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan zakat
fithri untuk janin. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib
untuk dikeluarkan darinya.

Bentuk Zakat Fithri

Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan
semacamnya. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama Hanabilah yang
membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat
adalah pendapat pertama, tidak dibatasi hanya pada dalil.[15]

Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma
atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan
pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa
mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti ini. Allah Ta’ala
berfirman,

‫ُون َأهْ لِي ُك ْم‬


َ ‫ِين مِنْ َأ ْو َسطِ َما ُت ْط ِعم‬
َ ‫ار ُت ُه ِإ ْط َعا ُم َع َش َر ِة َم َساك‬
َ ‫َف َك َّف‬

“Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah: 89). Zakat fithri pun merupakan bagian
dari kafaroh karena di antara tujuan zakat ini adalah untuk menutup kesalahan karena berkata kotor dan
sia-sia.[16]

Ukuran Zakat Fithri

Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho’ dari semua bentuk zakat fithri
kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.
[17] Dalil dari hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa zakat fithri itu seukuran satu
sho’ kurma atau gandum. Dalil lainnya adalah dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan,

َ ‫ َأ ْو‬، ‫ِير‬
ٍ ‫صاعًا مِنْ َز ِبي‬
‫ب‬ َ ‫ َأ ْو‬، ‫صاعًا مِنْ َت ْم ٍر‬
ٍ ‫صاعًا مِنْ َشع‬ َ ‫ َأ ْو‬، ‫صاعًا مِنْ َط َع ٍام‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِّ‫ُك َّنا ُنعْ طِ ي َها فِي َز َم ِن ال َّن ِبي‬

“Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan
makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.”[18] Dalam riwayat lain disebutkan,

ٍ‫صاعًا مِنْ َأقِط‬


َ ‫َأ ْو‬

“Atau 1 sho’ keju.”[19]

Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama
berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat lagi
bagaimanakah ukuran timbangannya.[20] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan
penuh telapak tangan yang sedang[21]. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan
adalah sekitar 3 kg.[22] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg.[23] Artinya jika
zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh menyalurkan zakat fithri
dengan uang yang senilai dengan zakat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya
hal ini. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti dengan uang.

Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana
pendapat mayoritas ulama.

Abu Daud mengatakan,

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ ُأعْ طِ ي دَ َرا ِه َم – َيعْ نِي فِي‬: ‫ قِي َل َأِلحْ َمدَ َوَأ َنا َأسْ َم ُع‬.
ِ ‫ َأ َخافُ َأنْ اَل يُجْ ِزَئ ُه ِخاَل فُ ُس َّن ِة َرس‬: ‫صدَ َق ِة ْالف ِْط ِر – َقا َل‬

“Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah aku
menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti
itu tidak sah. Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam”.

Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,

‫اَل يُعْ طِ ي قِي َم َت ُه‬

“Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang seharga zakat tersebut.”

Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad,

‫ َقا َل‬، ٌ‫ون َقا َل فُاَل ن‬ َ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َيقُول‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ َقا َل َيدَ ع‬، ‫ان َيْأ ُخ ُذ ِب ْالقِي َم ِة‬
ِ ‫ُون َق ْو َل َرس‬ ِ ‫ ُع َم ُر بْنُ َع ْب ِد ْال َع ِز‬، ‫ون‬
َ ‫يز َك‬ َ ُ‫ َق ْو ٌم َيقُول‬: ‫قِي َل لَ ُه‬
َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم‬ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫ض َرسُو ُل‬ َ ‫ َف َر‬: ‫ابْنُ ُع َم َر‬

“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka
meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan
telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …).[24]” Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[25] Sungguh aneh, segolongan
orang yang menolak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata
demikian dan demikian”.”[26]

Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah menjabat sebagai Ketua Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts
Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi Fatwa Saudi Arabia), memberikan penjelasan:

“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada mata uang
dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua
mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri,
tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu
‘anhum– akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah
manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang
paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar
zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang
berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita.”[27]

Penerima Zakat Fithri

Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak diberikan zakat fithri. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa zakat fithri disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At
Taubah ayat 60[28]. Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir miskin saja.[29] Karena dalam
hadits disebutkan,

ُ ‫َو‬
ِ ‫طعْ َم ًة ل ِْل َم َساك‬
‫ِين‬

“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.”

Alasan lainnya dikemukan oleh murid Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Beliau rahimahullah
menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk bahwa zakat fithri hanya khusus
diserahkan pada orang-orang miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya pada 8 golongan
penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan untuk menyerahkannya pada 8 golongan
tersebut. Juga tidak ada satu orang sahabat pun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang
setelahnya.”[30] Pendapat terakhir ini yang lebih tepat, yaitu zakat fithri hanya khusus untuk orang
miskin.

Waktu Pengeluaran Zakat Fithri

Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu mulai dari
terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan
yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar.[31]

Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

َّ ‫ص َد َق ٌة م َِن ال‬
ِ ‫ص َد َقا‬
‫ت‬ َّ ‫صالَ ِة َف ِه َى َز َكاةٌ َم ْقبُولَ ٌة َو َمنْ َأدَّا َها َبعْ َد ال‬
َ ‫صالَ ِة َف ِه َى‬ َّ ‫ َمنْ َأدَّا َها َق ْب َل ال‬.

“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa
yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai
sedekah.”[32]
Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah
disebutkan dalam shahih Al Bukhari,

ِ ‫ون َق ْب َل ْالف ِْط ِر ِب َي ْو ٍم َأ ْو َي ْو َمي‬


‫ْن‬ َ ‫ط‬ُ ْ‫ َو َكا ُنوا يُع‬، ‫ِين َي ْق َبلُو َن َها‬
َ ‫ان ابْنُ ُع َم َر – رضى هللا عنهما – يُعْ طِ ي َها الَّذ‬
َ ‫َو َك‬

“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak
menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul
Fithri.”[33]

Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri.
Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata,

‫ْن َأ ْو ثَاَل َث ٍة‬


ِ ‫ث ِب َز َكا ِة ْالف ِْط ِر ِإلَى الَّذِي ُتجْ َم ُع عِ ْن َدهُ َق ْب َل ْالف ِْط ِر ِب َي ْو َمي‬ َ ‫َأنَّ َعبْدَ هَّللا ِ ب َْن ُع َم َر َك‬
ُ ‫ان َي ْب َع‬

“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari
sebelum hari raya Idul Fitri.”[34]

Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang
berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya.[35] Namun pendapat yang lebih tepat
dalam masalah ini, dikarenakan zakat fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul Fithri), maka tidak
semestinya diserahkan jauh hari sebelum hari fithri. Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa zakat
fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri.
Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari ‘ied.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah
diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk
memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat fithri adalah hari
fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. … Karena maksud zakat fithri
adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan
jauh hari sebelum waktunya.”[36]

Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?

Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat ‘ied tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Inilah yang
menjadi pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat
bahwa zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini masih harus dikeluarkan.
Zakat tersebut masih menjadi utangan dan tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini
adalah hak sesama hamba yang mesti ditunaikan.[37]

Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan zakat fithri kepada suatu lembaga zakat, maka sudah
seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah seharusnya lembaga zakat tersebut diberi pemahaman bahwa
zakat fithri harus dikeluarkan sebelum shalat ‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika zakat fithri diserahkan
langsung pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu pun dibolehkan. Hanya Allah yang
memberi taufik.
Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?

Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia
mendapati waktu fithri (tidak berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab
wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithrij.[38

Tata Cara Bayar Zakat Fitrah Secara Lengkap dan Mudah Dipahami

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc Follow on Twitter Send an email May 18, 20200 26,577 5 minutes
read

Bagaimana tata cara bayar zakat fitrah? Berikut tata cara yang kami sarikan dalam penjelasan Syaikh
Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Insya Allah ini bahasan
lengkap dan mudah dipahami.

Penyebutan zakat fitrah

Zakat fitrah adalah kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan pada saat terbenamnya matahari pada
akhir hari Ramadhan dengan syarat tertentu, dikenakan bagi setiap mukallaf dan yang ditanggung
nafkahnya.

Zakat fitrah ini disebutkan dengan istilah shadaqah al-fithri atau zakat al-fithroh. Para fuqaha menyebut
untuk harta yang dikeluarkan zakatnya dengan sebutan fithroh.

Disebut zakat fithri karena kewajibannya dikenakan dengan masuknya Idulfitri pada akhir Ramadhan.
Artinya zakat fithri adalah zakat karena berbuka dari berpuasa.

Baca Juga: Zakat Fitrah Dikeluarkan Sejak Awal Ramadhan Karena Pandemi

Hukum zakat fitrah


Zakat fitrah itu wajib, diwajibkan pada tahun kedua hijriyah, pada tahun yang sama diwajibkan puasa
Ramadhan. Hadits Ibnu ‘Umar berikut menjelaskan tentang kewajiban zakat fitrah. Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma berkata,

، ‫الذ َك ِر َواُأل ْن َثى‬


َّ ‫ َو‬، ِّ‫ِير َعلَى ْال َع ْب ِد َو ْالحُر‬ َ ‫ َأ ْو‬، ‫صاعًا مِنْ َت ْم ٍر‬
ٍ ‫صاعًا مِنْ َشع‬ َ ‫ض َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َز َكا َة ْالف ِْط ِر‬
َ ‫َف َر‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ َ ‫ير م َِن ْالمُسْ لِم‬
َّ ‫اس ِإلَى ال‬
‫صالَ ِة‬ ِ ‫ِين َو َم َر ِب َها نْ ُتَؤ دَّى َق ْب َل ُخر‬
ِ ‫ُوج ال َّن‬ ِ ‫ِير َو ْال َك ِب‬
ِ ‫صغ‬َّ ‫َوال‬

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho’ kurma atau satu sho’
gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil
maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk
melaksanakan shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1503 dan Muslim, no. 984)

Hikmah zakat fitrah

Waki’ bin Al-Jarrah mengatakan, “Zakat fitrah untuk bulan Ramadhan itu seperti sujud sahwi ketika
shalat. Zakat fitrah itu menutup kekurangan saat puasa sebagaimana sujud sahwi menutupi kekurangan
shalat.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj dan Al-Majmu’, dinukil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:96)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

‫صالَ ِة َف ِه َى َز َكا ٌة‬ َّ ‫ِين َمنْ َأدَّا َها َق ْب َل ال‬ ُ ‫ث َو‬


ِ ‫طعْ َم ًة ل ِْل َم َساك‬ ِ ‫َّاِئم م َِن اللَّ ْغ ِو َوالرَّ َف‬ ُ ْ ْ ‫هَّللا‬
ِ ‫ َز َكا َة الفِط ِر طه َْر ًة لِلص‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ض َرسُو ُل‬
َ ‫َف َر‬
ِ ‫ص َد َقا‬
‫ت‬ ٌ
َّ ‫ص َد َقة م َِن ال‬ َ ‫صالَ ِة َف ِه َى‬ ‫َأ‬ ٌ
َّ ‫ َم ْقبُولَة َو َمنْ دَّا َها َبعْ َد ال‬.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa
dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang
menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah
shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609
dan Ibnu Majah, no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Waktu wajib zakat fitrah

Zakat fitrah diwajibkan dengan tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri (masuk Idulfitri). Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

‫ان‬
َ ‫ض‬َ ‫ض َز َكا َة ْالف ِْط ِر مِنْ َر َم‬
َ ‫ َف َر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َأنَّ َرسُو َل هَّللا‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat untuk berbuka dari Ramadhan (zakat fithri).”
(HR. Muslim, no. 984)

Dari sini, siapa yang hidup di Ramadhan dan masih ada sampai matahari tenggelam pada malam Idulfitri,
lalu ia meninggal dunia setelah itu, maka wajib dikenakan zakat fitrah. Namun, jika ia meninggal dunia
sebelum matahari tenggelam, tidak dikenakan wajib zakat fitrah.

Siapa saja yang lahir di bulan Ramadhan sebelum tenggelamnya matahari dari hari terakhir Ramadhan
dan ia terus hidup hingga matahari tenggelam, maka wajib dikenakan zakat fitrah. Akan tetapi, jika lahir
setelah tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri, tidak ada kewajiban zakat fitrah.

Hal ini juga berlaku untuk orang yang masuk Islam sebelum atau sesudah tenggelamnya matahari tadi.

Begitu pula hal ini berlaku jika ada yang menikah di bulan Ramadhan, sampai tenggelam matahari dari
akhir Ramadhan, ia masih beristri, ia menanggung zakat fitrah istrinya. Namun jika menikahnya setelah
tenggelam matahari, tidak wajib baginya menanggung zakat fitrah istrinya.

Yang terkena kewajiban zakat fitrah

Hukum zakat fitrah itu wajib bagi tiap jiwa yang:

mukallaf (terbebani syariat: muslim, baligh, berakal),

mendapatkan waktu diwajibkannya zakat fitrah yaitu tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri,

yang mudah membayar zakat fitrah (punya harta berlebih untuk diri dan keluarga pada malam Idulfitri).

Baca Juga: Apakah Ayah Wajib Membayarkan Zakat Fitrah Anaknya yang Sudah Bekerja?
Menanggung zakat fitrah orang lain

Jika terpenuhi syarat-syarat tadi, wajib bagi mukallaf (muslim, baligh, berakal) menunaikan zakat fitrah
untuk dirinya masing-masing. Ia juga wajib menunaikan zakat fitrah untuk orang yang ditanggung
nafkahnya karena sebab nikah, hubungan kerabat, atau menjadi pembantu (pelayan di rumah).
Kesimpulannya, seseorang menanggung zakat fitrah untuk:

istrinya, kedua orang tuanya, dan anak-anak yang wajib ia nafkahi (meskipun mereka telah dewasa
seperti anak yang kena penyakit kronis atau gila yang tidak punya kemampuan mencari nafkah).

pembantunya dan pembantu istrinya jika ia membutuhkan atau yang melayani semisalnya secara
umum.

Catatan:

Anak yang punya kelapangan nafkah hendaklah menanggung zakat fitrah untuk istri dari ayah (ibu tiri),
namun hal itu bukanlah wajib.

Seorang ayah tidaklah wajib menanggung nafkah dan zakat fitrah untuk istri dari anak laki-lakinya
(menantunya). Demikian sebagaimana disebutkan dalam Al-Majmu’, 6:69, dinukil dari Al-Mu’tamad fii
Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:99 (bagian catatan kaki).

Adapun anak yang sudah dewasa (baligh) dan mampu dalam hal nafkah tidak diwajibkan bagi ayahnya
untuk mengeluarkan zakat fitrahnya. Zakat fitrah boleh dibayarkan, asalkan dengan ada izin anak
tersebut.

Untuk kerabat boleh dikeluarkan zakat fitrah atas nama mereka asalkan dengan izin mereka.

Dalam hal mengeluarkan zakat fitrah jika akhirnya punya kelebihan makanan yang terbatas, yang
menjadi urutan dalam pengeluaran zakat fitrah adalah: (1) dirinya sendiri, (2) istrinya, (3) anaknya yang
paling kecil, (4) ayahnya, (5) ibunya, (6) anaknya yang besar yang tidak mampu bekerja.

Jika seseorang hanya mampu menunaikan zakat fitrah untuk dirinya sendiri (untuk satu orang), wajib
baginya untuk menanggung dirinya sendiri. Jika dia mementingkan orang lain dalam kondisi ini, zakat
fitrahnya tidaklah sah.

Jika istri kaya, sedangkan suami orang yang susah, istri tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk
dirinya, hanya disunnahkan ia mengeluarkannya, agar selamat dari khilaf (perbedaan pendapat dari para
ulama).
Ukuran dan jenis zakat fitrah

Zakat fitrah dikeluarkan dengan makanan pokok di negeri masing-masing (misal dengan beras, kurma,
gandum).

Besar zakat fitrah per jiwa adalah 1 sha’ (4 mud, diperkirakan sama dengan 3 Liter, sekitar 2,4 kg)—
sebagaimana disebutkan pakar Syafii saat ini, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhailiy–.

Membayar zakat fitrah dengan makanan yang lebih bagus, itu lebih baik karena lebih menambah
kebaikan.

Waktu penunaian zakat fitrah

Waktu wajib pembayaran zakat fitrah adalah tenggelamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan.

Waktu yang disunnahkan untuk membayar zakat fitrah adalah sebelum shalat Id sebagaimana
disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, “Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-
orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.”

Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Idulfitri secara keseluruhan. Jika zakat fitrah diakhirkan dari
hari Idulfitri, hukumnya diharamkan dan wajib diqadha.

Zakat fitrah masih boleh disegerakan sejak awal Ramadhan. Dalam madzhab Syafii, zakat fitrah itu wajib
karena dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) mendapati waktu berbuka dari berpuasa pada
hari raya.

Pengeluaran zakat fitrah

Zakat fitrah disalurkan pada golongan yang termasuk pula dalam penerima zakat maal. Pendapat inilah
yang dianut madzhab Syafii, disebutkan oleh Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad
fi Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:102.

Imam Syafii sangat suka menyerahkan zakat fitrah kepada kerabat yang tidak ia tanggung nafkahnya.

Zakat fitrah ditunaikan sendiri-sendiri. Anak-anak akan ditunaikan zakat fitrahnya oleh orang tuanya.
Istri tidaklah menuntut suami untuk mengeluarkan zakat fitrah untuknya, ia hanya boleh mengingatkan
atau menasihatinya.
Zakat fitrah tidak diwajibkan untuk janin kecuali kalau janin tersebut lahir sebelum matahari tenggelam
pada malam Idulfitri.

Zakat fitrah tidak boleh disalurkan pada orang kafir.

Zakat fitrah disalurkan pada enam golongan dari delapan golongan yang tercantum dalam surah At-
Taubah ayat 60. Yang tidak perlu disalurkan zakat fitrah adalah amil zakat dan muallafatu quluubuhum
(mereka yang ingin dilembutkan hatinya).

Anda mungkin juga menyukai