ْ َو َأ%ُ َوَأ ْن َأ ْنظُ َر ِإلَى َم ْن ه، بِحُبِّ ْال َم َسا ِكي ِْن َوَأ ْن َأ ْدنُ َو ِم ْنهُ ْم: صانِ ْي َخلِ ْيلِي بِ َسب ٍْع
َفَ ُل ِمنِّي َوال%س َ ْ َأو:ع َْن َأبِ ْي َذرٍّ قَا َل
ِّر%% َوَأ ْن َأتَ َكلَّ َم بِ ُم،ِ َّوةَ ِإالَّ بِاهلل%ُوْ َل َوالَ ق%% َوَأ ْن ُأ ْكثِ َر ِم ْن الَ َح،ص َل َر ِح ِم ْي وَِإ ْن َجفَانِ ْي
ِ َوَأ ْن َأ،َأ ْنظُ َر ِإلَى َم ْن هُ َو فَوقِ ْي
اس َش ْيًئا َ َّ َوَأ ْن الَ َأ ْسَأ َل الن، َوالَ تَْأ ُخ ْذنِ ْي فِي هللاِ لَوْ َمةُ الَِئ ٍم،ِّ ْال َحق.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi
wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang
miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada
orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3)
beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar
kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh
(tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk
mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan
orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak
meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1.Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini
miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Wasiat yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tujukan untuk Abu Dzar ini, pada
hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin
dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ini tertuju juga kepada kita semua.
Orang-orang miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan, tidak
punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka tidak mau meminta-minta
kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
فَ َما ْال ِم ْس ِكيْنُ يَا َرسُوْ َل: قَالُوْ ا.َان َوالتَّ ْم َرةُ َوالتَّ ْم َرتَا ِن
ِ فَتَ ُر ُّدهُ اللُّ ْق َمةُ َواللُّ ْق َمت،اس ِ ْس ْال ِم ْس ِكيْنُ بِهَ َذا الطَّو
ِ ََّّاف الَّ ِذي يَطُوْ فُ َعلَى الن َ لَي
َأ
َ َّ َوالَ يَ ْس ُل الن،ق َعلَ ْي ِه
اس َش ْيًئا ْ َّ
َ ه َوالَ يُفطَنُ لَهُ فَيُت%ِ ال ِذيْ الَ يَ ِج ُد ِغنًى يُ ْغنِ ْي:هللاِ؟ قَا َل.
َ َص َّد
"Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar
diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya:
“Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau
menjawab,"Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak
mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau
meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”[1]
Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin, duduk bersama
mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.
"Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, mereka
mengharapkan wajah-Nya". [al-An’âm/6:52].[2]
Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan
menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa yang ada pada kita, kita berikan
kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam setiap urusan,
dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.
"Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan
menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan
kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat…
" [3]
"Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang
yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang
yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”.[4]
"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin,
dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin".[5]
Ini adalah doa dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam agar Allah Ta’ala memberikan sifat
tawadhu` dan rendah hati, serta agar tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim
maupun orang-orang kaya yang melampaui batas. Makna hadits ini bukanlah meminta agar
beliau menjadi orang miskin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir rahimahullah,
bahwa kata "miskin" dalam hadits di atas adalah tawadhu [6]. Sebab, di dalam hadits yang
lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung dari kefakiran.[7]
Beliau berdoa seperti ini, karena beliau mengetahui bahwa orang-orang miskin akan
memasuki surga lebih dahulu daripada orang-orang kaya. Tenggang waktu antara masuknya
orang-orang miskin ke dalam surga sebelum orang kaya dari kalangan kaum Muslimin adalah
setengah hari, yaitu lima ratus tahun.
"Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari
kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun". [8]
Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang taat kepada Allah,
mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik, menjalankan Sunnah dan menjauhi
perbuatan bid’ah, menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sebab terlambatnya orang-orang kaya memasuki surga selama lima ratus tahun, adalah
karena semua harta mereka akan dihitung dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
Ta’ala.
Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a agar mencintai
orang-orang miskin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َ َوِإ َذا َأ َردْتَ فِ ْتنَةَ قَوْ ٍم فَت ََوفَّنِ ْي َغي، َوَأ ْن تَ ْغفِ َر لِ ْي َوتَرْ َح َمنِ ْي، َوحُبَّ ْال َم َسا ِك ْي ِن،ت
ر%ْ ِ َوتَرْ كَ ْال ُم ْن َك َرا،ت
ِ ك فِ ْع َل ْال َخ ْي َرا
َ ُاَللَّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ْسَأل
َرِّ بُنِ ْي ِإلَى ُحبِّك%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%َ ٍل يُق%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% َوحُبَّ َع َم،ك َ َُأل%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% َوَأ ْس،وْ ٍن%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%ُ َم ْفت.
َ ُّ َوحُبَّ َم ْن يُ ِحب، َك حُ بَّك
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik,
meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni
dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu
kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon
kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan
rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu". [9]
Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan memperoleh rezeki
dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
"Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang
lemah dari kalangan kalian".[10]
________
Footnotes
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud (no. 1631), dan
an-Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[2]. Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr Ibni Katsir
(III/90).
[3]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud
(no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78 dalam al-
Mawârid). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007) dan Muslim (no.
2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 4126), ‘Abd bin Humaid dalam al-
Muntakhab (no. 1000), dan selain keduanya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 308)
dan Irwâ`ul Ghalîl (no. 861).
[6]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts (II/385) oleh Imam Ibnul-Atsir rahimahullah .
[7]. HR an-Nasâ`i (VIII/265, 268) dan al-Hakim (I/531).
[8]. Hadits hasan shahîh. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2353, 2354) dan Ibnu Majah
(no. 4122), dari Abu Hurairah rahimahullah. Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi (II/276, no.
1919).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini miliknya, at-Tirmidzi (no.
3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan oleh at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,"Aku
pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il –yakni Imam al-Bukhari- maka ia menjawab,
‘Hadits ini hasan shahîh’.” Dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu. Di akhir
hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َّ ٌّ %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%ا َح%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%َِإنَّه.
وْ هَا َوتَ َعل ُموْ هَا%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% فَا ْد ُر ُس،ق
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari (hafalkan), dan
perdalamlah.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d
Radhiyallahu 'anhu.
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d
Radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i (II/669, no. 2978).
FIQIH HADITS (2) : MELIHAT KEPADA ORANG YANG LEBIH RENDAH
KEDUDUKANNYA DALAM HAL MATERI DAN PENGHIDUPAN
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat orang yang berada
di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar
kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa salam bersabda:
"Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di
atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang
telah diberikan kepadamu" [1].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seorang Muslim melihat kepada orang yang di
atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang kaya, banyak harta, kedudukan, jabatan, gaji
yang tinggi, kendaraan yang mewah, rumah mewah, dan lainnya. Dalam kehidupan dunia
terkadang kita melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini merupakan
kesalahan yang fatal. Dalam masalah tempat tinggal, misalnya, terkadang seseorang hidup
bersama keluarganya dengan "mengontrak rumah", maka dengan keadaannya ini hendaklah
ia bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur
beratapkan langit. Begitu pun dalam masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya
mendapat nafkah yang hanya cukup untuk makan hari yang sedang dijalaninya saja, maka
dalam keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak
memiliki penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari menggantungkan harapannya
kepada orang lain.
Sedangkan dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah, meraih pahala dan
surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di atas kita, yaitu para
nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Apabila para
salafush-shalih sangat bersemangat dalam melakukan shalat, puasa, shadaqah, membaca Al-
Qur`ân, dan perbuatan baik lainnya, maka kita pun harus berusaha melakukannya seperti
mereka. Dan inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam masalah berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Tabarâka wa Ta’ala berfirman:
"Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba". [al-Muthaffifîn/83:26].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang yang
berada di bawah kita dalam masalah dunia, agar kita menjadi orang-orang yang bersyukur
dan qana’ah. Yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tidak
hasad dan tidak iri kepada manusia.
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang ia jalani
sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menyinggung hal ini dalam sabdanya:
"Siapa saja di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan
pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk harinya itu, maka seolah-olah ia telah
memiliki dunia seluruhnya".[2]
Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau mencari makan untuk
hari yang sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok harinya beliau mencarinya lagi. Beliau
melakukan yang demikian itu terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah
meridhai beliau.
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6490), Muslim (no. 2963), at-Tirmidzi
(no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[2]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2346), Ibnu Majah (no. 4141), dan al-
Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad (no. 300), dan selainnya. Dari ‘Ubaidullah bin Mihshan
Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2318).
FIQIH HADITS (3) : MENYAMBUNG SILATURAHMI MESKIPUN KARIB
KERABAT BERLAKU KASAR
Dari pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada orang-orang yang memiliki
hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan,
sepupu, dan lainnya yang memiliki hubungan kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum Muslimin salah dalam menggunakan kata silaturahmi. Mereka
menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan kawan-kawan mereka.
Padahal silaturahmi hanyalah terbatas pada orang-orang yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan kita. Adapun kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah
ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam).
Silaturahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang yang telah
berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki adalah menyambung hubungan
kekerabatan yang telah retak dan putus, dan berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat
kepada kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَهَا%%%%%%%%%%%%%%%%%ص
َ هُ َو%%%%%%%%%%%%%%%%%ت َر ِح ُم ِ افِِئ َولَ ِك ِن ْال َو%%%%%%%%%%%%%%%%% ُل بِ ْال ُم َك%%%%%%%%%%%%%%%%%اص
ْ ُل الَّ ِذيْ ِإ َذا قُ ِط َع%%%%%%%%%%%%%%%%%اص ِ ْس ْال َو
َ لَي.
"Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi
orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung kekerabatannya apabila
diputus".[2]
Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullah menyatakan bahwa rahim berasal dari
kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang yang
disayangi. [3]
Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah. Rahim (kekerabatan), Allah letakkan di ‘Arsy.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Menyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua adalah wajib berdasarkan dalil-
dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya, memutus silaturahmi dan durhaka kepada
orang tua adalah haram dan termasuk dosa besar.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menyambung
silaturahmi" [6].
Dengan bersilaturahmi, Allah akan melapangkan rezeki dan memanjangkan umur kita.
Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi, Allah akan sempitkan rezekinya atau tidak
diberikan keberkahan pada hartanya.
Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib kerabat yang baik dan
istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib kerabat yang kafir atau fasik atau pelaku
bid’ah, maka menyambung kekerabatan dengan mereka dapat melalui nasihat dan
memberikan peringatan, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukannya.[8]
Silaturahmi yang paling utama adalah silaturahmi kepada kedua orang tua. Orang tua adalah
kerabat yang paling dekat, yang memiliki jasa yang sangat besar, mereka memberikan kasih
dan sayangnya sepanjang hidup mereka. Maka tidak aneh jika hak-hak mereka memiliki
tingkat yang besar setelah beribadah kepada Allah. Di dalam Al-Qur`ân terdapat banyak ayat
yang memerintahkan kita agar berbakti kepada kedua orang tua.
Birrul-walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa bantuan materi,
doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat keduanya masih
hidup maupun setelah keduanya meninggal dunia. Birrul-walidain adalah perbuatan baik
yang paling baik.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya (dalam
riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).” Aku bertanya,"Kemudian apa?” Beliau
menjawab,"Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya,"Kemudian apa?” Beliau
menjawab,"Jihad di jalan Allah.” [9]
Selain itu, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita berbuat durhaka kepada kedua orang
tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang paling besar.
Silaturahmi memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar, diantaranya sebagai berikut.
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui
keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bersabda:
ِ َر ِه فَ ْلي%%%%%%%%%%%
ُ ه%%%%%%%%%%%لْ َر ِح َم%%%%%%%%%%%ص ِ َهُ فِى َأث%%%%%%%%%%%ََأ ل%%%%%%%%%%% َويُ ْن َس، ِه%%%%%%%%%%%ِهُ فِى ِر ْزق%%%%%%%%%%%َطَ ل%%%%%%%%%%% َم ْن َأ َحبَّ َأ ْن يُب َْس.
"Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia
menyambung tali silaturahmi" [10].
"Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi" [11].
_______
Footnote
[1]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[2]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud (no. 1697), dan at-
Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu 'anhu
[3]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim (no. 2555), dari
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[6]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu.
[7]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim (no. 2556), dari
Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.
[8]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh Muhammad
bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85), an-Nasâ`i
(I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/409-410,439, 451).
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557 (21)).
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no. 13).
FIQIH HADITS (4) : MEMPERBANYAK UCAPAN LA HAULA WALA QUWWATA
ILLA BILLAH (TIDAK ADA DAYA DAN UPAYA KECUALI DENGAN
PERTOLONGAN ALLAH)
Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita merasa mampu untuk
melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada Allah. Sesungguhnya yang dapat
menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan
kita setiap kali melakukan shalat, "Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu
kami memohon pertolongan". [al-Fâtihah/1:5].
Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan dalam akhir shalat kita:
ك
َ %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%ِ ِن ِعبَا َدت%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%ُس َ ْك ِر%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%ك َو ُش
ْ ك َوح َ ر%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
ِ اَللَّهُ َّم َأ ِعنِّي َعلَى ِذ ْك.
"Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan
beribadah dengan baik kepada-Mu" [1].
Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan
Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di majlis ilmu, melainkan dengan
pertolongan Allah. Seorang guru tidak akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang
bermanfaat, melainkan dengan pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak
mungkin dapat bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.
Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu untuk melakukan
segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa segala apa yang dilakukannya
semata-mata karena pertolongan Allah. Sebab, jika Allah tidak menolong maka tidak
mungkin dia melakukan segala sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang
hamba berarti telah menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan
bahwa ia adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan Allah.
Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada orang
lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik,
bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang
syirik dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.
Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun banyak para dai yang
beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan yang masih diperselisihkan. Seorang dai
harus tegas mengatakan kebenaran, perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan
perbuatan yang haram harus dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan penjelasan para
ulama tentang keharamannya.
Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran)
kepada penguasa.
"Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa
yang zhalim". [2]
Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara yang baik. Jika tidak
bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka,
tidak dengan mengadakan orasi, provokasi, demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan
aib mereka melalui mimbar, mimbar Jum’at, dan yang lainnya.
Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin (ulil amri). Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِه% ْد َأ َّدى الَّ ِذي َعلَ ْي%َانَ ق%% َذاكَ َو ِإالَّ َك%َهُ ف% َل ِم ْن%ِِإ ْن قَب%َ ِه ف%ِص َح لِ ِذي س ُْلطَا ٍن فَالَ يُ ْب ِد ِه َعالَنِيَةً َولَ ِك ْن يَْأ ُخ ْذ بِيَ ِد ِه فَيَ ْخلُوْ ب
َ َم ْن َأ َرا َد َأ ْن يَ ْن.
Dalam berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak, mencela, dan lainnya.
Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang disampaikan. Ketika kebenaran itu
kita sampaikan dan mereka mencela, maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan
dakwah yang haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.
Di antara akhlak yang mulia, adalah berani dalam menyampaikan kebenaran, dan ini
merupakan akhlak Salafush-Shalih. Islam mencela sifat penakut. Hal ini dapat tercermin dari
perintah untuk maju ke medan perang dan tidak boleh mundur pada saat telah berhadapan
dengan musuh. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung kepada
Allah dari sifat pengecut. Beliau berdoa dalam haditsnya:
ِ ب ْالقَب
ر%%ْ ِ ك ِم ْن َع َذا َ ِ َوَأ ُعوْ ُذ ب،ك ِم ْن َأ ْن ُأ َر َّد ِإلَى َأرْ َذ ِل ْال ُع ُم ِر
َ ِ َوَأ ُعوْ ُذ ب،ك ِم ْن فِ ْتنَ ِة ال ُّد ْنيَا َ ِ َوَأ ُعوْ ُذ ب،ك ِمنَ ْال ُج ْب ِن
َ ِاَللَّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ُعوْ ُذ ب.
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung
kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada umur yang
paling hina (pikun), aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung
kepada-Mu dari adzab kubur".[1]
Dakwah yang diberkahi Allah ini (dakwah kepada tauhid dan Sunnah) harus diperjuangkan
oleh para dai, supaya tegak dan berkembang. Para dai yang menyeru kepadanya tidak boleh
merasa takut. Kepada para dai yang menyeru kepada dakwah yang haq ini, jangan merasa
takut apabila mendapat celaan, cobaan, penolakan, dan pertentangan. Jangan sekali-kali
mundur dalam menegakkan kebenaran dan tidak mau lagi berdakwah. Dakwah mengajak
manusia kepada tauhid dan Sunnah harus terus berjalan meskipun orang mencela,
mencomooh, dan menolaknya.
Seorang dai tidak boleh mundur dalam berdakwah di jalan Allah dan tidak boleh takut,
karena Allah yang akan menolong orang-orang yang berada di atas manhaj yang haq.
Dan di antara ciri hamba yang dicintai Allah, adalah mereka tidak takut celaan para pencela.
Allah Ta’ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman,
tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-
Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya),
Mahamengetahui.” [al-Mâidah/5:54].
Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang tidak meminta-minta
kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar tidak meminta-minta kepada manusia, karena
meminta-minta hukum asalnya adalah haram. Seorang Muslim harus berusaha makan dengan
hasil keringatnya sendiri, dengan usaha kita sendiri, dan bukan dari usaha dan belas kasihan
orang lain. Seorang Muslim harus berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
karena Allah yang akan menolongnya.
Masyarakat yang masih awam (minim dalam ilmu agama), mereka berusaha untuk
menghidupi keluarga mereka dengan berjualan, baik di pinggir-pinggir jalan maupun di
kendaraan umum, seperti bus dan kereta api. Yang demikian itu lebih mulia daripada dia
meminta-minta kepada manusia. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi para penuntut ilmu,
agar mereka pun berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan keringat mereka
sendiri, dan tidak bergantung kepada orang lain.
"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas
punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya.
Itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau
tidak memberinya".[2]
Meminta-minta merupakan perbuatan yang sangat tercela, dan hukum asalnya adalah haram,
kecuali untuk maslahat kaum Muslimin karena termasuk tolong-menolong dalam kebaikan,
seperti untuk pembangunan masjid, pondok pesantren, biaya hidup anak yatim, dan yang
sepertinya. Ini pun harus dengan cara yang baik, yaitu dengan mendatangi orang-orang yang
kaya dan mampu atau diumumkan di masjid, bukan dengan cara meminta-minta di pinggir
jalan. Sebab, perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabatnya, serta merusak nama baik Islam dan kaum Muslimin. Adapun
meminta-minta untuk kepentingan pribadi, maka hukumnya haram dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu 'anhu , ia berkata:
Rasulullah bersabda:
Bahkan orang yang selalu meminta-minta, kelak pada hari Kiamat tidak ada daging sedikit
pun pada wajahnya, sebagaimana ia tidak malu untuk meminta-minta kepada manusia di
dunia. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Maksudnya bahwa pada hari Kiamat ia akan dikumpulkan di hadapan Allah dalam keadaan
wajahnya hanya tulang (tengkorak) saja, tidak ada daging padanya. Hal itu sebagai hukuman
baginya, dan sebagai tanda dosa baginya ketika di dunia ia selalu minta-minta dengan
wajahnya tanpa malu.[5]
PENUTUP
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat
Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Mudah-mudahan
shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.
Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
Marâji’:
1. Al-Qur`ânul-Karim dan terjemahannya, terbitan Departemen Agama.
2. al-Adabul-Mufrad.
3. Al-Mu’jamul-Kabîr.
4. An-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts.
5. As-Sunanul-Kubra.
6. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
7. Al-Washâya al-Mimbariyyah, karya ‘Abdul-‘Azhim bin Badawi al-Khalafi.
8. Hilyatul Auliyâ`.
9. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhriji Ahâdîtsi Manâris Sabîl.
10. Lisânul-‘Arab.
11. Mawâridizh Zhamm`ân.
12. Mufrâdât Alfâzhil-Qur`ân.
13. Musnad ‘Abd bin Humaid.
14. Musnad al-Humaidi.
15. Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaini. Karya Imam al-Hakim an-Naisaburi.
16. Musnad Imam Ahmad.
17. Qathî`atur Rahim; al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul ‘Ilâj, oleh Syaikh Muhammad Ibrahim
al-Hamd.
18. Shahîh al-Bukhari.
19. Shahîh Ibni Hibban.
20. Shahîh Ibni Khuzaimah.
21. Shahîh Muslim.
22. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
23. Sunan Abu Dawud.
24. Sunan an-Nasâ`i.
25. Sunan at-Tirmidzi.
26. Sunan Ibni Majah.
27. Syarah Shahîh Muslim.
28. Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi.
29. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
30. Tafsîr Ibni Katsir, Cet. Darus-Salam, Riyadh.