Anda di halaman 1dari 5

‫ َعلَى‬،‫صاَل ةُ َوال َّساَل ُم اَأْلتَ َّما ِن اَأْل ْك َماَل ِن‬ َّ ‫ َوال‬،‫ان‬ ٍ ‫اَ ْل َح ْم ُد هللِ ْال َم ْوج ُْو ِد َأ َزاًل

َأ َزاًل َوَأبَدًا بِاَل َم َك‬


‫ َأ ْشهَ ُد َأ ْن اَّل‬،‫صحْ بِ ِه َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم بِِإحْ َسا ٍن‬َ ‫ َو َعلَى آلِ ِه َو‬،‫ان‬ َ َ‫َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َسيِّ ِد َولَ ِد َع ْدن‬
.ُ‫ي بَ ْع َده‬ َّ ِ‫ اَل نَب‬،ُ‫ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُه‬،ُ‫ْك لَه‬ َ ‫ِإلهَ ِإاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِري‬
‫ ُزي َِّن‬:‫ل فِ ْي ُمحْ َك ِم ِكتَابِ ِه‬Bِ ‫هللا ْال َعلِ ِّي ْالقَ ِدي ِْر ْالقَاِئ‬
ِ ‫ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى‬ ِ ‫ فَِإنِّي ُأ ْو‬،‫َأ َّما بَ ْع ُد‬
‫ض ِة‬ َّ ِ‫ب َو ْالف‬ َّ ‫ير ْال ُمقَنطَ َر ِة ِم َن‬
ِ َ‫الذه‬ ِ ‫اط‬ِ َ‫ين َو ْالقَن‬ َ ِ‫ت ِم َن النِّ َسا ِء َو ْالبَن‬ ِ ‫اس حُبُّ ال َّشهَ َوا‬ ِ َّ‫لِلن‬
*‫ب‬ ِ ‫ع ْال َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َوهللاُ ِعن َدهُ ُحس ُْن ْال َمآ‬ ُ ‫ك َمتَا‬ َ ِ‫ث َذل‬ ِ ْ‫َو ْال َخي ِْل ْال ُم َس َّو َم ِة َواَأل ْن َع ِام َو ْال َحر‬
‫ات تَجْ ِري ِمن تَحْ تِهَا اَأل ْنهَا ُر‬ ٌ َّ‫ين اتَّقَ ْوا ِعن َد َربِّ ِه ْم َجن‬ َ ‫قُلْ َأُؤ نَبُِّئ ُكم بِ َخي ٍْر ِمن َذلِ ُك ْم لِلَّ ِذ‬
:‫صي ٌر بِ ْال ِعبَا ِد (ءال عمران‬ ِ َ‫ان ِم َن هللاِ َوهللاُ ب‬ ٌ ‫ين فِيهَا َوَأ ْز َوا ٌج ُمطَه ََّرةٌ َو ِرضْ َو‬ َ ‫َخالِ ِد‬
)١٥-١٤  
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Dari atas mimbar khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri
khatib pribadi, untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan
dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan
semua kewajiban dan menjauhkan diri dari seluruh yang diharamkan.

Hadirin rahimakumullah,
Mengawali khutbah ini, khatib akan membacakan makna dari dua ayat yang
kami baca dalam mukadimah khutbah di atas. Makna dua ayat tersebut
adalah: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa
yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan bagi Allah-lah tempat
kembali yang baik. Katakanlah, “Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang
lebih baik dari yang demikian itu?” Bagi orang-orang yang bertakwa tersedia
bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta ridla Allah. Dan
Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 14-15)   Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

  )‫ّان‬ ِ ‫(أو َر َدهُ ْالهَ ْيتَ ِم ُّي في زواِئ ِد‬


َ ‫ابن ِحب‬ ْ B‫ح‬ِ ِ‫ نِ ْع َم ْال َما ُل الصَّالِ ُح لل َّرج ُِل الصَّال‬ 
Maknanya: “Harta yang baik adalah milik seseorang yang shalih” (Disebutkan
oleh al Haitsami dalam Zawa’id Ibn Hibban).  
Artinya, harta yang halal yang digunakan dan dibelanjakan oleh seorang
Muslim pada jalan yang diridlai oleh Allah ta’ala dan ditujukan untuk
memenuhi hak-hak Allah adalah nikmat agung yang Ia anugerahkan kepada
hambanya yang Mukmin.  

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,


Diriwayatkan dari sahabat ‘Amr bin ‘Auf al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabat Abu ‘Ubaidah bin
Jarrah radhiyallahu ‘anhu ke negeri Bahrain untuk mengambil harta jizyah. Lalu
Abu ‘Ubaidah kembali ke Madinah dengan membawa harta dari negeri
Bahrain. Kedatangan Abu ‘Ubaidah ini didengar oleh Kaum Anshar bertepatan
dengan saat shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Usai shalat, beliau segera pergi namun mereka berkerumun menghampirinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum melihat mereka seraya
berkata: “Aku kira kalian telah mendengar bahwa Abu ‘Ubaidah telah tiba
dengan membawa sesuatu.” Mereka berkata: “Benar wahai Rasulullah.” Beliau
lantas bersabda: “Bergembiralah dan bercita-citalah dengan apa yang dapat
membuat kalian berbahagia.” Beliau melanjutkan sabdanya:  
ْ َ‫فَ َو هللاِ َما الفَ ْق َر َأ ْخ َشى َعلَ ْي ُك ْم َول ِكنِّي َأ ْخ َشى أن تُ ْب َسطَ ال ُّد ْنيَا َعلَ ْي ُك ْم َك َما ب ُِسط‬
‫ت َعلَى‬
ٌ َ‫ان قَ ْبلَ ُك ْم فَتَنَافَس ُْوهَا َك َما تَنَافَس ُْوهَا فتُ ْهلِ َك ُك ْم كما أهلَ َك ْتهُ ْم ( ُمتّف‬
)‫ق َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ َم ْن َك‬ 
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi
yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dilapangkan harta
dunia sebagaimana telah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kalian. Lalu
kalian bersaing memperebutkannya sebagaimana mereka bersaing
memperebutkannya sehingga harta dunia itu membinasakan kalian
sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR al-Bukhari dan Muslim)  

Hadirin rahimakumullah,
Pada umumnya, seorang ayah di akhir hayatnya akan sangat mengkhawatirkan
kemiskinan pada anak-anaknya. Tapi tidak dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ibarat ayah bagi umatnya, beliau sama sekali tidak
mengkhawatirkan kemiskinan dan kefakiran pada umatnya. Padahal beliau
sangat mencintai umatnya. Yang beliau khawatirkan justru sebaliknya.
Rasulullah mengkhawatirkan kekayaan dan kelapangan harta pada umatnya.  
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa hal itu
disebabkan mudarat kefakiran lebih ringan daripada mudarat kekayaan.
Bahaya yang ditimbulkan kefakiran pada umumnya berkaitan dengan
keduniaan. Sedangkan bahaya yang diakibatkan kekayaan biasanya berkaitan
dengan agama. Mudarat dalam agama jelas lebih berat daripada mudarat
keduniaan.  
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Harta adalah sesuatu yang menggiurkan bagi banyak orang. Lebih-lebih bagi
pemiliknya. Dengan sebab harta yang melimpah, seseorang kemungkinan
besar akan tergoda untuk melakukan berbagai hal yang disenangi hawa
nafsunya. Dan yang disenangi hawa nafsu pada umumnya adalah perkara yang
dilarang oleh agama.   Harta juga memicu persaingan untuk
memperebutkannya. Akibat persaingan memperebutkan harta, antarkerabat
atau antarteman bisa saling membunuh. Perebutan harta juga seringkali
menjadikan seorang anak kalap lalu mengusir orang tua kandungnya,
menuntutnya di pengadilan dan memenjarakannya. Akibat perebutan harta,
seringkali orang lupa diri dan tidak menyadari bahwa sebenarnya harta tidak
dibawa mati.  
Hadirin rahimakumullah,
Jika kita cermati dengan seksama, baik kemiskinan ataupun kekayaan,
keduanya bisa jadi sumber fitnah dan bencana. Namun di sisi yang lain juga
bisa menjadi sumber kemaslahatan serta ladang pahala. Tergantung
bagaimana seseorang menyikapi dan menghadapinya.   Sebagian orang kaya,
kekayaan adalah sumber bencana dan fitnah yang mengalirkan dosa bagi
mereka. Dengan kekayaan yang mereka miliki, mereka menyombongkan diri di
hadapan orang lain. Dan sebagian orang kaya menggunakan kekayaan mereka
untuk berbuat baik dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi di
akhirat.   Begitu pula dengan kefakiran. Sebagian orang ketika ditimpa
kefakiran, mereka mencuri dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa lainnya.
Bagi mereka, kefakiran menjadi sebab kesengsaraannya di akhirat. Sebaliknya
sebagian orang fakir menghadapi kefakirannya dengan penuh kesabaran. Sifat
sabar inilah yang mengekang nafsu mereka untuk tidak melakukan hal-hal yang
diharamkan. Bagi mereka inilah, kefakiran yang menimpa bermanfaat di
akhirat dan menjadi ladang pahala.  
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Sebagian besar nabi dan wali adalah orang-orang fakir. Sangat sedikit di antara
mereka yang dianugerahi kekayaan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan
Rasulullah mengabarkan kepada kita bahwa sebagian besar penduduk surga
adalah orang-orang fakir dalam sabdanya:  

)‫ي َو ُم ْسلِ ٌم‬ ِ ‫ء ( َر َواهُ ْالبُ َخ‬Bَ ‫ْت َأ ْكثَ َر َأ ْهلِهَا الفُقَ َرا‬
ّ ‫ار‬ ُ ‫الجنَّ ِة فَ َرَأي‬ ُ ‫ اطَّلَع‬ 
َ ‫ْت فِي‬
Maknanya: “Aku melihat di surga, dan aku lihat kebanyakan penduduknya
adalah orang-orang fakir” (HR al-Bukhari dan Muslim).  
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  

‫ين َخ ِريفًا ( َر َواهُ َأبُو نُ َعي ٍْم فِي ِح ْليَ ِة‬


َ ‫ين ْال َجنَّةَ قَ ْب َل َأ ْغنِيَاِئ ِه ْم بِ َسب ِْع‬ ِ َ‫يَ ْد ُخ ُل فُقَ َرا ُء ْال ُمه‬
َ ‫اج ِر‬
)‫ اَأْل ْولِيَا ِء‬ 
Maknanya: “Orang-orang fakir di kalangan Muhajirin akan memasuki surga
terlebih dahulu sebelum orang-orang kaya di kalangan mereka dengan selisih
waktu 70 tahun” (HR Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’).  
Hadirin rahimakumullah,
Jika seseorang dijadikan fakir, hendaklah ia meneladani sahabat Abu Hurairah
yang kemiskinannya tidak menjadikannya lemah semangat dalam menimba
ilmu kepada Rasulullah dan menghadiri majelis-majelis ilmu. Bahkan beliau
adalah sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits. Begitu fakirnya
Abu Hurairah, sampai-sampai pernah pingsan karena kelaparan. Begitu juga
Uwais bin ‘Amir al-Qarani yang merupakan sebaik-baik tabiin. Begitu miskinnya
hingga keinginannya bertemu dan menimba ilmu langsung dari Rasulullah tidak
terpenuhi. Padahal beliau hidup semasa dengan Rasulullah. Beliau di Yaman
dan Rasulullah di Madinah. Karena baktinya kepada ibu kandungnya dan cinta
serta rindunya yang begitu mendalam kepada Rasulullah, melalui wahyu dari
Allah, Baginda Nabi bersabda:  

ْ ‫ ِإ َّن َخ ْي َر التَّابِ ِعي َْن َر ُج ٌل يُقَا ُل لَهُ ُأ َويْسُ ب ُْن َعا ِم ٍر ِم ْن ُمرا ٍد ثُ ّم‬ 
)‫من قَ َر ٍن ( َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬
Maknanya: “Sesungguhnya sebaik-baik tabiin adalah seorang laki-laki yang
bernama Uwais bin ‘Amir dari kabilah Murad kemudian kabilah Qaran” (HR
Muslim)  
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
‫‪Jika seseorang dijadikan kaya, hendaklah ia meneladani para sahabat Nabi‬‬
‫‪yang melimpah hartanya seperti sahabat Abu Bakr dan sahabat ‘Utsman bin‬‬
‫‪‘Affan radhiyallahu ‘anhuma. Harta keduanya diinfakkan di jalan Allah untuk‬‬
‫‪menopang perkembangan dakwah Islam.   Terakhir, kami tegaskan bahwa‬‬
‫‪Islam sama sekali tidak melarang seseorang menjadi kaya. Yang dilarang adalah‬‬
‫‪menggunakan kekayaan dalam hal-hal yang dilarang oleh agama.  ‬‬
‫‪Hadirin jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah, Demikian khutbah singkat pada‬‬
‫‪siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa‬‬
‫‪barakah bagi kita semua. Amin.  ‬‬

‫آن ْال َع ِظي ِْم‪َ ،‬ونَفَ َعنِي َوِإيَّا ُك ْم ِب َما فِ ْي ِه ِم َن اآْل يَا ِ‬
‫ت‬ ‫ك هللاُ لِي َولَ ُك ْم فِي القُرْ ِ‬ ‫ار َ‬
‫بَ َ‬
‫‪َ  ‬وال ِّذ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم‪َ ،‬وتَقَب ََّل ِمنِّ ْي َو ِم ْن ُك ْم تِاَل َوتَهُ‪ِ ،‬إنَّهُ هُ َو ال َّس ِم ْي ُع ْال َعلِ ْي ُم‬
‫‪Khutbah II‬‬

‫صلِّ ْي َوُأ َسلِّ ُم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ْال ُمصْ طَفَى‪َ ،‬و َعلَى آلِ ِه َوَأصْ َحابِ ِه ‪ ‬‬ ‫اَ ْل َح ْم ُد هللِ َو َكفَى‪َ ،‬وُأ َ‬
‫ْك لَهُ‪َ ،‬وَأ ْشهَ ُد َأ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ‬ ‫َأ ْه ِل ْال َوفَا‪َ .‬أ ْشهَ ُد َأ ْن اَّل ِإلهَ ِإاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِري َ‬
‫ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى هللاِ ْال َعلِ ِّي‬ ‫َو َرس ُْولُهُ‪َ           .‬أ َّما بَ ْع ُد‪ ،‬فَيَا َأيُّهَا ْال ُم ْسلِ ُم ْو َن‪ُ ،‬أ ْو ِ‬
‫صاَل ِة َوال َّساَل ِم َعلَى نَبِيِّ ِه ْال َك ِري ِْم‬ ‫ْال َع ِظي ِْم َوا ْعلَ ُم ْوا َأ َّن هللاَ َأ َم َر ُك ْم بَِأ ْم ٍر َع ِظي ٍْم‪َ ،‬أ َم َر ُك ْم بِال َّ‬
‫صلُّوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموا‬ ‫ين آ َمنُوا َ‬ ‫ون َعلَى النَّبِ ِّي‪ ،‬يَا َأيُّهَا الَّ ِذ َ‬ ‫ُصلُّ َ‬
‫ال‪ِ :‬إ َّن هَّللا َ َو َماَل ِئ َكتَهُ ي َ‬ ‫فَقَ َ‬
‫ٰ‬
‫ْت َعلَى َسيِّ ِدنَا‬ ‫صلَّي َ‬ ‫آل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َك َما َ‬ ‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ِ‬ ‫تَ ْسلِي ًما‪ ،‬اَللّهُ َّم َ‬
‫ار ْك َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آ ِل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َك َما‬ ‫آل َسيِّ ِدنَا ِإ ْب َرا ِه ْي َم َوبَ ِ‬ ‫ِإب َْرا ِه ْي َم َو َعلَى ِ‬
‫ك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‪.‬‬ ‫آل َسيِّ ِدنَا ِإب َْرا ِه ْي َم‪ ،‬فِ ْي ْال َعالَ ِمي َْن ِإنَّ َ‬ ‫ت َعلَى َسيِّ ِدنَا ِإ ْب َرا ِه ْي َم َو َعلَى ِ‬ ‫ار ْك َ‬ ‫بَ َ‬
‫ٰ‬
‫ت‪،‬‬ ‫ت اَأْلحْ يَا ِء ِم ْنهُ ْم َواَأْل ْم َوا ِ‬ ‫وال ُمْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬ ‫ت ْ‬ ‫اَللّهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُم ْسلِ ِمي َْن َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫ف ْال ُم ْختَلِفَةَ‬ ‫اللهم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَاَل َء َو ْالغَاَل َء َو ْال َوبَا َء َو ْالفَحْ َشا َء َو ْال ُم ْن َك َر َو ْالبَ ْغ َي َوال ُّسي ُْو َ‬
‫صةً َو ِم ْن ب ُْل َد ِ‬
‫ان‬ ‫َوال َّش َداِئ َد َو ْال ِم َح َن‪َ ،‬ما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَ َن‪ِ ،‬م ْن بَلَ ِدنَا هَ َذا َخا َّ‬
‫إن هللاَ يَْأ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َواإْل حْ َس ِ‬
‫ان‬ ‫ك َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌر ِعبَا َد هللاِ‪َّ ،‬‬ ‫ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َعا َّمةً‪ِ ،‬إنَّ َ‬
‫َوِإ ْيتَا ِء ِذي ْالقُرْ بَى ويَ ْنهَى َع ِن الفَحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َوالبَ ْغ ِي‪ ،‬يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر ُْو َن‪.‬‬
‫‪.‬فَاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ َأ ْكبَ ُر‬

Anda mungkin juga menyukai