Anda di halaman 1dari 21

Hadits Arba’in ke 36 Tentang

Rangkuman dari Berbagai Kebaikan

‫ « َم ْن نَفَّ َس َع ْن ُمْؤ ِم ٍن‬:‫ َع ِن النَّيِب ِّ ﷺ قَا َل‬،ُ‫هللا َع ْنه‬ ُ َ ‫َع ْن َأيِب ه َُر ْي َر َة َريِض‬
َ ‫ َو َم ْن يَرَّس‬.‫هللا عَن ُه ُك ْرب َ ًة ِم ْن ُك َر ِب ي َ ْو ِم ال ِق َيا َم ِة‬ ُ ‫ نَفَّ َس‬،‫ُك ْرب َ ًة ِم ْن ُك َر ِب ادلُّ نْ َيا‬
ُ ‫ َو َم ْن َسرَت َ ُم ْس ِلامً َسرَت َ ُه‬.‫هللا عَلَ ْي ِه يِف ادلُّ نْ َيا َواآل ِخ َر ِة‬
‫هللا يِف‬ ُ َ ‫ يَرَّس‬، ٍ ‫عَىَل ُم ْعرِس‬
.‫هللا يف َع ْو ِن ال َع ْب ِد َما اَك َن ال َع ْبدُ يِف َع ْو ِن َأ ِخ ْي ِه‬ ُ ‫ َو‬.‫ادلُّ نْ َيا َواآل ِخ َر ِة‬
.‫هللا هَل ُ ِب ِه َط ِريْق ًا ىَل اجلَنَّ ِة‬ُ ‫َو َم ْن َسكَل َ َط ِريْق ًا يَلْ َت ِم ُس ِف ْي ِه ِعلْامً َسهَّ َل‬
‫هللا َِإوي َ َتدَ َار ُس ْون َ ُه بَيْهَن ُ ْم اَّل‬
ِ ‫اب‬ َ ‫هللا ي َ ْتلُ ْو َن ِك َت‬
ِ ‫َو َما ا ْجتَ َم َع قَ ْو ٌم يِف بَيْ ٍت ِم ْن بُ ُي ْو ِت‬
‫ِإ‬
‫هللا ِف ْي َم ْن‬ُ ُ ‫ َو َذ َك َرمُه‬،‫ َو َحفَّهْت ُ ُم الْ َماَل ِئ َك ُة‬،‫م َّالرمْح َ ُة‬Sُ ُ ‫ َوغَ ِشيَهْت‬،‫نَ َزلَ ْت عَلَهْي ِ ُم ا َّلس ِك ْينَ ُة‬
.ِ‫ َو َم ْن ب َ َّطَأ ِب ِه مَع َ هُل ُ لَ ْم يُرْس ِ ْع ب ِه ن َ َس ُبهُ» َر َوا ُه ُم ْسمِل ٌ هِب َ َذا الل َّ ْفظ‬،‫ِع ْندَ ُه‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia orang mukmin, maka Allah akan
menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan
orang yang kesulitan (utang), maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Siapa
yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Siapa saja
yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya sebagaimana ia menolong saudaranya.
Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan
baginya jalan menuju surga. Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah Allah (masjid)
untuk membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan turun kepada
mereka ketenangan, rahmat meliputinya, para malaikat mengelilinginya, dan Allah menyanjung namanya
kepada Malaikat yang ada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dikejar
oleh nasabnya (garis keturunannya yang mulia).” (HR. Muslim dengan lafal ini) [HR. Muslim, no. 2699]

ُ َ ‫ َع ْن َأيِب ه َُر ْي َر َة َريِض‬:


‫ َع ِن النَّيِب ِّ ﷺ قَا َل‬،ُ‫هللا َع ْنه‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫هللا عَن ُه ُك ْرب َ ًة ِم ْن ُك َر ِب ي َ ْو ِم‬


ُ ‫ نَفَّ َس‬،‫َم ْن نَفَّ َس َع ْن ُمْؤ ِم ٍن ُك ْرب َ ًة ِم ْن ُك َر ِب ادلُّ نْ َيا‬
‫ال ِق َيا َم ِة‬
“Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia orang mukmin,
maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat.

‫هللا عَلَ ْي ِه يِف ادلُّ نْ َيا َواآل ِخ َر ِة‬


ُ َ ‫ يَرَّس‬، ٍ ‫َو َم ْن يَرَّس َ عَىَل ُم ْعرِس‬
Barangsiapa yang memberi kemudahan orang yang kesulitan, maka Allah akan memberi
kemudahan baginya di dunia dan akhirat.

‫هللا يِف ادلُّ نْ َيا َواآل ِخ َر ِة‬


ُ ‫َو َم ْن َسرَت َ ُم ْس ِلامً َسرَت َ ُه‬
Siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di
akhirat.

‫هللا يف َع ْو ِن ال َع ْب ِد َما اَك َن ال َع ْبدُ يِف َع ْو ِن َأ ِخ ْي ِه‬


ُ ‫َو‬
Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya

.‫هللا هَل ُ ِب ِه َط ِريْق ًا ىَل اجلَنَّ ِة‬


ُ ‫َو َم ْن َسكَل َ َط ِريْق ًا يَلْ َت ِم ُس ِف ْي ِه ِعلْامً َسهَّ َل‬
‫ِإ‬
Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka menuntut ilmu (yang baik), maka Allah
akan mudahkan baginya jalan menuju surga.

‫هللا َوي َ َتدَ َار ُس ْون َ ُه بَيْهَن ُ ْم اَّل‬


ِ ‫اب‬َ ‫هللا ي َ ْتلُ ْو َن ِك َت‬
ِ ‫َو َما ا ْجتَ َم َع قَ ْو ٌم يِف بَيْ ٍت ِم ْن بُ ُي ْو ِت‬
‫َ ْ َهْي لس ِك ُ غَ ِ هْت مْح َ ُ َّهْت ْ اَل ِئ َ ُ َ َ مُه ِ ِإ‬
‫هللا ف ْي َم ْن‬ ُ ُ ‫ َوذك َر‬،‫ َو َحف ُ ُم ال َم كة‬،‫م َّالر ة‬Sُ ُ َ‫ َو شي‬،‫نَ َزلت عَل ِ ُم ا َّ ْينَة‬
‫ ِع ْندَ ُه‬،
Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca
Kitabullah dan saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka
ketenangan, rahmat meliputinya, para malaikat mengelilinginya, dan Allah menyanjung
namanya kepada Malaikat yang ada di sisi-Nya.

‫َو َم ْن ب َ َّطَأ ِب ِه مَع َ هُل ُ لَ ْم يُرْس ِ ْع ب ِه ن َ َس ُب ُه‬


Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dikejar oleh nasabnya (garis
keturunannya yang mulia).”

ِ‫ر َوا ُه ُم ْسمِل ٌ هِب َ َذا الل َّ ْفظ‬.َ


(HR. Muslim dengan lafal ini) [HR. Muslim, no. 2699]

URGENSI HADITS
Imam Nawawi berkata, “Ini adalah hadits yang sangat penting. Ia memuat berbagai ilmu, berbagai
kaidah dan berbagai adab.” Ibnu ‘Alan menambahkan, “Juga mencakup berbagai fadlail [keutamaan],
manfaat dan hukum.

KANDUNGAN HADITS
1. Orang-orang muslim ibarat satu tubuh.
Sesungguhnya antara individu-individu yang berada dalam masyarakat Islam adalah bagaikan satu
tubuh. Setiap anggota masyarakat merasakan apa yang dirasakan anggota masyarakat lainnya. Sama-
sama merasakan kegembiraan atau kesedihan.
Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayangnya bagaikan satu
tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka sekujur tubuh akan merasakan kurang tidur
dan panas.” (HR Muttafaq ‘alaiHi)

2. Berbagai macam problematika di dunia


Sesungguhnya kehidupan penuh dengan segala problematika, dan seringkali dialami oleh seorang
muslim. Karenanya muslim yang lain dituntut untuk membantu menyelesaikan berbagai problematika
tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan cara-cara berikut:

a. Menolong dari kedhaliman


Seorang muslim tidak akan mendhalimi saudaranya sesama muslim. Namun ini belumlah cukup untuk
mendapatkan keridlaan Allah Ta’ala jika tidak diiringi dengan usaha yang gigih untuk turut menjauhkan
saudaranya dari kedhaliman orang lain.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak
mendhaliminya dan tidak membiarkannya didhalimi.” (Muttafaq ‘AlaiHi) riwayat Muslim menyebutkan,
“Dan tidak menghinakannya.”
Rasulullah saw. juga bersabda, “Tolonglah saudaramu, baik ia melakukan kedhaliman ataupun ia
didhalimi.” Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulallah, saya memang harus menolongnya ketika ia
didhalimi, lalu bagaimana jika ia melakukan kedhaliman, bagaimana saya harus menolongnya?”
Rasulullah saw. bersabda, “Kamu menghalanginya untuk tidak berbuat dhalim, berarti kamu telah
menolongnya.” (Muttafaq ‘alaiHi)
Terutama jika kedhaliman yang dirasakan oleh saudara kita akibat komitmennya terhadap Islam. Allah
befirman: “Jika mereka minta pertolongan kepadamu [urusan pembelaan agama] maka kamu wajib
memberikan pertolongan.” (al-Anfaal: 72)
Menolong seorang mukmin diwajibkan dalam kondisi apapun, baik kedhaliman itu kasat mata atau
tidak, terhadap jiwa, harta maupun kehormatan.
Sahl bin Hanif ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengetahui seorang
mukmin dihinakan dan ia mampu menolongnya, namun tidak mau menolongnya, maka Allah akan
menghinakannya di depan semua makhluk pada hari kiamat.” (HR Imam Ahmad)

b. Membebaskan dari tahanan musuh


Jika seorang muslim ditahan musuh, maka orang-orang muslim yang lain harus bersegera untuk
membebaskannya. Jika tidak maka bisa jadi orang-orang kafir itu berupaya menggoyah keyakinannya.
Abu Musa al-Asy’ari ra. berakata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berilah makan orang yang lapar,
jenguklah orang yang sakit, dan bebaskanlah orang yang berada dalam tahanan musuh.” (HR Bukhari
dan Abu Dawud)

c. Memberikan hutang jika diperlukan.


Jika seorang muslim mengalami krisis keuangan, dan membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan
primernya: sandang, pangan, papan, pengobatan, dan lain sebagainya maka masyarakat muslim wajib
untuk segera membantunya. Minimal memberi pinjaman yang baik, sebagai ganti dari praktek riba yang
banyak beredar dalam masyarakat dewasa ini. Firman Allah: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (al-Muzzammil: 20)
Dengan demikian akan terealisasi masyarakat yang saling menopang, dan juga akan mendapatkan
pahala dari Allah swt. firman Allah swt: “Siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik [menafkahkan hartanya di jalan Allah] maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak.” (al-Baqarah: 245)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menghutangi seorang muslim satu
dirham sebanyak dua kali maka baginya pahala satu kali shadaqah.” (HR Ibnu Hibban)
Bahkan sangat boleh jadi pahala yang memberikan pinjaman itu melebihi shadaqah, tentunya sesuai
dengan kondisi orang yang memberikan hutang dan yang dihutangi.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada malam ketika aku melakukan perjalanan dari
Makkah ke Baitul Maqdis [Isra’] saya melihat sebuah tulisan di pintu surga: shadaqah akan
dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, sedangkan pemberian utang akan dilipatgandakan delapan
belas kali lipat. Lalu aku bertanya, “Wahai Jibril, apa yang menyebabkan pemberian utang lebih baik
daripada shadaqah?” Jibril menjawab, “Karena orang yang meminta [memerlukan shadaqah] kadang
memiliki [sesuatu yang diberikan kepadanya], akan tetapi orang yang memberikan pinjaman, pada
dasarnya memberikan sesuatu karena memang benar-benar dibutuhkan.” (HR Ibnu Majah)

3. Kesusahan pada hari kiamat.


Alangkah perihnya penderitaan di hari kiamat. Karenanya, seorang muslim sangat memerlukan amal
shalih agar bisa selamat pada hari itu, hingga bisa menuju surga.
Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Allah mengumpulkan semua makhluk, baik yang
hidup di masa lampau ataupun yang akan datang, di satu tempat. Pada hari itu mereka mendengar
suara penyeru, pandangan menembus mereka, dan matahari sangat dekat di atas mereka, hingga
mereka merasakan kesusahan dan penderitaan yang mereka tidak mampu menahannya. Mereka saling
bertanya, “Tidakkah kalian melihat apa yang sedang kalian alami? Tidakkah kalian melihat siapa yang
dapat memberikan syafaat kepada kalian di sisi Tuhan kalian?”(HR Bukhari dan Muslim)

‘Aisyah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat semua manusia dikumpulkan
dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak berkhitan.” Saya kemudian bertanya, “Ya
Rasulullah, semua laki-laki dan perempuan, dan mereka saling melihat satu sama lain?” Rasulullah
menjawab, “Hari itu sangat dahsyat sehingga mereka tidak akan memikirkan hal lain.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Ibnu ‘Umar berkata: Berkenaan dengan firman Allah, ‘[yaitu] hari [ketika] manusia menghadap Tuhan
semesta alam.’ (al-Muthaffifiin: 5) Rasulullah saw. bersabda, “Salah seorang di antara kamu berdiri
dalam genangan keringatnya sampai tengah-tengah daun telinganya.”

Dalam penderitaan yang dahsyat tersebut, seorang mukmin akan mendapatkan keadilan dari Allah swt.
Allah akan membalas apa yang telah mereka kerjakan di dunia. Jika seorang muslim di dunianya
mengentaskan orang-orang mukmin dari kesusahannya, maka Allah akan mengeluarkannya dari
berbagai kesusahan pada hari kiamat, bahkan berlipat ganda dari apa yang telah dilakukan di dunia.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

‫هللا عَن ُه ُك ْرب َ ًة ِم ْن ُك َر ِب ي َ ْو ِم‬


ُ ‫ نَفَّ َس‬،‫َم ْن نَفَّ َس َع ْن ُمْؤ ِم ٍن ُك ْرب َ ًة ِم ْن ُك َر ِب ادلُّ نْ َيا‬
‫ال ِق َيا َم ِة‬
“Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia orang mukmin,
maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat.

“Barangsiapa yang mengeluarkan seorang muslim dari kesusahan dunia, maka Allah akan
mengeluarkannya dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat.”

4. Memudahkan orang yang mendapat kesulitan.


Kesulitan seseorang yang paling berat biasanya adalah berkenaan dengan hutang yang tidak bisa dibayar
saat jatuh tempo, bisa juga lantaran banyaknya tanggungan keluarga, akan tetapi tidak mampu
memberikannya.
Dalam kondisi apapun, yang pasti umat Islam dituntut untuk mempermudah orang yang mendapat
kesulitan, dan ini bisa dilakukan dan dua jalan:

a. Orang yang memberikan pinjaman hutang menangguhkan waktu pembayaran hingga orang yang
berhutang memiliki kelonggaran untuk membayarnya.

Solusi seperti ini diwajibkan. Allah swt. berfirman: “Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…” (al-Baqarah: 280)

b. Memutihkan sebagian atau seluruh hutang [menganggap lunas].


Memberi kemudahan dengan cara seperti ini sifatnya sunnah dan mulia di sisi Allah swt. Dia berfirman:
“Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan.
Jika kamu menshadaqahkannya, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 280)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menangguhkan kesulitan orang yang
berhutang atau membebaskan hutangnya, maka Allah akan memberi naungan dengan naungan-Nya.”
(HR Muslim)
“Barangsiapa yang ingin diselamatkan Allah dari kesusahan pada hari kiamat, hendaklah ia memudahkan
kesulitan orang yang berhutang atau memutihkannya [menganggap lunas].” (HR Muslim)

Bahkan sebenarnya Allah memberi balasan di dunia bagi siapa saja yang melakukan hal tersebut.
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin dikabulkan doanya dan dibebaskan dari segala
kesusahannya, hendaklah ia memudahkan orang yang kesulitan dalam membayar hutang.” (HR Ahmad)

5. Kemudahan yang diberikan Allah Ta’ala.


Manusia pasti akan bertemu dengan Allah swt. pada hari dimana harta dan anak-anak tidak ada manfaat
lagi. Allah swt. berfirman, “Kerajaan yang haq pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang
MahaPemurah. Dan hari itu adalah hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir.” (al-Furqaan: 26)

“Apabila ditiupkan sangkakala, maka waktu itu adalah waktu datangnya hari yang sulit, bagi orang-orang
kafir lagi tidak mudah.” (al-Muddatstsir: 8-10)

Tidak diragukan lagi, bahwa hari itu adalah waktu datangnya hari yang penuh penderitaan bagi orang-
orang yang mengingkari berbagai nikmat Allah, tidak beribadah dan tidak bersyukur kepada-Nya.
Bahkan sedikitpun tidak peduli memberikan bantuan kepada makhluk Allah swt.
Sedangkan orang-orang yang beriman kepada Allah, beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benar
ibadah, mensyukuri seluruh nikmat-Nya, dan mau menolong serta mempermudah orang-orang yang
berada dalam kesulitan, sebagai refleksi dari pengakuan terhadap karunia Allah yang telah diberikan
kepadanya, maka bisa dipastikan Allah akan memberikan ganjaran terhadap kebaikan yang telah
dilakukan dengan mengampuni segala kesalahannya dan menjadikan kemudahan baginya pada hari
yang penuh kesusahan tersebut.

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang telah memberikan hutang kepada
banyak orang. Ia berkata kepada pembantunya, ‘Jika kamu mendapati orang yang kesulitan membayar
hutang, maka maafkanlah dia. semoga Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.’ Maka ketika ia bertemu
Allah, Allah mengampuni segala dosanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Seorang laki-laki dari umat sebelum kalian dihisab.
Tidak didapatkan satu kebaikan pun padanya, kecuali dia suka bergaul dengan orang lain dan suka
memberi kemudahan. Dia menyuruh para pembantunya untuk memaafkan orang yang kesulitan.” Maka
Allah swt. berfirman, “Kamilah yang lebih berhak untuk memberi maaf daripada orang itu. Sudah,
berilah ia maaf.”
6. Di bawah naungan Allah swt.
Sahl bin Hanif ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membantu mujahid di jalan
Allah, orang yang mendapat kesulitan dalam hutang, atau budak yang ingin memerdekakan dirinya,
niscaya Allah akan menaunginya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan Allah swt.” (HR Ahmad)

7. Keteladanan dalam mentaati Allah swt.


Jika ada teladan dari orang-orang sebelum kita, maka generasi shahabat ra. juga merupakan teladan
yang paling baik. Mereka inilah yang benar-benar merefleksikan ayat, “Sesungguhnya jawaban orang-
orang mukmin, jika mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasulullah saw. menghukum
[mengadili] di antara mereka, mereka berkata, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ (an-Nuur: 51)”

Mereka ini senantiasa memberikan kemudahan kepada orang-orang yang mendapat kesusahan, semua
itu dilakukan sebagai refleksi dari akhlak yang mereka dapatkan langsung dari Rasulullah saw. juga hasil
dari ketaatan kepada Allah swt.

a. Suatu ketika Ka’ab bin Malik ra. menagih hutang kepada Ibnu Abi Khadrad di masjid. Suara keduanya
meninggi hingga didengar Rasulullah saw. maka Rasulullah saw. menyingkap tirai rumahnya dan
memanggil, “Wahai Ka’ab.” Ka’ab menjawab, “Labbaik ya Rasulullah.” Rasulullah saw. berkata,
“Bebaskanlah separuh hutangnya.” Ka’ab menjawab, “Saya sudah melakukannya, ya Rasulullah.” Maka
Rasulullah saw. berkata kepada Ibnu Abi Khadrad, “Berdiri dan bayarlah hutangmu.”

b. ‘Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. mendengar dua orang yang sedang bertengkar di balik pintu.
Orang yang satu meminta kepada yang satunya agar mengurangi seagian beban hutangnya. Akan tetapi
orang yang satunya menolak, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan melakukan hal itu.” Maka
Rasulullah saw. keluar dan berkata, “Siapa yang bersumpah dengan nama Allah untuk tidak melakukan
suatu kebaikan?” orang tersebut menjawab, “Saya, ya Rasulullah. Hutangnya aku bebaskan. Itu lebih
baik.” (Muttafaq ‘alaiH)

Sungguh mereka layak mendapat ridla dari Allah. Mereka adalah generasi yang tidak memerlukan
perintah berkali-kali untuk melakukan kebaikan. Mereka merasa cukup dengan isyarat.

8. Menutupi aib sesama muslim.


Banyak nash yang mendorong untuk menutupi aib atau rahasia seorang muslim. Banyak juga nash-nash
yang memperingatkan agar tidak mencari-cari aib seorang muslim untuk dipermalukan di depan orang
banyak. Salah satu hadits tersebut adalah hadits yang sedang kita bahas ini, dan banyak lagi yang lain,
antaranya:
Ibnu ‘Abbas ra. berkata: bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menutup aib saudaranya
sesama muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat. Sedangkan barangsiapa yang
membuka aib seorang muslim maka Allah akan membuka aibnya sehingga ia akan mendapat malu,
walaupun ia di rumahnya sendiri.” (HR Ibnu Majah)
Sebagian salafush shalih berkata, “Saya melihat suatu kaum yang tidak tampak memiliki aib
[kekurangan]. Akan tetapi mereka suka menyebut-nyebut kekurangan orang lain, maka orang lain pun
suka menyebut aib mereka. di sisi lain saya melihat kaum yang memiliki aib, namun mereka menahan
diri untuk tidak menyebutkan aib orang lain, maka aib mereka pun terlupakan.””
Mencari-cari kekurangan sesama muslim adalah satu tanda kemunafikan dan indikasi bahwa keimanan
belum mengakar dalam hati orang tersebut.

Ibnu ‘Umar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. naik ke atas mimbar dan memanggil dengan suara keras,
“Wahai orang-orang yang telah masuk Islam namun hanya sebatas lisan dan belum meyakini dengan
hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang muslim, jangan menghina mereka, dan jangan mencari-
cari aib mereka. karena siapapun yang mencari-cari aib sesama muslim, maka Allah akan mencari-cari
aibnya, lalu Allah akan menghinakannya meskipun ia sedang berada di tengah perjalanan.” (HR Tirmidzi)
Abu Barzah al-Aslami ra. berkata, “Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin.” (HR Abu Dawud dan
Ahmad)

9. Menutupi aib maksiat.


Jika seorang muslim melihat kesalahan seorang muslim, apakah ia harus merahasiakan atau justru
membeberkan kepada orang lain? Masalah ini tergantung pada kondisi orang tersebut.

a. Orang yang diketahui tidak pernah melakukan maksiat.


Artinya orang tersebut tidak pernah diketahui sedikitpun melakukan suatu kemaksiatan. Orang seperti
ini jika terperosok dalam suatu kesalahan, maka wajib untuk dirahasiakan. Tidak boleh membeberkan
atau membicarakan kesalahan yang telah diperbuat, karena hal ini merupakan ghibah yang dilarang
bahkan bisa dikategorikan dalam usaha menyebarluaskan keburukan.
Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Allah
Mahamengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (an-Nuur: 19)
Sebagian ulama berkata, “Bahwa maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji yang dilakukan oleh
seorang mukmin karena kealpaan, atau perbuatan keji itu baru sebatas tuduhan yang sebenarnya si
tertuduh tidak melakukannya.”
Adapula yang berkata, “Bahwa berusahalah untuk menutupi kemaksiatan, karena tersebarluasnya
kemaksiatan merupakan aib bagi umat Islam dan sebaik-baik perkara adalah menutupi aib.”
Yang dimaksud dengan kemaksiatan di sini adalah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
membiasakan diri dengan kemaksiatan. Ini bukan berarti tidak menasehatinya atau tidak melakukan
amar ma’ruf nahi munkar terhadapnya, justru itulah yang seharusnya dilakukan karena merupakan hak
muslim terhadap muslim lainnya.

b. Orang yang diketahui selalu melakukan kemaksiatan.


Mereka ini adalah orang-orang yang tidak peduli dengan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Menghadapi orang semacam ini, tidak perlu repot-repot merahasiakan kemaksiatan mereka, bahkan
disunnahkan menyebarluaskan di masyarakat, atau bisa jadi wajib, sehingga masyarakat berhati-hati
terhadap kejahatan yang dilakukannya.
Jika kejahatan semakin bertambah dan tidak takut samasekali terhadap masyarakat, maka harus
dilaporkan kepada pihak yang berwajib agar ia mendapat hukuman atas kejahatannya.
Merahasiakan kejahatan kejahatan seperti ini hanya akan membuat orang-orang seperti ini merasa
tenang bahkan kejahatan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka membuat kerusakan di muka bumi dan
menyebarluaskan kekacauan di tengah masyarakat. Mereka ini sudah selayaknya untuk dicari dan
ditangkap agar bibit-bibit fitnah terbasmi dari tengah masyarakat.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Unais, pergilah untuk menyelidiki wanita ini, jika
ia mengaku maka rajamlah ia.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Sabda Rasulullah saw. ini sehubungan dengan adanya pengaduan bahwa seseorang telah berzina
dengan wanita yang dimaksud dalam hadits.

10. Mengadukan dosa yang telah dilakukan ke hakim (pengadilan)


Seorang muslim jika melakukan suatu kesalahan dan kesalahan yang dilakukan tidak diketahui orang
lain, maka ia disunnahkan untuk bertaubat, sedangkan kesalahan yang dilakukan hanya menjadi urusan
dia dan Tuhannya.
Abdullah bin Mas’ud ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan
berkata, “Ya Rasulullah, saya telah bersenang-senang dengan seorang wanita di perbatasan kota, tetapi
saya tidak sampai menyetubuhinya, maka bagaimana ini? Putuskanlah hukuman sekehendakmu. Umar
ra. berkata, “Allah sebenarnya telah merahasiakan masalahmu andai kamu juga merahasiakannya.” (HR
Bukhari)
Jika ia mengadukan masalahnya kepada hakim, dengan rasa penyesalan, dan ia tidak merincikan
kesalahan yang ia lakukan, maka hakim disunnahkan untuk tidak mengorek lebih jauh dosa yang
dilakukan. Bahkan sedapat mungkin menyarankan orang bersangkutan untuk merahasiakan dosa yang
dilakukannya.
Anas bin Malik ra. menceritakan bahwa saat itu ia bersama Rasulullah saw. lalu datang seorang laki-laki
dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melanggar hukum, maka hukumlah saya.”Rasulullah saw.
tidak berkomentar. Saat waktu shalat datang, laki-laki itupun shalat bersama Rasulullah saw. Setelah
Rasulullah saw. selesai shalat, laki-laki itu kembali berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melanggar
hukum, maka tegakkanlah kitabullah [ketentuan Allah] kepadaku.” Rasulullah bertanya, “Bukankah
kamu sudah shalat bersama kami?” ia menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh Allah telah
mengampuni dosamu.”(HR Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah ra. juga menceritakan kisah lain, saat Rasulullah saw. berada di masjid, seorang laki-laki
datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya sudah berzina.” Mendengar ucapan tersebut, Rasulullah
memalingkan wajah ke arah lain. Laki-laki itu bergeser ke arah pandangan Rasulullah saw. dan
menyatakan hal yang sama. Setelah hal itu berulang empat kali, Rasulullah saw. bertanya, “Apakah
kamu gila?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Kamu sudah menikah?” ia menjawab, “Sudah.”
Rasulullah saw. berkata kepada para shahabat, “Bawalah dia dan rajamlah.” (HR Bukhari)
Ibnu Abbas menceritakan, ketika Maiz bin Malik datang kepada Rasulullah saw. dan mengaku telah
berbuat zina, beliau berkata, “Bisa jadi kamu Cuma mencium, menyentuh atau memandangnya.”
Ini semua apabila yang melakukan kemaksiatan adalah dirinya sendiri. Sedangkan jika orang lain yang
melakukannya, maka ketentuannya sepertiyang telah diterangkan pada poin 9 di atas.
11. Jika mengetahui orang yang sedang melakukan maksiat.
Perkara-perkara di atas adalah manakala kemaksiatan tersebut telah usai dilakukan. Adapun jika
seseorang mengetahui seseorang yang sedang melakukan kemaksiatan, maka ia tidak boleh
mendiamkan atau merahasiakannya. Namun justru harus bersegera untuk mencegah, jika mampu. Jika
tidak mampu, maka harus segera melaporkan kepada pihak berwajib. Ini sebagai refleksi dari sabda
Nabi, “Barangsiapa mengetahui kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangan.”

12. Meminta maaf bagi orang yang melakukan maksiat.


Jika seorang muslim terperosok dalam kesalahan, sedangkan ia tidak pernah terlihat melakukan
kemaksiatan dan dalam masyarakat dikenal bahwa dia adalah orang yang istiqamah dan shalih, maka
bagi siapa saja yang mengetahui kesalahan tersebut disunnahkan untuk merahasiakan, bahkan
dianjurkan untuk meminta maaf kepada orang yang dirugikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Lupakanlah kesalahan orang-orang yang dikenal keistiqamahannya.” (HR Abu
Dawud)
Namun bila yang melakukan maksiat dikenal dengan kefasikan dan kejahatannya ditengah masyarakat,
maka maksiat yang dilakukan orang itu harus diungkap, dan tidak perlu minta maaf. Semua itu dilakukan
agar kejahatan terkuak dan orang-orang yang serupa akan merasa takut dan jera. Imam Malik berkata,
“Adapun orang yang dikenal dengan kejahatannya, maka tidaka perlu mendapat ampun. Ia harus
dijatuhi hukuman.”

13. Ampunan tidak bisa diberikan ketika kesalahan sudah ditangani hakim.
Anjuran untuk mengampuni orang yang berbuat kesalahan di atas berlaku ketika masalahnya belum
diangkat ke pengadilan. Jika suatu kasus sudah diangkat ke pengadilan, maka diharamkan memberi
ampunan, bahkan hanya sekedar jadi penengah [untuk diringankan hukumnya] merupakan suatu
kemaksiatan dan akan mendapatkan dosa.
Imam Malik berkata, “Jika seseorang tidak pernah diketahui menyakiti orang lain, kemudian melakukan
satu kesalahan, maka boleh diampuni selama masalahnya belum ditangani pengadilan.”
Dasar dari hal ini adalah hadits yang diceritakan ‘Aisyah, “Suku Quraisy merasa sedih karena ulah wanita
Makhzumy yang mencuri. Mereka kemudian bertanya, “Siapa yang bisa melobby Rasulullah saw. agar ia
tidak dipotong tangannya?” mereka kemudian menunjuk Usamah bin Zaid ra. karena kedekatannya
dengan Rasulullah saw. Usamah ra. lalu melobby Rasulullah saw. Mendengar apa yang diinginkan
Usamah, Rasulullah saw. pun bersabda, “Apakah kamu memintakan keringanan berkaitan dengan
hukum Allah?” Rasulullah saw. lalu berdiri dan berkhutbah, “Sesungguhnya yang menghancurkan umat
sebelum kamu adalah kebiasaan mereka yang mengampuni pencuri dari golongan bangsawan.
Sedangkan jika yang melakukan pencurian adalah rakyat jelata, maka hukum mereka tegakkan. Demi
Allah andai Fathimah putri Muhammad mencuri, tentu akan aku potong tangannya.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dalam suatu riwayat disebutkan, ketika selendang Shafwan Ibnu Umayah ra. dicuri, Rasulullah
memerintahkan untuk memotong tangan pencuri. Shafwan lalu berkata kepada Rasulullah saw., “Saya
tidak menginginkan itu ya Rasulullah, biarlah selendang saya itu saya shadaqahkan kepadanya.”
Rasulullah saw. menjawab, “Mengapa tidak engkau lakukan itu sebelum membawanya [pencuri]
kemari.” (HR Nasa’i, Ibnu Majah, Malik, hadits Mursal)
Malik ra. meriwayatkan dalam al-Muwatha’, Sesungguhnya Zubair bin Awam ra. bertemu dengan
seorang lelaki yang menangkap pencuri dan hendak membawanya kepada penguasa. Maka Zubair
memohonnnya untuk memaafkan pencuri itu. Namun laki-laki itu berkata, “Tidak, hingga saya tiba di
tempat sultan.” Zubair berkata, “Jika kamu telah tiba di tempat sultan, maka Allah melaknat orang yang
memintakan ampun dan yang memberi ampun.”
Adapun hikmahnya jika pengampunan bisa diberikan ketika kasus sudah berada di tangan hakim, maka
kerusakan akan semakin merajalela di tengah masyarakat. Segala hak akan terabaikan, para pelaku
kerusakan dan perbuatan keji lainnya akan merasa di atas angin. Mereka akan berusaha mengendalikan
hakim. Wibawa hakim akan semakin tidak ada sama sekali di hadapan mereka. dalam kondisi seperti ini
harapan orang-orang yang berusaha menegakkan kebaikan akan semakin berkurang, bahkan
masyarakat benar-benar berada di tepi jurang kehancuran.
Karenanya para hakim diminta untuk tegas dalam masalah ini, dengan meneladani Rasulullah saw.
dalam berbagai sikapnya sebagaimana di atas.
Firman Allah: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa adzab yang pedih.” (an-Nuur: 63)

14. Penafsiran lain.


Ibnu Hajar al-Haitamy memberikan penafsiran lain tentang “menutupi atau merahasiakan.” Beliau
berkata, “Yang dimaksud dengan menutupi adalah menutupi aurat yang konkrit maupun abstrak dengan
mencarikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Misalnya menolong seseorang yang ingin
menikah, dengan cara membantu secara langsung. Atau mencarikan pekerjaan bagi saudaranya yang
sedang menganggur, atau yang lainnya.”
Alangkah indahnya jika kaum muslimin saat ini memahami makna ini. Karena masyarakakt akan
terhindar dari kejahatan dan kerusakan, terutama yang kita saksikan dari kenakalan para pemuda dan
pemudi yang disebabkan ketidakmampuan mereka untuk menikah dan banyaknya rintangan yang
dihadapi oleh generasi muda dalam usaha untuk membentengi diri mereka dari kemaksiatan. Sementara
kaum muslimin tenggelam dalam kelalaian, dikuasai oleh budaya impor dan tradisi usang yang
bertentangan dengan Islam. Mereka dikuasai oleh budaya bermegah-megahan, saling membanggakan
diri dan ambisi mencari popularitas. Maka jadilah para pemuda kita yang suci sebagai korban. Padahal
Rasulullah telah berpesan kepada umat ini agar memperhatikan generasi muda. Untuk itu umat Islam
dituntut untuk berusaha memberikan kecukupan kebutuhan materi dan ruhani kepada anak-anaknya,
sehingga agama dan masyarakatnya terjaga, serta mendapatkan keselamatan di sisi Tuhannya.

15. Tolong menolong antara sesama muslim, dan pertolongan Allah kepada mereka.

16. Teladan yang baik dan salafush shalih.


Rasulullah adalah teladan dalam setiap apa yang ia serukan. Beliau adalah contoh yang paling agung
dalam memberikan bantuan terhadap para shahabatnya, terutama shahabat yang memerlukan.
Putri Khabab bin Arut ra. berkata, “Suatu ketika Khabab pergi berperang. Lalu Rasulullah mengunjungi
kami, bahkan beliau sempat memerah susu hingga memenuhi mangkuk besar. Setelah Khabab datang,
ia memerahnya, dan sejak itu, susu hasil perahan kembali seperti semula.” (HR Ahmad)
Demikian pula para shahabat Nabi. Mereka adalah murid-murid yang cerdas, dan pengikut yang baik.
Mereka ikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. begitu juga generasi setelah mereka. semoga Allah
meridlai mereka semua.
Abu Bakar ra. misalnya, sebelum menjadi khalifah beliau suka membantu memerah susu di kampung
yang banyak ditinggal pergi kaum lelakinya. Ketika beliau diangkat menjadi khalifah, salah seorang
wanita dari kampung tersebut berkata, “Sekarang dia tidak akan memerah susu lagi.” Ketika ucapan itu
sampai ke telinga Abu Bakar, iapun berkata, “Tidak…saya berharap apa yang saya alami sekarang tidak
membuatku berubah dari apa yang telah aku kerjakan.”
Umar bin Khaththab juga demikian. Ia sering menolong janda tua, mengambil air untuk mereka pada
malam hari. Suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah ra. melihat Umar memasuki rumah seorang wanita pada
malam hari. Paginya Thalhah menyelidiki rumah tersebut, ternyata di rumahnya ada seorang wanita tua
lumpuh, dan buta. Thalhah kemudian bertanya kepada wanita tadi, “Apa yang dilakukan oleh laki-laki
tadi malam?” ia menjawab, “Dia sejak lama mengunjungiku. Memberi ini dan itu, membantuku, dan
meringankan kesulitanku.” Mendengar jawaban itu semua Thalhah lalu mencerca dirinya sendiri,
“Celaka engkau ya Thalhah, pantaskah engkau menyelidiki Umar?!”
Abu Wail ra. berkeliling kepada wanita-wanita tua yang ada dikampungnya setiap hari. Dia membelikan
kebutuhan mereka dan membantu keperluan mereka yang lain.
Mujahid berkata, “Saya menemui Ibnu Umar dalam sebuah perjalanan untuk melayani kebutuhannya.
Namun justru dialah yang melayani kebutuhanku.”
Hasan al-Bashri mengutus murid-muridnya kepada seorang laki-laki. Dia berkata kepada mereka,
“Datangilah Tsabit al-Banani dan ajaklah dia pergi bersama kalian.” Maka mereka datangi ke Tsabit,
namun dia berkata kepada mereka, “Saya sedang beriktikaf.” Mereka kembali kepada Hasan dan
menceritakan hal itu. Beliau berkata kepada mereka, “Katakanlah kepadanya, ‘Wahai A’masy,tidakkah
kamu tahu bahwa berjalanmu untuk memenuhi kebutuhan saudaramu sesama muslim lebih baik
daripada haji setelah haji.’” Mereka pun kembali kepada Tsabit, dan mengatakan apa yang
diperintahkan oleh Hasan. Maka Tsabit meninggalkan iktikafnya dan pergi bersama mereka.

17. Jadilah pembela, niscaya kamu mendapat pahala.

18. Jalan menuju surga.


Islam adalah syarat untuk mendapatkan keselamatan di sisi Allah swt. Sementara Islam tidak akan
terlaksana kecuali dengan ilmu, karena seseorang tidak akan mengenal Allah kecuali dengan ilmu. Maka
ilmu adalah jalan yang paling pendek yang bisa mengantarkan seseorang kepada Allah swt.
Tidak heran jika Rasulullah saw. menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah jalan menuju surga. Ini jelas
disebutkan dalam hadits di atas, “Dan barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk memperoleh ilmu,
maka Allah akan memberikan jalan kemudahan baginya menuju surga…”
Bukti terkuat atas apa yang dikatakan di atas, bisa dilihat bahwa Allah swt. menjadikan wahyu
pertamnya kepada Rasulullah saw. dengan menitik beratkan masalah ilmu dan sarana untuk
mendapatkan ilmu. Juga mengingatkan betapa pentingnya ilmu untuk mengenali kebesaran Sang
Pencipta dan rahasia penciptaan.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5)

19. Kedudukan ilmu dalam Islam.


Karena ilmu merupakan jalan menuju surga, maka ilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam.
Karena itu orang-orang yang berilmu menempati kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt. bahkan
mendekati kedudukan para Nabi. Allah swt. berfirman: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham
maupun dinar, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya berarti telah mengambil
bagian yang cukup.” (HR Tirmidzi dan lainnya)

20. Hukum menuntut ilmu.


Mencari ilmu hukumnya wajib, yang terinci dalam dua kategori:
a. Fardlu ‘Ain
Semua muslim diwajibkan untuk menuntutnya. Yaitu hal-hal yang harus diketahui setiap muslim, agar
aqidahnya tidak sesat, ibadahnya benar, dan perilakunya sesuai dengan syariat Allah. Inilah yang
diperintahkan dalam ayat-Nya,
“Maka ketahuilah, bahwa tiada Ilah [yang Haq] melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Ini juga yang dimaksud dalam hadits Nabi, “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” (HR Ibnu
Majah)

b. Fardlu kifayah
Yaitu menuntut ilmu dengan maksud untuk mendalami berbagai ilmu syar’i dan mengambil spesialisasi
terhadap suatu ilmu yang dibutuhkan masyarakat muslim, untuk menjaga eksistensinya dan demi
terciptanya negara yang penuh dengan kebenaran dan keadilan, hingga menjadi negara yang kuat dan
berwibawa serta tidak ada satupun musuh yang berani mengacaukannya.
Inilah yang diisyaratkan dalam al-Qur’an:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-
tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)
Mendalami ilmu seperti di atas, atau memiliki spesialisasi ilmu tertentu disunnahkan bagi setiap muslim.
Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan.” (ThaaHaa: 114)
Juga sabda Nabi dalam sebuah riwayat, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi baik maka Allah
akan memberi pengetahuan dalam agama.” (Muttafaq ‘alaiH)

21. Ilmu adalah cahaya.


Telah kita ketahui bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan mendapatkan keridlaan-Nya serta
mendapatkan keselamatan di sisi-Nya pada hari kiamat kecuali melalui ilmu. Ilmu adalah cahaya yang
menerangi gelapnya kebodohan, dan menepis segala keraguan.
Allah berfirman: “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke
jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(al-Maidah: 16)
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya [al-Qur’an], mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-
A’raaf: 157)
Hanya ulama yang ikhlas dan beramallah yang dapat mewarisi ilmu Nabi. Dalam sebuah riwayat
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham ataupun dinar, akan
tetapi mereka mewariskan ilmu.” (HR Tirmidzi dan lainnya)
Merekalah yang menjadi panji kebenaran dan menara yang menerangi umat dalam mengarungi
kehidupan, sehingga semuanya mendapatkan kebahagiaan, kemenangan, dan kemuliaan. Diriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan ulama di muka bumi, bagaikan bintang gemintang di
langit yang menerangi gelapnya daratan dan lautan. Jika bintang telah padam, dikhawatirkan manusia
akan sesat.” (HR Ahmad)
Karena itu, selama masih ada ilmu, masyarakat masih tetap akan berada dalam petunjuk dan kebaikan.
Akan tetapi keberadaan ilmu sangat tergantung dengan keberadaan ulama. Jika ulama telah tiada, ilmu
pun sirna, masyarakatpun akan sesat dan melewati jalan kesesatan, bergelimang ke dalam perbuatan
keji dan menuju kehancuran.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw.bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja dari
manusia. Akan tetapi mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Apabila ulama tidak tersisa
lagi, mereka mengangkat pemimpin yang bodoh. Mereka menanyakan tentang satu perkara yang
dijawab dengan tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaq ‘alaiHi)

22. Ya Allah tambahkanlah ilmuku.


Seorang muslim tidak berhenti pada suatu tahapan yang dianggap telah sempurna. Akan tetapi ia terus
berusaha menambah keutamaan. Jika ilmu yang bermanfaat adalah perlambang dari keutamaan, maka
seorang muslim tidak akan pernah puas dengan ilmu. Bagaimana akan puas jika tauladannya, Rasulullah
saw. merealisasikan perintah Allah dalam firman-Nya, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah
kepadaku ilmu pengetahuan.’” (ThaaHaa: 114)
Setelah turun ayat ini beliau bersabda: “Tidak ada keberkahan dengan terbitnya matahari jika hari ini
aku tidak menambah ilmu yang dapat mendekatkan diriku kepada Allah.”
Kenikmatan mencari ilmu juga mendorong untuk senantiasa mencari dan mencari. Ini adalah realita
yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Dua kegemaran yang tidak akan pernah
terpuaskan, menuntut ilmu dan mencari dunia.” (HR al-Bazzar dan lainnya)
Dalam mencari dan menambah ilmu tergantung pada taufik dari Allah swt. Jika menuntut ilmu dilakukan
dengan ikhlas dan demi mencari keridlaan Allah untuk menjaga akhlaknya dan supaya orang lain bisa
mendapatkan manfaatnya, maka Allah akan memudahkan untuk mendapatkan ilmu yang dimaksudkan.
Bahkan Allah juga akan membukakan berbagai ilmu yang bermanfaat lainnya.
Firman Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang
yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)

23. Mengamalkan ilmu, mendapatkan ilmu yang lain.


Bimbingan dari Allah sampai pada ujungnya dan kemudahan yang diberikan-Nya sampai pada
puncaknya ketika ilmu bersatu dengan amal, perkataan sesuai dengan perbuatan. Allah swt. berfirman:
“Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” (al-
Baqarah: 282)
Seringkasi seorang muslim mempelajari ilmu dan mengamalkannya, maka ia telah menapak jalan
menuju surga dan lebih dekat kepada Allah. Semakin seorang hamba dekat dengan Allah, maka ia akan
semakin mendapatkan taufik untuk mendapatkan ilmu. Dengan demikian menambah ilmu, disertai
dengan amal akan semakin menambah hidayah dan ketakwaan. Demikianlah para ulama tak henti-
hentinya mencari ilmu dan mengamalkannya, sehingga mendapatkan hidayah yang sempurna dan
berhasil mendapatkan tempat yang tinggi di sisi Allah swt.
Firman Allah: “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan
amal-amal yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya.” (Maryam:
76)
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan
kepada mereka [balasan] ketakwaannya.” (Muhammad: 17)

24. Peringatan bagi ilmu yang tidak diamalkan.


Telah kita ketahui bahwa ulama bagaikan pelita yang menerangi sekitarnya. Jika mereka tiada, maka
masyarakat akan tersesat dari jalan yang lurus. Lebih bahaya lagi manakala mereka menyimpang dari
jalur yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. mereka tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki, sehingga
perbuatan mereka tidak sama dengan apa yang diucapkan dan menjadi teladan yang tidak baik bagi
masyarakat dengan melakukan maksiat kepada Allah, mengajarkan kemunkaran dan tidak melakukan
hal-hal yang ma’ruf. Inilah yang telah diperingatkan secara tegas oleh Allah swt. dalam ayatnya:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaaf: 3)
“Mengapa kamu suruh orang lain [mengerjakan] kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri
[kewajibanmu] sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab [Taurat]? Maka tidakkah kamu berfikir?” (al-
Baqarah: 44)
Usamah bin Zaid berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat ada seorang laki-laki yang
dicampakkan ke nereka, lalu seluruh isi perutnya terburai keluar. Ia kemudian berguling-guling seperti
keledai yang memutari penggilingan. Melihat hal tersebut penghuni nereka bertanya kepadanya, “Ya
fulan, apa yang terjadi dengan dirimu? Bukankah kamu telah melakuan amar ma’ruf nahi munkar?” Ia
menjawab, “Memang, saya telah melakukan amar ma’ruf tetapi saya tidak melaksanakannya. Saya juga
telah melakukan nahi munkar tetapi saya sendiri justru melakukan kemunkaran itu.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. juga bersabda, “Pada malam saya diisra’kan, saya bertemu dengan
sekelompok orang yang menggunting lidahnya dengan gunting dari api, lalu saya bertanya kepada Jibril,
“Siapa orang-orang itu wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah penceramah dari umatmu. Orang-
orang yang berkata tetapi tidak berbuat.” (dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas ra. dengan sedikit
perbedaan redaksi)
Riwayat Baihaqi menyebutkan, “Mereka membaca kitabullah akan tetapi tidak mengamalkannya.”
Diriwayatkan bahwa dalam sabdanya yang lain, “Tidaklah kaki seorang hamba melangkah [pada hari
kiamat] kecuali akan ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang
ilmunya bagaimana ia mengamalkannya, tentang hartanya darimana ia dapat dan kemana ia infakkan,
tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (HR Tirmidzi)

25. Menyebarkan ilmu.


Islam mendorong untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya.
Allah berfirman: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya,” (at-Taubah: 122)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah menjadikan tampak indah seseorang yang
mendengar dariku sesuatu lalu ia sampaikan kepada orang lain apa yang ia dengar. Boleh jadi orang
yang kepadanya disampaikan [sabadaku] lebih paham daripada orang yang mendengar.” (HR Tirmidzi)
Penyebaran ilmu juga merupakan amalan yang baik dan pahalanya akan terus mengalir meskipun telah
meninggal. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika anak Adam meninggal dunia, maka
semua amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR Muslim dan lainnya)
“Shadaqah yang paling afdlal adalah seseorang mempelajari suatu ilmu, lalu mengajarkannya kepada
saudaranya sesama muslim.” (HR Ibnu Majah)

26. Ikhlas dalam menuntut ilmu.


Bagi orang yang menuntut ilmu hendaknya mengikhlaskan niat hanya karena Allah. Di samping itu juga
harus diingat bahwa semua itu hendaknya dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian
agamanya dan mengajarkan kepada orang lain. Jangan sampai mempunyai keinginan untuk
mendapatkan sesuatu yang sifatnya duniawi: kedudukan, materi, ketenaran, bangga diri dan lain
sebagainya. Karena semua itu hanya akan membuat ilmu yang dimilikinya sia-sia belaka dan bahkan
akan mendapatkan murka dari Allah swt.
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang
mestinya mencari keridlaan Allah, namun ia mencarinya hanya karena menginginkan kepentingan
duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harum baunya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud)
Ka’ab in Malik ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu untuk membantah
ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan agar dipuji orang, maka Allah akan memasukkannya ke
dalam neraka.” (HR Tirmidzi dan lainnya)
Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diputuskan
perkaranya pada hari kiamat adalah seorang belajar ilmu dan mengajarkannya, dan membaca al-Qur’an.
Orang itu didatangkan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diperoleh. Allah swt berfirman,
“Apa yang kamu perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, “Saya mempelajari ilmu dan
mengajarkannya, dan saya membaca al-Qur’an karena-Mu.” Allah swt. berfirman, “Bohong. Kamu
menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang pandai membaca al-Qur’an.” Kemudian Allah
memerintahkan agar orang itu diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim dan lainnya)

27. Jangan malu mengatakan tidak tahu.


Termasuk tanda keikhlasan bagi orang yang menuntut ilmu atau mengajarkannya adalah tidak malu
untuk mengatakan tidak tahu. Hal ini justru menunjukkan keyakinan dan kebenaran apa yang dikatakan.
Banyak ulama yang ditanya tentang berbagai masalah, dia menjawab sebagian masalah yang
diketahuinya, namun ia lebih banyak menjawab tidak tahu. Sehingga dikatakan bahwa “tidak tahu”
adalah setengah dari ilmu. Karena ia merupakan tanda bahwa pengucapnya adalah orang yang
terpercaya dalam kata-katanya. Rasulullah saw. sendiri, meski derajatnya begitu tinggi, namun ketika
ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahui beliau secara jujur mengatakan, “Tidaklah yang ditanya
lebih tahu daripada yang bertanya.” Semua itu memang wajar, karena Allah sendiri berfirman: “….dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Israa’: 85)

28. Adab menuntut ilmu.


Termasuk adab menuntut ilmu adalah berusaha untuk menemui para ulama, menyertai mereka baik
ketika mereka menetap maupun mereka sedang bepergian, membantu menyiapakan keperluannya
serta berusaha mendapatkan ilmu dan berbagai adab darinya.
Allah swt. berfirman, ketika menceritakan Nabi Musa as. bersama Nabi Khidhir as, “Musa berkata
kepada Khidhir, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di
antara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu.” (al-Kahfi: 66)

29. Dzikir kepada Allah swt.


Dzikir kepada Allah merupakan ibadah yang paling mulia. Allah berfirman: “Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (al-Ankabuut: 45)
Hal ini dikarenakan dzikir kepada Allah dapat membawa seseorang untuk senantiasa komitmen
terhadap hukum-hukum Allah, dalam setiap sisi kehidupannya. Dengan dzikir seseorang akan senantiasa
merasakan bahwa ia selalu diawasi Allah swt. merasa bahwa Allah sangat dekat dengan dirinya sehingga
semua aspek kehidupannya benar, baik yang berhubungan dengan Allah atau hubungannya dengan
sesama makhluk. Karena itulah seorang muslim diperintahkan untuk selalu berdzikir dalam segala situasi
dan kondisi.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah [dengan menyebut nama] Allah, dzikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (al-Ahzab: 41-42)
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat[mu], ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk,
dan di waktu berbaring.” (an-Nisaa’: 103)

30. Dzikir yang paling baik adalah Kitabullah.


Sebaik-baik dzikir kepada Allah adalah dengan membaca al-Qur’an. Karena disamping berupa dzikir, di
dalam al-Qur’an terdapat berbagai hal yang harus dipegang teguh oleh seorang muslim atau perkara
yang harus dijauhi, sehingga itu semua sebagai acuan untuk melangkah agar bisa mendapatkan
kebahagiaan yang hakiki.
Firman Allah: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl: 44)
“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.” (Yaasiin: 69)
“Ini adalah peringatan. Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar [disediakan]
tempat kembali yang baik.”
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang
mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)

31. Memakmurkan masjid.


Tempat yang paling baik untuk berdzikir kepada Allah untuk membaca al-Qur’an dan mengajarkan ilmu
adalah masjid, karena masjid adalah rumah Allah. Memakmurkan masjid adalah dengan ilmu [belajar
dan mengajar] dan dzikir, di samping juga dengan berbagai ibadah lainnya; shalat, i’tikaf dan lain
sebagainya.
Firman Allah: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan
(dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada
mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah
menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya
tanpa batas.” (an-Nuur: 36-38)

32. Membaca al-Qur’an merupakan ibadah yang unik.


Membaca al-Qur’an merupakan ibadah yang diperintahkan, dan al-Qur’an akan menjadi pemberi syafaat
bagi orang yang membacanya di sisi rabb-nya kelak.
Firman Allah: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabbmu [al-Qur’an].” (al-
Kahfi: 27)
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab [al-Qur’an] dan dirikanlah shalat…” (al-
Ankabuut: 45)
“Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci
dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang
berserah diri. Dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka Barangsiapa yang
mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan
Barangsiapa yang sesat Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang
pemberi peringatan”. (an-Naml: 91-92)
‘Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca al-Qur’an dan menghafalnya akan
bersama para malaikat yang mulia. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an dan mengulang-
ulanginya dengan susah payah, maka ia mendapat dua pahala.”(HR Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari
kitab Allah, dan kebaikan itu akan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan “alif
laam miim” satu huruf, akan tetapi laif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR Tirmidzi)
Abu Umamah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah al-Qur’an, karena al-Qur’an pada hari
kiamat akan datang kepada orang yang membacanya untuk memberi syafaat.” (HR Muslim)
Yang lebih unik lagi karena mendengar bacaan al-Qur’an tidak kalah pahalanya dengan membacanya.
Bahkan mendengar bacaan al-Qur’an merupakan sarana untuk memperoleh pengampunan dari Allah
swt.
Firman Allah: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (al-A’raaf: 104)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mendengar ayat al-Qur’an, maka
baginya kebaikan yang dilipatgandakan. Sedangkan bagi yang membacanya akan mendapatkan cahaya
pada hari kiamat.”(HR Ahmad)
Karena itulah Rasulullah senang mendengarkan bacaan al-Qur’an dari para shahabatnya.
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah al-Qur’an kepadaku.” Saya berkata,
“Saya membaca al-Qur’an kepadamu, padahal al-Qur’an turun kepadamu?” Rasulullah saw. menjawab,
“Saya rindu untuk mendengarkannya dari orang lain.” Saya lalu membaca surah an-Nisaa’, ketika sampai
pada ayat, “Maka bagaimanakah [halnya orang-orang kafir nanti], apabila kami mendatangkan seorang
saksi [rasul] dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu [Muhammad] sebagai saksi atas mereka
itu [sebagai umatmu].” (an-Nisaa’: 41) Rasulullah berkata kepadaku: “Cukup.” Saat itu saya melihat
kedua mata beliau meneteskan air mata.” (HR Bukhari dan Muslim)

33. Cahaya di atas cahaya.


Jika dalam membaca al-Qur’an dan saat mendengarkannya diiringi dengan usaha untuk mentadabburi
dan memahami dengan penuh kekhusyukan, maka pahala yang didapat akan semakin berlipat ganda,
cahayanya akan semakin bertambah. Semua itu adalah isyarat dari ketiggian kedudukan di sisi Allah swt.
Allah swt. berfirman: “Inilah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mereka mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran.” (Shaad: 29)
Ini juga diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah riwayat hadits bab, “Dan tidaklah suatu kaum
berkumpul di rumah-rumah Allah [masjid], membaca kitab Allah, dan mempelajarinya di antara
mereka…”
Keutamaan membaca al-Qur’an ini tetap akan didapat bagi siapapun yang mau melakukannya seperti
dalam hadits di atas di manapun, termasuk para wanita yang lebih disunnahkan untuk tetap tinggal di
rumah.
Tidak kita pungkiri bahwa memang para lelaki yang melakukannya di masjid lebih mendapat keutamaan,
karena mereka sekaligus memakmurkan masjid dan lebih bisa konsentrasi karena jauh dari hal-hal yang
bisa menyibukkan fikiran, bahkan masjid juga tempat yang suci, jauh dari kotoran dan benda najis
lainnya.
34. Karunia Allah dan keridlaan-Nya.
35. Ajaran Islam adalah ajaran yang manusiawi dan adil.
36. Perlindungan atas dasar iman.
37. Menuju kebahagiaan.
Jika ketinggian derajat hanya bisadicapai dengan amalan, perlindungan dan pertolongan Allah hanya
bisa diperoleh dengan ketakwaan, syafaat dan perlindungan dari Nabi Muhammad saw. terkait dengan
kesempurnaan iman, maka bagi manusia yang berakal sehat akan bersegera melakukan amalan-amalan
shalih dan tidak lagi bergantung pada keningratan nenek moyangnya.
Firman Allah: “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (an-Najm: 39)
Dengan demikian janji Rabbnya akan terealisasi, ketika syarat di atas telah terpenuhi, firman Allah:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman,
Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami
beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-
Nahl: 97)
Seorang muslim tidak akan rela dengan perlindungan apapun kecuali Allah swt., Rasul-Nya dan orang-
orang mukmin. Dengan begitu ia akan memutuskan semua pelindung dan tidak memenuhi kriteria
tersebut dan akan memutuskan hubungan dalam bentuk apapun dengan orang-orang kafir.
Firman Allah: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin.” (Ali ‘Imraan: 28)
Jika ini dilakukan, mereka akan mendapatkan kemenangan dari segala kekuatan kufur. Firman Allah:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). dan Barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya
pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 56)
“Tetapi [takutlah Allah], Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.”(Ali ‘Imraan: 150)

38. Hal-hal yang bisa diambil pelajaran dari hadits di atas.

a. Pahala yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sesuai dengan apa yang telah dilakukan seseorang.
Memberikan kemudahan dibalas dengan kemudahan, memberikan bantuan dibalas dengan
memberikan bantuan, menutup aib dibalas dengan menutupi aib dan begitu seterusnya.
Abi Sa’id al-Khudry ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang memberi makan seorang
yang lapar, Allah akan memberinya makan pada hari kiamat dengan buah dari surga. Barang siapa yang
memberi minum orang yang haus, Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dari khamr murni
yang diberi tanda khusus dari minyak kasturi. Dan barangsiapa yang memberi baju seseorang yang tidak
memiliki baju, Allah akan memakaikan baju padanya dengan baju hijau dari surga.” (Muttafaq ‘alaiH)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah juga bersabda, “Allah akan mengasihi kepada hamba-hamba-Nya yang
memiliki kasih sayang.” (Muttafaq ‘alaiHi)

b. Berbuat baik kepada makhluk merupakan jalan untuk mendapatkan kecintaan Allah, karena, “Semua
makhluk adalah tanggungan Allah, maka yang paling dicintai Allah adalah yang paling memberi manfaat
kepada tanggungan-Nya.” (HR Thabrani)
Biasanya seorang tuan suka berbuat baik kepada orang-orang yang berada dalam tanggungannya.
Sedangkan yang disebutkan dalam hadits berupa meringankan kesulitan orang lain dan yang lainnya
adalah bentuk perbuatan baik kepada makhluk dan memberi manfaat kepada mereka. maka, itu semua
adalah jalan untuk memperoleh kecintaan Allah.

c. Kabar gembira bagi seorang mukmin yang suka memudahkan, menolong maupun memberi bantuan
menyelesaikan kesulitan mukmin lainnya, ia akan mati dalam keimanan dan akan mendapatkan
kemudahan dan pertolongan Allah pada hari kiamat kelak.

d. Apa yang disebutkan tentang meringankan kesulitan dan yang lainnya adalah umum, terhadap orang
muslim dan non muslim yang tidak melakukan permusuhan kepada kaum muslimin. Berbuat baik
kepada mereka diperintahkan, bahkan hal itu pun berlaku pula bagi semua makhluk yang bernyawa.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan dalam
segala sesuatu…” juga bersabda:
“Dalam setiap jantung yang berdenyut terdapat pahala.”

e. Mewaspadai riya’, dalam menuntut ilmu agar segala sesuatu yang telah diusahakan tidak sia-sia.

f. Senantiasa memohon pertolongan dan kemudahan dari Allah, karena hidayah hanyalah pemberian
Allah semata, ketaatan hanyalah karena izin dan kemudahan yang telah diberikan-Nya. Tanpa itu, semua
yang kita lakukan tidak akan bermanfaat.

g. Senantiasa membaca al-Qur’an, dan berkumpul dalam rangka membaca, mempelajari, memahami,
mengamalkan, dan mengajarkannya. Juga tidak lupa membacanya ketika memulai acara-acara tertentu,
dan terhadap orang yang telah meninggal dunia.

h. Bersegera untuk bertaubat, istighfar, dan melakukan amal shalih. Allah swt. berfirman: “Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imraan: 133-
134)

Anda mungkin juga menyukai