Amalan yang terbaik adalah yang ajeg (kontinu) walau jumlahnya sedikit. Begitu pula
dalam shalat sunnah, beberapa di antaranya bisa kita jaga rutin karena itulah yang
dicintai oleh Allah. Apa saja amalan shalat sunnah tersebut? Berikut kami sebutkan
keutamaannya, semoga membuat kita semangat untuk menjaga dan merutinkannya.
Mengenai keutamaan shalat sunnah rawatib diterangkan dalam hadits berikut ini.
Ummu Habibah berkata bahwa ia mendengar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
Dalam riwayat At Tirmidzi sama dari Ummu Habibah, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Yang lebih utama dari shalat rawatib adalah shalat sunnah fajar (shalat sunnah
qobliyah shubuh). ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
َر ْك َعتَا ْالفَجْ ِر َخ ْي ٌر ِم ْن ال ُّد ْنيَا َو َما فِيهَا
“Dua rakaat sunnah fajar (subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no.
725)
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَى َش ْي ٍء ِم ْن النَّ َوافِ ِل َأ َش َّد ِم ْنهُ تَ َعاهُدًا َعلَى َر ْك َعتَ ْي
َ لَ ْم يَ ُك ْن النَّبِ ُّي
ْالفَجْ ِرأخرجه الشيخان
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat sunnah yang
kontinuitasnya (kesinambungannya) melebihi dua rakaat (shalat rawatib) Shubuh.” (HR.
Bukhari no. 1169 dan Muslim no. 724)
Kedua: Shalat Tahajud (Shalat Malam)
Allah Ta’ala berfirman,
ْاج ًدا َوقَاِئ ًما يَحْ' َذ ُر اَآْل ِخ' َرةَ َويَرْ ُج''و َرحْ َم' ةَ َربِّ ِه قُ''ل ٌ َِأ ْم َم ْن هُ َو قَان
ِ ت َآنَا َء اللَّي ِْل َس
ِ ون ِإنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر ُأولُو اَأْل ْلبَا
ب 'َ ون َوالَّ ِذ
َ ين اَل يَ ْعلَ ُم َ هَلْ يَ ْستَ ِوي الَّ ِذ
َ ين يَ ْعلَ ُم
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat
di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat
dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az Zumar: 9).
Yang dimaksud qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai
dengan khusu’ (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12: 115). Salah satu maksud ayat ini,
“Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan
orang yang tidak demikian?!” (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 7/166). Jawabannya,
tentu saja tidak sama.
ِ َعلَ ْي ُك ْم بِقِيَ ِام اللَّ ْي ِل فَِإنَّهُ َدْأبُ الصَّالِ ِحي َْن قَ ْبلَ ُك ْم َوهُ َو قُرْ بَةٌ ِإلَى َربِّ ُك ْم َو ُم َكفِّ َرةٌ لِل َّسيَِّئا
ٌت َو َم ْنهَاة
َع ِن اِإل ْث ِم
“Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat amalan
adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada
Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ” (Lihat Al Irwa’ no.
452. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Shalat hamba di tengah malam akan
menghapuskan dosa.” Lalu beliau membacakan firman Allah Ta’ala,
Ada yang berkata pada Al Hasan Al Bashri , “Begitu menakjubkan orang yang shalat
malam sehingga wajahnya nampak begitu indah dari lainnya.” Al Hasan berkata,
“Karena mereka selalu bersendirian dengan Ar Rahman -Allah Ta’ala-. Jadinya Allah
memberikan di antara cahaya-Nya pada mereka.”
Abu Sulaiman Ad Darini berkata, “Orang yang rajin shalat malam di waktu malam,
mereka akan merasakan kenikmatan lebih dari orang yang begitu girang dengan
hiburan yang mereka nikmati. Seandainya bukan karena nikmatnya waktu malam
tersebut, aku tidak senang hidup lama di dunia.” (Lihat Al Lathoif 47 dan Ghodzaul
Albaab 2: 504)
Imam Ahmad berkata, “Tidak ada shalat yang lebih utama dari shalat lima waktu
(shalat maktubah) selain shalat malam.” (Lihat Al Mughni 2/135 dan Hasyiyah Ibnu
Qosim 2/219)
Tsabit Al Banani berkata, “Saya merasakan kesulitan untuk shalat malam selama 20
tahun dan saya akhirnya menikmatinya 20 tahun setelah itu.” (Lihat Lathoif Al Ma’arif
46). Jadi total beliau membiasakan shalat malam selama 40 tahun. Ini berarti shalat
malam itu butuh usaha, kerja keras dan kesabaran agar seseorang terbiasa
mengerjakannya.
Ada yang berkata pada Ibnu Mas’ud, “Kami tidaklah sanggup mengerjakan shalat
malam.” Beliau lantas menjawab, “Yang membuat kalian sulit karena dosa yang kalian
perbuat.” (Ghodzaul Albaab, 2/504)
Lukman berkata pada anaknya, “Wahai anakku, jangan sampai suara ayam berkokok
mengalahkan kalian. Suara ayam tersebut sebenarnya ingin menyeru kalian untuk
bangun di waktu sahur, namun sayangnya kalian lebih senang terlelap tidur.” (Al
Jaami’ li Ahkamil Qur’an 1726)
ُّص' َدقَةٌ َو ُك''لَ ص َدقَةٌ َو ُكلُّ تَحْ ِمي' َد ٍة َ يُصْ بِ ُح َعلَى ُكلِّ ُسالَ َمى ِم ْن َأ َح ِد ُك ْم
َ ص َدقَةٌ فَ ُكلُّ تَ ْسبِي َح ٍة
ٌص' َدقَة َ 'ر ِ 'ص' َدقَةٌ َونَ ْه ٌى َع ِن ْال ُم ْن َك ِ 'ال َم ْعر
َ ُوف ْ 'ِص' َدقَةٌ َوَأ ْم' ٌر بَ 'ير ٍة َ 'ِص' َدقَةٌ َو ُك''لُّ تَ ْكبَ تَ ْهلِيلَ ٍة
ان يَرْ َك ُعهُ َما ِم َن الضُّ َحى ِ َك َر ْك َعت َ َِويُجْ ِزُئ ِم ْن َذل
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah.
Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid
(alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa
sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah.
Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari
kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan
shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.” (HR. Muslim no. 720)
Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam
hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah
menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha
sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,
ونَ ُّ يَقُ''و ُل « فِى اِإل ْن َس 'ا ِن ِس'ت-صلى هللا علي''ه وس''لم- ِ ْت َرسُو َل هَّللا ُ َأبِى ب َُر ْي َدةَ يَقُو ُل َس ِمع
ُ قَالُوا فَ َم ِن الَّ ِذى ي ُِطي.» ًص َدقَة
ق َ ص ٍل ِم ْنهَا ِ ق َع ْن ُكلِّ َم ْف َ َص ٍل فَ َعلَ ْي ِه َأ ْن يَت
َ ص َّد ِ َوثَالَثُ ِماَئ ِة َم ْف
ِ ْج ِد تَ ْدفِنُهَا َأ ِو ال َّش ْى ُء تُنَحِّ ي ِه َع ِن الطَّ ِر
يق فَِإ ْن لَ ْم ِ ال « النُّ َخا َعةُ فِى ْال َمس َ َك يَا َرسُو َل هَّللا ِ ق َ َِذل
»ك َ تَ ْق ِدرْ فَ َر ْك َعتَا الضُّ َحى تُجْ ِزُئ َع ْن
“Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap
persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan,
“Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai
Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas
ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu
melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (HR. Ahmad, 5:
354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi)
Imam Nawawi mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan
keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya
yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.” (Syarh Shahih
Muslim, 5: 234)
Asy Syaukani mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan
keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini
pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat
Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian,
sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.” (Nailul
Author, 3: 77)
Shalat isyroq termasuk bagian dari shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktu.
Waktunya dimulai dari matahari setinggi tombak (15 menit setelah matahari terbit)
setelah sebelumnya berdiam diri di masjid selepas shalat Shubuh berjama’ah. Dari
Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُّ َُص'لِّ َي ُس'ب َْحة
َ '' َك،الض' َحى
'ان ُ ْج ِد َج َما َع ٍة يَ ْثب
َ ُت فِي ِه َحتَّى ي ِ ْح فِي َمس ِ صالةَ الصُّ ب َ صلَّى َ َم ْن
ُ' َأ ْو ُم ْعتَ ِم ٍر تَا ًّما َح َّجتُهُ َو ُع ْم َرتُه،َكَأجْ ِر َحا ٍّج
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia
tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti
mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thobroni.
Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib 469 mengatakan bahwa hadits ini shahih
ligoirihi/ shahih dilihat dari jalur lainnya)
ص'لَّى َر ْك َعتَ ْي ِنَ الش' ْمسُ ثُ َّم ْ َصلَّى ْال َغ' َداةَ فِى َج َما َع' ٍة ثُ َّم قَ َع' َد يَ' ْ'ذ ُك ُر هَّللا َ َحتَّى ت
َّ طلُ' َع َ « َم ْن
« تَا َّم ٍة تَا َّم ٍة-صلى هللا علي''ه وس''لم- ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ َال ق َ َ ق.» ت لَهُ َكَأجْ ِر َح َّج ٍة َو ُع ْم َر ٍة
ْ ََكان
» تَا َّم ٍة
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk
sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat
dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda,
“Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
SHALAT-SHALAT SUNNAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
A. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
،ت فَقَ' ْد َأ ْفلَ َح َوَأ ْن َج َح 'ْ ص'لَ َح َ فَِإ ْن،ُصالَتُه َ ِإ َّن َأ َّو َل َما ي َُحا َسبُ بِ ِه ْال َع ْب ُد يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة ِم ْن َع َملِ ِه
:ك َوتَ َع''الَى َ َـال الرَّبُّ تَب
َ ـار َ َ ق،ْض ٍة َش ْيًئا
َ ص ِم ْن فَ ِريَ َ فَِإ ِن ا ْنتَق،ـاب َو َخ ِس َر 'َ ت فَقَ ْد َخْ َوِإ ْن فَ َس َد
'و ُن َس 'اِئ ُر َع َملِ ' ِه َ ص ِم َن ْالفَ ِري
ْ 'ْض ' ِة ثُ َّم يَ ُك َ َ فَيُ َك َّم ُل بِ ِه َما ا ْنتَق،ع ٍ اُ ْنظُر ُْوا هَلْ لِ َع ْب ِدي ِم ْن تَطَ ُّو
ك َ ِ َعلَى نَحْ ِو َذل.
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari
Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia.
Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada
yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah
hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia memiliki shalat sunnah maka shalat
wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan
wajibnya sebagaimana tadi.” [1]
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
C. Macam-Macamnya
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku ingat sepuluh raka’at dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at
sesudahnya. Dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya’, serta dua
raka’at sebelum shalat Shubuh. Pada saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm
tidak mau ditemui. Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan padaku bahwa jika
mu-adzin mengumandangkan adzan dan fajar (yang kedua) telah terbit, beliau shalat
dua raka’at.” [4]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah meninggalkan empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, dan dua raka’at sebelum
shalat Shubuh.” [5]
2. Shalat sunnah ghairu muakkadah: Dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar, Maghrib,
dan ‘Isya’.
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لِ َم ْن َشا َء:ـال فِي الثَّالِثَ ِة َ بَي َْن ُكلِّ َأ َذانَي ِْن،ٌصالَة
َ َ ثُ َّم ق،ٌصالَة َ بَي َْن ُكلِّ َأ َذانَي ِْن.
“Di antara dua adzan (antara adzan dan iqamat-ed.) ada shalat, di antara dua adzan
ada shalat.” Kemudian beliau berkata pada kali yang ketiga, “Bagi siapa saja yang
menghendakinya.”[6]
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar. Beliau memisahkan
antara raka’at-raka’at tadi dengan mengucapkan salam pada para Malaikat
muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah), dan yang mengikuti mereka dengan baik
dari kalangan muslimin dan mukminin.” [7]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
َ َر ِح َم هللاُ ا ْم َرًأ.
صلَّى قَب َْل ْال َعصْ ِر َأرْ بَعًا
“Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar.” [8]
Riwayat yang mengabarkan bacaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebagian
shalat tersebut
َوقُلْ يَآ َأيُّهَا،' قُلْ هُ َو هللاُ َأ َح ٌد،ت الس ُّْو َرتَا ِن يُ ْق َرُأ بِ ِه َما فِي َر ْك َعتَي ِْن قَب َْل ْالفَجْ ِر
ِ نِ ْع َم
ْ
ال َكافِر ُْو َن.
“Dua surat yang paling baik dibaca pada dua raka’at sebelum Shubuh adalah qul
huwallaahu ahad (al-Ikhlash) dan qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun). [9]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Pada dua raka’at shalat sunnah fajar,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca: quuluu aamannaa billaahi
wa maa unzila ilainaa, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah pada raka’at pertama. Dan
pada raka’at terakhir: aamannaa billaahi wasyhad bi annaa muslimuun.” [11] (Ali
‘Imran: 52).
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tidak bisa menghitung berapa
kali aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: qul yaa ayyuhal
kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at
sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.” [12]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul
Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama
Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 451, 452)], Sunan at-Tirmidzi (I/258 no.
411), Sunan an-Nasa-i (I/232).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 375)], Shahiih Muslim (I/239 no.
778).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/517 no. 6113)], Shahiih
Muslim (I/539 no. 781), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/321 no. 1434)
dan Sunan an-Nasa-i (III/198).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 440)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/58/
no. 1180, 1180), ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/271 no. 431),
dengan lafazh hampir serupa.
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1658)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul
Baari) (III/58 no. 1182), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/134 no. 1240)
dan Sunan an-Nasa-i (III/251).
[6]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/110 no. 627)], Shahiih
Muslim (I/573 no. 838), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/162 no. 1269),
Sunan at-Tirmidzi (I/120 no. 185), Sunan an-Nasa-i (II/28), Sunan Ibni Majah
(I/368 no. 1162).
[7]. Hasan: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 353)], Sunan at-Tirmidzi (I/269 no. 427).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 354)], Sunan at-Tirmidzi (I/270 no. 428),
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/149 no. 1257).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 944)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/163
no. 1114), Ahmad (al-Fat-hur Rabbani) (IV/225 no. 987), Sunan Ibni Majah
(I/363 no. 1150).
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 360)], Shahiih Muslim (I/502 no.
726), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/135 no. 1243), Sunan an-Nasa-i
(II/156), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1148).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 905)], Shahiih Muslim (I/502 no. 727),
Sunan an-Nasa-i (II/155), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/137 no.
1246).
[12]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 355)], Sunan at-Tirmidzi (I/ 270
no. 429)
Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kaum muslimin adalah adanya amalan-
amalan sunnah setelah Allah menetapkan adanya amalan-amalan yang wajib. Dengan
adanya amalan-amalan sunnah tersebut, maka semakin banyaklah kesempatan untuk
beramal bagi seorang muslim. Di antara amalan sunnah tersebut adalah apa yang
dikenal sebagai shalat sunnah.
Shalat rowatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib yang lima waktu,
baik itu dilaksanakan sebelum atau pun sesudahnya. Shalat rowatib yang dilakukan
sebelum shalat wajib dinamakan juga dengan shalat sunnah qobliyyah dan shalat
rowatib yang dilakukan sesudah shalat wajib dinamakan juga dengan shalat sunnah
ba’diyyah. Berdasarkan keterangan-keterangan hadits yang ada, berikut jumlah dan
waktu shalat rowatib yang boleh dilakukan : dua raka’at sebelum shubuh, empat
raka’at sebelum dan sesudah zuhur, empat raka’at sebelum ashar, dua raka’at
sebelum dan sesudah maghrib, serta dua raka’at sesudah ‘isya.
Sangat dianjurkan untuk merutinkan shalat rowatib 12 raka’at dalam sehari dan
semalam. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa shalat dalam sehari semalam dua belas raka’at maka akan dibangunkan
untuknya rumah di Surga, yaitu: empat raka’at sebelum zuhur dan dua raka’at
sesudahnya, dua raka’at sesudah maghr.ib, dua raka’at sesudah ‘isya, dan dua raka’at
sebelum shubuh” (HR. Tirmidzi, de
rajat : hasan).
Di antara seluruh shalat rowatib tersebut, yang paling utama untuk dilakukan adalah
dua raka’at sebelum shubuh, atau yang sering disebut dengan istilah shalat sunnah
fajar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua raka’at sunnah fajar
(shubuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim).
Di antara waktu yang terlarang untuk melaksanakan shalat sunah mutlak adalah : (1)
waktu setelah shalat shubuh sampai terbitnya matahari, (2) waktu ketika matahari
tepat lurus berada di atas kepala hingga sedikit tergelincir ke barat, dan (3) waktu
setelah shalat ashar ketika matahari sudah menguning hingga matahari
terbenam.
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat sunnah mutlak adalah sebuah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perbanyaklah bersujud (dengan shalat),
karena tidaklah engkau bersujud sekali kecuali Allah akan mengangkat satu derajat
untukmu dan menghapus satu kesalahan darimu” (HR. Muslim).
[3] Shalat Tahajjud
Shalat tahajjud sering juga disebut sebagai shalat malam atau qiyamul lail, yaitu
shalat sunnah yang boleh dilaksanakan di malam kapanpun, setelah seseorang
bangun dari tidurnya sampai waktu terbitnya fajar. Sedangkan waktu yang paling
utama untuk melakukan shalat tahajjud adalah pada sepertiga malam yang terakhir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat tahajjud, “Sebaik-baik
shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
Shalat tahajjud boleh dilaksanakan dengan cara dua raka’at-dua raka’at hingga
jumlah raka’at yang mampu dilakukan.
Shalat untuk gerhana matahari biasa disebut dengan isitlah shalat kusuf, adapun
shalat untuk gerhana bulan biasa disebut dengan istilah shalat khusuf. Tatacara
pelaksanaan shalat gerhana berbeda dengan shalat sunnah lainnya, diperlukan
pembahasan sendiri untuk menjelaskannya.
Penutup
Demikian di antara shalat sunnah yang kita dianjurkan untuk melaksanakannya.
Terdapat beberapa shalat sunnah lainnya yang belum disebutkan di dalam
pembahasan ini. Semoga kita dimudahkan untuk melakukan segala kebaikan.
TUNTUNAN SHALAT SUNNAH RAWATIB
Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah
disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib
diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu
dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah
rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam
riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia
seisinya” (HR. Muslim no. 725)
Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara
sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.
Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12
rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-
Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada
sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu):
empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah
maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-
Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)
3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh
Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah
shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah
sesudah maghrib:” surat Al Kafirun ( )قل يا أيها الكافرونdan surat Al Ikhlas ()قل هو هللا أحد. (HR.
At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah
no. 1166)
As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib
sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat
ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib
sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat
ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar
mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz
12/386&387)
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka
sholatlah sesudahnya empat rakaat“. (HR. Muslim no. 881)
As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka
terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat
rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)
Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan
rumah kalian bagai kuburan“. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)
Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari
masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib
ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya
waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)
Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada
tebusan kecuali hal itu“. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat
fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah,
23/90)
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh,
maka sholatlah setelah matahari terbit“. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-
albani)
Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan
sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan
sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?“. Maka
saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum
subuh, Tasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa“. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada
Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam
(terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan
Al-Albani menshahihkannya)
As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat
rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang
dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk
masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang
mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang
pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat
rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)
19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu
Dhuha
Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan
sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau
bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah
dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib
tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh),
tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)
Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu“.
(HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)
An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat
sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti
rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan
dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat
rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan
diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali
sholat fardhu..“, akan tetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang
berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia
untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat
fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)
23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah
Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?
As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini)
dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas
keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan
mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan
ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang
disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama
daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho'”. (Syarh
Al-‘Umdah, hal. 609)
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak
mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya
untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan
mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak
melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan
demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan
ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan
seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar
maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat
fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga
sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama'”.
(Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)
Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum
muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya
mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti
ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts
Al-‘Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)
As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat
jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah
selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat
rawatib?
29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun
Sholat Sunnah lainnya.
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’:
(Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan
yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah
(sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat
tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan
demikian juga sebagian perkataan fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib
merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang
lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat
maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang
sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan
perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk
mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)
Faedah:
Lembaran singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul
“Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.
Dan sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam
dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin