Anda di halaman 1dari 18

5 SHALAT SUNNAH

YANG BISA DIRUTINKAN


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.

Amalan yang terbaik adalah yang ajeg (kontinu) walau jumlahnya sedikit. Begitu pula
dalam shalat sunnah, beberapa di antaranya bisa kita jaga rutin karena itulah yang
dicintai oleh Allah. Apa saja amalan shalat sunnah tersebut? Berikut kami sebutkan
keutamaannya, semoga membuat kita semangat untuk menjaga dan merutinkannya.

Pertama: Shalat Sunnah Rawatib

Mengenai keutamaan shalat sunnah rawatib diterangkan dalam hadits berikut ini.
Ummu Habibah berkata bahwa ia mendengar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ْت فِى ْال َجنَّ ِة‬


ٌ ‫صلَّى ْاثنَتَ ْى َع ْش َرةَ َر ْك َعةً فِى يَ ْو ٍم َولَ ْيلَ ٍة بُنِ َى لَهُ بِ ِه َّن بَي‬
َ ‫َم ْن‬
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib) sehari semalam,
akan dibangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)

Dalam riwayat At Tirmidzi sama dari Ummu Habibah, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُّ ‫ْت فِى ْال َجنَّ ِة َأرْ بَ ًع''ا قَ ْب' َل‬


ِ '‫الظ ْه‬
‫'ر‬ ٌ ‫'و ٍم َولَ ْيلَ ' ٍة ثِ ْنتَ ْى َع ْش ' َرةَ َر ْك َع' ةً بُنِ َى لَ 'هُ بَي‬ ْ 'َ‫ص 'لَّى فِى ي‬ َ ‫َم ْن‬
‫صالَ ِة ْالفَجْ ِر‬
َ ‫ب َو َر ْك َعتَي ِْن بَ ْع َد ْال ِع َشا ِء َو َر ْك َعتَي ِْن قَب َْل‬
ِ ‫َو َر ْك َعتَي ِْن بَ ْع َدهَا َو َر ْك َعتَي ِْن بَ ْع َد ْال َم ْغ ِر‬
“Barangsiapa sehari semalam mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib), akan
dibangunkan baginya rumah di surga, yaitu: 4 raka’at sebelum Zhuhur, 2 raka’at
setelah Zhuhur, 2 raka’at setelah Maghrib, 2 raka’at setelah ‘Isya dan 2 raka’at sebelum
Shubuh.” (HR. Tirmidzi no. 415 dan An Nasai no. 1794, kata Syaikh Al Albani hadits ini
shahih).

Yang lebih utama dari shalat rawatib adalah shalat sunnah fajar (shalat sunnah
qobliyah shubuh).  ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
‫َر ْك َعتَا ْالفَجْ ِر َخ ْي ٌر ِم ْن ال ُّد ْنيَا َو َما فِيهَا‬
“Dua rakaat sunnah fajar (subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.”  (HR. Muslim no.
725)

Juga dalam hadits ‘Aisyah yang lainnya, beliau berkata,

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَى َش ْي ٍء ِم ْن النَّ َوافِ ِل َأ َش َّد ِم ْنهُ تَ َعاهُدًا َعلَى َر ْك َعتَ ْي‬
َ ‫لَ ْم يَ ُك ْن النَّبِ ُّي‬
‫ْالفَجْ ِرأخرجه الشيخان‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat sunnah yang
kontinuitasnya (kesinambungannya) melebihi dua rakaat (shalat rawatib) Shubuh.” (HR.
Bukhari no. 1169 dan Muslim no. 724)
Kedua: Shalat Tahajud (Shalat Malam)
Allah Ta’ala berfirman,

ْ‫اج ًدا َوقَاِئ ًما يَحْ' َذ ُر اَآْل ِخ' َرةَ َويَرْ ُج''و َرحْ َم' ةَ َربِّ ِه قُ''ل‬ ٌ ِ‫َأ ْم َم ْن هُ َو قَان‬
ِ ‫ت َآنَا َء اللَّي ِْل َس‬
ِ ‫ون ِإنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
‫ب‬ 'َ ‫ون َوالَّ ِذ‬
َ ‫ين اَل يَ ْعلَ ُم‬ َ ‫هَلْ يَ ْستَ ِوي الَّ ِذ‬
َ ‫ين يَ ْعلَ ُم‬
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat
di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat
dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az Zumar: 9).

Yang dimaksud qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai
dengan khusu’ (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12: 115). Salah satu maksud ayat ini,
“Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan
orang yang tidak demikian?!” (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 7/166). Jawabannya,
tentu saja tidak sama.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ص'اَل ة‬ َ ‫صاَل ِة بَ ْع َد ْالفَ ِر‬


َ ‫يض' ِة‬ َ ‫ان َش ْه ُر هَّللا ِ ْال ُم َح َّر ُم َوَأ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬ َ ‫ض‬َ ‫ض ُل الصِّ يَ ِام بَ ْع َد َشه ِْر َر َم‬ َ ‫َأ ْف‬
‫اللَّ ْي ِل‬
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –
Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim
no. 1163, dari Abu Hurairah)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِقِيَ ِام اللَّ ْي ِل فَِإنَّهُ َدْأبُ الصَّالِ ِحي َْن قَ ْبلَ ُك ْم َوهُ َو قُرْ بَةٌ ِإلَى َربِّ ُك ْم َو ُم َكفِّ َرةٌ لِل َّسيَِّئا‬
ٌ‫ت َو َم ْنهَاة‬
‫َع ِن اِإل ْث ِم‬
“Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat amalan
adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada
Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ” (Lihat Al Irwa’ no.
452. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Shalat hamba di tengah malam akan
menghapuskan dosa.” Lalu beliau membacakan firman Allah Ta’ala,

َ ‫تَتَ َجافَى ُجنُوبُهُ ْم َع ِن ْال َم‬


‫ضا ِج ِع‬
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, …” (HR. Imam Ahmad dalam Al Fathur
َ ‫)“ تَتَ َجافَى ُجنُوبُهُ ْم َع ِن ْال َم‬
Robbani 18/231. Bab “‫ضا ِج ِع‬
‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Satu raka’at shalat malam itu lebih baik
dari sepuluh rakaat shalat di siang hari.” (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif
Ma’arif 42 dan As Safarini dalam Ghodzaul Albaab 2: 498)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Barangsiapa yang shalat malam sebanyak
dua raka’at maka ia dianggap telah bermalam karena Allah Ta’ala dengan sujud dan
berdiri.” (Disebutkan oleh An Nawawi dalam At Tibyan 95)

Ada yang berkata pada Al Hasan Al Bashri , “Begitu menakjubkan orang yang shalat
malam sehingga wajahnya nampak begitu indah dari lainnya.” Al Hasan berkata,
“Karena mereka selalu bersendirian dengan Ar Rahman -Allah Ta’ala-. Jadinya Allah
memberikan di antara cahaya-Nya pada mereka.”

Abu Sulaiman Ad Darini berkata, “Orang yang rajin shalat malam di waktu malam,
mereka akan merasakan kenikmatan lebih dari orang yang begitu girang dengan
hiburan yang mereka nikmati. Seandainya bukan karena nikmatnya waktu malam
tersebut, aku tidak senang hidup lama di dunia.” (Lihat Al Lathoif 47 dan Ghodzaul
Albaab 2: 504)

Imam Ahmad berkata, “Tidak ada shalat yang lebih utama dari shalat lima waktu
(shalat maktubah) selain shalat malam.” (Lihat Al Mughni 2/135 dan Hasyiyah Ibnu
Qosim 2/219)

Tsabit Al Banani berkata, “Saya merasakan kesulitan untuk shalat malam selama 20
tahun dan saya akhirnya menikmatinya 20 tahun setelah itu.” (Lihat Lathoif Al Ma’arif
46). Jadi total beliau membiasakan shalat malam selama 40 tahun. Ini berarti shalat
malam itu butuh usaha, kerja keras dan kesabaran agar seseorang terbiasa
mengerjakannya.

Ada yang berkata pada Ibnu Mas’ud, “Kami tidaklah sanggup mengerjakan shalat
malam.” Beliau lantas menjawab, “Yang membuat kalian sulit karena dosa yang kalian
perbuat.” (Ghodzaul Albaab, 2/504)

Lukman berkata pada anaknya, “Wahai anakku, jangan sampai suara ayam berkokok
mengalahkan kalian. Suara ayam tersebut sebenarnya ingin menyeru kalian untuk
bangun di waktu sahur, namun sayangnya kalian lebih senang terlelap tidur.” (Al
Jaami’ li Ahkamil Qur’an 1726)

Ketiga: Shalat Witir

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صالَتِ ُك ْم بِاللَّي ِْل ِو ْت ًر‬ ِ ‫اجْ َعلُوا‬


َ ‫آخ َر‬
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan
Muslim no. 751)

Keempat: Shalat Dhuha

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

ُّ‫ص' َدقَةٌ َو ُك''ل‬َ ‫ص َدقَةٌ َو ُكلُّ تَحْ ِمي' َد ٍة‬ َ ‫يُصْ بِ ُح َعلَى ُكلِّ ُسالَ َمى ِم ْن َأ َح ِد ُك ْم‬
َ ‫ص َدقَةٌ فَ ُكلُّ تَ ْسبِي َح ٍة‬
ٌ‫ص' َدقَة‬ َ ‫'ر‬ ِ '‫ص' َدقَةٌ َونَ ْه ٌى َع ِن ْال ُم ْن َك‬ ِ ‫'ال َم ْعر‬
َ ‫ُوف‬ ْ 'ِ‫ص' َدقَةٌ َوَأ ْم' ٌر ب‬َ ‫'ير ٍة‬ َ 'ِ‫ص' َدقَةٌ َو ُك''لُّ تَ ْكب‬َ ‫تَ ْهلِيلَ ٍة‬
‫ان يَرْ َك ُعهُ َما ِم َن الضُّ َحى‬ ِ َ‫ك َر ْك َعت‬ َ ِ‫َويُجْ ِزُئ ِم ْن َذل‬
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah.
Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid
(alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa
sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah.
Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari
kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan
shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.” (HR. Muslim no.  720)

Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam
hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah
menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِ ‫ين َوثَالَثِ َماَئ ِة َم ْف‬


‫ص ٍل‬ ٍ ‫ق ُكلُّ ِإ ْن َس‬
َ ِّ‫ان ِم ْن بَنِى آ َد َم َعلَى ِست‬ َ ِ‫ِإنَّهُ ُخل‬
“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki
360 persendian.” (HR. Muslim no. 1007)

Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha
sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,

‫ون‬َ ُّ‫ يَقُ''و ُل « فِى اِإل ْن َس 'ا ِن ِس'ت‬-‫صلى هللا علي''ه وس''لم‬- ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬ ُ ‫َأبِى ب َُر ْي َدةَ يَقُو ُل َس ِمع‬
ُ ‫ قَالُوا فَ َم ِن الَّ ِذى ي ُِطي‬.» ً‫ص َدقَة‬
‫ق‬ َ ‫ص ٍل ِم ْنهَا‬ ِ ‫ق َع ْن ُكلِّ َم ْف‬ َ َ‫ص ٍل فَ َعلَ ْي ِه َأ ْن يَت‬
َ ‫ص َّد‬ ِ ‫َوثَالَثُ ِماَئ ِة َم ْف‬
ِ ‫ْج ِد تَ ْدفِنُهَا َأ ِو ال َّش ْى ُء تُنَحِّ ي ِه َع ِن الطَّ ِر‬
‫يق فَِإ ْن لَ ْم‬ ِ ‫ال « النُّ َخا َعةُ فِى ْال َمس‬ َ َ‫ك يَا َرسُو َل هَّللا ِ ق‬ َ ِ‫َذل‬
»‫ك‬ َ ‫تَ ْق ِدرْ فَ َر ْك َعتَا الضُّ َحى تُجْ ِزُئ َع ْن‬
“Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap
persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan,
“Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai
Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas
ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu
melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (HR. Ahmad, 5:
354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi)

Imam Nawawi mengatakan,  “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan
keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya
yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.” (Syarh Shahih
Muslim, 5: 234)

Asy Syaukani mengatakan,  “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan
keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini
pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat
Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian,
sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.” (Nailul
Author, 3: 77)

Kelima: Shalat Isyroq

Shalat isyroq termasuk bagian dari shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktu.
Waktunya dimulai dari matahari setinggi tombak (15 menit setelah matahari terbit)
setelah sebelumnya berdiam diri di masjid selepas shalat Shubuh berjama’ah. Dari
Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُّ َ‫ُص'لِّ َي ُس'ب َْحة‬
َ '‫' َك‬،‫الض' َحى‬
‫'ان‬ ُ ‫ْج ِد َج َما َع ٍة يَ ْثب‬
َ ‫ُت فِي ِه َحتَّى ي‬ ِ ‫ْح فِي َمس‬ ِ ‫صالةَ الصُّ ب‬ َ ‫صلَّى‬ َ ‫َم ْن‬
ُ‫' َأ ْو ُم ْعتَ ِم ٍر تَا ًّما َح َّجتُهُ َو ُع ْم َرتُه‬،‫َكَأجْ ِر َحا ٍّج‬
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia
tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti
mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thobroni.
Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib 469 mengatakan bahwa hadits ini shahih
ligoirihi/ shahih dilihat dari jalur lainnya)

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ص'لَّى َر ْك َعتَ ْي ِن‬َ ‫الش' ْمسُ ثُ َّم‬ ْ َ‫صلَّى ْال َغ' َداةَ فِى َج َما َع' ٍة ثُ َّم قَ َع' َد يَ' ْ'ذ ُك ُر هَّللا َ َحتَّى ت‬
َّ ‫طلُ' َع‬ َ ‫« َم ْن‬
‫ « تَا َّم ٍة تَا َّم ٍة‬-‫صلى هللا علي''ه وس''لم‬- ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ ق‬.» ‫ت لَهُ َكَأجْ ِر َح َّج ٍة َو ُع ْم َر ٍة‬
ْ َ‫َكان‬
» ‫تَا َّم ٍة‬
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk
sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat
dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda,
“Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
SHALAT-SHALAT SUNNAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
A. Keutamaannya

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

،‫ت فَقَ' ْد َأ ْفلَ َح َوَأ ْن َج َح‬ 'ْ ‫ص'لَ َح‬ َ ‫ فَِإ ْن‬،ُ‫صالَتُه‬ َ ‫ِإ َّن َأ َّو َل َما ي َُحا َسبُ بِ ِه ْال َع ْب ُد يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة ِم ْن َع َملِ ِه‬
:‫ك َوتَ َع''الَى‬ َ َ‫ـال الرَّبُّ تَب‬
َ ‫ـار‬ َ َ‫ ق‬،‫ْض ٍة َش ْيًئا‬
َ ‫ص ِم ْن فَ ِري‬َ َ‫ فَِإ ِن ا ْنتَق‬،‫ـاب َو َخ ِس َر‬ 'َ ‫ت فَقَ ْد َخ‬ْ ‫َوِإ ْن فَ َس َد‬
‫'و ُن َس 'اِئ ُر َع َملِ ' ِه‬ َ ‫ص ِم َن ْالفَ ِري‬
ْ '‫ْض ' ِة ثُ َّم يَ ُك‬ َ َ‫ فَيُ َك َّم ُل بِ ِه َما ا ْنتَق‬،‫ع‬ ٍ ‫اُ ْنظُر ُْوا هَلْ لِ َع ْب ِدي ِم ْن تَطَ ُّو‬
‫ك‬ َ ِ‫ َعلَى نَحْ ِو َذل‬.
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari
Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia.
Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada
yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah
hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia memiliki shalat sunnah maka shalat
wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan
wajibnya sebagaimana tadi.” [1]

B. Disunnahkan Mengerjakannya di Rumah

Dari Jabir, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ َ‫صالَةَ فِـي َم ْس ِج ِد ِه فَ ْليَجْ َعلْ لِبَ ْيتِ ِه ن‬


َ ‫صيْبا ً ِم ْن‬
‫ فَِإ َّن هللاَ َجا ِع ٌل فِي‬،‫صالَتِ ِه‬ َّ ‫ضى َأ َح ُد ُك ُم ال‬
َ َ‫ِإ َذا ق‬
‫صالَتِ ِه نُ ْورًا‬
َ ‫بَ ْيتِ ِه ِم ْن‬
“Jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di masjidnya, maka
hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya. Karena sesungguhnya Allah
menjadikan cahaya dalam rumahnya melalui shalatnya.” [2]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫صالَ ِة ْال َم ْكتُ ْوبَ ِة‬


َّ ‫صالَ ِة ْال َمرْ ِء فِي بَ ْيتِ ِه ِإالَّ ال‬
َ ‫ فَِإ َّن َخي َْر‬،‫صالَ ِة فِي بُي ُْوتِ ُك ْم‬
َّ ‫ َعلَ ْي ُك ْم بِال‬.
“Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat seseorang
adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat wajib.” [3]

C. Macam-Macamnya

Shalat sunnah ada dua bagian: Muthlaqah dan Muqayyadah


Muthlaqah adalah yang dikenal dengan sunnah rawatib, yaitu yang dikerjakan
sebelum dan sesudah shalat wajib. Ia terdiri dari dua bagian: muakkadah (yang
ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).

1. Shalat sunnah muakkadah ada sepuluh raka’at

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku ingat sepuluh raka’at dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at
sesudahnya. Dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya’, serta dua
raka’at sebelum shalat Shubuh. Pada saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm
tidak mau ditemui. Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan padaku bahwa jika
mu-adzin mengumandangkan adzan dan fajar (yang kedua) telah terbit, beliau shalat
dua raka’at.” [4]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah meninggalkan empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, dan dua raka’at sebelum
shalat Shubuh.” [5]

2. Shalat sunnah ghairu muakkadah: Dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar, Maghrib,
dan ‘Isya’.

Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫ لِ َم ْن َشا َء‬:‫ـال فِي الثَّالِثَ ِة‬ َ ‫ بَي َْن ُكلِّ َأ َذانَي ِْن‬،ٌ‫صالَة‬
َ َ‫ ثُ َّم ق‬،ٌ‫صالَة‬ َ ‫بَي َْن ُكلِّ َأ َذانَي ِْن‬.
“Di antara dua adzan (antara adzan dan iqamat-ed.) ada shalat, di antara dua adzan
ada shalat.” Kemudian beliau berkata pada kali yang ketiga, “Bagi siapa saja yang
menghendakinya.”[6]

Disunnahkan untuk menjaga empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar. Beliau memisahkan
antara raka’at-raka’at tadi dengan mengucapkan salam pada para Malaikat
muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah), dan yang mengikuti mereka dengan baik
dari kalangan muslimin dan mukminin.” [7]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:

َ ‫ َر ِح َم هللاُ ا ْم َرًأ‬.
‫صلَّى قَب َْل ْال َعصْ ِر َأرْ بَعًا‬
“Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar.” [8]

Riwayat yang mengabarkan bacaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebagian
shalat tersebut

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

‫ َوقُلْ يَآ َأيُّهَا‬،‫' قُلْ هُ َو هللاُ َأ َح ٌد‬،‫ت الس ُّْو َرتَا ِن يُ ْق َرُأ بِ ِه َما فِي َر ْك َعتَي ِْن قَب َْل ْالفَجْ ِر‬
ِ ‫نِ ْع َم‬
ْ
‫ال َكافِر ُْو َن‬.
“Dua surat yang paling baik dibaca pada dua raka’at sebelum Shubuh adalah qul
huwallaahu ahad (al-Ikhlash) dan qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun). [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyalllahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-
Ikhlash) pada dua raka’at sebelum Shubuh.” [10]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Pada dua raka’at shalat sunnah fajar,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca: quuluu aamannaa billaahi
wa maa unzila ilainaa, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah pada raka’at pertama. Dan
pada raka’at terakhir: aamannaa billaahi wasyhad bi annaa muslimuun.” [11] (Ali
‘Imran: 52).

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tidak bisa menghitung berapa
kali aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: qul yaa ayyuhal
kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at
sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.” [12]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul
Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama
Ramadhan 1428 – September 2007M]

_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 451, 452)], Sunan at-Tirmidzi (I/258 no.
411), Sunan an-Nasa-i (I/232).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 375)], Shahiih Muslim (I/239 no.
778).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/517 no. 6113)], Shahiih
Muslim (I/539 no. 781), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/321 no. 1434)
dan Sunan an-Nasa-i (III/198).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 440)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/58/
no. 1180, 1180), ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/271 no. 431),
dengan lafazh hampir serupa.
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1658)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul
Baari) (III/58 no. 1182), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/134 no. 1240)
dan Sunan an-Nasa-i (III/251).
[6]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/110 no. 627)], Shahiih
Muslim (I/573 no. 838), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/162 no. 1269),
Sunan at-Tirmidzi (I/120 no. 185), Sunan an-Nasa-i (II/28), Sunan Ibni Majah
(I/368 no. 1162).
[7]. Hasan: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 353)], Sunan at-Tirmidzi (I/269 no. 427).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 354)], Sunan at-Tirmidzi (I/270 no. 428),
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/149 no. 1257).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 944)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/163
no. 1114), Ahmad (al-Fat-hur Rabbani) (IV/225 no. 987), Sunan Ibni Majah
(I/363 no. 1150).
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 360)], Shahiih Muslim (I/502 no.
726), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/135 no. 1243), Sunan an-Nasa-i
(II/156), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1148).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 905)], Shahiih Muslim (I/502 no. 727),
Sunan an-Nasa-i (II/155), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/137 no.
1246).
[12]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 355)], Sunan at-Tirmidzi (I/ 270
no. 429)
Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kaum muslimin adalah adanya amalan-
amalan sunnah setelah Allah menetapkan adanya amalan-amalan yang wajib. Dengan
adanya amalan-amalan sunnah tersebut, maka semakin banyaklah kesempatan untuk
beramal bagi seorang muslim. Di antara amalan sunnah tersebut adalah apa yang
dikenal sebagai shalat sunnah.

Definisi Shalat Sunnah


Yang dimaksud dengan shalat sunnah adalah seluruh shalat yang apabila ditinggalkan
dengan sengaja oleh seseorang, maka tidak akan menyebabkan ia berdosa. Dalam ilmu
fiqih, shalat sunnah sering juga disebut dengan istilah lain seperti shalat tathowwu’,
shalat mandubah, dan shalat nafilah.

Macam-macam Shalat Sunnah

Berikut di antara shalat sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan:

[1] Shalat Rowatib

Shalat rowatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib yang lima waktu,
baik itu dilaksanakan sebelum atau pun sesudahnya. Shalat rowatib yang dilakukan
sebelum shalat wajib dinamakan juga dengan shalat sunnah qobliyyah dan shalat
rowatib yang dilakukan sesudah shalat wajib dinamakan juga dengan shalat sunnah
ba’diyyah. Berdasarkan keterangan-keterangan hadits yang ada, berikut jumlah dan
waktu shalat rowatib yang boleh dilakukan : dua raka’at sebelum shubuh, empat
raka’at sebelum dan sesudah zuhur, empat raka’at sebelum ashar, dua raka’at
sebelum dan sesudah maghrib, serta dua raka’at sesudah ‘isya.

Sangat dianjurkan untuk merutinkan shalat rowatib 12 raka’at dalam sehari dan
semalam. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa shalat dalam sehari semalam dua belas raka’at maka akan dibangunkan
untuknya rumah di Surga, yaitu: empat raka’at sebelum zuhur dan dua raka’at
sesudahnya, dua raka’at sesudah maghr.ib, dua raka’at sesudah ‘isya, dan dua raka’at
sebelum shubuh” (HR. Tirmidzi, de
rajat : hasan).
Di antara seluruh shalat rowatib tersebut, yang paling utama untuk dilakukan adalah
dua raka’at sebelum shubuh, atau yang sering disebut dengan istilah shalat sunnah
fajar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua raka’at sunnah fajar
(shubuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim).

[2] Shalat Sunnah Mutlak


Shalat sunnah mutlak adalah shalat sunnah yang dilakukan dengan tidak terikat pada
waktu tertentu, tempat tertentu, sebab tertentu, atau jumlah raka’at tertentu. Dengan
kata lain, shalat ini boleh dilakukan kapanpun (kecuali pada waktu-waktu tertentu
yang memang dilarang), di manapun (kecuali pada tempat-tempat tertentu yang
memang dilarang), dengan jumlah raka’at berapapun. Shalat ini boleh dilaksanakan
dengan cara dua raka’at-dua raka’at.

Di antara waktu yang terlarang untuk melaksanakan shalat sunah mutlak adalah : (1)
waktu setelah shalat shubuh sampai terbitnya matahari, (2) waktu ketika matahari
tepat lurus berada di atas kepala hingga sedikit tergelincir ke barat, dan (3) waktu
setelah shalat ashar ketika matahari sudah menguning hingga matahari
terbenam.

Dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat sunnah mutlak adalah sebuah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perbanyaklah bersujud (dengan shalat),
karena tidaklah engkau bersujud sekali kecuali Allah akan mengangkat satu derajat
untukmu dan menghapus satu kesalahan darimu” (HR. Muslim).
[3] Shalat Tahajjud
Shalat tahajjud sering juga disebut sebagai shalat malam atau qiyamul lail, yaitu
shalat sunnah yang boleh dilaksanakan di malam kapanpun, setelah seseorang
bangun dari tidurnya sampai waktu terbitnya fajar. Sedangkan waktu yang paling
utama untuk melakukan shalat tahajjud adalah pada sepertiga malam yang terakhir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat tahajjud, “Sebaik-baik
shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
Shalat tahajjud boleh dilaksanakan dengan cara dua raka’at-dua raka’at hingga
jumlah raka’at yang mampu dilakukan.

[4] Shalat Witir


Secara bahasa, witir bermakna ganjil. Dinamakan demikian karena shalat witir hanya
boleh dilaksanakan dalam jumlah ganjil —satu raka’at, tiga raka’at, dan seterusnya.
Pelaksanaannya boleh sejak setelah shalat ‘isya sampai terbitnya fajar. Apabila shalat
witir dikerjakan bersamaan dengan shalat malam, maka shalat witir dilaksanakan
sebagai penutup shalat malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir” (HR. Bukhari & Muslim).
Untuk shalat witir yang tiga raka’at, boleh dilaksanakan dengan dua cara : (1) dua
raka’at kemudian salam dan di tambah dengan satu raka’at kemudian salam, atau (2)
dilaksanakan sekaligus tiga raka’at dengan satu kali duduk tasyahud dan satu kali
salam.

[5] Shalat Dhuha


Shalat dhuha adalah shalat sunnah yang dilaksanakan pada waktu dhuha. Yang
dimaksud dengan waktu dhuha adalah waktu sekitar 15 menit setelah terbitnya
matahari sampai tibanya waktu zuhur. Di antara yang menjelaskan keutamaan shalat
dhuha adalah sebuah hadits:
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah.
Setiap bacaan tasbih bernilai sedekah, setiap bacaan tahmid bernilai sedekah, setiap
bacaan tahlil bernilai sedekah, dan setiap bacaan takbir juga bernilai sedekah. Amar
ma’ruf juga bernilai sedekah, dan nahi mungkar juga bernilai sedekah. Itu semua bisa
diganti dengan melaksanakan shalat dhuha sebanyak 2 raka’at” (HR.. Muslim).
Shalat dhuha juga boleh dilaksanakan dengan cara dua raka’at-dua raka’at hingga
jumlah raka’at yang mampu dilakukan.

[6] Shalat Isyroq


Shalat isyroq sebenarnya merupakan bagian dari shalat dhuha. Pembahasan tentang
shalat ini sering disendirikan karena pelaksanaannya yang harus di awal waktu dhuha
dan karena keutamaannya yang sangat besar. Isyroq maknanya adalah terbitnya
matahari. Dinamakan shalat isyroq karena dilakukan beberapa saat (sekitar 15-20
menit) setelah terbitnya matahari. Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan
shalat isyroq adalah :
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjamaah lalu ia duduk
sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat
dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh” (HR. Tirmidzi,
derajat : hasan).
Dari hadits tersebut diketahui pula bahwa syarat untuk melaksanakan shalat isyroq
adalah harus didahului dengan shalat shubuh berjamaah di masjid lalu berdzikir
sampai waktu 15-20 menit setelah matahari terbit. Berdzikir tersebut bisa dalam
bentuk membaca Al Qur’an, membaca baaan dzikir, mendengarkan tausiyah, dan
seterusnya.

[7] Shalat Tahiyatul Masjid


Tahiyatul masjid secara bahasa artinya adalah penghormatan terhadap masjid.
Adapun secara istilah, shalat tahiyatul masjid adalah shalat dua raka’at yang
dilakukan sebelum seseorang duduk di dalam masjid kapan pun waktunya, termasuk
ketika khotib jum’at sedang berkhutbah, tetap dianjurkan untuk melakukannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang diantara
kalian memasuki masjid, maka janganlah ia duduk sampai ia shalat dua raka’at” (HR.
Bukhari dan Muslim).

[8] Shalat Sunnah Wudhu


Shalat sunnah wudhu adalah shalat sunnah dua raka’at atau lebih yang dilaksanakan
oleh seseorang yang baru saja berwudhu, kapan pun waktunya. Di antara dalil yang
menganjurkan shalat sunnah wudhu adalah hadits yang menjelaskan tentang
pertanyaan Nabi kepada Bilal tentang amalan yang paling Bilal sukai. Bilal pun
menjawab, “…tidaklah aku berwudhu ketika siang atau pun malam hari kecuali aku
akan shalat dengan wudhuku itu sesuai dengan apa yang telah ditetapkan untukku”
(HR. Bukhari dan Muslim).

[9] Shalat Gerhana


Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat gerhana adalah sunnah. Namun sebagian
lagi berpendapat shalat gerhana adalah wajib. Terdapat sebuah perintah dari Nabi
untuk melaksankan shalat apabila melihat gerhana, ”Jika kalian melihat dua gerhana
(matahari dan bulan), bersegeralah menunaikan shalat” (HR. Bukhari).

Shalat untuk gerhana matahari biasa disebut dengan isitlah shalat kusuf, adapun
shalat untuk gerhana bulan biasa disebut dengan istilah shalat khusuf. Tatacara
pelaksanaan shalat gerhana berbeda dengan shalat sunnah lainnya, diperlukan
pembahasan sendiri untuk menjelaskannya.

Tata Cara Shalat Sunnah


Pada asalnya, tatacara pelaksanaan seluruh shalat sunnah sama dengan shalat biasa
dan dilakukan dengan dua raka’at-dua raka’at. Namun, hal tersebut tidak berlaku
apabila memang ada dalil yang menjelaskan bahwa tata caranya memang berbeda,
semisal tata cara pelaksanaan shalat witir yang boleh dalam tiga raka’at sekaligus
hanya dengan satu duduk tahiyah dan satu salam, atau shalat gerhana yang
dilakukan dengan dua rukuk setiap raka’at.

Lebih Utama di Rumah


Shalat-shalat sunnah yang telah disampaikan di atas jika tidak dipersyaratkan untuk
dilakukan di masjid, maka lebih utama untuk dilakukan di rumah. Dalam sebuah
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, “Sesungguhnya shalat yang
paling utama adalah shalat yang dilakukan seseorang di rumahnya, kecuali untuk
shalat wajib” (HR. Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi, ada kondisi yang dapat menyebabkan shalat sunnah bisa lebih utama
untuk dilaksanakan di masjid daripada di rumah, semisal jika dilaksanakan di rumah
akan muncul rasa malas atau akan tidak khusyuk karena diganggu oleh anak-anak.

Penutup
Demikian di antara shalat sunnah yang kita dianjurkan untuk melaksanakannya.
Terdapat beberapa shalat sunnah lainnya yang belum disebutkan di dalam
pembahasan ini. Semoga kita dimudahkan untuk melakukan segala kebaikan.
TUNTUNAN SHALAT SUNNAH RAWATIB
Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah
disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib
diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu
dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.

Dan sesungguhnya at-tathowwu’ (ibadah sunnah) di dalam ibadah sholat yang paling


utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim
(tidak bepergian jauh).

Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang


sebagaimana sholat fardhu, sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari
hukum-hukum sholat rawatib secara ringkas:

1. Keutamaan Sholat Rawatib

Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang


keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan
malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga“. Ummu Habibah berkata:
saya tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits
tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah
mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak
pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am
bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits
tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah
rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam
riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia
seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara
sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib


dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat
rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad 6/325, Abu
Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib

Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12
rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-
Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada
sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu):
empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah
maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-
Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)
3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu


‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al
Kaafirun (‫ )قل يا أيها الكافرون‬dan surat Al Ikhlas (‫)قل هو هللا أحد‬.”  (HR. Muslim no. 726)

Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan


kepadanya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat
sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (‫)قول وا آمنا باهلل وما أن زل إلينا‬
(QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (‫)آمنا باهلل واشهد بأنا مسلمون‬
(QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)

4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib

Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah
shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah
sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (‫ )قل يا أيها الكافرون‬dan surat Al Ikhlas (‫)قل هو هللا أحد‬. (HR.
At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah
no. 1166)

5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali


Salam atau Dua Kali Salam?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat


di dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua
salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di
waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’
Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)

6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?

As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib
sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat
ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)

7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at

As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib
sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat
ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar
mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz
12/386&387)

8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka
sholatlah sesudahnya empat rakaat“. (HR. Muslim no. 881)
As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka
terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat
rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)

9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar


Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam
safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat
sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di
antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315).

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan


sholat rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ Fatawa
11/390).

10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib

Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan
rumah kalian bagai kuburan“. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi


seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan
Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-
Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat Nabi shallallahu a’alihi wasallam
bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih
mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk
bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/295)

11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib

Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari
masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib
ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya
waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib

Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada
tebusan kecuali hal itu“. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat
fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah,
23/90)

13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang

Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meng-qodho’ sholat


ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena
apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’
diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan
terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad 
1/308)

14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh,
maka sholatlah setelah matahari terbit“. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-
albani)
Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan
sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan
sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?“. Maka
saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum
subuh, Tasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa“. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada
Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam
(terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan
Al-Albani menshahihkannya)

As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk


masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka.
Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat
subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi
tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)

15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan


Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib


didahulukan atas sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu
sebelum sholat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah
dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)

16. Pengurutan Ketika Mengqodho’

As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat
rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang
dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk
masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang
mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang
pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat
rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)

17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’


sholat rawatib dan selainnya, karena merupakan sholat sunnah yang sangat
dianjurkan (muakkadah)… kemudian jika sholat yang terlewatkan sangat banyak,
maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena
mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana
“Ketika Rasulullah mengerjakan empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang
Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat
bahwasannya Rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu
tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama
adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pada saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama
sholat rawatib”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 238)

18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah


Wudhu’

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk


masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan
niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan
mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa
digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau
digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal.
75)

19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu
Dhuha

As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat


qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba.
Maka pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha,
dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh
juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri
dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari
keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)

20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikharah

Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan
sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau
bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah
dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib
tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh),
tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan

Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu“.
(HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)
An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat
sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti
rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)

22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan
dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat
rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan
diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali
sholat fardhu..“, akan tetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang
berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia
untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat
fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)
23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah
Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?

As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini)
dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas
keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan
mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan
ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang
disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama
daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho'”. (Syarh
Al-‘Umdah, hal. 609)

24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat


Rawatib

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak
mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya
untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan
mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak
melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan
demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan
ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan
seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar
maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat
fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga
sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama'”.
(Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?

Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum
muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya
mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti
ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts
Al-‘Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)

27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu


Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat
jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah
selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat
rawatib?

Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk


menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara
ini disyariatkan baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada
setelah sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak
sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena
menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya
ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah.
Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan
mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma
Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)
28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang


terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang
lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya
seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka
memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’
Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun
Sholat Sunnah lainnya.

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah


setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang
digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan
pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak
mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi
(dibolehkan) oleh atasannya”.

30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’:
(Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan
yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah
(sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat
tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan
demikian juga sebagian perkataan fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib
merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang
lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat
maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang
sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan
perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk
mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)

Faedah:

Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan


nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan
menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11
rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun
tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah
seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus
tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih
cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang
mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”.
(Zadul Ma’ad 1/327)

Lembaran singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul
“Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.

Dan sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam
dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin

Anda mungkin juga menyukai