Anda di halaman 1dari 6

Hadits Arbain #18: Takwa, Mengikutkan Kejelekan dengan

Kebaikan, dan Berakhlak Mulia

Kita diperintahkan bertakwa di mana saja, mengikutkan kejelekan dengan kebaikan, dan berakhlak mulia.
 

Hadits Ke-18
Dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdirrahman Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada; iringilah perbuatan
buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan
pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan haditsnya
itu hasan dalam sebagian naskah disebutkan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR.
Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini
hasan]

Penjelasan Hadits
 
Pertama: Takwa
 
Bertakwa dan berakhlak mulia, itulah yang paling menyebabkan banyak yang masuk surga.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ِ ‫اس ْال َجنَّةَ فَقَا َل « تَ ْق َوى هَّللا‬


َ َّ‫ َع ْن َأ ْكثَ ِر َما يُ ْد ِخ ُل الن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُسِئ َل َرسُو ُل هَّللا‬
»‫ار فَقَا َل « ْالفَ ُم َو ْالفَرْ ُج‬ َ َّ‫ َو ُسِئ َل َع ْن َأ ْكثَ ِر َما يُ ْد ِخ ُل الن‬.» ‫ق‬
َ َّ‫اس الن‬ ِ ُ‫َو ُحس ُْن ْال ُخل‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan
seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.”
Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab
beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu
Majah no. 4246. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Takwa asalnya adalah menjadikan antara seorang hamba dan sesuatu yang ditakuti (suatu
penghalang). Sehingga takwa kepada Allah berarti menjadikan antara hamba dan Allah suatu
benteng yang dapat menghalangi dari kemarahan, murka dan siksa Allah. Takwa ini dilakukan
dengan melaksanakan perintah dan menjauhi maksiat.
Namun takwa yang sempurna kata Ibnu Rajab Al Hambali adalah dengan mengerjakan
kewajiban, meninggalkan keharaman dan perkara syubhat, juga mengerjakan perkara sunnah,
dan meninggalkan yang makruh. Inilah derajat takwa yang paling tinggi.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah  berkata,
َ ‫ َوأ َّد ْوا َما ا ْفتُ ِر‬، ‫ال ُمتَّقُ ْو َن اتَّقَوا َما حُرِّ َم َعلَ ْي ِه ْم‬
‫ض َعلَ ْي ِه ْم‬
“Orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi hal-hal yang diharamkan dan menunaikan
berbagai kewajiban.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah  berkata,

ِ‫ َولَ ِك ْن تَ ْق َوى هللا‬، ‫ك‬ َ ِ‫ َوالتَّ ْخلِي ِْط فِ ْي َما بَي َْن َذل‬، ‫ َوالَ بِقِيَ ِام اللَّي ِْل‬، ‫ار‬ ِ ِ‫ْس تَ ْق َوى هللاِ ب‬
ِ َ‫صيَ ِام النَّه‬ َ ‫لَي‬
‫ فَه َُو َخ ْي ٌر ِإلَى َخي ٍْر‬، ً‫ك َخيْرا‬ َ ِ‫ق بَ ْع َد َذل‬ َ ‫ُز‬ِ ‫فَ َم ْن ر‬، ُ‫ض هللا‬ َ ‫ َوَأ َدا ُء َما ا ْفتَ َر‬، ُ‫ك َما َح َّر َم هللا‬
ُ ْ‫تَر‬
“Takwa bukanlah hanya dengan puasa di siang hari atau mendirikan shalat malam, atau
melakukan kedua-duanya. Namun takwa adalah meninggalkan yang Allah haramkan dan
menunaikan yang Allah wajibkan. Siapa yang setelah itu dianugerahkan kebaikan, maka itu
adalah kebaikan pada kebaikan.”
Thalq bin Habib rahimahullah  mengatakan,
َ‫صيَة‬ َ ‫ َوَأ ْن تَ ْت ُر‬، ِ‫اب هللا‬
ِ ‫ك َم ْع‬ ِ ‫ َعلَى نُ ْو ٍر ِم َن‬، ِ‫التَّ ْق َوى َأ ْن تَ ْع َم َل بِطَا َع ِة هللا‬
َ ‫ تَرْ ج ُْو ثَ َو‬، ‫هللا‬
َ َ‫اف ِعق‬
ِ‫اب هللا‬ ُ ‫هللاِ َعلَى نُ ْو ٍر ِم َن هللاِ تَ َخ‬
“Takwa berarti engkau menjalankan ketaatan pada Allah atas petunjuk cahaya dari Allah dan
engkau mengharap pahala dari-Nya. Termasuk dalam takwa pula adalah menjauhi maksiat atas
petunjuk cahaya dari Allah dan engkau takut akan siksa-Nya.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu  ketika menafsirkan ayat “bertakwalah pada Allah dengan
sebenar-benarnya takwa” yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat 102, beliau berkata,
‫ َوَأ ْن يُ ْش َك َر فَالَ يُ َكفَّ ُر‬، ‫ َوي ُْذ َك ُر فَالَ يُ ْن َسى‬، ‫ْصى‬
َ ‫َأ ْن يُطَا َع فَالَ يُع‬
“Maksud ayat tersebut adalah Allah itu ditaati, tidak bermaksiat pada-Nya. Allah itu terus
diingat, tidak melupakan-Nya. Nikmat Allah itu disyukuri, tidak diingkari.” (HR. Al-Hakim
secara marfu’, namun mauquf  lebih shahih, berarti hanya perkataan Ibnu Mas’ud). Yang
dimaksud bersyukur kepada Allah di sini adalah dengan melakukan segala ketaatan pada-Nya.
Adapun maksud mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya adalah selalu mengingat Allah
dengan hati pada setiap gerakan dan diamnya, begitu saat berucap. Semuanya dilakukan hanya
untuk meraih pahala dari Allah. Begitu pula larangan-Nya pun dijauhi. (LihatJami’ Al-‘Ulum wa
Al-Hikam, 1:397-402)
 
Kedua: Mengikutkan kejelekan dengan kebaikan
 
Yang dimaksud di sini adalah mengikuti kejelekan dengan taubat. Bisa juga maksudnya adalah
kebaikan di sini bukan hanya taubat saja yang mengikuti kejelekan, namun lebih umum.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

ِ ‫ت ي ُْذ ِهب َْن ال َّسيَِّئا‬


‫ت‬ ِ ‫ار َو ُزلَفًا ِم َن اللَّي ِْل ِۚإ َّن ْال َح َسنَا‬ َّ ‫َوَأقِ ِم ال‬
ِ َ‫صاَل ةَ طَ َرفَ ِي النَّه‬
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian
permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)
Ada hadits dari Mu’adz yang menyatakan bahwa ada orang yang ayat ini turun karenanya, maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  perintahkan dia untuk wudhu dan shalat. (HR. Tirmidzi, no.
3113. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).
Para ulama berselisih pendapat apakah amalan shalih bisa menghapuskan dosa besar (al-kabair)
dan dosa kecil (ash-shaghair) sekaligus atau amalan shalih hanya menghapuskan dosa kecil saja.
Yang jelas jika itu dosa besar, maka menghapusnya mesti dengan taubat. Karena Allah
perintahkan untuk bertaubat kalau tidak masih berstatus orang yang zalim.
Allah Ta’ala  berfirman,
َ ‫َو َم ْن لَ ْم يَتُبْ فَُأو ٰلَِئ‬
َ ‫ك هُ ُم الظَّالِ ُم‬
‫ون‬
“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-
Hujurat: 11). Yang menjadi pendapat jumhur ulama, dosa besar hanya bisa dihapus dengan
taubat.
Jadi amalan shalih seperti amalan wajib hanya khusus menghapus dosa kecil saja. Dari
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  bersabda,
ِ ‫ص َدقَةُ َواَأْل ْم ُر بِ ْال َم ْعر‬
‫ُوف‬ ِّ ‫صاَل ةُ َوال‬
َّ ‫صيَا ُم َوال‬ َّ ‫فِ ْتنَةُ ال َّرج ُِل فِي َأ ْهلِ ِه َو َمالِ ِه َو َولَ ِد ِه تُ َكفِّ ُرهَا ال‬
‫َوالنَّ ْه ُي َع ْن ْال ُم ْن َك ِر‬
“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat (fitnah). Namun
fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amr ma’ruf (mengajak pada kebaikan)
dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).” (HR. Bukhari, no. 525 dan Muslim, no. 144).
Kata Ibnu Baththol, hadits ini semakna dengan firman Allah Ta’ala,
‫ِإنَّ َما َأ ْم َوالُ ُك ْم َوَأ ْواَل ُد ُك ْم فِ ْتنَةٌ َۚوهَّللا ُ ِع ْن َدهُ َأجْ ٌر َع ِظي ٌم‬
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” (QS. Ath-Taghabun: 15) (Lihat Syarh Al-Bukhari  karya Ibnu Baththal, 3:194,
Asy-Syamilah)
 
Ketiga: Akhlak mulia
 
Ibnu Rajab mengatakan bahwa berakhlak yang baik termasuk bagian dari takwa. Akhlak
disebutkan secara bersendirian karena ingin ditunjukkan pentingnya akhlak. Sebab banyak yang
menyangka bahwa takwa hanyalah menunaikan hak Allah tanpa memperhatikan hak sesama.
(Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:454).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjadikan akhlak yang baik sebagai tanda
kesempurnaan iman. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  bersabda,
‫ين ِإي َمانًا َأحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا‬
َ ِ‫َأ ْك َم ُل ْال ُمْؤ ِمن‬
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu
Daud, no. 4682 dan Ibnu Majah, no. 1162. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits
ini hasan)
Akhlak yang baik (husnul khuluq) ditafsirkan oleh para salaf dengan menyebutkan beberapa
contoh.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah  mengatakan,
‫ ال َك َر ُم َوالبَ ْذلَةُ َوا ِالحْ تِ َما ُل‬: ‫ق‬
ِ ُ‫ُحس ُْن ال ُخل‬
“Akhlak yang baik adalah ramah, dermawan, dan bisa menahan amarah.”
Asy-Sya’bi berkata bahwa akhlak yang baik adalah,
َ ِ‫ان ال َّش ْعبِي َك َذل‬
‫ك‬ َ ‫البَ ْذلَةُ َوال َع ِطيَّةُ َوالبِش ُر‬
َ ‫ َو َك‬، ‫الح َس ُن‬
“Bersikap dermawan, suka memberi, dan memberi kegembiraan pada orang lain.” Demikianlah
Asy-Sya’bi, ia gemar melakukan hal itu.
Ibnul Mubarak mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah,
‫ف اَأل َذى‬ ِ ‫ َوبَ ْذ ُل ال َم ْعر ُْو‬، ‫الوجْ ِه‬
ُّ ‫ َو َك‬، ‫ف‬ َ ُ‫هُ َو بَ ْسط‬
“Bermuka manis, gemar melakukan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti orang lain.”
Imam Ahmad berkata,
‫ق َأ ْن تَحْ تَ ِم َل َما يَ ُك ْو ُن‬
ِ ُ‫ ُحس ُْن ال ُخل‬: ‫ال‬
َ َ‫ َو َع ْنهُ أنَّهُ ق‬، ‫ب َوالَ تَحْ تَ َّد‬ َ ‫ق َأ ْن الَ تَ ْغ‬
َ ‫ض‬ ِ ُ‫ُحس ُْن ال ُخل‬
ِ َّ‫ِم َن الن‬
‫اس‬
“Akhlak yang baik adalah tidak mudah marah dan cepat naik darah.” Beliau juga berkata,
“Berakhlak yang baik adalah bisa menahan amarah di hadapan manusia.”
Ishaq bin Rohuwyah berkata tentang akhlak yang baik,
‫ب‬ َ ‫ َوَأ ْن الَ تَ ْغ‬، ‫هُ َو بَ ْسطُ ال َوجْ ِه‬
َ ‫ض‬
“Bermuka manis dan tidak marah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:457-458)
 
Faedah/Kesimpulan Hadits
 
Pertama: Wajib bertakwa kepada Allah di mana saja kita berada dengan menjalankan perintah
dan menjauhi larangan, baik ketika saat di keramaian dan ketika saat di kesepian.
Bahkan ada peringatan bagi yang tidak takut kepada Allah hingga berbuat maksiat di kesepian.
Dalam hadits dalam salah satu kitab sunan disebutkan,
َ ُ‫ « َأل ْعلَ َم َّن َأ ْق َوا ًما ِم ْن ُأ َّمتِى يَْأت‬: ‫ َأنَّهُ قَا َل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ان َع ِن النَّبِ ِّى‬
‫ون‬ َ َ‫َع ْن ثَ ْوب‬
‫ قَا َل‬.» ‫ال تِهَا َمةَ بِيضًا فَيَجْ َعلُهَا هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل هَبَا ًء َم ْنثُورًا‬ ِ َ‫ال ِجب‬ ِ َ‫ت َأ ْمث‬ٍ ‫يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة بِ َح َسنَا‬
‫ « َأ َما‬: ‫ قَا َل‬.‫ون ِم ْنهُ ْم َونَحْ ُن الَ نَ ْعلَ ُم‬ َ ‫ص ْفهُ ْم لَنَا َجلِّ ِه ْم لَنَا َأ ْن الَ نَ ُك‬ِ ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫ يَا َرس‬: ‫ان‬ ُ َ‫ثَ ْوب‬
َ ‫ون ِم َن اللَّ ْي ِل َك َما تَْأ ُخ ُذ‬
‫ون َولَ ِكنَّهُ ْم َأ ْق َوا ٌم ِإ َذا َخلَ ْوا‬ َ ‫ِإنَّهُ ْم ِإ ْخ َوانُ ُك ْم َو ِم ْن ِج ْل َدتِ ُك ْم َويَْأ ُخ ُذ‬
»‫ار ِم هَّللا ِ ا ْنتَهَ ُكوهَا‬
ِ ‫بِ َم َح‬
Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui
suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung
Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban
berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak
menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit
mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian.
Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa
bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah, no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
sanad hadits ini hasan). Ibnu Majah membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingat Dosa”.
Hadits di atas semakna dengan ayat,
‫ضى ِم َن ْالقَ ْو ِل‬ َ ُ‫ون ِم َن هَّللا ِ َوهُ َو َم َعهُ ْم ِإ ْذ يُبَيِّت‬
َ ْ‫ون َما اَل يَر‬ َ ُ‫اس َواَل يَ ْستَ ْخف‬ َ ُ‫يَ ْستَ ْخف‬
ِ َّ‫ون ِم َن الن‬
‫ون ُم ِحيطًا‬ َ ُ‫ان هَّللا ُ ِب َما يَ ْع َمل‬
َ ‫َو َك‬
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah
beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah
tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.”
(QS. An-Nisa’: 108). Walaupun dalam ayat tidak disebutkan tentang hancurnya amalan.
 
Kedua: Amalan kebaikan akan menghapus kejelekan. Bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan
adalah taubat, bisa pula yang dimaksud adalah amal shalih lainnya.
 
Ketiga: Kita diperintahkan untuk berakhlak mulia terhadap sesama. Namun hal ini tidak
menafikan pada suatu keadaan kita bersikap keras dan tegas.
Contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  seperti terlihat dalam riwayat dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang Yahudi melewati Rasulullah  shallallahu ‘alaihi
wa sallam, lalu ia mengucapkan ‘as-saamu ‘alaik’  (celaka engkau).” Rasulullah  shallallahu ‘alaihi
wa sallam  lantas membalas ‘wa ‘alaik’  (engkau yang celaka). Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
sallam  lantas bersabda, “Apakah kalian mengetahui bahwa Yahudi tadi mengucapkan ‘assaamu
‘alaik’  (celaka engkau)?” Para sahabat lantas berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami
membunuhnya saja?” Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Jangan. Jika mereka
mengucapkan salam pada kalian, maka ucapkanlah ‘wa ‘alaikum’.” (HR. Bukhari, no. 6926)
Namun kalau ada dua keadaan yaitu perintah bersikap lemah lembut ataukah keras, kita tetap
memilih lemah lembut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Aisyah,

ِ ‫ق َما الَ يُ ْع ِطى َعلَى ْال ُع ْن‬


َ‫ف َو َما ال‬ ِ ‫ْطى َعلَى الرِّ ْف‬ ٌ ‫يَا َعاِئ َشةُ ِإ َّن هَّللا َ َرفِي‬
َ ‫ق ي ُِحبُّ ال ِّر ْف‬
ِ ‫ق َويُع‬
ُ‫ْطى َعلَى َما ِس َواه‬ ِ ‫يُع‬
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu lemah lembut dan menyukai kelemah lembutan. Allah
memberi kepada kelembutan suatu kebaikan yang tidak diberi pada sikap keras dan tidak diberi
pada lainnya.” (HR. Bukhari, no. 6024 dan Muslim, no. 2593. Lafazhnya adalah lafazh Muslim)

Anda mungkin juga menyukai