Anda di halaman 1dari 20

SYARIAT DIPERBOLEHKANNYA SHALAT JAMA’ DAN QASHAR

BAGI MUSAFIR

Makalah Disampaikan pada Munadhoroh Ilmiyah

Pembimbing: Usth. Khodijah Mufidah, S.Pd.

Oleh:

Hamidatusy Syaahidah

Jurusan : Tarbiyah

NIM: TM.01.17.007

MA’HAD ALY DARUSY SYAHADAH LI TA’HILIL MUDARRISAT

Kedunglengkong Simo Boyolali Jawa Tengah

TAHUN PELAJARAN 2018/2019


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tujuan manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk beribadah kepada
Allah, salah satu bentuk beribadah kepada Allah adalah dengan cara
mendirikan shalat. Allah telah menetapkan kewajiban shalat kepada nabiNya
pada malam mi’raj di langit, karena keagungan dan kedudukannya di sisi
Allah. Dia juga telah memerintahkan shalat di dalam Al Qur’an sebanyak 58
tempat. Dalam mendirikan shalat setiap muslim diwajibkan untuk memenuhi
rukun shalat dan melakukannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
oleh Allah ta’ala. Sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 103.

‫ني كِات ااًب امْوقُو ات‬ ِِ


ْ ‫إِ َّن الصَّ اَلةا اكانا‬
‫ت اعلاى الْ ُمْؤمن ا‬
" Sesunggahnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan oleh
waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak.
Shalat juga dapat dijadikan barometer amal-amal lain. Shalat merupakan
kewajiban bagi setiap muslim yang mukallaf. Bagi Orang yang meningga lka n
shalat dan dia berkata serta meyakini bahwa shalat itu tidak wajib, maka ia
telah murtad keluar dari Islam. Dosanya amat besar dan tidak akan diampuni
oleh Allah Ta’ala.
Begitu pentingnya shalat, karena shalat merupakan penentu amal yang
lain. Jika shalatnya baik, maka baik pula amalnya yang lain. Ada juga para
ulama yang mengibaratkan bahwa shalat itu diibaratkan sebagai angka I (satu)
sedangkan amal selain shalat itu diibaratkan angka 0, sehingga jika shalatnya
rusak atau bahkan tidak melakukan shalat maka nilai sama dengan nol
walaupun amalnya banyak. Akan tetapi jika shalatnya baik dan selalu
dikerjakan maka semua amalnya itu bernilai.
Islam adalah agama yang mudah dan tidak merepotkan penganutnya.
Memang amat besar dosa orang yang meninggalkan shalat, akan tetapi shalat
sungguh sangat dimudahkan. Tidak bisa dengan berdiri maka ada rukhsah
shalat dengan duduk, tidak bisa duduk maka diperbolehkan berbaring, tidak
bisa dengan berbaring maka diperbolehkan terlentang hingga yang terakhir
adalah cukup dengan isya’rat dengan pelupuk matanya kemudian dengan
hatinya.

1
Oleh karena itu, maka shalat tidak boleh ditinggalkan walau
bagaimanapun keadaannya, karena shalat sangat mudah dan sesuai dengan
kemampuan. Maka tidak ada satu orang pun yang boleh meninggalkan shalat
dalam keadaan apapun. Namun ada beberapa keringanan (rukhsah) bagi orang
yang ada dalam perjalanan (musafir) dalam tata cara pelaksanaan shalat, yaitu
dengan cara shalat jama dan shalat qashar. Namun hal itu juga bukan berarti
boleh meninggalkan shalat begitu saja, hanya berpindah pelaksanaan pada
waktu tertentu (yang telah diisyaratkan) dan syarat-syarat tertentu pula.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian shalat Jama’ dan Qashar?
2. Apa dalil masyru’iyyah shalat Jama’ dan Qashar?
3. Mengapa disyari’atkan shalat Jama’ dan Qashar, apakah sebuah keringana n
atau niat yang diwajibkan?
4. Apa syarat diperbolehkan shalat Jama dan Qashar bagi musafir?
5. Bagaiman tata cara dilaksanakannya shalat jama’ dan qashar?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat Jama’ dan Qashar
1) Pengertian Shalat
a. Secara Bahasa
Shalat berarti do’a. Shalat disebut do’a karena merupakan ibadah yang
terdiri dari do’a.1
b. Secara Syar’i
Shalat berarti semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimula i
dengan takbir dan disudahi dengan salam. 2
2) Pengertian Jama’
a. Secara Bahasa
Penggabungan.3
b. Secara Istilah
Mengumpulkan dua shalat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu
dan dikerjakan secara berturut-turut.4
3) Pengertian Qashar
a. Secara Bahasa
Qasara yaqsuru yang berarti memendekkan shalat.5
b. Secara Istilah
Memendekkan shalat wajib, yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua
rakaat (dalam perjalanan).6 masing- masing dilaksanakan pada
waktunya.7

Sedangkan yang dimaksud dengan jama’ qashar adalah


menggabungkan dua salat fardhu dalam satu waktu sekaligus meringkas
(qasar).8

1 Al-Imam Muhammad bin Isma’il al-kahlani as-Shan’ani, Subulus Salam, jilid 1, hlm. 157.
2 Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta; Gema insani, 2010), jilid 1, hlm.
541.
3Tim Pandom Media, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru, (Jakarta Barat; Pandom Media
Nusantara, 2014).
4 http://www.islamianews.com/2015/01/pengertia-shalat-jamak-dan-qashar.html diakses tgl.

24 Feb 2019
5 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya; Pustaka

Progressif, 1997), hlm. 1124.


6 Tim Pandom Media, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru, (Jakarta Barat; Pandom Media

Nusantara, 2014).
7 http://santrigaul.net/cara-menjamak-sholat/ diakses tgl 09 Feb 2019

8 https://www.islampos.com/ini-tata-cara-shalat-jamak-dan-qasar-92724/ diakses tgl 24 Feb

2019

3
B. Dalil Masyru’iyyah Shalat Jama’ dan Qashar
Mengqashar shalat itu dibolehkan dalam Al Qur’an, sunnah, dan ijma’. 9
Adapun dari Al Qur’an, firman Allah Ta’ala:

‫ين‬ ِ َّ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫وإِ اذا ا‬


‫ص ُروا م ان الصَّ اَلة إ ْن خ ْفتُ ْم أا ْن يا ْفتان ُك ُم الِ ا‬
ُ ‫اح أا ْن ات ْق‬
ٌ ‫س اعلاْي ُك ْم ُجان‬
‫ض اربْتُ ْم ِف ْاْل ْارض اف لاْي ا‬ ‫ا‬
‫اك اف ُروا‬

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir.”(An Nisa’: 101).
Sementara dalam khabar mutawatir bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬mengqashar
shalatnya di beberapa perjalanan beliau, baik saat haji, umrah, dan berperang.
Ibnu Umar mengatakan,

‫ اوأ ااًب با ْك ور او ُع ام ار او ُعْم اما ان‬،‫ني‬


ِ ْ ‫الس اف ِر اعلاى رْك اعات‬
َّ ‫يد ِِف‬ ِ ِ
‫ا‬ ُ ‫صلَّى هللا اعلاْيه او اسلَّ ام اف اكا ان الا يا ِز‬
‫النيب ا‬
َّ ‫ت‬ ُ ‫صحْب‬‫ا‬
.‫ك‬ ِ
‫اك اِل ا‬
“Aku sering menemani Nabi ‫ ﷺ‬dan selama diperjalanannya beliau melakukan
shalat tidak lebih dari dua rakaat. Begitu pula Abu Bakar, Umar, dan
Utsman.” (Mutafaq ‘alaih)10
Ibnu Abbas berkata,

‫الس اف ِر‬
َّ ‫ اوِِف‬،‫ض ِر أ ْاربا اعا‬
‫ ِِف ا ْْلا ا‬- ‫او اسلَّ ام‬ ‫اَّللُ اعالْي ِه‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ
‫ ا‬- ‫الص اَل اة اعالى ل اسان نابِيِ ُك ْم‬
َّ ُ‫اَّلل‬
َّ ‫ض‬ ‫اف ار ا‬
ِ ‫ وِِف ا ْْلو‬،‫ني‬
.‫ف ارْك اع اة‬ ْ‫ارْك اعات ْ ِ ا ا‬
“Allah telah mewajibkan shalat melalui Nabi kalian; empat rakaat untuk
orang yang mukim, dua rakaat untuk orang yang melakukan perjalanan, serta
satu rakaat untuk orang yang dalam ketakutan.” (HR. Muslim)11
Begitu juga dengan syari’at menjama’ dua shalat disalah satu waktunya
adalah kesempurnaan rahmat Allah bagi seorang musafir. Abdullah bin Abbas
berkata:

9 Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta; Gema insani, 2010), jilid. 2, hlm.
423.
10
Al Muhalab ibnu Ahmad ibnu Abi Sufrah, Mukhtasar an Nasih fii Tahdzibi al Kitab al Jami’
as Shahih, Jilid. 1, hlm. 479
11 Muslim ibnu Al Hajjaj Abul Husain al Qusyairiy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut;

Daar Ihya’ at Turats al Arabiy), jilid. 1, hlm. 479

4
،‫ اواْل ام ْغ ِر ِب اوا ْلعِ اش ِاء ًِبْل ام ِد اين ِة‬،‫ص ِر‬
ْ ‫ني الظُّْه ِر اواْل اع‬
ِ
‫صلَّى هللاُ اعالْيه او اسلَّ ام با ْ ا‬
ِ ُ ‫اَجع رس‬
‫ول هللا ا‬ ُ ‫اا ا‬
‫ِِف اغ ِْي خو و‬
‫ اواال ام اط ور‬،‫ف‬ ْ‫ْ ا‬
“Rasulullah menjama’ shalat Zhuhur dengan Asar, dan Magrib
dengan Isya’, bukan karena ketakutan ataupun hujan.”(HR. Muslim)12
Ibnu Abbas r.a. berkata :

َ َ‫ََََهَر‬
َ‫َعَلَى‬
َ َ َ‫َََاَن‬ ََِ َ‫َْر‬
‫َََََاََك‬ َ َََ
َ‫ال‬ ‫َصَالََةَ َال‬
َ َ‫َََظَهَرَ ََو‬
َ ََ‫ىَهللا‬
َ ََ‫َعَلََيَهَ َََوَ َسَلَ َمَََََيَ َمَ َعَ ََبََََْي‬
َ َ ََ َ‫َصَل‬
ََ َََ‫ول‬
َ ََ‫َاَّلل‬ َ َ َ‫ََ َس‬
‫َر‬
َ َ‫كَاَن‬
ََ َ‫َََش‬
‫اء‬
ََ َ َ‫بَ ََو‬
َ‫ال‬ َ َ ‫ََََغَ َر‬
‫َسَ ََْيَََوَََيَ َمَ َعَ ََبََََْيَ َامل‬
“Apabila dalam perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjama’ shalat Zhuhur dengan Asar serta Maghrib dengan ‘Isya’.” 13
C. Disyariatkan Shalat Jama’ dan Qashar, Apakah Sebuah Keringanan Atau
Niat yang Diwajibkan?
Dengan ungkapan lain, apakah seorang musafir diwajibkan oleh
syari’at untuk qashar shalat, atau dipersilahkan memilih antara mengqashar
dan melengkapi jumlah jumlah rakaat shalatnya, dan manakah yang terbaik
antara mengqashar atau melengkapi jumlah rakaatnya?
Pendapat para ahli fiqh yang dipegang terpecah menjadi tiga pendapat;
ada yang mengatakan wajib, sunnah ataupun sekedar keringanan yang
dipersilahkan bagi musafir untuk memilihnya. 14
Menurut madzhab Hanafi, mengqashar shalat adalah kewajiban
disertai niat. Kewajiban bagi musafir di setiap shalat yang empat rakaat
hanyalah dua rakaat saja dan tidak boleh menambahnya dengan sengaja.
Diwajibkan melakukan sujud sahwi jika lupa. Jika seorang musafir telah
menyempurnakan jumlah empat rakaat shalatnya dan ia duduk pada rakaat
kedua seukuran tasyahud maka dua rakaat tambahan itu disahkan dan terhitung
sebagai shalat sunnah. Namun, seorang musafir menjadi berdosa jika ia tidak
duduk pada rakaat kedua seukuran tasyahud dan shalatnya dianggap batal,
karena bercampurnya antara shalat sunnah dengan fardhu sebelum shalatnya
sempurna.

12 Muslim ibnu Al Hajjaj Abul Husain al Qusyairiy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut;
Daar Ihya’ at Turats al Arabiy), jilid. 1, hlm. 490.
13 Muhammad ibnu Ismail Abu ‘Abdillah Al Bukhori Al Ja’fii, Shahih Al Bukhori, (Daar

An Najah, 1422 H), jilid. 2, hlm. 46.


14 Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta; Gema insani, 2010), jilid. 2,

hlm. 425.

5
Pendapat diatas bersandarkan dengan hadits-hadits kuat, diantaranya
hadits Aisyah,

‫ض ِر‬ ِ ‫ وِزيد ِِف‬،‫الس اف ِر‬ ِ ِ ‫ني رْكعت‬ ِ‫ض‬


‫ص اَلة ا ْْلا ا‬
‫ا‬ ‫ص اَلةُ َّ ا ا‬ ‫ت ا‬ ْ ‫ت الصَّ اَلةُ ارْك اعات ْ ِ ا ا ا‬
ْ ‫ افأُق َّر‬،‫ني‬ ‫فُ ِر ا‬
“Shalat diwajibkan dua rakaat-dua rakaat maka shalat dalam
perjalanan membuktikannya, lalu ditambahkan saat bermukim.” (HR. Bukhori
& Muslim).15
Madzhab Maliki menurut pendapatnya yang masyhur dan kuat
mengatakan, qashar adalah hukumnya sunnah yang ditetapkan (muakkad),
karena Nabi ‫ ﷺ‬melakukannya. Tidak pernah disebutkan dari beliau selama
perjalanannya menyempurnakan jumlah rakaat sama sekali, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya dalam hadits Ibnu Umar dan lainnya. 16
Sedangkan madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan, qashar
merupakan kemudahan yang dibolehkan untuk memilih, maka bagi musafir
dipersilahkan untuk menyempurnakan jumlah rakaat ataupun mengqashar nya.
Namun, mengqashar shalat itu lebih baik daripada menyempurnakannya secara
mutlak, menurut Hanbali, karena Rasulullah ‫ ﷺ‬melakukannya, begitu pula para
Khulafa Rasyidin setelahnya. Menurut madzhab Syafi’i sendiri dalam
pendapat yang masyhurnya, mengqashar shalat itu lebih baik daripada
menyempurnakan jumlah rakaat jika di dalam dirinya merasa tidak suka
mengqasharnya. Ataupun, jika perjalanan itu sudah mencapai tiga marhalah,
sekitar 96 km menurut madzhab Hanafi, untuk mengikuti sunnah dan keluar
dari perdebatan bagi ulama yang mewajibkannya seprti Abu Hanifah. 17
Pendapat diatas bersandarkan dalil sebagai berikut;
a. Ayat Al Qur’an yang telah disebutkan sebelumnya dalam surat An Nisa’:
101. Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa qashar adalah keringana n
yang dapat dipilih antara melakukan atau meninggalkannya, seperti bentuk
keringanan lainnya.
b. Hadits yang telah diriwayatkan oleh Umar
ِ َّ ‫َّق‬
ُ‫ص اد اق اته‬
‫ اف ْاق اب لُوا ا‬،‫اَّللُ ِباا اعالْي ُك ْم‬ ‫صد ا‬
‫ص اد اقةٌ ات ا‬
‫ا‬
“Ia adalah sedekah dari Allah yang diberikan kepada kalian maka
terimalah sedekahNya.”18

15 Muslim ibnu Al Hajjaj Abul Husain al Qusyairiy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut; Daar
Ihya’ at Turats al Arabiy), Jilid. 1, hlm. 478.
16 Op.cit, hlm. 425.

17 Ibid, hlm. 425-426.

18 Ahmad bin Syu'aib Al Khurasany, Sunan An Nasa’ii, (Aleppo; Maktab al Mathbuat al

Islamiyah, 1986), jilid. 3, hlm. 116.

6
Juga sabda Rasulullah ‫ﷺ‬,
ِ ُّ ‫ اك اما ُُِي‬،ُ‫صه‬ ُّ ‫اَّلل ُُِي‬ ِ
ُ‫ب أا ْن تُْؤتاى اع ازائ ُمه‬ ُ ‫ب أا ْن تُْؤتاى ُر اخ‬ ‫إ َّن َّا‬
“Allah suka jika kamu mengambil keringanan yang diberikan dariNya
sebagaimana Dia juga suka bila kamu memberikan tekad (untuk
beragama) kepadaNya.”19
c. Terdapat dalam Shahih Muslim dan kitab lainnya bahwa para sahabat
melakukan perjalanan bersama Rasulullah ‫ﷺ‬, diantara mereka ada yang
mengqashar shalat dan ada pula yang menyempurnakan jumlah rakaat
shalatnya. Diantara mereka juga ada yang berpuasa dan ada pula yang
berbuka. Namun, tidak ada seorangpun yang mencela orang lain.
d. Aisyah r.a. berkata,
ِ َّ ‫ صلَّى‬- ‫َّيب‬
‫ص ار‬
‫ اواق ا‬،‫ت‬
ُ ‫ص ْم‬ ‫ ِِف ُع ْم ارِة ارام ا‬- ‫اَّللُ اعالْيه او اسلَّ ام‬
ُ ‫ضا ان افأا ْف اط ار او‬ ‫ا‬ ِ ِ‫ت ام اع الن‬
ُ ‫اخ ار ْج‬

ُ‫ت اَ اعائِ اشة‬


ِ ‫ أاحسْن‬:‫ اف اق اال‬،‫ واقصرت وأْاْتامت‬،‫ ِِبِاِب وأُِمي أاْف اطرت وصمت‬:‫ اف ُقلْت‬،‫وأْاْتامت‬
‫ْا‬ ُ ْ ‫ْ ا ا ُْ ُ ا اْ ا ا‬ ‫ا‬ ُ ُ ْ ‫ا‬
“Aku keluar bersama Nabi ‫ ﷺ‬untuk umrah dibulan Ramadhan, lalu beliau
berbuka sedang aku berpuasa, beliau mengqashar shalat sedang aku
menyempurnakan rakaat. Lantas aku bertanya kepada beliau, “Kenapa
Anda berbuka sedang aku berpuasa, Anda mengqashar shalat sedang aku
menyempurnakan rakaat?” Beliau menjawab, “ Bagus kamu, Aisyah!”(HR.
Daruquthniy)20 .
Dalam Qowaid Fiqhiyyah Keringanan untuk mengqashar shalat
selaras dengan kaidah “ Al Masyaqqatu Tajlibut Taysiir” yaitu kaidah yang
bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan atau kesulita n
mendatangkan kemudahan bagi mukallaf, maka syari’ah meringanka nnya
sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan
dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran.
Dalam melakukan perjalanan, seorang musafir biasanya akan
mendapati banyak rintangan dan kesulitan, sehingga Allah memberika n
rukhsoh kepada musafir untuk melaksanakan shalat jama’ ataupun qashar
bagi yang sudah mencapai jarak yang disepakati ulama’.

19 Abu Bakar ibnu Abi Syaibah, Mushannaf ibnu Abi Syaibah, (Riyadh; Maktabah Ar Rusyd,
1409 H), jilid. 5, hlm. 317.
20 Muhammad Asy-Syaukani, Naylul Awthaar, (Mesir; Darr al Hadits), jilid. 3, hlm. 241.

7
Jelaslah, dari dali-dalil diatas terlihat bahwa mengqashar shalat adalah
keringanan, dan pendapat ini kuat dan mudah diterima akal. 21
D. Syarat-syarat dan Tata Cara Shalat Qashar dan Jama’ Bagi Musafir
1. Syarat-syarat diperbolehkannya shalat Qashar, adalah:
a. Bepergian tidak untuk tujuan maksiat
Mayoritas ulama’ membolehkan menqashar shalat bagi mereka
yang melakukan perjalanan yang sifatnya mendekatkan diri pada Allah
Ta’ala, seperti dalam perjalanan haji, umroh dan jihad. Atau yang
mubah seperti perjalanan untuk perdagangan, menjenguk keluarga, dan
sebagainya. bukan perjalanan yang diharamkan ataupun dilarang,
seperti merampok, mencuri, berjudi dan semacamnya menurut
mayoritas ulama selain Hanafi.
Hanafi berpendapat dibolehkan juga untuk mengqashar shalat
untuk perjalanan bisnis, rekreasi, tamasya, ziarah masjid-masjid dan
monumen, serta ziarah kubur.22
b. Berniat qashar setiap melaksanakan shalat
Hendaknya berniat shalat qashar setiap akan melaksanakan
shalat yang akan diqashar. Dari madzhab Malikiyah berpendapat
bahwa hanya cukup melakukan niat pada awal melaksanakan shalat
yang akan diqashar dan tidak harus memperbaharui niatnya, seperti niat
untuk berpuasa ramadhan, cukup niat diawal bulan ramadhan.
Akan tetapi madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, niat
untuk mengqsahar shalat dimulai ketika bertakbiratul ihram, karena ini
merupakan syarat shalat qashar. Mutlaknya niat itu terserah
kepadanya, namun ia harus berniat mengqashar shalat.
Sedangkan madzhab Hanafi, mereka mencukupkan dengan niat
melakukan perjalanan sebelum mendirikan shalat. Ketika seorang
musafir untuk melakukan perjalanan maka kewajibannya adalah
mengqashar shalat dua rakaat. Ia tidak perlu lagi berniat ketika
takbiratul ihram setiap kali ingin shalat. 23
c. Hendaknya orang yang mengqashar shalat tidak bermakmum
kepada orang yang mukim.

21 Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta; Gema insani, 2010), jilid. 2, hlm.
426.
22 Ibid
23 Ibid, hlm. 437.

8
Seorang musafir tidak bermakmum kepada seorang mukim atau
seorang yang menyempurnakan shalat pada sebagian dari shalatnya.
Jika ia melakukan hal itu maka ia wajib menyempurnakan shalat.
Seandainya ia shalat Zhuhur di belakang orang yang mengerjkan shalat
Shubuh, baik ia musafir atau seorang mukim maka ia tidak boleh
mengqashar shalat menurut yang lebih shahih karena ia adalah shalat
yang tidak diqashar. Seandainya ia shalat Zhuhur di belakang orang
yang mengerjakan shalat jum’at maka Madzhab Syafi’i menyata kan
bahwa ia tidak boleh mengqashar shalat, wajib menyempurnaka n
shalat, baik imam shalat jum’at tersebut seorang musafir maupun
seorang mukim. Seandainya ia meniatkan shalat Zhuhur yang diqashar
di belakang orang yang shalat Asar yang diqashar maka boleh. 24
d. Telah melewati batas kota
Mayoritas ulama berpendapat, mengqashar shalat disyari’atk a n
sesudah meninggalkan perkampungan, dan ini adalah salah satu
syaratnya.
Ibnu Mundzir mengatakan, “ Aku tidak tahu adanya riwayat yang
menyatakan bahwa Nabi ‫ ﷺ‬telah mengqashar shalat saat bepergian
kecuali sesudah keluar madinah.”
Anas mengatakan, “Aku mengerjakan shalat Zhuhur bersama
Nabi ‫ ﷺ‬Sebanyak 4 rakaat di Madinah dan sebanyak 2 rakaat di Dzul
Hulaifah.”25
e. Bepergian dengan perjalanan jauh sesuai ketentuan jarak
tempuh
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menentukan jarak
perjalanan diperbolehkan shalat qashar, diantaranya adalah;
Madzhab Hanafi mengatakan, diperbolehkannya menqashar
shalat itu minimal berjarak 3 hari 3 malam perjalanan pada hari-
hari terpendek dalam setahun dinegara-negara yang beriklim
sedang, dengan perjalanan unta dan berjalan kaki, serta tidak
disyaratkan harus setiap hari sampai malam, tetapi berjalan setiap
hari (Zhuhur). Perumpamaannya adalah perjalanan sedang dengan
istirahat cukup. Namun, jika seseorang berjalan lebih cepat dan

24 Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini Ad Dimasyqi Asy Syafi’i, Kifayatul
Akhyar : Memahami Fikih Madzhab Syafi’i, (Sukoharjo; Al Qowam, 2017), jilid 1, hlm. 363.
25 Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al Faifi, Ringkasan Fikih Sunah, (Jakarta Timur; Beirut

Publishing, 2017), hlm. 203-204.

9
memotong jarak tersebut sehingga lebih singkat dari jarak
seharusnya seperti transportasi modern, maka dibolehkan untuk
mengqashar shalat.
Menurut mayoritas selain madzhab Hanafi, perjalanan
panjang yang dibolehkan untuk mengqashar shalat bila diukur
dengan waktu yaitu 2 hari dengan cuaca sedang atau dua marhalah
dengan perjalanan berat dan langkah kaki yang merayap. Seperti
jarak antara kota Jeddah-Makkah, atau Tha’if- Makkah. Bila
diukur dari jarak berangkatnya dengan 4 burud atau 16 farsakh atau
48 mil Hasyimi. 1 mil 6000 hasta, seperti yang disebutkan madzhab
Syafi’I dan Hanbali. Sedangkan menurut Maliki sesuai
pendapatnya yang shahih yaitu, 1 mil itu 3500 hasta, sama dengan
89 km, untuk detailnya 88,704 km atau setara dengan jarak Solo-
Purworejo atau Simo-Kudus
Diperbolehkan mengqashar shalat meskipun baru
menempuh 1 jam perjalanan saja, seperti bepergian menggunaka n
pesawat terbang, mobil, dan sebagainya, karena memang telah
menempuh perjalanan berjarak 4 burud.26
Hitungan jarak dilaut sama dengan jarak didarat. Dalil
mereka adalah sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬,

‫َ أهل مكة! ال تقصروا ِف أقل من أربعة برد ِف ممل ما يكون بني مكة إىل‬

‫عسفان‬
“Penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat
kurang dari 4 burud, yaitu dari Makkah sampai ‘Usfan” (HR.
Ahmad)27
Juga riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, keduanya
melakukan shalat dua rakaat serta berbuka jarak empat burud dan
lebih dari itu. Karena, pada jarak tersebut sering muncul kesulitan
perjalanan, sedang jarak kurang dari itu tidak terlalu banyak.
Jarak ini menurut madzhab Syafi’i benar-benar telah dibatasi
maka dianggap batal jika jaraknya kurang meskipun sedikit.
Namun menurut madzhab Hanbali dan Maliki, jarak tersebut

26 Ibid, hlm. 428.


27 Abdul al Haq ibnu Saifuddin ibnu Sa’adu Allah al Bukhoriy, Lam’atu at Tanqiih fii Syarhi
Misykati al Mashobih, (Damaskus; Daar an Nawadir), jilid. 3, hlm. 470.

10
hanyalah perkiraan bukan batasan, maka menurut madzhab
Hanbali tidak mengapa bila jaraknya kurang sedikit dari batas yang
ditentukan, misalnya satu atu dua mil, bahkan menurut madzhab
Maliki tidak mengapa bila jaraknya kurang delapan mil.28
Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak perjalanan yang
dibolehkan untuk mengqashar shalat adalah 83 km. ulama yang
lain berpendapat jaraknya sesuai dengan adat yang berlaku yaitu
jika ia melakukan perjalanan yang menurut adat sudah disebut
safar, mka ia telah melakukan safar, meskipun jaraknya belum
mencapai 80 km. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, karena Allah dan Nabi ‫ ﷺ‬tidak menentukan jarak
tertentu untuk dibolehkan melakukan qashar.29
Anas bin Malik berkata :
ِ ْ ‫صلَّى رْك اعات‬
‫ني‬ ِ ‫ِ و‬ ِ َِّ ‫ول‬
‫ ا ا‬،‫ أْاو ثااَلثا اة اف اراس اخ‬،‫اَّلل ﷺ إذاا اخ ار اج امس اْيةا ثااَلثاة أ ْامايال‬ ُ ‫اكا ان ار ُس‬
“Apabila Rasulullah pergi sejarak 3 mil atau 3 farsakh maka
beliau mengqashar shalat, beliau shalat dua rakaat.” (HR.
Muslim)30
Al hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Al Fath, “Hadits ini
adalah hadits paling shahih dan paling jelas yang diriwayatka n
tentang masalah ini. Keragu-raguan tentang mil atau farsakh
menjadi lenyap oleh apa yang disebutkan Abu Sa’id Al Khudzri,
“Bila bepergian sejauh satu farsakh, Rasulullah mengqashar
shalat.” (HR said bin Manshur dan dia disebutkan oleh Al Hafizh
dalan At Talkhish dan dia mengakuinya dengan mendiamkannya).
Sudah maklum bahwa satu farsakh sama dengan tiga mil.
Dengan demikian, hadits Abu Sa’id Al Khudzri menghilangka n
keraguan yang ada dalam hadits Anas dan menjelaskan bahwa
jarak terdekat yang digunakan Rasulullah mengqashar shalat
adalah 3 mil. (Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Demikianlah. Jika
seseorang melakukan bepergian sejauh kurang lebih 80 km, ia
sudah boleh mengqashar shalat, sebab dia adalah jarak yang

28 Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta; Gema insani, 2010), jilid. 2,
hlm. 429.
29 Syaikh Muhammad bin Syaikh Al Utsaimin, Umat Bertanya Ulama Menjawab, (Solo;
Cordova Mediatama), hlm. 238.
30 Muslim ibnu Al Hajjaj Abul Husain al Qusyairiy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut;

Ihya’ at Turats al Arabiy), Jilid. 1, hlm. 480.

11
dianggapa sebagai jarak mengqashar shalat, menurut mayoritas
ulama).
Dalam masalah ini bepergian dengan pesawat terbang dan
bepergian dengan kereta api tidak ada perbedaan. Demikian juga
bepergian untuk ketaatan ataupun bepergan jenis lainnya(muba h).
Orang yang pekerjaannya selalu menuntutnya untuk bepergian,
seperti pelaut dan sopir, dibolehkan mengqashar shalat dan
berbuka, karena ia benera-benar musafir.31
f. Batas waktu mengqashar
Jika seseorang berniat mukim selama empat hari atau kurang
dari itu, shalatnya boleh diqashar. Sebagaimana yang dipraktekkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu beliau mengerjakan shalat di
Makkah kala beliau mukim empat hari di sana. Saat itu beliau
mengqashar shalat.
Adapun jika mukimnya lebih dari empat hari, para ulama
berselisih pendapat. Yang lebih hati-hati adalah mengerjakan shalat
secara sempurna (tamaam) yaitu shalat yang empat raka’at tetap
dikerjakan empat raka’at.
Sedangkan jika ia mengatakan, “Besok aku akan bersafar lagi”
atau ia berkata bahwa setelah besok, dia akan bersafar lagi dan ia tidak
berniat untuk mukim, maka ia boleh terus-terusan mengqashar shalat.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tinggal di Makkah
selama sepuluhan hari dan beliau mengqashar shalat. Begitu pula Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Tabuk selama 20 malam,
ketika itu beliau mengqashar shalat. 32
2. Syarat Menjama’ Antara Dua Shalat
Menjama’ shalat dibagi menjadi 2, yaitu jama’ taqdim dan jama’
ta’khir.
a. Beberapa syarat yang berkaitan dengan jama’ taqdim, sebagai berikut;
1) Menyengaja shalat jama’ pada waktu yang pertama, misalnya niat
menjama’ shalat Ashar pada shalat Dzhuhur walaupun niat itu
disebutkan ketika salam pada akhir shalat pertama.
2) Tertib

31 Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al Faifi, Ringkasan Fikih Sunah, (Jakarta Timur; Beirut
Publishing, 2017), hlm. 203.
32 https://rumaysho.com/10892-lama-waktu-untuk-qashar-shalat.html diakses pada tgl 14

Maret 2019

12
Mendahulukan shalat yang patut didahulukan dan mengakhirka n
shalat yang patut diakhirkan. Maksudnya, dikerjakan lebih dahulu
shalat yang pertama, kemudian shalat yang kedua (shalat yang
dijama’)
3) Berturut-turut
Setelah selesai mengerjakan shalat yang pertama, hendaklah segera
menegerjakan shalat yang kedua tanpa menyelinginya dengan suatu
perbuatan atau perkataan lain, seperti tasbih, shalat sunnah, dan
lain-lainnya. Namun tidak mengapa bila mengucapkam perkataan
yang sengaja ditujukkan untuk memberi tahu atau hendak
berwudhu kembali, atau hendak tayammum.
b. Adapun untuk jama’ ta’khir juga terdapat beberapa syarat, yaitu
berikut;
1) Niat untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat jama’ sebelum keluar
waktu shalat pertama meski ukuran satu rakaat, yaitu waktu tersisa
untuk memulai shalat hingga bisa menjadi tepat waktu, sedang jika
tidak maka bermaksiat karena mengqadha’.
2) Perjalanan terus berlangsung hingga tiba waktu shalat kedua. Jika
terputus dan masih tersisa waktu shalat pertama, yaitu masih bisa
dilakukan berdiri saja untuk shalat pertama maka shalat pertama itu,
baik dhuhur atau maghrib menjadi qadha’ karena mengikut pada
shalat kedua dalam pelaksanaanya sebab ada udzur, namun hilang
sebelum habis waktunya.
3. Tata Cara Melaksanakan Shalat Jama’ dan Qashar
Shalat jamak dapat dilaksanakan dengan dua cara:
a. Jama’ Takdim
Yakni menjama’ dua shalat yang dilaksanakan pada waktu yang
pertama. Urutannya, kerjakan shalat yang pertama kemudian shalat
kedua tanpa diselingi kegiatan apapun. Maksudnya, setelah salam pada
shalat dzuhur anda langsung berdiri mengerjakan shalat ashar. 33
b. Jama’ Ta’khir
Yakni menjama’ dua shalat yang dilaksanakan pada waktu yang kedua.
Misalnya menjama’ shalat dhuhur dengan asar, dikerjakan pada waktu

33 https://toskomi.com/2017/01/19/tata-cara-shalat-jamak-qashar-jamak-qashar-lengkap/

diakses tgl 14 Maret 2019

13
asar atau menjama’ shalat maghrib dengan isya’ dilaksanakan pada
waktu isya’.34
c. Shalat Qashar
Penulis mengambil contoh shalat qashar dhuhur. Berniat shalat dengan
cara qasar, kemudian shalat dhuhur dua rakaat dan salam.
d. Shalat Jama’ Qashar
Shalat jamak qashar bisa dilakukan secara takdim maupun ta’khir.
Penulis mengambil permisalan shalat dhuhur dengan asar. Berniat
menjama’ qashar shalat dhuhur dengan jama’ takdim. Kemudian Shalat
dhuhur dua rakaat (diringkas) setelah selesai dilanjutkan berdiri dan
berniat shalat asar secara taqdim dan melaksanakan shalat asar dua
rakaat (diringkas).35
e. Shalat Diperjalanan (dikendaraan)
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, beliau mengatakan;
ِ ‫ان النَِّيب اكا ان يصلِي علاى ر ِاحلاتِ ِه اَْنو الْم ْش ِرِق افِإ اذا أاراد أا ْن ي‬
‫اسات ْقاب ل‬
ْ ‫صل اي ا لْ ام ْكتُوبا اة نا ازل اف‬
‫اا ُ ا‬ ‫ا ا‬ ‫أ َّ َّ ُ ا ا ا‬
‫الْ ِقْب لا اة‬
“Bahwa Nabi ‫ ﷺ‬shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur.
Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat
menghadap kiblat”. (HR. Bukhari)36
Sebuah hadits menceritakan bagaimana Rasulullah ‫ﷺ‬
memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan shalat
di atas perahu atau kapal laut, ketika menuju ke negeri Habasyah.

‫الس ِف اين ِة اقائِ اما‬


َّ ‫صلِ اي ِِف‬ ِ ِ ‫ث ج ْع افر بْن أِاِب طاالِ و‬
‫ب إ اىل ا ْْلااب اشة أ اام ارهُ أا ْن يُ ا‬ َّ ِ‫ان الن‬
‫َّيب لا َّما با اع ا ا ا ا‬ َّ ‫أ‬

‫إِالَّ أا ْن ااَي ا‬
‫اف الْ اغ ار اق‬
“Bahwa Nabi SAW ketika mengutus Ja'far bin Abi Thalib
radhiyallahuanhu ke Habasyah, memerintahkan untuk shalat di atas
kapal laut dengan berdiri, kecuali bila takut tenggelam”. (HR. Al-
Haitsami dan Al-Bazzar)
Jika kita perhatikan teks-teks hadits di atas, kita akan dapati
bahwa shalat yang dilakukan Rasulullah ‫ ﷺ‬di atas punggung unta hanya

34 Ibid
35
Ibid
36 Muhammad ibnu Ismail Abu ‘Abdillah Al Bukhori Al Ja’fii, Shahih Al Bukhori, (Daar

An Najah, 1422 H), jilid. 2, hlm. 45.

14
sebatas shalat sunnah saja. Sedangkan untuk shalat fardhu yang lima
waktu, beliau tidak pernah melakukannya.
Jadi, jika beliau bertemu dengan waktu shalat fardhu, sementara
beliau sedang berada di punggung untanya, maka beliau menghentika n
unta itu, lalu turun ke atas tanah. Dan beliau shalat dengan menghadap
arah kiblat yang benar.
Oleh karena itulah semua ulama sepakat bahwa shalat fardhu
tidak sah bila dilakukan di atas punggung unta. Sebab Nabi yang pernah
bersabda, "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat Aku shalat",
justru tidak melakukan shalat di atas punggung unta. Beliau ‫ ﷺ‬justru
turun ke atas tanah. Maksudnya tidak lain agar beliau bisa shalat dengan
menghadap kiblat, sebagaimana disebutkan di dalam teks-teks hadits di
atas. Selain itu tentu saja kalau shalat di atas tanah, beliau ‫ ﷺ‬juga bisa
shalat dengan benar yaitu dengan berdiri, rukuk, sujud yang sempurna.
Bukan cuma dengan membungkuk-bungkukkan badan.37
Adapun untuk jenis kendaraan zaman sekarang seperti kapal,
kereta dan pesawat merupakan transportasi yang sulit bagi kita untuk
turun dan mengerjakan shalat fardhu. Maka para ulama berpendapat,
jika shalat wajib bisa dikerjakan dengan turun dari kendaraan, maka itu
yang diperintahkan. Sehingga jika shalat wajib itu bisa dilakukan
dengan turun dari kendaraan dengan cara dijamak dengan shalat
sebelum atau sesudahnya, maka baiknya shalat tersebut dijamak atau
diqashar.
Akan tetapi, jika khawatir keluar waktu shalat atau shalat
tersebut tidak bisa dijamak, maka tetap yang jadi pilihan adalah shalat
wajib tersebut dikerjakan di atas kendaraan. Tidak boleh sama sekali
shalat tersebut diakhirkan. Semisal shalat Shubuh yang waktunya
sempit, tetap harus dilaksanakan di atas kapal atau pesawat.38
Melaksanakan shalat di atas kapal dihukumi sah menurut
kesepakatan para ulama karena kapal sudah ada sejak masa silam.
Sedangkan mengenai shalat di pesawat tersirat dari perkataan Imam
Nawawi dalam kitab Al Majmu’, beliau berkata, “Shalat seseorang itu

37 https://rumahfiqih.com/x.php?id=1420454396 diakses tgl 18 Maret 2019


38 https://rumaysho.com/3074-shalat-di-pesawat-dan-kapal.html diakses tgl 18 Maret 2019

15
sah walau ia berada di atas ranjang di udara”39. Sehingga dari perkataan
beliau ini diambil hukum bolehnya shalat di atas pesawat. 40

39 Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu` Syarhul Muhadzdzab, Daar al
Fikr, jilid. 3, hlm. 242.
40 Opcit.

16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
a. Bahwasannya syari’at shalat jama’ dan qashar adalah sebuah keringanan yang
diberikan Allah Ta’ala untuk para hambanya, pendapat tersebut sesuai dengan
pendapat yang kuat dan mudah diterima akal.
b. Diperbolehkannya para musafir melaksanakan shalat jama’ dan qashar ialah
saat musafir tersebut memenuhi syarat dan ketentuan yang telah penulis
paparkan diatas.
c. Bahwasannya jarak yang diperbolehkannya melaksanakan shalat jama’ dan
qashar ialah 4 burud = 16 farsakh = 83-85 KM sesuai dengan pendapat para
jumhur.
d. Batas maksimal waktu melaksanakan shalat qashar ialah 4 hari dan musafir
tidak berniat untuk menetap, ini merupakan pendapat para jumhur dan
merupakan sebuah bentuk kehati-hatian atas semua perbedaan pendapat diatas.
Saran
Demikian penjelasan mengenai shalat jama’ dan qashar serta ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan shalat tersebut. Semoga kita tidak bermalas-malasa n
dalam beribadah terutama shalat, karena Allah Ta’ala selalu memberi kemudahan dan
tidak pernah menyulitkan kita untuk beribadah kepadaNya. Perlu diingat shalat qashar
sama halnya dengan jama’, kita tidak boleh asal melaksanakannya, karena shalat
qashar dan shalat jama’ ada syarat-syarat tertentu yang menjadikannya kita boleh
melakukannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an Al Kariim.
Abi Sufrah, Al Muhalab ibnu Ahmad ibnu, Mukhtasar an Nasih fii Tahdzibi al
Kitab al Jami’ as Shahih, Jilid. 1.
Abi Syaibah, Abu Bakar ibnu, Mushannaf ibnu Abi Syaibah, Riyadh;
Maktabah Ar Rusyd, 1409 H, jilid. 5.
Al Bukhori, Muhammad ibnu Ismail Abu ‘Abdillah, Shahih Al Bukhori, Daar
Thauq An Najah, 1422 H, jilid. 2.
Al Bukhoriy, Abdul al Haq ibnu Saifuddin ibnu Sa’adu Allah, Lam’atu at
Tanqiih fii Syarhi Misykati al Mashobih, Damaskus; Daar an Nawadir, jilid. 3.
Al Faifi, Sulaiman bin Ahmad bin Yahya, Ringkasan Fikih Sunah, Jakarta
Timur; Beirut Publishing, 2017.
Al Khurasany, Ahmad bin Syu'aib, Sunan An Nasa’ii, Aleppo; Maktab al
Mathbuat al Islamiyah, 1986, jilid. 3.
Al Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Syaikh, Umat Bertanya Ulama
Menjawab, Solo; Cordova Mediatama.
Al-Naisaburi, Muslim ibnu Al Hajjaj Abul Husain al Qusyairiy, Shahih
Muslim, Beirut; Daar Ihya’ at Turats al Arabiy, jilid. 1.
An-Nawawi, Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf, Al-Majmu` Syarhul
Muhadzdzab, Daar al Fikr, jilid. 3.
As-Shan’ani, Al-Imam Muhammad bin Isma’il al-kahlani, Subulus Salam,
Daar al Hadits, jilid 1.
Asy Syafi’I, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini Ad Dimasyq i,
Kifayatul Akhyar: Memahami Fikih Madzhab Syafi’i, Sukoharjo; Al Qowam, 2017,
jilid 1.
Asy-Syaukani, Muhammad, Naylul Awthaar, Mesir; Darr al Hadits, jilid. 3.
Az Zayla’iy, Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah ibnu Yusuf ibnu
Muhammad, Nashab ar Raayah, Jeddah; Daar al Qiblah li Tsaqofah al Islamiy, jilid.
2.
Az Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta; Gema insani, 2010,
jilid 1.
Media, Tim Pandom, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru, Jakarta Barat;
Pandom Media Nusantara, 2014.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya;
Pustaka Progressif, 1997.
http://santrigaul.net/cara- menjamak-sholat/ diakses tgl 09 Feb 2019.

18
http://www.islamianews.com/2015/01/pengertia-shalat-jamak-dan-
qashar.html diakses tgl. 24 Feb 2019.
https://rumaysho.com/10892-lama-waktu-untuk-qashar-shalat.html diakses
pada tgl 14 Maret 2019
https://toskomi.com/2017/01/19/tata-cara-shalat-jamak-qashar-jamak-qashar-
lengkap/ diakses tgl 14 Maret 2019
https://www.islampos.com/ini-tata-cara-shalat-jamak-dan-qasar-92724/
diakses tgl 24 Feb 2019.
https://rumahfiqih.com/x.php?id=1420454396 diakses tgl 18 Maret 2019
https://rumaysho.com/3074-shalat-di-pesawat-dan-kapal.html diakses tgl 18
Maret 2019

19

Anda mungkin juga menyukai