Anda di halaman 1dari 21

HADITS AHKAM

“TATA CARA SHALAT RASULULLAH, SHALAT JAMA’ DAN SHALAT


QASHAR”

Dosen Pembimbing

“Dr. Edi Gunawan, M.Hi“

Disusun Oleh :

Muamar P. Igirisa
15.1.1.024

Harun Ngadi
10.1.1.034

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN MANADO)


TAHUN 2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………..…. 2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 3
A. Latar Belakang……………………………………………….… 3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………3
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………… 4
A. Bagaimana Tata cara Shalat Rasulullah? …………………………4
B. Bagaimana Tata cara Cara Shalat Jama‟?……………………………8
C. Bagaimana Tata cara Cara Shalat Qashar?………………………
13
BAB III PENUTUP……………………………………………………….. 20
A. Kesimpulan……………………………………………………….20
21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya
shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur
agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut
sebagai penegak agama.

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama
yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada keadaan normal,
berlaku hukum „azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal, maka Islam mengakomodirnya
dengan rukhsah (keringanan/ kemudahan) sehingga syariat tetap dapat ditunaikan.

Menjama‟ dan mengqasar shalat adalah rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah
kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan. “Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah:185)

Rukhshah ini merupakan shodakoh dari Allah SWT yang dianjurkan untuk diterima
dengan penuh ketawadlu‟an. Melalui makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan tentang
shalat jama‟ dan qashar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Tata cara Shalat Rasulullah?


2. Bagaimana Tata cara Cara Shalat Jama‟?
3. Bagaimana Tata cara Cara Shalat Qashar?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tatacara Shalat Rasulullah


a. Pengertian shalat

Shalat menurut lughat (secara bahasa) berarti do‟a, sedangkan menurut istilah syara‟
shalat ialah seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat
tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.1 Sebagaimana sabda Nabi SAW :

‫ «إ َذا قُ ْمت إلَى‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬- ‫صلى الل ُ َعلَْي ِ َو َسل َم‬ ِ


َ - ‫ أَن ال بِي‬- ُ ْ ‫ َرض َي الل ُ َع‬- َ‫َع ْن أَبِي ُ َريْ َرة‬
‫ ثُم ْارَك ْع َحتى‬،‫آن‬ ِ ‫ ثُم اقْرأْ ما تَ يسر معك ِمن الْ ُقر‬،‫ فَ َكبِ ر‬،َ‫استَ ْقبِل ال ِْق ْب لَة‬ ُ ‫َسبِ ْغ ال ُْو‬ ِ
ْ ْ ََ َ َ َ َ ْ ْ ْ ‫ ثُم‬،‫وء‬ َ ‫ض‬ ْ ‫الص ََة فَأ‬
‫ ثُم ْارفَ ْع َحتى تَط َْمئِن‬،‫اج ًدا‬ ِ ‫ ثُم اُ ْسج ْد حتى تَطْمئِن س‬،‫ ثُم ارفَ ْع حتى تَ ْعتَ ِد َل قَائِما‬،‫تَطْمئِن راكِعا‬
َ َ َ ُ ً َ ْ ً َ َ
ُ ‫ َوالل ْف‬،ُ‫ص ََتِك ُكلِ َها» أَ ْخ َر َج ُ الس ْب َعة‬
‫ظ‬ ِ َ ِ‫ ثُم افْ عل ذَل‬،‫اج ًدا‬ ِ ‫ ثُم اُ ْسج ْد حتى تَطْمئِن س‬،‫جالِسا‬
َ ‫ك في‬ َْ َ َ َ ُ ً َ
‫اد ُم ْسلِ ٍم " َحتى تَط َْمئِن قَائِ ًما‬
ِ َ‫ وِِب ِن ماج ْ بِِإس‬،‫ي‬
ْ َ َ ْ َ ِ ‫للْبُ َخا ِر‬
ِ

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu hendak melaksanakan
shalat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah,
kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur'an, kemudian ruku’lah dengan
tuma’ninah, kemudian bangunlah hingga tegak berdiri, kemudian sujudlah dengan tuma’ninah
kemudian bangunlah lalu duduklah dengan tuma’ninah, kemudian sujudlah dengan tuma’ninah,
kemudian lakukan semua itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Imam Tujuh. Lafazh ini lafazh Al
Bukhari, sedangkan lafazh Ibnu Majah dengan sanad Muslim, “Bangunlah dengan tuma’ninah)

Penjelasan Kalimat

"Jika kamu hendak melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudhumu (Yakni


mengerjakannya dengan lengkap) kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah (yakni
takbiratul ihram) kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an (ungkapan ini
menjelaskan bahwa doa istiftah tidak wajib dibaca, jika wajib tentulah beliau perintahkan,
kemudian zhahir ungkapan ini mengisyaratkan bahwa yang dibaca tidak harus surat Al-Fatihah,
namun hal ini akan kami jelaskan pada saatnya nanti) kemudian ruku'lah dengan tuma’ninah (hal
ini menjelaskan bahwa ruku' dengan tuma‟ninah padanya adalah wajib) kemudian bangunlah
1
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum hukum fiqih islam cet.. ke 6, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986 hal.
98

4
(dari ruku') hingga tegak berdiri kemudian sujudlah dengan tuma’ninah (hal ini menjelaskan
bahwa sujud dengan tuma‟ninah adalah wajib) kemudian bangunlah (dari sujud) lalu duduklah
dengan tuma’ninah (setelah sujud yang pertama) kemudian sujud dengan tuma’ninah (ini adalah
sujud kedua. Ini adalah sifat satu rakaat sempurna, yakni berdiri, membaca sebagian dari Al-
Quran, ruku', i'tidal atau bangun dari ruku', sujud dengan tuma'ninah, duduk antara dua sujud,
kemudian sujud dengan tuma‟ninah pula dengan demikian sempurnalah satu raka'at) kemudian
lakukanlah semua itu dalam setiap shalatmu (baik ucapan maupun perbuatan kecuali takbiratul
ihram, karena ia khusus untuk raka'at pertama saja sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
syariat)."

Tafsir Hadits

Di dalam hadits Ibnu Majah dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dengan sanad yang
biasa dipakai Muslim disebutkan, "Bangunlah hingga berdiri dengan tuma’ninah." Sebagai ganti
apa yang disebutkan dalam hadits Al-Bukhari, "Kemudian bangunlah hingga tegak berdiri."
Hadits Ibnu Majah di atas menjelaskan bahwa tuma'ninah saat i'tidal setelah ruku' adalah wajib.2

Shalat menurut istilah adalah beribadah hanya untuk allah ta‟ala, baik dengan perkataan
maupun perbuatan yang telah ditentukan, diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam,
disertai niat, dan syarat – syarat tertentu3.

Shalat hukumnya wajib „ain, yakni wajib bagi setiap individu muslim yang sudah baligh
dan berakal, sehari semalam lima kali.

Firman Allah SWT :

       

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'(QS. Al Baqarah : 43)

I a Ash Sha ’a i, Subulus Sala Terje aha jilid , hal.


2

3
Ibnu Amin Yasin, Abu Yasin, Fiqih Shalat Lengkap Menurut 17 Imam Besar terjemahan Cet I, Pustaka
Azam, Jakarta, 2010 hal. 1 - 2

5
               

  

dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. Al Ankabut : 45)

Shalat adalah ibadah yang pertama kali di wajibkan oleh Allah SWT, disampaikan
langsung olehnya kepada Rasulullah SAW. Di samping itu, shalat juga berupa amalan hamba
yang mula mula dihisab, berdasarkan hadits riwayat dari Abdullah bin Qurth ra. :

Amal yang pertama kali akan dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat adalah
shalat. Jika shalatnya baik maka dinilai baiklah seluruh amalnya yang lain dan jika shalatnya
rusak maka rusak pulalah seluruh amalnya yang lain (HR. Tabrani) 4

Selain itu ketentuan shalat juga diatur dalam firman Allah SWT sebagai berikut :

              

 

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu

4
Hasanuddin AF, Fiqih II cet I, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, 1996, hal. 80

6
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat.(QS. Al Huud 114)

              

                 

  

(36) Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan
dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,

(37) Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka
takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.

           

          

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa 103)5

Moch Anwar, Fiqih Islam, ba du g PT. Al a’rif, , hal.


5

7
B. Pengertian Shalat Qashar

"‫"اختصا ر اصاة الر با عيته الى ر كعتين‬

(Meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat)6

Dalam hadits shahih Nabi SAW bersabda :

‫ص ََةُ الس َف ِر‬ َ ‫ت‬ْ ‫ فَأُقِر‬،‫ت الص ََةُ َرْك َعتَ ْي ِن‬ َ ‫ أَو ُل َما فُ ِر‬:‫ت‬
ْ ‫ض‬ ْ َ‫ قَال‬- ‫ض َي الل ُ َع ْ َها‬ِ ‫ ر‬- َ‫شة‬ ِ
َ َ ‫َع ْن َعائ‬
‫ص ََةُ الس َف ِر‬ َ ‫ت‬ْ ‫ َوأُقِر‬،‫ت أ َْربَ ًعا‬
ْ ‫ض‬ َ ‫ فَ ُف ِر‬،‫اج َر‬
َ َ ‫ ثُم‬:‫ي‬ ِ ‫ َولِلْبُ َخا ِر‬- ِ ‫ض ِر ُمت َف ٌق َعلَْي‬
َ ‫ْح‬
َ ‫ص ََةُ ال‬
َ ‫ت‬ ْ ‫َوأُتِم‬
ُ‫اءة‬ ِ ِ ُ ُ‫ فَِإن ها تَط‬،‫ وإِِ الصبح‬،‫ إِ الْمغْ ِرب فَِإن ها ِوتْ ر ال ها ِر‬:‫ َزا َد أَحم ُد‬- ‫َعلَى ْاَْوِل‬
َ ‫ول ف َيها الْق َر‬ َ َْ َ َ ُ َ َ َ َْ
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha ia berkata,- "Shalat yang pertama kali yang difardhukan
adalah dua rakaat, maka ditetapkan hal itu untuk shalat dalam perjalanan dan disempurnakan
untuk shalat hadir (tidak dalam perjalanan)." (Muttafaq Alaih)

[Shahih: Al Bukhari 350 dan Muslim 685]

Dan lafazh bagi Al-Bukhari, "Kemudian Rasulullah hijrah, maka difardhukan empat
rakaat dan ditetapkan untuk shalat dalam perjalanan dengan yang pertama."

[Shahih: Al Bukhari 3935]

Ahmad menambahkan, "Kecuali Magrib, karena ia adalah witir siang hari. Dan kecuali
Subuh, karena di shalat ini dipanjangkan bacaan"

[Sanadnya Shahih: Ahmad 25920; Al-Albani mengisyarakan dalam Ash Shahihah Jilid 6
hal 760. Ebook editor]

Penjelasan Kalimat

"Pertama kali yang difardhukan dari shalat (selain shalat Magrib) dua rakaat (yaitu dalam
keadaan hadir dan perjalanan) maka ditetapkan (yaitu Allah menetapkan) shalat dalam
perjalanan (dengan menetapkannya dengan dua rakaat) disempurnakan untuk shalat hadir -tidak
dalam perjalanan- (selain shalat Maghrib dan ditambahkan dengan tiga rakaat dari dua, yang
dimaksud dengan atammat yaitu ditambahkan sampai menjadi sempurna kalau dibandingkan
dengan shalat dalam perjalanan) dan bagi Al-Bukhari (sendiri dari Aisyah) kemudian hijrah
(yaitu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam) maka difardhukanlah empat rakaat (yaitu dengan

A. Qusyairi Isma‟il. Fikih Safar untuk Sang Pengelana. Pustaka Sidogiri. Pasuruan. 2005 hal. 44
6

8
ditambahkan dua rakaat) dan ditetapkan untuk shalat dalam perjalanan dengan yang pertama
(yaitu difardhukan sebagaimana awalnya), Ahmad menambahkan, "Kecuali Magrib (yaitu ia
menambahkan dari riwayat Aisyah setelah ucapannya 'awwaluma furidhat ash-shalat ilal
maghrib‟ - awal yang difardhukan dari shalat adalah dua rakaat kecuali Maghrib - karena shalat
Maghrib difardhukan tiga rakaat) Sesungguhnya ia (yaitu shalat Maghrib) witir di siang hari (ia
difardhukan secara ganjil tiga rakaat sejak awal perintah) dan kecuali Subuh, karena di shalat ini
dipanjangkan bacaan."

Tafsif Hadits

Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya mengqasar di dalam perjalanan karena kata
furidhat semakna dengan ujibat. Kewajiban mengqasar ini adalah mazhab Al-Hadawiyah, Al-
Hanafiah dan selain mereka. Asy-Syafii dan sekelompok ulama berpendapat sesungguhya
mengqasar itu adalah rukhsah (keringanan) dan menyempurnakan lebih utama. Mereka berkata,
"Furidhat dimaknai dengan quddirat yaitu difardhukan bagi yang menginginkan qasar." Mereka
berdalilkan pada firman Allah Ta'ala,

}ِ‫ص ُروا ِم َن الصَة‬


ُ ‫اح أَ ْن تَ ْق‬
ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم ُج‬
َ ‫{فَ لَْي‬
"Maka tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu)." (QS. An-Nisaa‟: 101)

Dan sesungguhnya shahabat-shahabat Rasulullah melakukan perjalanan bersama beliau.


Di antara mereka ada yang mengqasar dan ada juga yang menyempurnakannya. Dan mereka
tidak mencaci sebagian atas sebagian yang lain. Sesungguhnya Utsman Radhiyallahu Anhu
adalah orang yang menyempurnakan shalat begitu pula Aisyah Radhiyallahu Anha. Riwayat ini
dikeluarkan oleh Muslim.

Pendapat ini ditolak, karena hal itu merupakan perbuatan shahabat yang tidak bisa
dijadikan hujjah. Telah dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shaghir dari hadits Ibnu
Umar secara mauquf,

‫ان نَ َزلَتَا ِم ْن الس َم ِاء فَِإ ْن ِش ْئتُ ْم فَ ُردو ُ َما‬


ِ َ‫ص ََةُ الس َف ِر رْكعت‬
ََ َ
"Shalat dalam perjalanan itu dua rakaat yang diturunkan dari atas langit, jika kalian mau
maka tolaklah keduanya."

Al-Haitsami berkata, "Rijal hadits ini semuanya tsiqah dan hadits ini hadits mauquf,
karenanya tidak ada tempat untuk berijtihad di dalamnya." Dikeluarkan juga oleh Ath-Thabrani
dalam Al-Kabir dengan rijal yang shahih,

9
‫ف الس ةَ َك َف َر‬ ِ َ‫ص ََةُ الس َف ِر رْكعت‬
َ َ‫ان َم ْن َخال‬ ََ َ
"Shalat dalam perjalanan itu dua rakaat, barangsiapa yang menentang sunnah, maka ia
kafir." Di dalam sabda beliau "As-Sunnah" menunjukkan bahwa hadits ini marfu' sebagaimana
yang diketahui.

Ibnul Qayyim juga berkata dalam Al-Hadyu An-Nabawi, "Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam mengqasar shalat yang empat rakaat, beliau melakukannya dengan dua rakaat ketika
akan keluar dalam perjalanan sampai beliau kembali ke Madinah dan tidak pernah ada riwayat
yang tetap bahwa beliau menyempurnakan shalat empat rakaat dalam perjalanan sama sekali."

Dan di dalam ucapan Aisyah 'illal maghrib' (kecuali Magrib), menunjukkan


disyariatkannya Maghrib pada asalnya tiga rakaat dan tidak berubah. Dan ucapannya,
"Sesungguhnya ia adalah witir siang hari." Menunjukkan bahwa shalat siang itu dilakukan
dengan genap, dan Maghrib adalah shalat yang paling akhir karena ia terletak di penghujung
siang. Maka ia menjadi shalat witir di shalat siang. Sebagaimana disyariatkan shalat witir untuk
shalat malam dan witir itu dicintai oleh Allah sebagaimana yang telah lalu di dalam hadits,
"Sesungguhnya Allah itu witir, menyukai yang witir."

Ucapannya, "Kecuali Subuh" karena sesungguhnya shalat Subuh dipanjangkan


bacaannya. Ia menginginkan bahwa pada asalnya shalat Subuh itu dua rakaat. Ia tidak berubah,
baik dalam waktu hadir maupun dalam perjalanan, karena disyariatkan di dalamnya
memanjangkan bacaan karenanya Al-Qur'an mengungkapkannya dalam ayat, "Dan (dirikanlah
pula shalat) Subuh." (QS. Al-Israa: 78)

Jadilah bacaan menjadi rukunnya yang terbesar karena panjangnya bacaan tersebut dalam
shalat Subuh, maka jadikanlah itu ciri khasnya untuk mengungkapkan bagian yang paling besar
dari keseluruhan7

Nabi SAW juga bersabda :

َ‫ج َم ِس َيرة‬ ِ
َ ‫ إذَا َخ َر‬- ‫صلى الل ُ َعلَْي َو َسل َم‬
ِ ُ ‫ « َكا َن رس‬:‫ال‬
َ - ‫ول الل‬ َُ
ِ‫ر‬-‫س‬
َ َ‫ ق‬- ُ ْ ‫ض َي الل ُ َع‬ َ ٍ َ‫َو َع ْن أَن‬
‫ َرَوا ُ ُم ْسلِ ٌم‬. »‫صلى َرْك َعتَ ْي ِن‬ ِ ٍ َ‫ثَََثَِة أ َْمي‬
َ ،‫ أ َْو فَ َراس َخ‬،‫ال‬
Dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallalllahu Alaihi wa Sallam
jika keluar dalam jarak tiga mil atau farsakh, beliau shalat dua rakaat." (HR. Muslim)

I a Ash Sha ’a i, Subulus Sala Terje aha jilid , hal.


7

10
[Shahih: Muslim 691]

Tafsir Hadits

Yang dimaksud dengan ucapan beliau 'jika keluar' adalah keluar dengan jarak yang telah
ditentukan. Tidak berarti jika beliau ingin melakukan safar yang panjang tidak mengqasar,
kecuali setelah jarak ini.

Ucapan beliau 'mil atau farsakh' adalah keraguan dari rawi dan tidak terjadi kebingungan
ini pada asal hadits. Al-Khatabi mengatakan, "Bahwa rawi yang ragu dalam hadits ini adalah
Syu'bah."

Dikatakan batasan mil yaitu sejauh pandangan mata seseorang di alam terbuka, ia tidak
mengetahui apakah yang dilihatnya perempuan atau laki-laki atau selainnya. An-Nawawi
berkata, "Satu mil itu sama dengan enam ribu hasta dan satu hasta itu sama dengan dua puluh
empat jari yang besar dan seimbang dan satu jari itu sama dengan enam biji gandum biasa yang
dihamparkan." Dikatakan, "Satu mil itu sama dengan dua belas ribu kaki dengan kaki manusia."
Dikatakan, "Satu mil sama dengan empat puluh ribu hasta." Dikatakan juga, "Sama dengan
seribu langkah onta." Dikatakan juga, "tiga ribu hasta Bani Hasyim yaitu tiga puluh dua jari dan
hasta yang dimaksud adalah hastanya Nabi S'hallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah yang dimaksud
dengan hasta al-'umari yang diberlakukan di negeri Shan'a dan kota-kotanya.

Adapun 'farsakh' ' sama dengan tiga mil. Ini merupakan bahasa Arab serapan dari bahasa
Persia.

Ketahuilah, sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat tentang jarak yang


diperbolehkan untuk mengqasar shalat mencapai dua puluh pendapat. Ibnul Mundzir
menceritakannya, Azh-Zhahiriyah berpendapat untuk mengamalkan hadits ini, mereka berkata,
"Tiga mil jarak untuk mengqasar.*' Pendapat ini dijawab bahwa hadits ini ada keraguan tidak
dapat dijadikan hujjah untuk pembatasan tiga mil. Benar, hadits ini dapat dijadikan dalil untuk
tiga farsakh dan mil masuk dalam farsakh, maka untuk kehati-hatian diambillah yang terbanyak.
Tetapi dikatakan, sesungguhnya tidak ada seseorang pun yang berpendapat dengan pembatasan
tiga farsakh. Benarnya hujjah Zhahiriyah ini dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Said bin
Manshur, dari hadits Abi Said, sesungguhnya ia berkata,

‫ ذا سافر ف ْرس ً ا ي ْقصر ال ه‬- ‫َ ع ْيه وس ه‬


‫صَةد‬ ‫ ص هى ه‬- َ
‫«كان رسول ه‬
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam apabila melakukan perjalanan satu farsakh,
maka beliau mengqasar shalatnya."

11
Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa satu farsakh sama dengan tiga mil. Paling sedikit
jarak yang dikatakan untuk mengqasar adalah sebagaimana riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dari Ibnu Umar secara mauquf, "Sesungguhnya ia berkata jika aku keluar satu mil,
aku mengqasar shalat." Isnad hadits ini shahih. Telah diriwayatkan hadits nii di dalam Al-Bahru
dari Dawud. Dua pendapat ini sama dengan ucapan Al-Bakir, Ash-Shadiq, Ahmad bin Isa, Al-
Hadi dan selain mereka, "Sesungguhnya mengqasar shalat dalam jarak satu barid dan di
atasnya." Mereka berdalilkan betdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari
hadits Abu Hurairah secara marfu,

»‫ص ُروا الص ََ َة فِي أَقَل ِم ْن أ َْربَ َع ِة بُ ُرٍد‬


ُ ‫« َِ تَ ْق‬
"Tidak halal bagi seorang perempuan untuk melakukan perjalanan satu barid, kecuali
bersama seorang muhrim." (HR. Abu Dawud) [Dhaif: Abu Daud 1725]

Mereka berkata, "Hadits ini menamakan jarak satu barid sebagai sebuah perjalanan." Aku
berkata, "Tidak dapat diragukan bahwa sesungguhnya tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
tidak disebutkannya jarak paling sedikit sebagai batas perjalanan tetapi yang dimaksud adalah
batas perjalanan yang wajib bagi seorang perempuan itu adanya seorang muhrim dan tidak ada
kelaziman antara jarak mengqasar dengan jarak bersama muhrim karena dibolehkannya
memperluas kewajiban bersama muhrim sebagai keringanan atas seorang hamba.

Zaid bin Ali, Muayyid Billah dan selain keduanya begitu juga Hanafiyah mengatakan,
"Bahkan jarak perjalanan itu adalah dua puluh empat farsakh." Karena berdasarkan riwayat Al-
Bukhari dari hadits Ibnu Umar secara marfu,

‫ وا ْلي ْو ْاْخر أنْ تسافر ف ْوق ثَثة أيها هَ ع ْحر د‬،َ‫«َ يح ُل َ ْ رأة ت ْ ن با ه‬
"Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
melakukan perjalanan di atas tiga hari, kecuali bersama seorang mahram." [Shahih: Al Bukhari
1088]

Mereka berkata, "Perjalanan unta pada satu hari sama dengan delapan farsakh." Asy-
Syafii berkata, "Justru jaraknya adalah empat puluh barid berdasarkan hadits Ibnu Abbas secara
marfu,

‫«َ ت ْقصروا ال ه‬
‫صَة في أق هل نْ أ ْربعة بر د‬
"Jangan kalian mengqasar shalat kurang dari empat barid." Hadits ini akan dibahas
mendatang, dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dari perbuatan Ibnu Abbas
juga Ibnu Umar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Abbas secara muallaq
12
dengan shighat Al-Jazm. Sesungguhnya beliau ditanya, "Apakah shalat diqasar dari Makkah ke
Arafah?" Beliau menjawab, "Tidak, tetapi dari Usfan ke Jeddah dan ke Thaif."

Tempat-tempat ini antara satu dengan yang lainnya dan antara Makkah sama dengan empat barid
atau lebih. Pendapat-pendapat saling bertentangan sebagaimana yang Anda baca dengan
bermacam-macam dalil.

Ibnul Qayyim dalam Zad Al-Maad berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
tidak pernah membatasi jarak tertentu untuk mengqasar dan berbuka, tetapi beliau memutlakkan
kepada mereka yang demikian itu dengan kemutlakan perjalanan di bumi sebagaimana beliau
memutlakkan bagi mereka bertayammum pada setiap perjalanan. Adapun riwayat-riwayat yang
disandarkan kepada beliau tentang pembatasan dengan sehari, dua hari atau tiga hari maka tidak
ada yang sah sedikitpun hal itu dari beliau. Wallahu'allam. Dan kebolehan mengqasar dan
menjamak baik dalam perjalanan yang panjang maupun yang pendek, ini adalah mazhab
mayoritas ulama salaf.8

Apabila melihat difinisi diatas, kita bias mengambil kesimpulan bahwa musafir yang
sudah memenuhi persyaratan untuk meng-qashar shalat hanya bisa meng-qashar shalat ruba‟iyah
(shalat yang rakaatnya berjumlah empat) yaitu: shalat dzuhur, ashar, dan isya‟. Sedangkan shlat
maghrib dan shubuh tidak bisa di qashar.9

C. Shalat Jama

Pengertian Shalat jama‟

Jama‟ ialah mengumpulkan dua shalat dan dikerjakan dalam satu waktu.10 Sebagaimana
dalam hadits disebutkan :

‫ إ َذا ْارتَ َح َل فِي‬- ‫َو َسل َم‬ ِ ‫ صلى الل ُ َعلَي‬- ِ ‫ول الل‬
ْ َ ُ ‫ « َكا َن َر ُس‬:‫ال‬ ِ‫ر‬-‫س‬
َ َ‫ ق‬- ُ ْ ‫ض َي الل ُ َع‬َ ٍ َ‫َو َع ْن أَن‬
‫ت‬ْ َ‫ فَِإ ْن َزاغ‬،‫ ثُم نَ َز َل فَ َج َم َع بَ ْي َ ُه َما‬،‫ص ِر‬ ِ ‫س َف ِرِ قَ ْبل أَ ْن تَ ِزي َغ الشمس أَخر الظ ْهر إلَى وق‬
ْ ‫ْت ال َْع‬ َ َ َ ُ ْ َ َ
ٍ َ‫ بِِإس‬:‫ وفِي ِرواي ٍة لِلْحاكِ ِم فِي ْاَْرب ِعين‬.ِ ‫الشمس قَ بل أَ ْن ي رتَ ِحل صلى الظ ْهر ثُم ركِب» مت َف ٌق َعلَي‬
‫اد‬ ْ َ َْ َ ََ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َْ َ ْ ُ ْ

I a Ash Sha ’a i, Subulus Sala Terje aha jilid , hal.


8

A. Qusyairi Isma‟il. Fikih Safar untuk Sang Pengelana. Pustaka Sidogiri. Pasuruan. 2005
9

10
Bahrullah Shadiq. Shalat itu Indah dan Mudah. Pustaka Sidogiri. Pasuruan. 2005 hal. 27

13
،‫ « َكا َن إ َذا َكا َن فِي َس َف ٍر‬:‫ َوَِْبِي نُ َع ْي ٍم فِي ُم ْستَ ْخ َر ِج ُم ْسلِ ٍم‬.‫ب‬ ِ
َ ‫ص َر ثُم َرك‬
ْ ‫ َوال َْع‬،‫صلى الظ ْه َر‬ ٍ ‫ص ِح‬
َ :‫يح‬ َ
»‫ ثُم ْارتَ َح َل‬،‫ص َر َج ِم ًيعا‬
ْ ‫ َوال َْع‬،‫صلى الظ ْه َر‬
َ ‫س‬
ُ ‫ت الش ْم‬
ْ َ‫فَ َزال‬
Dan Anas Radhiyallahu Anhu, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika hendak
berangkat sebelum miringnya matahari beliau mengakhirkan Zhuhurnya sampai ke waktu
Ashar, kemudian beliau turun dan menjama' kedua shalat tersebut. Jika matahari telah miring
sebelum beliau berangkat, beliau shalat Zhuhur kemudian menaiki tunggangannya." (Muttafaq
Alaih)

[Shahih: Al Bukhari 1111 dan Muslim 704]

Menurut Riwayat Al-Hakim di dalam Al Arbain dengan sanad yang shahih, "Beliau
shalat Zhuhur dan Ashar kemudian menaiki tunggangannya." Sedangkan menurut riwayat Abi
Nu'aim di dalam Mustakhraj Muslim, "Jika beliau dalam perjalanan dan matahari miring, beliau
shalat Zhuhur dan Ashar bersamaan kemudian berangkat."

Penjelasan Kalimat

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika hendak berangkat sebelum miringnya


matahari (yaitu sebelum lengsernya matahari) beliau mengakhirkan Zhuhurnya sampai ke waktu
Ashar kemudian beliau turun dan menjama kedua shalat tersebut, jika matahari telah miring
sebelum beliau berangkat, beliau shalat Zhuhur (yakni shalat Zhuhur saja tanpa
menggabungkannya dengan Ashar)."

Tafsir Hadits

Hadits ini merupakan dalil bolehnya menjamak ta'khir bagi orang yang musafir dan dalil
sesungguhnya tidak boleh menjamak taqdim antara keduanya karena sabda beliau, "Shalat
Zhuhur" jika boleh jamak taqdim, tentu beliau menggabungkan kepadanya shalat Ashar. Inilah
perbuatan dari beliau yang mengkhususkan hadits-hadits tentang waktu shalat sebagaimana yang
telah lalu. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:

Al-Hadawiyah berpendapat, yang ini juga merupakan ucapan Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan
sekelompok dari shahabat, diriwayatkan juga dari Malik, Ahmad dan Asy-Syafii, "Bolehnya
menjamak bagi seseorang yang musafir, baik secara taqdim maupun secara ta'khir, berdasarkan
hadits menjelaskan tentang ta'khir dan berdasarkan riwayat yang akan dijelaskan kemudian
dalam masalah taqdim.

14
Dari Al-Auzai, "Sesungguhnya boleh bagi orang yang musafir untuk jamak ta'khir saja
berdasarkan hadits ini." Ini juga diriwayatkan dari Malik, Ahmad bin Hambal dan dipilih oleh
Muhammad Ibnu Hazm.

An-Nakhai, Al-Hasan, Abu Hanifah berpendapat bolehnya menjamak taqdim, tetapi tidak
takhir bagi seorang musafir. Mereka mentakwilkan hadits yang menjelaskan jamaknya
Rasulullah Shallallahu A-laihi wa Sallam bahwa yang dimaksud adalah jamak shuri (jamak
dalam bentuknya saja) yaitu beliau mengakhirkan shalat Zhuhur sampai akhir waktunya dan
mengawalkan Ashar pada waktunya. Demikian juga shalat Isya." Pendapat ini ditolak,
"Sesungguhnya jika mereka berjalan berdasarkan pendapat ini, maka tidak sempurna bagi
mereka dalam jamak taqdim sebagaimana diberikan faedah oleh ucapan, "Menurut Riwayat Al-
Hakim di dalam Al-Arbain dengan sanad yang shahih, "Beliau shalat Zhuhur dan Ashar." Yaitu
jika telah miring sebelum berangkat beliau shalat dua fardhu ini bersamaan kemudian
berangkat." Riwayat ini memberikan faedah tetapnya jama taqdim dari perbuatan Rasulullah.
Maka tidaklah mungkin tergambar bahwa yang dimaksud adalah jamak shuri.

Sama dengan riwayat ini yaitu yang diriwayatkan oleh Abi Nu'aim dalam Mustakhraj
Muslim yaitu takhrij beliau terhadap Shahih Muslim, "Jika beliau dalam perjalanan dan matahari
miring beliau shalat Zhuhur dan Ashar bersamaan kemudian berangkat." Riwayat Al-Hakim dan
Abi Nu'aim ini juga telah memberikan faedah adanya jamak taqdim dan kedua riwayat ini adalah
shahih sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang, kecuali Ibnul Qayyim berkata,
"Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam riwayat Al-Hakim, di antara mereka ada
yang menshahihkan dan di antara mereka ada yang menghasankan ada juga yang mencela hadits
ini dan menjadikannya hadits maudhu' dari Al-Hakim. Sesungguhnya ia menghukumi hadits ini
sebagai maudhu." Kemudian dijelaskan ucapan Al-Hakim tentang kemaudhuan hadits ini yang
kemudian ditolak oleh Ibnul Qayyim dan ia memilih bahwa hadits ini tidak maudhu'. Dan
diamnya pengarang tentang hadits ini dan ia menetapkan bahwa sesungguhnya sanad hadits ini
shahih menunjukkan penolakan kemaudhuan hadits Al-Hakim. Keshahihan hadits ini dikuatkan
oleh riwayat berikut:

َ ُ‫ فِي غَ ْزَوةِ تَ ب‬- ‫صلى الل ُ َعلَْي ِ َو َسل َم‬


.‫وك‬ َ - ‫ « َخ َر ْجَا َم َع ال بِ ِي‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬- ُ ْ ‫ض َي الل ُ َع‬ َ
ٍ ‫و َعن مع‬
ِ ‫ ر‬- ‫اذ‬
َُ ْ َ
‫اء َج ِم ًيعا» َرَوا ُ ُم ْسلِ ٌم‬
َ‫ش‬ َ ‫ َوال ِْع‬،‫ب‬ ِ ْ ‫ وال َْع‬،‫صلِي الظ ْهر‬
َ ‫ َوال َْمغْ ِر‬،‫ص َر َجم ًيعا‬ َ َ َ ُ‫فَ َكا َن ي‬
Dan dari Muadz Radhiyallahu Anhu ia berkata, "Kami keluar bersama Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pada perang Tabuk. Beliau shalat Zhuhur dan Ashar secara
bersamaan, juga Maghrib dan Isya bersamaan." (HR. Muslim)

[Shahih: Muslim 706]

15
Tafsir Hadits

At-Tirmidzi telah meriwayatkan dengan lafazh,

،‫صلِي ِه َما َج ِم ًيعا‬


َ ُ‫ص ِر فَ ي‬ْ ‫َخر الظ ْه َر إلَى أَ ْن يَ ْج َم َع َها إلَى ال َْع‬
َ ‫سأ‬ ُ ‫« َكا َن إذَا ْارتَ َح َل قَ ْب َل أَ ْن تَ ِزي َغ الش ْم‬
»‫ص َر َج ِم ًيعا‬ ْ ‫ َوال َْع‬،‫صلى الظ ْه َر‬ َ ‫ص َر إلَى الظ ْه ِر َو‬ ِ ‫َوإِذَا ْارتَ َح َل بَ ْع َد َزيْ ِغ الش ْم‬
ْ ‫س َعج َل ال َْع‬
"Jika beliau berangkat sebelum miringnya matahari (belum masuk waktu Zhuhur-peny.),
beliau mengakhirkan Zhuhur sampai pada waktu Ashar, kemudian melaksanakannya dengan
jamak ta'khir. Dan jika berangkat setelah miringnya matahari (sudah masuk waktu Zhuhur-
peny.) beliau mempercepat shalat Ashar ke shalat Zhuhur dan melaksanakan shalat Zhuhur dan
Ashar dengan jamak taqdim." [Shahih: At Tirmidzi 553]

Hadits ini seperti rincian global hadits riwayat Muslim, kecuali At-Tirmidzi berkata
setelah mengeluarkan hadits ini, "Hadits ini hadits hasan gharib, Qutaibah telah menyendiri
dengan periwayatannya dan kami tidak mengetahui seseorang pun yang meriwayatkannya dari
Al-Laits selain Qutaibah." Kemudian ia berkata, "Yang terkenal di kalangan Ahlul Ilmi, hadits
Muadz dari hadits Ibnu Az-Zubair dari Abi Ath-Thufail dari Muadz, "Sesungguhnya Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang menjamak antara Zhuhur dan Ashar dan antara
Maghrib dan Isya."

Jika Anda telah mengetahui ini, maka jamak taqdim dalam ketetapan riwayatnya ada
pembicaraan, kecuali riwayat dalam Al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim haditsnya tidak ada
pembicaraan. Ibnu Hazm berpendapat bolehnya jamak ta'khir karena kokoh riwayatnya dan tidak
untuk jamak taqdim. Ini juga merupakan pendapat An-Nakha'i dan riwayat dari Malik dan
Ahmad.

Kemudian sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam keutamaan bagi orang
yang musafir apakah menjamak atau mengerjakan sesuai waktu? Asy-Syafiiyah berpendapat,
"Meninggalkan jamak lebih utama, sedangkan Malik mengatakan hal itu makruh." Dikatakan
jamak dikhususkan bagi orang yang berhalangan.

Ketahuilah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu An-
Nabawi, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengumpulkan shalat
rawatib di dalam perjalanannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh kebanyakan orang. Dan
tidak pula menjamak ketika beliau turun dari perjalanan. Tetapi beliau menjamak ketika
perjalanan sangat melelahkan atau jika beliau berpergian setelah shalat seperti dalam hadits
Tabuk. Adapun beliau menjamak ketika tidak dalam perjalanan, tidak ada riwayat yang dinukil
tentang itu kecuali ketika beliau di Arafah dan di Muzdalifah. Karena menyambung wukuf

16
sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syafii dan guru kami (Ibnu Taimiyah), dan Abu Hanifah
menjadikannya bagian dari kesempurnaan ibadah haji dan itulah yang menjadi sebabnya. Malik,
Ahmad, dan Asy-Syafii, mereka berkata, "Sesungguhnya sebab menjamak di Arafah dan
Muzdalifah adalah karena perjalanan.

Semua ini adalah pembahasan tentang menjamak di perjalanan. Adapun menjamak dalam
waktu hadir (tidak dalam keadaan perjalanan) telah berkata pensyarah- setelah menyebutkan
dalil-dalil yang membolehkan hal tersebut- "Sesungguhnya mayoritas para imam madzhab
berpendapat tidak bolehnya menjamak pada waktu hadir berdasarkan riwayat dari hadits-hadits
yang telah menjelaskan tentang waktu-waktu shalat dan juga berdasarkan riwayat mutawatir
yang menerangkan bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjaga waktu-waktu
tersebut, sampai-sampai Ibnu Mas'ud berkata,

ِ ِ ِ ِ
َ ِ‫ص ََ ًة لغَْي ِر مي َقات َها إ‬
‫ص ََتَ ْي ِن َج َم َع بَ ْي َن‬ َ ‫ص لى‬ َ - ‫صلى الل ُ َعلَْي َو َسل َم‬ َ - ‫« َما َرأَيْت ال بِي‬
»‫صلى الْ َف ْج َر يَ ْوَمئِ ٍذ قَ ْب َل ِمي َقاتِ َها‬ ِ َ ‫ وال ِْع‬،‫ب‬
َ ‫شاء بِ َج ْم ٍع َو‬ َ ِ ‫ال َْمغْ ِر‬
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat satu shalat pun tidak
pada waktunya kecuali dua shalat yaitu menjamak antara Maghrib dan Isya dengan sekali
jamak dan shalat Subuh pada hari ini sebelum waktunya." [Shahih: Al Bukhari 1682 dan
Muslim 1289]

Adapun hadits Ibnu Abbas bagi Muslim,

ٍ ‫ش ِاء بِالْم ِديَ ِة ِمن غَي ِر َخو‬


»‫ َوَِ َمطَ ٍر‬،‫ف‬ َ ‫ َوال ِْع‬،‫ب‬
ِ ‫ َوال َْم ْغ ِر‬،‫ص ِر‬
ْ ْ ْ َ ْ ‫ َوال َْع‬،‫«أَن ُ َج َم َع بَ ْي َن الظ ْه ِر‬
"Sesungguhnya beliau menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dengan Isya
di Madinah tanpa ada sebab ketakutan dan turunnya hujan." [Shahih: Muslim 705]

Dikatakan kepada Ibnu Abbas, "Apa yang diinginkan beliau dengan hal itu?" Ia berkata,
"Beliau menginginkan untuk tidak memberatkan umatnya."

Tidak sah berhujjah dengan hadits ini, karena tidak ditentukan apakah jama' ta'khir atau
taqdim sebagaimana zhahirnya riwayat Muslim. Dan penentuan dari kedua jamak ini adalah
memaksakan hukum maka wajib mengembalikan pada sesuatu yang wajib yaitu tetap pada
keumuman hadits tentang waktu-waktu shalat, baik bagi yang berhalangan ataupun tidak, dan
pengkhususan para musafir karena memang ada dalil yang mengkhususkan, dan ini adalah
jawaban yang bagus.

17
Adapun yang diriwayatkan dari Atsar shahabat dan tabiin, maka tidak bisa dijadikan
hujjah, karena tidak ada ijtihad dalam masalah ini, sebagian mereka menta'wili hadits Ibnu
Abbas sebagai jama' shuri. Dan ini dianggap baik oleh Al-Qurthubi, dan dikuatkan serta
ditetapkan oleh Ibnu Al-Majisyun dan Ath-Thahawi. Dikuatkan juga oleh Ibnu Sayyidin-Nas,
berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh Asy-Syaikhani dari Amr bin Dinar meriwayatkan
hadits dari Abu Asy-Sya'tsa ia berkata, "Aku berkata, "Wahai Abu Asy-Sya'tsa aku menyangka
beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mengawalkan waktu Ashar, mengakhirkan waktu
Magrib dan mengawalkan waktu Isya'. Ia pun berkata, "Aku pun menyangka demikian." Ibnu
Sayyidin-Nas, "Perawi hadits lebih mengetahui dengan apa yang dimaksud daripada yang
lainnya walaupun Abu Asy-Sya'tsa tidak memastikan hal tersebut.

Aku berkata, "Sesungguhnya itu hanya persangkaan dari rawi dan apa yang dikatakan
"lebih tahu dengan apa yang diriwayatkan", sesungguhnya itu berjalan bersama penafsirannya
terhadap lafadz semisalnya, dan pengakuan ini perlu diperhatikan, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

»ُ ْ ‫«فَ ُرب َح ِام ِل فِ ْق ٍ إلَى َم ْن ُ َو أَفْ َق ُ ِم‬

"Berapa banyak pembawa pemahaman kepada orang yang lebih paham darinya."
[Shahih: Shahih Al Jami' 6765]

Pada umumnya benar, dan telah ditentukan takwil ini. Sesungguhnya An-Nasa'i telah
menjelaskan dalam asal hadits Ibnu Abbas dengan lafazhnya,

‫َخر الظ ْه َر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫«صليت مع رس‬


َ ‫ بال َْمديَة ثَ َمانيًا َج ْم ًعا َو َس ْب ًعا َج ْم ًعا أ‬- ‫صلى الل ُ َعلَْي َو َسل َم‬ َ - ‫ول الل‬ َُ ََ ْ َ
»‫اء‬َ‫ش‬َ ‫ب َو َعج َل ال ِْع‬َ ‫ َوأَخ َر ال َْم ْغ ِر‬،‫ص َر‬
ْ ‫َو َعج َل ال َْع‬
"Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di Madinah delapan
sekaligus dan tujuh sekaligus, beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mengawalkan shalat
Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mengawalkan shalat Isya."

Mengherankan dari An-Nawawi bagaimana ia bisa mendhaifkan takwil ini, dan


melupakan dari matan hadits yang diriwayatkan? Lafazh yang muthlaq (tidak dibatasi) dari suatu
riwayat dipahamkan dengan riwayat yang muqayyad (yang dibatasi) jika kisah dalam riwayat
satu seperti pada riwayat ini.

Ucapannya, "Beliau menginginkan untuk tidak memberatkan umatnya", ini melemahkan


pemahaman jamak shuri karena adanya keberatan dalam hal tersebut. Hal ini tertolak karena

18
yang demikian itu lebih ringan daripada shalat pada waktunya. Dan mungkin mengerjakan dua
shalat dengan satu pelaksanaan, sekali menuju masjid, dengan satu kali wudhu berdasarkan
kebiasaanya. Ini berbeda dengan dua waktu, kesulitan dalam menjamak ini tidak diragukan lebih
ringan.

Adapun menqiyas orang hadir dengan musafir sebagaimana yang dikatakan adalah
kekeliruan. Karena Illah (sebab) hukum adalah perjalanan, dan ini tidak terdapat dalam waktu
longgar, jika tidak maka akan wajib juga mengqashar dan berbuka.

Aku berkata, "Ini adalah ucapan dengan pemahaman yang baik, kami telah menjelaskan
apa yang seharusnya dalam risalah kami Al-Yawaqit fi Al-Mawaqit, sebelum meneliti ucapan
pensyarah, semoga Allah merahmati dan mengganjarnya dengan ganjaran yang baik."

Kemudian ia berkata, "Ketahuilah bahwa jama' taqdim terdapat kekhawatiran yang besar,
ia seperti orang yang shalat sebelum waktunya. Maka jadilah keadaan orang yang melakukannya
sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala,

}‫ص ْ ًعا‬ ِ
ُ ‫سبُو َن أَن ُه ْم يُ ْحس ُو َن‬
َ ‫{و ُ ْم يَ ْح‬
َ
"Sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi: 104) ayat
ini dari permulaanya, dan ini shalat yang didahulukan tidak ada dalil yang menunjukkannya
secara mantuq (diucapkan secara jelas), tidak juga secara mafhum (pemahaman akan dalil), tidak
juga secara umum maupun secara khusus."11

I a Ash Sha ’a i, Subulus Sala Terje aha jilid , hal.


11

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tatacara Shalat Rasulullah

Pengertian shalat

Shalat menurut lughat (secara bahasa) berarti do‟a, sedangkan menurut istilah syara‟
shalat ialah seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat
tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

2. Pengertian Shalat Qashar

"‫"اختصا ر اصاة الر با عيته الى ر كعتين‬

(Meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat)

Pengertian Shalat jama‟

3. Jama‟ ialah mengumpulkan dua shalat dan dikerjakan dalam satu waktu

20
DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi 1986, Hukum hukum fiqih islam cet.. ke 6, Jakarta : Bulan
Bintang

Ash Shan‟ani, Imam, Subulus Salam Terjemahan

Abu Yasin, Amin Yasin, Ibnu, 2010, Fiqih Shalat Lengkap Menurut 17 Imam Besar terjemahan
Cet I, Pustaka Azam, Jakarta,

AF, Hasanuddin, 1996, Fiqih II cet I, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama,

Anwar, Moch 1991, Fiqih Islam, bandung PT. Alma‟rif

Isma‟il, A. Qusyairi, 2005, Fikih Safar untuk Sang Pengelana Pustaka Sidogiri. Pasuruan.

Shadiq, Bahrullah, 2005, Shalat itu Indah dan Mudah, Pustaka Sidogiri. Pasuruan.

21

Anda mungkin juga menyukai