Disusun Oleh :
Sungguh, orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama
Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
bertambahlah iman mereka, (QS Al-Anfal [8]: 2)
Ketika menyebutkan sifat-sifat Allah seperti Rahman dan Ihsan, ia wajib berusaha
menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat mulia tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad
Saw., “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah. Dialah Yang Mahasuci, Mahamulia, Maha
Pemaaf, Maha Pengampun lagi Mahaadil yang tidak pernah menzalimi manusia". Jika dalam
shalat yang didirikan secara istikamah dalam sehari-semalam seorang muslim mengerti
makna bacaan yang dilantunkan, semua sifat keagungan Tuhan akan terpatri dalam jiwanya.
Dengan demikian, ia akan menjelma menjadi sosok yang arif, bijaksana, dan bisa menjalani
hidup dengan indah. Inilah rahasia terdalam di balik pemahaman yang utuh terhadap bacaan
shalat, yaitu suatu sarana pendidikan jiwa yang paling elegan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Rukun sholat
Rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat.
Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat tidak sah, tidak teranggap secara syar’i, dan
juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
a. Rukun Shalat menurut Mazhab Hanafi
Menurut Mazhab Hanafi rukun Sholat ada empat, baik yang asli maupun yang tambahan.
Adapun rukun yang asli adalah sesuatu yang bisa gugur sama sekali saat mukalaf tidak
mampu melaksanakannya dan ia tidak dituntut melakukan sesuatu sebagai gantinya.
1) Berdiri
2) Rukuk
3) Sujud
Adapun Rukun tambahan adalah sesuatu yang dapat gugur dalam hal-hal tertentu
sungguhpun seorang mukalaf mampu melakukannya.
4) Bacaan
b. Rukun Shalat menurut Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki rukun Sholat ada 13, yakni:
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Al-Fatihah
5. Berdiri untuk membaca Al-Fatihah dalam shalat fardu
6. Ruku’ (Sunnah membaca Tasbih)
7. I’tidal/Bangun dari Ruku’
8. Sujud
9. Bangkit dari sujud
10. Salam
11. Duduk sekedarnya
12. Tuma’ninah (menenangkan diri dalam setiap perpindahan gerak dala shalat)
13. Iktidal (tegak) dalam tiap-tiap rukuk dan sujud
14. Tertib dalam melaksankan fardu shalat
15. Niat mengikuti makmum untuk mengikuti imam
c. Rukun Shalat menurut Mazhab Syafi’i
يمِ الصالَِة الطُّهور وحَت ِرميها التَّ ْكبِري وحَت لِيلُها الت ِ
ُ َّسل
ْ َ ْ َُ َُ ْ َ ُ ُ َّ اح
ُ َم ْفت
“Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah
ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR. Tirmidzi, no. 238
dan Ibnu Majah, no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hanafiah: Menurut mereka, syarat takbiratul ihram ada 20, yaitu sebagai berikut.
1. Memasuki waktu shalat wajib bila shalat itu menggunakan takbir. Jika bertakbiratul
ihram ihram sebelum memasuki waktu, takbiratul ihramnya batal.
2. Hendaknya orangyang melaksanakan shalat itu yakin bahwa waktu shalat telah masuk
atau mempunyai dugaan kuat bahwa waktunya telah masuk. Jika ia mragukan masuknya
waktu shalat dan bertakbiratul ihram, maka takbiratul ihramnya tidak sah walaupun
ternyata waktu shalat itu telah masuk.
3. Hendaknya aurat orang tersebut tertutup, (telah dikemukakan penjelasan tentang aurat
dalam shalat). Jika ia bertakbiratul ihram sedangkan auratnya terbuka, kemudian ia
menutupnya, shalatnya itu tidak sah.
4. Suci dari hadas dan dari najis. Jadi, tidak sah takbiratul ihram yang dilakukan orang yang
dibadan, pakaian, atau tempatnya terdapat najis yang tidak dimaafkan. Orang yang
bertakbiratul ihram dan yakin badannya najis, takbiratul ihramnya tidak sah walaupun
sebenarnya ia suci.
5. Takbiratul ihram dengan berdiri bagi yang melaksanakan shalat fardu sunah fajar.
Namun, untuk shalat nafilah yang lain boleh dilakukan sambil dudu. Bagi yang
takbiratul ihram dengan posisi miring (tidak tegak), jika miringnya lebih dekat daripada
berdiri, berarti tidak batal. Namun jika miringnya lebih dekat pada rukuk, shalatnya
batal. Hal itu berlaku orang yang bisa berdiri, sedangkan jika ditujukan untuk mengejar
imam yang sudah rukuk sehingga mengucapkan Allah dengan berdiri dan mengucapkan
akbar dalam keadaan rukuk, shaltnya tidak sah.
6. Menyatukan nait pokok, misalnya berniat shalat fardu.
7. Menentukan shalat fardu baha shalat itu zuhur atau asar, misalnya apabila ia
bertakbiratul ihram tanpa menentukannya, takbiratul ihramnya itu tidak sah.
8. Menentukan shalat wajib, seperti shalat dua rakaat tawaf, shalat ‘Idain (Idul Fitri dan
Idul Adha), witir, shalat nazar, dan mengqadha shalat nafilah yang dirusaknya. Semua ini
wajib ditentukan atau dinyatakan ketika takbiratul ihram. Adapun sisa shalat lainnya
maka tidak wajib ditentukan sebagaimana yang telah dikemukakan tadi.
9. Hendaknya mengucapkan takbiratul ihram yang dapat didengar oeh dirinya sendiri.
Barang siapa mengucapkannya dengan samar atau sekedar membersitkan dalam hatinya,
takbiratul ihram itu tiak sah. Yang semisal dengannya adalah seluruh bacaan-bacaan
shalat, seperti pujian, taawuz, basmalah, bacaan (ayat), tasbih, dan solawat atas Nabi,
begitu pula lafal talak dan sumpah. Semua itu tidak dianggap sah menurut Hanafiah
kecuali, apabila ia mengucapkannya dan dapat mendengarnya. Dengan demikian, tidak
sah dan tidak ada suatu pengaruh apa pun apabila ia mengucapkannya dengan samara tau
sekedar membersitkan dalam hatinya.
10. Hendaknya ia melakukannya dengan sebutan zikir, misalnya dengan mngucapkan allahu
akbar, subhanallah, atau Alhamdulillah. Jika ia hanya menyebut satu lafal, yang demkian
itu tidak sah.
11. Hendaknya zikir itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt. Takbiratul ihram itu
tidak sah apabila zikir yang diucapkannya menyangkut kbutuhan orang tersebut, seperti
bacaan istigfar dan sebagainya sebagaimana yang telah dikemukakan tadi.
12. Zikir itu bukan berupa bacaan basmalah maka tidak sah membuka shalat dengan bacaan
basmalah berdasarkan pendapat yang benar.
13. Hendaknya huruf ha pada lafal Allah jangan dibuang. Apabila huruf itu dibuang, batallah
shalatnya.
14. Hendaknya memanjangkan bacaan lam kedua pada lafal Allah. Apabila ia tidak
membacanya panjang, masuh diperselisihkan tentang kesahan takbiratul ihramnya dan
kehalalan binatang sembelihannya. Oleh karena itu, sepatutnya berhati-hati dalam
memanjangkan bacaan tersebut.
15. Jangan memanjangkan hamzah pada lafal Allah dan pada lafal akbar. Jadi, tidak sah
mengucapkan Aallah aakbar karena memanjangkan berarti mempertanyakan. Orang
yang mempertanyakan keberadaan Tuhannya berarti tidak sah. Orang yang bermaksud
dmikin berarti kafir. Orang yang menyebut lafal Allah dengan memanjangkan hamzah-
nya berarti telah melakukan kesalahan keji meskipun sebenernya mereka bermaksud
menyeru (nida’). Pada prinsipnya, memanjangkan hamzah tersebut membatalkan shalat.
Syafi’iah sepakat dengan pendapat ini
16. Jangan memanjangkan bacaan ba pada lafal akbar. Jadi, tidak sah mengucapkan Allaahu
akbaar berati isim jamak dari kabara yag artinya adalah beduk. Bila dibaca ikbar berarti
nama untuk jenis darah haid. Orang yang sengaja bermaksud demikian bukan hanya
shalatnya yang batal, tetapi juga terhitung kafir.
17. Hendaknya jangan memisahkan antara niat dan tahrimah (takbiratul ihram) dengan suatu
pemisah (aktivitas) di luar kepentingan shalat. Seandainya ia berniat, kemudian
melakukan aktivitas diluar kepentingan shalat, seperti berbicara, atau makan walaupun
yang terdapat di celah giginya dari sebelumnya (dengan syarat berukuran sebesar kacang
kedelai), minum, bercakap-cakap atau berdeham tanpa suatu uzur kemudian bertakbiratul
ihram tanpa niat baru,shalatnya itu tidak sah. Adapun apabila ia memisahkan antara
niatdengan takbiratul ihram dengan berjalan menuju masjid tanpa berbicara atau berbuat
sesuatu, yang demikian itu sah.
18. Hendaknya takbiratul ihram itu tidak didahulukan dari niat. Bila ia bertakbiratul ihram
kemudian berniat shalat, takbiratul ihramnya itu tidak sah. Bila takbiratul ihramnya
rusak, rusaklah seluruh shalatnya sebagaimana telah Anda ketahui bahwa ia merupakan
syarat.
19. Dapat membedakan yang fardu dari lainnya.
20. Yakin suci dari hadas dan kotoran. Hanafiah tidak mensyaratkan penggunaan bahasa
Arab dalam takbiratul ihram. Jadi boleh mengucapkannya dengan bahasa lain baik orang
itu bisa bahasa Arab maupun tidak. Hanya saja, makruh tahrim menggunakan bahasa lain
bagi yang bisa bahasa Arab.
ِ
ُّك َواَل إلَهَ َغْيُر َك َ ُك اللَّ ُه َّم َوحِب َ ْمد َ"ك َوَتبَ َار َك امْس
َ ك َوَت َعاىَل َجد َ َُسْب َحان
Subhanakallahumma wabihamdka watabarokasmuka wataala jadduka wala ilaha ghoiruka.
، صاَل تِي ِ ِ ِ
ِ َ ات واأْل َر َّ ت َو ْج ِه َي لِلَّ ِذي فَطََر
َ إِ َّن، ين
َ َو َما أَنَا م َن ال ُْم ْش ِرك، ض َحني ًفا ْ َ الس َم َاو ُ َو َّج ْه
ِِ ِ ُ ك أ ُِم ْر
َ ِ َوبِ َذل، ُيك لَه
َ اَل َش ِر، ين ِ ِّ َو َم َماتِي لِلَّ ِه َر، اي ِ ُون
َ م َن ال ُْم ْسلم,ت َوأَنَا
، ين َ ب ال َْعالَم َ َ َو َم ْحي، سكي
ُ َ
فَا ْغ ِف ْر،ت بِ َذنْبِي
ُ ْ َوا ْعَت َرف، ت َن ْف ِسي
ُ ظَلَ ْم، َوأَنَا َع ْب ُد َك، ت َربِّي
َ ْت أَن ُ ِت ال َْمل
َ ْك اَل إِلَهَ إِاَّل أَن َ ْالله َّم أَن
ُ
َح َسنِ َها إِاَّل ِ أِل ِ أِل
ْ َو ْاهدنِي، ت
ْ َح َس ِن اأْل َ ْخاَل ِق اَل َي ْهدي َ ْوب إِاَّل أَن ُّ اَل َيغْ ِف ُر,ُ إِنَّه، لِي ذُنُوبِي َج ِم ًيعا
َ ُالذن
Dan ada juga sebagian ulama yang membolehkan untuk menggabungkan banyak doa
ifitah dalam satu waktu, semua lebih flexibel untuk dilakukan, sesuai dengan keinginan dan
kondisi yang ada.
Iftitah Makmum
Siapa saja yang ingin melaksanakan shalat maka kesunnahan membaca doa iftitah ini
berlaku baginya, bagi makmum, disunnahkan hukumnya untuk membaca doa iftitah persis
setelah selesai dari takbiratul ihram, pilihan panjang dan pendeknya doa yang dibaca
diserahkan kepada makmum dengan menyesuaikan kondisi imam agar supaya ketika imam
sudah mulai membaca Al-Fatihah, semua makmum sudah selesai membaca doa iftitahnya.
Dalam kondisi dimana imam sudah membaca Al-Fatihah dan makmum belum membaca atau
belum selesai dari doa iftitah, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Para ulama dari madzhab Hanafi (Ad-Dur Al-Mukhtar:1/328 ) menilai bahwa jika imam
sudah membaca Al-Fatihah maka sudah cukup berhenti dari membaca iftitah dan fokus
mendengarkan bacaan imam, utamanya ketika shalat jahriyyah (shalat dimana bacaan
imamnya keras).
Berbeda dengan pandangan para ulama dalam madzhab Syafii, baik pada
shalat sirriyyah maupun jahriyyah semua makmum tetap disunnah membacanya, hanya saja
ketika imam sudah mulai membaca Al-Fatihah hendaknya makmum segera mempercepat
bacaan agar sesegera mungkin selesai dari doa iftitahnya. (Nihayah Al-Muhtaj: 1/454 ).
Dalam padangan ulama dari madzhab Hanbali hampir sama dengan madzahab Syafii,
hukumnya sunnah bagi makmum untuk membaca doa iftitah jika memang ada kesempatan
untuk membaca doa iftitah, dimana imam belum memulai bacaan Al-Fatihanya, namun jika
imam dalam shalat jahriyyah langsung membaca Al-Fatihah setelah takbiratul ihram tanpa
memberikan jedah diam sebentar untuk doa iftitah maka pendapat para ulama dalam madzhab
ini baiknya makmum tidak membaca iftitah dan diam saja mendengarkan bacaan Al-Fatihah
imam. (Al-Mughni: 1/607).
Membaca Fatihah pada Rakaat Ketiga dan Keempat pada Salat Fardu
Membaca Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat pada setiap salat adalah membaca surah
“Aalhamdulillahirabbil alamin” pada setiap rakaat. ulama mazhab berbeda pendapat dalam
hal ini.
a. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa membaca Fatihah tidak wajib
selain dalam dua rakaat salat. Pendapat mereka berdasarkan hadis riwayat Ali r.a. yang
mengatakan, “Bacalah dalam dua rakaat pertama dan bertasbihlah dalam dua rakaat yang
lain.” Disamping itu, seandainya membaca Fatihah adalah wajib dalam semua rakaat,
maka disunahkan pula membacanya dengan keras pada selain dua rakaat pertama.71
Diriwayatkan dari Hasan, apabila seseorang membaca Fatihah dalam satu rakaat, hal itu
sudah cukup baginya. Berdasarkan firman Allah Swt.
Artinya: “Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran”.(QS. Al-Muzammil
ayat 20)
b. Mazhab Maliki dan Syafi, membaca Fatihah dalam setiap rakaat adalah wajib bagi orang
yang salat sendirian (munfarid), imam, dan makmum, baik dalam salat jarriyyah maupun
sirriyyah, baik salat wajib maupun sunah. 73 Hukum ini tidak berlaku bagi orang yang
berhalangan seperti makmum masbuq, salat dalam kondisi berdesakan, lupa atau
makmum yang gerakannya lambat, misalnya dia baru bangkit dari sujud tapi imam sudah
hampir atau sudah dalam keadaan rukuk. Hal ini karena bacaan surat Fatihah makmum
sudah ditanggung oleh imam, dan dalam kondisi demikian dia tidak dianjurkan membaca
Fatihah. Sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa membaca Fatihah
adalah wajib bagi seseorang yang mengerjakan salat baik salat sendirian maupun
berjamaah dalam setiap rakaatnya.
5. Rukuk
Dalam rukuk disunnahkan membaca ُس"ْب َحا َنَر ِّبيَالْ َع ِظْي ِمIni sebatas minimalnya. Sempurnanya
melangsung bacaan itu sampai tiga kali menurut mayoritas ulama. Dalam bacaan tasbih
tersebut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menambahkan kalimat َوحِب َ ْ"م ِ"د ِهdalil bacaan
tasbih ini adalah hadis Huzaifah. Ia berkata, “Aku pernah salat bersama Nabi Saw, dan
َ بbن َربِّ َي ْال َع ِظي ِْم ُس
dalam rukuk membaca ْحا َ sedangkan dalam sujud beliau membaca نَ َربِ َي
) ” ْاألَ َعلَى ُسب َْحاHR. At-Tarmidzi(
ِ
َ َ َف ُقولُوا َربَّنَا َول. ُال مَسِ َع اللَّهُ ل َم ْن مَحِ َده
ك احْلَ ْم ُد َ ََوإِ َذا ق
“Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan ‘sami’allahu liman
hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ‘, ucapkanlah
‘robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji)‘.” (HR. Bukhari
no. 689, 734 dan Muslim no. 411)
Berikut adalah perkataan Imam Nawawi dalam masalah ini. Menurut madzhab Syafi’i,
ketika bangkit dari ruku’ hendaklah mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Jika
berdirinya sudah lurus sempurna, hendaklah mengucapkan rabbana lakal hamdu hingga
selesai. [Kedua bacaan tadi berlaku bagi imam, makmum dan munfarid, orang yang shalat
sendirian].
Menurut Atha’, Abu Burdah, Muhammad bin Sirin, Ishaq dan Daud, bacaan sami’allahu
liman hamidah dan rabbana lakal hamdu berlaku untuk imam, makmum dan munfarid (orang
yang shalat sendirian).
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan sami’allahu liman hamidah berlaku untuk
imam dan orang yang shalat sendirian, sedangkan bagi makmum cukup membaca rabbana
lakal hamdu. Demikian pula pendapat Ibnul Mundzir dari Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah,
Asy-Sya’bi, Malik dan Ahmad. Imam Ahmad menyatakan bahwa demikian aku berpendapat.
Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Yusuf, Muhammad dan Ahmad menyatakan, “Imam
menggabungkan bacaan sami’allahu liman hamidah dan rabbana lakal hamdu. Sedangkan
makmum cuma mencukupkan dengan rabbana lakal hamdu.”
Disebutkan oleh Imam Nawawi, ulama Syafi’iyah memaknakan hadits di atas,
ucapkanlah “rabbana lakal hamdu” di mana kalian sudah tahu bahwa tetap mengucapkan
“sami’allahu liman hamidah”. Yang disebut dalam hadits hanyalah “rabbana lakal
hamdu” (bagi makmum) karena bacaan “sami’allahu liman hamidah” dijaherkan (dikeraskan)
sehingga makmum mendengar. Sedangkan bacaan “rabbanaa lakal hamdu” tidak dikeraskan
atau dibaca sirr (lirih). Mereka pun sudah tahu akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat. Kaedah asalnya, perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam boleh diikuti.
Intinya, para makmum diperintah tetap mengucapkan sami’allahu liman hamidah, tak
perlu ada perintah khusus akan hal itu (karena sudah maklum atau dipahami). Sedangkan
bacaan rabbana lakal hamdu (karena dilirihkan, pen.), diperintahkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk membacanya. Wallahu a’lam. (Lihat Al-Majmu’, 3: 273)
7. Sujud
Di dalam hadits Rasulullah SAW telah bersabda :
Maka para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa lafadz tasbih yang dibaca dalam
sujud adalah :
Mazhab Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa minimal membaca tasbih di dalam sujud itu
tiga kali. Apabila kurang dari tiga kali, hukumnya makruh tanzih.
Apabila shalat sendirian, akan menjadi lebih utama bila dibaca lebih dari tiga kali.
Sedangkan bila sedang menjadi imam dalam shalat fardhu lima waktu, jangan lebih dari tiga
kali, agar orang-orang yang shalat di belakangnya tidak merasa terlalu lama.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa tasbih dalam sujud hukumnya sunnah dengan
lafadz apapun. Tapi yang paling utama adalah lafadz subhana rabbiyal a'la wabihamdih.
Bila diulang-ulang maka pahalanya lebih banyak lagi.
Namun imam dalam shalat fardhu lima waktu tidak dianjurkan mengulang-ulangnya karena
khawatir memberatkan para makmum.
c. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Mazhab Asy-Syafi'iyah memandang bahwa asalnya tasbih dalam sujud itu cukup sekali
saja, minimal membaca subhanallah, atau subhanarabbi. Sedangkan bila mau yang
sempurna adalah bacaan subhana rabbiyal a'la wabihamdih yang dibaca minimal tiga kali.
Bila dibaca lima kali, tujuh kali, sembilan kali dan sebelas kali, maka akan semakin
sempurna.
Namun sebagaimana mazhab lain, mazhab Asy-syafi'i melarang imam shalat fardhu untuk
membaca lebih dari tiga kali, sebagai perlindungan bagi makmum.
d. Mazhab Al-Hambali
Mazhab Al-Hambali mewajibkan bacaan sujud. Dan bacaan itu minimal adalah subhana
rabbiyal a'la, dan minimal sekali dibaca, tanpa tambahan wabihamdih.
8. Membaca Doa di Antara Dua Sujud
Dalam hal ini ulama mazhab berbeda pendapat tentang doa antara dua sujud apakah doa
itu sunah atau sebaliknya.
a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa, tidak ada doa yang disunahkan untuk dibaca
dalam posisi duduk antara dua sujud, sebagaimana juga ketika bangun dari rukuk. Adapun
adanya dalil yang menerangkan tentang hal itu, maka hal itu termasuk dalam salat nafilah
atau salat tahajud.
b. Mazhab Maliki berpendapat bahwa, tidak menuturkan doa dalam posisi antara dua
sujud termasuk sunah dalam salat. Namun Ibnu Jauzi menuturkannya dalam hal yang dibaca
antara dua sujud.
c. Mazhab Syafi’i dan Hambali, doa antara dua sujud tersebut adalah masyru’. Bahkan
Imam Hambali mewajibkannya minimal sekali dengan mengucapkan “Rabbi ighfirli”. Dan
sempurnanya membaca doa tersebut sebanyak tiga kali, sebagaimana tasbih dalam rukuk dan
sujud.
Redaksi doa tersebut menurut Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah:
ي َوار َف ْعنِ ْي َو ْار ُزقْنِ ْي َو ْاه ِدنِ ْي َو َعافِنِ ْي,ْ ِاج ُب ْرن ِ ِ ِّ ر
ْ ب ا ْغف ْر ل ْي َو ْار َح ْمنِ ْي َو َ
Adapun dalil yang membolehkan adalah hadis Hudzaifah, bahwa ia pernah salat bersama
Rasulullah Saw. Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibn Majah.
ِ ِِ ِ ِ
ْ َو ْارمَح ْن َيو َعافنيواهدن ا ْغفريِل "اللهم ِ َتنْي الس ْج َد
ْيوار ُزق َّ َ َبنْي ل َي ُقو َكا َن سلم و عليه اهلل صلى َّ النَّىِب اَ َّن
" يِن
Artinya: “Dalam posisi duduk di antara dua sujud, Rasulullah Saw. membaca doa, “ya
Allah, ampunilah dosa-dosaku, kasihanilah aku, berilah aku hidayah dan rizki”.
9. Tasyahud Awal
Membaca tahiat awal adalah bacaan duduk setelah sujud pada rakaat kedua. Dalam hal
ini ulama mazhab sepakat bahwa tahiat awal itu hukumnya sunah. Adapun mereka berbeda
pendapat dalam redaksi bacaannya dan hukumnya.
a. Redaksi tahiat menurut Syafi’i sebagai berikut,
ِ ُك أيُّها النَّيِب ورمْح ة ِ
،ُاهلل َو َبَر َكاتُه َ َ َ ُّ َ َ لساَل ُم َعلَْي ُ َات الطَّيِّب
َّ َ ا،ات هلل ُ الصلَ َو
َ ،ات
ُ ات املُبَ َار َك
ُ َلتَّحي
َّ َوأَ ْش َه ُد، أَ ْش َه ُد أَن اَّل إِلَهَ إِاّل اهلل،الصاحِلِني
أن حُمَ َّم ًدا َر ُس ْو ُل اهلل ِ ِ ِ
َ الساَل ُم َعلَينَا َو َعلَى عبَاد اهلل
َّ
Artinya : “Segala penghormatan, keberkahan, permohonan dan kebaikan hanyalah bagi
Allah. Semoga keselamatan, kedamaian, rahmat dan berkah Allah selalu tercurah kepadamu
wahai Nabi. Semoga pula kedamaian senantiasa diberikan Allah kepada kami dan hamba-
hambanya yang saleh. Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah”
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat, bahwa duduk dan membaca
tahiat awal itu hukumnya sunah. Mereka juga mengatakan tidak disunahkan untuk
menambahkan atau memperpanjang bacaan tahiat awal, bahkan menurut Imam Hambali,
apabila ada makmum masbuq, maka ia tidak menambahkan bacaan tahiat tawal. Akan tetapi
menurut Imam Syafi’i disunahkan untuk menambahkan bacaan salawat pada akhir tahiat
tersebut dengan membaca “Allahumma shalli ‘ala muhammad ‘abdika warasuulika
annabiyyil immiyii”Muhammad adalah utusan Allah”
b. Redaksi tahiat menurut mazhab Hanafi, bahwa hukum tahiat awal dan tahiat akhir
adalah wajib dengan adanya perintah untuk melakukannya. Dan apabila lupa, harus
diganti dengan sujud sahwi, Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah Saw. bersabda:
Hadis riwayat Ahmad dan an-Nasa’i
Artinya: “Jika kalian duduk dalam tiap dua rakaat, maka bacalah ‘Segala penghormatan
milik Allah. Permohonan, dan segala kebaikan juga hanya milik Allah. Semoga keselamatan,
kedamaian, rahmat dan berkah Allah selalu tercurah kepadamu wahai Nabi. Semoga
kedamaian senantiasa diberikan Allah kepada kami dan hambahamba- Nya yang saleh. Aku
bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah’.
Setelah itu, pilihlah doa yang kalian sukai dan berdoalah memohon kepada Allah”.
Dalil yang dipakai oleh Imam Hanafi untuk mewajibkan keduanya adalah dari kebiasaan
Rasulullah Saw dan perintah beliau kepada Abbas, “Ucapkanlah,‘attahiyaatul lillah...,’ dan
apabila lupa, maka harus menggantinya dengan sujud sahwi. Selain itu Rasulullah Saw juga
bersabda, “Salatlah sebagaimana kalian melihatku salat.”
Segala penghormatan, kesucian dan kebaikan adalah milik Alla semata. Semoga salam tetap
tercurahkan padam, wahai Nabi Muhammad beserta rahmat Allah dan barakah-Nya.
Semoga salam juga tetap terlimpahkan pada kita semua dan pada hamba-hamba Allah yang
Saleh. lain Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa lagi tidak memiliki sekutu,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Menggunakan lafal tasyahud ini adalah mandub. Menggunakan bacaan yang lain tetap
terhitung mengikuti sunah, namun meninggalkan yang mandub.
Segala penghormatan hanyalah milik Allah. Semoga salam tetap tercurahkan padamu wahai
Nabi Muhammad beserta rahmat Allah dan berkat-Nya. Semoga keselamatan juga tetap
terlimpahkan pada kita semua dan pada hamba-hamba Allah yan saleh. Aku bersaksi tiada
tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.
Bacaan tasyahud yang pertama lebih sempurna dan lebih utama. Tasyahud hanya sah
jika: (1) menggunakan bahasa Arab bila mampu; (2) dibaca secara beruntun tanpa jeda; (3)
terdengar oleh telinga sendiri; (4) semua kalimatnya dibaca teratur karena jika diacak, dapat
mengubah makna dan membatalkan shalat-jika sengaja. Namun, jika tidak sengaja, tidak
membatalkan shalat. Syafi’iah menambahkan bahwa selawat atas Nabi Muhammad Saw.
Setelah tasyahud akhir merupakan rukun shalat tersendiri. Paling sedikitnya adalah membaca:
Dari sini diketahui bahwa membaca sebagian bacaan ini dalah fardu menurut Syafi’iah.
Sementara itu, menurut Malikiah, bacaan bacaan itu adalah sunah sehingga orang hanya
duduk dan tidak membaca apapun, shalatnya tetap sah walaupun makruh. Menurut
Hambaliah, orang yang meninggalkan tasyahud shalatnya tetap sah, tetapi makruh tahrim.
Hambaliah: Menurut mereka, lafal tasyahud adalah
Inilah bacaan tasyahud yang paling utama. Namun, boleh juga menggunakan bacaan
lain yang berasal dari Nabi Saw. Contohnya adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Yang jelas, bacaan tasyahud fardu untuk dibaca adalah
Segala penghormatan hanyalah milik Allah. Seoga salam tetap tecurahkan padamu wahai
Nabi Muhammad beserta ahmat Allah dan berkat-Nya. Semoga keselamatan juga tetap
terlimpahkan pada kita semua dan pada hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Ya
Allah, limpahkan salam kepada Nabi Muhammad.
Hambaliah menambahkan bahwa bacaan solawat terhadap Nabi tidak harus seperti
bentuk di atas.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Shalat mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam mendidik jiwa dan membina
akhlak. Sungguh, pada setiap bagian shalat terkandung keutamaan-keutamaan akhlak yang
bermanfaat untuk melahirkan sifat-sifat terpuji. Salah satu amalan shalat serta pengaruhnya
dalam pembinaan jiwa adalah bacaan shalat.
Ketika menyebutkan sifat-sifat Allah seperti Rahman dan Ihsan, ia wajib berusaha
menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat mulia tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad
Saw., “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah. Dialah Yang Mahasuci, Mahamulia, Maha
Pemaaf, Maha Pengampun lagi Mahaadil yang tidak pernah menzalimi manusia". Jika dalam
shalat yang didirikan secara istikamah dalam sehari-semalam seorang muslim mengerti
makna bacaan yang dilantunkan, semua sifat keagungan Tuhan akan terpatri dalam jiwanya.
Dengan demikian, ia akan menjelma menjadi sosok yang arif, bijaksana, dan bisa menjalani
hidup dengan indah. Inilah rahasia terdalam di balik pemahaman yang utuh terhadap bacaan
shalat, yaitu suatu sarana pendidikan jiwa yang paling elegan.
Bacaan Sholat antara Imam dan Ma’mum tidak ada perbedaan tetapi membaca bacaan
sholat sesuai keyakinan mahdzab yang di yakini masing-masing orang. Selain itu ma’mum
mengikuti gerakan sholat dan bacaan sholat setelah imam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, S. A. (2005). Kitab Shalat Empat Mazhab. Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah (PT
Mizan Publika).
Mahadhir, M. S. (2016, Agustus 23). Sifat Shalat: Membaca Doa Iftitah. Dipetik Oktober 23,
2021, dari rumahfiqih: https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=441
Sarwat, A. (2015, Agustus 2). Apa Yang Dibaca Pada Saat Sujud Dan Ketentuannya. Dipetik
Oktober 23, 2021, dari rumahfiqih: https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-2235-
apa-yang-dibaca-pada-saat-sujud-dan-ketentuannya.html
Tataharja, S. (2021, Juli 15). Peta Perbedaan Pendapat Ulama dalam Bacaan Salat (Studi
Perbandingan antara Empat Mazhab. Dipetik Oktober 24, 2021, dari repository.ar-
raniry: https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/17825/
Tuasikal, M. A. (2015, Juli 19). Sifat Shalat Nabi (36): Apakah Makmum Ikut Mengucapkan
Samiallahu Liman Hamidah? Dipetik Oktober 23, 2021, dari rumaysho:
https://rumaysho.com/11465-sifat-shalat-nabi-36-apakah-makmum-ikut-
mengucapkan-samiallahu-liman-hamidah.html