Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PERBANDINGAN MAHDZAB

“BACAAN MA’MUM DALAM SHOLAT”

Dosen pengampu : Drs., Sarbini Anim, Lc, DPL, MA

Disusun Oleh :

- Dwi Winarni (1120190013)


- Lilis Isnaini Sholihah (1120190052)
- Muhammad Hisyamuddin (1120190021)

Komunikasi Penyiaran Islam


Fakultas Agama Islam
Universitas Islam As-Syafi’iyah
Jl. Raya Jatiwaringin No. 12 Jakarta 17411
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut bahasa, shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah Swt. berfirman, "Dan
shalatlah untuk mereka" (QS At-Taubah (9): 103). Maksudnya, berdoalah untuk mereka dan
turunkanlah rahmat-Mu kepada mereka. Pengertian shalat menurut istilah para ahli fikih
adalah perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam
dengan syarat-syarat tertentu.
Pengertian ini mencakup semua shalat yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri
dengan salam. Sujud tilawah tidak termasuk dalam pengertian ini. Sujud tilawah adalah
sujud yang dilakukan saat mendengar ayat Al-Qur'an yang mengandung ayat yang
menyebabkan dilakukannya sujud tersebut tanpa menggunakan takbir dan salam. Menurut
pendapat Hanafiah dan Syafi'iah, sujud ini tidak disebut shalat.
Malikiah dan Hambaliah mendefinisikan shalat sebagai aktivitas yang mendekatkan diri
kepada Allah yang memiliki takbir, salam, dan sujud saja. Yang dimaksud dengan kata
"aktivitas" adalah perbuatan yang meliputi rukuk, sujud, lantunan bacaan di lidah, serta
kekhusyukan dan ketundukan dalam hati.
Keempat mazhab tidak berbeda pendapat tentang definisi shalat. Mereka hanya berbeda
pendapat tentang penyebutan sujud sebagai shalat syar'iyyah. Namun, perbedaan dalam
masalah ini sejatinya tidak begitu prinsipil.
Shalat lima waktu pertama kali diwajibkan di Mekah pada malam Isra Mi'raj setahun
sebelum Nabi Saw, hijrah ke Madinah. Shalat tersebut meliputi zuhur, asar, maghrib, isya,
dan subuh. Shalat fardu pertama yang didirikan Rasulullah Saw. adalah zuhur. Al-Qur'an,
Sunah, dan semua imam sepakat bahwa shalat merupakan kewajiban dalam agama yang
sudah ditetapkan. Jadi, orang yang mengingkarinya terhitung sebagai orang murtad yang
keluar dari agama. Allah Swt. berfirman, “Sungguh, shalat itu adalah fardu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman," (QS Al-Nisa (4): 103).
Makna kalimat ditentukan waktunya adalah seorang muslim wajib mendirikan shalat
pada waktu-waktu tertentu sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw.
Shalat mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam mendidik jiwa dan membina
akhlak. Sungguh, pada setiap bagian shalat terkandung keutamaan-keutamaan akhlak yang
bermanfaat untuk melahirkan sifat-sifat terpuji. Salah satu amalan shalat serta pengaruhnya
dalam pembinaan jiwa adalah bacaan shalat.
Orang yang melantunkan bacaan dalam shalat hendaknya jangan sekadar menggerakkan
lidahnya, sedangkan hatinya lalai. Hendaknya ia menghayati makna bacaannya supaya dapat
mengambil pelajaran dari bacaan tersebut. Dengan demikian, ketika lidahnya menyebut Allah
Al-Khaliq (Tuhan Pencipta), hatinya akan bergetar karena takut kepada keagungan dan
kekuasaan-Nya.
َ‫ت َعلَ ْي ِه ْم ٰا ٰيتُهٗ زَا َد ْتهُ ْم اِ ْي َمانًا َّوع َٰلى َربِّ ِه ْم يَت ََو َّكلُوْ ۙن‬ ْ َ‫اِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ الَّ ِذ ْينَ اِ َذا ُذ ِك َر هّٰللا ُ َو ِجل‬
ْ َ‫م َواِ َذا تُلِي‬bُْ‫ت قُلُوْ بُه‬

Sungguh, orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama
Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
bertambahlah iman mereka, (QS Al-Anfal [8]: 2)

Ketika menyebutkan sifat-sifat Allah seperti Rahman dan Ihsan, ia wajib berusaha
menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat mulia tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad
Saw., “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah. Dialah Yang Mahasuci, Mahamulia, Maha
Pemaaf, Maha Pengampun lagi Mahaadil yang tidak pernah menzalimi manusia". Jika dalam
shalat yang didirikan secara istikamah dalam sehari-semalam seorang muslim mengerti
makna bacaan yang dilantunkan, semua sifat keagungan Tuhan akan terpatri dalam jiwanya.
Dengan demikian, ia akan menjelma menjadi sosok yang arif, bijaksana, dan bisa menjalani
hidup dengan indah. Inilah rahasia terdalam di balik pemahaman yang utuh terhadap bacaan
shalat, yaitu suatu sarana pendidikan jiwa yang paling elegan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Rukun sholat
Rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat.
Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat tidak sah, tidak teranggap secara syar’i, dan
juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
a. Rukun Shalat menurut Mazhab Hanafi
Menurut Mazhab Hanafi rukun Sholat ada empat, baik yang asli maupun yang tambahan.
Adapun rukun yang asli adalah sesuatu yang bisa gugur sama sekali saat mukalaf tidak
mampu melaksanakannya dan ia tidak dituntut melakukan sesuatu sebagai gantinya.
1) Berdiri
2) Rukuk
3) Sujud
Adapun Rukun tambahan adalah sesuatu yang dapat gugur dalam hal-hal tertentu
sungguhpun seorang mukalaf mampu melakukannya.
4) Bacaan
b. Rukun Shalat menurut Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki rukun Sholat ada 13, yakni:
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Al-Fatihah
5. Berdiri untuk membaca Al-Fatihah dalam shalat fardu
6. Ruku’ (Sunnah membaca Tasbih)
7. I’tidal/Bangun dari Ruku’
8. Sujud
9. Bangkit dari sujud
10. Salam
11. Duduk sekedarnya
12. Tuma’ninah (menenangkan diri dalam setiap perpindahan gerak dala shalat)
13. Iktidal (tegak) dalam tiap-tiap rukuk dan sujud
14. Tertib dalam melaksankan fardu shalat
15. Niat mengikuti makmum untuk mengikuti imam
c. Rukun Shalat menurut Mazhab Syafi’i

d. Rukun Shalat menurut Mazhab Hambali


Menurut Mazhab Hambali Rukun Sholat ada 13, yakni
1. Takbiratul Ihram
2. Berdiri, dalam salat fardu
3. Membaca Al-Fatihah
4. Ruku’ (Wajib membaca Tasbih)
5. Bangkit dari rukuk
6. I’tidal(tegak)
7. Sujud
8. Bangkit dari sujud
9. Duduk antara 2 sujud
10. Tasyahud akhir
11. Duduk Tasyahud Akhir dan dua salam
12. Tuma’ninah dalam setiap rukun yang bersifat fi’liyah
13. Tertib dalam melaksanakan shalat fardu (rukun) shalat
14. Mengucapkan dua salam
2. Takbiratul Ihram
Takbiratul ihram adalah takbir yang dilakukan saat memasuki area terhormat yang tidak
boleh dinodai. Area terhormat itu adalah saat seseorang telah memasuki shalat dengan takbir
yang dengannya ia diharamkan melakukan sesuatu selain amalan shalat. Ia juga disebut
dengan Takbirah At-Taharrum. Semua Imam mazhab sepakat bahwa shalat tidak sahtanpa
takbiratul ihram.
Ketiga imam mazhab sepakat bahwa yang disbut tabiratul ihram adalah permulaan shalat
yang ditandai dengan menyebut, “Allahu Akbar”. Hanafiah berbeda dalam hal ini.
Menurutnya, takbiratul ihram itu tidak disyaratkan dengan menggunakan lafal “Allahu
Akbar”. Adapun bentuk takbir yang menyebabkan sahnya shalat menurut Hanafiah adalah
bentuk takbir yang menunjukkan pada pengagungan Allah Swt. Semata tanpa harus
mencakup doa dan sebagainya. Jadi, setiap bentuk takbir yang menunjukan hal itu sah
digunakan untuk memulai shalat. Misalnya menyebut subhanallah, la ilaha illallah, Allah
Rahim, atau Allah Karim, yang menunjukkan pengagungan kepada Tuhan Yang Maha Mulia
dan Maha Tinggi secara khusus. Namun, jika menyebut astagfirullah, a’uzubillah, atau la
haula wala quwwata illa billah, shalatnya tidak sah sebab kata-kata itu mengandung
permohonan ampun dan perlindungan, bukan pengagungan Allah Swt.
Hadits yang membicarakan tentang takbiratul ihram adalah hadits dari Abu Sa’id Al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫يم‬ِ ‫الصالَِة الطُّهور وحَت ِرميها التَّ ْكبِري وحَت لِيلُها الت‬ ِ
ُ ‫َّسل‬
ْ َ ْ َُ َُ ْ َ ُ ُ َّ ‫اح‬
ُ َ‫م ْفت‬

“Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah
ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR. Tirmidzi, no. 238
dan Ibnu Majah, no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dalil Takbiratul Ihram


Kaum muslimin sepakat bahwa memulai shalat dengan menyebut nama Allah Swt.
Adalah kewajiban yang harus dilakukan. Artinya, shalat hanya sah dengan menyebut nama-
Nya. Banyak ayat AL-Qur’an dan hadis yang menguatkan kesepakatan ini. Di antaranya
adalah ayat yang berbunyi,

ْ‫ك فَ َكِّب ۖر‬


"َ َّ‫َو َرب‬
“dan agungkanlah Tuhanmu” (QS Al-Muddatstsir [74]: 3).
Alasan pengambilan dalil itu adalah bahwa lafal ini merupakan kata perintah, sedangkan
setiap kata perintah menunjukan arti wajib. Takbir itu juga hanya wajib dalam shalat sesuai
dengan kesepakatan kaum Muslimin. Pada prinsipnya, tak seorang pun ulama yang
menyangkal takbiratul ihram sebagai pilar sahnya shalat-baik ia dipandang sebagai rukun
maupun syarat.
Syarat takbiratul Ihram:
Syafi’iyah: syarat sahnya takbiratul ihram ada 15. Jika salah satunya rusak, shalat menjadi
batal.
1. Diucapkan dalam bahasa Arab-bagi yg bisa. Bagi yang tidak bisa dan tidak mampu
belajar bahasa Arab, sah melafalkan takbiratul ihram dengan bahasanya .
2. Dilakukan dalam keadaan berdiri-khusus dalam shalat fardu-bagi yang mampu. Dalam
shalat nafilah, takbiratul ihram sah dilakukan sambil duduk sebagaimana juga shalatnya
sah dilakukan dengan duduk. Orang melakukan takbiratul ihram –dalam shalat fardu-
dalam keadaan miring, jika miringnya itu lebih dekat pada berdiri, berarti sah. Namun,
jika lebih dekat pada rukuk, shalatnya tidak sah.
3. Menggunakan lafzhul jalalah, yaitu “Allahu Akbar”.
4. Jangan memanjangkan hamzah pada lafal Allah (Allah akbar) sebab maknanya bisa
berubah menjadi kalimat Tanya sehingga akan terkesan mempertanyakan kebesaran
Allah.
5. Jangan memanjangkan ba’ pada lafal akbar (Allah akbar) karena merupakan bentuk
jamak kata kabara (beduk besar). Jangan menucapkan “ikbar” karena merupakan nama
darah haid. Orang yang sengaja membaca demikian, bukan hanya shalatnya yang tidak
sah, tetapi juga dianggap menghina Tuhan dan keluar dari agama islam.
6. Jangan mentasydidkan bacaan ba pada lafal “akbar”.
7. Janga menambah huruf wau, sukun, atau harakat di antara dua kata itu. Seperti “Allah wa
Akbar” atau “allah wu Akbar”.
8. Jangan membumbuhkan huruf wau seblum lafal Allah, seperti “Wallah Akbar.
9. Jangan memisah kalimat takbir dengan menjeda, baik lama maupu sebentar, karena akan
membuat shalat menjadi tidak sah. Memasukkan lam ta’rif pada lafal Akbar tidak
membatalkan shalat. Sah juga memasukkan sifat Allah dalam takbir asalkan tidak lebih
dari dua. Jika lebih dari dua, shalatnya tidak sah. Tidak sah juga memisahkan lafal Allah
dan akbar dengan kata ganti sebagaimana tidak sah memisahkan keduanya dengan kata
seru (nida).
10. Hendaknya dirinya sendiri dapat mendengar (bacaan) takbiratul ihram itu. Jika ia
mengucapkan takbiratul ihram dengan samar dan tidak dapat didengar oleh dirinya
sendiri, takbiratul ihram itu tidak sah, kecuali dia bisu, tuli, ataupun pada tempat itu
terdapat hiruk-pikuk atau rebut maka dalam keadaan hal ini tidak harus bagi dirinya
mendengar (bacaan) takbiratul ihram itu. Akan tetapi, bagi yang bisu dan yang
semacamnya wajib melaksanakan apa saja yang memungkinkan baginya. Apabila
bisunya itu bukan bawaan dan memungkinkan baginya untuk menggerakkan lidahnya
atau kedua bibirnya dengan bertakbir, ia wajib melakukan hal tersebut.
11. Masuk waktu.
12. Dilakukan dengan menghadap kiblat-bagi yang wajib menghadap kiblat.
13. Dilakukan setelah takbiratul ihram imam-bagi yang shalat berjamaah.
14. Hendaknya takbiratul ihram itu dilakukan ditempat yang sah dipakai untuk membaca
(Al-Qur’an).

Hanafiah: Menurut mereka, syarat takbiratul ihram ada 20, yaitu sebagai berikut.
1. Memasuki waktu shalat wajib bila shalat itu menggunakan takbir. Jika bertakbiratul
ihram ihram sebelum memasuki waktu, takbiratul ihramnya batal.
2. Hendaknya orangyang melaksanakan shalat itu yakin bahwa waktu shalat telah masuk
atau mempunyai dugaan kuat bahwa waktunya telah masuk. Jika ia mragukan masuknya
waktu shalat dan bertakbiratul ihram, maka takbiratul ihramnya tidak sah walaupun
ternyata waktu shalat itu telah masuk.
3. Hendaknya aurat orang tersebut tertutup, (telah dikemukakan penjelasan tentang aurat
dalam shalat). Jika ia bertakbiratul ihram sedangkan auratnya terbuka, kemudian ia
menutupnya, shalatnya itu tidak sah.
4. Suci dari hadas dan dari najis. Jadi, tidak sah takbiratul ihram yang dilakukan orang yang
dibadan, pakaian, atau tempatnya terdapat najis yang tidak dimaafkan. Orang yang
bertakbiratul ihram dan yakin badannya najis, takbiratul ihramnya tidak sah walaupun
sebenarnya ia suci.
5. Takbiratul ihram dengan berdiri bagi yang melaksanakan shalat fardu sunah fajar.
Namun, untuk shalat nafilah yang lain boleh dilakukan sambil dudu. Bagi yang
takbiratul ihram dengan posisi miring (tidak tegak), jika miringnya lebih dekat daripada
berdiri, berarti tidak batal. Namun jika miringnya lebih dekat pada rukuk, shalatnya
batal. Hal itu berlaku orang yang bisa berdiri, sedangkan jika ditujukan untuk mengejar
imam yang sudah rukuk sehingga mengucapkan Allah dengan berdiri dan mengucapkan
akbar dalam keadaan rukuk, shaltnya tidak sah.
6. Menyatukan nait pokok, misalnya berniat shalat fardu.
7. Menentukan shalat fardu baha shalat itu zuhur atau asar, misalnya apabila ia
bertakbiratul ihram tanpa menentukannya, takbiratul ihramnya itu tidak sah.
8. Menentukan shalat wajib, seperti shalat dua rakaat tawaf, shalat ‘Idain (Idul Fitri dan
Idul Adha), witir, shalat nazar, dan mengqadha shalat nafilah yang dirusaknya. Semua ini
wajib ditentukan atau dinyatakan ketika takbiratul ihram. Adapun sisa shalat lainnya
maka tidak wajib ditentukan sebagaimana yang telah dikemukakan tadi.
9. Hendaknya mengucapkan takbiratul ihram yang dapat didengar oeh dirinya sendiri.
Barang siapa mengucapkannya dengan samar atau sekedar membersitkan dalam hatinya,
takbiratul ihram itu tiak sah. Yang semisal dengannya adalah seluruh bacaan-bacaan
shalat, seperti pujian, taawuz, basmalah, bacaan (ayat), tasbih, dan solawat atas Nabi,
begitu pula lafal talak dan sumpah. Semua itu tidak dianggap sah menurut Hanafiah
kecuali, apabila ia mengucapkannya dan dapat mendengarnya. Dengan demikian, tidak
sah dan tidak ada suatu pengaruh apa pun apabila ia mengucapkannya dengan samara tau
sekedar membersitkan dalam hatinya.
10. Hendaknya ia melakukannya dengan sebutan zikir, misalnya dengan mngucapkan allahu
akbar, subhanallah, atau Alhamdulillah. Jika ia hanya menyebut satu lafal, yang demkian
itu tidak sah.
11. Hendaknya zikir itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt. Takbiratul ihram itu
tidak sah apabila zikir yang diucapkannya menyangkut kbutuhan orang tersebut, seperti
bacaan istigfar dan sebagainya sebagaimana yang telah dikemukakan tadi.
12. Zikir itu bukan berupa bacaan basmalah maka tidak sah membuka shalat dengan bacaan
basmalah berdasarkan pendapat yang benar.
13. Hendaknya huruf ha pada lafal Allah jangan dibuang. Apabila huruf itu dibuang, batallah
shalatnya.
14. Hendaknya memanjangkan bacaan lam kedua pada lafal Allah. Apabila ia tidak
membacanya panjang, masuh diperselisihkan tentang kesahan takbiratul ihramnya dan
kehalalan binatang sembelihannya. Oleh karena itu, sepatutnya berhati-hati dalam
memanjangkan bacaan tersebut.
15. Jangan memanjangkan hamzah pada lafal Allah dan pada lafal akbar. Jadi, tidak sah
mengucapkan Aallah aakbar karena memanjangkan berarti mempertanyakan. Orang
yang mempertanyakan keberadaan Tuhannya berarti tidak sah. Orang yang bermaksud
dmikin berarti kafir. Orang yang menyebut lafal Allah dengan memanjangkan hamzah-
nya berarti telah melakukan kesalahan keji meskipun sebenernya mereka bermaksud
menyeru (nida’). Pada prinsipnya, memanjangkan hamzah tersebut membatalkan shalat.
Syafi’iah sepakat dengan pendapat ini
16. Jangan memanjangkan bacaan ba pada lafal akbar. Jadi, tidak sah mengucapkan Allaahu
akbaar berati isim jamak dari kabara yag artinya adalah beduk. Bila dibaca ikbar berarti
nama untuk jenis darah haid. Orang yang sengaja bermaksud demikian bukan hanya
shalatnya yang batal, tetapi juga terhitung kafir.
17. Hendaknya jangan memisahkan antara niat dan tahrimah (takbiratul ihram) dengan suatu
pemisah (aktivitas) di luar kepentingan shalat. Seandainya ia berniat, kemudian
melakukan aktivitas diluar kepentingan shalat, seperti berbicara, atau makan walaupun
yang terdapat di celah giginya dari sebelumnya (dengan syarat berukuran sebesar kacang
kedelai), minum, bercakap-cakap atau berdeham tanpa suatu uzur kemudian bertakbiratul
ihram tanpa niat baru,shalatnya itu tidak sah. Adapun apabila ia memisahkan antara
niatdengan takbiratul ihram dengan berjalan menuju masjid tanpa berbicara atau berbuat
sesuatu, yang demikian itu sah.
18. Hendaknya takbiratul ihram itu tidak didahulukan dari niat. Bila ia bertakbiratul ihram
kemudian berniat shalat, takbiratul ihramnya itu tidak sah. Bila takbiratul ihramnya
rusak, rusaklah seluruh shalatnya sebagaimana telah Anda ketahui bahwa ia merupakan
syarat.
19. Dapat membedakan yang fardu dari lainnya.
20. Yakin suci dari hadas dan kotoran. Hanafiah tidak mensyaratkan penggunaan bahasa
Arab dalam takbiratul ihram. Jadi boleh mengucapkannya dengan bahasa lain baik orang
itu bisa bahasa Arab maupun tidak. Hanya saja, makruh tahrim menggunakan bahasa lain
bagi yang bisa bahasa Arab.

Malikiah: mereka berpendapat, ada beberapa syarat untuk takbiratul ihram.


1. Wajib menggunakan bahasa Arab bagi yang mampu. Namun, yang tidak bisa bahasa
Arab tidka wajib baginya. Ia berarti telah masuk shalat dengan niat. Jika ia terjemahkan
takbir itu kedalam bahsa yang diketahuinya, shalatnya tidak batal.
2. Takbiratul ihram dengan berdiri bagi yang mampu dalam shalat fardu. Jika ia
melakukannya dengan posisi miring (tidak tegak), takbiratul ihramnya itu batal. Dalam
hal ini tidak ada perbedaan mengenai miringnya itu lebih dekat pada rukuk ataukah
berdiri, kecuali dalam satu hal, yaitu apabila ada seseornag yang hendak mengikuti imam
yang telah mendahuluinya dengan bacaan dan rukuk, kemudian orang tersebut
bermaksud mengejar imam, lalu ia bertakbiratul ihram dengan posisi miring dan rukuk
sebelum imam melakukan rukuk, takbiratul ihram itu sah dengan posisi tegak sebelum
imam rukuk, kemudian ia menyempurnakan takbirnya dalam keadaan rukuk atau dalam
posisi miring untuk rukuk, rakaat itu terhitung. Dalam hal ini disyaratkan hendaknya
berniat takbiratul ihram itu sajaatau berniat tabiratul ihram sekaligus rukuk, shalatnya
tidak sah.
3. Medahulukan lafal Allah atas lafal akbar dngan mengucapkan Allahu akbar. Jadi jika
lafal kedua itu dibaik.
4. Jangan memanjangkan hamzah pada lafal Allah dengan maksud sengaja menjadikannya
kata Tanya. Namun, jika dimaksudkan agar menjadi kata seru atau tidak bermaksud apa
pun, hal itu tidak membatalkan shalat.
5. Jangan memanjangkan bacaan ba pada lafal akbar dengan maksud sebagai jamak dari
kabaru yang berarti beduk besar. Orang yang melakukannya dengan engaja berarti
menghina tuhan. Namun, jika tidak bermaksud demikian, shalatnya tidak batal. Dalam
dua perkara ini, Malikiah menyangkal pendapat ketiga imam mazhab lainnya yang
ketiganya sepakat bahwa takbiratul ihram itu batal dengan dua bentuk bacaan di atas.
6. Memanjangkan lafal Allah dengan bacaan madd thabi’i. pendapat ini disepakati semua
mazhab.
7. Jangan membuang huruhf ha pada lafal Allah, misalnya mengucapkan Allaa akbar.
Adapun apabila memanjangkan huruf ha pada lafal Allah sehingga menimbulkan huruf
wau, yang demikian itu batal menurut Hanafiah dan Malikiah. Syafi’iyah dan Hambaliah
berbeda pendapat dengan mereka.
8. Jangan menjeda dalam tempo lama antara lafal Allah dan akbar. Misalnya, mengucapkan
Allah, lalu diam, setelah itu mengucapkan kbar. Namun, hal itu diperbolehkan jika
jedanya sebebntar. Semua mazhab sepakat tentang hal ini. Malikiah menetapkan batas
sebentar ini sesuai kebiasaa. Syafi’iyah menetapkannya sebatas diam untuk bernapas
atau diam karena lelah.
9. Jangan memisahkan antara lafal akbar dengan suatu pembicaraan baik sedikit maupun
banyak, bahkan satu huruf sekalipun!bila mengucapkan Allahu Al-akbar yang deikian itu
sah.
10. Menggerakkan lidah ketika bertakbiratul ihram.
3. Lafazh Do’a Iftitah
Dalam pandangan madzhab Hanafi dan Hanbali, dan ini yang sering dipakai oleh Umar,
Ibnu Mas’ud, Al-Auza’i, Ats-Tsauri bahwa lafazh doa iftitah yang mereka pilih adalah lafazh
doa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, yang berbunyi:

ِ
‫ُّك َواَل إلَهَ َغْيُر َك‬ َ ُ‫ك اللَّ ُه َّم َوحِب َ ْمد َ"ك َوَتبَ َار َك امْس‬
َ ‫ك َوَت َعاىَل َجد‬ َ َ‫ُسْب َحان‬
Subhanakallahumma wabihamdka watabarokasmuka wataala jadduka wala ilaha ghoiruka.

Sedangkan dalam penilaian madzhab Syafi’i (Al-Majmu”; 3/321), walaupun semua redaksi


doa tersebut bisa dibenarkan, namun mereka lebih memilih bahwa lafaz doa iftitah terbaik itu
adalah seperti yang diriwayatkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib yang berbunyi:

، ‫صاَل تِي‬ ِ ِ ِ
ِ َ ‫ات واأْل َر‬ َّ ‫ت َو ْج ِه َي لِلَّ ِذي فَطََر‬
َ ‫ إِ َّن‬، ‫ين‬
َ ‫ َو َما أَنَا م َن ال ُْم ْش ِرك‬، ‫ض َحني ًفا‬ ْ َ ‫الس َم َاو‬ ُ ‫َو َّج ْه‬
ِِ ِ ُ ‫ك أ ُِم ْر‬
َ ِ‫ َوبِ َذل‬، ُ‫يك لَه‬
َ ‫ اَل َش ِر‬، ‫ين‬ ِ ِّ ‫ َو َم َماتِي لِلَّ ِه َر‬، ‫اي‬ ِ ُ‫ون‬
َ ‫ م َن ال ُْم ْسلم‬,‫ت َوأَنَا‬
، ‫ين‬ َ ‫ب ال َْعالَم‬ َ َ‫ َو َم ْحي‬، ‫سكي‬
ُ َ
‫ فَا ْغ ِف ْر‬،‫ت بِ َذنْبِي‬
ُ ْ‫ َوا ْعَت َرف‬، ‫ت َن ْف ِسي‬
ُ ‫ ظَلَ ْم‬، ‫ َوأَنَا َع ْب ُد َك‬، ‫ت َربِّي‬
َ ْ‫ت أَن‬ ُ ِ‫ت ال َْمل‬
َ ْ‫ك اَل إِلَهَ إِاَّل أَن‬ َ ْ‫الله َّم أَن‬
ُ
‫َح َسنِ َها إِاَّل‬ ‫ِ أِل‬ ‫ِ أِل‬
ْ ‫ َو ْاهدنِي‬، ‫ت‬
ْ ‫َح َس ِن اأْل َ ْخاَل ِق اَل َي ْهدي‬ َ ْ‫وب إِاَّل أَن‬ ُّ ‫ اَل َيغْ ِف ُر‬,ُ‫ إِنَّه‬، ‫لِي ذُنُوبِي َج ِم ًيعا‬
َ ُ‫الذن‬

‫ك َوالْ َخ ْي ُر ُكلُّهُ فِي‬


َ ْ‫ك َو َس ْع َدي‬ َ ْ‫ف َعنِّي َسيَِّئ َها إِاَّل أَن‬
َ ‫ لََّب ْي‬، ‫ت‬ ُ ‫ص ِر‬ ْ ‫اص ِر‬
ْ َ‫ف َعنِّي َسيَِّئ َها اَل ي‬ َ ْ‫أَن‬
ْ ‫ َو‬، ‫ت‬

َ ‫وب إِلَْي‬ ِ ‫أ‬،‫ت‬ َ ِ‫ أَنَا ب‬، ‫ك‬


َ ‫ك َوإِلَْي‬ َ ‫س إِلَْي‬ َّ ‫ َو‬، ‫ك‬
‫ك‬ ُ ُ‫َسَت ْغف ُر َك َوأَت‬
ْ َ ‫ت َوَت َعالَْي‬
َ ‫ َتبَ َار ْك‬، ‫ك‬ َ ‫الش ُّر لَْي‬ َ ْ‫يَ َدي‬
“Wajjahtu wajhiya lilladzi fatoros samawati wal ardh, hanifan wama ana minal musyrikin,
inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin, la syarikalahu
wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin. Allahumma antal malik, la ilaha illa anta robbi
wa ana ‘abduka, zholamtu nafzi wa’taroftu bidzanbi, faghfirli dzunubi jami’a, la yaghfiruz
dzunuba illa anta, wahdini liahsanil akhlaq la yahdi li ahsaniha illa anta, washrif ‘anni
sayyi’aha la yashrifu ‘anni sayyi’aha illa anta, labbaika wa sa’daika, wal khoiru kulluhu
biyadaika, was syarru laisa ilaika, ana bika wa ilaika, tabarokta wa ta’alaita, astaghfiruka
wa atubu ilaika”.
Aku hadapkan wajahku pada Dzat yang Maha Menciptakan langit serta bumi sebagai
seorang muslim yang ikhlas dan aku bukanlah termasuk dari golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya salatku, ibadahku, dan hidup serta matiku, hanya untuk Allah Tuhan semesta
alam. Tiada sekutu untukNya. Oleh sebab itu saya patuh pada perintah-perintahNya, dan
saya termasuk dari golongan orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhanku, Engkaulah Dzat
yang Maha Penguasa. Tiada Tuhan selain engkau Tuhanku, dan aku hambaMu, aku telah
berbuat zalim dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah semua dosaku, karena
sesungguhnya tidak ada yang mampu memberi ampun kecuali Engkau, jauhkan dariku
keburukan karena tidak ada yang mampu menjauhkannya kecuali Engkau, semua
kebahagiaan dan kebaikan semua berada pada tanganMu dan keburukan bukan karenaMu,
hanya padaMu aku berharap dan berserah, Maha Baik dan Maha Mulia Engkau, aku
memohon ampun dan bertaubat padaMu (H.R. Muslim dan al-Nasa’i)

Dan ada juga sebagian ulama yang membolehkan untuk menggabungkan banyak doa
ifitah dalam satu waktu, semua lebih flexibel untuk dilakukan, sesuai dengan keinginan dan
kondisi yang ada.

Iftitah Makmum
Siapa saja yang ingin melaksanakan shalat maka kesunnahan membaca doa iftitah ini
berlaku baginya, bagi makmum, disunnahkan hukumnya untuk membaca doa iftitah persis
setelah selesai dari takbiratul ihram, pilihan panjang dan pendeknya doa yang dibaca
diserahkan kepada makmum dengan menyesuaikan kondisi imam agar supaya ketika imam
sudah mulai membaca Al-Fatihah, semua makmum sudah selesai membaca doa iftitahnya.
Dalam kondisi dimana imam sudah membaca Al-Fatihah dan makmum belum membaca atau
belum selesai dari doa iftitah, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Para ulama dari madzhab Hanafi (Ad-Dur Al-Mukhtar:1/328 ) menilai bahwa jika imam
sudah membaca Al-Fatihah maka sudah cukup berhenti dari membaca iftitah dan fokus
mendengarkan bacaan imam, utamanya ketika shalat jahriyyah (shalat dimana bacaan
imamnya keras).
Berbeda dengan pandangan para ulama dalam madzhab Syafii, baik pada
shalat sirriyyah maupun jahriyyah  semua makmum tetap disunnah membacanya, hanya saja
ketika imam sudah mulai membaca Al-Fatihah hendaknya makmum segera mempercepat
bacaan agar sesegera mungkin selesai dari doa iftitahnya. (Nihayah Al-Muhtaj: 1/454 ).
Dalam padangan ulama dari madzhab Hanbali hampir sama dengan madzahab Syafii,
hukumnya sunnah bagi makmum untuk membaca doa iftitah jika memang ada kesempatan
untuk membaca doa iftitah, dimana imam belum memulai bacaan Al-Fatihanya, namun jika
imam dalam shalat jahriyyah langsung membaca Al-Fatihah setelah takbiratul ihram tanpa
memberikan jedah diam sebentar untuk doa iftitah maka pendapat para ulama dalam madzhab
ini baiknya makmum tidak membaca iftitah dan diam saja mendengarkan bacaan Al-Fatihah
imam. (Al-Mughni: 1/607).

4. Hukum Membaca Al-Fatihah bagi Makmum


Syafi’iah : Makmum wajib membaca Al-Fatihah di belakang imam, kecuali makmum
masbuk yang tertinggal sebagian atau seluruh bacaan Al-Fatihah imam.
Hanafiah : Makruf tahrim bagi makmum membaca Al-Fatihah di belakang imam, baik dalam
shalat sirriyyah maupun shalat jahriyyah berdasarkan hadis yang berbunyi, “Orang yang
memiliki imam, maka bacaan imam adalah bacaannya juga.” Hadis ini diriwayatkan dari
banyak jalan.
Malikiah : Bacaan makmum di belakang imam adalah mandub dalam shalat sirriyyah dan
makruh dalam shalat jahriyyah, kecuali apabila ia bermaksud menjaga adanya khilaf
(perbedaan pendapat), hal ini disunahkan.
Hambaliah : Bacaan makmum di belakang imam hukumnya mustahab (sunah) dalam shalat
sirriyyah dan pada saat-saat imam tidak membaca (diam) dalam shalat jahriyyah, tetapi
makruh saat imam sedang melantunkan bacaan dalam shalat jahriyyah.

Membaca Fatihah pada Rakaat Ketiga dan Keempat pada Salat Fardu
Membaca Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat pada setiap salat adalah membaca surah
“Aalhamdulillahirabbil alamin” pada setiap rakaat. ulama mazhab berbeda pendapat dalam
hal ini.
a. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa membaca Fatihah tidak wajib
selain dalam dua rakaat salat. Pendapat mereka berdasarkan hadis riwayat Ali r.a. yang
mengatakan, “Bacalah dalam dua rakaat pertama dan bertasbihlah dalam dua rakaat yang
lain.” Disamping itu, seandainya membaca Fatihah adalah wajib dalam semua rakaat,
maka disunahkan pula membacanya dengan keras pada selain dua rakaat pertama.71
Diriwayatkan dari Hasan, apabila seseorang membaca Fatihah dalam satu rakaat, hal itu
sudah cukup baginya. Berdasarkan firman Allah Swt.
Artinya: “Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran”.(QS. Al-Muzammil
ayat 20)
b. Mazhab Maliki dan Syafi, membaca Fatihah dalam setiap rakaat adalah wajib bagi orang
yang salat sendirian (munfarid), imam, dan makmum, baik dalam salat jarriyyah maupun
sirriyyah, baik salat wajib maupun sunah. 73 Hukum ini tidak berlaku bagi orang yang
berhalangan seperti makmum masbuq, salat dalam kondisi berdesakan, lupa atau
makmum yang gerakannya lambat, misalnya dia baru bangkit dari sujud tapi imam sudah
hampir atau sudah dalam keadaan rukuk. Hal ini karena bacaan surat Fatihah makmum
sudah ditanggung oleh imam, dan dalam kondisi demikian dia tidak dianjurkan membaca
Fatihah. Sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa membaca Fatihah
adalah wajib bagi seseorang yang mengerjakan salat baik salat sendirian maupun
berjamaah dalam setiap rakaatnya.
5. Rukuk

Dalam rukuk disunnahkan membaca ‫ ُس"ْب َحا َنَر ِّبيَالْ َع ِظْي ِم‬Ini sebatas minimalnya. Sempurnanya
melangsung bacaan itu sampai tiga kali menurut mayoritas ulama. Dalam bacaan tasbih

tersebut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menambahkan kalimat ‫ َوحِب َ ْ"م ِ"د ِه‬dalil bacaan
tasbih ini adalah hadis Huzaifah. Ia berkata, “Aku pernah salat bersama Nabi Saw, dan
َ ‫ب‬b‫ن َربِّ َي ْال َع ِظي ِْم ُس‬
dalam rukuk membaca ‫ْحا‬ َ sedangkan dalam sujud beliau membaca ‫نَ َربِ َي‬
‫) ” ْاألَ َعلَى ُسب َْحا‬HR. At-Tarmidzi(

6. Bangkit dari Rukuk


Hadits yang membicarakan masalah ini adalah dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik,
disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ
َ َ‫ َف ُقولُوا َربَّنَا َول‬. ُ‫ال مَسِ َع اللَّهُ ل َم ْن مَحِ َده‬
‫ك احْلَ ْم ُد‬ َ َ‫َوإِ َذا ق‬

“Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan ‘sami’allahu liman
hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ‘, ucapkanlah
‘robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji)‘.” (HR. Bukhari
no. 689, 734 dan Muslim no. 411)

Berikut adalah perkataan Imam Nawawi dalam masalah ini. Menurut madzhab Syafi’i,
ketika bangkit dari ruku’ hendaklah mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Jika
berdirinya sudah lurus sempurna, hendaklah mengucapkan rabbana lakal hamdu hingga
selesai. [Kedua bacaan tadi berlaku bagi imam, makmum dan munfarid, orang yang shalat
sendirian].

Menurut Atha’, Abu Burdah, Muhammad bin Sirin, Ishaq dan Daud, bacaan sami’allahu
liman hamidah dan rabbana lakal hamdu berlaku untuk imam, makmum dan munfarid (orang
yang shalat sendirian).
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan sami’allahu liman hamidah berlaku untuk
imam dan orang yang shalat sendirian, sedangkan bagi makmum cukup membaca rabbana
lakal hamdu. Demikian pula pendapat Ibnul Mundzir dari Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah,
Asy-Sya’bi, Malik dan Ahmad. Imam Ahmad menyatakan bahwa demikian aku berpendapat.
Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Yusuf, Muhammad dan Ahmad menyatakan, “Imam
menggabungkan bacaan sami’allahu liman hamidah dan rabbana lakal hamdu. Sedangkan
makmum cuma mencukupkan dengan rabbana lakal hamdu.”
Disebutkan oleh Imam Nawawi, ulama Syafi’iyah memaknakan hadits di atas,
ucapkanlah “rabbana lakal hamdu” di mana kalian sudah tahu bahwa tetap mengucapkan
“sami’allahu liman hamidah”. Yang disebut dalam hadits hanyalah “rabbana lakal
hamdu” (bagi makmum) karena bacaan “sami’allahu liman hamidah” dijaherkan (dikeraskan)
sehingga makmum mendengar. Sedangkan bacaan “rabbanaa lakal hamdu” tidak dikeraskan
atau dibaca sirr (lirih). Mereka pun sudah tahu akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat. Kaedah asalnya, perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam boleh diikuti.
Intinya, para makmum diperintah tetap mengucapkan sami’allahu liman hamidah, tak
perlu ada perintah khusus akan hal itu (karena sudah maklum atau dipahami). Sedangkan
bacaan rabbana lakal hamdu (karena dilirihkan, pen.), diperintahkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk membacanya. Wallahu a’lam. (Lihat Al-Majmu’, 3: 273)

7. Sujud
Di dalam hadits Rasulullah SAW telah bersabda :

ِ ِ َ ِّ‫لَ َّما َنزلَت فَسبِّح بِاس ِم رب‬


ْ َ‫ َفلَ َّما َنَزل‬.‫وها يِف ُر ُكوع ُك ْم‬
‫ت َسبِّ ِح‬ ْ  ‫ك الْ َعظي ِم قَال َر ُسول اللَّه‬
َ ُ‫اج َعل‬ َ ْ ْ َ ْ َ
ِ ‫ اجعلُوها يِف سج‬:‫ك اْألََْ"علَى قَال‬
‫ود ُك ْم‬ ُُ َ َْ ْ ِ ِّ‫اس َم َرب‬
ْ
Dari Uqbah bin Amir bahwa ketika turun ayat (fasabbih bismirabbikal'adzhim),
Rasulullah SAW bersabda, "Jadikanlah lafadz ini sebagai bacaan dalam rukukmu". Dan
ketika turun ayat (sabbihismarabbikal 'ala), Rasulullah SAW memerintahkan,"Jadikanlah
lafadz ini bacaan di dalam sujudmu". (HR. Abu Daud)

Maka para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa lafadz tasbih yang dibaca dalam
sujud adalah :

‫سبحان ريب األعلى‬


Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi
Dalam hal berapa kali dibaca lafadz tasbih ini, para ulama berbeda pendapat.
a. Mazhab Al-Hanafiyah

Mazhab Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa minimal membaca tasbih di dalam sujud itu
tiga kali. Apabila kurang dari tiga kali, hukumnya makruh tanzih.

Apabila shalat sendirian, akan menjadi lebih utama bila dibaca lebih dari tiga kali.
Sedangkan bila sedang menjadi imam dalam shalat fardhu lima waktu, jangan lebih dari tiga
kali, agar orang-orang yang shalat di belakangnya tidak merasa terlalu lama.

b. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa tasbih dalam sujud hukumnya sunnah dengan
lafadz apapun. Tapi yang paling utama adalah lafadz subhana rabbiyal a'la wabihamdih.
Bila diulang-ulang maka pahalanya lebih banyak lagi.
Namun imam dalam shalat fardhu lima waktu tidak dianjurkan mengulang-ulangnya karena
khawatir memberatkan para makmum.

c. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Mazhab Asy-Syafi'iyah memandang bahwa asalnya tasbih dalam sujud itu cukup sekali
saja, minimal membaca subhanallah, atau subhanarabbi. Sedangkan bila mau yang
sempurna adalah bacaan subhana rabbiyal a'la wabihamdih yang dibaca minimal tiga kali.
Bila dibaca lima kali, tujuh kali, sembilan kali dan sebelas kali, maka akan semakin
sempurna.
Namun sebagaimana mazhab lain, mazhab Asy-syafi'i melarang imam shalat fardhu untuk
membaca lebih dari tiga kali, sebagai perlindungan bagi makmum.

d. Mazhab Al-Hambali
Mazhab Al-Hambali mewajibkan bacaan sujud. Dan bacaan itu minimal adalah subhana
rabbiyal a'la, dan minimal sekali dibaca, tanpa tambahan wabihamdih.
8. Membaca Doa di Antara Dua Sujud
Dalam hal ini ulama mazhab berbeda pendapat tentang doa antara dua sujud apakah doa
itu sunah atau sebaliknya.
a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa, tidak ada doa yang disunahkan untuk dibaca
dalam posisi duduk antara dua sujud, sebagaimana juga ketika bangun dari rukuk. Adapun
adanya dalil yang menerangkan tentang hal itu, maka hal itu termasuk dalam salat nafilah
atau salat tahajud.
b. Mazhab Maliki berpendapat bahwa, tidak menuturkan doa dalam posisi antara dua
sujud termasuk sunah dalam salat. Namun Ibnu Jauzi menuturkannya dalam hal yang dibaca
antara dua sujud.
c. Mazhab Syafi’i dan Hambali, doa antara dua sujud tersebut adalah masyru’. Bahkan
Imam Hambali mewajibkannya minimal sekali dengan mengucapkan “Rabbi ighfirli”. Dan
sempurnanya membaca doa tersebut sebanyak tiga kali, sebagaimana tasbih dalam rukuk dan
sujud.

Redaksi doa tersebut menurut Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah:
‫ي َوار َف ْعنِ ْي َو ْار ُزقْنِ ْي َو ْاه ِدنِ ْي َو َعافِنِ ْي‬,ْ ِ‫اج ُب ْرن‬ ِ ِ ِّ ‫ر‬
ْ ‫ب ا ْغف ْر ل ْي َو ْار َح ْمنِ ْي َو‬ َ

Artinya: “ya Allah ampunilah dosaku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah


derajatku, berilah aku rizki, berilah aku hidayah, dan maafkanlah segala kesalahanku.”

Adapun dalil yang membolehkan adalah hadis Hudzaifah, bahwa ia pernah salat bersama
Rasulullah Saw. Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibn Majah.

ِ ِِ ِ ِ
ْ ‫ َو ْارمَح ْن َيو َعافنيواهدن‬  ‫ا ْغفريِل‬ ‫"اللهم‬  ِ ‫َتنْي‬ ‫الس ْج َد‬
ْ‫يوار ُزق‬ َّ   َ ‫ َبنْي‬ ‫ل‬ ‫ َي ُقو‬ ‫ َكا َن‬ ‫سلم‬ ‫و‬ ‫عليه‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ َّ ‫النَّىِب‬ ‫اَ َّن‬

" ‫يِن‬
Artinya: “Dalam posisi duduk di antara dua sujud, Rasulullah Saw. membaca doa, “ya
Allah, ampunilah dosa-dosaku, kasihanilah aku, berilah aku hidayah dan rizki”.

9. Tasyahud Awal
Membaca tahiat awal adalah bacaan duduk setelah sujud pada rakaat kedua. Dalam hal
ini ulama mazhab sepakat bahwa tahiat awal itu hukumnya sunah. Adapun mereka berbeda
pendapat dalam redaksi bacaannya dan hukumnya.
a. Redaksi tahiat menurut Syafi’i sebagai berikut,
ِ ُ‫ك أيُّها النَّيِب ورمْح ة‬ ِ
،ُ‫اهلل َو َبَر َكاتُه‬ َ َ َ ُّ َ َ ‫لساَل ُم َعلَْي‬ ُ َ‫ات الطَّيِّب‬
َّ َ‫ ا‬،‫ات هلل‬ ُ ‫الصلَ َو‬
َ ،‫ات‬
ُ ‫ات املُبَ َار َك‬
ُ َ‫لتَّحي‬
َّ ‫ َوأَ ْش َه ُد‬،‫ أَ ْش َه ُد أَن اَّل إِلَهَ إِاّل اهلل‬،‫الصاحِلِني‬
‫أن حُمَ َّم ًدا َر ُس ْو ُل اهلل‬ ِ ِ ِ
َ ‫الساَل ُم َعلَينَا َو َعلَى عبَاد اهلل‬
َّ
Artinya : “Segala penghormatan, keberkahan, permohonan dan kebaikan hanyalah bagi
Allah. Semoga keselamatan, kedamaian, rahmat dan berkah Allah selalu tercurah kepadamu
wahai Nabi. Semoga pula kedamaian senantiasa diberikan Allah kepada kami dan hamba-
hambanya yang saleh. Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah”
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat, bahwa duduk dan membaca
tahiat awal itu hukumnya sunah. Mereka juga mengatakan tidak disunahkan untuk
menambahkan atau memperpanjang bacaan tahiat awal, bahkan menurut Imam Hambali,
apabila ada makmum masbuq, maka ia tidak menambahkan bacaan tahiat tawal. Akan tetapi
menurut Imam Syafi’i disunahkan untuk menambahkan bacaan salawat pada akhir tahiat
tersebut dengan membaca “Allahumma shalli ‘ala muhammad ‘abdika warasuulika
annabiyyil immiyii”Muhammad adalah utusan Allah”
b. Redaksi tahiat menurut mazhab Hanafi, bahwa hukum tahiat awal dan tahiat akhir
adalah wajib dengan adanya perintah untuk melakukannya. Dan apabila lupa, harus
diganti dengan sujud sahwi, Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah Saw. bersabda:
Hadis riwayat Ahmad dan an-Nasa’i

Artinya: “Jika kalian duduk dalam tiap dua rakaat, maka bacalah ‘Segala penghormatan
milik Allah. Permohonan, dan segala kebaikan juga hanya milik Allah. Semoga keselamatan,
kedamaian, rahmat dan berkah Allah selalu tercurah kepadamu wahai Nabi. Semoga
kedamaian senantiasa diberikan Allah kepada kami dan hambahamba- Nya yang saleh. Aku
bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah’.
Setelah itu, pilihlah doa yang kalian sukai dan berdoalah memohon kepada Allah”.
Dalil yang dipakai oleh Imam Hanafi untuk mewajibkan keduanya adalah dari kebiasaan
Rasulullah Saw dan perintah beliau kepada Abbas, “Ucapkanlah,‘attahiyaatul lillah...,’ dan
apabila lupa, maka harus menggantinya dengan sujud sahwi. Selain itu Rasulullah Saw juga
bersabda, “Salatlah sebagaimana kalian melihatku salat.”

10. Tasyahud Akhir


Menurut Syafi’iah, tasyahud akhir adalah fardu. Menurut Hanafiah, ia adalah wajib,
bukan fardu. Sementara itu, menurut Malikiah ia adalah sunah.
Keempat mazhab berbeda pendapat tentang lafal tasyahud akhir. Berikut perinciannya.
Hanafiah: Mereka berpendapat bahwa lafal bacaan tasyahud adalah
Segala penghormatan, selawat dan seuruh kbaikan hanyalah milik Allah. Semoga salam
tetap terlimpah padamu, wahai Nabi Muhammad, beserta rahmat dan karunia-Nya. Semoga
keselamatan juga tetap terlimpah pada kita semua serta atas hamba-hamaba Allah yang
saleh. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.
Lafal ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra. Menggunakan lafal ini lebih utama
daripada lafal yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.

Malikiah: Mereka berpendapat bahwa lafal tasyahud adalah sbagai berikut.

Segala penghormatan, kesucian dan kebaikan adalah milik Alla semata. Semoga salam tetap
tercurahkan padam, wahai Nabi Muhammad beserta rahmat Allah dan barakah-Nya.
Semoga salam juga tetap terlimpahkan pada kita semua dan pada hamba-hamba Allah yang
Saleh. lain Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa lagi tidak memiliki sekutu,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Menggunakan lafal tasyahud ini adalah mandub. Menggunakan bacaan yang lain tetap
terhitung mengikuti sunah, namun meninggalkan yang mandub.

Syafi’iah: menurut mereka, lafal tasyahud adalah:


Segala penghormatan, barakah, selawat, dan kebaikan hanyalah milik Allah. Semoga salam
tetap tercurahkan padamu wahai Nabi Muhammad beserta rahmat Allah dan barakah-Nya.
Semoga keselamatan juga tetap terlimpahkan pada kita semua dan pada hamba-hamba
Allah yang saleh. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adlah utusan Allah.
Menurut mereka, fardu membaca tasyahud sudah terpenuhi dengan membaca:

Segala penghormatan hanyalah milik Allah. Semoga salam tetap tercurahkan padamu wahai
Nabi Muhammad beserta rahmat Allah dan berkat-Nya. Semoga keselamatan juga tetap
terlimpahkan pada kita semua dan pada hamba-hamba Allah yan saleh. Aku bersaksi tiada
tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.

Bacaan tasyahud yang pertama lebih sempurna dan lebih utama. Tasyahud hanya sah
jika: (1) menggunakan bahasa Arab bila mampu; (2) dibaca secara beruntun tanpa jeda; (3)
terdengar oleh telinga sendiri; (4) semua kalimatnya dibaca teratur karena jika diacak, dapat
mengubah makna dan membatalkan shalat-jika sengaja. Namun, jika tidak sengaja, tidak
membatalkan shalat. Syafi’iah menambahkan bahwa selawat atas Nabi Muhammad Saw.
Setelah tasyahud akhir merupakan rukun shalat tersendiri. Paling sedikitnya adalah membaca:

Dari sini diketahui bahwa membaca sebagian bacaan ini dalah fardu menurut Syafi’iah.
Sementara itu, menurut Malikiah, bacaan bacaan itu adalah sunah sehingga orang hanya
duduk dan tidak membaca apapun, shalatnya tetap sah walaupun makruh. Menurut
Hambaliah, orang yang meninggalkan tasyahud shalatnya tetap sah, tetapi makruh tahrim.
Hambaliah: Menurut mereka, lafal tasyahud adalah

Inilah bacaan tasyahud yang paling utama. Namun, boleh juga menggunakan bacaan
lain yang berasal dari Nabi Saw. Contohnya adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Yang jelas, bacaan tasyahud fardu untuk dibaca adalah

Segala penghormatan hanyalah milik Allah. Seoga salam tetap tecurahkan padamu wahai
Nabi Muhammad beserta ahmat Allah dan berkat-Nya. Semoga keselamatan juga tetap
terlimpahkan pada kita semua dan pada hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Ya
Allah, limpahkan salam kepada Nabi Muhammad.
Hambaliah menambahkan bahwa bacaan solawat terhadap Nabi tidak harus seperti
bentuk di atas.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Shalat mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam mendidik jiwa dan membina
akhlak. Sungguh, pada setiap bagian shalat terkandung keutamaan-keutamaan akhlak yang
bermanfaat untuk melahirkan sifat-sifat terpuji. Salah satu amalan shalat serta pengaruhnya
dalam pembinaan jiwa adalah bacaan shalat.
Ketika menyebutkan sifat-sifat Allah seperti Rahman dan Ihsan, ia wajib berusaha
menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat mulia tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad
Saw., “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah. Dialah Yang Mahasuci, Mahamulia, Maha
Pemaaf, Maha Pengampun lagi Mahaadil yang tidak pernah menzalimi manusia". Jika dalam
shalat yang didirikan secara istikamah dalam sehari-semalam seorang muslim mengerti
makna bacaan yang dilantunkan, semua sifat keagungan Tuhan akan terpatri dalam jiwanya.
Dengan demikian, ia akan menjelma menjadi sosok yang arif, bijaksana, dan bisa menjalani
hidup dengan indah. Inilah rahasia terdalam di balik pemahaman yang utuh terhadap bacaan
shalat, yaitu suatu sarana pendidikan jiwa yang paling elegan.
Bacaan Sholat antara Imam dan Ma’mum tidak ada perbedaan tetapi membaca bacaan
sholat sesuai keyakinan mahdzab yang di yakini masing-masing orang. Selain itu ma’mum
mengikuti gerakan sholat dan bacaan sholat setelah imam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, S. A. (2005). Kitab Shalat Empat Mazhab. Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah (PT
Mizan Publika).

Mahadhir, M. S. (2016, Agustus 23). Sifat Shalat: Membaca Doa Iftitah. Dipetik Oktober 23,
2021, dari rumahfiqih: https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=441

Sarwat, A. (2015, Agustus 2). Apa Yang Dibaca Pada Saat Sujud Dan Ketentuannya. Dipetik
Oktober 23, 2021, dari rumahfiqih: https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-2235-
apa-yang-dibaca-pada-saat-sujud-dan-ketentuannya.html

Tataharja, S. (2021, Juli 15). Peta Perbedaan Pendapat Ulama dalam Bacaan Salat (Studi
Perbandingan antara Empat Mazhab. Dipetik Oktober 24, 2021, dari repository.ar-
raniry: https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/17825/

Tuasikal, M. A. (2015, Juli 19). Sifat Shalat Nabi (36): Apakah Makmum Ikut Mengucapkan
Samiallahu Liman Hamidah? Dipetik Oktober 23, 2021, dari rumaysho:
https://rumaysho.com/11465-sifat-shalat-nabi-36-apakah-makmum-ikut-
mengucapkan-samiallahu-liman-hamidah.html

Anda mungkin juga menyukai