MUQORONAH MADZAHIB
-(9)-
Disusun Oleh :
Dr. Abd. Adi Saputera, S.HI, M.HI
1
PEMBAHASAN TEMATIK SINGKAT :
KOMPARASI MADZHAB
-(2)-
2
Dari hadits, Rasulullah SAW bersabda:
“Shalat adalah kewajiban yang pertama kali akan dihisab dari amalan
seorang hamba pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
3
c. Syarat gabungan antara wajib dan sah menurut madzhab
Maliki ada empat, yaitu: Islam, akal, suci dari haid dan nifas,
dan menjauhi hal-hal yang membatalkan sholat.
3. Madzhab Syafi’i: Membagi syarat sholat menjadi dua bagian,
yaitu syarat wajib dan syarat sah.
a. Syarat wajib sholat menurut madzhab Syafi’i ada enam,
yaitu: sampainya dakwah Nabi SAW, Islam, akal, baligh, suci
dari haid dan nifas, dan selamatnya panca indera.
b. Syarat sah sholat menurut madzhab Syafi’i ada delapan,
yaitu: suci dari hadas dan najis, suci dari najis pada badan,
pakaian, dan tempat, menutup aurat, menghadap kiblat,
masuk waktu, mengetahui hukum fardhu sholat, tidak
menganggap sunnah sebagai fardhu, dan menjauhi hal-hal
yang membatalkan sholat.
4. Madzhab Hambali: Membagi syarat sholat menjadi dua bagian,
yaitu syarat wajib dan syarat sah, seperti madzhab Syafi’i.
a. Syarat wajib sholat menurut madzhab Hambali ada lima,
yaitu: Islam, akal, baligh, suci dari haid dan nifas, dan
selamatnya panca indera.
b. Syarat sah sholat menurut madzhab Hambali ada tujuh,
yaitu: suci dari hadas dan najis, suci dari najis pada badan,
pakaian, dan tempat, menutup aurat, niat, menghadap kiblat,
masuk waktu, dan menjauhi hal-hal yang membatalkan
sholat.
4
untuk menyatakan niat secara dalam hati pada saat hendak memulai shalat,
menyebutkan jenis shalat yang akan dilakukan, seperti shalat Maghrib,
shalat Zuhur, jumlah rakaat, dan dilakukan semata-mata karena Allah.
Niat dalam shalat adalah fondasi penting dalam menjalankan ibadah
tersebut dengan benar dan ikhlas, mengarahkan fokus kepada Allah
semata. Ia membantu seseorang untuk membedakan antara tindakan yang
bersifat ibadah (seperti shalat) dengan aktivitas sehari-hari lainnya.
Madzhab-madzhab dalam Islam memiliki kesepakatan yang kuat dalam hal
niat (niyyah) dalam shalat, meskipun ada perbedaan pendapat dalam
formulasi niat sebelum melaksanakan shalat. Berikut adalah perbandingan
mengenai niat shalat menurut beberapa madzhab:
1. Madzhab Hanafi: menganggap niat adalah suatu keharusan
(wajib) untuk shalat. Niat dilakukan di dalam hati tanpa perlu
diucapkan secara verbal. Mereka berpendapat bahwa niat
sebelum shalat bisa dilakukan secara umum, misalnya,
seseorang berniat melakukan shalat Fardhu (wajib) yang sedang
datang waktu, tanpa menyebutkan nama shalat tersebut. Contoh,
seseorang berniat dalam hatinya, "Saya berniat melaksanakan
shalat Zuhur yang sedang datang waktu."
2. Madzhab Maliki menyatakan bahwa niat itu penting tetapi tidak
harus diungkapkan dengan kata-kata. Mereka memperbolehkan
pelaksanaan shalat berdasarkan pada perbuatan (amal), seperti
seseorang menyiapkan diri dengan berniat masuk ke dalam
masjid, menghadap kiblat, berdiri untuk shalat, dan seterusnya.
3. Madzhab Syafi'i mensyaratkan bahwa niat harus diucapkan
dalam hati dan tidak harus diungkapkan dengan kata-kata secara
lisan. Niat harus spesifik, menyebutkan nama shalat yang akan
dilakukan. Contoh, "Saya berniat melaksanakan shalat Zuhur
empat rakaat karena Allah."
4. Madzhab Hanbali juga menganggap niat sebagai suatu
keharusan dan harus dilakukan di dalam hati tanpa perlu
diungkapkan secara verbal. Mereka menganjurkan niat yang
5
spesifik, menyebutkan jenis shalat yang akan dilakukan. Contoh,
"Saya berniat melaksanakan shalat Maghrib tiga rakaat karena
Allah."
Meskipun ada perbedaan pendapat dalam detail cara menetapkan
niat shalat di antara madzhab-madzhab ini, semua sepakat bahwa niat
adalah bagian penting dari persiapan sebelum melaksanakan shalat, dan
itu harus dibuat dengan tulus hanya untuk mengikhlaskan ibadah kepada
Allah.
6
menunjukkan perbedaan kecil dalam tata cara praktik ibadah shalat di
antara madzhab-madzhab tersebut. Namun, penting untuk diingat bahwa
semua madzhab memiliki tujuan yang sama, yaitu menjalankan ibadah
dengan ketaatan kepada Allah SWT.
7
4. Mazhab Syafi’i: Dianjurkan memposisikan kedua tangan tersebut
di bawah dada di atas pusar, miring ke kiri, karena hati berada
pada posisi tersebut, maka kedua tangan berada pada anggota
tubuh yang paling mulia, mengamalkan hadits Wa’il bin Hujr:
“Saya melihat Rasulullah Saw shalat, ia meletakkan kedua
tangannya di atas dadanya, salah satu tangannya di atas yang
lain”. Didukung hadits lain riwayat Ibnu Khuzaimah tentang
meletakkan kedua tangan menurut cara ini.
Mazhab Hanafi dan Hanbali: Meletakkan tangan di bawah pusar,
berdasarkan hadits dari Ali, ia berkata: “Berdasarkan Sunnah meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri, di bawah pusar”. (HR. Ahmad dan Abu
Daud). Pendapat yang Rajih (kuat) dan terpilih bagi saya (Syekh Wahbah
az-Zuhaili) adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama: meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri, inilah yang disepakati. Adapun hakikat Mazhab
Maliki yang ditetapkan itu adalah untuk memerangi perbuatan orang yang
tidak mengikuti sunnah yaitu perbuatan mereka yang bersedekap untuk
tujuan bersandar, atau untuk memerangi keyakinan yang rusak yaitu
prasangka orang awam bahwa bersedekap itu hukumnya wajib
8
2. Mazhab Maliki: Makruh hukumnya membaca Ta’awwudz dan
Basmalah sebelum al-Fatihah dan Surah berdasarkan hadits Anas:
“Sesungguhnya Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar mengawali
shalat mereka dengan membaca alhamdulillahi rabbil’alamin”.
3. Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Dianjurkan membaca Ta’awwudz
secara sirr pada awal setiap rakaat sebelum membaca al-Fatihah,
dengan mengucapkan: [Audzubillahiminassyatanirrajim) [Aku
berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk). Dari Imam
Ahmad, ia berkata: [Audzubillahi Assamiun Alim Minas
Syaytanirrajim) [Aku berlindung kepada Allah Yang Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk).
Dalilnya adalah hadits riwayat Imam Ahmad dan at-Tirmidzi dari
Abu Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah Saw, ketika Rasulullah Saw
akan melaksanakan shalat, beliau mengawali dengan
mengucapkan: Ta’awudz (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha
Mendengar dan Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari
bisikannya, kesombongan dan sihirnya). Ibnu al-Mundzir berkata:
“Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau mengawali bacaan
dengan: Ta’awudz [ Aku berlindung kepada Allah dari setan yang
terkutuk). Kemudian beliau mengucapkan: [Basmalah) (dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Dibaca
sirr menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali.
Dibaca Jahr menurut Mazhab Syafi’I, mereka berdalil tentang
disunnahkannya Ta’awwudz berdasarkan firman Allah: “Apabila kamu
membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah
dari syaitan yang terkutuk”. (Qs. an-Nahl [16]: 98)
9
menganggap mengucapkannya sebelum membaca surat Al-Fatihah
sebagai suatu yang disunahkan. Di sisi lain, menurut madzhab Asy-Syafi'i,
hal ini dianggap sebagai suatu kewajiban (fardhu), sedangkan dalam
pandangan madzhab Maliki, hal ini dianggap sebagai suatu perbuatan yang
kurang disukai (makruh).
1. Menurut madzhab Hanafi, bagi mereka yang shalat secara
individu maupun menjadi imam, disarankan untuk membaca
basmalah di awal setiap rakaat shalat, baik itu dalam suara yang
rendah maupun keras. Namun, bagi jamaah (makmum), tidak
disarankan untuk membaca basmalah karena mereka tidak
diperkenankan membaca ayat-ayat Al-Qur'an selama menjadi
makmum. Basmalah ini dibaca setelah membaca doa iftitah dan
beristi'adzah. Jika seseorang lupa untuk beristi'adzah dan
langsung membaca basmalah, disarankan untuk tidak
beristi'adzah sama sekali dan mengulang basmalah setelahnya.
Namun, jika ia lupa untuk membaca basmalah dan langsung
membaca surat Al-Fatihah, menurut pendapat yang diunggulkan
dalam madzhab ini, disarankan untuk tidak mengulang basmalah
dan bacaan Al-Fatihahnya.
2. Menurut madzhab Maliki, membaca basmalah sebelum
membaca surat Al-Fatihah di shalat fardhu, baik dengan suara
rendah atau keras, dianggap sebagai perbuatan yang kurang
disukai (makruh). Namun, jika seseorang ingin menghindari
perbedaan antar madzhab, disarankan untuk membacanya
dengan suara rendah pada awal surat Al-Fatihah, karena
membacanya dengan suara keras tetap dianggap makruh.
Namun, dalam shalat sunnah, membaca basmalah sebelum Al-
Fatihah diizinkan.
3. Menurut madzhab Asy-Syafi'i, basmalah dianggap sebagai
bagian dari surat Al-Fatihah, sehingga diwajibkan membacanya,
sama seperti membaca ayat-ayat Al-Fatihah lainnya dalam
shalat, baik dengan suara rendah maupun keras. Oleh karena itu,
10
bagi siapa pun yang melakukan shalat dengan suara keras,
diwajibkan untuk membaca basmalah dengan suara keras
sebagaimana dengan kerasnya pembacaan surat Al-Fatihah, dan
jika tidak, shalatnya dianggap tidak sah.
4. Menurut madzhab Hambali, basmalah bukanlah salah satu ayat
dari surat Al-Fatihah, sehingga membacanya hanya disarankan
sebagai perbuatan yang disukai (sunnah), dan dibacakan pada
awal setiap rakaat dengan suara yang rendah. Jika seseorang
telah membaca basmalah sebelum beristi'adzah, maka
kewajiban isti'adzahnya telah terpenuhi, sehingga tidak perlu
mengulang membaca isti'adzah dan basmalah. Demikian juga,
jika ia tidak membaca basmalah dan langsung membaca surat
Al-Fatihah, kewajiban membaca basmalahnya telah tergugur,
sehingga tidak perlu membacanya kembali, seperti yang
dipegang oleh madzhab Hanafi.
11
pertama. Pendapat ini disepakati antara madzhab Asy-Syaf i dengan
madzhab Hanafi. Sedangkan untuk pendapat Menurut madzhab Maliki dan
Hambali: dianjurkan bagi seorang imam untuk memperPendek waktu
shalatrya pada rakaat kedua dibandingkan rakaat yang pertama, baik itu
ketika shalat Jum'at ataupun shalat-shalat lainnya, meskipun waktu yang
lebih pendek itu lebih banyak jumlah ayat yang dibaca daripada rakaat yang
pertama.
Apabila ia menghabiskan waktu yang sama pada kedua rakaat itu,
atau ia lebih mempercepat rakaat yang pertama daripada rakaat yang
kedua, maka ia telah berbuat sesuatu yang tidak diutamakan baginya.
Perbedaan pada kedua madzhab ini hanya terletak pada sebutan antara
disunnahkan dengan dianjurkan, yang muma dalam madzhab Maliki
keduanya tidak dibedakan, sedangkan dalam madzhab Hambali keduanya
sedikit berbeda.
12
antara status hukum yang disunnahkan dan yang dianjurkan dalam
hal ini. Menurut mereka, disarankan untuk menjaga jarak yang wajar
antara kedua kaki dalam shalat.
13
Kebalikan dari itu ketika para pelaksana shalat hendak bangkit
dari sujud, yaitu dengan mengangkat wajahnya terlebih dulu,
kemudian diikuti dengan kedua tangary dan kemudian barulah
bagian lututnya. Mekanisme ini disepakati oleh madzhab Hanafi
dan Hambali,
2. Sementara Menurut madzhab Asy-Syafi'i: di saat bangkit dari
sujud para pelaksana shalat disunnahkanuntuk mengangkat
lututnya terlebih dulu sebelum tangannya, kemudian ia bangkit
dengan bertumpu pada kedua tangannya, meskipun pelaksana
shalat tersebut seorang perempuan ataupun seseorang yang
kuat dan dapat melakukan hal yang berbeda.
3. Menurut madzhab Maliki: dianjurkan mendahulukan kedua
tangan daripada lutut saat hendak bersujud, dan sebaliknya
ketika hendak bangkit dari sujud, yakni dengan mengakhirkan
kedua tangan daripada lutut. Mekanisme itu dilakukan apabila
pelaksana shalat tidak beruzur, sedangkan apabila beruzur
seperti orang yang sudah sangat renta, atau mengenakan sepatu
khuffain, atau yang lainnya, maka seluruh ulama madzhab
bersepakat bahwa orang itu boleh menerapkan mekanisme apa
saja yang dapat ia lakukan.
14
2. Menurut madzhab Hanafi: lebih utama jika wajah diletakkan
antara kedua telapak tangannya, namun jika kedua telapak
tangan diletakkan di hadapan bahu maka sunnahnya telah
terpenuhi.
3. Di antaranya: Menjauhkan antara perut dengan kedua paha saat
bersujud, serta menjauhkan kedua siku dari kedua sisi tubuh dan
lengan dari atas tanah. Semua ini dilakukan apabila tidak
mengganggu orang yang sujud di sebelahnya, jika ya atau
bahkan menyakitinya maka hal itu dilarang. Dan, dalil untuk
posisi tersebut adalah hadits yang menyatakan bahwa ketika
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersujud beliau menjauhkan
antara perut dengan kedua paha beliau. Sementara untuk kaum
perempuan, mereka disunnahkan untuk melekatkan perut
dengan kedua pahanya agar lebih dapat menjaga aurahrya.
Posisi seperti itu disepakati oleh seluruh ulama madzhab kecuali
madzhab Maliki. Untuk mengetahui bagaimana pendapat
madzhab Maliki, lihatlah pada catatan kaki.
4. Di antaranya: Menambahkan kadar thama'ninah lebih dari yang
diwajibkan. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama madzhab.
15
tawaruk, yaitu duduk di atas kedua bagian bawahnya (bokong),
meletakkan satu paha di atas paha lainnya, dan mengeluarkan
kaki kirinya di bawah pergelangan kaki kanan.
2. Menurut madzhab Asy-Syafi'i: untuk duduk selain duduk terakhir
disunnahkan bagi pelaksana shalat untuk duduk iftirasy, yaitu
dengan cara merebahkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan
lalu duduk di atas kaki kiri. Sementara untuk duduk terakhir
disunnahkan untuk duduk tawaruk, yaitu dengan cara
menempelkan pangkal paha kaki kiri di atas tanah dan
menegakkan kaki kanan. Terkecuali jika orang tersebut hendak
melakukan sujud sahwi setelah duduk terakhir, maka tidak
disunnahkan baginya untuk duduk tawaruk, namun disunnahkan
baginya untuk duduk tftirasy.
3. Menurut madzhab Hambali: disunnahkan bagi pelaksana shalat
untuk duduk iftirasy pada duduk antara dua sujud dan tasyahud
awal, yaitu dengan cara merebahkan kaki kiri dan menegakkan
kaki kanary lalu duduk di atas kaki kiri dan mengeluarkan kaki
kanan dari bawah dirinya, lalu menghadapkan jari jemari kakinya
ke arah kiblat. Sedangkan untuk tasyahud akhir pada shalat yang
berjumlah tiga atau empat rakaat, maka disunnahkan baginya
untuk duduk tawaruk, yaitu dengan cara merebahkan kaki kiri
dan menegakkan kaki kanan, lalu mengeluarkan kedua kaki
tersebut dari sisi kanan dirinya hingga kedua bagian bawahnya
(bokong) dapat menempel di atas tanah.
16
telunjuk agar selalu digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan gerakan yang
proporsional.
1. Menurut madzhab Hanafi: disunnahkan untuk hanya
menggerakkan jari telunjuk tangan kanan saja ke arah depan
ketika bertasyahud, dan apabila jari tersebut terpenggal atau
dalam keadaan sakit hingga tidak mampu untuk digerakkan,
maka tidak perlu digantikan oleh jari lainnya, tidak oleh jari jemari
tangan kanan dan tidak juga dengan tangan kiri. Dan, jari
telunjuk itu digerakkan tepat pada saat melafalkan harfu nah
(laa) dalam kalimat tasyahud, yaitu ucapat\: "laa ilaaha illallah,"
dar. diletakkan kembali di tempatnya ketika melafalkan harfu
istitsna (illa) dalamkalimat yang sama, yaitu: ucapan: " illallah."
Hingga seakan pergerakan jari telunjuk ketika menunjuk sebagai
tanda bahwa tidak ada Tuhan lain yang berhak untuk disembah,
dan peletakkannya kembali untuk menandakan bahwa hanya
Allah Tuhan yang berhak untuk disembah
2. Menurut madzhab Hambali: jari manis dengan jari kelingking
disunnahkan untuk ditutup, sementara jari tengah dilingkarkan
dengan ibu jari, dan untuk jari telunjuk disunnahkan untuk
menunjuk ke arah depan ketika membaca tasyahud dan doa,
tepatnya saat melafalkan lafzhul jalaalah (Allah), namun tanpa
menggerak-gerakkannya.
3. Menurut madzhab Asy-Syafi'i: seluruh jari tangan kanan kecuali
jari telunjuk disunnahkan untuk ditutup saat bertasyahud, dan jari
telunjuk itu disunnahkan untuk menunjuk ke arah depan ketika
melafalkan harfu istitsna (yakni saat mengucapkan kalimat:
illallah) tanpa menggerak-gerakkannya dan tetap dalam
keadaan seperti itu hingga bangkit dari duduk tasyahudnya atau
mengucapkan salam. Dan, ketika melakukan hal itu, lebih utama
jika ibu jari ditekuk disamping jari telunjuk dan diletakkan saja di
tepi telapak tangannya.
17
Perbandingan Madhab: Lewat berlalu-lalang di Hadapan Orang
yang sedang Sholat
Diharamkan bagi siapapun yang melakukan shalat, meskipun
shalatnya tidak ditandai dengan tabir penghalang tanpa alasan tertentu.
Dan, diharamkan pula bagi pelaksana shalat untuk melakukan shalatnya di
tempat yang biasa digunakan berlalu-lalang tanpa tabir penghalang,
misalnya di sebuah jalan umum yang agak sempit. Apabila seseorang
berlalu di hadapan pelaksana shalat tersebut tanpa menyadari
keberadaannya, maka pelaksana shalat tersebut dianggap telah melakukan
dosa, namun bukan karena ia tidak menempatkan tabir penghalang di
depannya, melainkan karena ia melakukan shalat di tempat umum dan
menyebabkan orang lain berlalu di hadapannya. Namun apabila tidak ada
seorang pun yang berlalu di hadapannya, maka ia tidak mendapatkan dosa,
karena penggunaan tabir sendiri memang bukan sesuatu yang diwajibkan
atasnya. Sebaliknya, jika pelaksana shalat melaksanakan shalat di tempat
umum yang biasa digunakan berlalu-lalang, namun ada jalan alternatif bagi
para pejalan, maka pelaksana shalat dan pejalan kakinya sama-sama
mendapatkan dosa. Lain halnya jika pelaksana shalat melaksanakan
shalatnya di tempat yang tidak umum dilalui oleh manusia, namun tidak ada
jalan alternatif bagi orang lain untuk tidak melewati tempat tersebut, maka
kedua-duanya terlepas dari perbuatan dosa. Intinya, apabllasalah satu dari
mereka lalai atau kedua-duanya lalai, maka orang yang lalai itulah yang
mendapatkan dosa. Hukum ini disepakati dalam madzhab Hanafi dan
Maliki, adapun untuk pendapat madzhab Maliki dan Asy-Syafi'i dapat dilihat
pada catatan berikut.
1. Menurut madzhab Asy-Syafi'i: berlalu di hadapan orang yang
sedang shalat itu hukumnya tidak haram, kecuali orang yang
shalat itu telah meletakkan tabir di depannya sesuai dengan
syarat-syaratyang disebutkan sebelumnya, jika tidak maka tidak
haram dan tidak pula makruh bagi orang yang lewat tersebut,
meskipun sebaiknya ia tidak melakukannya. Begitu pula
denganpelaksana shalatnya jika ia tidak meletakkantabir
18
penghalang di depannya dan ia shalat di tempat yang mungkin
dilalui oleh orang lain, ia tetap tidak berdosa karenanya, namun
memang sebaiknya ia melakukan shalat di tempat yang tidak
biasa dilalui oleh orang lain.
2. Menurut madzhab Hambali: makruh hukumnya jika seseorang
melakukan shalat di tempat yang biasa digunakan berlalulalang,
entah ada orang yang lewat di hadapannya ketika ia melakukan
shalat tersebut ataupun tidak, sama seperti pendapat madzhab
Asy-Syaf i, hanya saja hukum ini berlaku bagi orang yang shalat
saja, sedangkan bagi orang yang lewat, ia harus menanggung
dosa selama di sana terdapat jalan altematif untuk dilaluinya.
Dibolehkan bagi siapa pun untuk berlalu di hadapan orang yang
sedang shalat apabila maksudnya adalah untuk memenuhi
barisan yang tidak terisi penuh (berlubang/kosong). Dan, hukum
ini berlaku bagi orang yang memang sudah ada bersama jamaah
shalat sebelum dilaksanakannya shalatberjamaah ataupun orang
yang baru datang ketika shalat berjamaah sedang berlangsung.
Daru hukum ini disepakati oleh para ulama selain madzhab Maliki,
dan untuk pendapat madzhab Maliki ini dapat dilihat pada catatan
kaki. Dan dibolehkan pula bagi siapa pun untuk berjalan di
hadapan orang yang shalat apabila ia sedang melakukan thawaf
di sekeliling Ka'bah. Lihatlah penjelasan untuk masing-masing
madzhab terkait hal ini pada catatan berikut:
a. Menurut madzhab Maliki: berjalan di hadapan orang yang
sedang shalat yang tidak menutupi diri dengan tabir
dibolehkan jika berada di dalam Masjidil Haram, sedangkan
jika orang yang shalat telah meletakkan tabir untuk membatasi
ruang shalatnya maka hukumnya sama seperti hukum yang
berlaku di tempat lainnya. Dari dimakruhkan bagi orang yang
sedang thawaf untuk berjalan di depan pelaksana shalat yang
telah membatasi dirinya dengan tabir, sedangkan jika
pelaksana shalat itu tidak bertabir, maka tidak dimakruhkan.
19
b. Menurut madzhab Hanafi: orang yang sedang berthawaf di
sekeliling Ka'bah boleh berjalan di hadapan orang yang
sedang shalat di Masjidil Haram, ia boleh berjalan di hadapan
orang yang sedang shalat di dalam Ka'bah, ia boleh berjalan
di hadapan orang yang sedang shalat di belakang Maqam
Ibrahim, asalkan orang yang sedang shalat itu tidak
meletakkan tabir penghalang di depannya.
c. Menurut madzhab Hambali: berjalan di hadapan orang yang
sedang shalat tidak diharamkan jika berada di Masjidil Haram,
bahkan di seluruh wilayah kota Makkah.
d. Menurut madzhab Asy-Syafi'i: orang yang sedang thawaf
mutlak dibolehkan untuk berjalan di hadapan orang yang
sedang shalat, tidak ada larangan sama sekali baginya.
20
3. Menurut madzhab Asy-Syafi'i: jangkauan maksimal yang
diharamkan bagi seseorang untuk berjalan di antara seseorang
yang sedang shalat dengan tabirnya adalah tiga hasta.
4. Menurut madzhab Hambali: apabila seseorang melakukan shalat
dengan menggunakan tabir penghalang, maka diharamkan bagi
siapa pun untuk berlalu di antara orang tersebut dengan tabirnya
walaupun letak tabir tersebut cukup jauh dari orang itu.
Sedangkan bila ia tidak menggunakan tabir penghalang, maka
jangkauan yang diharamkan bagi siapa pun untuk berlalu di
hadapannya adalah tiga hasta, dimulai dari tempat kakinya berdiri.
21
1. Menurut madzhab Hanafi: yang dimakruhkan adalah dengan
menggerakkan leher untuk menengok ke kiri atau ke kanan,
apabila tidak seperti itu misalnya dengan menggerakkan bola
mata untuk melihat sesuatu maka hal itu masih dibolehkan. Lain
halnya jika tubuh pelaksana shalat sudah tidak menghadap ke
arah kiblat lagi, maka ia dianggap telah melanggar rukun shalat
dan shalatnya sudah tidak sah lagi.
2. Menurut madzhab Asy-Syafi'i: dimakruhkan menggerakkan
wajah di dalam shalat untuk menoleh, apalagi disertai dengan
gerakan tubuh, itu tentu saja dapat membatalkan shalatrya,
karena ia telah berpaling dari arah kiblat.
3. Menurut madzhab Maliki: dimakruhkan bagi para pelaksana
shalat untuk menoleh baik dengan kepalanya ataupun dengan
badannya, dengan syara tkakinya masih menghadap ke arah
kiblat, karena apabila sudah tidak menghadap kiblat lagi maka
shalatnya telah dianggap batal.
4. Menurut madzhab Hambali: menoleh hukumnya makruh, namun
tidak sampai membatalkan shalat kecuali seluruh tubuhnya telah
berpaling dari arah kiblat dan membelakanginya. Karena itu,
apabila pelaksana shalat hanya menggerakkan kepala dan
bagian dadanya saja untuk menoleh, maka shalatnya masih
tetap sah, karena tubuhnya secara keseluruhan tidak
membelakangi arah kiblat. Dan, dengan membelakangi arah
kiblat pun jika berada di dalam Ka'bah atau dalam keadaan
sangat ketakutan, maka shalatnya masih dianggap sah.
22
seseorang yang hanya menyingsingkan lengan bajunya ketika hendak
melaksanakan shalat saja, sedangkan jika ia sudah menyingsingkan lengan
baju sebelum hendak melaksanakan shalat dengan alasan tertentu atau ia
menyingsingkannya ketika melaksanakannya maka tidak dimakruhkan.
23
Al-Fatihah, maka berdehem secara intens agar ia dapat
membacanya dengan benar tidak membuat shalatnya menjadi
batal. Lain halnya jika bacaan yang akan dilafalkannya hanya
disunnahkan saja, maka berdehem secara intens tidak termasuk
hal-hal yang dapat ditoleransi.
24
erangan yang sedikit ataupun banyak tidak dapat ditoleransi,
meskipun didasari atas rasa takutnya kepada negeri akhirat.
Ketiga: akan berlarut-larut menurut kebiasaan yang berlaku. Jika
demikian keadaannya maka erangan yang sedikit juga tidak
dapat ditoleransi, kecuali dilakukan oleh seorang penderita sakit
yang tidak kunjung sembutr, erangan tersebut tidak membuat
shalatnya menjadi batal karena dalam keadaan darurat. Begitu
pula halnya dengan menguap, bersin, dan berserdawa.
25
2. Menurut madzhab Maliki: mendoakan orang yang bersin dengan
ucapan dapat membatalkan shalat dengan bagaimana pun
bentuknya.
26
namun jika dapat dicegah namun tidak dilakukan, maka hal itu
dapat membatalkan shalatnya
27
Teringat Belum Melakukan Shalat Sebelumnya
Apabila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba teringat
bahwa ia belum melakukan shalat sebelurrnnya, misalnya ia sedang shalat
ashar sedangkan ia belum shalat zuhur, maka shalat asharnya terbatalkan
saat itu juga, dengan syarat orang tersebut tidak terbiasa meninggalkan
kewajiban shalatnya. Ini menurut madzhab Hanafi dan Hambali, sementara
untuk pendapat madzhab Maliki dan Syafi'i dapat dilihat pada catatan
berikut ini:
Menurut madzhab Maliki: apabila orang tersebut saat sedang
melakukan shalat teringat belum melakukan shalat sebelumnya yang
berjarak tidak terlalu jauh, yakni tidak lebih dari empat waktu shalat, dan
shalatyang sedang dilaksanakannya juga kurang dari satu rakaa! maka ia
wajib menghentikanshalatnya, baik saatia berposisi sebagai imam ataupun
sebagai makmum, namun bagi makmum mereka hanya menghentikan
shalatnya ketika imam berhenti, tapi jika imamnya tidak berhenti maka ia
tetap harus melanjutkan shalatnya, lalu mengulangnya lagi setelah ia
melaksanakan shalat yang ditinggalkannya. Sedangkan jika ia teringat
pada rakaat kedua shalat maghrib atau rakaat ketiga shalat isyak, maka ia
tidak perlu menghentikan shalabrya, melainkan ia harus menyelesaikannya
terlebih dulu, dan shalatnya tetap sah. Dary apabila shalat-shalat yang
tertinggal cukup banyak, maka ia tidak boleh menghentikan shalat yang
sedang dikerjakan.
Menurut madzhab Syafi'i: teringat akan shalat yang tertinggal tidak
membatalkan shalat, baik itu shalat sunnah yang berurutan namun
tertinggal karena suatu alasan, ataupun shalat wajib yang ditinggalkan
tanpa alasan.
28
REFERENCES
29