Anda di halaman 1dari 15

REGULASI DAN MEKANISME PELAKSANAAN BADAL HAJI

TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH HADIS B
DOSEN PENGAJAR: DRS. KH. AHMAD ZAMANI, M. AG

OLEH:
MUHAMMAD SYAFQY ABDA (170104020231)

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam syariat Islam terdapat berbagai macam aspek ibadah, biasanya meliputi fisik dan
finansial. Ibadah haji memiliki cakupan yang sangat luas, ia meliputi aspek fisik dan finansial.1
Oleh karena itu, seorang hamba harus melaksanakannya sendiri (dengan jiwa dan raganya) dan
memakai pengorbanan harta pribadi. Tetapi menurut jumhur ulama, ibadah aspek fisik dan
finansial juga dapat diwakilkan oleh orang lain (badal) dengan syarat dibiayai oleh orang yang
bersangkutan sehingga masyaqqah2 yang diinginkan dari ibadah tersebut dapat terwujud.

Ibadah haji tergolong sebagai ibadah mahdhah3 sehingga pelaksanaannya harus sesuai
dengan tuntunan syariat Islam. Banyak orang mampu yang belum takdirnya untuk menunaikan
ibadah haji meninggal terlebih dahulu atau jatuh sakit parah sehingga harus digantikan oleh orang
lain atau istilahnya badal haji. Ini adalah solusi dari Allah Swt. agar kewajiban tersebut tertunaikan
dan mendapat ganjaran besar dari-Nya. Sebabnya, hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. yang
menjelaskan regulasi badal haji sangat perlu dicermati dan dipahami agar bisa menjadi acuan jika
suatu saat perlu untuk dilakukan.

Makalah ini memaparkan hadis-hadis nabawiyah dan penjelasan para fuqaha, imam dan
ulama fiqih mengenai badal haji. Pemakalah juga memuat tata peraturan badal haji di Republik
Indonesia yang dirumuskan oleh Pemerintah dan ulama dengan hati-hati sesuai agama demi
terlaksananya ibadah haji yang tertib dan benar, mengingat posisi Indonesia sebagai salah satu
penyumbang jamaah haji terbanyak dan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

1
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal.
393.
2
Masyaqqah secara harfiah berarti pengorbanan, beban, kesusahan, kesulitan. Sebenarnya tidak ada kesulitan dalam
syariat Islam. Namun Allah Swt. menghendaki hambanya agar berusaha dan mengharap kepada-Nya melalui ibadah
(al-kasb). Dengan adanya usaha maka akan timbul sifat kebaikan dan pahala sebagai buahnya. Lihat: Ahmad Sabiq
bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, (Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2013),
hal. 61-68
3
Ibadah yang penetapan dan tata caranya diatur langsung oleh Allah Swt. dan Rasulullah Saw.. Mempunyai syarat
dan rukun yang harus dipenuhi. Contohnya salat, puasa, zakat dan haji.

2
B. RUMUSAN MASALAH
- Apa yang dimaksud badal haji?

- Apa hadis yang menjadi landasan hukum badal haji?

- Bagaimana mekanisme badal haji menurut syariat Islam dan perundang-undangan


Republik Indonesia?

C. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

Makalah ini mencakup pembahasan mengenai pengertian, dalil serta penataan mekanisme
badal haji dalam syariat Islam dan perundang-undangan Republik Indonesia.

D. TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH

Tujuan pembuatan makalah ini adalah:

- Memberikan edukasi bagi pembaca terkait regulasi badal haji

- Diharapkan ilmu-ilmu yang didapat dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan
disampaikan kepada saudara muslim lainnya

- Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis B

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN BADAL HAJI

Badal haji dalam bahasa Arab berasal dari kata badala (kata kerja)/badlun (kata benda)
ialah kata lain dari matsala/matsalun, syabiha/syibhun, dan ghayyara4 yang jika dialih bahasakan
dalam Indonesia berarti "menyerupai, mengganti, menukar atau merubah."5 Kemudian kata hajjun
yang diartikan "haji". Kata badal sendiri sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki
arti "pengganti" atau "wakil", begitu pula istilah badal haji juga sudah termasuk ungkapan serapan
bahasa Indonesia yang berarti "orang yang melaksanakan ibadah haji untuk menggantikan orang
lain" atau "wakil haji." Kedua istilah ini terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kelima.6

Sedangkan menurut istilah syariat, badal haji ialah kegiatan menghajikan orang lain yang
telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu
melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu uzur, seperti sakit yang tak ada harapan
sembuh. Termasuk juga kategori yang dihajikan adalah orang yang meninggal saat sudah berada
dalam embarkasi atau sebelum pelaksanaan wukuf. Juga orang yang sakit parah atau gangguan
jiwa dan tidak dapat dibantu peralatan medis sehingga tidak dapat melaksanakan wukuf di Arafah.7

Ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya melaksanakan badal haji. Mayoritas
ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fiqihnya al-hajj ‘an al-ghair. Di antara ulama
empat mazhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam
Hanbali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum
wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan, ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak
melebihi sepertiganya.8

4
Muhammad Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisan al-Arab, juz 11, cet. 3, (Beirut: Dar Shadir, 1994), hal. 48.
5
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, edisi kedua, cet. 14, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 65-
66.
6
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Republik Indonesia, KBBI V iOS-1.4 (15). Diakses
pada 9 Mei 2019.
7
Tim Mudzakarah Perhajian Nasional, Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal Haji, cet. 1, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Republik Indonesia, 2016), hal. 5.
8
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 396.

4
B. HADIS LEGALITAS BADAL HAJI

Terdapat beberapa riwayat dari Rasulullah Saw. mengenai kebolehan dan tata cara badal
haji. Riwayat tersebut sangat bisa dijadikan hujjah karena kualitasnya yang sahih dan diriwayatkan
oleh jamaah muhadditsin seperti para penyusun kutubussittah dan imam mazhab dengan berbagai
macam jalur. Perlu pula untuk diingat bahwa hadis mengenai badal haji banyak diriwayatkan oleh
sahabat mulia Nabi Muhammad Saw. yaitu Abdullah bin Abbas r.huma.. Hal ini menunjukkan
kapasitas kealiman dan pemahaman beliau terhadap Islam, khususnya permasalahan ibadah dan
syariat. Berikut penulis menyebutkan di antara riwayat tersebut berdasar kategori bahasannya:

1. Badal haji untuk orang tua dan tidak mampu secara fisik

ٍ ‫ال ابْن ِشه‬


ٍ َّ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬،‫ َح َّدثَِِن ُسلَْي َما ُن بْ ُن يَ َسا ٍر‬:‫اب‬ ِ َّ ‫أَخَبََن مسلِم بن خالِ ٍد‬
،‫اس‬ َ ُ َ َ‫ ق‬،‫ َع ِن ابْ ِن ُجَريْ ٍج‬،‫الزْْن ُّي‬ َ ُ ْ ُ ْ ُ ََ ْ
َِّ ُ‫ إِ َّن أَِِب قَ ْد أَدرَكْته فَ ِريضة‬:‫اَّللِ صلَّى هللا علَي ِه وسلَّم‬
ْ ‫اَّلل ِِف‬ ِ ِ ْ َ‫ ِمن خثْعم قَال‬،‫َن امرأًَة‬ ٍ َّ‫ض ِل بْ ِن َعب‬
ْ ‫َع ِن الْ َف‬
‫اْلَ ِج‬ َ ُ َْ َ َ َ ْ َ ُ َ َّ ‫ت لَر ُسول‬ َ َ َ ْ َ ْ َّ ‫ أ‬،‫اس‬
."ُ‫ "فَ ُح ِجي َعْنه‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،ِ‫ي َعلَى ظَ ْه ِر بَعِ ِريه‬
َ ‫يع أَ ْن يَ ْستَ ِو‬
ِ ِ
ُ ‫َوُه َو َشْي ٌخ َكب ٌري ََل يَ ْستَط‬

Artinya: Telah mengabarkan pada kami Muslim bin Khalid az-Zanji dari Ibnu Juraij, Ibnu Syihab
berkata: Sulaiman bin Yasar mengatakan kepadaku dari Ibnu Abbas dari Al-Fadhl bin Abbas
bahwa seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah,
ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?"
Rasulullah menjawab: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (H.R. Asy-Syafi'i/No. 994).9

Dalam hadis ini Rasulullah Saw. menjelaskan bolehnya badal haji untuk orang yang sudah tua dan
tidak mampu fisiknya. Maka dalam hadis di atas diceritakan bahwa perempuan yang bertanya
tersebut diperintahkan untuk menggantikan haji ayahnya. Riwayat di atas tercantum dalam
Musnad Asy-Syafi'i dan redaksi hadis ini juga diriwayatkan pula oleh jamaah muhadditsin besar
seperti Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Thabrani dan Ibnu Khuzaimah.10

9
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Musnad Imam Syafi'i (Tartib Sanadi), ditertibkan sesuai bab Fikih oleh Muhammad
Abid as-Sanadi, juz 1, cet. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1951), hal. 387.
10
Tim Mudzakarah Perhajian Nasional, Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal Haji, hal. 7.

5
2. Badal haji untuk orang yang telah meninggal (Hadis Syubrumah)
ٍ َّ‫ال ابْ ُن َعب‬
:‫اس‬ َ ‫ فَ َق‬،َ‫ك َع ْن ُش َْبَُمة‬
َ ‫ لَبَّ ْي‬:‫ول‬
ُ ‫ َر ُج ًَل يَ ُق‬،‫اس‬ َ َ‫ َع ْن أَِِب قِ ََلبَةَ ق‬،‫وب‬
ٍ َّ‫ ََِس َع ابْ ُن َعب‬:‫ال‬ َ ُّ‫ َع ْن أَي‬،‫َخ َََبََن ُس ْفيَا ُن‬
ْ‫أ‬
ِ ‫ "فَاحجج َعن نَ ْف ِس‬:‫ال‬
َّ‫ك ُُث‬ َ َ‫ ق‬،‫ ََل‬:‫ال‬ َ ‫ت َع ْن نَ ْف ِس‬
َ َ‫ك؟" ق‬
ْ ُْْ َ ‫َح َج ْج‬
َ ‫ "أ‬:ُ‫ال لَه‬
َ ‫ فَ َق‬،ُ‫ فَ َذ َكَر قَ َرابَةً لَه‬:‫ال‬
َ َ‫ك َوَما ُش ْ َُبَمةُ؟ ق‬
َ َ‫َوْْي‬

."َ‫اح ُج ْج َع ْن ُش َْبَُمة‬
ْ
Artinya: Telah mengabarkan pada kami Sufyan, dari Ayyub, dari Abu Qilabah berkata: Ibnu Abbas
mendengar seorang laki-laki berkata (kepada Rasulullah Saw.) "Labbaika ‘an Syubrumah" (Aku
memenuhi pangilan-Mu ya Allah, untuk Syubrumah). Ibnu Abbas melanjutkan ceritanya: "Siapa
Syubrumah?". Lalu orang itu menyebutkan hubungan kekerabatannya. Maka Rasulullah Saw.
bertanya pada orang itu: "Apakah kamu sudah pernah haji?" Ia menjawab, "Belum." Rasulullah
pun bersabda: "Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah." (H.R. Asy-Syafi'i/No.
1000).11

Selanjutnya ialah hadis yang dikenal dengan sebutan "Hadis Syubrumah", membahas kebolehan
badal haji untuk orang yang sudah meninggal. Hadis ini bahkan diriwayatkan dua kali dengan jalur
yang berbeda oleh Imam Asy-Syafi'i. Selain riwayat dari Sufyan di atas beliau juga meriwayatkan
dari Abdul Wahhab ats-Tsaqafi.12 Banyak juga terdapat riwayat hadis Syubrumah dengan redaksi
dan jalur berbeda oleh imam lain seperti Abu Dawud,13 Ibnu Majah,14 Ibnu Hibban.15 Dalam
riwayat-riwayat tersebut ada yang menyebut lebih jelas bahwa orang yang ingin membadal haji
Syubrumah ialah saudara laki-lakinya. Hadis ini juga menjelaskan bahwa orang yang ingin
membadal haji untuk orang lain harus pernah berhaji untuk dirinya sendiri terlebih dahulu.
3. Badal untuk haji yang dinazarkan

َّ ‫اس َر ِض َي‬ ِ ِ‫ عن سع‬،‫ عن أَِِب بِ ْش ٍر‬،َ‫ حدَّثَنا أَبو عوانَة‬،‫اعيل‬


ٍ َّ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬،‫يد بْ ِن ُجبَ ٍْري‬ ِ ِ
ُ‫اَّلل‬ َ َْ ْ َ َ َ ُ َ َ َ َ‫وسى بْ ُن إ َْس‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
ِ ِ ِ
ْ ‫ إِ َّن أُمي نَ َذ َر‬:‫ت‬
‫ت أَ ْن ََتُ َّج فَلَ ْم ََتُ َّج َح ََّّت‬ ْ َ‫ فَ َقال‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ ِ ِ‫ت إِ ََل الن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫ أ‬،‫َعْن ُه َما‬
ْ َ‫ َجاء‬،َ‫َن ْامَرأًَة م ْن ُج َهْي نَة‬

11
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Musnad Imam Syafi'i (Tartib Sanadi), juz 1, hal. 389.
12
Hadis no. 1001 dalam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Musnad Imam Syafi'i (Tartib Sanadi), juz 1, hal. 389.
13
Hadis no. 1811 dalam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats al-Azdi, Sunan Abi Dawud, juz 2, (Beirut: Maktabah
Ashriyyah, tt), hal. 162.
14
Hadis no. 2903 dalam Muhammad bin Yazid Majah al-Qazwini, Sunan Ibni Majah, juz 2, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyyah, tt), hal. 969).
15
Hadis no. 3988 dalam Muhammad Ibnu Hibban, Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni Hibban, tertib susunan oleh
Alauddin Ali al-Farisi, juz. 9, cet. 1, (Beirut: Mu'assasah Ar-Risalah, 1988), hal. 299.

6
ِ ِ ِ ‫ت لَو َكا َن َعلَى أ ُِم‬
ِ ِ
‫َح ُّق‬
َ ‫اَّللُ أ‬
َّ َ‫اَّللَ ف‬ ُ ْ‫ك َديْ ٌن أَ ُكْنت قَاضيَةً؟ اق‬
َّ ‫ضوا‬ ْ ْ‫ أ ََرأَي‬،‫ "نَ َع ْم ُحجي َعْن َها‬:‫ال‬ ُ ‫ أَفَأ‬،‫ت‬
َ َ‫َح ُّج َعْن َها؟ ق‬ ْ َ‫َمات‬
."‫ِِب َلوفَ ِاء‬
Artinya: Telah mengatakan pada kami Musa bin Isma'il, dan juga Abu Awanah, dari Abu Bisyr,
dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas r.huma. bahwasanya ada seorang perempuan dari Bani
Juhainah datang kepada Nabi Saw., dia bertanya: "Ibuku pernah bernazar ingin melaksanakan
ibadah haji hingga beliau meninggal, padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut,
apakah aku bisa menghajikannya?" Rasulullah menjawab: "Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu
punya utang kamu juga wajib membayarnya bukan? Lunasilah utang kepada Allah, karena hak
Allah lebih berhak untuk dipenuhi." (H.R. Bukhari/No. 1852).16

Riwayat ini diriwayatkan dari dua jalur oleh Imam Bukhari, dari Musa bin Isma'il dan Abu
Awanah. Jelas sekali dalam riwayat ini Rasulullah Saw. menyebutkan nazar berhaji harus dibayar
karena merupakan utang kepada Allah Swt.. Utang pada manusia saja wajib untuk dibayar, apalagi
utang kepada yang memberi segala rezeki.

C. BADAL HAJI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tata pelaksanaan badal haji telah diatur oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam
beberapa pasal perundang-undangan,17 yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 13 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Pasal 28 huruf b dan Pasal 42 ayat (3)
huruf b.
2. Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji Reguler.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitha’ah Kesehatan
Jemaah Haji.
4. Keputusan Dirjen Nomor 456 Tahun 2015 tentang Pedoman Safari Wukuf dan Badal
Haji.
Semua perundang-undangan di atas dirumuskan dan disepakati bersama sebagai
pertimbangan mekanisme badal haji di Indonesia oleh para dokter serta ulama yang mumpuni dan
tergabung dalam Tim Mudzakarah Perhajian Nasional yang dikepalai langsung oleh Direktur

16
Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz 3, cet. 1, (Beirut: Dar Thauq An-Najat, 2001), hal. 18.
17
Tim Mudzakarah Perhajian Nasional, Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal Haji, hal. 8-9.

7
Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama RI, Prof. Dr. H. Nizar Ali,
M. Ag. tertanda dalam Keputusan Nomor: D/333/2016.18 Dalam hasil keputusan tersebut juga
tertera dalil-dalil terkait badal haji, baik dari Alquran maupun hadis serta kutipan pendapat para
imam mazhab dan ulama salaf. Peraturan-peraturan tersebut juga dibuat berdasarkan pertimbangan
aspek kesehatan jamaah dan situasi musim haji karena sangat berkaitan dengan kemampuan
(istitha'ah) fisik.

D. MEKANISME PELAKSANAAN BADAL HAJI

Seperti halnya ibadah lain, badal haji juga memiliki jenis, syarat dan ketentuan yang telah
dirumuskan para ulama Fikih dengan sedemikian rupa berdasarkan dalil-dalil syar'i dan ijtihad
mereka. Di bawah ini akan dipaparkan dengan ringkas tata pelaksanaan badal haji.
1. Kategori badal haji dan hukumnya
Secara garis besar, badal haji diperbolehkan pada dua kategori, yaitu ma'dlub (lemah) dan
mayyit (orang yang sudah meninggal). Perlu diperhatikan dalam hal ini permasalahan istitha'ah
(kemampuan melakukan haji secara fisik dan finansial). Jika ada orang yang mampu secara
finansial namun fisiknya tidak mampu atau sudah meninggal, maka istitha'ah (kemampuannya)
dikategorikan sebagai istitha'ah bi ghairihi (mampu dengan dibantu orang lain). Kemudian juga
adanya status tamakkun (peluang melakukan rangkaian ibadah dalam haji) yang ditetapkan para
ulama. Yaitu ketika seseorang sudah berada di tanah haram untuk menyelesaikan rangkaian ibadah
haji seperti sa'i, tawaf dan melempar jumrah setelah sebelumnya melaksanakan wukuf di Arafah
tanggal 9 Dzulhijjah saat ia bisa menyelesaikan rangkaian ibadah hajinya.
Berikut akan dipaparkan secara ringkas kedua jenis pembadalan haji dan hukumnya:
a. Ma'dlub, yaitu orang yang mampu secara finansial namun kondisi fisiknya tidak
memungkinkan untuk berangkat ke tanah suci, sehingga memerlukan jasa orang lain untuk
melaksanakan ibadah haji atau orang yang terhalang pergi haji karena alasan teknis seperti
kondisi yang tidak kondusif. Kategori ma'dlub ada setelah orang tersebut sudah berstatus
istitha'ah. Jika orang tersebut fisiknya sudah lemah sejak dahulu ketika finansialnya tidak
mencukupi maka bukan termasuk kategori ini. Ma'dlub wajib/boleh dibadalkan jika tempat

18
Tim Mudzakarah Perhajian Nasional, Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal Haji, hal. 23.

8
tinggalnya jauh dari Mekah dengan jarak lebih dari masafah al-qashr.19 Sedangkan
ma'dlub yang sudah ada di Mekah atau tempat lain didekatnya tidak boleh dibadal hajikan,
melainkan harus haji sendiri atau dibadal hajikan setelah meninggal. Tetapi jika kondisinya
benar-benar tidak memungkinkan untuk melaksanakan sendiri, maka menurut sebagian
pendapat, dia boleh dibadal hajikan di saat dia masih hidup.20 Sebagai catatan, ma'dlub jika
sembuh dari uzur sakitnya dan telah mewakilkan untuk dibadal hajinya makanya badal
tersebut tidak sah menurut pendapat yang ashah (paling sahih) sehingga dia wajib
menunaikan haji sendiri. Berbeda dengan mazhab Hanabilah yang mengatakan hajinya tak
perlu diulang sendiri.21 Selain itu, ketika seseorang yang sempurna fisiknya sudah
berangkat haji, apabila fisiknya menjadi cacat (menjadi ma'dlub) atau bahkan hilang harta
bekalnya sebelum mencapai status tamakkun maka orang tersebut tidak perlu dibadal
hajinya.22
b. Mayyit adalah haji yang tidak terlaksana atau tidak selesai karena yang bersangkutan
meninggal lebih dulu. Hal ini terbagi dalam dua macam, yaitu haji wajib (haji biasa, haji
nazar, dan haji wasiat) yang wajib dibadalkan dan haji sunah (haji tambahan setelah haji
pertama) yang hukumnya boleh diwakilkan.23 Terdapat berbagai macam pendapat ulama
tentang badal haji untuk orang yang sudah meninggal:
- Wajib dibadal hajikan dengan beban biaya dari tirkah-nya (harta peninggalan) tanpa
tambahan dari ahli waris dan sebagainya menurut mazhab Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad. Ini juga pendapat para tabi'in seperti Imam Hasan, Thawus, al-Auza’i, al-
Tsauri, dan Ishaq.
- Penyelesaian haji setelah status tamakkun. Apabila dia tidak segera menyelasaikan
ibadah hajinya dan meninggal setelah lewat nishfu lailatin nahr/setengah waktu malam
terakhir hari bolehnya berkurban (hari Tasyriq tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah), maka hal
ini termasuk pelalaian sehingga hajinya tidak sah dan wajib dibadal hajikan karena

19
Masafah al-qashr adalah jarak bolehnya seorang musafir melakukan qashr salat. Dalam mazhab Syafi'iyah dan
Hanabilah jarak ini sejauh 16 farsakh atau sekitar 89,04 km. Lihat Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Musnad Imam
Syafi'i (Tartib Sanadi), juz 1, hal. 183.
20
Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Azhari, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal.
388.
21
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 397-398.
22
Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Azhari, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, juz 2, hal. 387.
23
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 397.

9
menjadi utang dan harus ditunaikan. Tetapi jika haji tersebut hanya haji sunah maka
tidak wajib untuk dibadal hajikan.24
- Tidak boleh ada niyabah (pengganti) untuk melanjutkan haji yang belum selesai setelah
pelaksanaan wukuf. Demikian berarti boleh ada badal atau niyabah haji untuk
menyelesaikan hajinya jika sebelum wukuf. Ini adalah pendapat qaul jadid yang ashah
dan sesuai dengan pernyataan sebelumnya. Namun ada pula qaul qadim yang
mengatakan boleh ada niyabah. Pendapat ini juga menyebutkan bahwa orang yang
semasa hidupnya tidak pernah memiliki istitha'ah boleh dibadalkan oleh siapapun.25
2. Syarat dalam badal haji
Seseorang yang membadalkan haji untuk orang memiliki banyak syarat yang harus
dipenuhi. Bahkan dalam mazhab Hanafiyah terdapat 20 syarat bagi pelaku badal haji. 26 Namun
kiranya syarat utama melaksanakan haji atas nama orang lain ialah sudah pernah melaksanakan
haji untuk diri sendiri terlebih dahulu berdasarkan hadis Syubrumah yang telah disebutkan dalam
bagian terdahulu, kecual jika hajinya ialah haji sunah. Ini adalah pendapat yang dipegang
mayoritas mazhab, termasuk Syafi'iyah. Selain itu pelaksana badal juga harus memenuhi syarat
dan rukun haji sebagaimana biasanya.
Meski demikian, mazhab Malikiyah dan Hanafiyah membolehkan orang yang belum
pernah berhaji untuk membadalkan orang lain dengan status makruh. Inilah yang disebut haji
Sharurah. Dalilnya ialah hadis tentang wanita dari Khats'am yang juga telah disebut di atas.
Rasulullah Saw. tidak menanyai wanita tersebut apakah dia sudah berhaji atau belum dan kaidah
Ushul Fikih, "tidak dilakukannya perincian dalam suatu peristiwa menunjukkan bahwa sabda
dalam peristiwa itu bersifat umum," Sedangkan status makruh ditetapkan karena orang yang
membadalkan tersebut meninggalkan haji fardu atas dirinya.27
3. Rangkaian pelaksanaan badal haji
Ada beberapa rangkaian penting lain yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan badal
haji. Hal ini perlu diperhatikan secara runtut dan rinci demi sahnya badal haji:

24
Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Azhari, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, juz 2, hal. 387.
25
Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Azhari, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, juz 2, hal. 387.
26
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 404.
27
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 411.

10
a. Perwakilan
Badal haji ialah ibadah yang dikerjakan seseorang untuk orang lain. Oleh karena itu, hal
pertama yang perlu dikerjakan ialah perwakilan dari ashil (orang yang mempunyai tanggungan
ibadah tersebut) kepada yang membadalkan. Selain ketentuan syarat orang yang membadalkan
harus sudah pernah berhaji, biasanya perwakilan dalam badal haji haruslah kepada orang yang
diwasiatkan/diinginkan/dipercaya ashil atau ahli warisnya. Tidak ada batasan dalam perwakilan
apakah harus mewakili sesama lelaki atau perempuan. Jadi seseorang boleh mewakilkan lawan
jenisnya.28 Kecuali dalam mazhab Hanafiyah disebutkan makruh mewakilkan haji kepada
perempuan.29
Perwakilan sangatlah penting, karena dalam mazhab Malikiyah dan Hanafiyah, haji badal
tidak boleh dikerjakan jika tidak diwakilkan oleh ma'dlub atau diwasiatkan oleh mayyit.30 Namun
menurut Syafi'iyah dan Hanabilah, badal tidak sah bagi ma'dlub31 tetapi sah bagi mayyit jika tanpa
perwakilan dengan alasan Nabi Saw. memerintahkan membadalkan haji orang yang sudah
meninggal padahal sudah pasti mayat tidak bisa memberi izin.32
Orang yang memwakilkan berhaji boleh mendapat ijarah (upah) dari pekerjaannya.
Mengenai hukum upah badal haji, jumhur fuqaha membolehkan pemberian upah berdasarkan
sabda Nabi Saw.:
َِّ ‫إِ َّن أَح َّق ما أَخ ْذ ُُت علَي ِه أَجرا كِتاب‬
‫اَّلل‬ ُ َ ًْ ْ َ ْ َ َ َ
Artinya:"Sesungguhnya yang paling patut kalian ambil upahnya adalah pengajaran Kitabullah."
(H.R. Bukhari/No.5737).33

Melaksanakan haji termasuk dari pengajaran dan pengamalan kitab Allah. Selain itu, boleh
mengambil upah dari badal haji sebagaimana juga diperbolehkan mengambil Ongkos Naik Haji
(ONH), seperti untuk transportasi, akomodasi dan infrastruktur.34 Upah juga harus berbeda dengan
ONH badal yang harus dibayar ashil dan ongkos keberangkatan pelaksana badal, masing-masing
harus dipenuhi tersendiri sesuai keperluannya. Ongkos yang membadalkan juga harus dibayar oleh

28
Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Azhari, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, juz 2, hal. 387
29
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 398.
30
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 399.
31
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 397.
32
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 399.
33
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz 7, hal. 131.
34
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 402.

11
ashil, apabila ia tidak mampu membayarkan maka hajinya tidak wajib. Namun disunahkan bagi
kerabat atau ahli waris untuk menghajikan/membiayainya.35
b. Niat dan miqat
Selanjutnya niat dan pengambilan miqat harus dilakukan di miqat orang yang dibadalkan
jika haji wajib menurut Imam Syafi'i. Kecuali jika ongkos untuk yang membadalkan tidak
mencukupi, maka boleh mengambil miqat mana saja yang mudah menurut kalangan Hanabilah.
Adapun niat haji dilakukan seperti biasa namun harus meniatkan bahwa haji tersebut adalah badal
untuk fulan, misalnya. Sebab ibadah qadha (utang) harus sesuai pengerjaannya seperti ibadah
adaa' (tunai).36
Orang yang membadalkan wajib berangkat dari negeri ashil karena kemampuan ashil
dihitung dari mampunya ia berangkat dari negerinya. Apabila haji yang dibadal ialah haji wasiat
atau nazar dan ashil menentukan miqat dan jenis ihram hajinya (tamattu', ifrad atau qiran) namun
yang membadalkan tidak mengerjakan sesuai wasiat maka hajinya tidak sah dan yang
membadalkan wajib mengganti biaya hajinya menurut Imam Abu Hanifah. Tetapi miqat diambil
sesuai dengan miqat negerinya menurut mazhab Syafi'iyah.37
c. Denda pelanggaran bagi pelaksana badal haji
Perlu diperhatikan jika seorang ashil pernah pergi haji dan kemudian tidak dapat
menyelesaikan hajinya karena sakit parah yang memang sudah dialami sebelum berangkat haji,
peperangan atau adanya musuh sehingga harus bertahalul, kemudian ia tidak mampu lagi
menunaikan haji di musim selanjutnya karena menjadi ma'dlub atau meninggal serta hajinya wajib
dibadalkan termasuk dalam kategori ihshar (terhalang mengerjakan haji) dan wajib membayar
dam (denda) atas ihshar tersebut.38 Namun tanggungan pembayaran denda ihshar sudah termasuk
dalam tanggungan ashil dan tidak dibayar oleh pelaksana badal.
Selain dam ihshar, jika pelaksana badal melakukan pelanggaran haji, maka dam harus
dibayar sendiri olehnya.39

35
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 388-389.
36
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 399.
37
Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Azhari, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, juz 2, hal. 389.
38
Ihshar hanya disinggung sedikit di sini karena juga merupakan suatu syariat tersendiri dalam haji.
39
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh 3, hal. 412-413.

12
d. Peran pemerintah dalam badal haji
Dalam masalah badal haji, peran negara dapat disamakan dengan peran ahli waris. Ketika
ahli waris berkewajiban menghajikan atau membiayai haji mauruts-nya, maka negara pun
berkewajiban melaksanakan keberangkatan haji jemaah haji badal sesuai perannya sebagai
pengelola/ahli waris tabungan ONH. Dalam hal ini di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan PMA Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler. 40

40
Tim Mudzakarah Perhajian Nasional, Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal Haji, hal. 19-20.

13
BAB III

PENUTUP

Tata pelaksanaan badal haji sudah cukup jelas dirumuskan para ulama berdasarkan aturan
agama dengan dalil-dalil yang valid. Melaksanakan badal haji wajib untuk orang-orang yang telah
mencapai istitha'ah namun belum sempat menunaikan haji. Setidaknya ada dua macam penyebab
bolehnya haji dibadalkan, yaitu lemah fisik dan kematian. Biaya dari haji tersebut ditanggung oleh
yang dihajikan. Jika yang bersangkutan tidak lagi mempunyai harta yang cukup untuk mewakilkan
hajinya kepada orang lain, maka disunahkan bagi keluarga dan ahli warisnya untuk menghajikan.
Pelaksana badal pun haruslah orang yang sudah pernah melaksanakan haji untuk dirinya
sendiri sebelumnya. Pelaksana badal haji bertanggung jawab menyelesaikan secara tuntas
rangkaian haji untuk orang yang dihajikan. Titik adilnya, ia juga berhak menerima biaya
pelaksanaan dan upah dari pekerjaannya tersebut.
Seperti halnya dengan haji biasa, permasalahan badal haji di Indonesia sudah diatur dengan
cukup matang oleh pemerintah dengan mempertimbangkan syariat dan kondisi. Diharapkan
dengan diaturnya regulasi dan mekanisme pelaksanaan badal haji, ibadah dapat dikerjakan dengan
benar, tuntas serta tertib.

14
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Republik Indonesia, KBBI V iOS-1.4
(15). Diakses pada 9 Mei 2019.
Tim Mudzakarah Perhajian Nasional. 2016. Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal
Haji. Cet. 1. Jakarta: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag
Republik Indonesia.
al-Anshari, Muhammad Ibnu Manzhur. 1994. Lisan al-Arab. Juz 11. Cet. 3. Beirut: Dar Shadir.
al-Azdi, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats. Tanpa Tahun. Sunan Abi Dawud. Juz 2. Beirut:
Maktabah Ashriyyah.
al-Azhari, Sulaiman bin Umar al-Jamal. Tanpa Tahun. Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj.
Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Bukhari, Muhammad bin Isma'il. 2001. Shahih Al-Bukhari. Juz 3. Cet. 1.Beirut: Dar Thauq An-
Najat.
al-Qazwini, Muhammad bin Yazid Majah. Tanpa Tahun. Sunan Ibni Majah. Juz 2. Kairo: Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyyah.
asy-Syafi'i,Muhammad bin Idris. 1951. Musnad Imam Syafi'i (Tartib Sanadi). Ditertibkan sesuai
bab Fikih oleh Muhammad Abid as-Sanadi. Juz 1. Cet. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah
az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam wa Adillatuh 3. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta:
Gema Insani.
Hibban, Muhammad Ibnu. 1988. Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni Hibban. Tertib susunan oleh
Alauddin Ali al-Farisi. Juz. 9. Cet. 1. Beirut: Mu'assasah Ar-Risalah.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir. Edisi Kedua. Cet. 14. Surabaya: Pustaka
Progresif.
Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu. 2013. Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islami. Gresik: Pustaka Al-Furqon.

15

Anda mungkin juga menyukai