Mini research ini disusun untuk memenuhi tugas Ulangan Akhir Semester Gasal
Disusun Oleh :
Nurul Wahidah
3617019
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, yang telah melimpahkan rahmat, nikmat serta
hidayah-Nya, sehingga kita masih diberikan kesehatan untuk dapat melakukan aktifitas kita
masing-masing.
Shalawat dan salam marilah selalu kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Nabi Muhammad SAW, dengan mengucapkan Allahumma Sholli ‘Ala sayyidinaa
Muhammad wa ‘Al Ali Sayyidina Muhammad, semoga dengan sholawat yang selalu kita
haturkan kepada beliau, kita diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafa’atnya dengan
izin Allah kelak di hari kiamat.
Pada kesempatan ini tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.
Taufiqur Rohman, M.Sy. selaku dosen mata kuliah Fiqh Haji dan Umrah yang telah
memberikan tugas dan mempercayai saya untuk membuat penelitian secara mini research
dengan tema Kontruksi Filosofis Sa’i.
Saya menyadari dalam penyusunan penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan
sehingga hasil yang diperoleh jauh dari sempurna. Oleh sebab itu saran dan kritik yang
membangun sangat saya harapkan dari para pembaca. Semoga hasil mini research saya ini
dapat memberikan manfaat kepada saya secara khusus dan para pembaca serta masyarakat
secara umumnya.
Nurul Wahidah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Haji merupakan satu diantara 5 (lima) rukun islam yang disepakati oleh umat
muslim seluruh dunia. Haji dalam struktur syariat Islam termasuk bagian dari ibadah.
Ibadah haji memiliki ritual yang harus dilakukan, ritual ini biasa dinamakan manasik haji,
ritual ini dilakukan setiap jamaah haji seluruh dunia. Haji mempresentasikan konsep
hubungan manusia, lingkungan, dan Allak (hablum minallah wa hablum minannas).
Sehingga diharapkan dapat mengantarkan manusia pada pengenalan diri, membersihkan
dan menyucikan jiwa.
Nabi Muhammad Saw sesuai perintah Allah pun melaksanaan ibadah haji. Dari
tahun ke tahun, jumlah jamaah haji kian terus bertambah. Untuk itu, pemerintahan Saudi
setiap tahunnya melakukan pembangunan agar dapat mengantisipasi lonjakan jumlah
jamaah haji dengan membatasi kuota, dan memperluas tempat-tempat penampungan.
Akan tetapi, pembatasan kuota justru tidak menyelesaikan persoalan, karena begitu
banyaknya umat islam yang ingin melaksanakan ibadah haji.
“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab ra. berkata: aku
medengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Islam dibangun atas 5 perkara; yaitu bersaksi
bahwa tidak ada illah selain Allah dan Muhammad adalah utusanNya, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji ke baitullah, dan berpuasa di bulan
ramadhan’.” (Diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim)1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan sa’i dan tata letak sa’i?
2. Apa saja yang menjadi syarat sahnya sa’i dan sunnah-sunah sa’i?
3. Bagaimana Implementasi sa’i dalam Ritual Ibadah Haji dan Umrah?
1
Syaikh Imam Nawawi, Terjemahan Hadits Arba’in Nawawi, (Semarang; Pustaka Nuun, 2012), cet.1, hlm.6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
a. Kontruksi, filosofis, dan sa’i
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kontruksi memiliki arti susunan
(tata letak, model) suatu bangunan. Dalam ibadah haji manusia melakukan dua
hubungan, yang pertama hubungan kepada penciptanya dan kepadanya lingkungan,
oleh karenanya terbentuk komunikasi-komunikasi yang dilakukan diantara mereka
dan hal ini termasuk ke dalam konstruksi sosial. Konstruksi Sosial adalah proses
sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu,
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subjektif.2
Manasik secara etimologi berasal dari kata fi’il madi “nasaka, yansuku,
naskan” yang artinya ibadah.3 Haji memiliki arti Kata “haji” secara etimologi atau
bahasa berasal dari akar kata حجا- حج – يحج Artinya “Menuju tempat tertentu” atau
“Mengunjungi ka’bah untuk melaksanakan haji atau umrah. Ulama membedakan
istilah yang berkunjung ke Baitullah untuk beribadah dengan berkunjung karena
urusan lain seperti untuk berdagang sehingga dikatakan “Kata hajju mengunjungi
Baitullah untuk tujuan nusuk (ibadah) dan kata dajju untuk tujuan berniaga”.4
Sa’i adalah bahasa Arab yang berasal dari kata as-sa’yu, dari kata kerja sa’a-
yas’a-sa’yan, yang artinya bekerja, berjalan, berlari, atau berusaha5. Secara
etimologi, sa’i berasal dari kata س عيyang artinya berjalan, bekerja dan berlari.
Sedangkan secara terminologi, sa’i adalah salah satu ibadah yang menjadi bagian
dari pelaksanaan manasik haji dengan cara melakukan perjalanan dan lari-lari kecil
sesuai dengan ketentuan syari’at. Dalam konteks haji, sa’i adalah berjalan cepat atau
berlari dengan langkah pendek anara bukit shofa dan bukit marwah sebanyak 7 kali
mondar-mandir, dimulai dari shofa dan berakhir di marwah.6
Sebagaimana termaktub dalam Firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 158 sebagai
berikut:
2
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 193.
3
Abdul Choliq, Esensi Program Bimbel Manasik Haji Upaya Pemberdayaan Masyarakat, dalam Jurnal At-
Taqaddum, Vol. 10, No. 1, 2018.
4
Depag RI, Panduan Pelestarian Haji Mabrur, (Jakarta : Direktorat Jendral Bimas, 2003), hlm. 4.
5
Ahmad Chodri Romli, Ensiklopedia Haji dan Umrah, (Yogyakarta: DIVA Press, 2018), cet.1, hlm. 534
6
Ahmad Chodri Romli, Ensiklopedia Haji dan Umrah,... hlm.534
ح َعلَ ْي ِه اَ ْن يَّطَّوَّفَ بِ ِه َما ۗ َو َم ْنcَ صفَا َو ْال َمرْ َوةَ ِم ْن َش َع ۤا ِئ ِرهللاِ ۚ فَ َم ْن َح َّج ْالبَيْتَ اَ ِوا ْعتَ َم َرفَاَل ُجنَا
َّ اِ َّن ال
١٥٨: }٢{ ع خَ ْير ًۙا فَِإ َّن هللاَ َشا ِك ٌر َعلِ ْي ٌم ﴿البقرة َ َ﴾ت
cَ ط َّو
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi'ar Allah. 7 Maka
barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa’i antara keduanya. dan barangsiapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, Maka Allah Maha Mensyukuri8 Maha Mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah (2): 158).9
Asbabun Nuzul: Ashim bin Sulaiman bertanya kepada Anas tentang Safa dan Marwah.
Anas berkata, “Menurut kami, ritual di antara keduanya merupakan kebiasaan jahiliyah.
Oleh karena itu, ketika Islam datang kami tidak melakukan sa’i di antara keduanya.
Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut. (HR. Bukhari)10
13
Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al- Asqalany, Fath al-Bary: Bisyarh Sahih Al-Buhkary, Juz IV Ttp: AlMaktabah Al-
Salafiah, t.th, hlm. 498
14
Djaenab, Sa’i dalam Perspektif Hadits, dalam Jurnal Pendidikan dan Studi Islam (Ash-Shahabah), Vol. 2,
No.2, 2016.
15
Ahmad Chodri Romli, Ensiklopedia Haji dan Umrah,..., hlm. 537
sa’i antara Shafa dan Marwah adalah wajib haji, bukan rukun haji. Sedangkan
menurut selainnya yaitu mazhab Malaki, Syafi’i dan Hambali bahwa sa’i merupakan
bagian dari rukun haji. Menurut mereka haji tidak sah tanpa sa’i. Bahkan kalau
tertinggal sekalipun, meskipun hanya satu langkah, harus diulang kembali.16
Seiring dengan meningkatnya jumlah jamaah haji dan umrah setiap tahunnya,
maka telah dilakukan perluasan tempat sa’i, yakni tempat sa’i baru. Dan ini masih
menimbulkan kontroversi antara para ulama. Ada ulama yang mengatakan tidak
boleh melaksanakan sa’i di mas’a yang baru, dan ada yang megatakan boleh
melaksanakannya.17
B. Hasil Penelitian
Di dalam melaksanakan sa’i jama’ah haji melakukan lari-lari kecil antara bukit safa
dan marwah. Di antara keduanya memiliki pilar hijau yang menandakan bahwa lari-lari
dilakukan dengan mantap dan lebih semangat. Terdapat do’a yang dibaca ketika akan
atau dalam melaksanakan sa’i , yakni:
Ketika naik ke bukit shofa dan ke bukit marwah
ح َعلَ ْي ِه اَ ْن يَّطَّوَّفَ بِ ِه َما ۗ َو َم ْن تَطَ َّو َعcَ صفَا َو ْال َمرْ َوةَ ِم ْن َش َع ۤا ِئ ِرهللاِ ۚ فَ َم ْن َح َّج ْالبَيْتَ اَ ِوا ْعتَ َم َرفَاَل ُجنَا
َّ اِ َّن ال
١٥٨: }٢{ ﴾ َخ ْير ًۙا فَِإ َّن هللاَ َشا ِك ٌر َعلِ ْي ٌم ﴿البقرة
َّز اَ َّماتَ ْعلَ ْم اِنَّكَ تَ ْعلَ ْم َمالَ نَ ْعلَ ْم اِنَّكَ اَ ْنتَ ااْل َع َُّزااْل َ ْك َرا َمcْ َربِّ ْغفِرْ َوارْ َح ْم َو ْعفُوْ َوتَ َك َّر ْم َوتَ َوج18
Terdapat pula do’a ketika berjalan dari bukit shofa ke bukit marwah, dari bukit
marwah ke bukit shofa yang berbeda-beda setiap kali jalan, agar para jamaah haji ingat
hitungan yang telah dilakukan.
Letak tempat sa’i (Mas’a) berada di sisi ka’bah sejajar dengan hajar aswad. Namun
masih dalam kawasan atau lingkungan Masjidil Haram. Bukit Shofa berada 150 meter
dari Ka’bah dan bukit Marwah berada kurang lebih 300 m ke arah timur laut Ka’bah. Di
sana terdapat 2 pintu, yakni pintu yang berada dekat dengan bukit Shofa dan dekat
dengan bukit marwah. yang biasanya pintu Shofa untuk masuk dan pintu Marwah untuk
16
Abdurrahman al-Jaziry, Kitabul Fiqh ‘ala al-mazhab al-Arba’ah, Juz II (Ttp. Dar al-Fikr, t.th), hlm. 124.
17
Baits, Ammi Nur. 2014. Tempat Sa’i Baru. https://konsultasisyariah.com/23408-catatan-tentang-tempat-sai-
baru.html, diakses pada 17 November 2019 pukul 15.50.
18
Kementerian Agama RI (Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah), Do’a dan Zikir Manasik Haji
dan Umrah, (Jakarta: Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, 2018).
keluar. Pada saat ini, karena meningkatnya para jamaah haji dan umrah, Makkah dan
Masjidil Haram terus dibangun. bangunan tempat sa’i menjadi 3 lantai, lantai 1, 2 dan 3.
Untuk dapat melihat bukit Shofa ataupun bukit Marwah dari lantai atas, dibuatlah
lingkaran yang besar tepat di atas bukit. Karena bukit Shofa hanya mencapai lantai 2 saja
dan bukit Marwah hanya terdapat di lantai pertama. Selain itu, terdapat lampu neon
berwarna hijau sepanjang 99 meter lebih dekat dengan bukit Shofa yang biasa disebut
sebagai pilar hijau. Digunakan lari-lari kecil atau berjalan cepat. Serta bagi pemakai kursi
roda sudah memiliki jalan tersendiri untuk memudahkan dalam melaksanakan sa’i
apabila sakit atau tidak kuat berjalan.19
Kemudian, terdapat beberapa syarat sah dalam melaksanakan Sa’i, yakni
melaksanakan sa’i setelah thawaf shahih (baik thawaf rukun/ifadhah, atau thawaf
qudum), pelaksanaannya tujuh kali mondar-mandir antara shofa dan marwah, dimulai
dari shofa dan diakhiri di marwah, perjalanan setiap putaran sa’i itu dilakukan di Mas’a
(tempat sa’i), dan melaksanakan sa’i dengan menghadap ke depan, berjalan ke muka
(artinya tidak boleh berjalan mundur atau miring)20. Dan dalam mazhab Maliki, Syafi’i,
dan Hambali terdapat syarat sa’i yaitu muwalat (terus-menerus/berkesinambungan, tidak
ada tenggang waktu yang lama). Dalam keterangan lain, para ulama sepakat bahwa di
antara syarat sa’i adalah suci dari haidh, sama halnya dengan thawaf, berdasarkan hadits
Aisyah yang diriwayatkan oleh HR. Bukhari dan Muslim21.
Setiap jamaah pasti menginginkan kesempurnaan dalam sa’i terutama dalam nilai
pahala. untuk lebih menyempurnakannya, dianjurkan melakukan hal-hal yang dipandang
sunnah, seperti
melakukan dengan berjalan tanpa alas kaki,
dalam keadaan suci dari hadats dan najis, serta menutup aurat,
sepanjang perjalanan banyak berdzikir, membaca al-Qur’an, dan berdo’a
muwalat, artinya berkesinambungan antara satu putara ke putaran yang lain, juga
muwalat antara thawaf dengan sa’i
khusus laki-laki mempercepat langkahnya (harwalah) antara kedua batas berupa
lampu hijau/pilar hijau
Al-Idhthibak, sebagaimana dalam thawaf
19
Wawancara dengan Fadlil Abdul Aziz, Mahasiswa Universitas Islam Madinah, Fakultas Dakwah dan
Ushuluddin.
20
Ahmad Chodri Romli. Ensiklopedia Haji dan Umrah,..., hlm540
21
Muhammad, Al Faqih Abul Wahid bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa
Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Imani, 2017), cet. 3, hlm. 74
Menurut keterangan Kepala Kementrian Agama Kota Pekalongan bagian Haji dan
Umrah, Sa’i di mulai ketika setelah melaksanakan Thawaf Ifadhah 22. Ketika sampai di
pintu bab Ash-Shofa dan akan naik ke bukit Shofa maka mulai membaca do’a permulaan
yakni
22
Wawancara dengan Bapak Mudakir, Petugas Bagian Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama
Kota Pekalongan, Pekalongan, 2019.
23
HR. Muslim, nomor Hadits; 1218, sahih. (Nabi Muhammad membaca ayat ini ketika mendekati bukit Shafa).
24
Wawancara dengan Bapak Mundakir,...
25
Wawancara dengan KH. Nursalim Kasmany, Lc. MHI Al-Hafidz, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Banjari,
Blora.
26
Kaidah-kaidah Islam
setiap jamaah melakukan sa’i tergantung pada niat masing-masing, hanya untuk
melakukan rukunnya saja atau ingin menghormati perjuangan seorang ibu dan
mendekatkan kepada Allah SWT.
2) Kaidah ke-31
ّ الرخصة التناط بالش
ك
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan keraguan.
Hal ini berkaitan pada hitungan jumlah dalam melakukan sa’i. Apabila lupa
menghitung, hal ini tidak langsung dihukumi batal sa’i, namun dapat mengambil yang paling
sedikit agar dapat mengulangi putaran dan menyempurnakan sa’i.
3) Kaidah ke-32
27
HR. Muslim, 2721
28
HR. Ath-Thabari, Ad-Du’a, nomor hadits: 1408
29
Abdul Syukur, Muslimah, Tetaplah Istiqamah! Panduan Ibadah Muslimah Shalihah Sepanjang Tahun,
(Jakarta: Saufa, 2017), cet. 1, hlm. 61
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sa’i merupakan salah satu ritual dalam ibadah haji dan umrah. Ritual ini
dilaksanakan di mas’a (tempat sa’i) yakni di bukit shofa dan bukit marwah. Sa’i masuk
ke dalam rukun haji dan umrah, oleh karenanya ritual ini tidak boleh ditinggalkan oleh
pra jamaah haji. Namun juga terdapat beberapa perbedaan pendapat dan ahli madzab
mengenai sa’i yang mana hal ini termasuk ke dalam rukun atau wajib haji dan umrah.
Mengingat jumlah jamaah haji yang kian meningkat, tempat sa’i sekarang lebih
besar dan bertingkat, sehingga para jamaah dapat melaksanakan sa’i dengan tenang.
Sesuai juga dengan keterangan beberapa buku dan para narasumber, mas’a telah
dibesarkan sesuai dengan wilayahnya dan ritualnya sama dengan yang pernah dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw. Dan dalam ritual sa’i juga terdapat do’a-do’a yang diucapkan
para jamaah haji.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalany, Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar. Fath al-Bary: Bisyarh Sahih Al-Buhkary, Juz IV Ttp:
Al Maktabah Al-Salafiah, t.th.
Al-Bugha, Musthafa Dib. 2017. Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i (Penjelasan Kitab
Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al-Qur’an dan Hadits). (Jakarta: Noura (PT. Mizan
Publika)). Cet. 1.
Al-Jailani, Syekh Abdul Qadir. 2014. Fiqih Tassawuf dalam Pandangan Syekh Abdul Qadir Al-
Jailani. (Bandung: CV. Pustaka Setia). Cet. 2
Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitabul Fiqh ‘ala al-mazhab al-Arba’ah. Juz II (Ttp. Dar al-
Fikr. t.th).
Al-Qur’an dan Terjemah. 2012 (Bekasi: Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian
Agama Republik Indonesia).
Aziz, Fadlil Abdul. Madinah. 2019. Mahasiswa Universitas Islam Madinah, Fakultas Dakwah
dan Ushuluddin.
Baits, Ammi Nur. 2014. Tempat Sa’i Baru. https://konsultasisyariah.com/23408-catatan-
tentang-tempat-sai-baru.html, diakses pada 17 November 2019 pukul 15.50.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. (Jakarta: Kencana)
Choliq, Abdul. 2018. Esensi Program Bimbel Manasik Haji Upaya Pemberdayaan Masyarakat.
dalam Jurnal At-Taqaddum. Vol. 10. No. 1.
(Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah), Kementerian Agama RI. 2018. Do’a
dan Zikir Manasik Haji dan Umrah. (Jakarta: Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian
Agama RI).
Djaenab. 2016. Sa’i dalam Perspektif Hadits. Dalam Jurnal Pendidikan dan Studi Islam (Ash-
Shahabah). Vol. 2. No.2.
HR. Ath-Thabari, Ad-Du’a, nomor hadits: 1408
HR. Muslim, nomor Hadits; 1218, Sahih.
Kasmany, KH. Nursalim. Blora. 2019. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Banjari.
Muhammad, Al Faqih Abul Wahid bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul
Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. (Jakarta: Pustaka Imani). Cet. 3
Mundakir. Pekalongan. 2019. Petugas Bagian Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian
Agama Kota Pekalongan.
Nawawi, Syaikh Imam. 2012. Terjemah Hadits Arba’in Nawawiyah. (Semarang: Pustaka
Nuun). Cet. 1
RI, Depag RI. 2003. Panduan Pelestarian Haji Mabrur. (Jakarta : Direktorat Jendral Bimas)
Romli, Ahmad Chodri. 2018. Ensiklopedia Haji dan Umrah. (Yogyakarta: DIVA
Press). cet.1.
Syukur, Abdul. 2017. Muslimah, Tetaplah Istiqamah! Panduan Ibadah Muslimah Shalihah
Sepanjang Tahun, (Jakarta: Saufa). Cet. 1.